Anda di halaman 1dari 168

Fikih Puasa

Serial Kajian Ramadhan


dalam Buku Fiqih Al-Shiyam
Karya Dr. Hasan Hitoo & Maqasid Al-Shaum
karya Imam Izuuddin bin Abdis Salam
Undang-Undang No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4


Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif
yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak
berlaku terhadap:
i. penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk
pelaporan peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan
informasi aktual;
ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan
penelitian ilmu pengetahuan;
iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan
pengajaran, kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan
Pengumuman sebagai bahan ajar; dan
iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
dapat digunakan tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau
Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau
huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Fikih Puasa
Serial Kajian Ramadhan
dalam Buku Fiqih Al-Shiyam
Karya Dr. Hasan Hitoo & Maqasid Al-Shaum
karya Imam Izuuddin bin Abdis Salam

Mohammad Hafid, Lc., M.H.

Penerbit Chandra Semesta


Fikih Puasa Serial Kajian Ramadhan dalam Buku Fiqih
Al-Shiyam Karya Dr. Hasan Hitoo & Maqasid Al-Shaum karya
Imam Izuuddin bin Abdis Salam

Mohammad Hafid, Lc., M.H.

Penyunting : Ulinnuha
Tata Letak : Syamsul Hidayat
Desain Cover : Mastersyah
Ukuran : x + 156: 15.5x23 cm

Cetakan Pertama : Februari 2021

Hak Cipta 2021, Pada Penulis


Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2021 by Chandra Semesta
All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT CV. CHANDRA SEMESTA


Komp. MCI Blok F.10 No. 11 RT.002 RW. 17 Kel. Cimuncang
Kecamatan Serang Kota Serang – Banten
WA: +62 813-8055-4478 E-mail: mastersyah@gmail.com
KATA PENGANTAR

Oleh:
ALI MAKKI, M.Pd.I
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah As-Salafiyah (STISA) Sumber Duko
Pamekasan, Jawa Timur

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah Robbil ‘Alamiin, segala puji bagi Allah SWT,


Tuhan semesta alam yang telah memberikan nikmat yang tiada
hingga kepada kita terutama nikmat keyakinan iman dalam diri kita,
sehingga kita semua dapat melaksanakan segala perintah dan
menjauhi segala larangan-Nya. Tentunya kita juga berharap nanti
ketika ajal kematian datang waktunya, kita sekalian meninggal da-
lam keadaan husnul khotimah. Amien…
Sungguh merupakan suatu kebanggaan bagi saya pribadi dan
atas nama institusi kampus STISA atas terbitnya buku “Fikih Puasa”
tulisan Mohammad Hafid, Lc., M.H sebagai penerjemah dari kitab
Fiqh Shiyam, karya Dr. Hasan Hitoo dan Maqasid al-Shaum, karya
Imam Izzuddin bin Abdis Salam. Kajian puasa perspektif fikih yang
disajikan oleh penulis merupakan buah karya pikir dan analisa
mendalam secara kontekstual sesuai dengan situasi yang
dibutuhkan, sehingga menjadi penting bagi para pembaca (dosen/
guru, mahasiswa/siswa/santri dan khalayak umum) untuk dimiliki,
dibaca, dicermati dan digali lebih mendalam tentang kajian puasa
yang merupakan rukun Islam ke-empat serta selanjutnya untuk
diamalkan.
Dengan demikian, semoga kajian puasa perspektif fikih dalam
buku ini menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat dan barokah

v
serta menjadi salah satu rujukan pembaca dalam penyebaran ilmu
agama Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam ke depan. Amien.
Akhirnya, saya mengucapkan selamat dan sukses kepada
penulis, semoga selalu diberi kesehatan dhahir bathin dan
kesempatan berkarya, berkhidmah untuk agama, nusa dan bangsa.

Pamekasan, Februari 2021

Ketua STISA

vi
PRAKATA

Tiada kata yang paling pantas untuk dikedepankan oleh


penulis kecuali ungkapan puja dan puji syukur kehadirat Allah swt
atas kasih dan sayang serta ridha-Nya. Karena berkat itu semua,
penulis bisa tetap aktif bikin beberapa artikel dari bentuk kajian
kitab yang dikemas degan Kajian Ramadhan Daring seputar fikih
puasa yang diprakarsai oleh Sekolah Tinggi Ilmu Syariah As Salafiyah
Sumber Duko Pakong Pamekasan.
Terimakasih penulis sampaikan kepada keluarga besar
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah As Salafiyah Sumber Duko Pakong
Pamekasan yang telah memberikan kesempatan berharga bagi saya
dalam kajian Ramadhan 2020.
Tak lupa, penulis juga ucapkan ribuan terima kasih kepada
ayahanda, ibunda (Allah yarhamha), kakanda, adinda, anakku
tercinta, seseorang yang pernah bersama saya meniti hidup selama
6 tahun, serta seluruh teman-teman dosen yang telah memberikan
dukungan moril dan materil terhadap penulis dalam menyelami
dunia keilmuan hingga penulis bisa melahirkan karya ini.
Terakhir, penulis yang terhitung pemula sangat menyadari
tentunya dalam artike-artikel dalam buku ini masih terdapat ribuan
kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharap saran serta
kritikan demi kebaikan untuk kedepannya.

Pamekasan, 02 Februari 2021

Mohammad Hafid

vii
viii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................... v


PRAKATA........................................................................................ii
DAFTAR ISI .................................................................................... ix

(1) Keistimewaan Bulan dan Puasa Ramadhan ............................. 1


(2) Delapan Keistimewaan Puasa Ramadhan Menurut Imam
Izzuddin Bin Abdis Salam ...................................................... 3
(3) Cara dan Konsekwensi Keterlambatan Qadha’ Puasa
Ramadhan ............................................................................. 11
(4) Khawatir Terhadap Keselamatan Jiwa, Wanita Hamil dan
Menyusui Boleh Tidak Puasa Ramadhan? ............................ 15
(5) Cara Puasa Perempuan Istihadhah ........................................ 21
(6) Sejarah dan Gambaran Pelaksanaan Puasa di Awal Islam .... 27
(7) Hukum dan Kriteria Utama Pelaku Puasa Ramadhan ........... 33
(8) Delapan Model Puasa Sunnah yang Seharusnya Tidak
Dilupakan .............................................................................. 41
(9) Cara Menentukan Awal Ramdhan dan Awal Syawal ............ 47
(10) Awal dan Akhir Waktu Puasa di Siang Hari ......................... 55
(11) Syarat Sahnya Puasa: Niat dan Problematikanya .................. 61
(12) Perkara yang Dimakruhkan Saat Puasa Ramadhan ............... 71
(13) Enam Perkara Sunah Yang Harus Diburu di Bulan Puasa..... 79
(14) Cara Rasulullah SAW Memburu Lailatul Qadar, Cara
Kita Bagaimana? ................................................................... 85
(15) Keberadaan Malam Lailatul Qadar Menurut Imam
Izzudin Bin Abdis Salam ...................................................... 89

ix
(16) Lima Hal Sepele Yang Seharusnya Dihindari Oleh
Seseorang Saat Berpuasa ....................................................... 93
(17) Lupa, Tidak Sengaja, Tidak Tahu dan Dipaksa
Melakukan Hal-Hal yang Membatalkan Puasa, Batalkan
Puasa Kita?............................................................................ 99
(18) Memupuk Pengetahuan dan Kesalehan Dibulan
Ramadhan ........................................................................... 103
(19) Pengaruh Kontak Fisik Romantis Antar Pasangan
terhadap Puasa Ramdhan .................................................... 109
(20) Pengertian Puasa dan Problem Penggunaan Kata
Ramadhan ........................................................................... 113
(21) Perempuan Haid Boleh Berpuasa? (Jawaban Ringkas
Kesangsian Mereka Terhadap Larangan Perempuan Haid
untuk Berpuasa) .................................................................. 117
(22) Peringatan Nuzulul Qur’an, Inilah Empat Penghargaan
Menarik Membaca dan Tadarus al-Qur’an .......................... 123
(23) Qadha’ dan Kafarat Meninggalkan Puasa Ramadhan .......... 129
(24) Ada Sesuatu yang Masuk dan Keluar dari Diri Kita Saat
Berpuasa, Apakah Membatalkan Puasa? ............................. 133
(25) Status Kewajiban Puasa dan Qadha’ Bagi Orang Uzur
dan Orang yang Sedang dalam Perjalanan .......................... 137
(26) Tadarus dan Tarawih: Antara Rutinitas Dan Kualitas
(Renungan Sepuluh Hari Pertama Ramadhan) .................... 143
(27) Tiga Pendapat Hukum Membaca Surah al-Fatihah Bagi
Makmum ............................................................................. 147
(28) Dua Tipe Orang Yang Tidak Diwajibkan Mengqadha
Puasa Yang Ditinggalkan .................................................... 151

x
KEISTIMEWAAN BULAN DAN PUASA
RAMADHAN

Sabtu, 11/04/2020

P
enulis buku “Fikih Shaum” Dr. Hasan Hitoo,
berusaha mengungkapkan rasa kagumnya
terhadap keistimewaan bulan dan puasa
Ramadhan dengan bentuk sastra. Sehingga
beliau berpindah sejenak dari ranah fikih menuju ranah
sastra. Inginkah kalian mengetahui apa itu Ramadhan?
 Ketahuilah bagaimana bunga mawar menebar
senyum terhadap tetesan embun
 Ketahuilah bagaimana kupu-kupu menari-nari
bahagia menyambut keindahan bunga-bunga
 Ketahuilah bagaimana burung bulbul berkicau ria
demi unta
 Ketahuliah bagaimana malam nafasnya terhembus
menyambut fajar

1
 Ketahuilah bagaimana kehidupan menjadi sejuk
nan hijau berkat datangnya musim semi
 Ketahuilah bagaimana jiwa menjadi jernih
diwaktu siang dan malam
 Ketahuilah bagaimana hati seorang yang merindu
meletup-letup di saat mengingat kenangan-
kenangan indah bersama bersama yang dirindu
Jika Anda tahu itu semua, itulah rasa dan karsa
seorang hamba mukmin ketika kedatangan tamu agung
bulan suci Ramadhan, atau ketika ia mengingat
kenangan-kenangan indah tentangnya. Wajah seorang
mukmin berseri-seri menjadi bahagia dengan
kedatangan rahmat pada hari-hari bulan Ramadhan yang
bermula dari datangnya fajar.
Hidupnya menjadi cerah penuh kasih sayang,
maaf dan ampunan. Karena senantiasa dalam sambutan
ibadah, kemuliaan jiwa, kerendahan serta ketawaduan
terhadap pemilik langit dan bumi.

2
DELAPAN KEISTIMEWAAN PUASA
RAMADHAN MENURUT IMAM IZ-
ZUDDIN BIN ABDIS SALAM

Jum’at, 24/04/2020

K
ewajiban puasa Ramadhan bagi segenap
umat Islam yang sudah cukup sarat dapat
diketahui secara langsung dalam firman Allah
SWT yang tertera dalam surah Al-Baqarah
ayat 183:
‫يا أيها الذين أمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم‬
‫لعلكم تتقون‬
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kalian berpuasa sebagaimana umat-umat terdahulu,
agar kalin bertaqwa.”

3
Tidak hanya itu, kewajiban puasa Ramadhan
menjadi salah satu unsur terpenting bangunan keislaman
kita. Artinya, ia dapat memengaruhi keislaman kita jika
ditinggalkan begitu saja.
Rasulullah SAW bersabda:
‫ وإقام‬,‫ على أن تعبد هللا وتكفر بما دونه‬,‫بني اإلسالم على خمس‬
‫ وصوم رمضان (رواه مسلم باب‬,‫ وحج البيت‬,‫ وإيتاء الزكاة‬,‫الصالة‬
)‫اإليمان‬

“Lima hal penting yang menjadi bangunan Islam,


yakni beriman dan menyembah Allah swt,
melaksanakan salat, menunaikan zakat, beribadah haji
serta melaksanakan puasa Ramadhan.” (HR. Muslim)

Selanjutnya, puasa Ramadhan sebagai kewajiban


yang harus dilaksanakan tentunya tidak kosong dari
nilai. Di dalamnya terdapat kemaslahatan dan
keistimewaan yang akan dirasakan oleh orang yang
melaksankannya.
Syaikh imam Izzudin bin Abdis Salam dalam
bukunya, Maqasid al-Shaum menyebutkan setidaknya ada
delapam keistimewaan dari aturan dan kewajiban puasa
Ramadhan.

1. Puasa dapat meninggikan derajat seseorang


Seseorang yang melaksanakan kewajiban puasa
Ramadhan denag penuh kesungguhan dan keikhlasan
akan ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw yang menceritakan
dari Allah SWT.

4
,‫ والصيام جنة‬.‫ فإنه لي وأنا أجزي به‬,‫ إال الصيام‬,‫كل عمل ابن أدم له‬
‫ فإن سابه أحد أو‬,‫فإذا كان يوم صوم أحدكم فال يرفث يومئذ واليسخب‬
‫ والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب‬.‫قاتله فليقل إني صا ئم‬
‫ إذا‬,‫ وللصائم فرحتان يفرحهما‬.‫عند هللا يوم القيامة من ريح المسك‬
‫ (أخرجه البخاري‬.‫أفطر فرح بفطره وإذا لقي ربه فرح بصومه‬
)1904

“Setiap amal anak adam adalah untuknya, keculai


puasa, karena ia adalah untuk-Ku dan aku yang akan
membalsnya. Puasa adalah perisai, maka jika salah
seorang dari kamu berpuasa, janganlah berkata kotor,
dan bertengkar pada saat itu. Apabila ada seorang yang
mengumpat atau mengajak berkelahi makan katkanlah
bahwa ‘saya sedang berpuasa”. Demi zat yang jiwa
Muhammad berada ditangan-Nya, sungguh bau busuk
mulut orang yang berpuasa disisi Allah nanti dihari
kiamat lebih harum daripada bau minyak misik. Orang
yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan, pertama
saat dia sedang berbuka dan kedua pada saat dia
berjumpa dengan tuhan-Nya sebab puasanya.” (HR.
Bukhari, 1904)

Hadis di atas menegaskan bahwa puasa yang


dilakukan seseorang di bulan Ramadhan mendapatkan
pernghargaan yang luar biasa oleh Allah swt. Ia
diagungkan dengan cara dinisbahkan langsung pada-
Nya.
Kemudian, bau mulut efek dari puasa dinilai jauh
lebih tinggi dari harga minyak misik. Tidak hanya itu,
ada janji dua kebahagian yang dinyatakan langsung oleh

5
Allah untuk orang yang sedang berpuasa, yakni
kebahagian didunia dan kebahagian diakhirat.

2. Puasa dapat melebur segala dosa


Salah satu efek positif yang juga menjadi bagian
dari keistimewaan puasa ramadhan adalah dapat
melebur dan menghapus segala dosa. Hal ini dapat
dilihat dalam sabda baginda nabi besar Muhammad
SAW.

‫من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه (رواه البخاري‬
)‫ومسلم‬

“Barang siapa berpuasa Ramadhan karena iman dan


berharap pahala dari Allah secara ikhlas, maka dosa-
dosanya akan diampuni”

Terkait apakah dosa besar juga termasuk dihapus?


Ada dua pendapat, menurut mayoritas Ulama hanya
khusus pada dosa-dosa kecil. Tidak termasuk dosa besar
berdasarkan hadis Rasulullah SAW.

‫رمضان إلى رمضان مكفرات ما بينهن إذا اجتنب الكبائر‬

“Ramadhan dapat menghapus dosa-dosa sebelumnya,


kecuali dosa-dosa besar.” (HR. Ahmad)

3. Puasa melemahkan dan mengekang syahwat


Fakta membuktikan bahwa puasa dapat
melemahkan serta mengekang syahwat seseorang yang

6
berpuasa. Contohnya bisa kita lihat, bagaimana keadaan
kita saat berpuasa. Lemah, lemas, malas bergerak dan
badan terasa kurang semangat.
Faktornya sudah bisa kita tebak langsung, yaitu
karena kita pada saat itu sedang lapar dan dahaga.
Otomatis asupan gizi yang disebar keseluruh aliran
darah tidak terjadi penyempitan. Maka, tidak heran jika
salah satu cara yang ditawarkan islam untuk menahan
nafsu adalah dengan cara berpuasa. Rasulullah saw
bersabda yang artinya:

“Hai kaum muda, siapa diantara kalian yang sudah


mampu untuk menikah maka cepetlah menikah, karena
menikah dapat menjaga pandangan dan kemaluan.
Akan tetapi, jika diantara kalian tidak mampu maka
berpuasalah, karena puasa dapat menjadi perisai dari
syahwat.” (HR. Bukhari)

Selain itu, ada hadis lain yang menegaskan bahwa


puasa dapat menekat gangguan serta bisikan setan,
sebagaimana hadis berikut:

“Sesungguhnya, setan itu mengalir dalam diri anak


adam mengikuti alairan darah, maka sempitkanlah
jalannya dengan cara lapar.” (HR. Bukhari dan
Muslim)

4. Puasa memotivasi untuk memperbanyak shadaqah


Rasa lapar dan dahaga yang dirasakan oleh orang
yang sedang berpuasa menjadi motivasi untuk menjadi
dermawan. Karena dengan begitu, ia tahu bahwa lapar

7
dan dahaga yang dirasakan tidaklah enak. Bagaimana
sulitnya orang-orang fakir dan miskin yang setiap
harinya sudah merasakan demikian.
Sehingga hatinya akan tergerak untuk
menyisihkan hartanya berbagi sadaqah kepada orang-
orang yang tidak mampu. Orang-orang yang setiap hari
selalu bersama dengan rasa lapar. Seperti itulah puasa
mengajarkan untuk mengetuk pintu hati berbagi harta.
Lihatlah bagaimana nabi Yusuf AS dan nabi
Sulaiman AS mengajarkan pelajaran penting bagi kita.
Mereka tidak mau kenyang dulu sebelum orang-orang
yang berada dalam tanggungannya kenyang. Karena
mereka khawatir jika merasa kenyang terlebih dahulu,
maka akan melupakan orang-orang yang kelaparan.

5. Puasa dapat menambah pembendaharaan ketaatan


Puasa juga mengingatkan kita semua pada kondisi
dimana penghuni neraka selamanya merasa lapar dan
dahaga. Sehingga dengan demikian ketaatan harus selalu
ditambah dan diperjuangkan.
Apabila tidak demikian, jelas kita akan dekat
dengan penghuni neraka. Puncaknya kita juga sama-
sama akan menjadi warga negara neraka yang serba
tidak enak. Penuh lapar dahaga. Siksaannya pun silih
berganti setiap saat.

6. Puasa dapat menjadikan kita bersyukur


Puasa juga mengajarakna kita untuk bersyukur
kepada Allah SWT. Karena jelas biasanya seseorang akan

8
merasa harga dari sebuah pemberian itu terasa setelah
kehilangan. Begitu juga dengan berpuasa. Seseorang
yang berpuasa setelah merasakan lapar dan dahaga dia
akan meraskan betapa besar nikmat makanan yang
diberikan oleh Allah SWT ketika datang waktu berbuka.

7. Puasa dapat menghindarkan diri dari perbuatan


maksiat dan menyimpang
Seseorang yang sedang dalam kelaparan dan
kehausan lebih cenderung untuk mencari makanan serta
minuman. Sedang orang yang kenyang akan lebih
cenderung untuk menyimpang dan berbuat maksiat.
Dari itu, ada sebagian Ulama salaf yang lebih
mementingkan puasa dari pada ibadah lainnya. Karena
bagi mereka, saat Allah melihat nafsu mereka mengajak
pada makanan dan minuman lebih baik dan lebih
disukai daripada mengajak berbuat makasiat kepada-
Nya saat kondisi kenyang.

8. Puasa juga dapat menyehatkan


Terakhir, bentuk dari keistimewaan puasa ialah
dapat menyehatkan, baik pikiran dan badan. Terbukti,
ketika kita berpuasa, tentunya tidak banyak yang
dipikirkan karena sedang kondisi lapar. Begitu juga
dengan badan. Saat kita sedang berpuasa, badan terasa
enteng, tidak berat dan juga tidak sembarang melahap
semua makanan yang kadang mengakibatkan datangnya
penyakit. Rasulullah SAW bersabda:

9
‫صوموا تصحوا‬
“Berpuasalah kalian niscaya kamu akan sehat.” (HR.
Al-haitsami).

Itulah beberapa keistimewaan yang disampaian


oleh imam Izzuddi bin Abdis Salam. Hanya saja perlu
digaris bahawi, bahwa penyebutan jumlah bukanlah
sebuah batas. Karena keistimewaannya sungguh sangat
luar biasa banyaknya. Hanya saja demi memudahkan
untuk diingat dan diperioritaskan oleh kita. Agar kita
semakin semangat lagi untuk menghormati dan
menghargai puasa Ramadhan.

Disarikan dari buku, maqasid al-shium, karya imam


izzuddin bin abdis salam halaman 9-18.

Wallahu a’lam

10
CARA DAN KONSEKWENSI
KETERLAMBATAN QADHA’ PUASA
RAMADHAN

Selasa, 05/05/2020

S
ecara hukum, puasa Ramadhan memang sudah
ditetapkan sebagai kewajiban yang harus
dilaksanakan. Akan tetapi, faktanya ada saja
orang yang tidak berpuasa di bulan berkah itu.
Ada yang sudah niat dan memulai berpuasa, tapi
kemudian dibatalkan. Ada yang memang sama sekali
tidak pernah berpuasa dari awal hingga akhir
Ramadhan. Semuanya nyata dan ada di sekitar kita.
Motif dan penyebabnya juga berbeda-beda. Ada
yang tidak berpuasa karena murni faktor kesengajan dan
ada juga yang tidak berpuasa karena disebabkan uzur.
Mereka semua tetap diberi kewajiban mengqadha puasa

11
yang telah ditinggalakannya. Namun cara dan waktu
qadha-nya berbeda-beda. Apabila dia tidak berpuasa
karena murni faktor kesengajaan, maka cara dan waktu
qadha-nya harus disegerakan. Artinya, setelah
berlalunya bulan Ramadhan dan idul fitri dia harus
segera berpuasa sebagai bentuk ganti dan qadha dari
puasa yang ditinggalkan. Berarti dia tidak memiliki
keluasan waktu untuk mengganti.
Berbeda dengan orang yang tidak berpuasa
karena disebabkan uzur syar’i, seperti haid, nifas, sakit,
melakukan perjalan dan lain sebagainya, maka dia tidak
harus menyegerakan. Dia memiliki banyak waktu, yang
bisa dipilihnya kapan saja, yang penting tidak sampai
pada bulan Ramdhan berikutnya. Seterusnya, jika puasa
yang ditinggalkan lebih dari satu hari maka cara
menggadha-nya juga tidak harus berurutan. Boleh
dipisah-pisah, baik dalam satu bulan ataupun di bulan
lain, intinya tidak sampai pada bulan Ramadhan
berikutnya.
Kemudian, terkait seseorang yang terlambat
mengantinya, hingga datangnya bulan Ramadhan
berikutnya, maka perlu dilihat, apakah keterlambatan
disebabkan kesengajaan atau ada faktor lain? Jika
keterlambatan itu disebabkan faktor kesengajaan, maka
menurut imam Syafi’I dan para sahabatnya, dia memiliki
tiga konsekwensi, pertama, dia berdosa, kedua, dia tetap
wajib mengqadha puasa yang ditinggalkan, ketiga dia
harus membayar fidyah (memberi makan fakir miskin).
Dasarnya bisa dilihat dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, bahwa
mereka memerintahkan orang yang terlambat

12
mengqadha puasanya tanpa uzur untuk mengganti
puasa yang ditinggalkan dan membayar fidyah. (HR.
Daruquthni)
Namun, jika keterlambatan itu disebabkan karena
adanya uzur syar’i dan tidak disengaja, maka menurut
pendapat mayoritas, dia tidak berdosa dan tidak
memiliki beban membayar fidyah. Dia hanya wajib
mengqadha’ puasa yang ditinggalkan.
Alasan pendapat mayoritas ialah karena puasa
tepat waktu saja boleh diakhirkan berdasarkan uzur
apalagi qadha’nya. Berarti juga boleh diakhirkan. Di
samping itu, jelas karena memang tidak ada faktor
kesengajaan.
Terakhir, bagaimana jika seseorang yang tidak
berpuasa di bulan Ramadhan itu meninggal sebelum
mengqadha’ puasanya, apakah berdosa, dan bagaimana
seharusnya ahli waris yang ditinggalkan? Jika dia
meninggal sebelum lepas dari uzur yang menyebabkan
untuk meninggalkan puasa Ramadhan, seperti sakitnya
belum sembuh, maka dia tidak berdosa dan ahli
warisnya tidak memiliki kewajiban apapun, baik qadha
ataupun fidyah. Karena sudah jelas dia belum mampu
untuk mengganti puasanya.
Namun, jika dia sudah memiliki waktu untuk
mengqadha, hanya saja belum dilakukan karena malas
atau karena berpikir waktu qadha sangat luas, maka ahli
warisnya boleh memilih antara qadha atau membayar
fidyah. Keduanya tidak harus dilaksanakan semua oleh
ahli waris yang ditinggalkan. artinya jika salah satunya

13
yang dilakukan maka yang lainnya tidak menjadi
kewajiban.
Dasarnya riwayat Sayyidina A’isyah bahwa
baginda Nabi mengatakan, seseong yang wafat memiliki
hutang puasa, maka ahli warIs ataup walinya boleh
menggantikan posisinya, yakni mengqadha puasanya.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan yang didapatkan dari paparan di atas
ialah seseorang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan
tetap memiliki kewajiban untuk megqadha puasa yang
ditinggalkan. Apabila terlambat mengqadha-nya maka di
samping kewajiban qadha dia pun harus membayar
fidyah dan jika keterlambatannya karena faktor malas
dan kesengajaan. Namun jika sebaliknya, maka hanya
berkewajiban meng-qadha saja. Kemudian, andaikan dia
mati sebelum melaksanakan kewajiban qadha maka jika
sebelum mati dia tidak ada kemampuan untuk qadha
maka dia tidak berdosa dan tidak ada kewajiban apapun
terhadap ahli warisnya. Namun jika sebelum mati dia
sudah mampu, akan tetapi tidak melaksanakan, maka
ahli warisnya berkewajiban satu di antra dua pilihan.
Yakni qadha’dan membayar fidyah.

Sumber: Fiqh al-Shiyam karya Dr. Hasan Hitoo,


halaman 141-146

Wallahu a’lam

14
KHAWATIR TERHADAP
KESELAMATAN JIWA, WANITA HAMIL
DAN MENYUSUI BOLEH TIDAK PUASA
RAMADHAN?

Selasa,29/04/2020

W
anita yang sedang hamil dan menyusui
tentunya harus ekstra mengisi amunisi
berupa makanan dan lain sebagainya. Karena
gizi yang didapat tidak hanya untuk dirinya
sendiri. Ada orang lain yang juga turut serta
melahapnya. Berbeda dengan orang yang tidak sedang
hamil dan menyusui. Asupan gizi yang didapat hanya
untuk konsumsi dirinya. Tidak ada orang lain yang juga
ikut melahapnya, sehingga awet dan tidak cepat habis.

15
Sementara orang hamil dan menyusui jika
berpuasa, tentunya gizi yang didapat pada saat sahur
akan cepat habis di siang harinya. Akhirnya timbullah
efek negatif yang lebih besar dan lebih menyengsarakan
bahkan dapat membahayakan. Poin inilah yang sangat
diperhatikan oleh Islam. Sehingga ia harus hadir lebih
ramah dan lebih simpati. Agar ia tidak terlihat menyalahi
kodrat dan prinsipnya, sebagai agama yang rahmatan lil
alamiin.
Datanglah ketentuan lain sebagai persembahan
khusus bagi keduanya. Yakni keringanan untuk tidak
berpuasa di bulan Ramadhan. Kewajibannya bisa
ditunda di hari dan bulan lain. Perlu diperhatikan bahwa
ketentuan di atas diukur dengan adanya kekawatiran
terhadap keselamatan, baik keselamatan dirinya,
janinnya atau keselamatan keduanya. Makanya, istilah
yang digunakan dalam hukum puasa adalah kata yang
mengandung pilihan, yakni “boleh” tidak berpuasa.
Sehingga mereka berdua bisa memilih dengan boleh
tidak berpuasa, jika sudah ada rasa kawatir terhadap
keselamatan ketika melanjutkan berpuasa. Sebaliknya
jika rasa kawatir terhadap keselamatan tidak ada maka
dia tetap wajib melaksanakan puasa.
Ketentuan di atas sudah menjadi kesepakatan
antar ulama. Mereka berpedoman terhadap qiyas. Yakni
diqiyaskan terhadap orang sakit. Dimana dia boleh tidak
berpuasa di bulan Ramadhan jika khawatir terhadap
keselamatan dirinya.
Selanjutnya, terkait kewajiban yang tertunda yang
dijadikan judul oleh penulis di atas, mereka berdua
harus menganti puasanya di lain hari setelah bulan

16
Ramdhan jika memilih utnuk tidak berpuasa,
sebagaimana orang sakit yang tidak berpuasa. Mengenai
apakah ada kewajiban lain selain qadha dalam mazhab
Syafi’i, dan mazhab Imam Ahmad perlu dilihat objek
yang dikhawatirkan. Jika yang dikhwatirkan hanya
keselamatan diri mereka atau keselamatan diri dan anak
mereka, maka tidak ada kewajiban lain selain qadha.
Berbeda jika yang dikhawatirkan hanya keselamatan
anak mereka, maka tidak cukup qadha yang harus
ditunaikan. Akan tetapi, mereka juga harus memberi
makanan terhadap orang yang membutuhkan yakni fakir
miskin.
Kewajiban ini dikenal dengan sebutan fidyah.
Ukurannya sebanyak satu mud (7 ons) setiap harinya.
Kemudian, terkait waktu penyerahannya, bisa dilakukan
seketika pada saat bulan Ramadhan dan juga bisa
dilakukan setelah bulan Ramadhan.
Abu Hanifah, Hasan Basri, al-Nukha’i dan yang
sependapat dengan mereka berbeda dengan Imam
Syafi’i. Wanita hamil dan menyusui yang tidak puasa
karena kawatir terhadap keselamatan anaknya tidak
usah bayar fidyah, cukup qadha saja berdasarkan qiyas
terhadap orang sakit.
Sementara dasar pendapat Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad didasarkan pada hadis riwayat Abu Daud dari
Abdillah bin Abbas yang menyatakan bahwa firman
Allah swt:
‫وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين‬

17
“Bagi orang yang berat menjalankan puasa, maka
harus membayar fidyah, berupa memberi makanan
kepada fakir miskin.”

Ayat di atas telah dinasakh (dihapus


ketentuannya) kecuali hanya bagi orang yang sudah tua
renta, wanita hamil dan ibu menyusui yang khawatir
terhadap anaknya. Dari dasar itulah, Imam Syafi’i dan
Imam Ahmad mewajibkan fidyah di samping qadha.
Terkait kewajiban qadha jelas, karena mereka berdua
sudah memilih untuk tidak berpuasa di bulan Ramdhan
sehingga harus diganti pada hari yang lain. Kemudian
terkait rasa kawatir terhadap anak bisa menyebabkan
adanya fidyah, secara logika jelas, selain hadis di atas,
karena dia telah memilih untuk tidak berpuasa karena
faktor orang lain bukan faktor dirinya sendiri.
Sehingga dicukupkan pada qiyas terhadap orang
sakit masih kurang jelas. Karena dia tidak sama dengan
orang sakit. Maka, perlu ditambah penguat lain, yakni
hadis riwayat Abu Daud yang telah disebutkan di atas.
Jadi, wanita hamil pada dasarnya tetap wajib
berpuasa. Hanya saja, jika ia merasa kawatir terhadap
keselamatan diri, anak ataupun keselamatan keduanya
dia boleh memilih untuk tidak berpuasa. Puasa yang
semula diwajibkan boleh ditunda pada lain waktu
setelah ramadhan. Sehingga mereka berdua wajib
mengqadha puasa yang ditinggalkan. Selanjutnya,
terkait fidyah yang harus ditunaikan menurut Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad hanya fokus pada wanita hamil
dan menyusui yang hanya kawatir terhadap anaknya.

18
Sumber: Fikih Shiyam, karya Dr. Hasan Hito,
halaman 133-13

Wallahu a’lam

19
20
CARA PUASA PEREMPUAN
ISTIHADHAH

Sabtu,16/05/2020

K
ewajiban berpuasa tidak pandang bulu. Mau
laki-laki atau perempuan sama saja. Mereka
tetap harus sama-sama mengerjakan
layaknya kewajiban-kewajiban lainnya. Jika
tidak, maka pastinya akan berdosa. Hanya saja, perlu
diketahui bahwa sebagai seorang perempuan tentunya
ada banyak kendala dan halangan yang tidak dimiliki
laki-laki. Salah satunya ialah kehadiran tamu bulanan
yang dikenal dengan darah haid.
Ulama telah sepakat bahwa perempuan yang
sedang haid tidak diperbolehkan berpuasa. Jika tetap
memaksakan diri maka puasanya tidak dianggap alias
batal dan tetap berkewajiban mengganti di lain hari. (al-
Majmu’ Syarah al-Muhaddzab, 2/380). Diriwayatkan

21
oleh Sayyidah A’isyah bahwa kami (kaum perempuan)
diperintah oleh Rasulullah SAW untuk mengqadha salat
dan puasa di lain hari. Karena pada saat itu kami sedang
haid atau datang bulan. (HR. Bukhari 321, dan Muslim
335). Hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa
perempuan haid diharamkan berpuasa.
Kemudian bagaimana perempuan yang sedang
istihadhah? Apakah juga diharamkan berpuasa? Sebelum
melangakah terkait hukum berpuasa bagi perempuan
istihadah, penting diketahui terlebih dahulu bahwa
istihadah diartikan sebagai darah yang keluar dinlain
waktu haid dan nifas. Jadi, darah yang keluar dari batas-
batas haid dan nifas tidak dikatakan sebagai haid atau
nifas, melainkan disebut istihadhah.
Jenis perempuan yang mengalami istihadhah,
tidak sama rata. Ada yang masih pemula dan ada yang
sudah biasa haid. Selanjutnya, kondisi yang dialami juga
berberda-beda. Ada perempuan yang bisa mengetahui
atau membedakan darah serta ingat kebiasaan setiap
bulannya dan ada yang sebaliknya. Berkeitan dengan
semua itu, setidaknya ada tujuh macam kondisi
perempuan istihadhah (mustahdhah). Dari masing-
masing kondisi perlu dijelaskan agar dapat dimengerti
yang puncaknya dapat mengetahui akibat hukum yang
harus dikerjakan.

1. Mubtada’ah Mumayyizah
Perempuan dalam kondisi ini diartikan sebagai
pemula (belum pernah haid) dan dapat mengetahui
macam warna darah yang keluar, misalnya hitam dan

22
merah. Maka yang hitam dikatakan haid sedang yang
merah dikatakan istihadhah. Karena aturannya hitam
lebih kuat dari darah merah. Ketentuan tersebut akan
berlaku jika darah yang kuat tidak kurang dari 24 jam
dan tidak melebihi dari 15 hari. Kemudian darah yang
lemah tidak kurang dari 15 hari. Jika salah satu dari
ketiganya tidak terpenuhi maka akan memiliki ketentuan
lain.

2. Mubtada’ah Ghair Mumayyizah


Perempuan yang berstatus demikian ialah
perempuan yang tidak bisa membedakan darah yang
keluar, misalnya darah yang keluar semuanya satu
warna. Termasuk dalam katagori perempuan bentuk
kedua ini jika ketiga syarat di atas tidak terpenuhi.
Ketentuan yang diambil dalam kondisi seperti ini ialah
satu hari satu malam dikatakan haid, sedang sisanya
dikatakan suci atau istihadhah. Ini berlaku jika ia dapat
mengetahui tanggal permulaan keluar darah. Jika tidak
maka ia berstatus mutahayyirah (bingung dan bimbang)
dan ukumnya menyusul.

3. Mu’tadah Mumayyizah
Perempuan yang sudah biasa haid dan bisa
membedakan warna darah yang keluar termasuk
katagori tipe perempuan jenis ketiga. Ketentuan yang
diambil dalam hal ini, ia harus berpedoman pada
tamziznya bukan pada kebiasaan bulan sebelumnya.
Misalnya dia memiliki kebisaan 5 hari dalam setiap
bulannya, kemudian pada saat istihadhah dia melihat

23
darah kuat yakni hitam selama 10 hari, maka haidnya
tidak tergolong lima hari melainkan sepuluh hari.
Sisanya itu merupakan istihadhah.

4. Mu’tadah Ghair Mumayyizah yang ingat pada


jumlah dan waktu kebiasaan
Perempuan semacam ini sudah terbiasa haid dan
tidak bisa membedakan warna darah. Akan tetapi dia
ingat jumlah dan waktu kebiasaan bulan sebelumnya.
Aturan yang digunakan dalam hal ini ialah
dekembalikan pada kebiasaan. Misalnya dia biasa haid
selama lima hari mulai dari tanggal satu, kemudian pada
bulan selanjutnya dia haid melebihi dari 15 hari maka
yang terhitung haid 5 hari saja, selebihnya adalah
istihadhah.

5. Mu’tadah Ghair Mumayyizah yang tidak ingat


pada jumlah dan waktu kebiasaan
Perempuan tipe ini kebalikan dari tipe nomor
empat, biasa haid, tidak bisa membedakan darah dan
tidak ingat pada jumlah dan waktu memulai
kebiasaannya.

6. Mu’tadah Ghair Mumayyizah yang ingat pada


jumlah dan tidak pada waktu mulai kebiasaan
Perempuan yang biasa haid, tidak bisa
membedakan warna darah, ingat pada jumlah kebiasaan,
akan tetapi tidak ingat waktu memulai kebiasaan.
Misalnya, dia ingat bahwa dia haid selama 5 hari di
dalam sepuluh hari pertama dan dia tidak ingat kapan

24
memulainya. Hanya saja, dia tahu bahwa tanggal satu
dia suci.

7. Mu’tadah Ghair Mumayyizah yang ingat pada


waktu mulai kebiasaan tapi tidak pada jumlah
kebiasaan
Perempuan yang biasa haid, tidak bisa
membedakan warna darah, ingat pada waktu memulai
kebiasaan dan tidak ingat jumlah kebiasaan. Misalkan,
dia tahu bahwa haidnya dimulai tanggal satu, hanya saja
dia tidak tahu berapa hari jumlah kebiasannya.
Selanjutnya, terkait hukum puasa maka semua
tipe perempuan istihadhah di atas sama-sama
diwajibkan berpuasa. Mereka harus melaksakannya,
karena istihadhah sebagaimana yang disabdakan
baginda Rasulullah SAW.
‫أمر النبي صلّى هللا عليه وسلم نحمنة بنت نجحا بالصوم والصالة في‬
‫حالة االستحاضة (رواه أبو داود وأحمد والترمذي وصححاه (نيل‬
)١ /٢٧١:‫األوطار‬
“Baginda Nabi Muhammad saw memerintahkan
Hamnah Bint Jahsyin untuk berpuasa dan salat pada
saat istihadhah” (HR. Abu Daud, Ahmad dan
Turmudzi)
Hanya saja cara pelakasanaan puasanya berbeda
dalam mazhab Syafi’i. Perempuan yang masuk dalam
tipe pertama, kedua, ketiga, dan keempat tidak harus
berpuasa lagi setelah Ramadhan. Sedang tiga model
perempuan terakhir di atas (lima, enam dan tujuh) yang
dikatakan mutahayyirah (bingung dan bimbang) selain
berpuasa dibulan Ramadhan dia harus berpuasa satu

25
bulan penuh dan enam hari di dalam jangka waktu 18
hari. Tiga hari di awal dan tiga hari di akhir.
Logikanya, karena dalam setiap bulan perempuan
tidak lepas dari haid. Sementara puasa ramadhan yang
dilakukan tentunya tidak semua dianggap sah,
melainkan hanya 14 hari saja, begitu juga dicsatu bulan
kemudian. Puasa yang dianggap hanya 14 hari.
Jumlahnya menjadi 28 hari. Masih kurang 2 hari.
Sehingga butuh dua hari lagi. Dua hari ini bisa dilakukan
dengan cara berpuasa enam hari dalam jangka waktu 18
hari dengan dipilah 3 hari diawal dan 3 hari diakhir.

Lihat: al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, karya Wahbah


al-Zuhaili, juz 1, halaman 633 (Maktabah Syamilah)

Wallahu a’lam

26
SEJARAH DAN GAMBARAN
PELAKSANAAN PUASA
DI AWAL ISLAM

Kamis,09/04/2020

P
elaksanaan puasa wajib pada awal mula Islam
tidak sama sebagaimana kita kenal sekarang.
Mulai dari bulan, penekanan hingga waktu
pelaksanaannya selalu saja mengalami
perubahan sampai pada akhirnya sampai pada kita
sekarang.
Masa-masa awal Islam, puasa dilakukan bukan di
bulan Ramadhan, tapi dilaksanakan setiap bulan. Hanya
saja tidak setiap hari. Ia dilaksanakn tiga hari dalam
setiap bulannya. Kemudian ditambah dengan puasa hari
as’syura. Selanjutnya terkait kewajiban puasa, turunlah
firman Allah SWT yang termuat dalam surat Al-Baqarah

27
ayat 183 yang artinya “Diwajibkan atas kalian berpuasa
sebagaimana puasa umat-umat sebelum kalian”.
Kewajiban berpuasa ini masih bersifat pilihan
antara melakukan atau membayar tebusan dengan
memberi makan orang miskin. Ini didasarkan pada
potongan terakhir dari ayat di atas yang artinya ”dan bagi
orang yang tidak mampu melakukannya disilahkan membayaar
fidyah dengan memberi makan orang miskin”.
Baru setelah itu turunlah ayat perintah berpuasa
di bulan Ramadhan. Yakni ayat yang termuat dalam
surah Al-Baqarah ayat185 yang artinya “Bulan ramadhan
dimana al-Qur’an diturunkan di dalamnya sebagai
bentuk petunjuk bagi manusia dan penjelas dari
petunjuk dan al-furqan, barang siapa berada didalamnya
maka harus melakukan puasa.
Diriwayatkan dalam hadis riwayat Abu Daud
yang artinya:
” Rasulullah saw berpuasa setiap bulan sebanyak tiga
hari dan ditambah dengan puasa hari as’syura. Baru
kemudian turunlah ayat dalam surat al-Baqarah 183 di
atas”.
Ada riwayat lain dari Imam Bukhari, Muslim,
Daud dan Turmudzi yang artinya:
“Puasa hari a’syura pernah diwajibkan sebelum
ramadhan, setelah turun perintah puasa ramadhan baru
diberikan pilihan antara berpuasa atau tidak”.
Kemudian terkait pilihan antara melaksanakan
puasa dan tebusan, ada riwayat Bukhari yang artinya:

28
”Sahabat-sahabat rasulullah saw awal mulanya merasa
kesulitan melaksnakan puasa ramadhan. Sehingga ada
yang tidak berpuasa dengan membayar fidyah
berdasarkan ayat di atas. Akan tetapi dinasakh oleh
akhir ayat di atas. Maka mereka diperintahkan untuk
berpuasa saja.”
Selanjutnya, riwayat Bukhari lainnya mengatakan
yang artinya:
”Ketika ayat yang berarti (dan bagi yang berat
melaksanakan puasa maka wajib membayar fidyah)
maka barang siapa mau berpuasa maka diperbolehkan
dan barang siapa yang tidak mau berpuasa maka
membayar tebusan. Kemudian baru dinasakh dengan
ayat setelahnya.”
Kemudian terkait dengan waktu memulainya
berpuasa juga berbeda dari apa yang kita lakukan
sekarang. Pada masa awal islam berpuasa di mulai ketika
sudah tidur dan sudah melaksanakan salat isya.
Contohnya bisa dilihat dalam hadis yang
diriwayatkan Imam Bukhari yang artinya:
”Bahwa sahabat Rasulullah saw ketika berpuasa dan
kemudian sudah masuk waktu buka akan tetapi dia
tidak buka dan tertidur, maka dia tidak makan, minum
dan hal-hal yang dapat membatalkan lainnya.”
Lanjutan riwayat di atas menceritakan tentang
seseorang yang bernama Qais. Pada suatu waktu dia
berpuasa. Ketika sudah tiba waktu buka dia pulang dan
meminta makanan pada istrinya. Akan tetapi istrinya
mengatakan tidak punya dan berusaha mencarikan
keluar. Setealah istrinya datang tiba-tiba Qais sudah

29
tertidur. Jadi dia tidak makan. Pada waktu siang pada
keesokan harinya dia pingsan.
Lalu kejadian itu disampaikan kepada baginda
Nabi Muhammad SAW. Kemudian turunlah ayat yang
Aatinya ” dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa
untuk melakukan hubungan suami istri...” sampai pada ayat
yang berarti “ hingga terbitnya fajar”.
Ada riwayat Imam Ahmad yang menggambarkan
kejadian yang berbeda dari kejadian Qais di atas. Yakni
kejadian yang dialami Sayyidina Umar. Beliau pada
suatu malam datang dari rumah Rasulullah SAW.
sedang istrinya sudah tidur. Waktu masih panjang.
Beliau ingin bersenggama. Tiba-tiba dia
membangunkannya dan terjadilah hubungan itu.
Mengetahui kejadian tersebut, ditirulah oleh Ka’ab bin
Malik. Lalu disampaikan pada Rasulullah dan turunlah
ayat yang artinya“…dan sekarang silahkan gaulilah istri
kalian”.
Selanjutnya, puasa Ramadhan ini pada awalnya
diperintahkan pada tahun kedua hijriah tepatnya di
bulan Sya’ban. Kemudian selama hidupnya baginda
Nabi selama hidupnya pernah melangsungkan puasa
wajib sebanyak sembilan kali.
Jadi, puasa dalam sejarahnya mengalami banyak
perubahan. Tidak segera matang begitu saja
sebagaimana yang kita ketahui dan alami sekarang. Ini
membuktikan bahwa islam memiliki prinsip
memudahkan dengan tidak memberlakukan ajarannya
secara sekaligus dan menyulitkan. Jika ia maka
kesempurnaanya akan berkurang

30
Sumber: Fiqh al-Shiyam karya Dr. Hasan Hito,
halaman 10-13.

Wallahu a’lam

31
32
HUKUM DAN KRITERIA UTAMA
PELAKU PUASA RAMADHAN

Minggu, 12/04/2020

S
udah barang tentu diketahuai secara pasti
bahwa hukum puasa Ramadhan merupakan
kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Karena
jelas kita belum pernah menjumpai seorang
Ulama pun yang menyangkal hal itu. Tidak hanya itu,
kita sudah mengetahui sedari kecil bahwa salah satu
rukun Islam adalah kewajiban melaksanakan puasa
Ramadhan. Itu artinya bahwa puasa Ramadhan menjadi
salah satu penguat bangunan keislaman kita.
Dasarnya jelas tersebut dalam firman Allah SWT
dalam surat Al-Baqarah ayat 183, dan 185 serta beberapa
sabda Nabi Muhammad berikut:

33
‫ن اعأ نُّ ه اعل َّذ بِ نَ عآِ نُ ولع ُك ِتب َ عَ َ ي ُك م علَّ صِّ ي ام عك م اع ُكعِتب َ عَ َ عل َّذ بِ نَ ب‬
‫عِ َ ع‬ ُ ُ
‫ق ب َب ُك م عَّ ع َذ ُك م عت ِتذ قُ ونع‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa” (al-Baqarah 183)

‫ات ب‬ ‫عه ًد ىعَّبَ نذا ب‬ ‫ب‬ ‫ب‬


‫عِ َ ع‬ ٍ ‫سععو ب يِّ ن‬ ُ ُ‫ش ه ُر عرِ ض ان عل َّذِ يعأُن زبل عف يهب علَّ قُ رآ ن‬
‫ب‬ ‫ى عو لَّ فُ رق ب‬
ُ‫ان عۚ عف م َععش به دععِ ن ُك مُععلَّ شذ ه رععف َ ي صُعم هع‬ ٰ ‫لَّ هُ د‬
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu,
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu.” (al-Baqarah 185)

ّ
‫ وكان رسول هللا – صلى هللا‬،‫كان يوم عاشوراء تصومه قريش في الجاهلية‬
ّ
ّ ،‫وسلم – يصومه في الجاهلية‬
‫فلما‬ ‫ وأمر عليه‬،‫قدم املدينة صامه‬
‫ ومن شاء‬،‫ فمن شاء صامه‬،‫فلما فرض رمضان ترك يوم عاشوراء‬ ّ ،‫بصيامه‬
‫ وأحمد‬،‫ والترمذي‬،‫ وأبو داود‬،‫ ومسلم‬،‫تركه) أخرجه البخاري‬
“pada zaman jahiliyah orang-orang Quraisy melakukan
puasa pada hari a’syura, dan rasul pun juga pernah
melakukannya. Kemudian setelah hijrah ke Madinah
beliau berpuasa serta memerintahkan para sahabatnya
untuk melakukannya. Namun setelah turunnya

34
perintah puasa Ramadhan beliau tidak memerintahkan
lagi untuk berpuasa pada hari asyura, beliau
memberikan kebebasan bagi yang mau melaksanakan
disilahkan dan yang tidak berminat juga tidak jadi
masalah.”

: ‫عن أبي عبد الرحمن عبد هللا بن عمر بن الب اض را ل هللا عا ما قال‬
‫ ش َه َاد ِة‬: ‫س‬
َ ‫ُ َ إ إ َ ُ ََ َ إ‬ َّ َّ
ٍ ‫ ب ِنل ِْلاسَلم على خم‬: ‫َسمعت النبل صلى َ هللا عليه وسلم يقول‬
َ َّ َ َ َّ َ ُ ‫إ َ َ َّ ُ َ َّ ُ َ ً ُ إ‬
، ‫الزكا ِة‬ ‫ َو ِإ إيت ِاء‬، ‫الصَل ِة‬ ‫ َو ِإق ِام‬، ‫هللا‬
ِ ‫أن َل ِإله ِإَل هللا و أن مح َّمدا َرسول‬
َ َ ََ ‫َ َ إ‬ ‫إ‬
‫رواه البخاري و مسلم‬. ‫ضان‬ ‫ و صو ِم رم‬، ‫َو َح ِ ّج ال ََب إي ِت‬
Dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma-, katanya,
“Aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda, ‘Islam dibangun di atas lima hal :
persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak
disembah dengan benar kecuali Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, naik haji, dan puasa Ramadhan’”. (Al-Bukhari
dan Muslim)

Selanjutnya, sekalipun hukum puasa ramadhan


merupakan kewajiban dan menjadi salah satu bagian
dari bangunan islam, di sana ada kriteria utama yang
perlu diperhatikan khususnya bagi pelaku puasa.
Yakni, islam, baligh, dan berakal. Ketiga kriteria utama
tersebut menjadi penentu status hukum puasa
Ramadhan bagi pelakunya. Jika pelaku tidak memenuhi
standar kriteria maka hukum puasa ramadhan baginya

35
tidaklah wajib. Umpamanya dia beragama non muslim
(kafir), gila atau masih kecil.
Lalu pertanyaannya apakah betul orang kafir
tidaklah diwajibkan berpuasa? Betul sekali. Ia tidak
wajib melaksanakan puasa. Karena jelas puasa
membutuhkan keislaman dan andaikan dia
melaksanakan maka puasanya batal. Akan tetapi, ia
tetap dapat siksa di akhirat nanti. Karena ia sudah
memilih agama selain Islam.
Allah swt berfirman dalam surah al-Muddatsir
ayat 42-43 berikut:
‫ك م نِن ۡٱل ُم ن‬
)43(‫صلِّين‬ ُ ‫) نقالُوا نلمۡ نن‬42(‫نما نس نل نك ُكمۡ فِي نس نق نر‬
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar
(neraka)? Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak
termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,"
Berdasarkan firman tersebut, menjadi jelas bahwa
alasan masuknya mereka kedalam neraka ialah karena
kelalaian mereka mengerjakan perintah salat. Begitu
juga dengan perintah lainnya seperti puasa. Perlu
digaris bahawi bahwa semua perintah Allah SWT itu
membutuhkan keimanan yang kemuadian disebut
islam. Kemudian terkait anak kecil yang belum baligh,
puasa ramadhan juga belum menjadi sebuah kewajiban
baginya. Karena dia belum cakap hukum, sehingga
cacatan amal perbuatan buruk belum diaktifkan
untuknya.
Akan tetapi andaikan dia berpuasa tetap
mendapatkan sebuah pahala. Maka dari itu, selaku
orang tua harus mengajarinya sedikit demi sedikit.

36
Dengan harapan dia bisa terlatih ketika sampai pada
waktunya. Dari itu, sabda Nabi Muhammad saw
memerintahkan kepada para orang tua untuk mengajari
anak-anaknya melaksanakan salat wajib ketika
memasuki pada usia tujuh tahun. Kemudian beliau juga
memerintahkan untuk memberikan hukuman pada
mereka yang tidak mau salah ketika sudah sampai pada
umut sepuluh tahun. (H.R. Abu Daud)
Puasa juga begitu. Dikiaskan dan disamakan
dengan salat. Karena keduanya sama-sama perintah dan
menjadi rukun Islam. Sehingga orang tua wajib
mengajari anaknya berpuasa diasaat berumur tujuh
tahun, dan ketika sudah berumur sepuluh tahun
ternyata dia tidak melaksanakan puasa maka orang tua
wajib memberikan hukuman.
Digambarkan dalam sebuah hadis riwayat
Bukhari dan Muslim bahwa ada salah satu keluarga
yang melakukan puasa asyura. Mereka juga mengajari
anak-anaknya untuk melakunnya. Tapi selain itu,
mereka disuguhi permainan agar tidak jenuh.
Kemudian, disaat mereka merengek-rengek minta
makan maka keluaarga tersebut menyuguhkan
makanan untuk mereka. Terakhir, yang tidak temasuk
diwajibkan berpuasa berdasarkan kriteria utama di atas
ialah orang gila. Sebelum ia sembuh kewajiban puasa
khususnya dan kewajiban-kewajiban lainnya tidak bisa
aktif. Karena jelas dia tidak cakap hukum berkat
akalnya yang sudah tidak berfungsi.
Dikatakan dalam hadis Rasulullah SAW, yang
diriwayatkan oleh Abud Daud, Nasa’I, Ahmad dan
Ibnu Majah, bahwa ada tiga orang yang tidak dicatat

37
amal perbuatannya, yakni anak kecil hingga baligh,
orang tidur hingga dia bangun dan orang gila hingga
dia sembuh.
Selain dari tiga keriteria utama di atas, terdapat
keriteria lain yang juga perlu diperhatikan. yakni
kemampuan untuk melaksanakan puasa. Artinya jika
tidak mampu berdasarkan uzur, seperti sakit, lemah
dan lain sebaginya ia tidak masalah meninggalkan
puasa. Akan tetapi wajib mengganti baik dengan puasa
atau dengan lain sebagainya disaat uzurnya sudah
hilang. Berbeda dengan orang yang mampu
melaksanakan, akan tetapi dia tidak melaksanakan
puasa. Maka dia perlu dilihat, apakah dia menentang
dan sombong terhadap kewajiban puasa atau karena
hanya berdasarkan rasa malas untuk mengerjakannya.
Jika ia termasuk orang yang menentang dan tidak
tergolong orang baru dalam islam atau tidak tinggal di
daerah pedalaman yang jauh dari pemuka agama, maka
dikatakan murtdad. Karena jelas dia mengingkari
sebuah kewajiban yang menjadi salah satu bangunan
islam.
Akan tetapi jika ia tidak melaksanakan puasa
karena berdasarkan rasa malas, maka ia tetap dikatakan
sebagai orang islam. Akan tetapi perlu diberikan
pelajaran atau hukuman. Seperti tidak diberikan
makanan diwaktu siang atau lain sebagainya. Intinya,
agar dia merasakan bahwa berpuasa itu merupakan
sebuah kewajiban yang harus dilkukan.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa
puasa merupakan sebuah kewajiban yang harus

38
dilakukan oleh orang yang sudah memenuhi tiga
keriteria utama. Yakni, islam, baligh, dan berakal.
Ditambah dengan kriteria terakhir yaitu kemampuan
melaksanakan Selanjutnya, seseorang yang sudah
memenuhi standar kriteria tersebut , akan tetapi ia tidak
melaksanakannya karena inkar dan menentang
terhadap hukum puasa maka dia dinyatakan sebagai
orang kafir. Namun apabila dia tidak melaksanakan
puasa berdasarkan rasa malas saja maka dia tetap
dikatakan orang islam. Hanya saja, dia harus diberikan
hukuman agar jera.

39
40
DELAPAN MODEL PUASA
SUNNAH YANG SEHARUSNYA TIDAK
DILUPAKAN

Minggu, 12/04/2020

F
aidah puasa memang sangat baik dirasakan. Ia
secara medis memang menyehatkan dan secara
moral dapat memberikan banyak pelajaran bagi
para pelakunya. Islam sangat peduli terhadap
perilaku semacam ini. Sehingga ia tidak hanya
mencukupkan dengan puasa wajib saja. Melainkan juga
ada puasa sunah yang juga tidak boleh dilupakan, ya
sekalipun tidak menjadi menjadi kewajiban.
Dalam islam, setidaknya terdapat delapan model
puasa sunah yang seharusnya diperebutkan oleh kita
semua selaku umat islam. Ya walaupun prakteknya
sangat sulit dilakukan.

41
1. Puasa enam hari dibulan Syawal
Puasa sunah yang sangat dianjurkan untuk
dilakukan ialah puasa enam hari di bulan Syawal. Pahala
yang dijanjikan sangatlah besar sebagaimana sabda
baginda Nabi besar Muhammad SAW:
‫من صام رمضان ثم أتبعه بست من شوال كان كصيام الدهر (أخرجه‬
)1164 ‫مسلم‬
“Barang siapa yang berpuasa dibulan Ramadhan
kemudian dilanjut dengan berpuasa enam hari dibulan
Syawal maka dia bagaikan berpuasa selama satu
tahun.” (HR. Imam Muslim 1164).

Puasa Ramadhan dan puasa enam hari di bulan


Syawal disamakan dengan puasa satu tahun dalam hadis
di atas, karena memang satu kebaikan dilipatgandakan
menjadi sepuluh kebaikan. Itu artinya, satu hari dari tiga
puluh enam (36) hari (jumlah puasa Ramdhan dan puasa
enam hari bulan syawal) disamakan dengan sepuluh
hari, maka jumlah keseluruhan menjadi 360 hari, yakni
satu tahun. Mengenai pelaksaannya, ia boleh dilakukan
kapan saja di bulan Syawal. Baik di awal, di tengah atau
di akhir. Lebih dari itu juga boleh dilakukan secara tidak
berurutan. Hanya saja yang lebih dianjurkan ia dimulai
pada tanggal 2 syawal dan dilakukan secara terus
menerus.

2. Puasa hari arafah


Puasa di hari arafah juga tidak kalah menarik
untuk dilakukan. Karena pelakunya juga dijanjikan

42
pahala yang sangat besar, yakni pembebasan dari dosa
yang telah lalu dan dosa yang akan datang sebagaimana
sabda Nabi Muhammad SAW.
‫ إن النبي صلى هللا سئل عن صوم يوم عرفة‬: ‫عن أبي قتادة قال‬
‫ يكفر السنة الماضية والسنة الباقية‬:‫فقال‬
“Dari Abi Qatadhah berkata: sesungguhnya Nabi besar
Muhammad saw pernah ditanya tentang puasa hari
arafah, beliau bersabda: ia dapat membebaskan dosa lalu
dan dosa yang akan datang.” (HR. Muslim 1162).

Pelaksanaan puasa arafah hanya disunahkan bagi


selain jamaah haji. Karena mereka pada saat itu
dianjurkan untuk tidak berpuasa sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Di mana beliau
pada saat itu tidak berpuasa. (HR. Bukhari 1988 dan
Muslim 1123)
Selain itu, karena jamaah haji sangat dianjurkan
untuk berdoa pada saat hari arafah. Karena pahalanya
sangat agung dan mulia. Sehingga jika mereka berpuasa
akan berefek negatif terhadap kondisi jiwa mereka yang
puncaknya akan tidak begitu memaksimalkan waktu.

3. Puasa taasu’a dan asyura


Puasa ini dilakukan di bulan Rajab tepatnya pada
tanggal sembilan dan tanggal sepuluh. Rasulullah SAW
mengatakan bahwa puasa yang dilakukan dihari
kesepuluh bulan Rajab dapat mengampuni dosa yang
sudah lalu. Kemudian beliau melangatakan “Andaikan
saya masih diberikan umur panjang, maka saya akan berpuasa

43
pada hari kesmbilan (Taasu’a) dibulan ini. (HR. Muslim
1162).

4. Puasa sya’ban
Puasa bulan Sya’ban sangat dianjurkan. Karena
memang rasulullah saw berpuasa pada bulan Sya’ban
melebihi bulan-bulan lainnya selain bulan Ramadhan.
(HR. Muslim 1157). Puasa pada bulan ini tidak dibatasi
dengan hari-hari tertentu. Akan tetapi sebagaimana
riwayat hadis tersebut berpuasa sebanyak mungkin yang
tidak pernah dilakukan dalam bulan-bulan lainnya
sealain bulan ramadhan.

5. Puasa di bulan Muharam


Puasa di bulan Muharam juga tidak dibatasi
dengan hari-hari khusus. Hanya saja, baginda Nabi besar
Muhammad SAW tidak melakukannya puasa terlalu
banyak sebanyak seelayaknya berpuasa di bulan
Sya’ban.
Pahala yang dijanjikan bagi yang mengamalkan
puasa Muharam juga sangat besar, yakni dikatakan
sebagian puasa yang paling mulia setelah puasa
Ramadhan sebagimana yang disabdakan oleh baginda
Nabi besar Muhammad SAW:

‫أفضل الصيام بعد رمضان شهر هللا المحرم وأفضل الصالة بعد‬
‫الفريضة صالة الليل‬
“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan
adalah puasa di bulan Muharam dan salat yang paling

44
utama setelah salat wajib adalah salat malam.” (HR
Muslima 1163)

6. Puasa Ayyam al-Baidh


Puasa Ayyam al-Baidh (hari-hari putih) ialah puasa
tiga hari dalam setiap bulan, tepatnya pada 13, 14 dan 15.
Puasa model ini pahalnya juga disamakan dengan
berpuasa satu tahun sebagaimana yang di sabdakan oleh
baginda Nabi Muhammad SAW. (HR. Turmudzi dan
Ibnu Majah)

7. Puasa senin dan kamis


Puasa model begini dianjurkan karena memang
Rasulullah SAW tidak pernah meniggalkannya. Karena
pada hari senin beliau dilahirkan dan mendapatkan
wahyu. (HR. Muslim 1162)
Di samping itu, hari senin dan kamis menjadi hari
yang dipilih oleh Allah swt untuk melaporkan amal
perbuatan umat manusia selama satu minggu. Sehingga
selayaknya pada hari itu, mereka sedang berpuasa. (HR.
Turmudzi 747)

8. Puasa Daud
Puasa model ini dilakukan dengan satu hari
berpuasa dan satu hari tidak. Ia paling disukai oleh
Rasulullah SAW diantara model-model lainya. Puasa ini
dikatakan puasa daud karena memang puasa yang
dilakukan oleh Nabi Daud dan umatnya. (HR. Muslim
1159)

45
Maka dapat disimpulkan bahwa puasa sangat
dianjurkan oleh islam karena selain secara medis dapat
menyehatkan, ia juga dapat melahirkan pahala-pahala
yang luar biasa.
Selanjutnya, puasa selain yang diwajibkan
terdapat delapan model puasa sunah yang juga
seharusnya dilakukan. Yakni, puasa enam hari, puasa
hari arafah, puasa tasu’a dan a’syura, puasa sya’ban,
puasa muharram, puasa ayyamu al-Baidh, puasa senin-
kamis dan puasa daud.

Sumber, Maqasid al-Shaum, karya imam Izzuddin bin


Abdis Salam, halaman 36-43, dan Fiqh al-Shiyam, karya
Dr. Hasan Hito, halaman 147-150.

46
CARA MENENTUKAN AWAL
RAMDHAN DAN AWAL SYAWAL

Senin, 13/04/2020

R
amadhan telah dipilih oleh Allah SWT sebagai
wadah serta waktu pelaksanaan kewajiban
berpuasa. Bahkan tidak hanya itu, Allah juga
menyampaikan kepada kita melalui penjelasan
rasul-Nya tentang cara mengetahui kapan Ramadhan
dimulai dan berakhir.
Ada dua cara yang disampaikan kepada kita
untuk mengetahui awal dan akhir Ramadhan. Pertama,
melalui cara melihat hilal (bulan sabit). Kedua, dengan
cara menyempurnakan bulan sebelumnya genap menjadi
tiga puluh hari. Cara pertama, bisa dilakukan dengan
melihat hilal pada malam tanggal 30 bulan sebelumnya
(Sya’ban). Jika sudah betul-betul terlihat, maka esok
harinya sudah wajib memulai puasa Ramadhan. Ini

47
artinya, berarti bulan Sya’ban hanya 29 hari. Sedang cara
kedua, dilakukan apabila langit sedang mendung dan
berawan, atau memang betul-betul belum ada bulan
pada malam tanggal 30 bulan Sya’ban. Dari itu, maka
harus menggenapkan bulan Syawal menjadi 30 hari.
Begitu juga seterusnya, dalam menentukan akhir
Ramadhan serta awal Syawal. Lihalah hilal pada malam
ke 30 bulan Ramadhan. Jika ada, berarti puasa harus
dihentikan dan merayakan hari raya Idul Fitri. Namun
jika ternyata belum ada atau lagi mendung maka
lanjutkan berpuasa hingga genap 30 hari. Kemudian,
baru bisa merayakan Idul Fitri.
Rasulullah saw bersabda:
‫ فإن غمي عليكم فأكملوا عدة شعبان‬,‫صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته‬
‫ثالثين يوما‬
“Berpuasalah kalian semua jika sudah melihat hilal dan
berhentilah berpuasa jika sudah melihat hilal. Namun
apabila langit sedang mendung dan berawan maka
genapkankanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (H.R
Bukhari)

‫التقدموا الشهر حتى ترو الهالل أو تكملوا العدة‬


“janganlah kalian mengedepankan awal bulan sebelum
melihat hilal atau sebelum menggenapkan hari menjadi
30.”

Selanjutnya yang perlu diperhatikan bahwa


hitungan hari dalam bulan qamariah tidak lepas dari

48
angka 29 hingga 30. Tidak boleh angka 28 dan angka 31.
Dari itu, penjelasan hadis di atas, berada di kisaran 29
dan 30 saja.
Rasulullah saw bersabda:
‫ يعني مرة تسعا‬,‫ الشهر هكذا وهكذا‬,‫انا أمة أمية النكتب وال نحسب‬
‫وعشرين ومرة ثالثين‬
“kita adalah uamt yang ummi, tidak bisa tulis dan tidak
bisa hisab, jumlah bulan itu begini dan begin, yaitu,
kadang 29 hari dan kadang 30 hari.” (H.R. Bukhari
dan Muslim)

Hadis di atas, disampaikan bahwa Rasulullah


memberikan isyarat dengan sepuluh jarinya sebanyak
tiga kali, selanjutnya sepuluh jarinya sebanyak dua kali
dan satu kali dengan sembilan jari. Ini menandakan
bahwa jumlah hari dalam satu bulan bisa 30 hari dan
juga bisa 29 hari.
Selanjutnya, kesaksian terkait adanya adanya hilal
tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Hanya orang
yang berpredikat muslim dan adil yang bisa
melakukannya. Tanpa kedua predikat itu maka
kesaksiannya tidak bisa dijadikan sandaran dalam
mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan untuk
orang lain. Tapi untuk dirinya tetaplah wajib
melakukannya puasa berdasarkan kesaksiannya.
Ketentuan tersebut merupakan pendapat
mayoritas pakar fikih, seperti imam Syafi’i, Ibn al-
Mubarak, Ahmad bin Hambal, dan Abu Hanifah. Hanya

49
saja, menurut Abu Hanifah, ketentuan di atas bisa
dilakukan jika langit sedang mendung dan berawan.
Nabi Muhammad SAW bersabda sebaga berikut:
“Suatu ketika ada seserang yang datang pada
rasulullah saw. mengatakan “ wahai Rasulullah, saya
sudah melihat hilal”, Rasulullah menyanggah “ apakah
engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?”,
orang itu bilang “ia wahai Rasulullah”, kemudian
baginda Nabi memerintah bilal untuk menyiarkan pada
seluruh umat islam untuk berpuasa hari esok.” (HR.
Abu Daud)
Abdullah bin Umar mengatakan bahwa
“Masyarakat sudah melihat bulan, kemudian saya
mengabarkan kepada baginda Nabi Muhammad saw
bahwa saya juga sudah melihatnya. Kemudian baginda
Nabi berpuasa dan memerintahkan umat islam juga
melakukannya.” (HR. al-Hakim)
“Sayyidina Ali menceritakan bahwa ada seseorang
yang sudah menyaksikan adanya hilal, beliau langsung
berpuasa dan menyuruh umat islam untuk juga ikut
berpuasa dan beliau mengatakan, “puasa satu hari
dibulan Sya’ban lebih saya sukai daripada
meninggalkan puasa satu hari di bulan Ramadhan.”
(H.R. Syafi’i)

Hadis di atas, jelas memberikan legalitas pada kita


bahwa kesaksian seseorang terkait adanya bulan harus
dilakukan oleh seorang muslim. Sedang keadilan itu

50
disyaratkan apabila kesaksiannya mau dijadikan
pegangan oleh orang lain.
Hanya saja, menurut Ulama, perlu dibedakan
antara kesaksian penetapan satu Ramadhan dangan
kesaksian penetapan satu Syawal. Penetapan satu
ramadhan bisa dilakukan oleh seroang saja yang sudah
memenuhi standar kriteri di atas. Berbeda dangan
penetapan satu syawal, menurut mereka harus dilakukan
minimalnya dua orang. Dasarnya ialah hadis di atas.
Permasalahannya sekarang, bagaimana jika
kesaksian seseorang terkait adanya hilang ditentang oleh
para pakar hisab dan pakar palak, karena berdasrkan
bukti-bukti ternyata bulan tidak ada dan belum
memungkinkan untuk dilihat. Menurut Imam Assubky
dan Dr. Hasan Hitoo, kesaksiannya dapat ditolak.
Karena jelas dan pasti, secara logika hilal pada saat-saat
awal mula terbinya sangat sulit dilihat dengan bantuan
teleskop apalagi dengan mata telanjang.
Jadi, kesaksian yang bersifat zanni itu dikalahkan
dengan bukti-bukti yang bersifat pasti. Dari itu
kesaksiannya dapat ditolak. Ini berbeda dengan
mayoritas Syafi’iyah lainnya. Mereka tetap mengatakan
akan menerima kesaksian seseorang yang sudah
memenuhi standar.
Kemudian, terkait dengan sudah diterimanya
kesaksian adanya hilal, maka menurut syafi’iyah hanya
berlaku bagi satu daerah yang memiliki kesamaan dalam
awal mula terbitnya bulan. Tidak berlaku bagi daerah
yang berbeda waktu terbitnya. Berbeda dengan mazhab

51
Hanafi, yang mengatakan bisa berlaku bagi seluruh
daerah.
Dasar mazhab Syafi’i dalam hal ini ialah kejadian
yang dialamai Kurayyib. Ia datang dari Syam ke
Madinah. Mengabarkan kepada sayyidina Abbas, bahwa
dia sudah melihat bulan di Syam pada hari jum’at.
Kemudian dia, Muawiyah dan umat islam lainnya
berpuasa. Akan tetapi Ibnu Abbas mengatakan bahwa
dia melihat bulan pada malam Sabtu, dan dia tidak
berpuasa hingga menyempurkan bulan Sya’ban menjadi
30 hari dan dia mengakhiri percakapannya dengan
pernyataan “Begitulah yang di ajarkan dan diperintahkan
oleh Baginda Rasulullah SAW.”
Dalam pemasalahan perbedaan waktu terbitnya
hilal, ulama memberikan beberapa pernyataan. Di
antaranya, seseorang yang melakukan perjalanan dari
suatu daerah ke daerah lain yang memilik perbedaan
waktu terkait terbitnya hilal harus mengikuti daerah
tujuan dalam mengawali dan mengakhiri puasa
Ramadhan. Tidak boleh tetap mengacu pada daerah
asalnya.
Misalnya, seseorang pergi dari suatu daerah yang
sudah melangsungkan puasa pada hari jumat karena
sudah menyaksikan bulan, ke suatu daerah yang
puasanya dimulai pada hari sabtu, maka dia dianggap
memulai puasanya pada hari sabtu. Karena dia sudah
termasuk bagian dari masyrakat tujuan. Sehingga
otomatis dia akan lebih banyak berpuasa daripada
mereka yang memang tinggal didaerah tujuan. Dan
begitu juga sebalikanya.

52
Kesimpulan dari paparan di atas, bahwa
penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal menurut mayoritas
Syafi’iyah didasarkan pada terlihatnya sebuah hilal. Jika
tidak memungkinkan karena factor mendung dan awan
atau factor lainnya maka baru menempuh cara
menyempurkan bulan sebelumnya (Sya’ban untuk
memulai puasa dan Ramdhan untuk mengakhiri puasa)
menjadai 30 hari.
Kemudian, apabila ada seseorang yang ingin
menyaksikan dirinya sudah melihat hilal, maka
kesaksiannya tidak bisa diterima kecuali dia muslim dan
adil. Tapi untuk dirinya tetap harus melaksanakan puasa
berdasarkan kesaksiannya, sekalipun kesaksiannya tidak
diterima. Terakhir, apabila ada pertentangan antara
pakar hisab atau pakar falak dan kesaksian seseorang
atau lebih, maka yang harus didahulukan adalah pakar
hisab dan palak. Karena pastinya mereka memiliki bukti-
bukti yang kuat kenapa hilal belum bisa dilihat pada saat
itu.

Sumber: Fikih Shiyam, karya Dr. Hasan Hitoo,


halaman 27-37

Wallahu A’lam.

53
54
AWAL DAN AKHIR WAKTU PUASA DI
SIANG HARI

Rabu, 15/04/2020

S
ebelum berlanjut pada kajian tentang hal-hal
yang dapat membatalkan puasa, akan semakin
baik jika kita mengetahui kapan puasa siang hari
dimulai? Pastinya sih kita sudah tahu dan
mengamalkan. Akan tetapi, banyak pengetahuan itu
hanya sebatas ilmu kuping yang kurang memantapkan.
Di sini kita akan lebih diperkuat dengan dasar-dasar dari
Al-Qur’an dan sabda baginda Nabi Muhammad SAW.
Semua Pakar fikih sepakat bahwa waktu dimulainya
puasa siang hari sejak terbitnya fajar kedua (fajar shadiq).
Artinya, ia dimulai sejak azan subuh berkumandang.
Pada saat itulah kita dilarang makan, minum,
bertitik-titik dengan istri atau suami bagi yang telah
memiliki pasangan sah dan hal lainnya yang dapat

55
membatalkan puasa. Sampai di sini kita tahu bahwa
waktu imsak bukanlah waktu dimulai berpuasa.
Sehingga kita masih bisa makan minum dan lain
sebagainya. Ia hanya sebagai sikap dan bentuk kehati-
hatian.

“Dari A’di ia berkata: pada saat turunnya ayat yang


berarti (hingga menjadi jelas bagi kalian, benang putih
dari benag hitam diwaktu fajar) saya berkata: wahai
Rasulullah SAW, sungguh saya menaruh ikat putih
dan hitam diatas bantalku, dimana dengan keduanya
saya bisa tahu malam dan siang. Rasulullah SAW
berkata: Wah bagaimana bisa, seperti bantalmu panjang
dan meluas (banyak tidur), yang dimaksud dalam ayat
diatas adalah putihnya siang dan pekatnya malam.”
(HR. Bukhari dan Muslim).

“Rasulullah saw bersabda: tidaklah mencegah kalian


untuk makan dan minum sebuah azan yang
dikumandangkan oleh bilal. Yaitu azan petama untuk
mebangunkan orang agar bangun malam bukan azan
subuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Rasululla SAW bersabda : sesungguhnya bilal


mengumandangkan azan di waktu malam, maka
makanlah dan minumlah kalian hingga ada azan yang
dikumandangkan oleh Ibn Ummi Makhtum. “ (HR.
Bukhari dan Muslim)
Ada banyak lagi hadis yang berkaitan tentang
permasalahan kita. Hanya saja tiga hadis di atas sudah
cukup jelas bahwa puasa di siang hari bermula dari
terbitnya fajar kedua dan saat azan dikumandangkan.

56
Pada saat itulah semua makanan, minum dan lain
sebagainya harus dihentika, sekalipun sudah berada di
mulut. Jika masih dilanjutkan untuk ditelan maka jelas
puasanya menjadi batal di awal hari. Sehingga harus
diganti di lain hari setelah Ramadhan.
Selanjutnya, akhir dari puasa siang hari (waktu
buka puasa) IALAH disaat terbenamnya matahari.
Ulama’pun juga sudah sepakat terkait hal ini. Sebelum
itu tidak boleh buka puasa. Jika ia maka berarti dia
berdosa dan wajib mengganti di lain hari.
Rasulullah SAW bersabda: ketika malam sudah
menyambut kita dan siang pun berlalu berucap selamat
tinggal, maka pada saat itulah kita diperbolehkan
mengakhiri puasa siang hari (buka puasa). (HR.Bukhari
dan Muslim). Penjelasan hadis di atas memberikan
pemahaman pada kita bahwa puasa siang hari tidak
boleh di akhiri sebelum sampai dengan terbenamnya
matahari. Tanda yang dapat kita jadikan pedoman ialah
saat dikumangkannya azan magrib.
Imam nawawi mengatakan bahwa generasi
syafiiyah yang tergolong ashab, mengatakan bahwa kita
diwajibkan untuk menahan puasa sebentar, tidak
langsung melahap makan agar malam betul-betul bisa
diyakini kedatangannya. Terakhir, bagaimana andaikan
kita hidup di suatu tempat yang tidak dapat mengetahui
tanda-tanda berakhirnya puasa, maka jalannya, kita
harus berusaha mencari sesuatu yang bisa meyakinkan
untuk itu. Baru setelah itu, kita diperbolehkan makan
dan minum berdasarkan keyakinan itu tanpa harus
melihat benar dan tidaknya. Akan tetapi, jika di

57
kemudian hari ternyata keyakinan itu salah maka kita
harus meng-qada puasa.
Karena alasannya jelas, sebuah pekerjaan yang
dilakukan berdasarkan keyakinan yang terbukti salah
maka ia tidaklah bernilai. Sehingga puasanya harus
diqada’. Selain itu jelas, dalam firman Allah SWT di atas,
kita tidak boleh makan sebelum betul-betul datangnya
waktu malam. Sedang orang yang salah dalam
keyakinan ia makan pada saat masih siang. Jadi pastinya
dia harus meng-qada.
Sayyidah Asma putri Abi Bakar mengatakan
bahwa mereka sekeluarga pernah mengalami berbuka
sebelum terbenamnya matahari karena pada saat itu
langit sedang mendung. Kemudian oleh Rasulullah SAW
mereka Diperintahkan meng-qada puasanya.
Perlu juga dipahami bahwa usaha atau ijtihad ini
juga harus dilakukan ketika kita juga dalam keraguan
menentukan apakah sudah masuk subuh atau belum?
Maka waktu puasa di siang hari dimulai dari azan subuh
bukan dari waktu imsak. Sehingga kita pada saat itu
tidak diperkenankan makan, minum dan lain sebagaiya.
Sedang waktu berbuka baru masuk ketika sudah azan
magrib dikumandangkan.
Namun jika kita sedang dalam kebingungan
menentukan waktu puasa dan buka, maka jalan yang
harus ditempuh ialah melakukan usaha mencari tahu
tanda-tanda yang dapat meyakinkan kita. Setelah itu
baru kita siap untuk melaksanakan. Akan tetapi jika
suatu saat ternyata yang kita lakukan itu salah

58
berdasarkan kenyataan, maka tugas kita ialah mengqada
puasa di hari lain setelah Ramadhan.

Sumber: Fikih Shiyam, karya Dr. Hasan Hitoo,


halaman 51-62

Wallahu A’lam

59
60
SYARAT SAHNYA PUASA: NIAT DAN
PROBLEMATIKANYA

Selasa, 14/04/2020

N
iat menjadi barometer atau ukuran dari
sebuah pekerjaan. Coba kita lihat seberapa
efektif sebuah pekerjaan yang tanpa
didahului niat dan rencana. Pasti hasilnya
tidak maksimal atau bahkan nihil. Begitu juga dalam
melaksanakan ibadah khususnya ibadah mahdhah. Niat
menjadi syarat yang tidak boleh ditawar untuk
dilakukan. Contohnya seperti puasa. Puasa yang
dilakukan tanpa niat pastinya tidak sah dan tidak
bernilai.
Peran dan urgensi niat dalam segala hal khusunya
dalam hal ibadah sebetulnya sudah disampaikan sejak
dulu oleh Rasulullah SAW. diantaranya hadis berikut:

61
‫انما األعمال بالنيات‬

“segala urusan digantungkan pada niatnya” (HR.


Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan pada kita semua bahwa


niat sangatlah penting dan bahkan menjadi ukuran dari
benar tidaknya suatu perbuatan, apalagi perbuatan
ibadah, seperti puasa. Jadi, puasa yang dilakukan tanpa
niat tidaklah diterima.
Niat yang dimaksud di atas tidak harus
diucapkan. Karena tempatnya dalam hati. Semua ulama
sepakat akan hal ini. Sementara, ucapan dari niat
menunut imam nawawi tidaklah disyaratkan. Akan
tetapi jika diucapkan lebih baik.
Berbicara tentang niat puasa, ia bisa terjadi
dengan adanya maksud berpuasa. Sperti pelaksaan
sahur, minum di waktu malam, dan melakukan perkara-
perkara yang membatalkan puasa lainnya di waktu
malam dengan tujuan untuk puasa esok harinya. Hal
semacam itu sudah dikatakan niat puasa.
Hanya saja, problematikanya ialah terkait
pelaksanaan niat puasa wajib. Kapan harus dilakukan.
Apakah harus diinapkan atau bisa dilakukan di siang
harinya?
Secara detail ada dua gambaran dalam hal ini,
yakni: 1) Puasa wajib yang berupa qada’, kaffarah dan
nazar yang tidak terikat dengan waktu tertentu, maka
semua ulama sepakat bahwa niat harus diinapkan.
Artinya, harus dilaksanakan di malam harinya hingga

62
terbitnya fajar. 2) puasa wajib yang berupa ada dan nazar
yang diikat dengan waktu-waktu tertentu, maka dalam
hal ini ulama berselisih pendapat dalam wajib tidaknya
menginapkan niat puasa.
Hanafiyah berpendapat bahwa niat puasa wajib
yang berupa ada’ dan nazar yang diikat dengan waktu
tertentu, tidak harus diinapkan. Ia boleh dilakukan
dipagi harinya hingga sebelum tergelincirnya matahari
(sebelum duhur).
Berbeda dengan mayortias para Ulama, seperti
Umar bin Khattab, Abdillah bin Umar, Syafi’I, Ahmad
dan Ishaq. Mereka mengatakan bahwa niat puasa wajib
yang berupa ada’ atau nazar yang diikat dengan waktu
khusus harus diinapkan hingga terbitnya fajar. Tidak
boleh dilakukan di pagi harinya.
Dasar pendapat mayoritas ialah hadis dan qiyas
(analogi atau penyamaan hukum) sebagaimana berikut:

‫من لم يجمع قبل الفجر فال صيام له‬

“ Barang siapa yang tidak menginapkan niat (berniat


diwaktu malam) maka puasanya tidak sah.” (HR. Abu
Daud, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)

Sedang qiyas yang dijadikan dasar oleh mereka


ialah mengqiyaskan dengan gambaran pertama di atas.
Yakni, kesepakatan Ulama terkait puasa wajib yang
berupa, qada, kaffarah dan nazar mutlak, dimana
niatnya harus diinapkan. Puasa wajib yang berupa ada’

63
dan nazar muayyan bagi mereka sama-sama wajib,
sehingga harus disamakan hukum menginapkan niatnya.
Selain itu, berkaitan dengan niat puasa wajib
Ramadhan ini, ada permasalahan lain. Yakni, apakah ia
harus dilaksanakan setiap malam atau tidak. Menurut
mazhab yang paling banyak diyakini harus dilakukan
setiap malam. Karena dari satu malam kemalam lainnya
merupakan ibadah lain yang independen. Berbeda
dengan mazhab maliki yang mengatakan bahwa niat
tidak harus diulang-ulang setiap malam. Ia cukup
dilakukan di awal Ramadhan.
Dalam masalah niat puasa wajib sudah cukup
jelas sebagaimana digambarkan sebelumnya, sekarang
bagaimana niat puasa sunah apakah juga harus
diinapkan?
Mayorita smasyarajat berpendapat bahawa niat
puasa sunah tidak harus diinapkan atau berniat di waktu
malam hari. Ia boleh dilakukan di pagi hingga menjelang
siang (sebelum tergelincirnya matahari atau sebelum tiba
waktu dzuhur.
Pendapat mereka didasarkan pada beberapa
hadist dan pengalaman beberapa sahabat Nabi
Muhammad SAW. berikut:
Sayyidah A’isyah mengatakan bahwa pada suatu
saat Rasulullah SAW bertanya ada tidaknya makanan
berupa ghada’. Kemudian saya katakan tidak ada, lalu
Nabi berkata “kalau begitu saya puasa saja”. Selanjutnya,
dalam kesempatan lain sayyidah Aisyah pernah
diberikan hadiah makanan berupa hadis dari seseroang,
lalu beliau menyampaikan kabar kepada baginda Nabi

64
lalu baginda Nabi mengatakan ” saya sedang berpuasa”
akan tetapi, kata sayyidah A’isyah baginda Nabi
membatalkan puasanya dengan memakan hadiah
dimaksud. (HR. Muslim).
Hal demikian juga dilakukan oleh beberapa
sahabat seperti, Abu Darda’, Abu Talhah, Ibnu Abbas,
Abu Hurairah dan Huzaifah. Mereka semua, melakukan
niat puasa sunah di pagi hari hingga sebelum
tergelincirnya matahari. Pertanyaannya sekarang,
mengapa niat puasa sunah yang diperbolehkan
dilakukan di pagi hari hingga tergelincirnya matahari?
Darimana kata tergelincirnya matahari muncul dan apa
dasarnya?
Jawabannya jelas, karena dalam hadis di atas Nabi
bertanya tentang ghada’. Sedangkan ghada’ menurut
istilah bahasa merupakan makanan yang dihidangkan
sebelum tergelincirnya matahari. Jadi jelas perbuatan
nabi berniat puasa sunah dilakukan sebelum
tergelincirnya matahari. Selanjutnya, ketentuan niat
puasa wajib harus disandingakan dengan penentuan.
Yakni menyebutkan juga apakah puasa Ramadhan atau
puasa nazar. Tidak boleh mengatakan puasa wajib saja.
Contohnya dalam puasa Ramadhan tidak cukup hanya
mengucapkan berpuasa esok hari. Wajib mengatakan
kata Ramadhan. Tetapi untuk menyebutkan wajib, tahun
dan lain sebagainya tidak diharukan.
Pendapat di atas merupakan pendapat mayoritas.
Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Beliau
mengatakan tidak harus menentukan kata Ramadhan.
Jadi cukup berniat puasa esok hari sudah dianggap sah.
Karena menurut Abu Hanifah sekalipun berniat puasa

65
lain kalau dilaksanakan dibulan ramadhan tetap
dikatakan puasa Ramadhan. Perlu juga diperhatikan
bahwa niat tidak boleh dilakukan berdasarkan keragu-
raguan. Jika ia maka puasanya tidak sah alias batal.
Artinya, niat puasa harus dilakukan dengan penuh yakin
dan kemantapan jiwa.
Dari itu, andaikan ada seseorang berniat puasa
Ramadhan pada malam ke 30 bulan Sya’ban sebelum
adanya bukti atau penetapan 1 Ramadhan maka
puasanya tidak sah. Contohnya, saya niat puasa
Ramadhan esok hari jika bertepatan dengan 1
Ramadhan. Tentu puasanya batal. Karena tidak
berdasarkan bukti dan ketetapan yang membuat dirinya
yakin akan niat puasanya.
Berbeda dengan adanya sebuah bukti. Misalnya,
ada orang yang mengabarkan dan dapat dipercaya maka
puasanya tidak masalah. Atau ada seorang perempuan
yang sedang haid dan berniat akan puasa Ramadhan
esok hari andaikan sudah suci, karena menurut
kebiasaanya esok harinya sudah suci. Ternyata besok
betul-betul suci. Maka puasanya sah.
Perlu digaris bawahi, bahwa niat puasa
Ramadhan yang dilakukan pada malam ke 30 Ramdhan
lalu disertai ungkapan berindikasi keraguan, misalnya
saya puasa Ramadhan esok hari jika masih tergolong
Ramadhan, dan ternyata masih tergolong Ramdhan,
maka tetap dianggap sah. Karena pada dasarnya waktu
itu masih tetap dikatakan Ramadhan, sekalipun adanya
unsur keraguan. Pasalnya keraguan di sini, dikalahkan
belum adanya bukti bahwa esok harinya sudah tiba satu
Syawal.

66
Lalu bagaimana jika ada seseorang mengatakan ”
InsyaAllah besok saya puasa Ramadhan”? Apakah
puasanya juga ikut batal? Jawabannya perlu dilihat,
apakah dia berkehendak keraguan atau hanya untuk
tabarruk agar diberikan taufiq serta ma’unah oleh Allah.
Jika termasuk gambaran yang pertama, yakni
bermaksud ragu, maka puasanya jelas batal. Namun jika
tidak demikian maka puasanya tetap dikatakan sah dan
diterima.
Terakhir, ialah adanya kebimbangan terkait
masuk atau tidaknya Ramadhan bagi orang yang sedang
dalam penjara atau lainnya yang tidak memungkinkan
utuk mendapatkan informasi tentang waktu Ramdhan,
maka ia harus melakukan ijtihad (usaha) untuk bisa
meninggikan perasankanya tentang waktu bulan
ramdhan. Lalu lakukan puasa sebagimana hasil
ijtihadnya.
Kemudian bagaimana hasil puasanya? Perlu
dilihat, jika setelah itu dia tetap tidak tidak mendapatkan
informasi tentang kenyataan waktu pelaksanaan
Ramadhan maka puasanya sah dan tidak berdosa.
Karena sudah didasarkan pada ijtihad. Akan tetapi jika
dia setelah itu tahu kenyataannya, maka juga perlu
dilihat, apakah puasa yang dilakukan berdasarkan
ijtihad itu bertepatan dengan bulan Ramadhan atau
sebelum dan sesudah Ramadhan. Jika bertepatan dengan
bulan Ramadhan maka jelas sah. Namun jika tidak, maka
bisa saja terjadi sebelum Ramadhan atau sesudahnya.
Jika terjadi sebelum Ramadhan maka harus berpuasa
lagi. Yakni puasa Ramadhan jika menyadarinya ketika

67
berlangsungnya Ramadhan, namun jika menyadarinya
setelah Ramadha, maka ia harus meng-qada.
Selanjutnya jika terjadi setelah Ramadhan, maka
puasa yang didasarkan pada ijtihad langsung dikatakan
puasa qada’ dan dia juga tidak berdosa. Karena sudah
berdasarkan ijtihad yang dilakukan. Namun dalam
kontek ini perlu dilihat lagi, apakah ia terjadi pada bulan
Syawal atau pada bulan Dzulhijjah. Apabila terjadi di
bulan Syawal dia harus mengganti satu hari. Karena 1
syawal (hari raya Idul Fitri) dilarang berpuasa. jIKA
terjadi dibulan Dzulhijjah, maka harus mengganti 4 hari.
Karena pada saat itu bertepatan dengan hari tasyarik
yang juga dilarang berpuasa.
Disamping itu, juga harus dilihat, apakah bulan
ramadhan 30 hari, sedangkan bulan setelahnya (bulan
waktu berpuasa berdasarkan ijtihad) 29 hari. Jika ia maka
harus menambah satu hari lagi. Jika tidak berarti tidak
masalah.
Perlu diindahkan sebagai penutup, bahwa jika
suatu saat dalam kebingungan tentang pelaksanaan
kapan dimulai Ramadhan maka harus menunggu
ketetapan dari pemerintah. Sehingga niat puasanya tidak
dicampur dengan rasa keragua-raguan. Karena jelas,
kesalahan yang dilakukan oleh mayoritas bukan
personal dan berdasarkan ijtihad, diampuni dan
puasanya tetap dikatakan sah, berdasarkan hadis
berikut:
‫ واألضحى يوم يضحون‬,‫و الفطر يوم يفطرون‬,‫الصوم يو يصومون‬

68
Berpuasalah, berhari raya idul fitrilah dan berhari
qurbanlah sebagaimana mereka melakukan demikian.
(HR. Abu Daud dan Turmudzi)
Hadis ini sudah sangat jelas memberikan legalitas
kepada kita untuk mengikuti ketetapan mayoritas. Itu
artinya sekalipun mereka salah dalam penetapan puasa
dan hari raya, maka puasa kita tetap dianggap sah dan
diterima tanpa harus mengqada’.

Sumber: Fikih Shiyam, karya Dr. Hasan Hitoo,


halaman 39-50.

Wallahu A’lam

69
70
PERKARA YANG DIMAKRUHKAN SAAT
PUASA RAMADHAN

Selasa, 21/04/2020

S
aat berpuasa kita tidak hanya dituntut untuk
meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan
puasa. Akan tetapi, kita juga dianjurkan agar
meninggalkan perkara-perkara yang makruh
dilakukan. Anjuran dimaksud bertujuan agar kita yang
berpuasa bisa mendapatkan kesempurnaan puasa yang
dilakukan. Tidak hanya sekedar rasa lapar, haus, lemah
dan lain sebagainya yang dirasa. Hal-hal yang
dimakruhkan dilakukan saat menjalankan puasa demi
menuju kesempurnaan setidaknya terdapat enam
perkara. Kesemuanya akan dikupas serta dipaparkan
dalam penjelasan berikut:

71
1. Bekam (hijamah)
Seseorang yang sedang berpuasa menurut
mayoritas ulama dimakruhkan membekam dirinya.
Akan tetapi jika dilakukan boleh-boleh saja. Tidak
berpengaruh terhadap sahnya puasa yang dilakukan.
Hanya saja, lebih baik ditinggalkan.
Dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad saw:
‫عن ابن عباس أن النبي صلى هللا عليه وسلم احتجم وهو محرم‬
)‫واحتجم وهو صائم (رواه البخاري‬
“Dari Ibnu Abbas, bahwa baginda Nabi Muhammad
saw pernah berbekam pada saat beliau sedang ihram
dan sedang puasa.” (HR. Bukhari)

Selain itu ada banyak hadis lain yang dijadikan


pegangan oleh ulama yang mengatakan bekam dapat
membatalkan puasa. Hanya saja, hadis-hadis yang
dimaksud sudah dinasakh dengan hadis di atas.
Timbulnya hukum makruh dalam malakukan bekam
saat berpuasa karena adanya larangan dari Nabi
Muhammad SAW. Hanya saja ia tidak diartikan sebagai
larangan yang mengandung hukum haram, tapi hukum
makruh. Di samping itu, perbuatan bekam sebagaimana
peraktek yang ada dapat mengakibatkan lemahnya
badan. Sehingga, orang yang melakukannya dengan
kondisi yang sudah lemah akan ditambah dengan
kelemahan lain. Tentunya hal ini akan berpengaruh
terhadap kondisi fisik.

72
2. Kecupan atau Ciuman
Sepasang suami istri tidaklah bebas melakukan
kemesraan di siang bolong bulan Ramadhan. Contohnya,
ciuman, pelukan dan lain sebagainya. Mereka harus
menjaga jarak. Tidak boleh terlalu nempel. Kawatir
nantinya akan terjerumus pada hal-hal yagn dilarang
dilaksanakan di bulan puasa. Perlu dipahami bahwa
ciuman yang dimakruhkan dilakukan saat berpuasa
adalah ciuman yang dapat membangkitkan syahwat
serta tidak menyebabkan klimas keluar mani.
Apabila bisa klimaks dengan perbuatan ciuman
tentunya sebagaimana disampaikan pada paparan
sebelumnya maka dapat membatalkan puasa. Selama
tidak klimaks sekalipun bernafsu tidak berpengaruh
terhadap sahnya puasa.
Dasarnya ialah hadis yang disampaikan oleh
Sayyidah A’isyah RA berikut:

‫ ولكنه كان‬,‫كان النبي صلى هللا عليه وسلم يقبل ويباشر وهو صائم‬
)‫أملككم إلربه (رواه البخاري ومسلم‬

“Nabi Muhammad saw pernah mencium dan


bermesraan dengan kontak fisik secara langsung pada
saat puasa, akan tetapi, beliau adalah hamba Allah yang
paling kuat menguasai nafsunya.”

73
3. Menyambung puasa (wishal)
Menyambung puasa (wishal) bisa digambarkan
dengan berpuasa siang malam minimalnya dua hari
berturut-turut. Tindakan seperti ini memang tidak
menjadi penyebab batalnya puasa. Akan tetapi ia
dimakruhkan karena ia dapat mengakibatkan bahaya
terhadap yang melaksanakan.
Rasulullah SAW bersabda:
‫ قال‬,‫ قالو انك تواصل يارسول هللا‬,‫ إياكم والوصال‬,‫إياكم والوصال‬
‫ أبيت عند ربي يطعمني ويسقين (رواه البخاري‬,‫إني لست كهيئتكم‬
)‫ومسلم‬
“Takutlah kalian untuk menyambung puasa, mereka
berkata, wahai rasululah engkau melakukannya
mengapa kami tidak dianjurkan? Rasulullah berkata,
saya tidak sama dengang kalian, saya dijaga dan
dijamin oleh Allah, dikasih makan dan juga dikasih
minum.” (HR. Bukhari dan Muslim).

4. Bersiwak setelah dzuhur


Bersiwak setelah dzuhur merupakan pekerjaan
yang dimakruhkan menurut sebagian ulama termasuk
Imam Syafi’i. Hal ini dengan syarat siwak yang
digunakan tidak basah dan bercampur dengan benda
lain yang kemudian bisa tertelan. Jika hal itu terjadi
maka puasa menjadi batal. Akan tetapi jika dilakukan
sebagaimana syarat di atas tidak dapat dapat
menyebaban batalnya puasa. Ia boleh dilakukan hanya
saja dimakruhkan, berdasarkan hadis berikut:

74
‫ رأيت النبي صلى هللا عليه وسلم ماال‬:‫ قال‬,‫عن عامر بن ربيعة‬
) ‫أحصي يتسوك وهو صائم (رواه البخاري‬
“Dari Amir bin Rabi’ah berkata, saya melihat
rasulullah saw banyak sekali bersiwak pada saat sedang
puasa.” (HR. Bukhari)

Hadis lain Rasulullah SAW mengatakan:


‫ لخلوف فم الصائم أطيب عند هللا من‬:‫قال النبي صلى هللا عليه وسلم‬
)‫ريح المسك (رواه البخاري ومسلم‬
‘Nabi Muhammad saw bersabda, bau mulut orang yang
berpuasa lebih harum disisi Allah daripada minyak
misik.”

Hadis pertama jelas memperbolehkan siwak.


Sedang hadis kedua, memuji bau mulut orang yang
berpuasa. Artinya bau mulut itu dianjurkan untuk tetap
dijaga. Bukan dihilangkan dengan bersiwak.
Selanjutnya, fakta yang kita alami bahwa biasanya bau
mulut mulai terjadi setelah tergelincirnya matahari alias
setelah dzuhur. Itu artinya, hukum bersiwak setelah
dzuhur dimakruhkan.

5. Mencicipi dan Memamah Makanan


Mencicipi dan memamah makanan bukanlah hal
yang dilarang serta dapat membatalkan puasa.
Keduanya boleh-boleh saja, akan tetapi dimakruhkan.
Hal ini jika tidak ada yang masuk, kalau ia, maka pasti
membatalkan puasa. Mencicipi dan memamah makanan

75
dimakruhkan untuk menghindari hal-hal yang dapat
membatalkan puasa. Cuman sekali lagi hal itu boleh
dilakukan berdasarkan hadis :

‫ ال بأس أن يتطاعم الصائم بالشيئ‬,‫عن عبد هللا ابن عباس أنه قال‬
)‫(رواه البيهقي‬
“Dari Abdillah bin Abbas berkat, tidak masalah seorang
yang sedang berpuasa mencicipi suatu makanan.”

‫ اليمضغ العلك‬:‫عن أم حبيبة زوج النبي صلى هللا عليه وسلم أنها قالت‬
)‫الصائم (رواه البيهقي‬
“Dari Ummi Habibah istri Rasulullah saw berkata,
orang yang sedang berpuasa tidak boleh memamah
makanan.”
Kedua hadis di atas, setelah disatukan dapat
berarti bahwa boleh-boleh saja mencicipi dan memamah
makanan asalkan tidak sampai masuk. Hanya saja,
keduanya dimakruhkan.

6. Berkata kotor
Menurut mayoritas Ulama berkata kotor tidaklah
menjadi penyebab batalnya puasa, hingga harus diqadha
di lain hari. Ia hanya dimakruhkan demi menjaga
kesempuarnaan puasa. Karena puasa seseorang yang
tidak menjaga perkataannya akan kehilangan ruh dan
pahala. Sehingga ia hanya dapat lapar dan hausnya saja.

76
Rasulullah SAW bersabda:

‫ فإن امرؤ قاتله أو شاتمه‬,‫إذا كان أحدكم صائما فال يرفث وال يفسق‬
)‫فليقل إني صائم (رواه البخاري‬
“Jika salah diantara kalian sedang berpuasa, maka
janganlah berkata kotor dan melakukan kefasikan.
Apabila ada seseorang yang mengajak berkelahi atau
mengumpat maka tegaskan pada dirinya bahwa sedang
berpuasa.”

Itulah enam hal yang dimakruhkan selama


pelaksanaan puasa khususnya puasa Ramadhan. Kita
harus betul-betul menjaganya agar tidak sampai
melakukannya sekalipun diperbolehkan, demi untuk
menjaga kesempurnaan nilai dan pahala puasa yang kita
dijalankan dibulan suci agung ramadhan.

Sumber: fikih shiyam, karya dr. hasan hitoo,


halaman 97-111

Wallahu a’lam

77
78
ENAM PERKARA SUNAH YANG
HARUS DIBURU DI BULAN PUASA

Kamis, 23/04/2020

P
erkara sunah memang tidak menjadi sebuah
keharusan untuk dilakukan. Namun jika
dilakukan akan menambah nilai plus sebuah
kewajiban. Yakni kesempurnaan. Puasa sebagai
kewajiban tentunya juga memiliki kesunahan. Kita
sebagai orang yang suka kebaikan harus memburunya,
sekalipun tidak menjadi tuntutan. Agar kita bisa
menambah kesempurnaan puasa kita.
Dalam puasa setidaknya ada enam kesunahan
yang harus dipahami serta dilkukan oleh kita. Ke
semuanya disebutkan dalam kitab Fikih Shiyam karya Dr.
Hasan Hitoo sebagai berikut:

79
1. Makan Sahur
Seseorang yang hendak melakukan puasa
Ramadhan disunahkan makan sahur. Karena pada
waktu itu terdapat keberkahan. Selain itu, ibadah makan
sahur dapat membantu proses lancarnya puasa kita serta
menjadi pembeda dari puasa umat terdahulu.
Rasulullah SAW bersabda:
)‫تسحروا فإن في السحور بركة (رواه البخاري ومسلم‬
“Makan sahurlah kalian, karena didalamnya terdapat
keberkahan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis lain beliau juga bersabda:


)‫فصل ما بين صيامنا وصيام أهل الكتاب أكلة السحر (رواه مسلم‬
“Perbedaan antara puasa kita dengan puasa ahlul kitab
adalah terletak pada makan sahur.”

Waktu makan sahur bermula dari tengan malam


berakhir hingga terbitnya fajar atau saat azan subuh
dikumandangkan. Sementara caranya, bisa dilakukan
dengan makan dan minum baik sedikit ataupun banyak.
Nabi besar Muhammad SAW bersabda:
‫أكلة السحر بركة فال تدعوه ولو أن جرع أحدكم جرعة ماء (رواه‬
)‫أبو عاصم‬
“Makan sahur merupakan keberkahan, maka jangan
tinggalkan sekalipun hanya meneguk satu tegukan
air.”

80
2. Mengakhirkan Makan Sahur dan Menyegerakan
Buka Puasa
Tidak hanya makan sahur yang menjadi
kesunahan tapi waktu pelaksanaannya juga disunahkan
diakhirkan selama masih tergolong waktu malam.
Rasulullah bersabda:
‫كلوا وشربوا حتى يؤذن ابن أم مكتوم فإنه ال يؤذن حتى يطلع‬
)‫الفجر (رواه البخاري‬
“Makan dan minumlah kalian selama Ibnu Ummi
Maktum belum mengumandangkan azan. Karena dia
tidak akan pernah azan sebelum datangnya fajar.”

Sedang berbuka puasa disunahkan untuk


disegerakan. Artinya jika diakhirkan tidak mendapat
kesunahan, akan tetapi hanya mendapat kemakruhan.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa jika seseorang
mengakhirkan buka puasa dengan alasan lebih utama,
maka dia mendapat kemakruhan. Karena ia
bertentangan dengan hadis.
Rasulullah SAW bersabda:
)‫ال يزال الناس بخيرماعجلوا الفطر (رواه البخاري ومسلم‬
“Umat islam selalu dalam kebaikan selama dia
menyegerakan buka puasa.” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Disamping kedua hadis di atas, para sahabat


sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Baihaqi

81
merupakan orang-orang yang selalu mengakhirkan
makan sahur dan menyegerakan buka puasa.

3. Berbuka Puasa dengan Kurma


Kurma selain menjadi buah khas arab juga
dimuliakan oleh Allah dengan cara dipilih sebagai buah
pertama yang disunahkan untuk dikonsumsi sebagai
buka puasa. Itupun kalau ada. Akan tetapi, jika ternyata
tidak ada maka tetap mendapatkan kesunahan dengan
air atau lain sebaginya yang tergolong ringan.
Disampaikan dalam sabda Nabi berikut:
‫إذا أفطر أحدكم فليفطر على تمر فإن يجد فليفطر على ماء فإنه‬
)‫طهور (رواه أبو داؤود والترمذي‬
“Jika salah satu diantara kalian ingin berbuka puasa
maka berbukalah dengan kurma, jika tidak ada maka
cukup dengan air, karena air itu bersih dan
menycikan.”

Dalam hadis lain riwayat Abu Daud dan Tirmidzi


juga disebutkan bahwa baginda Nabi besar Muhammad
SAW berbuka puasa sebelum melaksanakan salat
maghrib dengan rothab (kurma muda), jika tidak ada
maka dengan kurma dan jika tidak ada lagi, maka
dengan air.

4. Membaca doa saat buka puasa


Sekalipun kita sudah tidak tahan setelah menahan
lapar dan dahaga selama seharian bukan berarti kita
melupakan doa. Kita dianjurkan berdoa sebagai bentuk

82
permohonan juga rasa terima kasih kepada Allah SWT.
Doa yang dianjurkan sebagaiman disabdakan oleh
baginda Nabi besar Muhammad SAW riwayat Abu Daud
dari Sayyidina Muadz serta riwayat Abu Daud dan
Nasa’i dari Ibnu Umar sebagai berikut:
‫اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت ذهب الظمأ وابتلت العروق‬
‫وثبت األجر إن شاء هللا‬
“Ya Allah hanya untukmu saya berpuasa dan dengan
rizki-Mu saya berbuka. Saat ini hilanglah rasa dahaga,
dan basahlah semua urat. Semoga pahala Engkau
berikan kepada kami.”

Namun perlu diketahui bahwa, tidak hanya doa


itu yang dianjurkan. Doa apa saja boleh dipanjatkan saat
buka puasa. Karena sebagaimana riwayat Ibnu Majah
Amer bin Ash, Rasulullah mengatakan bahwa berdoa di
saat buka puasa tidak ditolak.

5. Memberi Makan atau Minuman untuk Buka Puasa


Kesunahan yang juga tidak boleh dilupakan oleh
kita adalah memberi makanan atau minuman untuk
buka puasa, walaupun hanya satu gelas air atau satu
bungkus makanan. Hal sebagaiman disabdakan oleh
Rasulullah saw berikut:
‫من فطر صائما فله مثل أجره ال ينقص من أجر الصائم شيء (رواه‬
)‫الترمذي والنسائي‬

83
6. Memperbanyak Shadaqah dan Tadarus Al-Qur’an
Terakhir yang juga menjadi penting untuk tidak
dilupakan ialah memperbanyak Shadaqah dan membaca
Al-Qur’an, khususnya di sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan. Nabi besar Muhammad SAW sebagaimana
yang dikeluarkan oleh imam Bukhari dan Imam Muslim,
merupakan orang yang paling dermawan, khsusnya
pada saat bulan ramadhan ketika dijumpai malaikat
jibril, sedang malaikat jibril mendatangi beliau setiap
malam untuk mengajak beliau tadarus Al-Qur’an.
Bahkan digambarkan dalam hadis itu, bahwa Rasulullah
SAW lebih dermawan daripada angin yang berhembus.
Jadi, marilah kita jangan lewatkan puasa ini
dengan hanya sekadar melaksnakan yang wajib saja. Kita
sempurnakan dengan menambah kesunahan khusunya
ke enam perkara yang sudah dipaparkan di atas. Karena
kita semua tidak ada yang tahu apakah di tahun
berikutnya kita masih punya nyawa atau sudah terkubur
tinggal kenangan.

Sumber: Fikih Shiyam, karya Dr. Hasan Hitoo,


halaman 111-116

Wallahu a’alam

84
CARA RASULULLAH SAW MEMBURU
LAILATUL QADAR, CARA KITA
BAGAIMANA?

Kamis, 14/05/2020

K
eagungan dan kemuliaan bulan Ramadhan
salah-satunya ditandai dengan adanya suatu
malam yang dikenal dengan malam Lailatul
Qadar. Ia sekalipun durasi waktunya sangat
singkat, akan tetapi nilainya melebihi dari seribu bulan.
Difirmankannya satu surah utuh, mulai dari surah
pertama hingga surah terakhir, yaitu surat Al-Qadr,
menjadi bukti kuat dan akurat akan keagungan serta
kemuliaannya. Bahkan tidak hanya itu, Al-Qur’an
sebagai pedoman kehidupan telah diturunkan
didalamnya.

85
‫) نو نمآ اند ٰر ن‬1(‫ِا َّنآ انن نزل ٰن ُه فِي نلي نل ِة ال نقد ِر‬
‫) نلي نل ُة ال نقد ِر ۙە‬2(‫ىك نما نلي نل ُة ال نقد ِۗ ِر‬
ٰۤ
‫) نت نن َّز ُل ال نم ٰل ِى نك ُة نوالرُّ و ُح فِي نها ِباِذ ِن نرب ِِّه ْۚم مِن ُك ِّل‬3(‫نخي ٌر مِّن نالفِ نشه ِۗر‬
)5-1 ‫) (القدر‬5( ‫ِي نح ٰ ّتى نمط نل ِع ال نفج ِر‬ ‫) نس ٰل ٌم ٍۛه ن‬4(‫انم ٍۛر‬
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-
Qur'an) pada malam qadar. (1) Dan tahukah kamu
apakah malam kemuliaan itu? (2) Malam kemuliaan itu
lebih baik daripada seribu bulan. (3) Pada malam itu
turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin
Tuhannya untuk mengatur semua urusan. (4)
Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar. (5)
Cukuplah bagi Rasulullah SAW sebagai motivasi
hebat yang dapat menggerakkan segala bentuk usaha
dalam memburunya di malam sepuluh hari terakhir.
Mempertebal kesungguhan, menyatukan kefokusan dan
mengencangkan ikat pinggang (menjauhi pergaulan
suami istri). Beliau pada malam itu tidak hanya mau
berjuang sendirian. Keluarganya pun dibangunkan,
berusaha memburu malam lailatul Qadar. Dengan
harapan keagungannya yang fantasti tidak hanya
dirasakan seorang diri.
‫عائشة رضي هللا عنها قالت كان النبي صلى هللا عليه وسلم إذا دخل‬
‫العشر شد مئزره وأحيا ليله وأيقظ أهله‬
Artinya: Dari Aisyah radhiallahu anhu, dikatakannya,
“Nabi SAW ketika memasuki sepuluh hari terakhir
‘mengencangkan gamisnya’, menghidupkan malamnya,
dan membangunkan keluarganya.” (HR al-Bukhari).
Rasulullah pada malam-malam sepuluh hari
terakhir melepaskan segala bentuk kenyamanan dunia.
Ingin mengimbangi umur yang pendek dengan amal

86
yang panjang. Karena jelas umur yang disedikan
sangatlah pendek, jika tidak bisa mendapatkan malam
lailatul qadar tentunya tidak akan bisa menyaingi umat-
umat sebelumnya yang berumur panjang. Model yang
dipilih oleh baginda Nabi besar Muhammad SAW ialah
beri’tikaf, menyepi, dan menyendiri di pojok-pojok
keramat masjid. Karena dengan begitu, keseriusan dan
kefokusan semakin terjamin.
‫عن عائشة رضي هللا عنها زوج النبي صلى هللا عليه وسلم أن النبي‬
‫صلى هللا عليه وسلم كان يعتكف العشر األواخر من رمضان حتى‬
‫توفاه هللا ثم اعتكف أزواجه من بعده‬
“Dari Aisyah radhiallahu anha - istri Nabi‫ﷺ‬,
“Sesungguhnya Rasulullah ‫ﷺ‬melakukan iktikaf
pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai
Allah mewafatkan Beliau, kemudian istri-istri Beliau
juga beriktikaf setelah Beliau wafat.” (HR Bukhari).
Lalu, bagaimana kita? Apa yang sudah kita
lakukan dan bagaimana usaha yang telah digelar guna
memburunya? Akankah kita, meniru baginda Nabi
Muhammad SAW atau malah hanya mengagumi sejarah
Nabi? Dengan sangat mudah kita tebak, bahwa kita
sama-sekali tidak termotivasi untuk bergerak apalagi
berjuang untuk memburunya. Terbukti, kita
menyikapinya biasa-biasa saja dalam setiap kedatangan
sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
Dapat kita lihat dalam kehidupan kita. Adakah di
antara kita yang mengganggap sepuluh malam terakhir
sebagai malam perjuangan, sehingga harus dibedakan
dari malam-malam sebelumnya? Begitu juga dengan
keluarga kita, apalagi mau membangunkan keluarga

87
yang lain, kita saja dipeluk dengan buaian rasa malas
untuk bangun. Itulah kita. Tidak boleh tidak harus
disadari. Tidak usah membela diri, apalagi berapologi
dan ngada-ngada demi meraup halusinasi sanjungan.
Karena, sungguh hal itu bukanlah malah memperbaiki
diri, akan tetapi menjerumuskan diri.
Alhasil, kita jangan hanya takjub terhadap
peninggalan mulia Rasulullah terkait sikap dan caranya
menyambut serta memburu malam lailatul Qadar.
Karena itu bukanlah malah menghargai baginda Nabi
saw, akan tetapi bisa menjelekkan dan menyakitinya.
Kapan lagi kalau tidak sekarang, adakah diantara
kita yang punya dispensasi dan keringanan menunda
mati? Jika tidak ayolah bangkit bersama-sama memburu
malam lailatul qadar sebagaimana yang diajarkan Nabi
Muhammad SAW.

88
KEBERADAAN MALAM LAILATUL
QADAR MENURUT IMAM IZZUDIN
BIN ABDIS SALAM

Jum’at, 01/05/2020

K
eagungan bulan Ramadhan menjadi
semakin menggaung dengan keberadaan
suatu malam yang lebih baik daripada
seribu bulan. Malam ini dikenal dengan
malam Lailatul Qadar. Panggilannya saja membuat
detakan jantung semakin cepat, apalagi kehadirannya.
Tentu akan bisa merubah seluruh organ tubuh menjadi
diam membisu penuh takjub.
Sungguh mulia dan bahagianya orang yang bisa
menjumpainya. Karena jelas seluruh nilai baiknya akan
berubah menjadi lebih baik daripada nilai-nilai yang
dikumpulkan selama seribu bulan. Malam itu disebut

89
Lailatul Qadar karena banyak keistimewaan, diantaranya,
karena ketinggian kadar dan harganya, menjadi malam
yang dipilih sebagai waktu penetapan ajal dan rizki
manusia selama satu tahun, serta lain sebagainya.
Pada malam itu juga, para malaikat beserta ruh-
ruh suci turun kebumi menyambut kedangannya sambil
lalu menyampaikan salam penghormatan kepada
penduduk bumi yang sedang berburu mencarinya.
Itu artinya, sangatlah pantas ia mendapat gelar
malam yang jauh lebih baik dari kumpulan malam seribu
bulan (khair min alfi syahr). Karena memang faktanya
keagungannya sungguh tidak tertandingi. Oleh karena
itu, kita sebagai hamba yang haus akan lipatan kebaikan
tidak boleh lengah untuk selalu berusaha memburunya.
Mencari cara bagimana ia bisa kita sentuh dengan amal
baik kita.
Namun, perlu diperhatikan, sebagai hadiah yang
luar biasa keagungannya tentunya keberadaan malam
Lailatul Qadar sangat tersembunyi, tidak bisa ditebak
layaknya main petak umpet. Harus ada jurus dan ajian
ampuh yang perlu digunakan oleh kita dalam memburu
serta menerkamnya. Kalau tidak, ia keagungan dan
kemuliaannya hanya sekedar lewat ditelinga, tidak
menjelma membasahi kehidupan kita. Tapi janganlah
khawatir, karena ada sinyal kuat layaknya operator XL di
pedesaan yang akan mengantarkan kita bersilancar
mencari keberadaan malam Lailatul Qadar.
Signal itu disampaikan oleh salah satu ulama
terkemuka yang tidak diragukan sisi intelektualitas dan
relegiusitasnya. Yakn Imam Izzuddi bin Abdis Salam.

90
Beliau, memberikan signal bahwa keberadaan
malam Lailatul Qadar bisa dilihat dan diraba pada
malam-malam ganjil khususnya ditanggal 21 malam
Ramadhan. Beliau mendasarkan pendapatnya pada
pengalaman yang sudah dirasakakan oleh baginda Nabi
besar Muhammad SAW. Bahwa suatu saat Rasulullah
melihatnya di alam mimpi pada tangga 21 Ramadhan.
Kemudian di pagi harinya, beliau bersujud pada lumpur
dan genangan air, karena pada saat itu sedang hujan dan
masjid yang menjadi tempat salat Rasulllah SAW sedang
dalam keadaan bocor. Ini dibuktikan dengan adanya
bekas di dahi beliau pada hari 21 Ramadhan saat
bertemu sahabat. (HR. Bukhari 2018).
Di samping itu, Rasulullah SAW pernah
mengabarkan bahwa malam Lailatul Qadar terjadi di saat
bulan nampak seperti separuh mangkuk. Ia sedang,
menurut ilmu penglihatan, bulan nampak seperti
mangkok biasanya pada tanggal 7 dan tanggal 21 setiap
bulan. (HR. Bukhari 1901) Berarti pendapat Imam
Izzuddin bin Abdis Salam tentang keberadaan malam
Lailatul Qadar ditanggal 21 Ramadhan semakin memiliki
pamor untuk kita ikuti. Namun, bukan berarti kita
melupakan malam-malam lainnya. Sehingga sepi dari
aktifitas peribadatan yang dilebihkan. Tidak. Tidak
demikian. Kita tetap harus bisa menyeimbangkan
peribadatan kita di semua malam-malam Ramadhan.
Hanya dimalam 21 perlu dilebihkan lagi berdasarkan
pendapat Imam Izzuddin bin Abdis Salam.
Selanjutnya, hal-hal yang perlu kita genjot
menyambut malam Lailatul Qadar diantaranya ialah
menyibukkan diri dengan zikir serta doa kepada Allah

91
SWT. Baik dengan baca Al-Qur’an, salat dan lain
sebagainya. Intinya, kita jangan sampai kita membiarkan
malam-malam ramadhan khususnya di malam ke 21
berlalu begitu saja tanpa disaksikan dengan zikir serta
perbuatan-perbuatan baik lainnya. Karena lailatul Qadar
bukanlah persembahan yang biasa. Akan tetapi ia
menjadi hadiah kejutan yang sangat luar biasa.

Sumber: Maqasid al-Shaum, karya Imam Izzuddin Bin


Abdis Salam, halaman 27-30.

Wallahu a’lam

92
LIMA HAL SEPELE YANG
SEHARUSNYA DIHINDARI OLEH
SESEORANG SAAT BERPUASA

Selasa, 28/04/2020

I
slam sangat ramah terhadap pemeluknya. Peduli,
perhatian dan sangat sayang. Tidak ada ceritanya,
ia garang, menyeramkan, bermuka masam dan
benci pada kita. Terbukti, segala aturan dan kode
etik, baik wajib, haram dan makruh, ditawarkan kepada
kita dengan sejumlah nilai-nilai kerahmatan, keberkahan
dan kebaikan hidup. Salah satu contohnya, terkait aturan
yang berupa hal-hal yang seharusnya dihindari (bukan
wajib) oleh kita pada saat melangsungkan puasa
Ramadhan.
Betul, ini bukan masalah besar yang dapat
membatalkan puasa. Akan tetapi, ini masalah kecil, tidak

93
memengaruhi secara langsung terhadap sah tidaknya
puasa kita. Hanya saja, perihal itu disampaikan demi
sebuah nilai plus yang seharusnya didapat oleh kita.
Selain itu, jika dipaksakan tidak dihindari akan
berpotensi berpengaruh terhadap kelancaran puasa. Bisa
saja, puasa kita tidak sempurna, batal dan tidak bernilai
jika aturan kecil itu tidak dihindari oleh kita. Selanjutnya,
aturan serta kode etik yang seharusnya dihindari oleh
kita pada saat pelaksanaan puasa khusunya di bulan
Ramadhan dapat tergambar dalam kelima hal berikut:

1. Menyambung puasa atau dikenal dengan al-wishal


Maksud dari puasa wishal adalah tidak
membatalkan puasa dimalam hari, sekalipun sudah
waktunya berbuka. Misalkan, hari ini kita berpuasa,
waktu malam pun juga berpuasa, berlanjut hingga esok
harinya. Prilaku semacam itu, tidak dinginkan oleh Islam
walaupun pada hakikatnya tidak membatalkan puasa.
Karena dengan perilaku demikian hak tubuh kita akan
dilalaikan. Sehingga akan menggangu terhadap
kesehatan dan kehidupan.
Rasululah SAW bersabda:
‫ فإنك‬:‫ فقال رجل من المسلمين‬,‫نهى رسول هللا صلى هللا عن الوصال‬
‫ فقال رسول هللا صلى ا‬,‫يارسول هللا تواصل‬ ‫ فأيكم‬:‫هلل عليه وسلم‬
- ‫ ومسلم‬-1965-‫ (رواه البخاري‬.‫مثلي؟ أبيت يطعمني ربي ويسقيني‬
)-1103
“Rasulullah saw melarang puasa wishal, kemudian ada
seseorang dari umat islam bertanya: wahai Rasulullah
saw kenapa engkau melakukannya? Dijawab oleh

94
Rasulullah SAW: apakah kalian sama denganku? Saya
menginap, diberikan makan serta minuman oleh Allah
SWT

2. Mengecup dan Mencium Pasangan Halal


Bagi sepasang suami-istri seharusnya menjaga ke-
romantis-san di siang hari bulan puasa. Tidak boleh ada
kecupan apalagi ciuman. Ya, sekalipun perbuatan itu
boleh dan tidak memengaruhi puasa secara langsung.
Namun, perlu diperhatikan bahwa hal sepele semacam
itu akan berakibat besar jika tidak dihindari. Syahwat
akan bangkit bergejolak menyebabkan lahirnya perilaku
yang dapat membatalkan puasa yakni bersetubuh.
Memang, Rasulullah SAW melakukan demikian. Tapi
kita sebagai umatnya yang tidak memiliki keistimewaan
dalam hal memfilter nafsu tidak dianjurkan meniru
beliau. Rasulullah SAW seringkali mencium bahkan
melakukan hal-hal romantis, atau bermanja-manja
dengan istri-istrinya. Tapi perlu diperhatikan, beliau
orang yang paling hebat dalam hal mengontrol serta
menfilter hawa nafsunya. (HR. Bukhari-1927- dan
Muslim -1106-).

3. Bercanduk atau berbekam


Bercanduk memang tidak dilarang. Ia juga tidak
memengaruhi sahnya puasa. Hanya saja, perilaku ini
disarankan agar dihindari, karena dapat mengakibatkan
loyo, lemas dan tak berdaya. Sehingga kesematan untuk
menjalankan ibadah puasa akan terancam bahkan bisa
membatalkan puasa. Rasulullah SAW pernah

95
melakukannya. Bercanduk pada saat beliau sedang
berpuasa. (HR. Bukhari, 1939). Namun, sekali lagi, hal
semacam ini tidak baik untuk ditiru, karena kita bukan
orang yang diistimewakan oleh Allah SWT.

4. Bersolek dengan menggunakan celak


Perbuatan bersolek dengan menggunakan celak
tidak banyak dilakukan oleh kaum adam. Kaum hawa
yang terbiasa dan bahkan tidak mau lepas dari perilaku
semacam ini. Bercelak memang boleh dilakukan dan
tidak memengaruhi sahnya puasa. (HR. Abu Daud 2378).
Akan tetapi perbuatan semacam itu lebih baik dihindari.
Karena di samping akan berakibat terjadinya materi yang
dapat meresap hingga ke tenggorokan, ia dapat
memberikan rasa aman, demikian menurut
sebapendapat gian Ulama. Ulama menyikapi perbuatan
ini tidak hanya satu pendapat. Ada yang
memperbolehkan dan ada yang tidak memperbolehkan.
Jadi, agar bisa aman dari perbedaan mereka sebaiknya
dihindari dan tidak bercelak.

5. Berkumur dan Menghirup Air pada Saat Wudhu


Sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa persoalan ini
bukan masalah membatalkan puasa atau tidak. Akan
tetapi, lebih kepada kehati-hatian dalam berperilaku
demi mendapatkan nilai plus. Karena berkumur dan
menghirup air dari hidung pada saat wudhu tentunya
diperbolehkan bahkan dianjurkan. Hanya saja, pada saat
berpuasa setidaknya tidak dilkukan. Demi untuk
menjaga kesempurnaan puasa. Kita tahu, bahwa

96
berkumur dan menghirup air merupakan proses
memasukkan benda terhadap lubang terbuka. Jika
dilakukan, sekalipun dikeluarkan lagi, tidak ada yang
bisa jamin bahwa air yang masuk bisa keluar semua.
Dari itu sebaiknya aktifitas semacam itu tidak
dilakukan. Lebih baik, berkumurnya ditunda saja hingga
pada waktu yang telah diperbolehkan yakni waktu
malam.
Simpulan dari paparan yang disampaikan dari
awal hingga akhir ialah Islam menginginkan kita pada
saat melakukan dan menghindari sesuatu yang menjadi
aturan agar dilakukan sesempurna mungkin. Tidak
hanya berperinsip sekedar cukup syarat dan lepas dari
tanggung jawab. Karena sejatinya, setiap aturan yang
disampaikan ada nilai plus dan kesempurnaan yang
ditambahkan selain hanya sekadar hadiah serta balasan
yang dijanjikan.

Sumber: Maqasid al-Shaum, karya Imam Izzuddin bin


Abdis Salam, halaman 24-26

Wallahu a’lam

97
98
LUPA, TIDAK SENGAJA, TIDAK TAHU
DAN DIPAKSA MELAKUKAN HAL-HAL
YANG MEMBATALKAN PUASA,
BATALKAH PUASA KITA?

Senin, 20/04/2020

K
ehidupan menjalan puasa, kadangkala tidak
semulus yang diharapkan. Ada hal-hal yang
tidak diinginkan terjadi. Misalnya, lupa, tidak
sengaja, tidak tahu dan dipaksa melakukan
sesuatu yang dilarang. Lantas bagaimana hukum puasa
kita? Apakah puasa kita batal atau tidak sama sekali?
Tentunya untuk menjawab pertanyaan itu perlu kiranya
mengelompokkan beberapa permasalahan sebagai
berikut:

99
1. Melakukannya karena lupa
Mengerjakan sesuatu yang dapat membatalkan
puasa apapun bentuknya, sedikit ataupun banyak
menurut pendapat mayoritas termasuk di dalamnya
pendapat mazhab Syafi’I tidaklah membatalkan puasa.
Dasarnya terdapa pada sabda Nabi Muhammad
SAW:
‫ فإنما أطمعه هللا وسقاه‬,‫إذا نسي فأكل أو شرب فليتم صومه‬
“Seseorang yang berpuasa lupa makan atau lupa
minum, maka tetap melanjutkan puasan (puasa tidak
batal) karena hal demikian merupakan pemberian dari
Allah swt.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis lain juga disebutkan:


‫من أفطر في شهر رمضان ناسيا فال قضاء عليه وال كفارة‬
“Barang siapa yang membatalkan puasanya saat bulan
Ramadhan dalam kondisi lupa, maka tidak ada
tanggungan qadha’ dan kafarat baginya.” (HR.
Daruquthni).

2. Melakukannya karena Faktor Ketidaktahuan


Sebelum menjelaskan terkait hukum puasanya,
kita harus tahu terlebih dahulu gambaran orang yang
tidak tahu. Ada dua bentuk gambaran orang yang tidak
tahu berdasarkan faktornya. Pertama, dia baru masuk
islam dan tidak memungkinkan untuk belajar terkait
aturan-aturan puasa yang perlu diindahkan. Sehingga ia
tidak bisa membedakan mana yang membatalkan atau

100
tidak. Kedua, ia sudah lama masuk islam dan sudah
punya banyak waktu untuk belajar terntang aturan
puasa. Akan tetapi ia lalai tidak menggunakan
kesempatan ini. Hukum dari gambaran orang pertama,
jika melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa,
tidak harus mengqadha puasanya. Artinya puasanya
tetap dianggap sah. Sedang orang yang masuk dalam
gambaran kedua, berkawajiban mengqadha puasanya.
Karena puasanya dianggap batal, berdasarkan
kelalaiannya.

3. Melakukannya karena Dipaksa


Pemaksaan dalam bentuk apapun baik tidak bisa
dihindari atau masih bisa dihindari (ilja’ atau ikrah)
menurut mayoritas Ulama tidak mengakibatkan batalnya
puasa. Karena bagi mereka orang yang itu tidak dikenai
titah apapun .
Dasarnya jelas termaktub dalam salah satu sabda
baginda Nabi besar Muhammad SAW:
‫رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهو عليه‬
“Ada tiga hal yang tidak tercatat sebagai pelanggaran
dari umatku, yaitu tidak sengaja, lupa dan kepaksa.”
(HR. Thabrani, Baihaqi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

4. Melakukannya karena Faktor Ketidaksengajaan


Dalam kaitannya dengan ini, permasalahan
difokuskan pada berkumur-kumur dan menghirup air
yang disunahkan pada waktu berwudhu. Namun
gambaran ini perlu dipilah antara melakunnya dengan

101
cara berlebihan atau tidak. Jika dia saat berkumur dan
menghirup air lewat hidung, tidak sengaja menelan air
maka tidak dapat membatalkan puasa, dengan syarat
perbuatan berkumurnya harus dilakukan dengan cara
tidak berlebihan (mubalaghah). Namun jika cara
berkumurnya dialakukan dengan cara berlebihan
(mubalaghah) maka puasanya menjadi batal dan harus
diqadha’ pada hari lain setelah bulan puasa.
Pendapat di atas dikeluarkan oleh mazhab
mayoritas, termasuk di dalamnya pendapat mazhab
Syafi’i. Mereka beralasan, karena dia melakukan sesuatu
yang disunahkan, maka hal-hal yang terjadi akibat
perbuatan itu dimaafkan jika dilakukan dengan
sewajarnya. Berbeda dengan melakukannya secara tidak
wajar atau berlebihan, maka tidak dimaafkan. Karena
jelas nabi melarang berkumur atau menghirup air
melalui hidung yang dilakukan dengan cara berlebihan
bagi orang yang sedang berpuasa. Beberapa paparan di
atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor lupa,
ketidaksengajaan, ketidak-tahuan dan paksaan dalam
melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa
tidaklah berperngaruh terhadap nilai puasa. Artinya,
puasa yang dilakukan tetaplah sah. Tidak usah diqadha
di hari lain. Karena hal itu dilakukan bukan berdasarkan
keinginan dan ridhanya. Sehingga tidaklah berefek pada
puasa yang dilakukan.

Sumber: Fikih Shiyam, Karya Dr. Hasan Hitoo,


halaman 87-94
Wallahu A’lam

102
MEMUPUK PENGETAHUAN DAN
KESALEHAN DIBULAN RAMADHAN

Senin, 04/05/2020

B
ulan Ramadhan selain sebagai bulan yang
penuh dengan gemerlap pahala, juga menjadi
bulan untuk melatih diri. Ia menjadi wadah
dan sarana agar kita terbiasa memupuk
pengetahuan dan kesalehan. Terbukti, di dalamnya
terdapat banyak ajakan untuk menambah pengetahuan
dan mejaga kesalehan. Kesalehan yang diinginka pun
tidak hanya kesalehan diri, tapi juga kesalehan sosial.
Tujuannya jelas, padat dan singkat. Yakni, ingin
mengajarkan bahwa Islam sejatinya sangat peduli
terhadap keseimbangan antara pengetahuan, dan
kesalehan. Agar keduanya selalu berirama dan
beriringan.

103
Ada banyak hal yang mejadi seruan Ramadhan
untuk mewujudkan hal itu. Namun penulis lebih fokus
pada tiga hal, yakni ajakan untuk memperbanyak baca
Al-Qur’an, i’ tikaf dan berperilaku dermawan.

Ajakan Memperbanyak Membaca Al-Qur’an


Ajakan untuk memperbanyak membaca Al-
Qur’an pada saat bulan Ramadhan didasarkan pada
sebuah hadis yang menceritakan tentang pengalaman
Rasulullah SAW. Pada saat bulan Ramadhan, dalam
hadis yang disampaikan oleh imam Bukhari dan imam
Muslim (1902/2308) beliau setiap malam membaca Al-
Qur’an dengan ditemani Malaikat Jibril.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah
SAW didatangi Malaikat Jibril satu kali setiap datangnya
bulan Ramadhan dengan tujuan utuk membaca dan
mengecek Al-Qur’an. Namun pada saat tahun dimana
baginda Nabi akan diwafatkan, malaikat jibril
mendatanginya hingga dua kali. (HR. Bukhari 3624 dan
Muslim 2450). Melalui hadis itulah kita bisa melacak
bahwa bulan Ramadhan menjadi bulan pilihan untuk
memperbanyak bacaan Al-Qur’an. Di samping itu, sudah
diketahuai dengan jelas bahwa Al-Qur’an diturunkan di
dalamnya.
Ada apa dan bagaimana kok bisa demikian?
Tentunya, di dalamnya terdapat ajakan yang seharusnya
dipahami oleh kita. yakni, agar kita peduli terhadap
pengetahuan. Selalu dipupuk dan senantiasa ditambah.
Bukan malah dilalaikan. Peduli, menjaga dan memupuk
pengetahuan tentunya sarat utama yang dialakukan

104
adalah dengan cara membaca sebanyak-banyaknya. Ini
bisa dibuktikan dengan surat pertama kali yang turun
kepada baginda Nabi besar Muhammad SAW, yakni
perintah untuk membaca.
Kemudian, kenapa kok harus Al-Qur’an yang
harus diperbanyak untuk dibaca? Jawabannya sangat
mudah, telah menjadi keyakinan bagi kita bahwa Al-
Qur’an merupakan sumber dari segala sumber
pengetahuan. Ini pun sudah tidak hanya sekadar
keyakinan, tapi sudah dibuktikan dengan penelitian-
penelitian yang ada.
Sampai di sini sudah sangat terbuka lebar bahwa
ajakan untuk memperbanyak membaca al-Qur’an intinya
adalah agar kita selalu peduli, menjaga dan senantiasa
memupuk pengetahuan. Bukan malah acuh apalagi
memusuhinya.
Hanya saja faktanya, umat Islam hanya sedikit
yang betul-betul membaca. Memang mereka banyak
membaca, tapi hanya sekedar kejar kuantitas, sedang
kualitas dibiarkan. Mereka tidak dapat menembus batas
kata, sehingga tidak bisa sampai pada makna yang
terkandung. Puncaknya, tidak ada tambahan
pengetahuan pasca kegiatan membaca.

Ajakan beri’tikaf di Masjid


Beri’tikaf yang diartikan sebagai kegiatan
berkunjung ke salah satu rumah Allah SWT yakni masjid
dengan meninggalkan segala kesibukan duniawi
(bersemidi) menjadi bagian dari seruan bulan Ramadhan

105
yang juga tidak kalah penting daripada seruan lainnya.
Namun seruan ini lebih diperioritaskan pada sepuluh
malam terakhir bulan Ramadhan. Kita harus betul-betul
melepaskan diri dari segala bentuk kesenangan dan
kesibukan duniawi pada saat itu. Tujuannya satu, yakni
agar mendapat pengakuan dari Allah SWT dengan
diberikan anugerah Lailatul Qadar.
Ajakan beri’tikaf tidak hanya sekadar ajakan
belaka, tapi hal ini dicontohkan langsung oleh baginda
Nabi besar Muhammad SAW. dimana beliau pada saat
sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan,
mengencangkan ikat pinggang, bersungguh-sungguh,
fokus dan serius beri’tikaf di masjid. Beliau pamit dan
minta ijin pada istri-istrinya untuk tidak ikut tidur
bersamanya. (HR. Muslim 1175).
Seruan beri’tikaf khususnya pada malam sepuluh
hari terakhir bulan Ramadhan bermaksud agar kita
semua tidak lupa terhadap kesalehan diri yang
sesungguhnya. Betul-betul mendekat dan menghamba
khusus kepada Allah SWT bukan pada pengetahuan dan
dunia. Dengan begitu, Allah betul-betul ridha untuk
dihadiahi karunia yang sangat luar biasa. Karena jelas
dia sudah berani meninggalkan kesibukan dunia demi
untuk menghamba dan mendekat kepada-Nya.
Perlu diperhatikan bahwa seruan i’tikaf hanya di
malam sepuluh terakhir menandakan bahwa kesalehan
diri bukanlah melepaskan seutuhnya kesibukan duniawi.
Tidak. Kita hanya dituntut untuk tidak menghamba pada
dunia, tapi hanya kepada Allah lah satu-satunya.

106
Seruan menjadi Dermawan
Selain kesalehan diri, kita juga dituntut untuk
menjaga kesalehan sosial. Tidak hanya terfokus pada
kesalehan diri belaka. Terbukti di bulan Ramadhan kita
dianjurkan untuk menjadi orang yang dermawan.
Rasulullah SAW telah membuktikan hal ini. Riwayat
yang disampaikan oleh imam Bukhari (1902) dan imam
Muslim (2308) mengisahkan bahwa baginda Nabi
Muhammad SAW merupakan manusia yang paling
dermawan khususnya pada saat bulan Ramadhan.
Ini menunjukan bahwa kesalehan yang diinginkan
oleh Islam tidak hanya fokus pada kesalehan diri, tapi
juga ada kesalehan sosial yang juga perlu diperhatikan.
Karena dengan demikian kita peduli terhadap juga
peduli terhadap orang lain.
Poin yang ingin disampaikan oleh penulis ialah
bahwa bulan Ramadhan seharusnya dijadikan sebagai
ajang latihan untuk memupuk pengetahuan, kesalehan
diri dan kesalehan sosial. Bukan malah dijadikan sebagai
ajang paduan suara, pamer kuantitas ibadah serta pamer
harta kekayaan. Dari situ kita bisa belajar bahwa antara
pengetahuan, kesalehan diri dan kesalehan sosial sama-
sama penting dalam berislam. Keseimbangan antar
ketiganya harus betul-betul dijaga. Bukan malah
mengedepankan yang satu, sedang yang lainnya
ditinggalkan.
Selanjutnya, kita bisa melihat dan mengukur
bagaimana kita melaksanakan seruan diatas secara
semestinya. Bukan malah kejar tayan, kuantitas dan

107
target, sedangkan kuliatas dan makna yang
sesungguhnya dibiarkan begitu saja.

Sumber: Maqasid al-Shaum karya Imam Izzuddin bin


Abdis Salam, halaman 31-33

Wallahu a’lam

108
PENGARUH KONTAK FISIK ROMANTIS
ANTAR PASANGAN TERHADAP
PUASA RAMADHAN

Jum’at, 17/04/2020

B
anyak hal yang harus ditahan pada saat kita
melakukan puasa. Salah satunya ialah
berhubungan intim atau bersetubuh di siang
bolong. Tidak ada pengecualian dalam hal ini,
baik bagi pasangan sah yang memang halal pada
mulanya ataupun pasangan terlarang yang semenjak
semula sudah diharamkan. Berkaitan dengan hal ini, kita
perlu tahu bahwa perbuatan persentuhan, selain menjadi
sesuatu yang dapat membatalkan puasa, ia juga
diharamkan jika dikerjakan pada waktu siang bolong
(bermula dari subuh hingga azan magrib) selama bulan
Ramadhan.

109
Artinya terdapat dua konsekuensi yang dapat
diterima oleh pelaku jika perbuatan itu dilakukan pada
siang hari. Yakni mendapatkan dosa karena sudah
melakukan sesuatu yang diharamkan dan harus
membayar sangsi di lain hari, karena puasanya sudah
batal. Allah SWT berfiman yang artinya” dihalalkan bagi
kalian bersetubuh di malam ramadhan”. Firman itu
memberikan keterangan jelas, bahwa bersetubuh di siang
hari pada bulan Ramadhan diharamkan, entah seperti
apapun bentuk serta terwujud atau tidak sebuah klimaks
(keluar mani) yang diinginkan.
Ketentuan itu tidak bisa ditawar lagi oleh
siapapun, kecuali bagi orang yang tidak sadarkan diri
dan betul-betul lupa tentang puasa Ramadhan. Sehingga
tidak ada satupun dari seorang Ulama yang berbeda
pendapat. Semua rata mengatakan haram dan dapat
membatalkan puasa. Begitu juga, tindakan-tindakan
kesenangan serta bermanja-manjaan yang dilakukan
dengan bentuk kontak fisik langsung antar kedua
pasangan, juga tidak diperbolehkan dan dapat merusak
puasa, jika menyebabkan klimaks. Namun, jika tidak
menyebabkan klimaks, maka tidak dapat membatalkan
puasa. Hanya saja, perbuatannya mengakibatkan
datangnya dosa. Karena, ia akan mengakibatkan pada
perbuatan yang diharamkan yakni berjima.
Kemudian, bagaimana kecupan terhadap
pasangan yang tidak jarang dilakukan oleh sebagian kita.
Mengacu kepada penjelasan di atas dan fakta di
lapangan, maka perlu dilihat dengan dua sudut
pandang. Pertama, jika hanya sebatas kecupan dan tidak
berpengaruh bagi syahwat serta tidak menyebabkan

110
klimaks, maka sah-sah saja. Tidak diharamkan pun juga
tidak dapat membatalkan puasa. Kedua, jika sebaliknya,
kecupan yang bikin nafsu bergejolak dan bisa membuat
klimaks, maka tergolong diharamkan dan dapat
membatalkan puasa. Sementara jika hanya bikin nafsu
bergejolak, maka hanya dosa yang didapat. Karena,
perbuatan kecupan bagaian dari kontak fisik langsung
dengan pasangan.
Penjelasan di atas, memberikan alur pemahaman
kepada kita bahwa, kontak fisik langsung dengan
pasangan melalui area poros utama (alat fital) dapat
membatalkan puasa tanpa melihat klimaks atau
tidaknya. Ukurannya bukan klimas. Tapi persetubuhan.
Berbeda dengan kontak fisik langsung selain area
poros utama. Tindakan itu, tidaklah membatalkan puasa
selama tidak klimaks. Jika tidak, ia dia hanya berdosa
saja tanpa ada pengaruh terhadap puasanya. Berarti,
dalam kaitan ini, ukurannya ialah klimaks. Di luar
itu semua (kontak fisik langsung melalui alat vital atau di
area lain) maka perbuatan dan manja-manjaan sekalipun
bisa menyebabkan klimaks tidak berpengaruh terhadap
puasa. Puasanya tetap sah. Contohnya, melihat
perempuan kemudian dihayati,tenyata tiba-tiba klimaks.
Maka puasanya tetap bisa dilanjutkan.
Mimpi basah di siang hari, juga lebih tidak
membatalkan lagi. Karena jelas, tidak ada usaha apapun
untuk bisa klimas. Melakukan perbuatan yang tidak
termasuk kontak fisik langsung tidak, apalagi, kontak
fisik langsung melalui alat vital atau diluar
alat.Permasalahan lain yang tidak boleh dilupakan serta
perlu ditegaskan adalah hukum mandi besar setelah

111
azan subuh di bulan Ramadhan. Karena hal, ini masih
ada keterikatan dengan aktifitas intim. Berdasarkan
hadis yang disampaikan oleh kedua istri Rasulullah
SAW (Sayyidah A’isyah dan Sayyidah Asma’) terkait
salah satu pekerjaan yang juga di praktikkan oleh
Rasulullah SAW yang pernah mandi besar setelah
memasuki azan subuh, karena faktor jinabah dari selain
mimpi basah, maka hukumnya boleh-boleh saja dan
tidak memengaruhi puasa. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan yang bisa disampaikan dari semua
paparan di atas, bahwa semua tindakan perbuatan
kontak fisik romantis yang dilakukan secara langsung
dan sengaja serta dapa membangkitkan hawa nafsu
termasuk tindakan yang dilarang. Haram dilakukan
pada saat siang hari bulan Ramadhan. Selanjutnya,
perbuatan itu akan berpengaruh terhadap puasa jika
langsung tertuju pada persetubuhan, baik klimaks atau
tidak. Sementara jika dilakukan bukan selain bentuk
persetubuhan akan berpengaruh terhadap puasa jika bisa
menyebabkan klimas.
Maka, perbuatan berbau romantis yang dilakukan
bukan dengan kontak fisik langsung, seperti, melihat dan
menghayal, kemudian bisa menyebabkan klimas
tidaklah dilarang bukan sebab adanya puasa dan juga
tidak bisa menyebabkan batalnya sebuah puasa.

Sumber: Fikih Shiyam, karya Dr. Hasan Hito,


Halaman 63-71
Wallahu A’lam

112
PENGERTIAN PUASA DAN PROBLEM
PENGGUNAAN KATA RAMADHAN

Rabu, 08/04/2020

K
ata puasa secara makna bisa dilihat dari dua
sudut pandang. Sudut pandang bahasa dan
sudut pandang istilah. Secara bahasa puasa
berarti menahan sesuatu yang masih umum.
Bisa menahan ucapan, perbuatan dan cinta. Artinya
segala tindakan yang berkonotasi menahan bisa
dikatakan puasa. Contoh, ada seseorang yang sedang
duduk bersama teman-temannya di sebuah warung kopi.
Semuanya pada ramai membincangkan solusi untuk
menghindar dari virus yang bernama covid-19. Tapi dia
hanya diam tanpa sepatah katapun. Lalu tiba-tiba salah
seorang dari temannya nyeletuk “Kenapa kamu diam?
Apakah kamu sedang berpuasa untuk berbicara?
Celetukan yang terlontar dari seseorang dalam contoh di

113
atas tidak salah. Karena memang puasa berdasarkan
sudut pandang bahasa ialah menahan untuk tidak
melakukan sesuatu.
Berbeda dengan sudut pandang istilah yang
digunakan dalam Islam. Puasa diartikan dengan
menahan sesuatu yang khusus (akan dilanjutkan dengan
penjelasan khusus nantinya). Ia tidak bisa digunakan
untuk perkataan dan tindakan lainnnya. Misalnya, kita
dari terbitnya fajar hingga magrib tidak makan dan tidak
minum serta tidak melakukan perbuatan khusus lainnya
sesuai ketentuan istilah. Hal seperti ini, baru dikatakan
dengan puasa secara istilah.
Jadi perbedaannya jelas. Karena secara bahasa
makna puasa berlaku umum sedangkan secara istilah
syariah ia hanya khusus pada tindakan-tindakan
tertentu. Puasa yang dimaksud secara istilah ini harus
dilaksanakan di bulan khusus. Yakni di bulan
Ramadhan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat
Al-Baqarah ayat 185.
“….Bulan ramadhan dimana didalamnya telah
diturunkan kitab al-Qur’an sebabagai petunjuk bagi
manusia……..barang siapa yang berada di dalmnya
maka dia wajib melakukan puasa.”
Selanjutnya, berkaitan dengan kata Ramadhan ada
permasalahan khusus yang diperbincangkan oleh Ulama.
Karena berdasarkan hadis ia merupakan bagian dari
sekian banyak nama-nama Allah SWT. Permasalahan
yang dimaksud ialah hukum menggunakan kata
Ramadhan tanpa harus didahului kata bulan. Misalnya,

114
Ramadhan tiba, saya cinta Ramadhan dan lain
sebagainnya.
Sikap ulama terkai hukum dimaksud terungkap
dalam tiga pendapat. Ini terjadi karena berangkat dari
adanya hadis yang menyatakan bahwa Ramadhan ialah
nama dari sekian banyak nama-nama Allah. Sebagian
dari mereka mengganggap hadis ini lemah dan tidak
layak dijadikan dasar hukum. Pertama, hukumnya
makruh baik terdapat indikasi lain tidak memungkinkan
untuk dijadikan sebagai nama Allah SWT ataupun tidak.
Contohnya, puasa Ramadhan dan Ramadhan tiba.
Pendapat ini, diungkapkan dari salah satu sahabat Imam
Malik. Kedua, mengatakan bahwa tidak makruh
mengatakan Ramadhan tanpa didahului nama bulan
asalkan ada indikasi yang dapat memalingkan pada
selain nama Allah SWT. Misalnya, kata “ Puasa
Ramadhan”. Namun jika sebaliknya, maka hukumnya
makruh. Misalnya, kata “Ramadhan tiba”. Ketiga,
sebagai pendapat yang dipilih oleh penulis ialah
pendapat mayoritas yang diwakilkan oleh Imam
Nawawi. Mereka mengatakan tidak makruh dan boleh-
boleh saja. Karena hadis yang dijadikan pegangan oleh
kedua pendapat di atas merupakan hadis dhaif.
Selain itu, menurut Imam Nawawi ada banyak
hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim menggunakan kata Ramadhan tanpa didahului
kata bulan. Misalnya hadis yang diriwatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim” jika Ramadhan tiba maka
pintu surga terbuka lebar, pintu neraka tertutup rapat
dan setan-setan dibelenggu”. Jadi, apabila kata yang
biasa kita nyanyikan “Ramadhan tiba, ramadhan tiba”

115
serta perkataan lain tentang ramadhan yang tidak
didahului perkataan bulan sah-sah saja dan tidak
makruh. Karena hadis yang diajadikan pegangan oleh
orang yang mengatakan makruh tidak memenuhi
standar untuk dijadikan dasar hukum. Apalagi ada
banyak contoh hadis Nabi Muhammad SAW dalam
shahih Bukhari dan Muslim yang mempelihatkan kata
Ramadhan tanpa harus didahului kata bulan.

Sumber: fikh al-Shaum, karya dr. Hasan Hito, Halaman


7-9, cet. Dar al-Basyair al-Islamiyah 1408 H/1988 M.

116
PEREMPUAN HAID BOLEH PUASA?
(Jawaban Ringkas Kesangsian Mereka
Terhadap Larangan Perempuan Haid
untuk Berpuasa)

Rabu, 06/05/2020

B
aru-baru ini ada sekelompok pemerhati kaum
perempuan menggelar diskusi online
bertemakan ‘Hak-hak Kesehatan Reproduksi
Perempuan: Ayat-Ayat al-Qur’an/al-Hadis
dan Kebijakan Nasional”. Hadir dalam diskusi tersebut,
ketua Majlis Hukum dan Ham PP. Aisiyah, Dr. Atyatul
Ulya, dan Ketuan Komonitas Aisiyah ITB Ahmad Dahlan
Yulianti Muthmainnah. Dalam diskusi yang berlangsung
pada jum’an 01 Mei 2020 pada pukul14:00, Mereka

117
membahas isu hukum tidak diperbolehkannya
perempuan haid untuk berpuasa.
Menurut mereka, hukum tidak diperbolehkannya
kaum perempuan yang sedang haid untuk berpuasa
tidak berdasar baik secara naqli (al-qur’an dan Hadis
ataupun aqli (logika). Selanjutnya mereka mengatakan,
bahwa kaum perempuan sekalipun pada saat haid
mengalami rasa sakit dan lemah, tapi berbeda antar satu
perempuan dengan perempuan lainnya.Terakhir, mereka
mengatakan bahwa hadis mengatakan untuk mengqadha
puasa tidaklah diartikan sebagai bentuk larangan untuk
berpuasa. Jadi bagi mereka perempuan hadi boleh-boleh
saja berpuasa. (ibtimes.id/perempuan-haid-boleh-puasa)
Sebetulnya, kejadian seperti ini memang bukan
hal yang baru. Karena sudah ada dan disinggung
semenjak dulu. Karena dianggap tidak logis dan tidak
masuk akal. Dari itu, Sayyidah Aisyah sangat
mengingkari salah satu perempuan yang menyangsikan
tentang ketetapan wajibnya perempuan haid mengqadha
puasa padahal salat tidak. Akan tetapi Sayyidah Aisyah
malah sangat ingkar dan terkesan menyudutkan bahwa
perempuan itu berpaham khawarij yang hanya kembali
pada Al-Qur’an dan menolak hadis. Redaksi hadisnya
bisa dilihat dibawah ini:
‫ سألت عائشة رضي هللا عنها فقلت‬:‫عن معاذة رضي هللا عنها قالت‬
‫مابال الحائض تقضي الصوم وال تقضي الصالة؟ فقالت أحرورية‬
‫ قالت كان يصيبنا ذلك فنؤمر‬.‫أنت؟ قلت لست بحرورية ولكني أسأل‬
‫) ومسلم‬321(‫(رواه البخاري‬.‫بقضاء الصوم والنؤمر بقضاء الصالة‬
)335‫(؟‬

118
“Dari Muadzah mengatakan: saya bertanya kepada
Sayyidah Aisyah, kenapa orang haid hanya disuruh
mengqadha puasa, sedang salat tidak. Dijawab oleh
Aisya: apakah kamu Haruriyah? (Salah satu kelompok
khawarij yang tidak mau pada hadis). Dia menjawab:
tidak, saya hanya sedar bertanya. Sayyidah Aisyah
mengatakan: kami disaat sedang haid diperintah untuk
mengqadha’ puasa dan tidak untuk qadha’ salat. (HR.
Bukhari 321, dan Muslima 335)

Selain itu ada Imam al-Bujairimi juga ikut


membantah seseorang yang juga ikut menyangsikan
masalah ini. yakni, tidak logisnya kaum perempuan yang
sedang haid yang tidak diperbolehkan berpuasa. Ini
menurut seseorang tersebut tidaklah logis. Imam Al-
Bujairimi mengatakan sebetulnya, hal ini sangat bisa
dijangkau oleh akal, karena datangnya haid dapat
menyebabkan lemahnya badan, puasa juga begitu.
Kemudian, berkumpulnya dua hal yang sama-sama
melemahkan sangat sangat membahayakan terhadap
kesehatan perempuan. sehingga puasa tidak
diperbolehkan demi menjaga terhadap kesehatan
badan.” (al-Bujairimi,2/382).
.Selanjutnya, terkait dengan masalah perempuan
haid tidak diperbolehkan berpuasa sudah sangat jelas
menjadi ijma’ Ulama. Tidak ada yang
mempertentangkan masalah ini, kecuali orang-orang
yang tidak percaya terhadap hadis, kredibilitas Ulama
dan keilmuannya. Tidak terhitung jumlahnya dari para
Ulama Salaf yang sudah menyampaikan status ke-
ijma’an masalah ini. Salah salah satunya dapat dilihat

119
dalam bukunya Imam Nawai al-Majmu’ Syarah al-
Muhadzab/2/380) berikut:
‫"أجمعت األمة على تحريم الصوم على الحائض والنفساء وعلى أنه‬
‫ ويستدل من السنة على تحريم صومها بحديث أبي‬,‫اليصح صومها‬
‫سعيد أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال أليس إذا حاضت المرأة لم‬
)380-2( ‫تصل ولم تصم فذلك نقصان دينها"المجموع شرح المهذب‬
“Ulama sudah berijma’ bahwa puasa diharamkan bagi
perempuan yang sedang haid dan nifas. Jika berpuasa
maka puasanya tidak sah. Dasarnya adalah sabda
Rasulullah SAW, bahwa perempuan yang sedang haid
tidak boleh salat dan tidak boleh puasa. Karena itulah
tanda itu kemudahan buat kaum perempuan.”
Kemudian, Jika masih ingin memperluas, bisa
dilihat di Syarah Muslim 4/250, Fathul Bari 1/546,
Mughni Ibnu Qudama, 3/39, dan Maj’mu’ul Fatawa,
Ibnu Taimiyah, 25/219. Seluruhnya memiliki redaksi
yang hampir sama. Tidak memperbolehkan perempuan
haid untuk berpuasa.
Simpualan yang ingin sampaikan, ialah bahwa
pertama, masalah ini harus diakui sebagai masalah yang
ta’abbudi, yang tidak serta merta dinalar semaunya.
Sehingga bisa merubah hukum yang sudah mapan dan
sudah menjadi ijma’. Hal ini dapat dibuktikan dengan
jawaban Sayyidah Aisyah pada perempuan yang
terkesan ingin menalar sesuatu yang sudah menjadi jelas
sebagai perintah dalam hadis diatas. Kedua, perintah
mengqadha’ puasa dalam hadis shahih di atas, sekalipun
tekstualnya tidak ada larangan berpuasa, hanya saja
sudah pasti ditangkap dengan sangat sederhanya bahwa
puasa pada saat haid tidak sah. Jika tidak demikian,

120
mengapa Nabi memerintah untuk mengqadha’nya?
Ketiga, sejatinya perempuan yang sedang mengalami
haid hampir bisa dipastikan mengalami perubahan
kesehatan jiwa dan raga. Jika masih tetap dituntut untuk
tetap berpuasa maka dimana letak ke-rahmat-an Islam?
Keempat, perlu dipahami bahwa tidak semua ajaran
islam harus dirasionalkan. Kemudian yang tidak rasional
harus dirubah. Jika begitu, kenapa gerakan dan jumlah
rakaat salat wajib tidak dirubah? Adakah yang bisa
melogikan hal itu?

Wallahu A’lam.

121
122
PERINGATAN NUZULUL QUR’AN,
INILAH EMPAT PENGHARGAAN
MENARIK MEMBACA DAN TADARUS
AL-QUR’AN

Senin, 11/05/2020

A
l-Qur’an ialah kebanggaan bagi umat Islam
yang tidak bisa ditukar dengan apapun. Ia
menjadi kitab sakti yang belum pernah
disamai oleh kitab-kitab lainnya. Terbukti, ia
dinobatkan sebagai bentuk peringatan (zikir), mauidzah
dan kenangan indah bagi umat Islam. Dengan begitu,
mereka senantiasa dilindungi kapanpun dan di
manapun.
Allah SWT berfirman:

123
)10 ‫لقد أنزلنا إليكم كتابا فيه ذكركم (األنبياء‬
“Sungguh telah kami turunkan kepadamu sebuah Kitab
(al-Qur’an) yang didalamnya terdapat (zikir)
peringatan bagimu…“
‫فاستمسك بالذي أوحي إليك إنك على صراط مستقيم () وإنه لذكر لك‬
)44-45 ‫ولقومك ولسوف تسئلون (الزخرف‬
“Maka berpegang teguhlah engkau kepada agama yang
telah diwahyukan kepadamu. Sungguh engkau berada
dijalan yang lurus () dan sungguh al-Qur’an itu betul-
betul peringatan bagimu dan bagi kaummu dan kelak
kamu akan diminta pertanggungjawaban ().”

Al-Qur’an juga dapat mengangkat dan


meninggikan level derajat suatu kaum. Begitu juga
sebaliknya. Ia juga bisa melemahkan dan membuat hina
suatu kaum yang lain.

‫ إن‬:‫ أما إن نبيكم صلى هللا عليه وسلم قد قال‬: ‫فقد جاء عن عمر قال‬
‫هللا يرفع بهذ الكتاب أقواما ويضع به أخرين (أخرجه مسلم في‬
)818 ‫صحيحه‬
“Dari sayyidina Umar berkata: sungguh Nabi kalian
sudah bersabda: Allah swt akan mengangkat derajat
suatu kaum disebabkan al-Qur’an, sebagaimana Dia
juga akan merendahkan suatu kaum sebab
keberadannya.”
Selanjutnya, sudah tidak asing lagi pemandangan
yang terjadi dalam setiap kedatangan bulan Ramadhan,
umat Islam berbondong-bondong berkumpul bersama-

124
sama melebihi dari hari-hari biasanya dalam rangka
membaca dan tadarus Al-Qur’an. Alasannya jelas,
karena memang bulan itu telah dipilih oleh Allah SWT
sebagai waktu diturunkannya Al-Qur’an pertama kali ke
lauh mahfudz. Setelah itu, berlanjut ke baitul izzah dan
terakhir turun kebumi secara berangsur-angsur.
Dari itu, sangat perlu mempertajam pengetahuan
tentang keistimewaan membaca dan tadarus Al-Qur’an
khususnya di bulan Ramadhan. Guna menjadi motivasi
dan penyemangat agar lebih giat serta lebih bersemangat
dalam melakukan kegiatan agung.
Nabi besar Muhammad SAW bersabda:
‫وما اجتمع قوم في بيت من بيوت هللا يتلون كتاب هللا ويتدارسونه بينهم‬
‫إال نزلت عليهم السكينة وغسيتهم الرحمة وحفتهم المالئكة وذكرهم هللا‬
)6853 ‫فيمن عنده (أخرجه مسلم في صحيحه‬
“Tidaklah suatu kelompok berkumpul dalam salah satu
rumah Allah yang didalamnya terdapat bacaan dan
tadarus al-Qur’an, kecuali didalamnya terdapat
ketenangan, diliputi rahmat, dikelilingi malaikat dan
Allah menyebut nama-nama mereka di hadapan
makhluk-makhluk lain di sisi-Nya.”
Terdapat empat hadiah dalam hadis diatas yang
akan didapat oleh mereka yang berkumpul membaca
dan tadarus Al-Qur’an. Kita tidak boleh melupakannya
apalagi lalai.
1. Hadiah ketenangan
Sakinah yang diartikan ketenangan tentunya
sangat diharapkan oleh semua orang. Karena tanpa
ketenangan kehidupan yang dijalani tentunya terasa

125
membingungkan dan tidak nyaman. Ketenangan
semacam ini dihadiahkan oleh Allah kepada kita semua
jika membaca dan melakukan tadarus Al-Quran
bersama-sama. Hadiah ini pastinya menjadi
penghargaan yang sangat luar biasa. Karena ketenangan
itu, bukanlah sesuatu yang mudah didapatkan.
2. Hadiah Rahmat dan Kasih Sayang
Rahmah atau kasih sayang tidak kalah pentinya
dalam eksistensi kehidupan umat manusia. Karena
sudah bisa dipastikan kehidupan yang tanpa lipuatan
rahmat akan senantiasa keras bahkan bisa saja hancur.
Membaca dan melakukan tadarus Al-Qur’an secara
bersama-sama menjadi salah satu cara untuk bisa
mendatangkan rahmat dan kasih sayang, sebagaimana
dijanjikan dalam bentuk hadiah menarik pada penjelasan
hadis di atas.
3. Hadiah kedatangan malaikat
Hadiah yang tidak kalah menariknya akibat dari
membaca dan malakukan tadarus Al-Qur’an ialah bisa
didatangi para malaikat. Mereka berkeliling dengan
tebaran kesejukan menyaksikan pemandangan indah
yang tampak. Peristiwa seperti itu tidaklah mudah
didapatkan. Mengingat para malaikat yang tercipta dari
sosok halus, lembut dan tidak berdosa bisa bersedia
hadir berkumpul bersama dengan orang-orang yang
kasar dan seringkali berbuat dosa. Itu terjadi karena
berkat Al-Qur’an.
4. Allah menyebut nama-nama mereka di hadapan
makhluk-makhluk lain di sisi-Nya.

126
Penghargaan terakhir yang juga sangat luar biasa
dijanjikan oleh Allah SWT terhadap mereka ialah
memberitakan aktifitas mereka kepada makhluk lain.
Siapakah yang bisa mendapatkan penghargaan seperti
ini kecuali mereka. Itu artinya, Allah sangat menyukai
mereka berkat amalan yang dilakukannya.
Benang merah yang didapatkan ialah bagaimana
kita semua betul-betul giat dan semangat membaca dan
tadarus Al-Qur’an khususnya di bulan Ramadhan.
Karena penghargaan yang dijanjikan tidaklah sederhana
dan biasa-biasa saja. Selanjutnya di samping sekadar
membaca perlu juga kita perhatikan bahwa yang
dimaksud tadarus pada hakikatnya bukanlah hanya
sebatas membaca secara bersamaan, melainkan ada
usaha untuk memahami apa yang dibaca.

Wallahu a’lam

127
128
QADHA’ DAN KAFARAT
MENINGGALKAN PUASA RAMADHAN

Minggu, 03/05/2020

P
uasa Ramadhan merupakan kewajiban yang
harus dilaksakan oleh segenap orang Islam.
Bermula dari azan subuh hingga azan
maghrib berkumandang, ia tetap dijaga dan
tidak boleh dibatalkan. Sudah menjadi ijma’ bahwa
seseorang yang membatalkan puasa, tanpa ada alasan
yang memperbolehkan, maka disana ada dosa yang
didapatkan. Berbeda dengan orang membatalkannya
karena faktor dan alasan yang diterima, maka dia sudah
mendapatkan dispensasi. Sehingga tindakannya tidak
melahirkan dosa.
Selanjutnya, seseorang yang telah membatalkan
puasa baik berdasarkan alasan yang diterima atau tidak,
maka dia harus menggantinya dilain hari setelah bulan

129
Ramadhan. Sementara selain qadha’ -menurut mazhab
mayoritas- seperti kafarat, pada dasarnya bukanlah
menjadi kewajiban dan tanggungan sekalipun puasa
yang dibatalkan hanya karena faktor kesengajaan.
Kewajiban kafarat bagi mereka hanya bagi orang yang
membatalkan puasa dengan bersenggama.
Berbeda dengan pendapat Imam Malik.
Menurutnya, seseorang yang telah berani membatalkan
puasa karena faktor kesengajaan dan tanpa ada alasan
yang diterima, di samping memiliki kewajiban qadha’
dia harus membayar kafarat. Baik dengan jima’ ataupun
dengan lainnya. Pendapat mayoritas tersebut, tentang
kewajiban kafarat selain qadha’ bagi orang yang telah
membatalkan puasa dengan berhubungan intim
didasarkan pada sabda baginda Nabi Besar Muhammad
SAW.
“Suatu hari ada seorang lelaki mengabarkan dirinya
kepada baginda Rasulullah SAW telah bersetubuh
dengan istrinya pada saat siang hari puasa Ramadhan.
Beliau, menyuruhnya dengan menebus budak, akan
tetapi ia tidak mampu. Kemudian beliau,
menyuruhnya untuk berpuasa dua bulan berturut-
turut, dia juga mengatakan tidak mampu. Lalu Nabi,
memerintahkan untuk memberi makan 60 orang
miskin, dia juga masih tetap bilang tidak mampu.
Selanjutnya Nabi, memberikan sewadah kurma untuk
dikasihkan kepada orang miskin, dia katakan, saya dan
keluarga saya orang termiskin didaerah ini. akhirnya
Nabi menyuruhnya untuk meberikan pada
keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

130
Sabda Nabi tersebut menjadi bukti kuat bahwa
seseorang yang membatalkan puasanya dengan
bersenggama di siang hari bulan Ramadhan memiliki
kewajiban membayar kafarat. Kemudian kafarat yang
diwajibkan harus dipenuhi dengan sanksi terberat,
berupa memerdekakan budak. Andaikan tidak mampu
baru bisa pindah ke yang lebih ringan berupa puasa
dulan berturut-turut. Masih belum mampu baru bisa
pindah ke opsi terakhir, yaitu memberi makan 60 orang
miskin. Perlu diperhatikan, kewajiban kafarat, menurut
pendapat yang terpilih dalam mazhab syafi’I hanya
untuk sang suami. Sementara istri tidak diwajibkan
menunaikannya.
Paparan di atas memberikan simpulan bahwa
orang yang telah membatalkan baik berdasarkan alasan
yang diterima ataupun tidak, maka harus menngganti
puasanya selepas berlalunya bulan Ramadhan. Sedang
kafarat bukanlah menjadi kewajiban yang harus
ditunaikan, kecuali bagi orang yang telah sengaja
membatalkan puasanya dengan berhubungan intim. Dia
harus membayar kafarat selain qadha, dengan
memerdekakan budak. Jika tidak mampu maka beralih
pada puasa selama dua bulan berturut-turut. Apabila
masih tetap belum mampu maka terpaksa harus
memberi makan enam puluh orang miskin.
Sumber, Fiqh al-Shiyam karya dr. Hasan Hitoo,
halaman 135-139

Wallahu a’lam

131
132
ADA SESUATU YANG MASUK DAN
KELUAR DARI DIRI KITA SAAT
BERPUASA, APAKAH MEMBATALKAN
PUASA?

Kamis, 14/05/2020

S
aat kita malakukan puasa maka harus hati-hati
jika ada keluar masuknya sesuatu. Karena jika
tidak akan berakibat pada fatalnya puasa yang
kita jalani. Mengapa sesuatu yang keluar dan
masuk ke dalam diri kita bisa membatalkan puasa, jelas
karena puasa adalah menahan segala sesuatu yang
tergolong membatalkan puasa.
Sementara hal-hal yang dapat membatalkan puasa
ialah berada dalam aktifitas memasukkan dan
mengeluarkan. Jadi perlu kiranya kita memperhatikan

133
aktifitas memasukkan dan mengeluarkan segala sesuatu
kedalam diri kita. Hanya saja, juga kita perlu pahami
standar hal itu. Agar tidak semua mengandung aktifitas
keluar dan masuk digolongkan membatalkan puasa.
Standar keluarnya sesuatu dari dalam diri kita yang
dapat membatalkan puasa ialah, dilakukan dengan
sengaja, keluar dari perut dan bukan sesuatu yang sudah
biasa terjadi secara alamiah. Contoh dari sesuatu yang
keluar dari dalam diri kita dan sudah memenuhi standar
ialah muntah. Ia dapat membatalkan puasa jika sudah
memenuhi ketentuan yang disampaikan dalam ajaran
islam. Yakni, faktor kesengajaan. Ia menjadi penentu
batal tidaknya puasa. Artinya, jika seseorang yang
sedang berpuasa sengaja untuk muntah maka, puasanya
menjadi batal. Sebaliknya, jika dia muntah dengan tanpa
disengaja maka puasanya tetap sah. Seluruh Ulama telah
sepakat bahwa muntah yang disengaja dapat
membatalkan puasa. Berbeda, jika tidak disengaja, maka
ia tidak dapat berpengaruh terhadap puasa.
Rasulullah SAW bersabda:
‫ ومن استقاء عمدا فليقض‬,‫من ذرعه القيء فليس عليه القضاء‬
“Barang siapa yang dikuasai muntah (muntah tanpa
sengaja), maka tidak diwajibkan mengqadha puasanya.
Akan jika dia sengaja melakukannya maka wajib
baginya untuk mengqadha’ puasanya.” (HR. Abu
Daud)
Perbedaan antar mereka hanya terletak pada wajib
dan tidaknya membayar tebusan selain qadha. Sebagian
besar Ulama berdasarkan hadis di atas mengatakan tidak
perlu membayar kafarat, cukup qadha saja. Sementara

134
Atha’ dan Abu Tsaur mengatakan wajib membayar
kafarat disamping qadha. Adapun dahak atau ingus
yang dikeluarkan tidak tergolong hal yang dapat
membatalkan puasa. Karena jelas berbeda dengan
muntah. Ia keluar dari perut, sedangkan dahak dan
ingus keluar dari dada dan kepala. Jadi, tidak bisa
disamakan dengan muntah. Sehingga tidak dapat
membatalkan puasa, baik disengaja atau tidak.
Kemudian segala sesuatu yang masuk kedalam
diri kita juga memiliki standar. Dimana jika standar itu
sudah terpenuhi maka puasa kita menjadi batal. Jika
tidak maka tidak dapat berpengaruh terhadap puasa.
Standar dimaksud akan dijelaskan pada penjelasan di
bawah. Makanan dan minuman sebagai sesuatu yang
masuk kedalam diri, jelas secara ijma’ dapat
membatalkan puasa jika dilakukannya dengan sengaja,
dan tanpa paksaan. Allah SWT berfirman yang artinya:
“makan dan minumlah kalian hingga menjadi jelas bagi
kalian tanda siang (waktu fajar), kemudian lanjutkan
puasanya hingga waktu malam tiba (waktu magrib).
Tapi, perlu dipahami bahwa tidak hanya sekedar dari
unsur makanan dan minuman saja yang bisa
membatalkan puasa. Segala sesuatu yang dimasukkan ke
dalam diri kita, baik makanan, minuman ataupun bukan
tetaplah dapat membatalkan puasa.
Kata kuncinya adalah segala sesuatu yang
tergolong bendawi, kemudian masuk kedalam diri
dengan batas mimalnya kerongkongan (keluarnya huruf
ha’) melalui jalan tembus, seperti mulut, hidung dan lain
sebagainya dengan cara disengaja, maka dapat
membatalkan puasa. Dari itu, sisa makan yang lenket di

135
gigi, dahak dan lain sebagainya jika ditelan maka
berakibat batalanya puasa. Sementara untuk ludah, tidak
digolongkan sebagai hal-hal yang dapat membatalkan
puasa sekalipun dikumpulkan dalam mulut kemudian
ditelan, selama ia ludahnya sendiri dan tidak bercampur
dengan lainnya. Tidak hanya itu, segala bentuk
pengobatan yang bisa masuk kepala dan perut tergolong
sesuatu yang membatalkan puasa. Misalnya, obat bius
baik melalui suntikan atau lain sebaginya, tetes telinga,
mengobati luka yang ada diperut dan kepala dan lain
sebaginya. Selain itu, jika memasukkan sesuatu tidak
dari jalan tembus dan tidak bisa masuk kepala atau ke
perut maka tidak dapat membatalkan puasa. Seperti
bercelak, berobat dengan cara suntik dan lain
sebagainya. Maka, perbuatan semacam itu tidak dapat
mempengaruhi puasa.
Intinya, dari paparan diatas perlu dipertegas,
bahwa segala sesuatu benda yang masuk pada kepala
dan perut, melaui jalan tembus, dilakukan dengan
sengaja akan mengakibatkan batalnya puasa. Sementara
untuk sesuatu yang keluar dari dalam diri kita bisa dapat
membatalkan puasa asalkan keluar dari perut, dilakukan
dengan segaja, tidak menjadi yang hal yang lumrah,
maka akan membatalkan puasa, seperti muntah. Wallahu
A’lam.
Sumber: Fikih Shiyam, karya Dr. Hasan Hito,
halaman 73-86

136
STATUS KEWAJIBAN PUASA DAN
QADHA’ BAGI ORANG UZUR DAN
ORANG YANG SEDANG DALAM
PERJALANAN

Senin, 27/04/2020

M
anusia pada saat kewajiban puasa
Ramadhan tiba bermacam-macam keadaan
dan situasinya. Ada yang sedang datang
bulan, sakit, bepergian, bekerja,
menganggur dan lain sebaginya. Itulah sebabnya
kewajiban puasa ini selalu melihat situasi dan kondisi
para pelaku hukum. Tidak dipukul rata. Karena
sejatinya, ia adalah hukum, dimana ia tidak bisa
dipisahkan dari kontek dan fakta yang ada. Misalnya
pelaku hukum seorang perempuan yang masih muda.

137
Tentunya dia tidak lepas dari tamu bulanan atau haid.
Lantas bagaimana dia mengerjakan puasa, sedang
syaratnya harus suci dari haid? Apakah beban kewajiban
masih tetap dipaksakan? Contoh lain, pelaku hukum
sedang sakit parah yang tidak memungkinkan untuk
melaksanakan puasa. Apakah beban kewajiban juga
masih tetap harus dipaksakan? Lantas, dimana letak asas
kemudahan dalam hukum?
Tidak hanya itu, ada banyak contoh keadaan
pelaku hukum yang tetunya harus disentuh dan
dibedakan dari sebuah hukum. Agar nilai dan asas yang
terkandung dalam ruh hukum bisa membumi dalam
masyarakat hukum. Keadaan dan kondisi yang tidak
memungkin untuk melakukan hukum seperti
melaksanakan puasa kemudian disebut sebagai uzur
atau penghalang. Sementara orang-orang yang memiliki
uzur serta penghalang melakukan puasa dapat
dijelaskan sebagaimana berikut ini:
1. Orang Haid dan Nifas
Orang yang sedang mengalami haid atau nifas
menurut sebagian besar Ulama’tidak diwajibkan, bahkan
diharamkan berpuasa. Karena dia tidak cukup syarat
disebabkan adanya uzur yaitu haid dan nifas. Akan
tetapi sekalipun tidak diwajibkan berpuasa pada saat itu,
dia berhadapan dengan perintah lain. Yakni kewajiban
mengqadha di lain waktu setelah bulan Ramadhan.
Dasarnya ialah hadis yang disampaikan oleh
Imam Muslim dari Sayyidah A’isyah, beliau berkata:

138
‫كنا نؤمر بقضاء الصوم وال نؤمر بقضاء الصالة‬
“Kami diperintah untuk mengqadha’ puasa, tapi tidak
untuk mengqadha’ salat.”
Sementara untuk orang yang sedang istihadah
tetap diwajibkan melakukan melakukan puasa. Karena
istihadah tidak menjadi bagian dari uzur atau
penghalang puasa.
2. Orang yang sudah tua renta dan orang sakit
Kewajiban puasa juga tidak berlaku bagi orang
tua renta yang sudah tidak mampu unutk berpuasa dan
orang sakit parah yang sudah tidak diharpkan
kesembuahannya. Jika mereka tetap memaksakan diri
berpuasa puasanya tetap sah dan tidak punya
tanggungan apapun. Akan tetapi jika sebaliknya, mereka
tidak berpuasa maka mereka hanya cukup membayar
fidyah, berupa memberikan makan orang miskin seberat
0,75 kg dengan jumlah puasa yang ditinggalkan. Cara
membayar fidyah bisa dilakukan setiap hari disat mereka
tidak berpuasa dan juga bisa dilakukan setelah
Ramdhan. Intinya mereka harus memberi makanan, baik
diberikan mentahnya atau sudah siap saji.
Ketentuan tersebut merupakan pendapat sebagian
besar Ulama. Mereka berdalil dengan menggunakan
hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Ibnu
Abbas:
‫من أدركه الكبر فلم يستطع صيام رمضان فعليه لكل يوم مد من قمح‬
“Barang siapa yang mencapai umur tua renta hingga
tidak mampu berpuasa maka diwajibkan baginya

139
membayar fidyah sebanyak satu mud gandum sejumlah
hari yang ditinggalkan.”
Sementara untuk orang sakit parah tapi masih
diprediksikan akan sembuh ia juga boleh tidak berpuasa
jika akan berpengaruh buruk terhdapa kondisinya. Akan
tetapi, dia wajib mengganti puasanya setelah sembuh.
Bukan membayar fidyah.
3. Orang yang sedang dalam perjalanan
Perlu diperhatikan perjalan yang dimaksud harus
dimulai dari sebelum fajar. Karena pada saat itulah
kewajiban puasa dimulai pada hari itu. Berbeda dengan
perjalanan yang berlangsung setelah terbitnya fajar.
Di samping itu, jarak tempuh perjalanan yang
harus dilalui minmalnya tidak kurang dari 90 kilo meter,
sebagaimana jarak yang diajadikan pedoman dalam
kebolehan pelaksanaan salat qashar. Orang yang sedang
dalam perjalan sesuai dengan kriteria diatas menurut
mazhab syafi’i boleh berpuasa dan boleh tidak berpuasa.
Hanya saja, dia lebih baik berpuasa jika puasanya tidak
memengaruhi keberadaannya. Sebaliknya, dia lebih baik
tidak berpuasa jika puasanya berpengaruh terhadap
keberadannya. Ketentuan di atas digambarkan dalam
kehidupan rasulullah saw saat melakukan perjalan
umrah bersama istri tercintanya, Aisyah. Dimana pada
saat itu, Rasulullah tidak berpuasa sedang Aisyah
berpuasa. Rasulullah mengatakan kepada Sayyidah
Aisyah dengan sanjungan ‘bagus”.
Namun perlu dipahami bahwa nanti setelah bulan
ramadhan dia berkewajiban untuk mengqadha’

140
puasanya jika memilih untuk tidak berpuasa,
sebagaimana firman Allah SWT berikut:
‫فمن كان منكم مريضا أوعلى سفر فعدة من أيام أخر‬
“Barang siapa diantara kalian yang sedang sakit atau
sedang dalam perjalanan kemudian dia tidak berpuasa
maka diwajibkan baginya mengganti puasanya di lain
waktu.”
Sebetulnya poin ketiga ini bukanlah masalah uzur
atau penghalang puasa. Akan tetapi lebih pada
pembicaraan dispensasi yang diberikan kepada pelaku
hukum akibat adanya perjalanan.
Selanjutnya, terkait masalah, mana lebih baik
berpuasa atau tidak pada saat perjalanan, ulama tidak
satu kata. Ada yang mengatakan lebih baik puasa dan
ada yang mengatakan lebih baik tidak puasa. Perbedaan
itu terjadi karena memang hadis-hadis yang ada
membenarkan keduanya. Disatu sisi membenarkan lebih
baik berpuasa, dan di sisi lain mebenarkan lebih baik
tidak berpuasa. Ini disikapi sebagai bentuk dari
kemudahan agar bisa memilih sesuai dengan keberadaan
kita. Perlu juga dijelaskan, terkait dengan orang yang
bekerja di tempat-tempat keras seperti pekerja jalan raya,
tambang dan lain sebgainya. Mereka tetap harus
berkewajiban melakukan puasa. Karena dispensai yang
diberikan hanya tertuju pada sakit dan perjalanan. Bukan
pekerjaan. Akan tetapi, jika dia dalam pekerjaanya tiba-
tiba mengalami drop maka dengan begitu dia
diperbolehkan tidak berpuasa asalkan tetap wajib
mengganti.

141
Kemudian perlu juga diindahkan bahwa
pekerjaan berat selama bukan menjadi tumpuan hidup
khususnya pada saat Ramadhan harus ditinggalkan atau
minimalnya cuti selama Ramadhan. Agar tidak
memengaruhi terhadap keberlangsungan ibadah puasa.
Simpulan yang dapat disampaikan oleh penulis
dalam paparan diatas terletak pada bahwa kewajiban
puasa bukanlah sesuatu yang menjadi harga mati. Ia bisa
ditawar dengan kondisi serta situasi yang tidak
memungkinkan untuk melaksanakan puasa.

Sumber: fikirh shiyam, karya dr. hasan hitoo,


halaman, 121-133

Wallahu a’lam

142
TADARUS DAN TARAWIH: ANTARA
RUTINITAS DAN KUALITAS
(Renungan Sepuluh Hari Pertama
Ramadhan)

Kamis, 30/04/2020

K
eindahan dan eksotisme bulan Ramadhan
sungguh betul-betul terasa menggugah jiwa.
Umat Islam di seluruh dunia takjub dan
terkesima dengan sentuhan hangatnya.
Kerinduan mereka akan kedatangannya terobati.
Kebahagian akan kehadirannya tampak terekspos dalam
kehidupan mereka sehari-hari, khususnya d imalam hari.
Terbukti, kebahagian itu sudah tercium menyengat
sesaat sebelum waktu berbuka. Buka puasa tiba,

143
dentumannya semakin mengeras memanjang hingga
akhir waktu sahur.
Itulah bulan Ramadhan. Bulan yang sudah kita
buktikan dan kita rasakan penuh kemuliaan dan
keagungan. Hingga sejarah belum pernah bisa
membuktikan terdapat bulan lain yang dapat
menandingi kehebatannya. Sehingga sangatlah pantas
jika kita menemukan aktifitas-aktifitas dalam diri umat
Islam yang berbeda dari biasanya. Misalkan yang paling
tampak jelas dalam kehidupan mereka merupakan
aktifitas tarawih dan tadarus bersama. Kedua aktifitas
tersebut dijadikan rutinitas tahunan oleh mereka sebagai
wujud dari menghidupkan malam-malam Ramadhan
(Qiyamul Lail). Bahkan, tidak jarang ditemukan kedua
aktifitas diatas terkesan menjadi sebuah kewajiban bagi
mereka.
Bagi mereka, seseorang yang tidak
melaksanakannya dipandang buruk, tidak menghargai
Ramadhan dan bahkan dianggap tidak mendapatkan
hidayah serta taufiq dari Allah SWT. Betul. Tidaklah
salah mereka menghidupkan malam-malam Ramadhan
dengan kedua rutinitas tarawih dan tadarus. Karena di
samping dianjurkan keduanya menjadi aktifitas penanda
penghormatan terhadap keagungan serta kemuliaan
bulan Ramadhan. Hanya saja, harus diakui oleh kita
semua, bahwa kedua akatifitas tarawih dan tadarus tidak
lebih dari hanya sekedar sebuah rutinitas tahunan. Tanpa
peduli terhadap ruh dan kualitas dari keduanya.
Bagi mereka yang penting tarawih dan tadarus.
Entah keduanya dilaksankan dengan penuh makna dan

144
penghayatan atau tidak, itu urusan belakang. Rutinitas
tetap harus berlanjut, tapi kualitas direnggut.
Begitulah kiranya gambaran yang hampir
memenuhi jagat raya kehidupan umat Islam saat
Ramadhan di seluruh dunia termasuk di negara kita
tercinta ini. Tidak percaya? Ayo kita lihat dan buktikan,
seberapa banyak dari mereka -termasuk kita juga- yang
salat tarawih tidak hanya sebatas gerakan layakanya
jogging bersama? Seberapa banyak dari mereka yang
tadarus Al-Qur’an tidak hanya sekadar mengejar
pengeras suara masjid dan jumlah juz?
Sepertinya sangat jarang kita temukan salat
tarawih dilakukan dengan penuh penghayatan
menghadirkan jiwa. Begitupun dengan tadarus, lebih
jarang lagi kita temukan ada jiwa dalam tadarus mereka
(berusaha memahami kira-kira apa yang terkandung di
dalamnya). Itulah yang terjadi dalam setiap diri hampir
seluruh umat Islam. Raga menjadi satu-satunya penentu
segala aktifitas ibadah mereka di bulan Ramadhan.
Sedang jiwanya entah kemanya dibiarkan keluyuran.
Tulisan ini bukan bermaksud menyalahkan dan
menyudutkan. Akan tetapi, lebih jelasnya hanya sekedar
koreksi demi sebuah kesempurnaan dalam beribadah
khususnya tarawih dan tadarus di bulan Ramadhan.
Agar ibadah kita tidak hanya sekedar rutinitas belaka,
tapi juga berkualitas. Sehingga sesuai dengan tujuan dan
target dari ibadah sebuah serta penghambaan kepada
Allah SWT. Karena jelas, dalam beribadah tentunya tidak
hanya sisi raga yang diperhatikan tapi juga ada jiwa
yang harus kita hadirkan. Kalalu tidak, bisa disimpulkan

145
berarti ibadah kita bukan dari hati yang paling dalam,
yang menjelma dengan keikhlasan.

Wallahu a’lam

146
TIGA PENDAPAT HUKUM MEMBACA
SURAH AL-FATIHAH BAGI MAKMUM

Jum’at, 15/05/2020

M
asalah membaca Al-fatihah bagi makmum
menjadi penting utuk dijelaskan dan
dipelajari kembali saat ini. Karena kita tahu
bahwa sekarang banyak terjadi pelaksaan
salat tarawih berjamaah dilakukan secepat mungkin.
Faktornya, ada banyak makmum yang tidak sempat
membacanya. Pasalnya, mereka tidak banyak memiliki
waktu yang cukup untuk memabca. Kemudian
bagiaman status salat yang dilaksanakan apakah sesuai
standar atau tidak? Permasalahan ini termasuk khilafiah
(ajang perdebatan antar ulama). Dimana mereka dalam
menyikapinya setidaknya terbagi kedalam tiga kubu
pendapat.

147
Membaca Al-Fatihah merupakan Kewajiban Mutlak
Pendapat ini dikeluarkan oleh kubu Imam
Ahmad, Imam Syafi’i, Imam Al-dzahiri dan beberapa
pakar hadis. Mereka mengatakan bahwa membaca Al-
fatihah tetap wajib dilakukan dalam pelaksanaan salat.
Bagi mereka, kewajibannya tidak melihat cara
pelaksanan dan bentuk salat yang dilakukan. Sendirian
atau bermakmum, salat jahriyah (salat yang bisa
dinyaringkan saat berjamah) ataupun tidak. Tetap saja
kewajibannya tidak bisa digugurkan.

Tidak wajib membaca al-Fatihah


Kubu kedua ini terdiri Ulama Hanafiyah. Bagi
mereka, seorang makmum tidak wajib membaca Al-
Fatihah dalam melaksanakan salat apapun, jahriyah
ataupun sirriyah.

Tidak Wajib Membaca Al-Fatihah dalam Salat Jahriyah


Menurut pendapat kubu ini, Al-fatihah tidak
wajib dibaca bagi makmum yang melaksanakan salat
jahriyah. Adapun untuk salat sirriyah (salat dimana
bacaannya tidak dinyaringkan) maka makmum tetap
wajib membacanya. Kubu ini diusung oleh Ulama
Malikiyah. Poros perbedaan mereka antar satu dengan
lainnya muncul dikarenakan keterangan hadis yang
berbeda-beda. Ada yang tetap mengharuskan membaca
Al-Fatihah bagi makmum dan ada yang mencukupkan
terhadap bacaan imam.

148
Rasulullah SAW bersabda:
‫روى أبو هريرة فقال صلى بنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم صالة‬
‫يجهر بها بالقراءة فلما فرغ من صالته قال هل فيكم من قرأ معي؟‬
‫فقال رجل أنا يا رسول هللا فقال إني أقول مالي أنازع القرأن قال‬
‫فانتهى الناس عن القراء في الصالة التي يجهر فيها بالقراءة خلف‬
‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم منذ سمعوا ذلك منه صلى هللا عليه‬
)312 ‫ واترمذي‬826 ‫ (أخرجه أبو داود‬.‫وسلم‬
Diriwayatkan oleh Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw
disaat setelah selesai salat bersama kami bertanya,
adakah diantara kalian yang juga ikut membaca?,
seseorang diantara kami menjawab, saya wahai
Rasulullah SAW, beliau menegur, bahwa beliau tidak
suka mempertentangkan bacaan dengan bacaan.
Kemudian setelah itu kami dan umat islam lainnya
berhenti membaca al-fatihah dalam salat jahriyah
bersma Nabi Muhammad SAW (HR. Abu Daud 826
dan Turmudzi 312)
. ‫روى عبادة ابن صامت قال صلى بنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫فالتبست عليه القراءة فلما انصرف قال أنكم تقرؤون خلفي إذا جهرت‬
‫فقال بعضنا إنا لنصنع ذلك فقال ال تقرؤو خلفي إذا جهرت إال بفاتحة‬
)311 ‫ واترمذي‬823 ‫ (أخرجه أبو داود‬.‫الكتاب‬
Diriwayatkan oleh Ubaidah Ibnu Shamit bahwa
pada saat Rasulullah saw salat berjamaah bersama kami
sedang kebingungan terkait bacaan Al-fatihah. Setelah
selesai salat beliau bertanya, apakah kalian disaat salat
berjamaah bersamaku juga ikut membaca sesuatu. Ada
sebagian yang menjawab diantara kami, ia wahai
Rasulullah SAW. lalu beliau mengatakan jangan lakukan

149
itu ketika dalam salat jahriyah kecuali surat Al-fatihah.
(HR. Abu Daud 823 dan Turmudzi 311)
Hadis diatas menurut kubu pendapat pertama
yang mengatakan tetap wajib baca Al-fatihah dikatakan
sebagai hadis yang tidak layak dijadikan dasar masalah
hukum. Karena menurut sebagian pakar hadis
digolongkan pada hadis dhaif. Kemudian bagi mereka
yang dimaksud dengan “bacaan imam sudah cukup bagi
makmum” ialah membaca surah lain setelah Al-fatihah.
Jadi bagi kubu pertama membaca al-Fatihah tetap
menjadi kewajiban mutlak. Karena Rasulullah SAW
bersabda:
‫الصالة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب‬
“Tidak sah salat seseorang yang tidak membaca surah
al-fatihah.”
Jadi, sekali lagi permasalahan ini termasuk dalam
ranah ajang perdebatan. Sehingga melahirkan banyak
pendapat. Sesiapa yang mengambil salah satunya
tentunya tidaklah salah. Karena memang ada dasarnya.
Hal ini, menunjukkan sisi kerahmatan dalam Islam. Bagi
jamaah yang dilaksanakan secara cepat tentunya tidak
punya waktu membaca Al-fatihah, maka bolehlah ia
berpedoman pada pendapat kedua dan ketiga. Karena
jelas, jika tetap mengambil pendapat yang pertama maka
secara otomatis salatnya tidak sah.
Lihat: Syarah Zad Al-Mustaqni’, karya al-Singkity,
halaman 40, dan Bahrul Mazhab, karya al-Rauyani,
halaman 194, kitab al-salah
Wallahu a’lam

150
DUA TIPE ORANG YANG TIDAK
DIWAJIBKAN MENGQADHA PUASA
YANG DITINGGALKAN

Sabtu, 25/04/2020

P
uasa sebagai kewajiban, jika tidak dilaksanakan
akan menjadi hutang yang harus diganti.
Kemudian, menurut Ulama istilah mengganti
hutang puasa dikatakan puasa qadha. Puasa
qadha juga menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan
dilain waktu. Ia tidak boleh ditinggalkan apalagi
dianggap hal yang tidak wajib. Karena sejatinya proses
ini juga bagian dari perintah. Namun perlu dipahami
bahwa ada dua tipe orang yang tidak diwajibkan
mengqadha puasa yang ditinggalkan. Artinya, sekalipun
keduanya tidak berpuasa dibulan ramadhan hal itu tidak

151
dianggap sebagai hutang yang harus diganti dilain
waktu.

Orang yang baru masuk Islam (Muallaf)


Sudah sering disinggung pada paparan-paparan
sebelumnya, bahwa orang kafir tidak memiliki beban
kewajiban puasa di dunia. Puasa baginya tidak menjadi
wajib karena factor ketiadaan syarat. Akan tetapi
nantinya diakhirat tetap mendapatkan siksa. Karena
tetap bertahan dengan kekafirannya serta tidak memilih
Islam sbagai agamnya. Kemudian, jika suatu saat dia
masuk Islam maka seluruh kewajiban yang ditinggalkan
semasa kafir, seperti salat dan puasa tidak wajib untuk
diganti dengan cara qadha’.
Ketentuan diatas didasarkan pada firman Allah
SWT:
‫قل للذين كفروا أن ينتهوا يغفر لهم ما قد سلف‬
“Katakanlah pada orang-orang kafir, jika mereka
berhenti dari kekafirannya (masuk islam) maka semua
kesalahan yang dilakukan pada saat kafir akan
diampuni.”

Firman Allah di atas dipertegas dengan sabda baginda


Nabi Muhammad SAW:
‫اإلسالم يجب ما قبله‬
“masuknya seseorang terhadap agama Islam akan
menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya.”

152
Berebeda dengan orang yang sudah masuk Islam,
kemudian keluar dari Islam (murtad). Dia tetap memiliki
tanggungan mengganti seluruh kewajiban-kewajiban
yang ditinggalkan seperti puasa. Memang, pada saat
murtad dia tidak dituntut untuk berpuasa, karena tidak
cukup syarat. Akan tetapi, ini bukan berarti, bahwa
puasa tidak wajib baginya. Sudah cukup jelas, semua
Ulama sepakat bahwa puasa tetalplah diwajibkan
baginya. Karena, dengan masuk Islam sebelum ia murtad
secara otomatis semua kewajiban sudah menjadi
tanggungannya. Status murtad yang ia dapatkan
setelahnya tidak bisa menggagalkan beban yang
dipikulnya. Dari itu, ia tetap harus mengganti puasa dan
kewajiban-kewajiban lainnya yang ditinggalkan saat
murtad. Pendapat seperti ini disampaikan oleh sebagian
besar Ulama.

Orang gila (hilang akal)


Orang gila tidak memiliki beban kewajiban.
Karena akalnya sudah tidak dapat difungsikan
sebagaimana mestinya. Sehingga semua perbuatannya
tidak dicatat sebagai bentuk amal baik atau amal buruk,
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW.
Dari itu, menurut sebagian besar Ulama dia tidak
dituntuk dan diwajibkan untuk mengqadha’ suatu
kewajiban yang ditinggalkan, seperti puasa apabila
sudah sembuh. Tidak melihat kapan sembuhnya dan
berapa banyak yang ditinggalkan. Berbeda dengan Imam
Abu Hanifa, beliau membedekan dua hal, pertama, jika
sembuhnya setelah Ramadhan makan dia tidak usah
mengqadha’. Akan tetapi jika sembuhnya masih dibulan

153
ramadhan maka harus mengqadha puasa yang
ditinggalkan.
Sebagian besar Ulama mendasarkan pendapatnya
dengan logika hukum. Dimana puasa yang ditinggalkan
oleh orang gila terjadi pada waktu tidak cakap hukum.
Artinya, titah hukum pada waktu itu tidak aktif hingga
nanti sembuh. Sehingga jelas, qadha’ tidaklah wajib
baginya setelah sembuh baik sebelum atau sesudah
Ramadhan.
Berbeda dengan kasus lain yang dapat
menghilangkan akal, seperti tidak sadarkan diri, koma
dan lain sebagainya yang terhitung penyakit. Orang-
orang yang mengalami demikian tetap memiliki
tanggungan untuk mengganti puasanya dengan cara
qadha’. Setelah mereka sembuh dari penyakitnya harus
mengqadha’ puasanya dihari lain. Karena, seseorang
yang diperbolehkan untuk meninggalkan puasa karena
faktor sakit, maka harus mengganti di lain hari,
sebagaimana firman Allah SWT:
‫فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر‬
“Barang siapa diantara kalian yang sedang sakit atau
dalam perjalanan kemudian tidak puasa maka harus
mengganti puasanya dialain waktu.”

Dapat disimpulkan, bahwa seseorang yang tidak


cakap hukum pada saat pelaksaan suatu kewajiban
berdasarkan uzur yang tanpak, tidaklah dibebankan
untuk mengganti apa yang ditingalkan selepas hilangnya
uzur yang dialami. Puasa bagian dari kewajiban,

154
andaikan ditinggalkan oleh kedua tipe orang kafir dan
orang gila, tidak dibebenakan untuk diganti dilain hari
setealam sauk islam dan sembuh. Karena, kedua orang
tersebut pada saat itu tidak cakap hukum dan sedang
mengalami uzur.

Disarikan dari buku Fikih Shiyam, karya Dr. Hasan Hitoo,


halaman 117-120

Wallahu a’lam

155
156

Anda mungkin juga menyukai