A. Muqoddimah
Para ulama fikih memulai penulisan kitab-kitab mereka dengan pembahasan thaharah karena ia kunci
pembuka ibadah shalat. Dan dimaklumi bahwa shalat adalah rukun Islam terpenting setelah syahadatain.
Sehingga, para ulama memulai pembahasan thaharah sebelum masuk kepada pembahasan shalat.
Thaharah/ bersuci ada dua (2) jenis:
1. Thaharah hissiyyah, bersuci secara fisik yaitu mengangkat hadats (besar/ kecil) dan menghilangkan
najis.
2. Thaharah ma’nawiyyah, bersuci rohani: membersihkan akidah, akhlak, dan membersihkan amalan
dari niat selai ikhlash.
Dan bagi seorang penuntut ilmu syar’i, terkandung di dalam metode penulisan ini: mengingatkan untuk
membersihkan niat dalam hatinya ketika menuntut ilmu dengan ia:
Mengharapkan wajah Allah.
Berniat mengangkat kebodohan dalam dirinya dan diri orang lain sehingga semua mengibadahi Allah
berlandaskan ilmu yang benar.
HADITS KE-1
Kedudukan Niat Dalam Setiap Amalan
بسم هللا الرحمن الرحيم
: َو ِفي ِر َو اَيٍة- إَّنَم ا اَألْع َم اُل ِبالِّنَّي اِت: َيُق وُل- صلى اهلل عليه وسلم- َس ِم ْعُت َرُس وَل الَّلِه: َقاَل- رضي اهلل عنه- َعْن ُعَمَر ْبِن اْلَخ َّطاِب
ِص ِه ِلِه ِه ِلِه ِه ِه ِل ِة
َو َمْن َك اَنْت ْج َر ُتُه إَلى ُدْنَي ا ُي يُبَه ا َأْو, َفِه ْج َر ُتُه إَلى الَّل َو َرُس و, َفَمْن َك اَنْت ْج َر ُتُه إَلى الَّل َو َرُس و, َو ِإَّنَم ا ُك ِّل اْم ِر ٍئ َم ا َنَو ى- ِبالِّنَّي
) َفِه ْج َر ُتُه إَلى َم ا َه اَج َر إَلْيِه (رواه البخاري و مسلم, اْم َر َأٍة َيَتَز َّو ُجَه ا
Artinya: Dari Umar bin Khaththtab –semoga Allah meridhainya- ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah –
shalallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Tidak lain amalan-amalan itu dengan niat dan tidak lain bagi setiap
orang apa yang ia niatkan. Maka, siapa yang hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
menuju Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya menuju dunia yang ia ingin memperolehnya
atau seorang wanita yang ia ingin menikahinya, maka hijrahnya itu menuju apa yang ia berhijrah
kepadanya.” (HR. Bukhori dan Muslim).
C. Faedah hadits
1. Hadits ini merupakan timbangan bagi amalan dari sisi diterima atau tidaknya dan banyak atau sedikitnya
pahala.
2. Niat berpengaruh pada nilai amalan. Jika niat beramal itu ikhlash karena Allah semata maka akan
mendapat pahala. Jika niatnya untuk mencari dunia baik harta, kedudukan, kemuliaan di mata manusia
atau yang lainnya maka ia tidak mendapatkan pahala.
3. Niat letaknya di hati. Sehingga niat temasuk amalan hati. Seseorang yang melafadzkan niat ketika
hendak beribadah itu adalah sesuatu yang diada-adakan, yang tidak memiliki landasan dalil dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya dan para shahabat
serta orang-orang yang mengikuti mereka setelahnya juga tidak melakukannya. Siapa yang melafadzkan
niat ketika beramal, maka datangkan dalilnya dari Al-Qur’an dan hadits yang shahih dan pemahaman
serta amalan salaf.
4. Di dalam hadits terkandung anjuran untuk mengikhlashkan niat dalam beribadah dan wajib berhati-hati
dari riya’.
5. Seseorang hendaknya mengawasi amalan-amalan hatinya.
6. Niat adalah syarat dalam ibadah. Jika seseorang melakukan shalat –misalkan- hanya untuk mengajari
orang lain maka tidak bernilai ibadah.
7. Manusia berbeda-beda tingkatannya dalam niat-niat mereka. Dan bagi setiap orang sesuai dengan
niatnya.
8. Thaharah/ bersuci termasuk ibadah, tidak bernilai kecuali dengan niat. Dan bagi setiap yang bersuci
apa yang ia niatkan dengan bersucinya itu.
9. Niat dalam ibadah berfungsi:
a. Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lainnya. Misal: shalat sunnah fajar dua
raka’at dan shalat shubuh dua raka’at, bentuk amalannya sama yang membedakan adalah niatnya.
b. Membedakan ibadah dengan adat/ kebiasaan. Misal: seseorang mandi janabah dan mandi rutin
untuk membersihkan badan, bentuknya sama yang membedakan adalah niat. Pembahasan ulama fikih
terkait dua hal ini.
c. Membedakan tujuan dari amalan, apakah karena Allah atau untuk selain-Nya? Ini dibahas oleh
ulama akidah tauhid.
10. Di dalam hadits ini terkandung keadilan Allah yang sempurna ketika membalas setiap orang
sesuai dengan niatnya. Seseorang beramal ikhlas karena-Nya semata, maka Dia memberikan pahala
kepadanya, meridhainya, memasukkannya ke dalam surga, dan dilindungi dari adzab neraka. Dan yang
beramal karena tujuan duniawy, ia mendapatkan hanya yang ia niatkan dan terancam dengan adzab
karena memalingkan niat ibadah kepada selain Allah.
11. Seseorang yang ikhlas beramal pasti mendapatkan pahala. Seseorang yang beramal untuk tujuan
dunia, terkadang ia mendapatkan tujuannya dan terkadang tidak. Bersama dengan itu, ia tidak
mendapat pahala. Sungguh kerugian di atas kerugian bagi seseorang yang beramal untuk mencari dunia
namun tidak berhasil mendapatkannya. Dan jika ia mendapatkannya, maka amalan itu sia-sia karena tidak
menambah timbangan amalan kebaikannya.