Anda di halaman 1dari 7

NASIKH MANSUKH

Kelompok 7

Dosen pengampu:

Disusun Oleh:

Diva Januarta 23041030080


Muhammad Muzoffar

Program Studi Hukum Pidana Islam


Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
Tahun Akademik 2023
PEMBAHASAN

A. Pengertiaan Nasikh dan Mansukh


1. Makna Nasikh dan ruang lingkupnya
Naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya berarti "Izalatu al-syay I
waa damuhu" (menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti "Naqlu al syay"
(memindahkan dan menyalin sesuatu), berarti "Tabdil" (penggantian), berarti "Tahwil"
(pengalihan)."
Sedangkan Naskh secara istilah mengangkat (mengahapus) hukum syara' dengan
dalil/khithab syara' yang lain". Maksud mengangkat hukum syara adalah terutusnya kaitab
hukum yang Mansukh dengan perbuatan mukallaf Definisi di atas apabila dijelaskan lagi
dapat kita tarik beberapa kesimpulan yakni:
a. Dipastikan Naskh apabila ada 2 (dua) hal yaitu Naskh dan Mansukh
b. Naskh harus turun belakangan dari Mansukh
c. Menilai suatu ayat sebagai penaskh dan yang dinaskhkan apabilan ayat-ayat kontradiktif .
itu tidak dapat dikompromikan dan diamalkan secara bersama sedangkan syarat
kontradiksi;adanya persamaan subjek, objek, waktu dan lain- lain.
d. Al-Nasikh pada hakikatnya adalah Allah, kadang-kadang dimaksud juga dengan ayat
yang menasikh Mansukh. Sedangkan Mansukh hukum yang diangkat atau dihapus

Dari definisi di atas dijelaskan bahwa komponen Naskh terdiri dari: adanya
pernyataan yang menunjukan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada naskh
harus ada Mansukh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya. Dalam naskh diperlukan
syarat yaitu hukum yang Mansukh adalah hukum syara'. dalil pengahpusan hukum tersebut
adalah kitab syar'i yang datang kemudian dari kitab yang dimansukh, dan kitab yang dihapus
atau diangkat hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu. Beranjak dari
keterangan di atas, tentu syarat-syarat tersebut akan dihubungkan langsung dengan hal-hal
mengalami Naskh maka dalam hal ini akan dijelaskan hal- hal yang mengalami Naskh. Naskh
hanya terjadi pada perintah (amr) dan larangan (nahy), baik yang diungkapkan dengan tegas
dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita yang bermaksud perintah atau
larangan, selama tidak terhubung dengan akidah zat Allah dan sifat-sifat Allah, kitab-kitab
Allah, pada rasul, hari kiamat, dan juga tidak terkait dengan etika atau akhlak atau dengan
pokok-pokok ibadah dan muamalat. Sebagaimana pendapat al-Zarqani tentang hal ini
"Definisi Naskh adalah mengangkat hukum syara' dengan dalil hukum syara'.
kesan bahwa Naskh hanya terjadi pada hukum-hukum yang berhubungan dengan furu' ibadah
dan muamalat menurut orang-orang yang mengakui Naskh. Adapun yang berkaitan dengan
akidah, dasar-dasar akhlak dan etika, pokok-pokok ibadah dan muamalat dan berita-berita
mahdhah, maka menurut jumhur ulama tidak terjadi naskh padanya".

Pedoman untuk mengetahui naskh dan Mansukh ada beberapa cara berikut :

1. Ada keterangan pegas pentransimisian yang jelas dari Nabi SAW:


2. Konsensus (Ijma) umat bahwa ayat ini naskh dan ayat Mansukh;
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan histori.

Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad para mujtahid tanpa penukilan
yang shahih, tidak juga penadapat para ahli tafsir atau karena ayat-ayat kontradiktif secara
lahirin, terlambatnya keislaman salah seorang dari dua periwayat. Yang dipegang dalam
masalah ini adalah penukilan yang meyakinkan dan sejarah.
Jadi dapat di simpulkan, Nasikh dan Mansukh merupakan bentuk perubahan dari kata
Nasakh, masdar dari kata kerja nasakh. Kata nasakh sendiri mempunyai banyak makna. Ia
bisa berarti menghilangkan (al-izalah).1
Shihab, melalui penelitiannya menemukan kata nasakh di di dalam Al-Qur’an dalam
berbagai bentuk sebanyak empat kali, yaitu, Q.S Al-Baqarah ayat 106, Al-A’raf ayat 154, Al-
Hajj ayat 52, dan Jatsiyah ayat 29.2
Pengertian Nasakh secara etimologi memiliki beberapa pengertian, yaitu:
penghapusan/pembatalan (al-izalah atau al-ibthal), pemindahan (al-naql).
Pengubahan/penggantian (al-ibdal), dan pengalihan (al-tahwil atau al-intiqal). Berkaitan
dengan pengertian tersebut, maka nasikh (isim fa’il) diartikan sesuatu yang membatalkan,
menghapus, memindahkan, dan memalingkan. Sedangkan mansukh (isim Maf’ul) adalah
sesuatu yang dibatalkan, dihapus,dipindahkan, diganti dan dipalingkan.3

B. Syarat-syarat Nasikh dan Mansukh

1
Manna Khalil al-Qattan, Mabahith Fi‘ Ulum al-Qur’an, diterjemah Mudzakkir, (Bogor, Pustaka
Lentera Antar Nusa, 1996), hlm. 326.
2
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan, (Bandung : Mizan, 2004), h. 143.
3
Supiana dan M. Karman, Ulumul al-Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, (Bandung :
Pustaka Islamika, 2002), h. 149.
Dalam Nasakh terdapat syarat-syarat yang harus diketahui yaitu:
1. Hukum yang Mansukh adalah hukum Shara’
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab shar’i
3. Khitab yang dihapus atau yang diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi)
dengan waktu tertentu.4

Tidak semua syarat disepakati, diantaranya masih ada yang mejadi perselisihan.
a. Syarat-syarat nasakh yang telah disepakati: 5
a. Nasikh harus terpisah dari masnukh.
Kalau tidak terpisah, seperti sifat dan istisna, maka tidak dikatakan nasakh.
b. Nasikh harus lebih kuat atau sama kekuatannya dengan mansukh. Karena
itu, qur’an bias dinasakh dengan qur’an dan hadist mutawatir. Demikian pula
hadist mutawatir dinasakh dengan qur’an dan hadist mutawatir pula.
c. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’.Kalau nasikh bukan dalil
syara’,seperti mati maka tidak disebut nasakh. Tidak adanya hokum terhadap
orang yang sudah mati dapat diketahui akal tanpa petunjuk syara’.
d. Mansukh tidak dibataskan kepada sesuatu waktu.Seperti kebolehan makan
dan minum pada malam hari puasa dibataskan kepada waktu fajar. Kalau
sudah terbit fajar, makan dan minum tidak dibolehkan lagi. Meskipun
menghapuskan kebolehan makan dan minum , namun ,tidak disebut nasakh.
Hukum pertama dengan sendirinya akan hilang, apabila waktu yang
disebutkan telah habis.
e. Mansukh harus hukum-hukum syara’.Yang bisa dibatalkan (mansukh)
hanyalah hukum syara’.Tidak semua nas-nas Qur’an dan hadist dapat
dinasakh. Ada nas-nas yang sudah pasti dan tidak bisa dinasakh sama sekali,
yaitu :
1. Nas-nas yang berisi hukum-hukum pokok, baik yang berhubungan
dengan kepercayaaan dan pokok-pokok ibadah, atau yang berhubungan
dengan pokok-pokok keutamaan, seperti adil, kejujuran dan lain-lain,
atau melarang perbuatan-perbuatan yang hina seperti mempersekutuan

4
Ibid hlm. 334.
5
A.Hanafi, Ushul Fiqh, (Jakarta: AKA Jakarta, 1989), h.93
Tuhan, membunuh, mencuri dan lain-lain.
2. Nas-nas yang berisi hukum-hukum yang abadi seperti firman Tuhan:
“Jangan kamu terima persaksian mereka selamanya”. (An Nur ayat 4)
3. Nas-nas yang berisi pemberitaan sesuatu kejadian baik yang lewat
ataupun yang akan datang, seperti peristiwa Musa dengan Fir’aun, akan
datangnya kiamat dan lain-lain.
Ketiga macam nas tersebut sama sekali tidak bisa dinasakh.

b. Syarat Nasakh yang belum disepakati


Nasikh dan mansukh tidak satu jenis.Yang sudah disepakati ialah,
Qur’an dinasakh dengan Qur’an karena sama-sama qot’i dan hadist dinasakh
dengan hadist pula, sebab sama-sama zhanni. Hadist mutawattir bisa menasakh
Qur’an. Termasuk satu jenis juga, karena sama-sana qot’i. Jadi yang dimaksud
dengan sejenis, ialah sama-sama qot,i atau sama-sama zhanni. Yang belum
disepakati :6
1. Qur’an dinasakh dengan hadist.
2. Hadist dinasakh dengan Qur’an.
3. Adanya hukum baru sebagai pengganti hukum yang dibatalkan.
Hukum

yang ada pada nas yang dinaskhkan adakalanya :


a. Menurut perbuatan, atau
b. Melarang perbuatan, atau
c. Membolehkan perbuatan.

Dalil yang membatalkan (nasikh) adakalanya :


a. Membatalkan hukum-hukum tersebut semata-mata, atau
b. Membatalkan hukum-hukum tersebut dan mengadakan hukum lain,
tetapi tidak lepas dari ketiga macam hukum tersebut, seperti,
menziarahi kuburan yang mula-mula diharamkan, kemudian di
bolehkan. Kalau menghapuskan hukum semata-mata, maka hukum
perbuatan tersebut kembali kepada “ibadah asliyyah” (hukum
kebolehan yang asal) dengan tidak usah memerlukan hukum yang baru.
6
Ibid. hlm 93.
Terserah kepada kita untuk mengerjakan atau meninggalkannya.

C. Jenis-jenis Nasikh dan Mansukh


a. Jenis-jenis Nasikh
b. Jenis-jenis Mansukh

D. Hikmah Nasikh dan Mansukh


Adapun hikmah yang terdapat pada Nasakh adalah sebagai berikut:
1. Mengukuhkan keberadaan Allah, bahwa Allah takkan pernah terikat dengan
ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga jalan
pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah SWT. Allah mampu
melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis.
Tetapi Allah akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nya lah yang akan terjadi,
bukan kehendak kita. Sehingga diharapkan dari keberadaan Nasakh dan
Mansukh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT,
bahwa Dia-lah yang Maha Menentukan.
2. Dengan nasakh dan mansukh ini diharapkan pula kita akan mempunyai
prediksi dan pengertian bahwa Allah itu memang adalah zat yang Maha Bijak,
Maha Kasih, Maha Sayang, bahkan ‚al-Ham al-Rahimin‚, yaitu lebih kasih
dari pada yang berhati kasih dan lebih sayang dari pada siapa saja yang
berhati sayang. Mengapa? Karena memang pada kenyataannya hukum-hukum
Nasakh dan Mansukh tersebut semuanya demi untuk kemaslahatan dan
kebaikan kita.
3. Memelihara ke-maslahatan hamba.
4. Perkembangan tashri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan cobaan dan
ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak menghendaki
kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang
lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke
hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.7

7
Muhammad, Abu Zahroh, al-Shafi’i, Hayatuh Wa ‘Asrah Wa al- Fiqhuh, Jilid II, (Dar al-Fikr, Mesir,
1945), hlm. 240.
DAFTAR PUSTAKA

A.Hanafi, Ushul Fiqh, (Jakarta: AKA Jakarta, 1989),

Khalil al-Qattan, Mabahith Fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemah Mudzakkir, Bogor, Pustaka

Lentera Antar Nusa, 1996.

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,

(Bandung : Mizan, 2004).

Muhammad, Abu Zahroh, al-Shafi’i, Hayatuh Wa ‘Asrah Wa al-Fiqhuh, Jilid II, (Dar al-Fikr,

Mesir, 1945), hlm. 240.

Supiana dan M. Karman, Ulumul al-Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, (Bandung :

Pustaka Islamika, 2002).

Anda mungkin juga menyukai