Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejarah diterimannya kehadiran Islam di Nusantara dengan kondisi
keagamaan masyarakat yang menganut paham animisme (Hindu-Budha), tidak
bisa dilepaskan dari cara dan model pendekatan dakwah para mubaligh Islam kala
itu yang ramah dan bersedia menghargai kearifan budaya dan tradisi lokal.
Sebuah pendekatan dakwah yang terbuka dan tidak antisipati terdapat nilai-nilai
normatif di luar Islam, melainkan mengakulturasikannya dengan membenahi
penyimpangan-penyimpangan di dalamnya memasukkan ruh-ruh keislaman ke
dalam substansinya. Maka lumrah jika kemudian corak amaliah ritualitas muslim
Nusantara (khususnya Jawa) hari ini, kita saksikan begitu kental diwarnai dengan
tradisi dan budaya khas lokal, seperti ritual selametan, kenduri, dan lain-lain.
Amaliah keagamaan seperti itu tetap dipertahankan karena kaum Nahdliyyin
meyakini bahwa ritual-ritual dan amaliyah yang bercorak lokal tersebut. Hanyalah
sebatas teknis atau bentuk luaran saja, sedangkan yang menjadi substansi
didalamnya murni ajaran-ajaran Islam. Dengan kata lain, ritual-ritual yang
bercorak tradisi lokal hanyalah bungkus luar, sedangkan isinya adalah nilai-nilai
ibadah yang dianjurkan oleh Islam.
Dalam pandangan kaum Nahdliyyin, kehadiran Islam yang dibawa oleh
Rasulullah saw. Bukanlah untuk menolak segala tradisi yang mengakar menjadi
kultur budaya masyarakat, melainkan sekedar untuk melakukan pembenahan-
pembenahan dan pelurusan-pelurusan terhadap tradisi dan budaya yang tidak
sesuai dengan risalah Rasulullah saw. Budaya yang telah mapan menjadi nilai
normatif masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam akan
mengakulturasikannya bahkan mengakuinnya sebagai bagian dari budaya dan
tradisi Islam itu sendiri. Dalam hal ini, Rasululullah saw. Bersabda:
“ apa yang dilihat orang Muslim baik, maka hal itu baik disisi Allah.” (HR.
Malik).
Kendati demikian, amaliah dan ritual keagamaan kaum Nahdliyin seperti itu,
sering mengobsesi sebagian pihak untuk menganggapnya sebagai praktik-praktik
sengkritisme, mitisme, khurafat, bid’ah bahkan syirik.
Anggapan demikian sebenarnya lebih merupakan subyektifitas akibat terjebak
dalam pemahaman Islam yang sempit dan dangkal serta tidak benar-benar
memahami hakikat amaliah dan ritual-ritual hukum Nahdliyyin tersebut. Pihak-
pihak yang seperti ini, wajar apabila kemudian dengan mudah melontarkan
‘tuduhan’ bid’ah atau syirik terhadap amaliah dan ritualitas kaum Nahdliyyin,
seperti ritual tahlilan, peringatan Maulid Nabi, Istighfar, Pembacan berzanji,
Manaqib, Ziarah kubur, dan amaliah-amaliah lainnya.
Tuduhan-tuduhan bid’ah seperti itu, sangat tidak berdasar baik secara dalil
maupun ilmiah, dan lebih merupakan sikap yang mencerminkan kedangkalan
pemahaman keislaman. Sebab sekalipun terdapat kaidah fiqih yang menyatakan:
“hukum asal ritual ibadah adalah haram”

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Amaliah dan Budaya NU Sholat ?
2. Bagaimana Amaliah dan Budaya NU Puasa sunnah ?

1.2 Tujuan
1. Mengetahui Amaliah dan Budaya NU Sholat
2. Mengetahui Amaliah dan Budaya NU Puasa sunnah
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Amaliah dan Budaya NU Shalat

A. Bilangan sholat tarawih

Salat Tarawih (kadang-kadang disebut Teraweh, Taraweh, atau Tarwih)


adalah salat sunnah yang dilakukan khusus hanya pada bulan ramadan.
Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari ٌ‫ تَرْ ِو ْي َحة‬yang diartikan
sebagai "waktu sesaat untuk istirahat". Waktu pelaksanaan salat sunnat ini
adalah selepas isya', biasanya dilakukan secara berjamaah di masjid.

Terdapat beberapa praktik tentang jumlah raka'at dan jumlah salam pada
salat Tarawih. Pada masa Nabi Muhammad salat Tarawih hanya dilakukan
tiga atau empat kali saja, tanpa ada satu pun keterangan yang menyebutkan
jumlah raka'atnya. Kemudian salat Tarawih berjamaah dihentikan, karena ada
kekhawatiran akan diwajibkan. Barulah pada zaman khalifah Umar salat
Tarawih dihidupkan kembali dengan berjamaah, dengan jumlah 20 raka'at
dilanjutkan dengan 3 raka'at witir.

Sejak saat itu umat Islam di seluruh dunia menjalankan salat Tarawih tiap
malam-malam bulan Ramadhan dengan 20 raka'at. Empat mazhab yang
berbeda, yaitu mazhab Al-Hanafiyah (8 rakaat), Al-Malikiyah (sebagian 8
atau 20 rakaat), Asy-Syafi'iyah (20 rakaat) serta Al-Hanabilah (sebagian 8
atau 20 rakaat). Sedangkan Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah dari Bani
Umayyah di Damaskus menjalankan salat Tarawih dengan 36 raka'at. Dan
Ibnu Taimiyah menjalankan 40 raka'at.

Mengenai bilangan rakaat Shalat Tarawih, ada beberapa pendapat:

Pendapat Pertama, jumlah rakaat shalat Tarawih sebanyak delapan Rakaat


ditambah witir. Cara melaksanakannya yaitu setiap dua rakaat salam (4 x 2
rakaat), atau setiap empat rakaat salam (2 x 4 rakaat) ditambah dengan witir
tiga rakaat sehingga menjadi sebelas Rakaat. Sebagaimana sesuai dengan
Hadits yang diriwayatkan oleh jamaah dari ‘Aisyah r.a. yang artinya “Bahwa
Nabi SAW. tidak pernah menambah shalat sunnatnya pada waktu malam, baik
dalam Ramadhan maupun lainnya lebih dari sebelas raka’at.

Pendapat kedua, mengatakan bahwa jumlah bilangan rakaat shalat Tarawih


adalah 20 rakaat ditambah witir. Cara melaksanakannya setiap dua rakaat
salam (10 x 2 rakaat). Pendapat kedua ini berdasarkan ijma’ sahabat yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari yang artinya, “Dari Abdurrahman ibnu Abdil
Qari r.a. katanya, “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar
bersama Sayyidina Umar bin Khaththab r.a. menuju masjid. Di dalam masjid
terdapat orang-orang yang sedang mengerjakan shalat secara terpisah-pisah
dan berkelompok-kelompok. Ada yang shalat sendirian, ada pula yang shalat
sedang yang di belakangnya terdapat beberapa orang yang mengikuti
shalatnya. Maka Umar bin Khaththab r.a. berkata, “Aku berpendapat apabila
mereka dikumpulkan menjadi satu, lalu mengikuti seorang qari (imam) tentu
lebih baik”. Kemudian beliau mengumpulkan orang-orang itu agar shalat
mengikuti Ubay bin Ka’ab. Pada malam lainnya, aku keluar lagi bersama
Umar bin Khaththab r.a. menuju ke masjid. Kemudian aku menyaksikan
orang-orang sedang mengerjakan shalat di belakang seorang qari (imam).
Maka Umar bin Khaththab r.a. berkata, “ini adalah bid’ah yang
baik.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari).
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan hadits yang artinya:
“Bahwasanya Nabi SAW. telah keluar pada tengah malam di beberapa malam
bulan Ramadhan, yaitu tiga malam yang terpisah-pisah, malam keduapuluh
tiga, duapuluh lima dan duapuluh tujuh. Umat manusia mengikuti shalatnya
pada malam-malam tersebut. Beliau bersembahyang Tarawih bersama mereka
8 rakaat dan mereka menyempurnakan sisanya di rumah-rumah mereka.
Keadaannya, didengar bagi mereka itu suara berdengung seperti dengung
suara lebah”. (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Perbedaan pendapat menyikapi boleh tidaknya jumlah raka'at yang


mencapai bilangan 20 itu adalah tema klasik yang bahkan bertahan hingga
saat ini, seperti yang dilakukan sebagian besar pengikut Nahdlatul Ulama.
Sedangkan mengenai jumlah salam praktik umum adalah salam tiap dua
raka'at namun ada juga yang salam tiap empat raka'at. Sehingga bila akan
menunaikan Tarawih dalam 8 raka'at maka formasinya adalah salam tiap dua
rakaat dikerjakan empat kali, atau salam tiap empat raka'at dikerjakan dua kali
dan ditutup dengan witir tiga raka'at sebagaimana yang dilakukan sebagian
besar pengikut Muhammadiyah

B. Qunut sholat subuh

ْ berasal dari bahasa arab yang


ُ ْ‫و‬OOُ‫)القُن‬
Secara etimologi kata Qunut (‫ت‬
memiliki beberapa makna, di antaranya berdiri lama, diam, selalu taat, tunduk,
doa dan khusu. Sedangkan secara istilah qunut adalah doa yang dibaca
seorang muslim dalam salat.

Terdapat 3 hukum perbedaan pendapat para ulama

Pendapat pertama: Qunut subuh disunnahkan dibaca secara terus-menerus.


Ulama yang berpendapat demikian adalah Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan
bin Sholih dan Imam Syafi’iy.
Pendapat kedua: Qunut subuh tidak disyariatkan karena
sudah mansukh atau terhapus hukumnya. Ulama yang berpendapat demikian
adalah Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah

Pendapat ketiga: Membaca qunut pada salat subuh tidaklah disyariatkan


kecuali membaca qunut nazilah maka boleh membaca qunut nazilah dalam
salat subuh dan salat lainnya. Ulama yang berpendapat demikian adalah Imam
Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy.

Mazhab Ahmad bin Hanbal menyebutkan kesunnahan qunut Subuh ini


hanya pada momen nazilah, yaitu ketika umat muslim dilanda musibah.
Sedangkan bagi kalangan bermazhab Syafi’i, seperti kebanyakan diamalkan di
Indonesia, membaca doa qunut Subuh termasuk sunnah ab’adl, yang jika
ditinggalkan maka dianjurkan melakukan sujud sahwi

Para ulama kalangan mazhab Syafi’i menyandarkan pendapat perkara


qunut ini salah satunya pada hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik
sebagai berikut:“Rasulullah SAW senantiasa berqunut di shalat fajar (shalat
Subuh) sampai beliau meninggal dunia.”(HR.Ahmad)

C. Bedug

Bedug adalah alat musik tabuh seperti gendang. Bedug merupakan


instrumen musik tradisional yang telah digunakan sejak ribuan tahun lalu,
yang memiliki fungsi sebagai alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan
ritual keagamaan maupun politik. Di Indonesia, sebuah bedug biasa
dibunyikan untuk pemberitahuan mengenai waktu salat atau sembahyang.
Bedug terbuat dari sepotong batang kayu besar atau pohon enau sepanjang
kira-kira satu meter atau lebih. Bagian tengah batang dilubangi sehingga
berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berukuran lebih besar ditutup
dengan kulit binatang yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang.
Bila ditabuh, bedug menimbulkan suara berat, bernada khas, rendah, tetapi
dapat terdengar sampai jarak yang cukup jauh.

Bedug sebenarnya berasal dari India dan Cina. Berdasarkan legenda Cheng


Ho dari Cina, ketika Laksamana Cheng Ho datang ke Semarang, mereka
disambut baik oleh Raja Jawa pada masa itu. Kemudian, ketika Cheng Ho
hendak pergi, dan hendak memberikan hadiah, raja dari Semarang
mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug
dari masjid. Sejak itulah, bedug kemudian menjadi bagian dari masjid, seperti
di negara Cina, Korea dan Jepang, yang memposisikan bedug di kuil-kuil
sebagai alat komunikasi ritual keagamaan. Di Indonesia, sebuah bedug biasa
dibunyikan untuk pemberitahuan mengani waktu salat atau sembahyang. Saat
Orba berkuasa bedug pernah dikeluarkan dari surau dan masjid karena
mengandung unsur-unsur non-Islam. Bedug digantikan oleh pengeras suara.
Hal itu dilakukan oleh kaum Islam modernis, namun warga NU melakukan
perlawanan sehingga sampai sekarang dapat terlihat masih banyak masjid
yang mempertahankan bedug.

Fungsi sosial: bedug berfungsi sebagai alat komunikasi atau petanda


kegiatan masyarakat, mulai dari ibadah, petanda bahaya, hingga petanda
berkumpulnya sebuah komunitas.

Fungsi estetika: bedug berfungsi dalam pengembangan dunia kreatif,


konsep, dan budaya material musikal.

D. Adzan 2 kali sholat jum’at

Adzan shalat pertama kali disyari’atkan oleh Islam adalah pada tahun
pertama Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin
Khathab mengumandangkan adzan untuk shalat Jumat hanya dilakukan sekali
saja. Tetapi di zaman Khalifah Utsman bin Affan RA menambah adzan satu
kali lagi sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jumat menjadi
dua kali. Ijtihad ini beliau lakukan karena melihat manusia sudah mulai
banyak dan tempat tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi
untuk memberi tahu bahwa shalat Jumat hendak dilaksanakan. Dalam kitab
Shahih al-Bukhari dijelaskan:

Dari Sa'ib ia berkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau
berkata, “Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa
Rasulullah SAW, Abu Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk
di atas mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin
sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga.
Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah
hal tersebut (sampai sekarang)". ( Shahih al-Bukhari: 865)

Meskipun adzan tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah


SAW, ternyata ijtihad Sayyidina Utsman RA. tersebut tidak diingkari
(dibantah) oleh para sahabat Nabi SAW yang lain. Itulah yang disebut dengan
“ijma sukuti”, yakni satu kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap
hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Diam berarti setuju
pada keputusan hukumnya. Dalam kitab al-Mawahib al-Ladunniyyah
disebutkan :"Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu
merupakan ijma' sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat
yang lain tidak menentang kebijakan tersebut” (al-Mawahib al Laduniyah,  juz
II,: 249)

Sehingga perbuatan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber
hukum Islam, yakni ijma' para sahabat. Perbedaan ini adalah perbedaan dalam
masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi perbedaan hukum di
kalangan umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jumat satu kali atau dua
kali demi melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla Allah SWT.

E. Khatib Pegang tongkat


Di beberapa masjid kita sering menemukan tongkat di mihrab. Tongkat itu
biasanya digunakan untuk khatib (orang yang berkhutbah), baik khutbah
jumat maupun khutbah-khutbah yang lain.

Fungsi tongkat yang dipegang khatib Jumat selama berada di mimbar


fungsinya adalah untuk membatasi gerak, agar selama membacakan khutbah
tangan khatib tidak bergerak ke sana kemari. Diangkat ke atas, misalnya,
seperti seorang orator ketika berpidato, Karena dengan tangan kiri memegang
tongkat dan satu lagi memegang naskah khutbah, maka posisi kedua tangan
akan tertib dengan tugas masing-masing. Pembacaan khutbah pun akan tenang
dan fokus pula.

Jumhur (mayoritas) ulama fiqh mengatakan bahwa sunnah hukumnya


khatib memegang tongkat dengan tangan kirinya pada saat membaca khutbah.
Dijelaskan oleh Imam Syafi'i di dalam kitab al-Umm: Imam Syafi'i RA
berkata: Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah saw
berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau
berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-
benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan dari
Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwa Rasulullah SAW jika
berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan". (al-
Umm, juz I, hal 272)

Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri shalat


jum'at pada suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka  Beliau berdiri
berpegangan pada sebuah tongkat atau busur".(Sunan Abi Dawud hal. 824).

Apabila muadzin telah selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap


jama' ah dengan wajahnya. Tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan
kedua tangannya memegang pedang yang ditegakkan atau tongkat pendek
serta (tangan yang satunya memegang) mimbar. Supaya dia tidak
mempermainkan kedua tangannya. (Kalau tidak begitu) atau dia menyatukan
tangan yang satu dengan yang lain".

F. Bilal sholat jumat dan tarawih

Bilal atau muroqqi adalah orang yang tugasnya pemberi aba-aba, lebih
tepatnya penyambung suara imam atau seseorang yang meminta perhatian
jama’ah agar menyimak khutbah sekaligus mengatur prosesi khotbah,
Sewaktu hendak dilaksanakan shalat/khotbah dialah (Bilal) yang
menyampaikan kepada jama'ah dengan kata-kata yang khas. Pada hari Jum'at
dapat disaksikan ketika imam akan naik mimbar maka Bilal akan
mendengungkan aba-aba agar jama'ah tenang, mendengarkan khotbah secara
sungguh-sungguh dan bilal sholat jumat dan tarawih adalah sama tapi hanya
berbeda dalam bacaan doa atau tata caranya.

Keterangan lain dalam kitab Nihayatus Zain, Bilal juga diadakan pada
setiap dua rakaat shalat Tarawih Seperti dijelaskan dalam kitab I’anatut
Thalibin, Bilal memanggil jama'ah seperti berlaku dalam shalat-shalat sunnah:
shalat Hari Raya, Tarawih, Witir, dan shalat Gerhana. Biasanya ia memanggil
jama'ah dengan kata-kata "ash-shalah" atau 'Halumma ilash-shaah" (mari
shalat). Dan kurang tepat (makruh) bila memakai kata-kata ”Hayya alash-
shalah”

Mengadakan Muraqqi (Bilal) itu sebenarnya adalah bid'ah atau hal baru,
sebab di zaman Rasulullah hal semacam itu tidak ada. Tetapi ini termasuk
"bid'ah hasanah" (bid'ah yang baik). Sebab membaca ayat-ayat Al-Qur'an itu
bisa mendatangkan gairah dan semangat cinta kepada Rasulullah SAW,
terutama di masa-masa seperti sekarang ini.
G. Shalat Qabliyah dan Ba’diyah jum’at

Di antara yang disunnahkan dalam pelaksanaan Jumat adalah shalat sunnah


qabliyah Jumat, yaitu shalat sunnah sebelum Jumat, biasanya dilakukan
sebelum khatib menyampaikan khutbah. Shalat Qabliyah Jumat hukumnya
sunnah, sebagaimana qabliyah zuhur, demikian pula ba’diyyah Jumat,
disunnahkan sebagaimana sunnahnya ba’diyah zuhur.

Para ulama sepakat bahwa shalat sunnat yang di lakukan setelah shalat
jum'at adalah sunnah dan termasuk rawatib ba'diyah Jum'at. seperti yang di
riwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Bukhari:

”Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda:


”Jika salah seorang di antara kalian shalat Jum’at hendaklah shalat empat
rakaat setelahnya”. (HR. Bukhari dan Muslim). Sedangkan shalat sunnah
sebelum shalat Jum'at terdapat dua kemungkinan. Pertama, shalat sunnah
mutlak, hukumnya sunnah. Waktu pelaksanannya berakhir pada saat imam
memulai khutbah. Kedua, shalat sunnah qabliyyah Jum'at. Para ulama berbeda
pendapat tentang shalat sunnah qabliyyah Jum’at. Pertama, shalat qabliyyah
Jum’ah dianjurkan untuk dilaksanakan (sunnah). Pendapat ini di kemukakan
oleh Imam Abu Hanifah, Syafi'iyyah (menurut pendapat yang dalilnya lebih
tegas) dan pendapat Hanabilah dalam riwayat yang tidak masyhur. Kedua,
shalat qabliyyah Jum’at tidak disunnahkan menurut pendapat Imam Malik,
sebagian Hanabilah dalam riwayat yang masyhur

Adapun dalil yang menyatakan dianjurkannya shalat sunnah qabliyah


Jum'at: Hadist Rasulullah SAW

"Semua shalat fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua
rakaat". (HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shahih dari hadist Abdullah bin
Zubair).
Hadist ini secara umum menerangkan adanya shalat sunnah qabliyah tanpa
terkecuali shalat Jum'at.

Hadist Rasulullah SAW

"Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. berkata: Sulayk al Ghathafani datang


(ke masjid), sedangkan Rasulullah saw sedang berkhutbah. Lalu Nabi SAW
bertanya: Apakah kamu sudah shalat sebelum datang ke sini? Sulayk
menjawab: Belum. Nabi SAW bersabda: Shalatlah dua raka’at dan ringankan
saja (jangan membaca surat panjang-panjang)” (Sunan Ibn Majah: 1104).

2.2 Amaliyah dan Budaya NU Puasa Sunnah

A. Rukyah dan Hisab

Hisab menurut bahasa berarti hitungan, perhitungan, arithmetic (ilmu


hitung), reckoning (perhitungan), calculus (hitung), computation
(perhitungan), estimation (penilaian, perhitungan), appraisal (penaksiran).

Sementara menurut istilah, hisab adalah perhitungan benda-benda langit


untuk mengetahui kedudukannya pada suatu saat yang diinginkan. Apabila
hisab ini dalam penggunaannya dikhususkan pada hisab waktu atau hisab
awal bulan maka yang dimaksudkan adalah menentukan kedudukan matahari
atau bulan sehingga diketahui kedudukan matahari dan bulan tersebut pada
bola langit pada saat-saat tertentu.

Rukyat  menurut bahasa berasal dari kata ra’a, yara, ra’yan, wa ru’yatan
yang bermakna melihat, mengerti, menyangka, menduga dan mengira,
memperhatikan/melihat dan discern (melihat). Dalam khazanah fiqh, kata
rukyat lazim disertai dengan kata hilal sehingga menjadi rukyatul hilal yang
berarti melihat hilal (bulan baru). Rukyatul hilal ini berkaitan erat dengan
masalah ibadah terutama ibadah puasa.
Rukyat menurut istilah adalah melihat hilal pada saat matahari terbenam
tanggal 29 bulan Qamariyah. Kalau hilal berhasil dirukyat maka sejak
matahari terbenam tersebut sudah dihitung bulan baru, kalau tidak terlihat
maka malam itu dan keesokan harinya masih merupakan bulan yang berjalan
dengan digenapkan (diistikmalkan) menjadi 30 hari.

Dalam menentukan awal bulan Qamariyah yang ada hubungannya dengan


ibadah, Nahdhatul Ulama berpegang pada beberapa hadits yang berhubungan
dengan rukyat. Di samping hadits, Nahdhatul Ulama juga berpegang pada
pendapat para ulama yaitu para Imam Mazhab selain Hambali, dimana imam
mazhab tersebut menyebutkan bahwa awal Ramadhan dan Syawwal
ditetapkan berdasarkan ru’yah al-hilãl dan dengan istikmal. Penetapan ini
diambil berdasarkan alasan-alasan syar’i yang dipandang kuat untuk dijadikan
pedoman peribadatan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dasar Hukum Hadis Menurut riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim

Artinya: Meriwayatkan kepada kami Adam, dari Su‟bah, dari Muhammad


bin Ziyad berkata, saya mendengar Abi Hurairah r.a. berkta, bahwa
Rasulullah Saw bersabda: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan
berbukalah kamu karena melihat hilal. Bila hilal tertutup debu atasmu maka
sempurnakanlah bilangan Sya‟ban tiga puluh hari”. (Muttafaq Alaih)

B. Puasa Rajab

Rajab adalah bulan ke tujuh dari penggalan Islam qomariyah (hijriyah)


Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram, artinya bulan yang
dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat  bulan haram, ketiganya
secara berurutan  adalah: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan
yang tersendiri,  Rajab.

Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam


dilarang mengadakan peperangan. Tentang bulan-bulan  ini, Al-Qur’an
menjelaskan: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas
bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka
janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi
kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang
bertakwa.”

Hukum dari puasa rajab adalah Sunnah, yakni apabila dilakukan kita akan
mendapatkan pahala yang besar dan apabila tidak dilakukan maka kita tidak
mendapat dosa.

"Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa
selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka
Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila
puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan."

C. Puasa tarwiyah dan arofah

Di antara bulan yang sangat diistimewakan dalam Islam adalah bulan


Dzulhijjah atau di kalangan masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan bulan
haji. Hal ini karena pada bulan ini dilaksanakan ibadah haji di Arab Saudi.

Bulan Dzulhijjah ini termasuk di antara asyhurul hurum atau bulan-bulan


yang diagungkan oleh Allah. Secara keseluruhan, ada empat bulan yang
disebut dengan asyhurul hurum dalam Islam, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah,
Muharram dan Rajab. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim
disebutkan bahwa Nabi Saw bersabada;

“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di


waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas
bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-
turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah
yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat di antara bulan Jumada Akhirah dan
Sya’ban.” 

Puasa adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah, yakni
tanggal 9 Dzulhijah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi orang-orang yang tidak
menjalankan ibadah haji. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa-
puasa lainnya

Keutamaan puasa Arafah ini bisa disimak antara lain dalam hadits yang
diriwayatkan Abu Qatadah rahimahullah,Rasulullah bersabda:

"Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan
akan datang, dan puasa Asyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa
setahun yang lepas" (HR Muslim).

puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah, yakni pada tanggal 8


Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang artinya bahwa puasa
pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari
Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan hadits ini dhaif (kurang
kuat riwayatnya) tapi para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang
dhaif dalam kerangka fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan
hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.

Lagi pula hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari


yang istimewa. Abnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:

"Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah, daripada perbuatan
baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para
sahabat bertanya : 'Ya Rasulullah, walaupun jihad di jalan Allah? Sabda
Rasulullah, 'Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar
dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian kembali tanpa membawa apa-
apa." (HR Bukhari)

D. Qadha puasa mayat

Ibadah puasa merupakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah SWT


kepada seluruh umat Islam. Orang-orang yang telah memenuhi syarat, wajib
melaksanakannya. Jika pada satu saat orang tersebut tidak berpuasa, baik
karena ada udzur ataupun tidak, ia berkewajiban mengganti puasa yang
ditinggal tersebut pada lain hari, walaupun meninggal dunia wajib di
bebankan puasanya kepada keluarga atau kerabat terdekat kecuali jika orang
yang tidak memiliki kesempatan untuk mengqodho’ lalu meninggal dunia,
maka tidak ada perintah qodho’ bagi ahli waris, tidak ada kewajiban fidyah
dan juga tidak ada dosa.

Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Barangsiapa memiliki utang puasa


ketika meninggal dunia, hendaklah dilunasi dengan cara memberi makan
(kepada orang miskin), satu hari tidak puasa dibayar dengan satu mud.”

Satu mud yang disebutkan di atas adalah 1/4 sho’. Di mana satu sho’
adalah ukuran yang biasa dipakai untuk membayar zakat fithri. Satu sho’
sekitar 2,5-3,0 kg seperti yang kita setorkan saat bayar zakat fithri.

Yang lebih utama dari fidyah (memberi makan kepada orang miskin)
adalah dengan membayar utang puasa dengan berpuasa yang dilakukan oleh
kerabat dekat atau orang yang diizinkan atau ahli waris si mayit. Dalil yang
mendukung hal ini hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa,


maka keluarga dekatnya (walau bukan ahli waris) yang mempuasakan
dirinya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147).
Begitu pula hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
“Ada seseorang pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas ia berkata,

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan ia


masih memiliki utang puasa sebulan. Apakah aku harus membayarkan qodho’
puasanya atas nama dirinya?” Beliau lantas bersabda, “Seandainya ibumu
memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?” “Iya”, jawabnya. Beliau
lalu bersabda, “Utang Allah lebih berhak untuk dilunasi.” (HR. Bukhari no.
1953 dan Muslim no. 1148).”

orang yang punya utang puasa dan terlanjur meninggal dunia sebelum
utangnya dilunasi, maka bisa ditempuh dua cara:

1. membayar utang puasa dengan kerabatnya melakukan puasa,


2. menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin.

Adapun bentuk memberikan fidyah, bisa dengan makanan siap saji dengan
memberi satu bungkus makanan bagi satu hari tidak puasa, bisa pula dengan
ketentuan satu mud yang disebutkan oleh Abu Syuja’
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari kesimpulan makalah , bahwa tradisi dan budaya :
1. Tradisi memiliki arti adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan
dimasyarakat dengan anggapan tersebut bahwa cara-cara yang ada merupakan
yang paling baik dan benar.
2. Budaya memiliki arti sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar untuk
dirubah.
3. NU memiliki arti Jam’iyyah Diniyah yang berhaluan Ahlussunnah Wal
Jama’ah yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau bertepatan pada
tanggal 31 Januari 1926 M di Surabaya yang bergerak dibidang ekonomi,
pendidikan, dan sosial.
4. Latar belakang yang membuat tradisi dan budaya di Indonesia adalah berasal
dari Hindu-Budha yang ada sejak dahulu dari budaya Jawa.
5. Tradisi dan budaya yang ada di Indonesia yaitu: tahlilan, membaca shalawat,
suwuk atau mantra, acara tujuh bulanan, dan lain-lain.
6. Menurut pandangan NU bahwa tradisi dan budaya yang ada adalah bid’ah
Hasanah yaitu sesuatu yang baik.
3.2 Saran
Melalui makalah ini kami ingin menyampaikan saran kepada pembaca
khususnya kepada mahasiswa agar dapat memahami materi mengenai Amaliyah
dan Budaya NU
DAFTAR PUSTAKA

https://muslim.or.id/17096-fikih-puasa-8-masih-memiliki-utang-puasa-ketika-
meninggal-dunia

http://mutiary.wordpress.com/2010/12/01/metode-hisab-dan-metode-rukyat/

https://islam.nu.or.id/post/read/12161/shalat-sunnah-qabliyah-dan-badiyah-jumat

https://islam.nu.or.id/post/read/17910/tugas-seorang-bilal

https://islam.nu.or.id/post/read/12025/anjuran-memegang-tongkat-saat-khutbah

https://islam.nu.or.id/post/read/37964/puasa-bulan-rajab

Ma’shum, Ali. Tt. Hujjah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Jawa Tengah: Ibnu


Mayshud..

Anda mungkin juga menyukai