Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KEDUDUKAN QIYAS

Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqih

Dosen Pengampu: Ali Sodikin, S.Sos, M.Pd

Disusun oleh
1. Imam Mudofi
2. Maharani

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NUSANTARA ASH-SHIDDIQIYAH
LEMPUING JAYA 2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan
limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nyalah Penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Sholawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman.

Penyusunan makalah ini dibuat Penulis dalam rangka memenuhi tugas


Ushul fiqih dan kaidah Semester 2.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini.


Namun, Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi Penulis pada
khususnya dan pembaca pada umumnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Marga Sakti, 27 Mei 2023

ii
DAFTAR ISI

BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
BAB II ................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 2
A. Pengertian Qiyas ................................................................................................... 2
B. Kedudukan Sebagai Dalil Hukum ....................................................................... 3
C. Rukun Qiyas .......................................................................................................... 4
D. Syarat-Syarat Qiyas .............................................................................................. 5
E. Macam-Macam Qiyas ........................................................................................... 5
PENUTUP.......................................................................................................................... 7
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 7
B. Saran ...................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 8

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kata-kata “sumber hukum Islam” merupakan terjemahan darii lafazh


Masadir al-Ahkam. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab
hukum Islam yangg ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik.
Untuk menjelaskan arti „sumber hukum Islam‟, mereka menggunakan al-
adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashadir al-Ahkam oleh ulama pada
masa sekarang ini, tentu yangg dimaksudkan ialah searti dengaan istilah al-
Adillah al-Syar‟iyyah.

Yangg dimaksud Masadir al-Ahkam ialah dalil-dalil hukum syara‟


yangg diambil (diistinbathkan) dariipadanya untukk menemukan hukum.

Sumber hukum dalaam Islam, ada yangg disepakati (muttafaq) para


ulama dan ada yangg masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber
hukum Islam yangg disepakati jumhur ulama ialah Al Qur‟an, Hadits, Ijma‟
dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengaan urutan dalil-dalil tersebut.

Qiyas merupakan sumber hukum Islam yangg keempat. Qiyas juga


merupakan suatu cara penggunaan ra‟yu untukk menggali hukum syara‟
dalaam hal-hal yangg nash al-Qur‟an dan Sunnah tidak menetapkan
hukumnya secara jelas. Keterkaitan dengaan qiyas sangan erat sekali
dengaan hukum dan sebab.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapatt dirumuskan masalah


sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan qiyas?
2. Apa saja rukun-rukun qiyas?
3. Apa saja syarat-syarat qiyas?
4. Apa saja macam-macam qiyas?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiyas

Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan,


atau mengukur, seperti menyamakan si A dengaan si B, karena kedua
orang itu memiliki tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, dan wajah
yang sama. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah
dengaan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula
membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-
persamaannya.

Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang


lainnya atau penyamaan sesuatu dengaan yangg sejenisnya. Ulama ushul
fiqih memberikan definisi yang berbede-beda bergantung pada
pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dalaam istinbath hukum.
Dalaam hal ini, mereka terbagi dalaam dua golongan berikut ini.

Golongan pertama, menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan


manusia, yakni pandangan mujtahid. Sebaliknya, menurut golongan
kedua, qiyas merupakan ciptaan syari‟, yakni merupakan dalil hukum
yangg berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yangg
dibuat Syari’sebagai alat untukk mengetahui suatu hukum. Qiyas ini
tetap ada, baik dirancang oleh para mujtahid ataupun tidak.

Bertitik tolak pada pandangan masing-masing ulama tersebut maka


mereka memberikan definisi qiyas sebagai berikut:

a. Shadr Asy-Syari‟at menyatakan bahwa qiyas ialah pemindahan


hukum yangg terdapat pada ashllkapada furu‟ atas dasar illat yang
tidak dapatt diketahui dengaan logika bahasa.
b. Al-Human menyatakan bahwa qiyas ialah persamaan hukum suatu
kasus dengaan kasus lainnya karena kesamaan illat hukumnya
yangg tidak dapatt diketahui melalui pemahaman bahasa secara
murni.

2
Sebenarnya, masih banyak definisi lainnya yang dibuat oleh para
ulama, namun secara umum qiyas ialah suatu proses penyingkapan
kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam
suatu nash, dengan suatu hukum yangg disebutkan dalam nash karena
adanya kesaman dalam illat-nya.

B. Kedudukan Sebagai Dalil Hukum


Jumhur ulama Berpendapat bahwa Qiyas adalah hujjah
Syari‟yyah terhadap hukum-hukum Syara‟, tentang tindakan manusia.
Al-Qiyas menempati urutan keempat di antara hujjah syar‟iyyah, jika
tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasarkan nash atau ijma‟. Di
samping itu harus ada kesamaan illat antara satu peristiwa atau kejadian
dengan kejadian yang ada nashnya. Kemudian, dihukum seperti hukum
yang terdapat pada nash pertama, dan hukum tersebut merupakan
ketetapan menurut Syara‟. Ulama tersebut dikenal sebagai Mutsbitul
Qiyas (orang yang menetapkan Qiyas).

Berdasarkan pada dalil Al-Qur‟an, As-sunnah, perkataan dan


perbuatan para sahabat. Ayat Al-Qur‟an yang mereka gunakan sebagai
dalil adalah:

‫ط ي ع ُ ىا ال َّز س ُ ى َل َو أ ُو ل ِ ي أ‬
ۖ ‫اْل َ أه ِز ِه ٌ أ ك ُ نأ‬ ِ َ ‫ط ي ع ُ ىا َّللاَّ َ َو أ‬
ِ َ ‫ي َ ا أ َي ُّ هَ ا ا ل َّ ِذ ي َي آ َه ٌ ُ ىا أ‬
‫ي ٍء ف َ ُز د ُّو ٍ ُ إ ِ ل َ ى َّللاَّ ِ َو ال َّز س ُ ى ِل إ ِ أى ك ُ ٌ أ ت ُنأ ت ُ أؤ ِه ٌ ُ ى َى‬‫ف َ ئ ِ أى ت َ ٌ َا َس عأ ت ُنأ ف ِ ي ش َ أ‬
ً ‫خ ي أ ٌز َو أ َ أح س َ ُي ت َأ أ ِو‬
‫يل‬ َ ‫ك‬ َ ِ ‫اْل ِخ ِز ۚ ذ َٰ َ ل‬
‫ب ِ اَّللَّ ِ َو ال أ ي َ أى ِم أ‬

Artinya :

“Hai orang-orang yng beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, serta Ulil
Amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang
ke suatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(As-sunnah). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (Q.S. An-Nisa : 59).

Metode pengambilan dalil dengan ayat di atas adalah karena


Allah memerintahkan kepada kaum beriman jika berselisih pendapat dan
berlawanan terhadap sesuatu yang tidak terdapat hukumnya dalam Al-
Qur‟an dan As-sunnah dan kesepakatan Ulil Amri, agar mengembalikan
persoalan kepada Al-Qur‟an dan Al-sunnah dengan bagaimana juga.

3
Dengan demikian dapat diragukan lagi bahwa menghubungkan kejadian
yang tak ada nashnya, yang mengandung arti taat kepada hukum Allah
dan Rasul-Nya.

C. Rukun Qiyas

Darii pengertian qiyas yangg dikemukakan di atas dapatt


disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur
yang berikut:

1. Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yangg sudah ada nash-nya yangg
dijadikan tempat meng-qiyas-kan. Ini berdasarkan
pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum
teolog ialah suatu nash syara‟ yangg menunjukkan ketentuan hukum,
dengaan kata lain, suatu nash yangg menjadi dasar hukum. Ashl itu
disebut juga maqis alaih (yangg dijadikan tempat meng-qiyas-
kan), mahmul alaih (tempat membandingkan), atau musyabbah
bih (tempat menyerupakan).
2. Far’u (cabang) yaitu peristiwa yangg tidak ada nash-nya. Far‟u
itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya
dengaan ashl. Ia disebut juga maqis (yang dianalogikan)
dan musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum Ashl, yaitu hukum syara’, yang ditetapkan oleh suatu nash.
4. Illat, yaitu suatu sifat yangg terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat
itulah, ashl mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula,
terdapat cabang, sehingga hukum cabang itu disamakanlah dengan
hukum ashl.

Sebagai contoh ialah menjual harta anak yatim ialah suatu peristiwa
yangg perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yangg dapatt
dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini far‟u. Untuk menetapkan
hukumnya dicari suatu peristiwa yangg lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash yangg illatnya sama dengan peristiwa pertama.
Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim disebut ashal. Peristiwa
kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash yaitu haram (hukum
ashal) berdasarkan firman Allah SWT, QS. An-Nisa ayat 10:

‫يزا‬ َ َ‫صلَ أىى‬


ً ‫س ِع‬ ‫سيَ أ‬
َ ‫َارا َو‬ ُ ُ‫ظ أل ًوا ِإًَّ َوا يَأ أ ُكلُىىَ فؽ ب‬
ً ًۖۖ ‫طىًِ ِه أن‬ ُ ‫ِإ َّى الَّذِييَ أ َ أه َىالَيَأ أ ُكلُىىَ أاليَتَا َه َٰى‬

4
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yangg memakan harta anak
yatim secara zalim sebenarnya meraka itu menelan api sepenuh perutnya
dan meraka akan masuk ke dalaam api yangg menyala-menyala (neraka).”

Persamaan illat antara kedua peristiwa ini ialah sama-sama berakibat


berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum
menjual harta anak yatim sama dengaan memakan harta anak yatim yaitu
sama-sama haram.

D. Syarat-Syarat Qiyas
Qiyas mempunyai beberapa syarat, di antaranya sebagai berikut:

1. Tidak bertabrakan dengan dalil yangg lebih kuat. Qiyas itu tidak
dianggap jika bertabrakan dengan dalil nash atau ijma‟ atau pendapat
para sahabat. Qiyas yangg bertabrakan dengaan nash dinamakan fasidul
i’tibar.
2. Hukum perkara yangg ashal ditetapkan berdasarkan pada nash atau ijma‟.
Jika hal itu ditetapkan berdasarkan qiyas, tidak sah dijadikan sebagai
sandaran qiyas. Yang dapat dijadikan sandaran qiyas hanya pokok yang
pertama karena kembali kepadanya lebih utama.
3. Hukum pokok tersebut mempunyai alasan yang diketahui supaya dapat
digabungkan antara yang pokok dan yang cabang dalam hal illat tersebut.
Jika hukum pokok tersebut bersifat ibadah murni, maka tidak dapat
dijadikan sandaran qiyas.

E. Macam-Macam Qiyas

Qiyas dapat dibagi menjadi 3 macam yaitu:

a. Qiyas Illat

Qiyas illat ialah qiyas yang menyamakan ashal dengan fara‟,


karena keduanya mempunyai persamaan illat. Qiyas illat terbagi
dua, yaitu:

1) Qiyas jali, ialah qiyas yang illatnya berdasarkan dalil yang pasti,
tidak ada kemungkinan lain selain darii illat yang ditunjukkan oleh
dalil itu.

5
2) Qiyas khafi, ialah qiyas yang illatnya mungkin dijadikan illat dan
mungkin pula tidak dijadikan illat.

b. Qiyas Dalalah

Qiyas dalalah ialah qiyas yangg illatnya tidak disebut, tetapi


merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya illat untuk
menetapkan suatu hukum dari suatu peristiwa.

c. Qiyas Syibih

Qiyas syibih ialah qiyas yang fara‟ dapat diqiyaskan kepada


dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak
persamaannya dengan far‟u.

Dari segi kekuatan illat, qiyas dibagi atas tiga, yaitu:

1) Qiyas Aulawi, yaitu qiyas di mana illat yang terdapat pada far‟u
lebih kuat dibanding illat yang terdapat pada ashal, seperti
menqiyaskan keharaman memukul orang tua dengan keharaman
berkata “uff” kepadanya.
2) Qiyas Musawi, yaitu qiyas di mana hukum illat hukum yang
terdapat pada far‟u sama kuatnya dengan illat yang terdapatt
pada ashal. Misalnya mengqiyaskan keharaman membakar harta
anak yatim dengan keharaman memakan harta anak yatim.

d. Qiyas Adna
yaitu qiyas di mana illat yangg terdapat pada far‟u lebih
lemah dibanding illat hukum yang terdapat pada ashal. Misalnya
mengqiyaskan apel kepada gandum dalam menetapkan berlakunya
riba fadhli dalaam hal tukar-menukar barang sejenis.

6
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan, atau


mengukur sedangkan Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu
dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengaan yangg sejenisnya
2. Al-Qiyas menempati urutan keempat di antara hujjah syar‟iyyah, jika
tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasarkan nash atau ijma‟.
3. Adapun rukun qiyas ada 4 yaitu:
a) Ashal: masalah yangg telah ditetapkan dalaam al-Qur‟an.
b) Far‟u: yangg berarti cabang yaitu suatu peristiwa yangg belum
ditetapkan hukumnya karena tidak ada dalaam nash al-Qur‟an.
c) Hukum ashal: hukum yangg terdapatt dalaam masalah yangg
ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nash tertntu baik al-Qur‟an
maupun as-Sunnah.
4. Syarat syarat Qiyas adalah :
a) Tidak bertabrakan dengan dalil yangg lebih kuat
b) Hukum perkara yangg ashal ditetapkan berdasarkan pada nash atau
ijma‟
c) Hukum pokok tersebut mempunyai alasan yang diketahui supaya
dapat digabungkan antara yang pokok dan yang cabang dalam hal
illat tersebut.
5. Macam-macam Qiyas ada 3, yaitu :
a) Qiyas Illat
b) Qiyas Dalalah
c) Qiyas Syibih

B. Saran

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat


banyak kesalahan dan kekurangan, olehnya itu kami memohon kritik dan
saran dari pembaca untuk kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya.

7
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad. 2008. Ushul Fiqih. Jogjakarta: Media Hidayah.

Suwarjin. 2012. Ushul Fiqh. Jogjakarta: Teras.

Syafe‟i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Umar, Muin, dkk. 1986. USHUL FIQH 1. Jakarta: Departemen Agama.

Anda mungkin juga menyukai