Anda di halaman 1dari 31

MENGQADA SHALATNYA ORANG YANG TELAH MENINGGAL DUNIA

Terkait dengan masalah ini ada tiga pendapat yang berbeda. Baik yang cenderung mengatakan tidak
sampainya pahala kepada orang yang sudah wafat, atau yang mengatakan sampai atau yang
memilah antara keduanya.
Pendapat Pertama: Tidak boleh menggantikan / mengqada shalatnya orang yang sudah meninggal.
Dalam salah satu qaidah fiqh dikatakan :
"la niyaabata fil-'ibaadah al-badaniyah al-mahdlah" tidak boleh mengganti dalam ibadah yang murni
fisik.
Sholat adalah ibadah fisik maka tidak boleh digantikan oleh orang lain meskipun setelah meninggal.
Sholat adalah fardlu 'ain, yaitu fardlu yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim dan tidak diterima
pengganti atau wakil karena itu hak Allah terhadap hambaNya. Tidak ada udzur apapun yang bisa
menjustifikasi seseorang meninggalkan sholat sejauh dia sadar dan mempunyai akal. Mereka yang
tidak mampu melaksanakan sholat berdiri, harus melaksanakannya sambil duduk, yang tidak bisa
duduk harus melaksanakannya sambil tiduran dan bahkan sambil berkedip mata untuk melaksanakan
sholat. Sholat adalah sarana komunikasi spiritual dan dialog batin antara hamba dan tuhannya,
bagaimana mungkin digantikan oleh orang lain.
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sholat tidak boleh digantikan oleh orang lain antara lain:
1. Firman Allah: { } 39 :
"Dan tidak ada bagi seorang manusia, kecuali apa yang diamalkannya". Allah hanya menerima
sholat untuk dirinya sendiri.
2. Hadis Nabi:
.
"Bila seorang hamba meninggal, maka putuslah semua amalnya kecuali dari tiga perkara, yaitu
sedekah yang mengalir, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakannya" ( H.R. Muslim).
3. Selain qaidah fikih yang telah disebutkan di atas, ada juga qaidah fikih lain mengatakan "Semua
fardlu 'ain, pada dasarnya tidak boleh digantikan oleh orang lain, kecuali ada dalil dan nash eksplisit
yang memperbolehkannya seperti puasa, zakat dan dan haji."

4. Uraian lain membedakan antara ibadah Badaniyah dan Maliyah, bahwa Ibadah Maliyah Sampai
dan Ibadah Badaniyah Tidak Sampai. Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji, bila
diniatkan untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal akan sampai kepada mayyit.
Sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alquran tidak sampai. Pendapat ini
merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafii dan pendapat Madzhab Malik.
Mereka berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa
digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah
tersebut untuk menggantikan orang lain.
Pendatapat Kedua: mengkiaskan masalah ini dengan masalah mengirim doa kepada orang yang
sudah meninggal.
Beberapa ulama dari Tabi'in membolehkan penggantian sholat untuk orang yang telah meninggal.
Sholat untuk mayit diqiyaskan (disamakan hukumnya) dengan do'a, sedekah dan haji yang
diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil yang kuat
Dalil-dalil yang dijadikan landasan pendapat ini adalah:
Sabda Rasulullah SAW:
.

.


Dari shahabat Ibnu Abbas r.a. berkata: Datang seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Yaa Rasulullah
sesungguhnya ibu saya meninggal dan ia mempunyai tanggungan puasa satu bulan (puasa
Ramadhan), apakah saya bayar puasa untuk dia? Rasulullah menjawab: seandainya ibumu
mempunyai hutang apakah kau bayar hutang ibumu? Orang tadi menjawab; yaa Rasulullah;
bersabda Rasulullah; maka hutang Allah lebih berhak untuk dibayar. (HR Muslim)
Hadits Nabi SAW yang lain:

, , :

Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi, kemudian ia berkata: saya mempunyai dua orang tua
yang saya berbakti kepada keduanya di masa hidupnya, maka bagaimana bakti saya kepada kedua
orang tua setelah meninggal? Bersabda Rasulullah: sesungguhnya termasuk bakti kepada kedua
orang tua setelah meninggal hendaknya kau shalat untuk keduanya bersama shalatmu dan berpuasa
untuk keduanya bersama puasamu. (HR Darul Quthni).
Rasulullah SAW bersabda :




,


Dari shahabat Ibnu Abbas r.a. berkata: datang seorang perempuan dari Khatsam kepada Nabi pada
tahun haji wada, kemudian perempuan tadi berkata; Ya Rasulullah sesungguhnya kewajiban haji
telah sampai kepada ayahku ketika beliau sudah tua, beliau tidak dapat naik kendaraan. Apakah
diqadla untuknya agar saya haji uantuk orang tua saya? Rasulullah menjawab: ya. Dalam riwayat lain
Rasulullah bersabda, bagaimana pendapatmu seandainya ayahmu mempunyai hutang? Apakah kau
bayar hutang ayahmu? Ia berkata: ya Rasulallah saya bayar. Bersabda Rasulullah; hutang kepada
Allah lebih berhak untuk dibayar.

Hadits lain dari Ibnu Abbas r.a. Rasulullah SAW bersabda:


:
.
Dari shahabat Ibnu Abbas r.a.; bahwa seorang wanita dari golongan Juhainah datang kepada Nabi
SAW kemudian berkata; bahwa ibu saya bernadhar untuk haji dan dia belum haji sampai mati,
apakah saya bisa menghajikan untuk ibu saya? Rasulullah menjawab: yaa. (HR Bukhari dan Nasai)
Diposkan oleh islamic di 20.26

Reaksi:

1 komentar:
1.
hansSenin, 22 November 2010 15.41.00 GMT-8
Masalahnya adalah .. Apakah ada diantara para Sahabat NABI yang pernah
mengQODO SHOLaTNYA orang yg telah meninggal karana selama sakit ia tidak
SHOLAT
????
Kalau

sekiranya

ada

coba

Sebutkan

......

Kalau Tidak ADA berarti itu adalah Ibadah yang dibuat belakangan ..yang tidak ada
Contojh
Tauladannya.
QApalagi Perkembangan Terakhir .... sangat mengerikan ..ketika sesorang misalnya
selama sakit 100 hari tidak sholat ..maka setelah meninggal DUnia di Qodho
sholatnyua rame-rame .... dan mereka yg mengqodo sholatnya mendapatkan
bayaran
.....
Akhirnya

Menjadi

bentuk

penghasilanj

baru

...

Luar Biasa Mengerikan .... saya Kira malah Tambah RUSAK agama ini dengan

ibadah-ibadah ..BIKIn-BIKINAN yang tidak ada Contohnya dari Nabi maupun para
Sahabat.
Balas

MENGQODLO SHALAT ORANG YANG SUDAH


MENINGGAL
Posted by Al-Wasath Abina on Saturday, May 16, 2009 with No comments
Seorang yang sudah meninggal (mayit) meninggalkan hutang sholat fardu. Apakah anaknya atau ahli
warisnya boleh mengqodlo hutang shalat fardu tersebut? Dan bagaimana kalau itu adalah wasiat?
Abdullah, Sampang.
Jawaban:
Ibadah shalat adalah kewajiban individu yang harus dipelihara pada kondisi apapun selama kita
masih hidup baik sewaktu di rumah, berpergian, waktu aman, maupun waktu tidak aman seperti
peperangan. Hanya saja teknis pelaksanaannya ditetapkan berbeda-beda sesuai dengan situasi
kondisi. Bisa di atas kendaraan. Jika tidak dapat berdiri, boleh duduk. Tidak bisa duduk, dapat dengan
berbaring. Tidak bisa berbaring, boleh dengan tidur telentang, berikutnyaa boleh dengan isyarat tubut
atau dengan isyarat mata. Walhasil dalam kondisi apapun shalat sekali-kali tidak boleh ditelantarkan
karena waktu-waktu shalat telah ditetapkan dengan jelas. Menelantarkan shalat setidak-tidaknya
mengindikasikan dilakukannya sikap dan perilaku laksana sikap dan perilaku orang-orang yang kafir.
Allah taala berfirman yang artinya:

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah
(dalam shalatmu) dengan khusyu'. Jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka
Shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka
sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang
belum kamu ketahui.
Atas dasar ini para ulama sepakat orang yang meninggal dunia dan memiliki tanggungan
hutang shalat fardu yang belum ditunaikan maka kerabat dekatnya dan juga orang lain
tidak boleh melakukan shalat dalam rangka menebus atau mengganti shalat mayit yang
dihutang tersebut. Tidak bisa pula menebus dan menggantinya dengan memberi makan
(fidyah) kepada orang-orang miskin. Karena sekali lagi shalat fardu adalah ibadah
individual yang pelaksanaannya tidak bisa digantikan oleh orang lain. Meski pun melalui
kekuatan wasiat. Karena wasiat tidak wajib dilestarikan pada hal yang tidak ada
tuntunannya.
Sahabat Ibnu Abbas berkata yang artinya:
Seseorang tidak boleh shalat dalam rangka menggantikan shalat orang lain.(Arruh,
Ibnul Qayyim, hal. 169).
Hal ini berbeda dengan puasa Ramadhan. Bila mayit memiliki hutang puasa sebab udzur
tertentu, menurut Imam Ahmad dan sebagian Syafiiyah, wali atau famili terdekat bisa

menebus dan mengganti puasanya. Sedang menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Ats Tsauri, dan sebagian Syafiiyah, kerabat dekat tidak usah menggantinya
dengan puasa, namun cukup menebusnya dengan membayar fidyah. (Ahkmus Shiyam:
77 dan Al Fiqh Al Islam: 682).
Demikian itu berdasarkan riwayat yang artinya:
Barangsiapa mati meninggalkan puasa, hendaklah walinya berpuasa sebagai
gantinya. (HR. Bukhari Muslim).
Pada riwayat lain yang artinya:
Seseorang tidak boleh puasa dalam rangka menggantikan puasa orang lain. Tetapi dia
memberikan makan satu mud gandum sehari. (Arruh, Ibnul Qayyim, hal. 169).
Meskipun kerabat dekat tidak diperkenankan mengganti tanggungan shalat fardu mayit
yang ditinggalkan, namun mereka agaknya bisa mendoakan semoga dosa-dosa ayahnya
atau yang lain akibat meninggalkan shalat fardu diampuni oleh Allah taala. Tidak ada
doa yang baik sebaik doa anak kepada orang tuanya.[]

Mengganti SHALAT Yang Ditinggalkan


Fiqih Keseharian seri ke-29
Oleh KH. A. Mustofa Bisri
Tanya:

Mau tanya Pak Kyai:


1.
Orang sakit keracunan dibawa ke rumah sakit, tiga hari tiga malam
tidak sadar, lalu meninggal dunia. Jadi dalam tiga hari tiga malam itu
dia tidak mengerjakan shalat. Ahli warisnya ingin menggantinya
dengan beras yang akan diberikan kepada orang-orang mikin. Bisakah
itu diterima dalam hukum Islam?
2.
Hampir sama dengan di atas, hanya saja si sakit itu misalnya
sembuh (tidak meninggal seperti kasus di atas). Bisakah dia mengqada halat yang ditinggalkannya itu?
Mohon penjelasan dan terima kasih.
Moch. S
Kendal
Jawab:

Karena hampir sama, baiklah kedua pertanyaan Anda akan saya jawab
"bersama-sama".
Pertama,

Anda mengatakan bahwa si sakit dalam tiga hari tiga malam


tidak sadar, lalu meninggal. Jadi sebenarnya, dalam tiga hari tiga malam
itu, dia tidak kewajiban shalat. Sebab salah satu syarat wajib shalat
adalah sadar. Demikian menurut para ahli hukum Islam (fiqih)
berdasarkan antara lain hadis:

"Yang terlepas drai hukum ada tiga macam: 1)Anak-anak sampai baligh; 2)Orang tidur
sampai ia bangun; 3)orang gila sampai ia sadar" (HR. Abu Daqud dan Ibn Majah)

Seandainya si sakit tidak meninggal, seperti dalam pertanyaan Anda yang


kedua, menurut jumhur ulama fiqih, dia harus meng-qada-nya. (Lebih
lanjut lihatBidayah al-Mujtahid Jilid I, hal. 182 dan Ensiklopedi Ijmak hal. 529).
Ini berdasarkan beberapa hadis yang manyatakan bahwa orang
yangketiduran sampai meninggalkan shalat harus meng-qada-nya setelah
bangun.
Nah, barangkali dari uraian singkat di atas, Anda sudah mendapatkan
gambaran mengenai kewajiban atau tanggungan shalat seorang hamba.
Akan halnya ahlis waris yang ingin mengganti "tanggungan" shalat
almarhum dengan beras, tentunya lantara rasa sayang dan kehati-hatian
mereka dengan keselamatan "yang pergi", lalu "menganalogikan" dengan
orang yang meninggal dan mempuanyai puasa. Kan Nabi Saw. menyuruh
wali atau warisnya suapay meng-qada-kan. Bahkan menurut hadis Ibn
Abbas dari Imam Muslim, jelas-jelas Rasulullah menyamakan puasa yang
ditinggalkan orang yang meninggalkan itu seperti utang yang dengan
demikian harus dibayar juga oleh warisnya. Bacalah hadis yang
diceritakan Ibn Abbas ini"
"Sesungguhnya seorang perempuan telah bertanya kepada Rasulullah Saw.: 'Ya
Rasulullah, Ibu saya telah meninggal dunia sedangkan ia masih mempunyai tanggungan
puasa nazar yang belum ditunaikannya; apakah saya boleh menggantikannya?'
Rasulullah Saw. pun menjawab: 'Katakanlah kepadaku, seandainya ibumu itu
mempunyai utang, kemudian engkau bayar utangnya itu, adakah terbayar utang ibumu
itu?' 'Ya;' jawab si perempuan itu. Rasulullah Saw. pun bersabda: 'Berpuasalah engkau
untuk ibumu.'" (HR Muslim)

Sebenarnya penalaran ini tidak berlebih-lebihan; puasa adalah kewajiban,


shalat juga kewajiban; jika puasa bisa bahkan harus "dibayar", shalat
juga demikian.
Namun masalah dalam hukum fiqih tentu tidak sesederhana itu. Apalagi
yang Anda tanyakan bukan meng-qada shalat, tetapi mengganti beras
oleh ahli waris.
Yang dimaksud dengan "mengganti beras" tentunya: fidyah. Fidyah adalah
semacam tebusan yang dalam kaitannya dengan puasa, dijadikan
semacam pengganti puasa bagi mereka yang tidak kuat melakukannya,
berupa memberi makan orang-orang miskin. Sebagaiman firman Allah:
"(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi
makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,

maka itu lah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui." (QS. 2. Al-Baqarah: 184)

Atau dalam kaitan ibadah haji, berupa puasa, sedekah, atau nusuk,
sebagai tebusan terhadap pelanggaran amalan haji (mencukur rambut
sebelum saatnya). Firman Allah Swt:
"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung
(terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah
didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai ke tempat
penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya
(lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah
atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin
mengerjakan 'Umrah sebelum Haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah ia menyembelih)
korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau
tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi)
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di
sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan
bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya."(QS. 2.
Al-Baqarah: 196)

Sedangkan memberi makan orang-orang miskin untuk mengganti shalat


yang ditinggalkan, saya sendiri terus terang, belum pernah menemukan
dalil atau nashnya.
Wallaahu A'lam

1.
Hukum meng-qada> salat orang meninggal.
Dalam ranah Fikih, bukanlah merupakan hal baru perbeadaan pandangan yang
terjadi dikalangan para fuqaha>. Pada bab dua penulis telah mengetengahkan
sebab-sebab yang mendasari perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama ahli
Fikih. Dari berbagai pendapat dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perbedaanperbedaan tersebut dilandasi hal-hal yang mempunyai esensi yang sama.
Kasus meng-qada> salat orang yang telah meninggal merupakan sebuah
permasalahan yang kontroversial di kalangan fuqaha>. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya perdebatan dan perbedaan pandangan ulama ahli fikih yang terekam
dalam berbagai buku fikih, baik fikih madhab maupun fikih perbandingan.
Maka dalam kasus meng-qada> salat orang meninggal, para fuqaha> terbagi dalam
tiga golongan dengan argument dan dalilnya masing-masing. Pendapat tersebut
adalah:

Setuju dan memperbolehkan. Pendapat ini merupakan perkataan Imam


Sha>fiI dalam qawl al-qadi>m, Subramulsi, ibnu al-Subki>, Ibnu Burha>n, alMuh}ib al-T}abha>ri>, dan Ibnu H}ajar al-Haita>mi>.

Tidak memperbolehkan, tetapi mengganti salat dengan fidyah. Pendapat ini


merupakan pandangan sebagian besar fuqaha> Hanafiyah.
Memandang salat sebagai ibadah badaniyah yang tidak dapat diwakilkan dan

dig anti dengan apapun. Ini adalah pendapat jumhur Fuqaha> dari Malikiyah,
Hanabilah, Sha>fiI dalam qawl jadi>d, al-Mawardi, serta beberapa Fuqaha>
kontemporer seperti Wah}bah Zuh}ayli, dan Abd al-Azi>z Bin Ba>z.
Adapun argument yang dijadikan landasan berbagai pendapat tersebut adalah
sebagai berikut:
Pendapat yang membolehkan meng-qada>salat orang meninggal:
Golongan pertama menyatakan bahwa seseorang yang meninggal dunia dengan
meninggalkan salat fardu, maka ahli waris harus membayarnya dengan cara mengqada>semua salat yang telah ditinggalkan oleh almarhum. Sebagian fuqaha> yang
mendukung pendapat ini mengemukakan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas
RA:





[106]]
Barangsiapa lupa sembahyang maka hendaklah dilakukannya apabila sudah
teringat, dan tidak ada penebusan untuk itu kecuali melakukan sembahyang (firman
Allah) : dirikan sembahyang untuk mengingat Aku
1.

Maksud hadis:
Bagi siapa saja yang meninggalkan salat maktubah, maka tidak ada kewajiban atas
dirinya selama masih hidup kecuali meng-qadanya, dan apabila telah meninggal
maka menjadi kewajiban ahli waris untuk meng-qada>kannya.
}Pendapat ini dapat di temukan dalam beberapa kitab Fikih klasik sebagai berikut:

Tabi>r dalam Nihayat al-zain juz 1, hal:168:





]
: .
: ]
.
[107] :

Barangsiapa meninggal dan meninggalkan salat atau Itikaf, tidak wajib digantikan
salatnya atau di bayarkan fidyah karena tidak ada dalil dari al-Quran dan sunnah.
Tetapi disunnahkan seperti yang di kemukakan oleh Shubra>mulsi. Yaitu apabila
seseorang ber nadzar untuk melaksanakan Itikaf dalam keadaan puasa, maka
diperbolehkan bagi kerabat untuk menggantikannya, apabila tidak demikian, maka
hutang tersebut akan terus menjadi tanggungan almarhum. Begitu juga dua rakaat
t}awwa>f orang yang telah meninggal, boleh digantikan oleh wali diqiyaskan pada
haji.

Dalam fath}u al-Mui>n juz 2 hal:45 disebutkan:

( ) ] .

. .
: . : :]
[108]
(Faedah) Barang siapa meninggal dunia dan meninggalkan hutang salat, maka tidak
wajib qada> dan tidak wajib fidyah. Dan dalam sebuah perkataan dalam madhab
ShafiI (yaitu menurut para mujtahid madhab) bahwa baginya qada> berlandaskan
khabar Bukha>ri> dan lainnya, maka dari itu pendapat ini dipilih oleh banyak imam
dari madhab kami (Shafiiyah). Imam Subki> pernah melaksanakannya pada
beberapa kerabatnya. Dan di nukil dari Ibnu Burha>n dari qawl qadim, bahwa wali
berkewajiban (apabila almarhum meninggalkan harta warisan) digantikan salatnya
seperti halnya puasa. Dan dalam pendapat lain disebutkan bahwa untuk satu salat
yang ditinggalkan digantikan dengan satu mud. Berkata al-Muh}ib al-T}aba>ri>:
segala ibadah yang diwakilkan pada wali ataupun kerabat baik yang wajib maupun
yang mandub akan tersampaikan pahalanya kepada almarhum. Dan dalam sharh}
al-Mukhta>r dikatakan bahwa menurut madhab Ahli Sunnah seseorang dapat
mengirimkan pahala amalnya termasuk salat kepada orang lain.

Dalam tuh}fat al-muhta>j vol.3. hal.171:


. ( ) ( )
] : ) (
: ]



[109].
(Apabila seseorang meninggal dengan hutang salat atau Itikaf, maka tidak wajib
di-qada> ataupun diganti dengan fidyah) karena tidak ada nas} yang

menerangkan hal tesebut. Tetapi dalam maslah Itikaf terdapat qawl yang
membolehkan, begitu juga dengan salat. Bahwasanya Itikaf maupun salat wajib
dilaksanakan oleh ahli waris baik terdapat wasiat maupun tidak dari almarhum.
Ini adalah yang di ceritakan oleh al-Uba>di> dari Sha>fiI dan lainnya.

Dalam kitab Ia>nat al-T}a>libi>n disebutkan:


: ( ] ) . : ( ] .
. ]
: ] :
) . : ( ] .
: ] ]
) . :( ] . : .
) : ] ( : ) . : ( ]
) . : ( ] .
: : .) . :
( ] : : .
: . . :
: :
. .) . :
( : : .
: :

. . ) . :( ]
. ][110
)Perkataan pengarang: (Barang siapa meninggal dan membawa hutang salat
ataupun Itikaf. (Dan perkataan pengarang: maka tidak di-qada> dan tidak diganti
dengan fidyah), karena tidak ada nas} yang menerangkannya. Kecuali dua rakaat
T}awwaf maka dapat dilakukan oleh orang lain dengan dibayar, karena mengikuti
haji. Apabila seorang bernadzar untuk beritikaf ketika puasa, maka Baghawi berkata
dalam al-Tahdzi>b: ,menurutku Itikaf tidak dapat dipisah dari puasa (as}ah}) maka
menurutku juga seorang wali meng-qada>kan puasa dan meng-qada>kan Itikaf
almarhum dalam puasa tersebut, meskipun Itikaf dalam kondisi tersebut tidak
berpahala. (Perkataan pengarang: dan dalam sebuah pendapat dari beberapa
mujtahid: ungkapan dari kitab Fath}u al-Jawwa>d: bahwa salat yang ditinggalkan
oleh almarhum menurut para mujtahit harus di-qada> menurut khabar dari
Bukhari dan yang lainnya.
Dari beberapa keterangan diatas dapat disimpulkan hal-hal yang membolehkan
untuk meng-qada> salat orang yang telah meninggal. Antara lain sebagai berikut:

1.

Pernyataan Subra>mulsi bahwa sunnah hukumnya meng-qada> salat


kerabat yang telah meninggal dan di-qiyas-kan kepada nadzar untuk ber-Itika>f
pada saat berpuasa maka diperbolehkan bagi wali dan kerabatnya untuk
melaksanakan nadzar tersebut, apabila tidak demikian maka nadhar tersebut
masih menjadi tanggungan almarhum.
Subra>mulsi juga berpandangan bahwa hal meng-qada> salat orang yang telah
meninggal dapat di-qiyaskan pada 2 rakaat t}awaf yang mengikuti ritual pada Haji
amanah.[111]
1.
Imam Sha>fiI dalam Qawl Qa>dim-nya mengatakan bahwa bagi apabila
almarhum meninggalkan harta warisan, maka wali harus membayarkan salat
almarhum dengan meng-qada> salat-salat yang ditinggalkan oleh almarhum
dengan menggunakan harta warisan tersebut[112], diqiyaskan pada puasa.
2.
Al-Uba>dy> meriwayatkan dari Imam al-Sha>fiI bahwa para
peneliti mutaakhiri>ndari madhab Sha>fiI berpendapat bahwa salat almarhum
dapat di-qada> oleh wali atau kerabat, baik terdapat wasiat maupun tidak.
3.
Menurut al-Muhib al-T}aba>ri> dan Ibnu H}ajar al-Haita>mi>: bahwa segala
amalan yang ditujukan kepada kerabat yang telah meninggal, baik itu berwujud
ibadah sunnah maupun wajib, tetap sampai pahalanya kepada almarhum.
4.
Ibnu Abi As}ru>n, Ibnu Daqi>q al-I>>d, dan Ibnu al-Subki juga memilih
pendapat ini, bahkan dikatakan bahwa Ibnu al-Subki meng-qada> salat yang
ditinggalkan oleh kerabatnya yang telah meninggal.[113]
2.
Muna>qashah Dalil
Hadis Anas menyebutkan bahwa tidak ada kafa>rah bagi orang yang lupa
mengerjakan salat kecuali dia harus mengerjakan salat tersebut diluar waktu yang
telah ditentukan (qada>). Ini hanya berlaku apabila orang tersebut masih hidup,
sedangkan bila seorang mukallaf tersebut telah meninggal dunia, maka terputus
sudah segala amalannya di dunia. Dalam hal ini terdapat pengecualian, yakni ibadah
Haji. Dalam sebuah hadis diriwayatkan sebagai berikut:


[114]

Dari Abdullah Bin Buraydah dari ayahnya berkata: datang seorang perempuan
kepada Rasulullah SAW dan berkata: sesungguhnya ibu telah meninggal dunia dan
belum berhaji, bolehkah aku menghajikannya? Rasul berkata: ya hajikanlah ibumu.
Dan ini adalah hadis sahih.
Maka pada praktek ibadah salat tidak ditemukan hadis serupa yang menerangkan
pembolehan ahli waris untuk membayarkan salat almarhum dengan mengqada>nya. Akan tetapi berlaku hadis nabi yang berbunyi:






[115]

Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW berkata: apabila seseorang
meninggal dunia maka terputus darinya seluruh amalannya kecuali tiga perkara:
sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak soleh.
Jadi salat yang dikerjakan oleh ahli waris atau wali yang masih hidup bagi
kerabatnya yang telah meninggal tidak sampai pahalanya sesuai dengan pengertian
hadis diatas sekaligus membantah pengertian hadis Anas diatas.
Kemudian pernyataan Subra>mulsi yang berpendapat bahwa sunnah hukumnya
meng-qada>kan salat yang ditinggalkan oleh kerabat yang telah meninggal semasa
hidupnya, dengan men-qiyaskannya kepada nadhar ber-Itikaf, menurut penulis
adalah termasukqiya>s maa al-Farq[116], karena salat wajib dilaksanakan tanpa
nadhar, sedangkan Itikaf yang pada dasarnya adalah sunah, menjadi wajib karena
nadhar.
Begitu juga pendapat Subra>mulsi> dan Sha>fiI dalam qadimnya yang mengqiyaskan salat dengan Haji dan puasa, merupakan qiyas yang ada cacat (qa>dih}),
karena pelaksanaan Haji orang yang meninggal oleh ahli waris atau wali termaktub
dalam nas} hadis, sedangkan masalah salat sama sekali tidak tercantum dalam nas}.
Sedangkan al-Subki yang pernah meng-qada>kan salat beberapa kerabatnya yang
telah meninggal,mengatakan bahwa apa yang dilakukan merupakan amal alShakhs}I(perbuatan khusus untuk dirinya) yang boleh untuk diikuti.[117]
3.
Pendapat yang tidak memperbolehkan, tetapi mengganti salat
dengan fidyah
Para Fuqaha> Hanafiyah berpendapat bahwa salat yang menjadi tanggungan orang
yang telah meninggal dapat di gantikan oleh wali maupun ahli waris dengan
membayarkan fidyah seperti puasa. Pendapat tersebut dilandaskan pada
hadis mauquf [118] Ibnu Abas:
[119] , , : ,
Dari Ibnu Abbas< dia berkata: tidaklah seorang menggantikan salat orang lain, dan
tidaklah seorang menggantikan puasa orang lain, tetapi diganti dengan satu mud
makanan setiap harinya.
Dengan menggunakan metode istih}san>[120], mereka berpendapat bahwa ukuran
satu salat yang ditinggalkan sama dengan meninggalkan satu hari puasa. Mengutip
perkataan pengarang al-Hida>yah sebagai berikut:

(
)






[121]
}

Dan salat seperti puasa berdasarkan istih}sa>n para masha>yikh, dan setiap satu
salat diibaratkan seperti satu hari puasa dan ini adalah yang tepat. (tidaklah puasa
dan salat tersebut di-qada> oleh wali) sesuai sabda Rasulullah: tidak diperbolehkan
seseorang mewakili puasa orang lain, dan tidak pula salat orang lain.
Dalam sharahnya Ibnu Hammam menjelaskan bahwa persamaan (muma>thalah)
antara puasa dan it}am (memberi makanan) telah ditetapkan oleh Syara. Pun salat
memiliki persamaan dengan puasa. Maka kesamaan salat dengan puasa
menjadikannya sama dengan it}a>m, dan atas dasar inilah hutang salat orang yang
telah meninggal dapat dibayar dengan fidyah.




: (

.[122]


Perkataan Mus}annif: dan salat seperti puasa atas dasar metode istih}sa>n para
mashayikh) wajahnya: bahwa persamaan (muma>thalah) antara puasa dan it}am
(memberi makanan) telah ditetapkan oleh Syara. Pun salat memiliki persamaan
dengan puasa. Maka kesamaan salat dengan puasa menjadikannya sama dengan
it}a>m, dan atas dasar inilah hutang salat orang yang telah meninggal dapat dibayar
dengan fidyah.
Golongan fuqaha> kedua ini berpendapat bahwa salat yang ditinggalkan oleh orang
yang telah meninggal dapat diganti dengan fidyah, yaitu setengah s}a> untuk setiap
salat. Disebutkan dalam Niha>yat al-Zain:
[ 123]
[124]
Berkenaan dengan matan diatas dapat dituliskan beberapa beberapa hal sebagai
berikut:
1.

Hendaklah bagi orang yang akan meninggal dunia dan telah meninggalkan
salat fardu, maka baginya wasiat kepada ahli waris untuk
melaksanakan kafarat (tebusan)
2.
Kafarat yang dibayarkan adalah berupa fidyah untuk setiap salat yang
ditinggalkan.
3.
Fidyah untuk setiap salat adalah setengah s}a> dari bur (gandum) seperti
yang
dibayarkan pada zakat fit}rah.

Al-Bujaira>mi> dalam H}a>shiyah-nya mengatakan:


[125]
Didalam madhab Sha>fiI terdapat beberapa pendapat mengenai permasalahan
salat dan Itikaf yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal seperti
halnya puasa. Dan dalam sebuah pendapat dikatakan bahwa setiap salat yang
ditinggalkan diganti dengan satu mud makanan.
Argument yang digunakan oleh kelompok kedua ini adalah qiyas. Yaitu mereka
meng-qiaskan salat dengan puasa. Ketika seseorang telah meninggal dalam keadaan
meninggalkan puasa maka kewajiban ahli waris adalah membayarkan hutang
puasanya dengan membayarkan sedekah sebesar setengah s}a> seperti zakat fitrah,
atau satu mudseperti fidyah puasa.
4.
Muna>qashah dalil
Pendapat yang melihat bahwa salat yang ditinggalkan oleh orang yang telah
meninggal dapat diganti dengan fidyah berlandaskan pada hadis:
, , : ,
Al-Zayla>i> mengatakan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar tersebut
adalah hadis mauqu>f.[126] menurut Mahmud al-T}aha>, hadisMauquf kadang
merupakan hadis sahih, h}asan, atau d}ai>f. akan tetapi pada dasarnya
hadis mauquf tidak dapat dijadikan hujjah.[127]
Pendapat Ibnu Hamma>m dalam meng-qiaskan salat dengan puasa tidak dapat
diterima, karena dalam harus ada illah yang menjadikan far serupa dengan asli,
sedangkan pada salat dan puasa tidak dapat diketahui al-illah al-ja>miah (illah
yang menggabungkan keduanya) karena keduanya merupakan ibadah mah}d.
Pendapat yang mengatakan bahwa satu salat yang ditinggalkan oleh orang yangtelah
meninggal dapat diganti dengan setengah s}a> gandum berdasarkan hadis mauquf
Ibnu Abbas. Keterangan hadis ini dapat dibantah oleh keterangan hadis sahih
Bukhari dari Anas Bin Ma>lik, yang menerangkan bahwa salat tidak dapat
digantikan oleh kafarat atau fidyah.





[128]]
Barangsiapa lupa sembahyang maka hendaklah dilakukannya apabila sudah
teringat, dan tidak ada penebusan untuk itu kecuali melakukan sembahyang
(firman Allah) : dirikan sembahyang untuk mengingat Aku

5.

Pendapat yang melarang praktek meng-qada> salat orang yang


telah meninggal.
Golongan terakhir ini melihat bahwa meng-qada> salat orang yang telah meninggal
merupakan perbuatan yang tidak berdasar pada nas} yang sah}i>h} dan tidak
dibenarkan didalam agama.
Shaikh al-Ziya>di> membagi ibadah menjadi tiga bagian seperti yang disebutkan
dalam pernyataannya sebagai berikut:
:

.[129]
Dan bahwa ibadah terbagi menjadi tiga bagian: yaitu badaniyah mah}dah yang
dilarang didalamnya untuk diwakilkan kepada siapapun kecuali dalam praktek dua
rakaat tawwaf yang mengikuti rangkaian nusuk pada ibadah Haji, maka apabila dua
rakaat tawwaf tersebut dikerjakan secara terpisah, maka tidak sah, atau berupa
ibadah maliyah mah}dah maka boleh di wakilkan secara mutlak, atau berupa ibadah
yang mutaraddidah yaitu antara badaniyah dan maliyah maka boleh diwakilkan
seperti Haji orang yang telah meninggal.
Al-Qura>fi> seorang faqi>h madhab Maliki mengatakan:




[130]
Kaedah amal perbuatan dibagi menjadi dua macam: diantaranya ada yang
mengandung maslahat tanpa melihat kepada pelaku, seperti mengembalikan titipan
membayar hutang, dan sebagainya boleh untuk di wakilkan menurut ijma>, karena
yang dimaksudkan dari perbuatan tersebut adalah manfaatnya, dan selesai dengan
dibayarnya tanggungan tersebut tanpa niat. Dan yang kedua adalah yang tidak
mengandung maslahat pada perbuatan itu sendiri, tetapi dengan melihat dan
memperhatikan kepada pelakunya seperti salat. Maka sesungguhnya maslahat salat
adalah khusu>, khud}u>, dan mengagungkan Allah, maka semua itu dapat diraih
hanya oleh pelaku yang bersangkutan, apabila dilakukan oleh orang lain maka hilang
maslahat yang dikekehendaki dari perbuatan tersebut dan perbuatan tersebut
menjadi tidak mashru> dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain secara ijma>.
Imam ShafiI dalam qawl jadidnya seperti tersebut dalam al-Iqna> menyebutkan:

]
.[131
Didalam qawl jadi>d tidak diperbolehkan seorang kerabat menanggung puasa
walinya, karena puasa adalah ibadah badaniyah yang tidak dapat diwakilkan dalam
keadaan masih hidup maupun setelah meninggal.
Al-Ma>wardi berkata:
[132]


Dan jumhur fuqaha dan seluruh ulama berpendapat bahwa mewakili orang lain
dalam sholat adalah tidak sah, baik yang diwakili mampu atau tidak mampu.
Sheikh al-Bujairami dalam h}asiyahnya mendudukkan salat sama dengan puasa
sebagai ibadah badaniyah yang harus dilaksanakan oleh mukallaf yang
bersangkutan:
]
[133]
Apabila seorang mukallaf meninggal setelah dia dalam keadaan mampu mengqada>, dan dia belum melaksanakannya, maka walinya tidak perlu untuk
menggantikan puasanya, atau apabila digantikan maka puasa tersebut tidak sah
menurut qawl jadid. Karena puasa merupakan ibadah badaniyah yang tidak dapat
diwakilkan ketika masih hidup maupun setelah meninggal dunia seperti halnya salat.
Maka dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah ketika meninggalkan dalam keadaan
ber-udzur atau tidak.
Pendapat ini menjelaskan bahwa seorang yang telah meninggal dan pernah
meninggalkan salat semasa hidupnya baik disengaja maupun tidak tidak sah
hukumnya apabila salat-salat yang ditinggalkan tersubut di-qada> oleh wali atau
ahli warisnya.
Sheikh Abd al-Azi>z bin Ba>z menilai bahwa salat tidak dapat diwakilkan oleh
siapapun kecuali mukallaf yang bersangkutan. Berbeda dengan puasa dan
Haji,memenuhi hutang, s}adaqah, dan doa, karena memiliki dalil yang menjadi
landasannya. Sedangkan salat tidak terdapat asal dalilnya. Pernyataannya sebagai
berikut:

[134]

Sholat atas nama orang yang meninggal tidak boleh, dan amalan ini tidak ada
asalnya, yang ada dalilnya adalah puasa, haji, membayar hutang, shadaqah, dan doa.
Adapun sholat untuk orang yang meninggal maka tidak ada asalnya.

1.

A.
Akar perbedaan pendapat para fuqaha> tentang
hukum meng-qada>
salat orang meninggal.
Apabila melihat kepada sebab-sebab terjadinya ikhtila>f menurut Hasbi al-S}idqie,
maka perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan fuqaha> tentang hukum mengqada> salat bagi orang yang telah meninggal disebabkan oleh hal-hal yang kembali
kepada dalil dalil yang diperselisihkan yaitu qiya>s.[135]Dalam kitab Tuh}fat alMuh}ta>j Ibnu H}ajar al-H}aita>mi> menukil pendapat Imam Sha>fiI dalam qawl
al-qadim nya bahwa:
[136]
Apabila almarhum meninggalkan warisan, maka salat yang ia tinggalkan harus
digantikan oleh wali atau ahli waris seperti puasa.
Begitu pula pada masalah fidyah, Ibnu Hammam mengatakan:





[137]

Bahwa persamaan (muma>thalah) antara puasa dan it}am (memberi makanan)
telah ditetapkan oleh Syara. Pun salat memiliki persamaan dengan puasa. Maka
kesamaan salat dengan puasa menjadikannya sama dengan it}a>m, dan atas dasar
inilah hutang salat orang yang telah meninggal dapat dibayar dengan fidyah.

1.
Konsepsi para fuqaha> tentang qiya>s
Menurut mayoritas ahli Us}u>l, Qiyas atau secara bahasa berarti:
[138]
1.

Menurut pendapat yang mashu>r bahwa qiyas adalah bentuk sesuatu yang
menyerupai sesuatu yang lain
Sedangkan menurut istilah, para ahli Us}u>l Fikih berbeda pendapat sebagai
berikut:

1.

Menurut Ulama Us}u>l Hanafiyah qiyas adalah: [139]


( membangun sebuah hukum berdasarkan kemiripan sebuah hukum
yang telah diketahui kebenarannya karena sebab (illat) yang sama.)
2.
Ahli Us}u>l Fikih madhab Mutakallimi>n mendefinisikan qiyas menurut
istilah adalah: [140]( Menetapkan suatu hukum
dengan menyerupakan dengan sesuatu yang lain karena illah)
3.
Sedangkan para ulama mutaakhiri>n[141] mendefinisikan qiyas menurut
istilah adalah: [142]
(menetapkan sesuatu hukum yang menyerupai sebuah hukum malum yang lain
karena kesamaannya pada illah (sebab) menurut para mujtahid).
Meski ditulis dengan redaksi yang berbeda-beda, akan tetapi penulis melihat
kesamaan persepsi yang diusung oleh para ahli Us}ul al-fiqh. Maka beberapa
pengertian diatas dapat dirangkum dalam redaksi sebagai berikut:
[143] ,
menggabungkan hukum yang tidak terdapat pada Nash kepada hukum yang
terdapat dalam nash, karena berasosiasi dalam illah.
Sha>ri (pembuat Shariah) telah menetapkan sebuah hokum dalam nas} melalui
sebuah kejadian. Dan para mujtahid dapat mengetahui illah hukum tersebut, lalu
muncullah kejadian lain dimana nas} diam terhadapnya tetapi illah-nya sama
dengan kejadian pertama dalam hukumnya. Maka para mujtahid menggabungkan (
)kejadian kedua yang tidak terekam dalam nas} kepada kejadian awal dan
menjadikannya sama dalam hukum. Penggabungan ))inilah yang disebut
dengan qiyas.[144]
Dari pengertian secara istilah, maka rukun qiyas dapat disimpulkan menjadi empat
hal:

( al-As}lu) sesuatu/ perkara yang telah tersebutkan hukumnya dalam


nas}.
( h}ukmu al-As}li) yaitu hukum shari> yang tersebut dalam nas}.
( al-Far) hal-hal yang belum tersebut hukumnya dalam nas}.
( al-Illah) sifat yang terdapat pada asli.[145]

2. Pandangan para ahli Us}u>l tentang qiya>s dalam


masalah us}u>l al-iba>dah
Al-Ra>zi> menyebutkan bahwa para ulama ahli Us}u>l al-Fiqh berbeda pendapat
mengenai qiyas dalam us}u>l al-Ibada>t.[146]Us}u>l al-Iba>da>t meliputi salat,
puasa, zakat, dan Haji.[147]
Dalam hal ini para ulama ahli Us}u>l fikih berbeda pendapat menjadi dua golongan:
1.

Pertama: Boleh melaksanakan qiyas dalam us}u>l al-Iba>dat. Hal ini


dikemukakan oleh Abu al-H}usain al-Bas}ri>, dan Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>.[148]
Al-Ra>zi> memberikan argument bahwa diperbolehkannya qiyas dalam us}u>l
al-Iba>da>t berdasarkan firman Allah:
[149]
..maka ambillah (kejadian itu), untuk menjadi pelajaran hai orang-orang yang
mempunyai wawasan
Al-Ra>zi> mengatakan bahwa meskipun qiyas hanya menghasilkan dzann, akan
tetapi jumhur bersepakat bahwa perintah dalam ayat tersebut adalah wajib, jadi
keabsahan qiyas berlaku umum dalam berbagai bidang tanpa membeda-bedakan
qiyas satu dengan yang lainnya, maka qiyas dalam us}u>l
al-Iba>dah diperbolehkan.[150]
Kedua: Pendapat yang menyatakan bahwa qiyas dalam masalah us}u>l
al-Iba>da>t tidak diperbolehkan. Hal ini merupakan pendapat Imam al-Subki>, alKurkhi>, dan al-Jaba>i>.
Argumentasinya adalah apabila qiyas berlaku pada masalah us}u>l
al-iba>dah, seperti salat dengan menggunakan isyarat ( ) , maka
Rasulullah akan menjelaskannya secara gamblang, begitu juga akan disampaikan
kepada kita secara mutawatir, sehingga permasalahan tersebut menjadi qat}i>, akan
tetapi tidak ada satupun dalil sahih yang menyatakan hal tersebut, sehingga kondisi
seperti ini menjelaskan kepada kita bahwa qiyas dalam us}u>l al-iba>dah adalah
batal, sebagaiman qiyas adalah dalil dzanni>, dan sesuatu yang dzanni> tidak
berlaku dalam us}u>l al-iba>dah.[151] Jalal al-Mah}alli> dalam sharahnya
mengatakan:
.

(
)( )





[152]
Dan sebagian kaum melarang qiyas dalam us}u>l al-Iba>dah dengan melarang
salat dengan menggunakan isyarat yang diqiyaskan pada salat duduk
dengan illah al-ajzu(kondisi lemah). Mereka mengatakan bahwa bahwa motif
dilarangnya qiyas dalam masalah ibadah, karena seluruh praktek ibadah diterangkan
dalam nas} (naql) sedangkan praktek salat dengan menggunakan isyarat tidak
terdapat pada naql menunjukkan bahwa qiyas dalam hal ini tidak diperbolehkan.
1.
3. Analisa Penulis
Dari beberapa pendapat diatas menyimpulkan bahwa pendapat kelompok kedua
yang melarang pelaksanaan qiyas dalam masalah Us}u>l al-Iba>dah adalah lebih

kuat dan tepat (ra>jih}). Hal ini berdasarkan beberapa pertimbangan sebagai
berikut:

Salah satu rukun qiyas adalah terdapatnya illah yang menjadi penggabung

(al-ja>mi) antara al-as}lu dan al-far . hal-hal yang berkenaan dengan


masalah us}u>l al-iba>da>t merupakan aktualisasi yang telah teredaksi dalam
nas} al-Quran maupun al-Hadith. Meskipun semua shariat yang datang
dimaksudkan untuk kemaslahatan umat manusia, akan tetapi, seoarang mukallaf
tidak perlu mempertanyakan apa maksud dan sebab dari takli>f yang
dibebankan kepada mereka. Contohnya: salat, puasa, zakat dan Haji. Maka ketika
sesuatu tidak dapat diketahuiillahnya, maka qiyas tidak dapat berlaku
didalamnya.
Ayat dua surat al-H}ashr yang berbunyi: adalah qiyas yang

dapat dijadikan h}ujjah, yaitu apabila memenuhi rukun-rukun yang telah


disepakati oleh para usuliyyin, diantaranya harus diketahui illahnya, apabila
tidak diketahui illahnya, maka tidak termasuk kedalam maksud ayat tersebut.
Segala hal yang berkenaan dengan ibadah mah}d hanya diterangkan dalam

nas} yang bersifat qat}i>, sedangkan qiyas hanya menghasilkan hal


yang d}anni>.
1.
B. Tarji>h penulis terhadap perbedaan pendapat tentang mengqada> salat orang yang meninggal
Setelah memperhatikan pendapat-pendapat perihal meng-qada> salat orang yag
telah meninggal beserta dalil-dalilnya, maka penulis memilih pendapat yang tidak
memperbolehkan praktek tersebut, baik itu dengan cara di-qada> salatnya atau
dengan dibayarkan fidyah untuk setiap salat.
Hal ini berdasarkan pada kekuatan dalil yang digunakan oleh para ulama yang
melarang praktek tersebut bahwa salat adalah ibadah badaniyah yang tidak dapat
diwakilkan. Dalil qiyas yang digunakan oleh para ulama yang membolehkan atau
menggantikannya dengan fidyah yang menurut analisa penulis tidak kuat dan
terbantahkan. Begitupula dengan praktek yang dilaksanakan oleh
para Fuqaha> yang melaksanakan qada> maupun fidyah merupakan perbuatan
khusus yang hanya dilaksanakan oleh mereka sendiri.

BAB V

PENUTUP
1.
Kesimpulan
Sebagai bab terakhir pada pembahasan tesis ini, maka penulis akan mengambil
kesimpulan sebagai berikut:
1.

Praktek meng-qada> salat orang yang telah meninggal merupakan sebuah


ritual dalam upaya untuk menebus tanggungan atau hutang orang yang telah
meninggal kepada Allah Subh}a>nahu wataa>la.> Hal serupa terdapat dalam
ibadah lain seperti Haji dan puasa dalam sebuah riwayat. Seseorang yang
meninggal dunia dengan tanggungan salat (fardu) semasa hidupnya baik ketika
sehat atau dalam keadaan sakit menjelang kematian, (yang ghalib ketika sakit
menjelang kematian) maka akan dikalkulasi jumlah salat yang ditinggalkan
untuk di-qada> oleh kerabat yang masih hidup dengan cara men-salatkan sesuai
jumlah salat yang ditinggalkan oleh almarhum.
2.
Membayarkan hutang Haji yang menjadi tanggungan seseorang yang telah
meninggal boleh dan sah dilakukan berdasar pada hadis sahih Ibnu Buraydah
yang dikeluarkan oleh Imam al-Tirmi>dhi diatas. Pada permasalahan puasa
masih menjadi perdebatan dikalangan fuqaha> karena terdapat hadis yang
bertentangan pada hal tersebut. Sedangkan pada kasus salat, sama sekali tidak
ditemukan redaksi al-Qur-a>n dan Hadis yang menerangkan hal tersebut, hanya
ditemukan beberapa pendapat fuqaha> yang membolehkan perihal qada> salat
bagi orang yang telah meninggal.
3.
Meng-qada> salat orang meninggal tidak dibolehkan karena tidak memiliki
dalil dan landasan hukum yang sahih, dan hanya berdasar pada pendapat para
fuqaha> yang hanya merupakan amal al-Shakhs}i> ( perbuatan khusus untuk
mereka sendiri) berdasarkan ijtihad, dan bukan untuk dipublikasikan kepada
khalayak umum.
4.
Salat adalah ibadah Badaniyah mah}dah yang tidak dapat diwakilkan atau
dilaksanakan oleh orang lain baik dalam keadaan masih hidup atau telah
meninggal.
5.
Praktek meng-qada> salat orang meninggal yang dilaksanakan oleh
masyarakat desa Jambu tidak sah dan tidak dibolehkan secara shari>.
2.
Saran dan Rekomendasi
Pada bagian akhir tesis ini, penulis memberikan saran dan rekomendasi kepada para
pengkaji, peneliti atau fihak-fihak yang mempunyai perhatian pada studi agama dan
budaya untuk melakukan pengkajian lebih lanjut secara lebih mendetail dan
komprehensif dalam rangka melihat keterkaitan dan hubungan yang akulturatif
antara agama dengan budaya.

Mengqadha` Shalat yang Tertinggal


Dari

Anas

bin

Malik

dari

Nabi

shallallahu

alaihi

wasallam,

beliau

bersabda:

Barangsiapa lupa suatu shalat, maka hendaklah dia melaksanakannya ketika dia ingat.
Karena tidak ada tebusannya kecuali itu. Allah berfirman: (Dan tegakkanlah shalat
untuk mengingat-Ku). (QS. Thaha: 14). (HR. Al-Bukhari no. 597 dan Muslim no. 1102)
Dari
Abu
Qatadah

dia
berkata:

Kami pernah berjalan bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam.
Sebagian kaum lalu berkata, Wahai Rasulullah, sekiranya anda mau istirahat sebentar
bersama kami? Beliau menjawab: Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan
shalat. Bilal berkata, Aku akan membangunkan kalian. Maka merekapun berbaring,
sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggannganya, tapi rasa kantuknya
mengalahkannya dan akhirnya iapun tertidur. Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam
terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: Wahai Bilal,
mana bukti yang kau ucapkan! Bilal menjawab: Aku belum pernah sekalipun
merasakan kantuk seperti ini sebelumnya. Beliau lalu bersabda: Sesungguhnya Allah
Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya
kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan)
kepada orang-orang untuk shalat! kemudian beliau berwudhu, ketika matahari
meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat. (HR. AlBukhari
no.
595)
Dari
Jabir
bin
Abdullah

dia
bercerita:

Bahwa Umar bin Al Khaththab datang pada hari peperangan Khandaq setelah matahari
terbenam hingga ia mengumpat orang-orang kafir Quraisy, lalu ia berkata, Wahai
Rasulullah, aku belum melaksanakan shaat Ashar hingga matahari hampir terbenam!
Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam pun bersabda: Demi Allah, aku juga belum
melakasanakannya. Kemudian kami berdiri menuju Bath-han, beliau berwudlu dan
kami pun ikut berwudlu, kemudian beliau melaksanakan shalat Ashar setelah matahari
terbenam, dan setelah itu dilanjutkan dengan shalat Maghrib. (HR. Al-Bukhari no. 596)

Penjelasan
ringkas:
Tatkala orang yang shalat mengalami sesuatu yang membuat dia sibuk sehingga tidak
bisa mengerjakan shalat pada waktunya ataukah membuat dia lupa dari
mengerjakannya ataukah dia tidur hingga keluar waktunya ataukah uzur-uzur syari
lainnya yang menyebabkan dia tidak bisa mengerjakan shalat pada waktunya. Tatkala
semua hal itu bisa terjadi, maka dari rahmat Allah Taala kepada para hamba-Nya Dia
tidak menghukum mereka atas kekurangan tersebut. Bahkan Dia menyariatkan kepada
mereka untuk mengqadha` shalat yang dia tinggalkan tersebut ketika uzurnya sudah
hilang. Karenanya barangsiapa yang meninggalkan suatu shalat karena lupa atau
ketiduran atau ada uzur lain -yang dibenarkan oleh syariat- maka hendaknya dia
mengqadha` shalat tersebut sesegera mungkin setelah dia ingat atau bangun dari
tidurnya, walaupun waktunya telah keluar, bahkan walaupun telah berlalu 2 atau lebih
waktu shalat.
Jika shalat yang ditinggalkan itu ada 2 atau lebih, maka hal yang perlu diperhatikan
adalah diwajibkan untuk mentartib atau mengurutkan shalat-shalat yang akan diqadha`
tersebut. Karenanya jika seseorang ketiduran dari shalat zuhur dan ashar lalu dia baru
bangun di waktu maghrib, maka tidak diperbolehkan baginya untuk shalat maghrib

dahulu atau ashar terlebih dahulu. Tapi hendaknya dia shalat zuhur terlebih dahulu lalu
shalat ashar lalu shalat maghrib. Kecuali jika watu maghrib sudah hampir habis, maka
hendaknya dia shalat maghrib dahulu baru kemudian shalat zuhur lalu ashar. Semua ini
berdasarkan hadits Jabir di atas dan juga berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri
riwayat An-Nasai (660) dan selainnya bahwa Nabi luput mengerjakan 4 shalat pada
perang Khandaq, lalu beliau mengqadha`nya secara berurutan.
Kemudian, para ulama menyatakan bahwa kewajiban tartib ini bisa gugur dengan 5
perkara:
1.
Khawatir waktu sekarang hampir habis, seperti yang kami sebutkan di atas.
2.
Lupa.
3.
Khawatir
ketinggalan
shalat
jamaah.
4.
Khawatir
ketinggalan
shalayt
jumat.
5.
Tidak
tahu
hukumnya.
Lihat penjabaran masalahnya dalam Asy-Syarh Al-Mumti (2/143-148) karya Asy-Syaikh
Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah.
Incoming search terms:

mengqadha shalat
bolehkah menjamak shalat karena ketiduran

Share and Enjoy:

This entry was posted on Monday, March 29th, 2010 at 10:05 am and is filed underFiqh, Quote of the Day.
You can follow any responses to this entry through theRSS 2.0 feed. Both comments and pings are currently
closed.

36 responses about Mengqadha` Shalat yang


Tertinggal
1.

Wahyu Ibnu Khutsaim said:


May 7th, 2010 at 12:25 pm

Assalaamu Alaikum
Ana ingin bertanya,, apakah wanita yG Shalat Wajib Di Rumah disyariatkan
melakukan Qunut Nazilah ??
Jazaakumullahu Khair

Waalaikumussalam
warahmatullah
Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (1/450) berkata, Tidak ada pelaksanaan
qunut secara individu. Karenanya Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad memfatwakan
hal yang sama. Maka yang nampak ini juga berlaku bagi wanita yang shalat sendirian,
yaitu tidak boleh bagi dia untuk qunut karena tidak ada dalil yang menunjukkannya.
Wallahu alam
2.

Fahrul said:

May 8th, 2010 at 7:45 am

Assalamu alaikum
Wahai kaum muslimin walaupun Allah dan Rasul-Nya memberikan kemudahan
dalam shalat,tetapi laksanakanlah pada waktunya.
3.

abu abdirrahman suhail said:

May 26th, 2010 at 9:29 am

Assalamu alaikum ustadz,


afwan ana ingin forward dan bertanya sekaligus ttg pembahasan Qunut diatas
Tidak ada pelaksanaan qunut secara individu apakah ini termasuk cuma
Qunut Nazilah atw semua jenis Qunut, seperti Qunut witir?
jazakumullah khair.
Waalaikumussalam
warahmatullah
Wallahu alam, yang nampak ini hanyalah khusus untuk qunut nazilah.
4.

ai said:

April 1st, 2011 at 8:53 am

pak ustadz klo mengqhodo sholat yg selama ini di tinggalkan sewaktu sudah
baligh atau yg dulunya suka bolong2 masih bisa di qodho g skrg?saat qt ingin
bertaubat dan ingin menebus sholat2 yg dulu ditinggalkan?
klo masih bisa caranya gmn?,apa setiap waktu sholat qt jg sholat lg?.Misalnya
mengqhodo sholat dzuhur dikerjakan waktu qt jg sholat dzuhur,qhodo ashar di
waktu ashar,dan seterusnya setiap hari?
atau caranya gmn?
makasih ustadz..
Kewajiban yang ada hanya bertaubat kepada Allah dengan taubat yang ikhlas dan
tidak wajib mengqadha` semua shalat yang telah ditinggalkan dengan sengaja.
5.

Fahri said:
April 25th, 2011 at 9:40 am

Bismillah
Assalamualaykum
Ustadz, kalau misalkan kita habis sholat Maghrib ketiduran. Kemudian
terbangun ketika adzan shubuh tengah berkumandang (waktu Isya sudah
lewat). Yang kita kerjakan lebih dahulu itu sholat shubuh berjamaah di Masjid
atau sholat Isya dulu? Anggap kemungkinannya kalau kita sholat Isya dulu
sholat shubuh berjamaah di masjidnya tidak dapat.

Waalaikumussalam.
Dia tetap harus mengurutnya, shalat isya dahulu baru shalat subuh, walaupun dia
ketinggalan shalat jamaah.
6.

dieya said:
June 17th, 2011 at 1:32 pm

assalamu alaikum,
ustadz, ketika mau melaksanakan shalat zhuhur jam 1, tapi ternyata keluar
haid apakah saya harus mengqadha shalat zhuhur sampai selesai haid? dan
apabila mengqadha waktunya kapan?
jazakaLLOH
Waalaikumussalam.
Tidak wajib mengqadha` shalat zuhur tersebut, karena wanita yang haid tidak
diwajibkan untuk mengqadha` shalat yang dia tinggalkan ketika haid.
7.

iwan said:

July 12th, 2011 at 7:57 am

gmana kalau junub, ternyata 2 hari baru tau bahwa dia pernah junub dan
belum mandi, apa shalat yang di kerjakan batal ? dan apa harus di qada ? g
mana cara qadanya ?
Shalatnya tetap syah dan tidak perlu diqadha`, karena dia mengira dia shalat dalam
keadaan suci. Karena dalam ibadah, yang dijadikan patokan adalah keyakinan
seseorang ketika dia beribadah.
8.

Deddy Prang Sudibyo said:


July 25th, 2011 at 2:52 pm

Saya mau tanya apakah kita boleh mengqadha sholat orang tua kita yang
telah meninggal dunia & juga kita mengqadha sholat kita yang telah lalu
lalu.kalo boleh adakah dasarnya.
Tidak perlu dan tidak wajib, karena shalat adalah ibadah badan dan dia tidak bisa
digantikan oleh orang lain dan juga tidak sampai kepada yang telah meninggal.
Jika yang dimaksud shalat kita yang kita tinggal dengan sengaja di masa lampau,
maka tidak ada qadha` atasnya. Dia hanya wajib bertaubat kepada Allah dan dia tidak
akan
bisa
menebusnya
kembali.
Jika yang dimaksud shalat yang ditinggal karena ada uzur seperti lupa atau ketiduran,
maka silakan diqodho`.
9.

faiqa said:

August 5th, 2011 at 11:09 pm

assalamualaikum
maaf ust. pertanyaan saya ini agak melenceng dari topik,,,
bagaimana caranya mengqadha puasa ramadhan tidak pernah dijalankan dari
waktu baligh hingga lebih dari 5 tahun? bolehkah berpuasa selama 5 bulan
penuh untuk menggantinnya?
terimakasih atas jawabannya.
Waalaikumussalam.
Puasa yang ditinggalkan dengan sengaja tidak bisa diqadha walaupun kita berpuasa
seumur hidup, karena tidak ada dalil yang menyatakannya diqadha`. Kewajiban dia

hanya beristighfar dan memperbanyak amalan saleh untuk menutupi kesalahannya


itu.
10.

dede.solehudin said:

October 21st, 2011 at 6:53 am

ass,
bagai mana caranya untuk mengkadha shalat magrib.
terima kasih
Jika ditinggalkan karena ketiduran atau lupa maka dia shalat kapan saja dia bangun
atau
ingat
walaupun
waktu
maghrib
sudah
habis.
Namun jika dia sengaja tidak mengerjakannya hingga keluar waktu, maka tidak perlu
diqadha`. Dia cukup bertaubat sebanyak-banyaknya kepada Allah atas shalat
tersebut, karena dia tidak akan bisa menebusnya selama-lamanya.
11.

vava said:
October 22nd, 2011 at 8:09 pm

Asalamualaikum ustadz,
Ustadz kan bilang diatas tidak ada kewajban qodo tetapi yg ada hanyalah
taubat..
tapi sholat kan mrupkn ibadah wajib jadi apakah nantinya taubat saya akan
diterima ustadz?apa itu tetap menjadi dosa?
terus taubat yg benar itu sprti apa ustad shg Allah bisa mengampuni dosa2
saya??
terimakasih ustadz
Waalaikumussalam.
Ya, Allah telah berjanji menerima taubat dari setiap hamba-Nya yang bertaubat,
walaupun
dia
pelaku
dosa
besar.
Untuk masalah taubat, silakan baca artikel: http://al-atsariyyah.com/anjuranbertaubat-dan-menjauhi-dosa.html
12.

hamba Allah said:


October 28th, 2011 at 12:16 pm

assalamualaikum
Pak ustad, dulu saya kalau darah istihadah tidak solat, sekarang saya tahu
kalo itu berbeda dengan haid. Bagaimana mengqadha sholat yg tidak
diketahui jumlahnya yg tertinggal?
Waalaikumussalam.
Tidak perlu diqadha`, karena semua itu dilakukan atas dasar ketidaktahuan. Hanya
saja tetap harus banyak bertaubat kepada Allah atas kesalahannya yang lalu itu.
13.

hamba Allah said:


October 29th, 2011 at 9:42 am

pak ustad, bagaimana kalau malas mengqadha shalat?


Ya, dia berdosa besar.
14.

hamba Allaah said:

October 29th, 2011 at 12:58 pm

Alhamdulillah kalau begitu, saya sempat pusing memikirkannya, saya bingung


harus berapa kali untuk mengqadha shalatnya dan akhirnya menjadi beban
pikiran saya akhir2 ini. Dulu saya memang malas untuk shalat. Pernah suatu
pagi saya terlewat shalat subuh, dan kerena sudah siang dan sepengetahuan
saya dulu sholat diwaktu matahari terbit tidak boleh. Jd saya gak solat subuh.
Wajibkah mengqadhanya pak?
Tidak wajib lagi. Akan tetapi harus bertaubat kepada Allah atas semua shalat yang
telah dia tinggalkan karena sengaja.
15.

Delila said:

October 30th, 2011 at 11:12 am

pak ustad mau tanya lagi, jadi waktu daerah petamburan kemarin kekurangan
air saya berwudhu dengan air tanah, saya merasa air itu bau softener/sabun,
tapi saya kira tidak mengapa, akhirnya saya lanjutkan sholat, sekarang saya
sadar bahwa air itu tidak bisa dipakai bersuci, haruskah saya mengqadha
sholat saya sekarang? kira2 kejadiannya beberapa bulan yang lalu
Selama dia masih dinamakan air, walaupun baunya berubah, maka dia tetap boleh
dipakai bersuci. Karenanya, anda tidak perlu mengqadha` shalat tersebut, karena
shalat itu insya Allah sudah syah.
16.

fulan said:
November 6th, 2011 at 9:58 am

Assalamualaikum. Pak Ustad, saya mau tanya. Akhir2 ini saya solat dengan
sarung bolong, tp bolongnya itu masih bisa ditutupi. Saya pake sarung itu
terpaksa karena sarung yg lain blm kering. Tp pas saya nyuci sarung yg
bolong. Ternyata bolongnya ada banyak jd ada kemungkinan auratnya
keliatan. Perlu ga qhada shalat yg kemaren2? Mengingat adanya bolong d
sarungnya
Waalaikumussalam.
Insya Allah tidak perlu. Hanya saja jika bolong pada sarungnya bisa menampakkan
aurat maka seharusnya itu tidak dipakai lagi.
17.

fulan said:
November 6th, 2011 at 2:45 pm

Kurang lebih selama lima tahun saya pake mukena yg transparan. Lalu baru
akhir2 ini saya tidak menggunakan mukena itu. Haruskah saya mengqadha
shalat saya?
Tidak perlu insya Allah.
18.

NN said:

November 17th, 2011 at 4:41 am

assalamualaikum, pak ustad saya mau tanya. dulu saya tidak tahu kalau
sehabis onani harus mandi junub. jd saya lgsg shalat aja. tp alhamdulillah
saya gak onani lg, apakah saya perlu mengqadha shalat saya pak?
Waalaikumussalam.
Tidak perlu.

19.

ISMAIL said:

December 23rd, 2011 at 8:11 am

AFWAN UST, DARI PERTANYAAN DIATAS SY BACA BAHWA SHOLAT YG DULU


DI TINGGALKAN DGN SENGAJA TDK PERLU DI QODHO, TOLONG SY MINTA
DALILNYA APA ? SEBAB SY MASIH RAGU
Mengqadha` shalat yang tertinggal adalah amalan, maka justru yang mengatakan
wajib mengqadha` yang harus mendatangkan dalilnya. Karena asal dalam ibadah itu
tidak dikerjakan sampai ada dalilnya.
20.

Abu Udien said:


January 22nd, 2012 at 1:29 am

Assalamualaikum Ustadz.
Ana mau nanya ni jumlah rakaat shalat qashar yg lupa atau ketiduran itu
brapa, atau sama seperti biasa jmlahnya.
Dan kalau menjamak shalat baik jamak takdim atau jamak takhir, misalnya
dzuhur ke atsar(jamak takhir) yg dkerjakan trlebih dahulu kan dzuhur lalu yg
shalat atsar itu berapa rakaat
Mohon penjelasan lebih lanjut dari Ustadz.
Waalaikumussalam.
Sebelumnya butuh diingatkan bahwa jamak dan qashar dalam artikel di atas hanya
berlaku bagi musafir. Adapun yang sedang mukim dan tidak sedang mengadakan
perjalanan
maka
dia
tidak
boleh
menjamak
dan
mengqashar
shalat.
Sekarang masalah, kalau ketika dia sedang safar lalu ketiduran, maka shalat
qasharnya
tetap
dua
rakaat.
Kalau dia menjamak qashar shalat zuhur dan ashar, maka zuhur 2 rakaat lalu ashar 2
rakaat, zuhur dulu baru ashar, baik jamak takdim maupun jamak ta`khir.
21.

adew said:
May 4th, 2012 at 7:57 pm

saya mau bertanya, kalau orang terkena penyakit biduran, bolehkah diqadha
solatnya? jk iya, kapan waktunya, apakah setelah penyakit itu sembuh?
Tidak boleh. Apa alasan dia mau meninggalkan shalat?!
22.

Aditya Solo said:


May 13th, 2012 at 5:12 pm

Assalamualaikum Pak Ustad


Saya mau nanya bagaimanakah cara meng-qodho beberapa tahun sholat yang
saya pernah tinggalkan?
Jadi dahulu saya pernah meninggalkan sholat selama beberapa tahun dan
saya lupa berapa tahun saya telah meninggalkannya
Mohon pencerahannya ya Pak Ustad
Terima Kasih Wassalamualaikum
Waalaikumussalam.
Shalat yang ditinggalkan dengan sengaja tidak bisa diqadha dan tidak bisa ditebus.

Kewajiban dia sekarang hanyalah memperbanyak taubat dan amalan saleh kepada
Allah.
23.

Adhe rahmatullah said:

May 19th, 2012 at 5:23 am

Pak ustadz maaf saya mau brtanya,


.
Apakah salat yg di tinggalkan karena lalai dan mengulur ulur waktu dan
akhirnya tertidur hingga tidak sholat isya masih bisa di qodho?
Dan kapan waktunya?
.terima kasih wassalamualaikum wr wb
Waalaikumussalam.
Wallahu alam. Ya, masih bisa.
24.

santi said:
May 27th, 2012 at 8:15 am

bismillah, ustadz ana mau bertanya bagaimana sholat bagi wanita yang telah
suci dari haid.misal : 1) ia suci jam 5 sore apakah harus mengqhodo zuhur
dan asar? 2)ia suci jam 8 malam apakah mengqhodo magrib dan isya? 3)ia
suci jam 7 pagi apakah wajib mengqodho shalat subuh?
Jazakallahu khairan wa barakallahu fiik
Yang wajib dia kerjakan hanya shalatt ashar dan isya. Adapun zuhur, maghrib, dan
subuh, maka dia tidak perlu mengqadhanya karena waktu ketiganya sudah habis.
25.

ewin said:
June 8th, 2012 at 9:36 pm

Assalamualaikum pak ustadz..


Bismillah..
ustadz saya mau tanya, gi mana caranyanya sholat si sopir bus luar provinsi
yang dia tiap hari dan waktu selalu di jalan?
dan bagaimana cara sholat penumpangnya?
syukron kasiron ustadz
Waalaikumussalam.
Sepatutnya dia mampir dulu ke masjid setiap waktu shalat, paling lama cuma 5 menit
untuk shalat, sama seperti lamanya jika dia mampir ke wc umum. Kalau dia ada waktu
mampir
buang
air,
kenapa
dia
tidak
punya
waktu
untuk
shalat?!
Jamaah juga sepatutnya diberikan kesempatan bagi yg mau shalat, diberi waktu
sekian menit.
26.

Muh Taufiq said:

July 12th, 2012 at 6:41 am

mengapa shalat zuhur dan azhar bacaannya tidak dinyaringkan iman


karena demikianlah yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. (MT)
27.

ahmad said:
July 31st, 2012 at 12:18 am

Akhi saya mau komentari jawaban antum dr pertanyaan ini:

assalamu alaikum,
ustadz, ketika mau melaksanakan shalat zhuhur jam 1, tapi ternyata keluar
haid apakah saya harus mengqadha shalat zhuhur sampai selesai haid? dan
apabila mengqadha waktunya kapan?
jazakaLLOH
Waalaikumussalam.
Tidak wajib mengqadha` shalat zuhur tersebut, karena wanita yang haid tidak
diwajibkan untuk mengqadha` shalat yang dia tinggalkan ketika haid.

Yang benar adalah dia wajib qodho zuhurnya itu saja, sebab dia haid pada jam
1 siang, dengan kata lain sudah masuk waktu zuhur 1 jam lamanya,.. ada pu
shalat ashar, maghrib berikutnya setelah dia haid tentu tdk di qodo krn
keadaan haid membuat mrk tdk boleh shalat.
Inilah yg difatwakan oleh Syaikh Utsaimin
Jazakallah Khairan
Waalaikumussalam.
Jazakallahu
khairan.
Memang dalam hal ini ada perbedaan pendapat. Dan jawaban yang kami sebutkan,
itulah pendapat yang lebih tepat menurut kami. Wallahu alam.
28.

masud said:
August 12th, 2012 at 2:50 am

Ass. Ustadz,mohon maaf saya mau tanya, ada orang tua yang semasa
hidupnya (insya Allah)tdk pernah meninggalkan sholat wajib, tetapi satu bulan
yang lalu orang tersebut sakit keras kena struke sulit bicara, pandangannya
kosong sehingga dia ditempat tidur tdk bisa apa2, makanpun tdk bisa klau
tidk disuapin, kadang antar sadar dan tidak. pertanyaan saya bisa kah orang
tersebut dikodhokan sholatnya selama sakit satu bulan oleh ahli warisnya.
kalau boleh apa dasrnya. terima kasih ustdz penjelasannya. Wassalam
Kewajiban shalat dari orang tua itu insya Allah sudah gugur jika memang akalnya
sudah tidak berfungsi. Dan tidak ada syariat mengqadha bagi ahli warisnya, karena
tidak adanya dalil.
29.

Ardi said:

August 14th, 2012 at 10:21 am

Pak saya ingin bertanya,


waktu itu saya tadarus sampai jam 12 malam, lalu saya ngantuk berat sampai
jam 9pagi bru bangun, dan saya ingat blm solat subuh, lalu saya langsung
solat subuh . Apakah solat saya diterima ?
Ya, langsung saja shalat subuh. Insya Allah tetap diterima, karena anda tidak sengaja.
30.

Ossa said:

August 19th, 2012 at 10:03 pm

Makasih semuanya..

31.

Dinda said:

September 27th, 2012 at 11:37 am

Pak ustad mau tanya,saya akan melakukan perjalan dalam pesawat selama 8
jam dan melintasi beberapa negara dengan perbedaan waktu, bagai mana
cara melaksanakan sholat dalam pesawat klu kita tidak tau waktu datang
sholat / apakah sholat yang di tinggalkan boleh di qadha ( kemungkinan
sholat subuh dan dhuhur yang tidak dapat dikerjakan )?
Bagai mana niat mengqadha sholat ?
Tidak boleh. Dia tetap wajib shalat subuh pada waktunya. Dia bisa shalat sambil
duduk
di
pesawat.
Adapun zuhur, maka dia bisa menjamak ta`khir dengan ashar, nanti setelah dia tiba di
tempat tujuannya.
32.

nur hayat said:


October 5th, 2012 at 3:30 pm

assalamu alaikum
ustd.kalo ketiduran dan tertinggal sholat jumat , ketika bangun sudah jam 1
siang
Waalaikumussalam.
Langsung shalat zuhur saja.
33.

hamba allah said:


October 10th, 2012 at 10:19 am

Ustadz,
Pertama,
Saya ketiduran solat subuh, kemudian niat untuk mengqadha antara waktu
setelah dhuha namun karena disibukkan oleh pekerjaan kantor, baru ingat
setelah 1 jam sebelum zuhur. Apakah saya boleh langsung qadha sholat subuh
atau tunggu masuk zuhur dulu, baru kemudian diqadha subuhnya?
Kedua, kalau sholat dhuha apa bisa diqadha? teman saya terkadang
mengqadha sholat dhuha demi menjaga keistiqomahan
1. Anda seharusnya langsung shalat subuh ketika bangun dan tidak boleh sengaja
mengundurkan qadhanya seperti itu. Karenanya anda sudah tidak bisa lagi shalat
subuh karena anda mengundurkannya dari saat anda bangun tidur, tanpa udzur.
2. Tidak boleh, wallahu alam.
34.

ummu habibah said:

November 28th, 2012 at 9:05 pm

bismillah.. assalamualaikum. mau bertanya admin.. seseorang dlm perjalanan


yg blm sempat mengerjakan sholat dhuhur,dan berniat akan menjama takhir
di wkt asar. qodarulloh,sesampainya di tmpt tujuan,terdengar adzan wkt
asar,lalu ke mesjid.. otomatis ikut imam ikut berjamaah sholat asar..
sementara sholat zhuhur blm dikerjakan.. bgmn solusinya.. jika di
qodho,bgmn cara mengqodhonya.. jk di jama,kan hrs berurutan,yg dahulu
didahulukan,yg kemudian dikemudiankan,sementara yg kemudian sdh
didahulukan mhn penjelasannya ya ustadzjazakumulloohu khoiron katsiroo

Waalaikumussalam.
Memang harus berurutan, tapi jika lupa, ya gak masalah insya Allah. Dia tinggal shalat
zuhur saja.
35.

Harjito said:
August 26th, 2013 at 6:11 pm



, saya mau tanya pak Ustadz. Saya naik bis ke Jakarta berangkat waktu
dhuhur biasanya berhenti istirahat pada waktu asyar dan saya bisa jamak.
Tapi suatu waktu saya ke Jakarta lagi ternyata bis tak berhenti istirahat
hingga waktu hampir isya. Saya tidak bisa shalat dhuhur, asyar dan maghrib.
Apakah saya bisa qodho ketiga shalat tsb?
Sebagian ulama memandang bolehnya. Hanya saja, untuk kedepannya, seharusnya
anda shalat zuhur dan ashar di atas kendaraan sambil duduk. Jika tidak bisa wudhu,
maka tayammum. Tidak ada tanah, maka anda shalat saja tanpa thaharah, karena
darurat.
36.

rezha said:
September 18th, 2013 at 11:04 pm

Ass, yang saya tanyakan apakah sholat yang tertinggal ini bisa diganti atau
tidak??
jadi ceritanya saya di dalam perjalanan menuju rumah sedang dalam
kumandang adzan ashar terus saya tdak berhenti untuk sholat dahulu karena
takut terlalu malam, jadi kiranya saya itu waktu sampai di rumah kira kira jam
5 an jadi masih bisa menunaikan sholat ashar, tetapi waktu yang saya
perkirakan jam 5 sudah sampai di rumah tidak tepat eh ternyata sudah adzan
maghrib
terus bingung tuh bagaimana nih sholat ashar nya kata saya, karena
sebelumnya pernah dengar ceramah di masjid apabila meninggalkan satu
sholat saja itu di akhirat bisa disiksa begitu lamanya, apalagi saya banyak
sekali dulu sholat yang terlewatkan, mohon pencerahanya pak ustadz biar
saya tidak galau :)
Apa yang anda lakukan itu salah. Seharusnya, anda mampir shalat dulu, atau shalat
sambil duduk di dalam kendaraan jika memang tidak memungkinkan turun. Shalat itu
sdh tidak bisa diganti, karena dianggap ditinggalkan dengan sengaja.

Anda mungkin juga menyukai