Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangan globalisasi seperti kita saksikan saat ini ternyata tidak
makin mudah menyajikan pemahaman tentang adanya sistem ekonomi Indonesia.
Kaum akademisi Indonesia terkesan makin mengagumi globalisasi yang membawa
perangai “kemenangan” sistem kapitalisme Barat. Sikap kaum akademisi semacam
ini ternyata membawa pengaruh besar terhadap sikap kaum elit politik muda
Indonesia, yang mudah menjadi ambivalen terhadap sistem ekonomi Indonesia dan
ideologi kerakyatan yang melandasinya.
Pemahaman akan sistem ekonomi Indonesia bahkan mengalami suatu
pendangkalan tatkala sistem komunisme Uni Soviet dan Eropa Timur dinyatakan
runtuh. Kemudian dari situ ditarik kesimpulan kelewat sederhana bahwa sistem
kapitalisme telah memenangkan secara total persaingannya dengan sistem
komunisme. Dengan demikian, dari persepsi simplisistik semacam ini, Indonesia pun
dianggap perlu berkiblat kepada kapitalisme Barat dengan sistem pasar bebasnya.
Jika kita melihat keadaan sekarang ini, krisis moneter melanda di mana-mana,
tak terkecuali di negeri kita tercinta ini. Para ekonom dunia sibuk mencari
sebabsebabnya dan berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan perekonomian di
negaranya masing-masing. Krisis ekonomi telah menimbulkan banyak kerugian,
meningkatnya pengangguran, meningkatnya tindak kejahatan dan sebagainya. Sistem
ekonomi kapitalis dengan sistem bunganya diduga sebagai penyebab terjadinya
krisis. Sistem ekonomi Islam mulai dilirik sebagai suatu pilihan alternatif, dan
diharapkan mampu menjawab tantangan dunia di masa yang akan datang.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja jenis-jenis sumber hukum islam?

2. Bagaimana Kerangka syariah yang mengatur aktivitas bisnis ?

3. Bagiamana kaidah-kaidah Fiqih tentang bisnis Islam ?


BAB II
PEMBAHASAN
1. Sumber Hukum Bisnis Islam

a. Al Quran
Al-Quran adalah sumber pertama dan utama bagi ekonomi syariah. Al-Qur’an
juga memberikan hukum-hukum ekonomi yang sesuai dengan tujuan dan cita-
cita ekonomi Islam itu sendiri. Al-Qur’an memberi hukum- hukum ekonomi
yang dapat menciptakan kesetabilan dalam perekonomian itu sendiri.
Di dalamnya dapat ditemui hal ihwal yang berkaitan dengan ekonomi dan juga
terdapat hukum-hukum dan undang-undang diharamkannya riba, dan
diperbolehkannya jual beli yang tertera pada surat Al-Baqarah ayat 275:
        
        
         
         
           

Artinya: orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),
Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.1
b. Hadits (As-Sunnah)
Setelah Al-Quran sumber Hukum Ekonomi adala Hadits (Sunnah) yang mana

para pelaku ekonomi dalam hal ini pelaku bisnis akan mengikuti sumber hukum
ini apabila di dalam Al-Quran tidak terperinci secara lengkap tentangb
hukum bisnis tersebut.

c. Ijma’
Ijma’ adalah sumber hukum yang ke tiga, yang mana merupakan konsensus
1
Lindawaty, sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusi Moderen (Bandung:
Refika Aditama, 2004), hlm26
baik dari masyarakat maupun cendekiawan Agama yang tidak terlepas dari Al-
Quran dan Hadits (Sunnah).
d. Ijtihad atau Qiyas
Ijtihad merupakan usaha untuk menemukan sedikit banyaknyakemungkinan
suatu pesoalan syariat. Sedangkan Qiyas adalah pendapat yang merupakan alat
pokok ijtihad yang dihasilkan melalui penalaran analogi.2

B. Kerangka syariah yang mengatur aktivitas bisnis

Istilah lain yang penting dipahami terkait dengan tulisan ini adalah hukum
ekonomi (economic law). Sumantoro memberikan pengertian hukum ekonomi sebagai
seperangkat norma-norma yang mengatur hubungan kegiatan ekonomi dan secara
substansial sangat dipengaruhi oleh sistem yang digunakan oleh suatu negara yang
bersangkutan (sosialis, liberalis, atau campuran). Sementara itu F. X Sudiana
mengemukakan bahwa hukum ekonomi adalah semua peraturan perundang-undangan
yang mengatur kehidupan ekonomi yang sifatnya publik. Pendapat ini sejalan dengan
pandangan Mariam Darus Badruzzaman yang memberikan pembatasan hukum
ekonomi hanya sebagai pengaturan-pengaturan hubungan yang menyangkut bidang
ekonomi antara negara dan individu. Demikian pula Satjipto Raharjo memberikan
pengertian hukum ekonomi merupakan hukum publik yang khususnya mengatur
persoalan-persoalan ekonomi demi kepentingan umum dan kelangsungan hidup
bangsa.3

Sedangkan bisnis Islam atau dikenal juga dengan ekonomi Islam sebagaimana
dikemukakan oleh Afzalur Rahman adalah sebuah sistem ekonomi yang berbeda
dengan sistem kapitalisme dan sosialisme. Ekonomi Islam memiliki kebaikan-
kebaikan yang terdapat dalam kedua sistem tersebut dan terbebas dari kelemahan-
kelemahan yang ada dalam kedua sistem tersebut. Melalui ekonomi Islam tidak hanya
menyiapkan individu-individu sejumlah kemudahan dalam bekerja sama berlandaskan
syariah, tetapi juga memberikan pendidikan moral yang tinggi dalam kehidupan.4

2
Ibid., hlm. 78-79
3
Nevi Hesnita, Politik Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Jurnal Legitimasi Vol.1 No. 2, Januari-Juni 2012,
hlm. 111.
4
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Pedagang, (terj. Dewi Nurjulianti, dkk), (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumi,
1. Substansi hukum yang kuat. Dalam konteks bisnis Islam , substansi disini adalah
pengintegrasian prinsip-prinsip hukum Islam ke dalam peraturan nasional di
Indonesia baik itu berupa amandemen peraturan ataupun pembuatan peraturan
khusus yang mengatur tentang pelaksanaan prinsip-prinsip syariah di dalam
perekonomian.

2. Struktur hukum atau perangkat pelaksana peraturan yang lengkap dan kuat.
Lembaga-lembaga pelaksana hukum seperti peradilan atau institusi yang
mengawasi dan melaksanakan peraturan harus ada dalam sebuah sistem hukum. Di
Indonesia, keberadaan peradilan agama sebagai lembaga penyelesaian sengketa di
bidang bisnis Islam adalah suatu bukti komitmen Indonesia dalam
mengembangkan perekenomian syariah. Selain itu, keberadaan Lembaga
pengawas khusus di bidang perbankan seperti yang dilakukan oleh Bank Indonesia
melalui divisi syariahnya dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dapat mendukung
perkembangan infrastruktur perekonomian syariah di Indonesia

3. Kultur hukum (budaya masyarakat). Budaya hukum berperan sangat besar dalam
menentukan pelaksanaan sebuah regulasi. Tanpa adanya budaya hukum yang kuat,
penegakan dan pengimplementasian hukum kepada masyarakat akan mengalami
kendala yang besar.

Selain ketiga unsur tersebut yang dapat menjadi unsur penunjang dan penghambat
penegakan hukum adalah sarana prasarana penyelenggaraan penegakan hukum.
Penegakan hukum dilakukan di pengadilan oleh karena itu maka dalam penegakan
hukum terdapat unsur perangkat hukum (materi hukum), unsur penegak hukum, pihak-
pihak (justisable), dan unsur sarana-prasarana yang kesemuanya menjadi suatu
kesatuan yang terintegrasi. Unsur-unsur yang mempengaruhi penegakan hukum bisnis
Islam di Indonesia dapat kita gambarkan dalam bagan berikut ini:

Unsur-unsur seperti yang terlihat di bagan, terdiri atas

a. Perangkat hukum (materi hukum) adalah aturan-aturan atau sumber hukum yang
mengatur perkara dalam penegakan hukum, diantaranya: sumber hukum materiil atau
hukum substantif (hukum yang menentukan isi suatu peraturan atau kaidah hukum

1996), hlm. 10.


yang mengikat setiap orang) dan sumber hukum formil atau hukum prosedural (hukum
acara perdata)

b. Penegak hukum (Hakim) adalah pejabat yang memeriksa, mengadili dan


menyelesaikan sengketa bisnis Islam , dalam hal ini adalah hakim Pengadilan Agama.

c. Para pihak adalah masyarakat pencari keadilan yang terikat dengan asas personalitas
keislaman, yaitu beragama Islam dan/atau yang menundukan diri kepada hukum Islam

d. Sarana dan prasarana adalah sarana dan prasarana yang menjadi standarisasi
pelaksanaan penegakan hukum bisnis Islam di Pengadilan Agama.5

Dalam konteks bisnis Islam , substansi disini adalah pengintegrasian prinsip-prinsip


hukum Islam ke dalam peraturan nasional di Indonesia baik itu berupa amandemen
peraturan ataupun pembuatan peraturan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan
prinsip-prinsip Syariah di dalam perekonomian.

Khusus dalam mengadili sengketa bisnis Islam, sumber hukum bagi peradilan agama yang
Peraturan hukum dan perundang-undangan yang berkaitan dengan regulasi bisnis Islam di
Indonesia diantaranya:
Sedangkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah
Negara (SBSN) sebagai dasar hukum pengembangan instrumen keuangan syariah.

a. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

b. Kompilasi Hukum Bisnis Islam

c. Yurisprudensi,

d. Kebiasaan sebagaimana kaidah fiqh, ”al ‘âdah al-muhakkamah”,

e. Fatwa Dewan Syariah Nasional yang merupakan hasil ijma’ ulama.


Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dibentuk dalam
rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian dan
mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonomian/keuangan yang

5
Mia Lasmi Wardiyah, Penegakan Hukum Ekonomi Syari’ah Di Pengadilan Agama Dalam Wilayah Pengadilan
Tinggi Agama Bandung, Jurnal Perspektif Vol.2 No.2 Desember 2018, hlm. 193
dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Sejak berdirinya pada tahun 1999
berdasarkan SK No. Kep-754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari 1999 tentang
Pembentukan Dewan Syari’ah Nasional MUI hingga tahun 2020, DSN-MUI telah
mengeluarkan 138 fatwa.6

C. Kaidah-kaidah Fiqih tentang bisnis Islam


Berbagai ungkapan para ulama tentang kepentingan dan manfaat dari kaidah-kaidah
fikih ini, salah satunya: “ Sesungguhnya kaidah-kaidah fikih itu menggambarkan nilai-nilai
fikih, kebaikan dan keutamaan serta intinya. Dari bentuk dan uraian tentang kaidah fikih
menampakkan pola pikir fikih islam yang sangat luas dan mendalam dan tampak pula
kekuatan filosofid yang rasional serta kemampuannya didalam mengumpulkan fikih dan
mengembalikannya kepada akarnya”.7
Keguanaan fikih menurut Ali Ahmad al-Nadawi secara sederhana, kaidah fikih adalah
sebagai pengikat (ringkasan) terhadap beberapa persoalan fikih.8 Jadi apabila kita
memahami dan menguasai suatu kaidah fikih berarti kita telah menguasai beberapa bab
fikih.

Menurut Prof. H. A. Djazuli, kegunaan kaidah fikih ialah :9


1. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui asas-asas umum fikih
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan hukum
bagi masalah-masalah yang dihadapi
3. Dengan kaidah fikih akan lebih arif didalam menerapkan fikih dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan
4. Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih, bisa memberikan jalan keluar dari berbagai
perbedaan pendapat dikalangan ulama atau setidaknya menguatkan pendapat yang
lebih mendekati padakaidah-kaidah fikih.
5. Orang yang mengetahui kaidah-kaidah fikih akan mengetahui rahasia-rahasia dan
semangat hukum-hukum islam yang tersimpul dalam kaidah-kaidah fikih.
6
Abdurrahman. Kewenangan Peradilan Agama di Bidang Ekonomi Syariah, Tantangan Masa yang akan Datang,
(Mahkamah Agung, Suara ULDILAG No. 3, 2008), hlm. 21.
7
Muhamad al-ruki, Qawaid al-Fiqh al-Islami (Beirut: Dar al-Qalam, 1998 M/ 1410 H) hlm. 1011.
8
Ibid
9
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2019), hlm. 25
6. Orang yang menguasai kaidah-kaidah fikih disamping kaidah-kaidah ushul, akan
memiliki keluasan ilmu, dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepada
kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Jadi kesimpulannya kegunaan kaidah fikih adalah memberi kemudahan didalam


menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nash-nya
dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi fikih yang lain yang tersebar
di berbagai kitab fikih serta memudahkan didalam memberi kepastian hukum.

Ada lima kaidah pokok yang lazim disebut al-qawa'id al-khams al-kubra (lima kaidah induk): 10
1. "Al-umur bi maqasidiha",

Artinya segala urusan tergantung pada tujuan.

Kaidah ini diambil dan disarikan dari sejumlah nash-nash Al-Qur‟an dan hadits.
Umpamanya firman Allah SWT: 11

             
         
  

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan
yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami
berikan kepadanya pahal dunia, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami
berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.”(Q. 3. Ali-„Imran: 145)

          

“Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur‟an) dengan (membawa)


kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Q. 39.
az-Zumar: 2)
10
Moh. Mufid, Kaidah Fiqh Ekonomi Syariah (Jakarta: ebookid, 2017), hlm. 21.
11
Duski Ibrahim, Al-Qawa`Id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih) (Palembang: CV. Amanah, 2019), hlm. 42.
Kemudian bunyi kaidah tersebut di atas sejalan dengan hadits Rasulullah Saw.,
berikut ini:

“Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung dengan yang telah diniatkan. Bagi setiap
orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Karena itu barangsiapa yang
hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya.
Barang siapa yang hijrahnya karena dunia, yang akan didapatkannya atau karena
perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai dengan apa yang
diniatkannya.”(HR. Bukhori dari „Umar Ibn Khattab).

Dari kaidah induk di atas, muncul kaidah-kaidah lain, yang berbunyi:


2. "Al-yaqin la yazulu bi al-syakk", artinya keyakinan tidak dapat dikalahkan dengan
keraguan. Kaidah ini diambil dari hadits sebagai berikut:12

“Apabila salah seorang kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, lalu timbul persoalan
apakah sesuatu itu telah keluar atau belum, maka janganlah keluar dari masjid hingga ia
mendenggar suara atau mendapatkan baunya” (Hadits Riwayat Muslim)

Kemudian kaidah ini didukung pula oleh hadits berikut ini:

“Apabila salah seoarang di antara kamu ragu dalam shalatnya, sehingga ia tidak mengetahui
sudah berapa raka‟at shalat yang telah

lakukan: tiga atau empat, maka hendaklah dilempar (dihilangkan) yang meragukan, dan
dimantapkan apa yang sudah yakin”
3. "AI-masyaqqah tajlib al-taisir", artinya kesulitan itu akan menimbulkan adanya
kemudahan.

Kaidah ini diambil dari ayat Al-Qur‟an dan hadits Rasul Allah Saw. Misalnya
firman Allah Swt. Berikut ini :13

         
         
12
Ibid, hlm. 5
13
Ibid, hlm. 68.
            
      
       

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya
diturunkan (permulaan) Al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya ) di
bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia terbuka ), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan hendaklah kamu mencukupkan bilanganbilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (Q. 2 al-Baqarah:185)

4. "Al-darar yuzal"

Artinya kemudharatan (bahaya) itu harus dihilangkan

Kaidah ini diambil dari ayat al- Qur‟an dan hadits Rasulullah Saw. Umpamanya
firman Allah Swt. Berikut ini:14

        


             
    

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan

14
Ibid, hlm. 78.
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) sealain Allah. Tetapi barang siapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.2 alBaqarah: 173)

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (Q.2 al-Bqarah: 195)

5. "Al-adah muhakkamah",

Artinya adat kebiasaan dapat dijadikan sandaran hukum.

Kaidah ini diambil dari al-Qur‟an dan hadits Rasulullah saw. Umpamanya dari
ayat Al-Qur‟an yang berbunyi sebagai berikut:15

           
       
       
         

“Hai orang –orang yang beriman tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembalian
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.(Q.4 al-Nisa‟:19)

15
Ibid, hlm. 90.
BAB III
KESIMPULAN
Sumber Hukum Bisnis islam adalah Al Quran, Hadits (As-Sunnah), Ijma’ dan
Ijtihad atau Qiyas. Sedangkan Kerangka syariah yang mengatur aktivitas bisnis
pertama Substansi hukum yang kuat. Dalam konteks bisnis Islam , substansi disini
adalah pengintegrasian prinsip-prinsip hukum Islam ke dalam peraturan nasional di
Indonesia baik itu berupa amandemen peraturan ataupun pembuatan peraturan
khusus yang mengatur tentang pelaksanaan prinsip-prinsip syariah di dalam
perekonomian. Kedua, Struktur hukum atau perangkat pelaksana peraturan yang
lengkap dan kuat. Lembaga-lembaga pelaksana hukum seperti peradilan atau institusi
yang mengawasi dan melaksanakan peraturan harus ada dalam sebuah sistem hukum.
Ketiga, Kultur hukum (budaya masyarakat). Budaya hukum berperan sangat besar
dalam menentukan pelaksanaan sebuah regulasi. Tanpa adanya budaya hukum yang
kuat, penegakan dan pengimplementasian hukum kepada masyarakat akan
mengalami kendala yang besar. Adapun Kaidah-kaidah Fiqih tentang bisnis Islam
ialah Al-umur bi maqasidiha, Al-yaqin la yazulu bi al-syakk, AI-masyaqqah tajlib al-
taisir, Al-darar yuzal dan Al-adah muhakkamah,

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Kewenangan Peradilan Agama di Bidang Ekonomi Syariah, Tantangan


Masa yang akan Datang, (Mahkamah Agung, Suara ULDILAG No. 3, 2008)

Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Pedagang, (terj. Dewi Nurjulianti, dkk), (Jakarta:


Yayasan Swarna Bhumi, 1996)

Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Jakarta: Prenada Media, 2019)

Duski Ibrahim, Al-Qawa`Id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih), (Palembang: CV.


Amanah, 2019)

Lindawaty, sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusi Moderen (Bandung: Refika
Aditama, 2004)

Mia Lasmi Wardiyah, Penegakan Hukum Ekonomi Syari’ah Di Pengadilan Agama


Dalam Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung, Jurnal Perspektif Vol.2 No.2
Desember 2018
Moh. Mufid, Kaidah Fiqh Ekonomi Syariah (Jakarta: ebookid, 2017)

Muhamad al-ruki, Qawaid al-Fiqh al-Islami (Beirut: Dar al-Qalam, 1998 M/ 1410 H)
hlm. 1011

Nevi Hesnita, Politik Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Jurnal Legitimasi Vol.1 No.
2, Januari-Juni 2012, hlm. 111.

Anda mungkin juga menyukai