Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH USHUL FIKIH

AL-SUNNAH DAN PERSOALAN HUKUM

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Marzuki, M.H

NAMA : NABILAH ALAMRI


NIM : 02210923003
MATA KULIAH : ULUMUL QURAN

PROGRAM MAGISTER
HUKUM KELUARGA ISLAM (AL-AHWAL ASY-SYAKHSHIYYAH)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) DATOKARAMA PALU
2023

i
DAFTAR ISI
Sampul.......................................................................................................................i

Daftar Isi...................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................3

A. Latar Belakang Masalah…….........................................................................3

B. Rumusan Masalah..........................................................................................3

C. Tujuan Penulisan............................................................................................3

BAB II AL-SUNNAH DAN PERSOALAN HUKUM............................................4

A. Karakteristik sunnah sebagai sumber hukum.................................................4

B. Posisi sunnah dalam merespon isu-isu kontemporer....................................7

BAB III PENUTUP..................................................................................................8

A. Kesimpulan.....................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................15

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sunnah memiliki kedudukan istimewa dalam hukum Islam karena


kekuatan otoritatif yang dimilikinya. Posisi yang demikian penting
meletakkan Sunnah sebagai salah satu sumber yang harus dijadikan referensi
dalam pengambilan dan penetapan hampir setiap keputusan hukum. Namun,
di tengah perkembangan masyarakat modern yang semakin kompleks dan
beragam, pertanyaan seputar bagaimana Al-Sunnah digunakan dalam hukum
dan bagaimana hukum Islam relevan dalam konteks hukum modern menjadi
semakin penting. Di berbagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim,
ada upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kerangka hukum
modern, tetapi hal ini sering kali menimbulkan pertanyaan tentang
penyelarasan antara nilai-nilai agama dan hak asasi manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Karakteristik sunnah sebagai sumber hukum?
2. Bagaimana posisi sunnah dalam merespon isu-isu kontemporer?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan ntuk mendalami peran dan relevansi Al-Sunnah
dalam hukum Islam modern, menjelaskan bagaimana hadis-hadis Nabi
Muhammad SAW diinterpretasikan dalam pengambilan keputusan hukum
sehari-hari, menganalisis pengaruh integrasi nilai-nilai agama dalam hukum
modern pada berbagai aspek kehidupan individu Muslim dan masyarakat,
serta menyoroti tantangan dan perdebatan seputar penyelarasan antara nilai-
nilai Islam, hukum sekuler, dan hak asasi manusia dalam masyarakat yang
semakin maju.

3
BAB II
AL-SUNNAH DAN PERSOALAN HUKUM

A. Karakteristik sunnah sebagai sumber hukum

Sunnah secara bahasa berarti “cara yang dibiasakan” atau “cara yang
terpuji”. Sunnah lebih umum disebut hadits. Hadis berasal dari bahasa Arab,
yang artinya ucapan, pembicaraan, dan cerita. Sedangkan menurut istilah yaitu
segala berita yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah terjaga
dan terpelihara dari berbagai kesalahan, berupa qauliyah (ucapan), fi’liyah
(perbuatan), dan takrir (ketetapan). Yang dimaksud qauliyah, yaitu segala
perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW,lalu fi’liyaha dalah segenap
prilaku atau perbuatan Nabi Muhammad SAW, sedangkan takririyah adalah
persetujuan Nabi Muhammad SAW atas apa yang dilakukan para sahabat.1

Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua, sebagai pelengkap dari


hukum yang ditetapkan al-Qur'an, berfungsi sebagai ta’kid (penguat), tafsir
(penjelas), dan tasyri’ (penambah hukum). Pertama, sebagai penguat yaitu
mengesahkan hukum-hukum yang disebutkan dalam al-Qur’an. Kedua, sebagai
penjelas yaitu menjelaskan arti yang masih samar dalam al-Qur’an seperti
perintah shalat yang masih bersifat umum, maka untuk mengetahuinya secara
mutlak harus mengikuti praktek shalat yang dilakukan Rasulullah SAW. Ketiga,
sebagai penambah hukum yaitu memperluas hukum yang telah ditetapkan dalam
al-Qur’an secara terbatas. 2

Adapun Hubungan Al-Sunnah dengan Alqur'an dilihat dari sisi materi


hukum yang terkandung di dalamnya sebagai berikut 3:

1
I.Nurol Aen. Disertasi Konsep Mushawwibat Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar dan Relevansi
dengan Dasar Teologinya. (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah. 1998), hlm. 116.
2
Amir Syarifuddin.Ushul Fiqih Jilid 1. (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 6.
3
Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol.1 No.1 (Maret, 2018), Hal 102-116

4
a. Muaqqid \

Yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan Al-Qur'an


dikuatkan dan dipertegas lagi oleh Al-Sunnah, misalnya tentang Shalat,
zakat terdapat dalam Al-Qur'an dan dikuatkan oleh Al-sunnah.

b. Bayan

Yaitu al-Sunnah menjelaskan terhadap ayat-ayat Al-Qur,an yang belum


jelas, dalam hal ini ada tiga hal :

1) Memberikan perincian terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang masih


mujmal, misalnya perintah shalat dalam Al-Qur'an yang mujmal,
diperjelas dengan Sunnah. Demikian juga tentang zakat, haji dan
shaum. Dalam Shalat misalnya.
2) Membatasi kemutlakan ( taqyid al-muthlaq) Misalnya: Al-Qur'an
memerintahkan untuk berwasiat, dengan tidak dibatasi berapa
jumlahnya. Kemudian Al-Sunnah membatasinya.
3) Mentakhshishkan keumuman, Misalnya: Al-Qur’an
mengharamkan tentang bangkai, darah dan daging babi, kemudian
al-Sunnah mengkhususkan dengan memberikan pengecualian
kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa.
4) menciptakan hukum baru. Rasulullah melarang untuk binatang
buas dan yang bertaring kuat, dan burung yang berkuku kuat,
dimana hal ini tidak disebutkan dalam Al-Qur'an.

Berdasarkan penelitian menurut Abdul Wahab Khalaf telah ditetapkan


bahwa dalil syara’ yang menjadi dasar pengambilan hukum yang berhubungan
dengan perbuatan manusia itu ada empat: al-Qur’an, as-sunah, ijma dan qiyas.
Dan jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal ini dapat digunakan sebagai
dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil-dalil tersebut adalah sebagai
berikut: pertama al-Quran, kedua as- sunah, ketiga ijma, dan keempat qiyas.
Yakni bila ditemukan suatu kejadian, pertama kali dicari hukumnya dalam al-

5
Quran, dan bila hukumnya ditemukan maka harus dilaksanakan. Bila dalam al-
Quran tidak ditemukan maka harus dicari ke dalam sunah. Bila dalam sunah juga
tidak ditemukan maka harus dilihat, apakah para mujtahid telah sepakat tentang
hukum dari kejadian tersebut, dan bila tidak ditemukan juga, maka harus
berijtihad mengenai hukum atas kejadian itu dengan mengkiaskan kepada hukum
yang memiliki nash.4 Adapun dalil yang menunjukan urutan dalam menggunakan
empat dalil di atas antara lain Qs. An-Nisa: 59

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َاِط ْيُعوا الَّرُسْو َل َو ُاوِلى اَاْلْم ِر ِم ْنُك ْۚم َفِاْن َتَناَز ْعُتْم ِفْي َش ْي ٍء َفُر ُّد ْو ُه ِاَلى‬

‫ِهّٰللا َو الَّرُسْو ِل ِاْن ُكْنُتْم ُتْؤ ِم ُنْو َن ِباِهّٰلل َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر ٰذ ِلَك َخْيٌر َّو َاْح َس ُن َتْأِو ْياًل‬

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi
Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu
berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan
Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian
itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).”
(Qs.An-Nisa:59) 5

Dari Maimun bin Mahran, dia berkata, “ Khalifah Abu Bakar ketika
menerima pengaduan maka dia mencari hukumnya dalam kitab Allah, jika dia
menemukan hukum untuk memutuskan perselisihan mereka maka segera
dilaksanakan. Jika dalam al-quran tidakditemukan dan diamengetahui bahwa
dalam sunnah Rasulullah adahukumnya, maka segera dilaksanakan. Jika dalam
sunnah Rasululah tidak ditemukan, maka ia segera mengumpulkan para pemimpin
dan tokoh umat Islam untuk bermusyawarah. Bila diperoleh kesepakatan pendapat
di antara mereka maka segera dilaksanakn. Demikian juga yang dilakukan oleh
Khalifah Umar.” (H.R Al-Baghawi)

4
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih,(Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 14
5
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya

6
Imam Asy-Syatibi berkata: “Di dalam melakukan istinbath hukum, tidak
seyogyanya hanya membatasi dengan memakai dalil al-Qur’an saja, tanpa
memperhatikan penjabaran (syarah) dan penjelasan (bayan), yaitu Sunnah. Sebab
dalam Al-Qur’an terdapat banyak hal-hal yang masih global (kulliy) seperti
keterangan tentang shalat, zakat, haji, puasa dan lain sebagainya, sehingga tidak
ada jalan lain kecuali harus menengok keterangan dari sunnah.” 6Adapun ijma
sebagai urutan sumber hukum selanjutnya, merupakan salah satu dalil syara yang
memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil nash (Al-
Qur’an dan Hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits,
yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara. 7

B. Posisi sunnah dalam merespon isu-isu kontemporer

Ada sebuah ungkapan dalam kaidah ushuliyah, Yang artinya : “Dinamika


perubahan hukum di tengah masyarakat tidak terlepas dari dinamika perubaan
waktu, tempat dan kondisi sosial masyarakat tersebut. Realitas masyarakat
berkembang terus menerus mulai dari masyarakat purbakala yang primitif sampai
dengan masyarakat yang maju dan moderen saat ini.”

Masa sepeninggal Nabi saw merupakan awal permasalahan dalam


perkembangan hukumIslam. Persoalan hukum yang dimunculkan oleh perubahan
zaman dan perkembangan teknologi serta perubahan sosial terus mengemuka
sebagai dinamika kehidupan manusia di dunia sepanjang masa. Ayat-ayat Alquran
dan hadis-hadis nabi perlu penalaran dan kajian lebih mendalam untuk
menyelesaikan permasalahan ummat.

6
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 2010), hlm. 151.
7
Ibid, hlm. 307

7
Dalam tata urutan sumber hukum Islam, Sunnah Nabi menempati posisi
kedua di bawah al-Qur'an. Dalam posisi demikian, Sunnah Nabi difungsikan
sebagai sumber komplementer yang menjelaskan atau menjabarkan al-Qur'an.
Dengan demikian, Sunnah Nabi merupakan cabang, sedangkan al-Qur'an menjadi
pokok.8

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat
selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”
(Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu
Hazm).

Hadits atau As-Sunnah Sebagai Sumber Otoritatif Hukum IslamAs-


Sunnah yang berkedudukan sebagai sumber primier kedua, serta telah diterima
oleh hampir seluruh ulama dan umat muslim, tidak hanya dikalangan Sunni tetapi
juga di kalangan Syi’ah dan aliran Islam lainnya. Legitimasi aliran ini tidak
diarahi dari pengakuan suatu kalangan muslim terhadap Nabi sebagai orang
yang berkuasa tetapi diperbolehkan melalui kehendak ilahiyah.Oleh sebab itu,
segala perkataan, perbuatan, dan takrir tersebut dijadikan pedoman dan panutan
oleh umat Islam dalam kehidupannya. Dan terlebih lagi jika percaya bahwa
Nabi diberikan anugerah wahyu sehingga hal apapun mengenai beliau pasti akan
mendapatkan jaminan teologis. Bila telah memperhatikan atau mengkaji
ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-qur’an, setidaknya ditemukan kurang lebih
50 ayat yang secara jelas menyerukan atau memerintahkan umat muslim untuk
taat kepada Allah dan juga Rasul-Nya.9

Salah satu isu kontemporer yang terjadi adalah menjamin Hak Asasi
Manusia (HAM) setiap insan manusia untuk bebas bergerak, bertindak, hidup dan
mempertahankan kehidupannya sepanjang tidak mengganggu orang lain. Maka
8
Ibid. hlm. 12
9
Tasbih, “Kedudukan Dan Fungsi Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam,” Jurnal Al Fikr14,
no. 3 (2010): 332

8
hukum Islam sangat melarang penganiayaan, pembunuhan dan segala bentuk
kezaliman yang melanggar HAM.

Salah satu ciri khas, hukum Islam adalah tidak memisahkan antara moral
dan hukum dimana dalam hukum Islam moral melekat pada hukum atau
perundang-undangan, sehingga apabila seseorang telah mematuhi aturannya maka
secara otomatis ia telah bermoral dan begitu pula sebaliknya.

Diskursus mengenai ketidakadilan gender kian hari menjadi sesuatu


seamakin menarik. Hal ini wajar-wajar saja oleh sebab banyak fakta sosial yang
menunjukkan betapa seringnya terjadi ketidakadilan gender. Bahkan acapkali
ketidakadilan gender ini menggunakan stempel basah yang bernama logika
agama, semacam mencari pembenaran melalui ragam penafsiran dalam
memahami rancang-bangun hukum Islam yang mengatur hal ihwal relasi lakilaki
dan perempuan dalam hidup dan kehidupan. Olehnya dalam diskursus selanjutnya
tidak jarang ditemukan banyak sekali asumsi-asumsi destruktif negatif yang
dialamatkan kepada hukum Islam bahwa hukum Islam dengan konstruksi
hukumnya mulai dari ushul al-fiqh hingga produk fikih malah turut serta
melegitimasi dan melanggengkan narasi ketidkadilan gender yang kian hari kian
mengkhawatirkan masa depan peradaban manusia, khususnya dalam kaitannya
dengan relasi antara laki-laki dan perempuan.

Menurut Mansour Fakih, dalam Islam ada beberapa tema pokok yang
berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang merupakan
bentuk ketidakadilan gender, karena memang bukanlah kodrat Tuhan. Pertama,
subordinasi kaum muslimat. Subordinasi terhadap kaum muslimat yang dimaksud
berangkat dari penafsiran terhadap ayat 34 surat al-Nisā ’ tentang posisi dan peran
10
muslimat dalam rumah tangga. Penafsiran yang mengatakan laki-laki adalah
pemimpin atas perempuan (dalam rumah tangga) dianggap subordinatif terhadap
muslimat terlebih-lebih lagi jika kepemimpinan laki-laki menimbulkan
10
KH. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender
(Cet. VI; Yogyakarta: LKiS, 2012), h. 10-13. Lihat pula Sufyan A. P. Kau dan Zulkarnain
Sulaiman, Fikih Kontemporer, h. 145-146.

9
ketidakadilan gender, misalnya dalam bentuk diskriminasi kepemimpinan,
marginalisasi ekonomi, kekerasan dan beban kerja.11

Untuk kebaikkan bersama dan melindungi insan manusia dengan


memberikan hukuman sepadan atau setimpal sebagai pelajaran terhadap pelaku
kejahatan guna memberantas semua bentuk kejahatan. Sebab satu menit saja,
kehidupan manusia tidak dijamin oleh hukum maka semua komponen insan
manusia akan rusak, dimana semua insan manusia akan menghalalkan semua
bentuk kejahatan. Bahkan dalam hukum Islam, kehidupan orangfakir, miskin,
anak yatim, dan orang-orang yang kurang mampu diperhatikan dalam syariah
Islam, sebagaimana terkaver dalam perintah wajib mengeluarkan zakat kepada
umat Islam yang memiliki kelebihan harta.
Kedua, kekerasan (violence) terhadap kaum muslimat berupa pemukulan
dan serang non-fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence).
Termasuk kekerasaan atau penyiksaan terhadap anak (child abuse). Juga
pemukulan terhadap istri oleh suami, khususnya dalam kasus nusyuz. Dasar
argumentasi pemukulan terhadap istri oleh suami dalam kasus nusyuz adalah QS
al-Nisā ’, 4:34 yang artinya:
“…Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah
mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau
perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan)…”
Dengan ayat ini pula secara luas dikalangan umat Islam lahir keyakinan,
bahwa suami berhak memukul istrinya. Padahal dalam tradisi terdapat indikasi
Nabi pun menganggap pemukulan terhadap istri sebagai suatu kekerasan yang
perlu dihentikan.12

11
Lihat Mansoer Fakih, ‚Posisi Kaum Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Aanalisis
Gender,‛ dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, h. 53-55.

12
0Lihat Mansoer Fakih, ‚Posisi Kaum Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Aanalisis
Gender,dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, h. 55-58.

10
Dalam hadits ada penjelasan "tidak menyakiti" Atha' bertanya kepada
Ibnu Abbas, "Apa yang dimaksud memukul yang tidak melukai?" Ibnu Abbas
menjawab, "Siwak dan seukurannya, yang dipukulkan" (Tafsir Qurthubi). Kita
tahu sendiri kayu siwak hanya seukuran jari telunjuk. Dan yang perlu kita ketahui
bahwa Nabi tidak pernah memukul istri-istrinya “Aisyah berkata bahwa
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah memukul apapun dengan
tangannya, tidak memukul wanita dan pembantu.” (HR Muslim)
Konsep dan fonemena ketidakadilan gender yang dikemukan sebelumnya
di atas dalam perkembangan selanjutnya mau tidak menuntut adanya pola
pembacaan baru dengan berbagai perspektif. Setidaknya pola pembacaan baru
diharapkan dapat menghadirkan perspektif baru dalam melihat dan menyelesaikan
persoalan demi persoalan yang bertalian dengan ketidakadilan gender.
Keadilan dalam hukum Islam adalah sesuatu yang berimbang, tidak mesti
selalu dalam pengertian sama berat (fifti-fifti), tetapi dalam pengertian
harmonisasi antara bagian-bagiannya sehingga membentuk satu kesatuan yang
harmonis. Keadilan tidak harus bermakna sama persis dan persis sama atau sama
berat dan berat sama. Dengan demikian, perbedaan peran gender (differences
gender of role) antara laki-laki dan perempuan dalam konteks yang demikian
bukanlah suatu ketidakadilan, selama tidak melahirkan subordinasi, marginalisasi
dan bentuk-bentuk manifestasi ketidakadilan gender.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sumber hukum dalam Islam sangat penting, karena ia merupakan sumber


utama dalam menentukan sebuah hukum yang melandasi kehidupan seorang
muslim. As-sunnah menempati posisi yang fundamental dalam Islam, di
samping al-Qur’an. Posisi tesebut ditunjukan oleh fungsinya sebagai penjelas
dari al-Quran dan sumber hukumyang kedua. Mengingat problematika

11
keumuman makna ayat al-Qur’an, posisi hadits sebagai penjelas dan sumber
hukum perlu untuk dijadikan pegangan dalam menjawab persoalan-
persoalan hukum. Baik yang terkait secara syari’at maupun persoalan
kemanusiaan. Otoritas (kehujjahan) sunnah didasarkan berdasarkan dalil-dalil
yang sudah pasti. Baik dari ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi saw atau menurut
akal sehat. Sunnah yang dapat dijadikan sebagai hujjahtentunya sunnah yang
telah memenuhi persyaratan sahih, baik mutawattir maupun ahad.

Untuk meretas kebekuan fiqih dalam berinteraksi dengan dinamika


kontemporer, A. Qadri Azizi menawarkan sebelas langkah, sebagai berikut:

1. Mendahulukan sumber primer (Alqur’an dan sunnah) dalam


menentukan rujukan dan kitab induk imam madzhab dalam
bermadzhab ketika berhadapan dengan masalah hukum kontemporer.

2. Berani mengkaji pemikiran ulama atau keputusan hukum organisasi


kemasyarakatan Islam dengan pendekatan critical study dan history of
ideas dan tidak hanya terbatas pada tataran doctrinal dan dogmatis.

3. Karya ulama klasik diposisikan sebagai knowledge baik produk


deduktif maupun empirik.
4. Mempunyai sikap terbuka dengan dunia luar, baik dalam kontek iptek
maupun budaya dan gagasan pemikiran serta tidak tergesa-gesa
menjastifikasi sesuatu yang baru dengan landasan emosional.

5. Responsif terhadap permasalah yang muncul karena masyarakat ingin


mendapatkan jawaban cepat dari pakar fiqih.

6. Menawarkan pola penafsiran aktif dan proaktif, yaitu pola jawaban


masalah hukum yang mampu memberi inspirasi dan guidance untuk
kehidupan yang sedang dijalani umat Islam.

12
7. Ahkam al-khamsah (wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah) agar
dijadikan sebagai ajaran etika dan tata nilai di tengah kehidupan
masyarakat.

8. Menjadikan ilmu fiqih sebagai ilmu hukum secara umum, yaitu kajian
fiqih dilakukan menggunakan pendekatan ilmu hukum sehingga pakar
hukum umum dapat memahami substansi fiqih dengan baik dan benar.

9. Kajian fiqih harus menyeimbangkan pendekatan deduktif dan induktif.


Proses deduktif adalah bagaimana memahami Alqur’an dan sunnah
dengan segala metodenya termasuk qiyas dan proses induktif adalah
bagaimana memberikan peran akal dalam porsi yang benar untuk
mewujudkan hasanah di dunia dan akhirat bagi umat Islam.

10. Menjadikan maslahah ‘ammah sebagai landasan penting dalam


membangn fiqih.

11. Menjadikan Alqur’an dan sunnah sebagai barometer dan kontrol


terhadap hal-hal ijtihadi, terutama ketika proses ijtihad itu
menggunakan pendekatan induktif dan bukan deduktif.13

Ibn al-Qayyim al-Jauziyah menegaskan bahwa prinsip dan dasar penetapan


hukum Islam adalah kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Hukum Islam
semuanya adil, membawa rahmat, mengandung maslahat dan membawa hikmat.
Setiap masalah yang keluar dari keadilan menuju kepada kedzaliman, dari rahmat
ke laknat, dari maslahat ke mafsadat (kehancuran) dan dari hikmah kepada
sesuatu yang hampa tidaklah termasuk hukum Islam. Hukum Islam adalah
keadilan Allah di antara hamba-hambaNya, kasih saying Allah terhadap

13
A. Qadri Azizi, Reformasi bermadzhab, Jakarta; khalista, 2004, h. 110-125

13
mahlukNya, naungan Allah di atas bumi, dan hikmah Allah yang menunjukkan
kepadaNya, dan kebenaran RasulNya secara tepat dan benar.14

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, (2003). Ilmu Ushul Fikih,Jakarta: Pustaka Amani,


Abdullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam; dalam Tata
Hukum Islam Indonesia, cet ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Al Maqasid, (2018) Jurnal Peradaban dan Hukum Islam.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim dan
Terjemahannya, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002.
14
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘alamin, Juz II, Beirut; Dar
al-Fikr, 1977, h. 14-15

14
I.Nurol Aen. (1998). Disertasi Konsep Mushawwibat Al-Qadhi ‘Abd Al-
Jabbar dan Relevansi dengan Dasar Teologinya. Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1982
Syarifuddin, A. (2011). Ushul Fiqih Jilid 1. Jakarta: Kencana.
Zahrah, M.A. (2010). Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus.

15

Anda mungkin juga menyukai