Anda di halaman 1dari 7

MANHAJ TARJIH DAN METODE

PENETAPAN HUKUM DALAM TARJIH


MUHAMMADIYAH

Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A.

A. Pengertian

Manhaj tarjih secara harfiah berarti cara melakukan tarjih. Sebagai sebuah istilah, manhaj tarjih
lebih dari sekedar “cara mentarjih.” Istilah tarjih sendiri sebenarnya berasal dari disiplin ilmu
usul fikih. Dalam ilmu usul fikih tarjih berarti melakukan penilaian terhadap suatu dalil syar’i
yang secara zahir tampak bertentangan untuk menentukan mana yang lebih kuat. Atau juga
diartikan sebagai evaluasi terhadap berbagai pendapat fikih yang sudah ada mengenai suatu
masalah untuk menentukan mana yang lebih dekat kepada semangat al-Quran dan as-Sunnah
dan lebih maslahat untuk diterima. Sebagai demikian, tarjih merupakan salah satu tingkatan
ijtihad dan merupakan ijtihad paling rendah. Dalam usul fikih, tingkat-tingkat ijtihad meliputi
ijtihad mutlak (dalam usul dan cabang), ijtihad dalam cabang, ijtihad dalam mazhab, dan ijtihad
tarjih.

Dalam lingkungan Muhammadiyah pengertian tarjih telah mengalami pergeseran makna dari
makna asli dalam disiplin usul fikih. Dalam Muhammadiyah dengan tarjih tidak hanya
diartikan kegiatan sekedar kuat-menguatkan suatu pendapat yang sudah ada, melainkan jauh
lebih luas sehingga identik atau paling tidak hampir identik dengan kata ijtihad itu sendiri.
Dalam lingkungan Muhammadiyah tarjih diartikan sebagai “setiap aktifitas intelektual untuk
merespons realitas sosial dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam, khususnya dari
sudut pandang norma-norma syariah.” Oleh karena itu bertarjih artinya sama atau hampir sama
dengan melakukan ijtihad mengenai suatu masalah dilihat dari perspektif agama Islam. Hal ini
terlihat dalam berbagai produk tarjih seperti putusan tentang etika politik dan etika bisnis
(Putusan Tarjih 2003), masalah-masalah perempuan seperti dalam Adabul Marah fil-Islam
(Putusan Tarjih 1976), fatwa tentang face book yang sudah dibuat Majelis Tarijih dan Tajdid
dan akan segera dimuat dalam Suara Muhammadiyah. Jadi tarjih tidak hanya sekedar
menguatkan salah satu pendapat yang ada.

Adalah jelas bahwa tarjih itu tidak dilakukan secara serampangan, melainkan berdasarkan
kepada asas-asas dan prinsip tertentu. Kumpulan prinsip-prinsip dan metode-metode yang
melandasi kegiatan tarjih itu dinamakan manhaj tarjih (metodologi tarjih).

B. Semangat Tarjih: Tajdid

Metodologi tarjih memuat unsur-unsur yang meliputi wawasan/semangat, sumber,


pendekatan, dan prosedur-prosedur tehnis (metode). Tarjih sebagai kegiatan intelektual untuk
merespons berbagai persoalan dari sudut pandang syariah tidak sekedar bertumpu pada
sejumlah prosedur tehnis an sich, melainkan juga dilandasi oleh semangat pemahaman agama
yang menjadi karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah. Semangat yang menjadi
karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah dimaksud diingat dalam memori kolektif orang
Muhammadiyah dan akhir-akhir ini dipatrikan dalam dokumen resmi. Semangat tersebut
meliputi tajdid, toleran, terbuka, dan tidak berafiliasi mazhab tertentu.

Semangat/wawasan tajdid ditegaskan sebagai identitas umum gerakan Muhammadiyah


termasuk pemikirannya di bidang keagamaan. Ini ditegaskan dalam pasal 4 ayat (1) ADM,
“Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar dan Tajdid,
bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah” (italic dari penulis). Tajdid menggambarkan
orientasi dari kegiatan tarjih dan corak produk ketarjihan.

Tajdid mempunyai dua arti:

a. Dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam arti mengembalikan
akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi saw.

b. Dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat


dengan semangat kreatif sesuai tuntutan zaman.

Pemurnian ibadah berarti menggali tuntunannya sedemikian rupa dari Sunnah Nabi saw untuk
menemukan bentuk yang paling sesuai atau paling mendekati Sunnah beliau. Mencari bentuk
paling sesuai dengan Sunnah Nabi saw tidak mengurangi arti adanya tanawwu‘ dalam kaifiat
ibadah itu sendiri, sepanjang memang mempunyai landasannya dalam Sunnah. Misalnya
adanya variasi dalam bacaan doa iftitah dalam salat, yang menunjukkan bahwa Nabi saw
sendiri melakukannya bervariasi. Varian ibadah yang tidak didukung oleh Sunnah menurut
Tarjih tidak dapat dipandang praktik ibadah yang bisa diamalkan.

Berkaitan dengan akidah, pemurnian berarti melakukan pengkajian untuk membebaskan


akidah dari unsur-unsur khurafat dan tahayul.

Tajdid di bidang muamalat duniawiyah (bukan akidah dan ibadah khusus), berarti
mendinamisakikan kehidupan masyarakat sesuai dengan capaian kebudayaan yang dicapai
manusia di bawah semangat dan ruh al-Quran dan Sunnah. Bahkan dalam aspek ini beberapa
norma di masa lalu dapat berubah bila ada keperluaan dan tuntutan untuk berubah. Misalnya
di zaman lampau untuk menentukan masuknya bulan kamariah baru, khususan Ramadan,
Syawal, dan Zulhijah, digunakan rukyat sesuai dengan hadis-hadis rukyat dalam mana Nabi
saw memerintah melakukan rukyat. Namun pada zaman sekarang tidak lagi digunakan rukyat
melainkan hisab, sebagaimana dipraktikkan dalam Muhammadiyah. Contoh lain, di masa lalu
perempuan tidak dibolehkan menjadi pemimpin karena hadis Abu Bakrah yang melarangnya,
maka di zaman sekarang terjadi perubahan ijtihad hukum di mana perempuan boleh menjadi
pemimpin sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Tarjih tentang Adabul Mar’ah fil-Islam.

Perubahan itu dapat dilakukan dengan memenuhi beberapa syarat, yaitu (1) ada tuntutan untuk
berubah dalam rangka dinamisasi kehidupan masyarakat, (2) perubahan baru harus
berlandaskan suatu kaidah syariah juga, (3) masalahnya menyangkut muamalat duniawiah,
bukan menyangkut ibadah murni (khusus), dan (4) ketentuan lama bukan merupakan
penegasan yang Qat‘³.

Toleran artinya bahwa putusan Tarjih tidak menganggap dirinya saja yang benar, sementara
yang lain tidak benar. Dalam “Penerangan tentang Hal Tarjih” yang dikeluarkan tahun 1936,
dinyatakan, “Keputusan tarjih mulai dari merundingkan sampai kepada menetapkan tidak ada
sifat perlawanan, yakni menentang atau menjatuhkan segala yang tidak dipilih oleh Tarjih itu”
[HPT: 371].

Terbuka artinya segala yang diputuskan oleh tarjih dapat dikritik dalam rangka melakukan
perbaikan, di mana apabila ditemukan dalil dan argumen lebih kuat, maka Majelis Tarjih akan
membahasnya dan mengoreksi dalil dan argumen yang dinilai kurang kuat. Dalam
“Penerangan tentang Hal Tarjih” ditegaskan, “Malah kami berseru kepada sekalian ulama
supaya suka membahas pula akan kebenaran putusan Majelis Tarjih itu di mana kalau terdapat
kesalahan atau kurang tepat dalilnya diharap supaya diajukan, syukur kalau dapat mermberikan
dalil yang lebih kuat dan terang, yang nanti akan dipertimbangkan pula, diulang
penyelidikannya, kemudian kebenarannya akan ditetapkan dan digunakan. Sebab waktu
mentarjihkan itu ialah menurtut sekedar pengertian dan kekuatan kita pada waktu itu” [HPT:
371-372].

Tidak berafiliasi mazhab artinya tidqak mengikuti mazhab tertentu, melainkan dalam
berijtihad bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah dan metode-metode ijtihad yang ada.
Namun juga tidak sama sekali menafikan berbagai pendapat fukaha yang ada. Pendapat-
pendapat mereka itu dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan diktum norma/ajaran
yang lebih sesuai dengan semangat di mana kita hidfup.

C. Sumber-sumber Ajaran Agama

Manhaj (metodologi) tarjih juga mengandung pengertin sumber-sumber pengambilan


norma agama. Sumber agama adalah al-Quran dan as-Sunnah yang ditegaskan dalam sejumlah
dokumen resmi Muhammadiyah,

1. Pasal 4 ayat (1) Anggran Dasar Muhammadiyah yang telah dikutip di atas yang menyatakan
bahwa gerakan Muhammadiyah bersumber kepada dua sumber tersebut.

2. Putusan Tarjih Jakarta 2000 Bab II angka 1 menegaskan, “Sumber ajaran Islam adalah al-
Quran dan as-Sunnah al-Maqbūlah (‫)السنة المقبولة‬.” Putusan Tarijih ini merupakan penegasan
kembali apa yang sudah ditegaskan dalam putusan-putusan tedahulu (HPT, h. 278),

. ‫ْف‬ ُ ‫ق ه َُو اْلقُ ْرآ ُن اْلك َِر ْي ُم َو ْال َح ِدي‬


َّ ‫ْث ال‬
ُ ‫ش ِري‬ ْ ‫علَى اْ ِإل‬
ِ َ‫طال‬ َ ‫ي‬ ْ َ ‫األ‬
ِِّ ِ‫ص ُل فِي الت َّ ْش ِري ِْع اْ ِإل ْسالَم‬

Artinya:

Dasar mutlak dalam penetapan hukum Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits asy-Syarif.

Mengenai hadis (sunnah) yang dapat menjadi hujah adalah sunnah makbulah seperti ditegaskan
dalam Putusan Tarjih Jakarta tahun 2000. Istilah sunnah makbulah merupakan perbaikan
terhadap rumusan lama dalam HPT tentang definisi agama Islam yang menggunakan ungkapan
“sunnah sahihah”. Istilah sunnah sahihah sering menimbulkan salah faham dengan
mengindektikkannya dengan hadis sahih. Akibatnya hadis hasan tidak diterima, pada hal sudah
menjadi ijmak seluruh umat Islam bahwa hadis hasan juga menjadi hujah agama. Oleh karena
itu untuk menghindarkan salah faham tersebut rumusan itu diperbaiki sesuai dengan maksud
sebenarnya rumusan bersangkutan, yaitu bahwa yang dimaksud dengan sunnah sahihah adalah
sunnah yang bisa menjadi hujah, yaitu hadis sahih dan hadis hasan. Karenanya dalam rumusan
baru dikatakan “sunnah makbulah”, yang berarti sunnah yang dapat diterima sebagai hujah
agama, baik berupa hadis sahih dan maupun hadis hasan.

Hadis daif tidak dapat dijadikan hujah syar’iah. Namun ada suatu perkecualian di mana hadis
daif bisa juga menjadi hujah, yaitu apabila hadis tersebut:

1) banyak jalur periwayatannya sehingga satu sama lain saling menguatkan,

2) ada indikasi berasal dari nabi saw,

3) tidak bertentangan dengan al-Quran,

4) tidak bertentangan dengan hadis lain yang sudah dinyatakan sahih,

5) kedaifannya bukan karena rawi hadis bersangkutan tertuduh dusta dan pemalsu hadis.

Dalam Putusan Tarjih (HPT, h. 301) ditegaskan,

ْ َ‫ت أ‬
ِ ‫صلِها َ َولَ ْم تُعا َ ِر‬
‫ض‬ ِ ‫علَى ثُب ُْو‬ ُ ‫ضدُ بَ ْعضُها َ بَ ْعضًا الَ يُحْ ت َ ُّج ِبها َ ِإالَّ َم َع َكثْ َر ِة‬
َ ‫ط ُرقِها َ َوفِيْها َ قَ ِر ْينَة تَدُ ُّل‬ َ ‫ض ِع ْيفَةُ يَ ْع‬ ُ ‫األَحا َ ِدي‬
َّ ‫ْث ال‬
ْ
. ‫اْلقُ ْرآنَ َوال َح ِديْث الصَّحِ ْي َح‬
َ

Hadis-hadis daif yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali
apabila banyak jalannya dan padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya
serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis sahih.

D. Prosedur Tehnis (Metode)

1. Metode Ijtihad

Metode untuk menemukan suatu norma syariah menggunakan ijtihad, dan dalam praktik
Muhammadiyah biasanya digunakan ijtihad kolektif. Penegasan penggunaan ijtihad ini tersirat
dalam rumusan tentang qiyas dalam HPT, di mana ditegaskan.

‫ض ِة‬ َ ْ‫ت اْل َمح‬ ِ ‫ي مِ ْن أ ُ ُم ْو ِر اْل ِعبَادَا‬ َ ‫ت ِه‬ ْ ‫س‬ َ ‫ت ْالحا َ َجةُ ِإ‬
َ ‫لى ا َْْ ل َع َم ِل ِبها َ َو َل ْي‬ ِ ‫ع‬
َ َ‫ت َود‬ ْ ‫ف ِع ْندَ ُموا َ َج َه ِة أ ُ ُم ْو ٍر َو َق َع‬ ُّ ‫ت ال‬
ُ ‫ظ ُر ْو‬ ِ ‫ع‬َ ْ‫تى ا ْستَد‬
َ ‫َو َم‬
َِ‫ق اْالِجْ تِها َ ِد َواْ ِال ْستِ ْنباط‬ َ
ِ ‫عن ط ِر ْي‬ ْ َ ْ َ
َ ‫لى َم ْع ِرف ِة ُحكمِ ها‬ َ ِ‫ص ْو ُل إ‬ ْ َ َّ
ُ ‫سن ِة الصَّحِ ْي َح ِة فا ُلو‬ َ
ُّ ‫آن أ ِو ال‬ ُ ْ
ِ ‫ص ِريْح مِ نَ الق ْر‬ َ ‫َص‬ َ ْ ْ
ٌّ ‫لم ْيَ ِرد فِ ْي ُحكمِ ها ن‬ َ ‫َو‬
. ِ‫سلَفِ َواْل َخلَف‬ َّ ‫علَماَءِ ال‬ َ ‫علَى أَسا َ ِس ت َسا َ ِوي اْل ِعلَ ِل كَما َ َج َرى‬
ُ َ‫علَ ْي ِه اْلعَ َم ُل ِع ْند‬ َ ِ‫ص اْ َلو ِاردَة‬ ِ ‫ص ْو‬ ُ ُّ‫مِ نَ الن‬

Artinya:

Bilamana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan dihajatkan untuk
diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdah pada hal
untuk alasannya tidak terdapat nash yang sharih di dalam al-Qur’an atau Sunnah shahihah,
maka jalan untuk mengetahui hukumnya adalah melalui ijtihad dan istinbat dari nash-nash
yang ada berdasarkan persamaan ‘illat sebagai mana telah dilakukan oleh ulama salaf dan
khalaf.
Teks putusan ini sebenarnya menjelaskan bahwa qiyas dapat digunakan dalam menemukan
hukum syar’i, namun terbatas dalam hal yang tidak menyangkut ibadah mahdah (murni).
Namun dalam teks ini tersirat penggunaan ijtihad, dan satu satu bentuk ijtihad itu adalah qiyas.

Dalam praktik Muhammadiyah (Tarjih) metode-metode ijtihad lainnya seperti penggunaan


maslahah, istihsan dan lain-lain juga dapat dilakukan. Misalnya dalam fatwa Tarjih tentang
penjatuhan talak di rumah secara sepihak oleh suami dinyatakan tidak berlaku. Talak dalam
fatwa itu harus dijatuhklan di depan sidang Pengadilan Agama. Landasannya antara lain adalah
prinsip maslahat.

2. Operasionalisasi Sumber dan Metode Pemahamannya

Dalam mengoperasionalisasikan sumber dan metode pemahamannya dilakukan berdasarkan


istiqr±’ ma‘naw³. Artinya ijtihad tidak dilakukan berdasarkan satu atau dua hadis, melainkan
untuk menemukan hukum satu masalah harus dilakukan penelitian terhadap berbagai sumber
syariah yang ada. Dengan kata lain, ijtihad tidak dilakukan dengan berdasarkan kepada sat atau
dua hadis saja, melainkan seluruh nas dan metode ijtihad terkait dihadirkan secara serentak.
Contoh putusan tarjih dalam kaitan ini adalah putusan tentang seni patung (Putusan Aceh
1995). Termasuk juga dalam kaitan ini adalah ijtihad tentang penggunaan hisab.

3. Ta’±ru« al-Adillah

Jika terjadi ta‘±rud diselesaikan dengan urutan cara-cara sebagai berikut:

1. Al-jam‘u wa at-tauf³q, yakni sikap menerima semua dalil yang walaupun zahirnya
ta‘±rud. Sedangkan pada dataran pelaksanaan diberi kebebasan untuk memilihnya
(takhy³r).
2. At-tarj³h, yakni memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil
yang lemah.
3. An-naskh, yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir.
4. At-tawaqquf, yakni menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan cara
mencari dalil baru.

E. Pendekatan

Dalam Putusan Tarjih tahun 2000 diJakartadijelaskan bahwa pendekatan dalam ijtihad
Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Pendekatan bayani
menggunakan nas-nas syariah. Penggunaan burhani menggunakan ilmu pengetahuan yang
berkembang, seperti dalam ijtihad menggenai hisab. Pendekatan irfani berdasarkan kepada
kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin.

F. Beberapa Kaidah tentang Hadis

Kaidah 1

. ‫ف ْال ُم َج َّردُ الَ يُ ْحت َ ُّج بِ ِه‬


ُ ‫ا َ ْل َم ْوقُ ْو‬
Hadis maukuf murni tidak dapat dijadikan hujjah.

Kaidah 2

ِ ‫ي فِ ْي ُح ْك ِم اْل َم ْرفُ ْو‬


. ‫ع يُ ْحت َ ُّج ِب ِه‬ ُ ‫ا َ ْل َم ْوقُ ْو‬
ْ ‫ف الَّ ِذ‬

Hadis maukuf yang termasuk ke dalam kategori marf‘ dapat dijadikan hujjah.

Kaidah 3

َ ‫س ْو ِل هللاِ (صلعم) َكقَ ْو ِل ِأ ُ ِ ِّم‬


‫ ُكنا َّ نُؤْ َم ُر أَ ْن‬: َ‫عطِ يَّة‬ َ ‫ع ِإذا َ كاَنَ فِ ْي ِه قَ ِر ْينَة يُ ْف َه ُم مِ ْنها َ َر ْفعُهُ ِإ‬
ُ ‫لى َر‬ ِ ‫ف يَ ُك ْو ُن فِ ْي ُح ْك ِم اْل َم ْرفُ ْو‬ ُ ‫ا َ ْل َم ْوقُ ْو‬
َ ‫َّض (ا َ ْل َح ِدي‬
.)ُ‫ْث َونَح َْوه‬ َ ‫نُ ْخ ِر َج ِف ْي اْل ِع ْي ِد اْل ُحي‬

Hadis maukuf termasuk kategori marf‘ apabila terdapat karinah yang daripadanya dapat
difahami kemarf‘annya kepada Rasulullah saw, seperti pernyataan Ummu ‘Athiyyah: “Kita
diperintahkan supaya mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haid pada Hari Raya” dan
seterusnya bunyi hadis itu, dan sebagainya.

Kaidah 4

. ‫ي ْال ُم َج َّردُ الَ يُ ْحت َ ُّج بِ ِه‬ ِِّ ‫س ُل التَّابِ ِع‬


َ ‫ُم ْر‬

Hadis mursal Tabi‘³ murni tidak dapat dijadikan hujjah.

Kaidah 5

. ‫علَى اتِِّصا َ ِل ِه‬


َ ‫ي يُ ْحت َ ُّج بِ ِه إِذا َ كاَنَت ثَ َّم قَ ِر ْينَة تَدُ ُّل‬ ِِّ ‫س ُل التَّابِ ِع‬
َ ‫ُم ْر‬

Hadis mursal Tabi‘³ dapat dijadikan hujjah apabila besertanya terdapat karinah yang
menunjukkan kebersambungannya.

Kaidah 6

. ‫علَى اتِِّصا َ ِل ِه‬


َ ‫ي يُ ْحت َ ُّج بِ ِه إِذاَ كاَنَت ث َ َّم قَ ِر ْينَة تَدُ ُّل‬ ِِّ ِ‫صحاَب‬
َّ ‫س ُل ال‬
َ ‫ُم ْر‬

Hadis mursal Shahabi dapat dijadikan hujjah apabila padanya terdapat karinah yang
menunjukkan kebersambungannya.

Kaidah 7

ْ َ‫ت أ‬
ِ ‫صلِها َ َولَ ْم تُعا َ ِر‬
‫ض‬ ِ ‫علَى ثُب ُْو‬ ُ ‫ضدُ بَ ْعضُها َ بَ ْعضًا الَ يُحْ ت َ ُّج ِبها َ ِإالَّ َم َع َكثْ َر ِة‬
َ ‫ط ُرقِها َ َوفِيْها َ قَ ِر ْينَة تَدُ ُّل‬ َ ‫ض ِع ْيفَةُ يَ ْع‬ ُ ‫األَحا َ ِدي‬
َّ ‫ْث ال‬
ْ
. ‫اْلقُ ْرآنَ َوال َح ِديْث الصَّحِ ْي َح‬
َ

Hadis-hadis dha‘if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali
apabila banyak jalannya dan padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya
serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis shahih.

Kaidah 8
. ً ‫شافِ ْي ْال ُم ْعت َ َب ِر ش َْرعا‬ َ ‫ا َ ْل َج ْر ُح ُمقَدَّم‬
َّ ‫علَى الت َّ ْع ِد ْي ِل َب ْعدَ اْل َبيا َ ِن ال‬

Jarah (cela) didahulukan atas ta‘dil setelah adanya keterangan yang jelas dan sah secara syara‘.

Kaidah 8

. ‫عداَلَتِ ِه‬ ٍ ‫غي َْر قا َد‬


َ ‫ِح فِ ْي‬ ُ ‫ظاه ُِرهُ اْ ِالتِِّصا َ ُل َوكاَنَ تَدْ ِل ْي‬
َ ُ ‫سه‬ َ ‫ت ُ ْقبَ ُل مِ َّم ِن ا ْشت َ َه َر ِبالتَّدْ ِلي ِْس ِر َوايَتُهُ ِإذَا‬
َ َ ‫ص َّر َح ِبما‬

Riwayat orang yang terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima apabila ia menegaskan
bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersambung dan tadlisnya tidak sampai merusak
keadilannya.

Kaidah 9

. ‫اجبُ اْلقَب ُْو ِل‬ َ َ‫ظ ْال ُم ْشت ََرك‬


ِ ‫علَى أ َ َح ِد َم ْعنَيَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي اللَّ ْف‬ ِِّ ِ‫صحاَب‬
َّ ‫َح ْم ُل ال‬

Penafsiran Shahabat terhadap lafal (pernyataan) musytarak dengan salah satu maknanya wajib
diterima.

Kaidah 10

َّ ‫غي ِْر ِه اَ ْل َع َم ُل ِبال‬


. ‫ظاه ِِر‬ َ ‫علَى‬ َّ ‫ي ال‬
َ ‫ظاه َِر‬ ِِّ ‫صحا َ ِب‬
َّ ‫َح ْم ُل ال‬

Penafsiran Shahabat terhadap lafal (pernyataan) zahir dengan makna lain, maka yang
diamalkan adalah makna zahir tersebut. [Penyesuaian penempatan: Huruf H diambil dari
HPT, h. 300-301(MTPPI)].

• Makalah disampaikan pada Acara Pelatihan Kader Tarjih Tingkat Nasional Tanggal 26
Safar 1433 H / 20 Januari 2012 di Universitas Muhammadiyah Magelang.
• Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

https://lpsi.uad.ac.id/manhaj-tarjih-dan-metode-penetapan-hukum-dalam-tarjih-muhammadiyah/

Anda mungkin juga menyukai