Anda di halaman 1dari 15

TA’ARUDH AL-ADILAH

(KONTRADIKSI DALIL
SYARA’)
Kelompok 13

 Dyah Anindita Nur W 4221136


 Khomisah Wulandari 4221143
 Rizki Amanda Putri 4221150
PEMBAHASAN

Cara Penyelesaian
01 Pengertian Ta’arudh 02 Ta’arud Al-Adillah

03 Naskh 04 Tarjih
1. Pengertian Ta’arudh

Kata ta’rud, secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-adillah adalah bentuk jamak dari
kata dalil, yang berarti alasan, argument, dan dalil. Adapun secara terminologi, para ulama memiliki
berbagai pendapat tentang definisi ta’rudh al-adillah, di antaranya:
a) Menurut Imam Asy-Syaukani, ta’rud al-adillah adalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu
terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukuum yang berbeda dengan dalil itu.
(Asy-Syaukani : 242)
b) Menurut Kamal Ibnu Al-Humam dan At-Taftazani, ta’rud al-adillah adalah pertentangan antara dua
dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara keduanya. (At-Taftazani : 103)
c) Ali Hasaballah berpendapat bahwa ta’rud al-adillah adalah terjadinya pertentangan hukum yang
dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalam dalil lainnya dan kedua dalil tersebut
berada dalam satu derajat. (Ali Hasaballah : 334)
2. Cara Penyelesaian Ta’arud Al-Adillah

Menurut Hanafiyah
Para ilmuwan Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa metode yang harus digunakan dalam
menyelesaikan antara dua dalil yang bertentangan adalah sebagai berikut :

a) Nasakh
Nasakh adalah membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang datang
kemudian yang mengandung hukum yang berbeda. Seorang mujtahid harus melacak sejarah kedua
dalil tersebut dan kemudian mengambil dalil yang datang kemudian.
b) Tarjih
Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa
indikasi yang mendukung ketetapan tersebut. Apabila dua dalil yang bertentangan sulit untuk dilacak
sejarahnya, maka bisa menggunakan tarjih dengan mengemukakan alasan-alasan yang mendukung
dalil-dalil tersebut
Untuk melakukan tarjih, dapat dilihat dari tiga sisi:

1. Petunjuk terhadap kandungan lafadz suatu nash. Misalnya menguatkan nash yang
hukumnya pasti (muhkam) dan tidak bisa dihapus, daripada nash yang hukumnya pasti
namun bisa diubah (mufassar).
2. Dari segi yang dikandungnya. Misalnya menguatkan dalil yang mengandung hukum
haram dari dalil yang mengandung hukum boleh.
3. Dari segi keadilan periwayatan suatu hadis.
c) Al-Jam’ Wa At-Tauufiq
Yaitu mengompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan keduanya,
berdasarkan kaidah, “Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau
mengabaikan dalil yang lain”. Misalnya firman Allah SWT. dalam surat Al-Maidah ayat 3:

‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم‬


ْ ‫ُح ِّر َم‬
Artinya : “Diharamkan bagi kamu bangkai dan darah…” (QS. Al-Maidah : 3)

Ayat diatas tidak menjelaskan tentang jenis darah dan tidak membedakan antara darah yang
mengalir dengan darah yang sudah beku. Kemudian ada ayat lain dalam surat Al-An’am ayat 145:

‫ون َم ْيتَةً َأ ْو َد ًما َم ْسفُوحًا‬


َ ‫ِإاَّل َأ ْن يَ ُك‬
Artinya : “…kecuali (yang diharamkan itu) bangkai dan darah yang mengalir…” (QS. Al-
An’am : 145)

Pengompromian dari kedua ayat tersebut bahwa darah yang dilarang adalah darah yang mengalir.
d) Tasaqut Ad-Dalilain
Tasaqut Ad-Dalilain adalah menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang
lebih rendah. Mengambil keterangan yang lebih rendah dari Al-Quran, yaitu Sunah. Apabila
masih tetap bertentangan, maka diambil metode qiyas (analogi). Namun menurut ulama
Hanafiyah, seorang mujtahid hanya boleh mengambil dalil yang lebih rendah apabila telah
menggunakan ketiga cara tersebut. Dan penggunaan metode penyelesaian ta’rud al-adillah harus
dilakukan secara berurutan.
Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah

a) Jamu’ wa al-Taufiq
Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah, cara pertama untuk menyelesaikan
dua dalil yang bertentangan adalah dengan mengompromikan kedua dalil tersebut.
b) Tarjih
Apabila cara pertama tidak bisa digunakan, maka menggunakan tarjih, yakni
menguatkan salah satu dalil.
c) Nasakh.
nasakh, yakni membatalkan salah satu hukum yang dikandung dalam kedua dalil
tersebut dengan syarat harus diketahui dahulu, mana dalil yang pertama dan mana dalil
yang datang kemudian
d) Tatsaqut al-dalilain
Tatsaqut al-dalilain, yakni meninggalkan kedua dalil tersebut dan berijtihad dengan
dalil yang kualitasnya lebih rendah. Keempat cara di atas harus ditempuh secara
berurutan.
3. Nasakh

Dari segi bahasa (lugah) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau
penghapusan, para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila
memenuhi kriteria berikut ini: (Tajuddi : 50)
a) Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari
Allah dan Rasul-Nya, yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka habisnya masa
berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan nasakh.
b) Yang dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
c) Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istitsna
(pengecualian) tidak disebut nasakh
Rukun Nasakh

Rukun nasakh itu ada empat, yaitu:


a) Adat an-nasakh, yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum
yang telah ada.
b) Nasikh, adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada.
Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah ta’ala, karena Dia-lah yang
membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapuskannya.
c) Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
Mansukh ‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum
Hikmah Nasakh

Telah disepakati oleh ulama Ushul Fiqih, bahwa disyari’atkannya berbagai hukum
kepada manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan umat manusia, baik di dunia
maupun di akhirat, selain tuntutan dari Allah agar hamba-Nya mematuhi segala
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Menurut Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, di antara hikmah adanya konsep
nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus
menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dan adanya tahapan dalam penetapan hukum
Islam. Bila tahapan berlakunya suatu hukum telah selesai menurut kehendak Syari’
maka datang tahapan berikutnya, sehingga kemaslahatan manusia tetap terpelihara. (Al-
Buthi: 223-226).
Macam-Macam Nasakh

Para ulama yang mengakui keberadaan nasakh, membagi nasakh menjadi


beberapa macam, diantaranya:
a) Nasakh yang tidak ada gantinya; seperti nasakh terhadap keharusan memberikan
sedekah kepada orang miskin bagi mereka yang akan berbicara dengan Nabi.
b) Nasakh yang ada penggantinya, namun penggantinya tersebut adakalanya lebih
ringan dan adakalanya lebih berat; Seperti pembatalan shalat sebanyak 50 kali,
diganti dengan lima kali saja.
c) Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat, namun hukumnya tetap berlaku, seperti hukum
rajam bagi laki-laki dan perempuan tua yang telah menikah;
d) Nasakh hukum ayat, namun teksnya masih ada, seperti nasakh terhadap keharusan
memberikan sedekah kepada bagi orang miskin bagi mereka yang akan beerbicara
dengan Nabi.
e) Nasakh hukum dan bacaan ayat sekaligus, seperti haramnya menikahi saudara sesusu
itu dengan batasan 10 kali. (H.R. Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah). Hukum dan
bacaan teks tersebut telah dihapus.
f) Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama.
Tarjih

● Pengertian Tarjih
●Berdasarkan definisi di atas dapat diketahui hakikat tarjih dan sekaligus merupakan persyaratan bagi tarjih,
yaitu:
a) dua dalil tersebut berbenturan dan tidak ada kemungkinan untuk mengamalkan keduanya dengan cara apa pun.
Dengan demikian, tidak ada tarjih dan dua dalil yang qath'i karena dua dalil qath'i tidak mungkin saling
berbenturan;
b) kedua dalil yang berbenturan itu sama-sama pantas untuk memberi petunjuk kepada yang dimaksud;
c) ada petunjuk yang mewajibkan beramal dengan salah satu di antara dua dalil dan meninggalkan
dalil yang satu lagi.
Cara Pen-tarjih-an

Langkah-langkah pentarjihan ini dapat dibedakan kepada dua macam yaitu tarjih terhadap dalil-
dalil nash yang masih berlawanan dan tarjih terhadap Qiyas.
● Tarjih antara Dalil Nash Tarjih diantara dalil-dalil ini adalah pada dasarnya berkaitan dengan
dalalah Nash itu sendiri. “Adapun langkah-langkah yang ditempuh yakni :
1. Jika terjadi perlawanan antara al-Nash dan al-Zahir, maka yang diutamakan adalah al-Nash.
2. Mendahulukan al-Mufassar dari al-Nash dilihat dari segi dalalahnya, al- Mufassal lebih kuat dari
al-Nash
3. Mendahulukan al-Muhkam dari al-zahir, al-nash dengan al-mufassar.
4. ‫ا‬Mendahulukan hukum yang disebutkan langsung oleh ibarah nash.
5. Mendahulukan isyarah nash atas dalalah nash dilihat dari tingkatannya maka isyarah nash lebih
kuat dari dalalah nash.
6. mendahulukan dalalah mantuq atas mafhum jika terjadi perlawanan antara dalalah mantuq dan
mafhum.
7. Penggambungan dan pengkompromian Jika alan yang disebutkan di atas tidak dapat dilakukan.
8. Berpaling dari dua dalil yang berlawanan
Thanks!

Anda mungkin juga menyukai