Kelompok 7
Dosen pengampu:
Disusun Oleh:
Dari definisi di atas dijelaskan bahwa komponen Naskh terdiri dari: adanya
pernyataan yang menunjukan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada naskh
harus ada Mansukh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya. Dalam naskh diperlukan
syarat yaitu hukum yang Mansukh adalah hukum syara'. dalil pengahpusan hukum tersebut
adalah kitab syar'i yang datang kemudian dari kitab yang dimansukh, dan kitab yang dihapus
atau diangkat hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu. Beranjak dari
keterangan di atas, tentu syarat-syarat tersebut akan dihubungkan langsung dengan hal-hal
mengalami Naskh maka dalam hal ini akan dijelaskan hal- hal yang mengalami Naskh. Naskh
hanya terjadi pada perintah (amr) dan larangan (nahy), baik yang diungkapkan dengan tegas
dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita yang bermaksud perintah atau
larangan, selama tidak terhubung dengan akidah zat Allah dan sifat-sifat Allah, kitab-kitab
Allah, pada rasul, hari kiamat, dan juga tidak terkait dengan etika atau akhlak atau dengan
pokok-pokok ibadah dan muamalat. Sebagaimana pendapat al-Zarqani tentang hal ini
"Definisi Naskh adalah mengangkat hukum syara' dengan dalil hukum syara'.
kesan bahwa Naskh hanya terjadi pada hukum-hukum yang berhubungan dengan furu' ibadah
dan muamalat menurut orang-orang yang mengakui Naskh. Adapun yang berkaitan dengan
akidah, dasar-dasar akhlak dan etika, pokok-pokok ibadah dan muamalat dan berita-berita
mahdhah, maka menurut jumhur ulama tidak terjadi naskh padanya".
Pedoman untuk mengetahui naskh dan Mansukh ada beberapa cara berikut :
Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad para mujtahid tanpa penukilan
yang shahih, tidak juga penadapat para ahli tafsir atau karena ayat-ayat kontradiktif secara
lahirin, terlambatnya keislaman salah seorang dari dua periwayat. Yang dipegang dalam
masalah ini adalah penukilan yang meyakinkan dan sejarah.
Jadi dapat di simpulkan, Nasikh dan Mansukh merupakan bentuk perubahan dari kata
Nasakh, masdar dari kata kerja nasakh. Kata nasakh sendiri mempunyai banyak makna. Ia
bisa berarti menghilangkan (al-izalah).1
Shihab, melalui penelitiannya menemukan kata nasakh di di dalam Al-Qur’an dalam
berbagai bentuk sebanyak empat kali, yaitu, Q.S Al-Baqarah ayat 106, Al-A’raf ayat 154, Al-
Hajj ayat 52, dan Jatsiyah ayat 29.2
Pengertian Nasakh secara etimologi memiliki beberapa pengertian, yaitu:
penghapusan/pembatalan (al-izalah atau al-ibthal), pemindahan (al-naql).
Pengubahan/penggantian (al-ibdal), dan pengalihan (al-tahwil atau al-intiqal). Berkaitan
dengan pengertian tersebut, maka nasikh (isim fa’il) diartikan sesuatu yang membatalkan,
menghapus, memindahkan, dan memalingkan. Sedangkan mansukh (isim Maf’ul) adalah
sesuatu yang dibatalkan, dihapus,dipindahkan, diganti dan dipalingkan.3
1
Manna Khalil al-Qattan, Mabahith Fi‘ Ulum al-Qur’an, diterjemah Mudzakkir, (Bogor, Pustaka
Lentera Antar Nusa, 1996), hlm. 326.
2
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan, (Bandung : Mizan, 2004), h. 143.
3
Supiana dan M. Karman, Ulumul al-Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, (Bandung :
Pustaka Islamika, 2002), h. 149.
Dalam Nasakh terdapat syarat-syarat yang harus diketahui yaitu:
1. Hukum yang Mansukh adalah hukum Shara’
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab shar’i
3. Khitab yang dihapus atau yang diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi)
dengan waktu tertentu.4
Tidak semua syarat disepakati, diantaranya masih ada yang mejadi perselisihan.
a. Syarat-syarat nasakh yang telah disepakati: 5
a. Nasikh harus terpisah dari masnukh.
Kalau tidak terpisah, seperti sifat dan istisna, maka tidak dikatakan nasakh.
b. Nasikh harus lebih kuat atau sama kekuatannya dengan mansukh. Karena
itu, qur’an bias dinasakh dengan qur’an dan hadist mutawatir. Demikian pula
hadist mutawatir dinasakh dengan qur’an dan hadist mutawatir pula.
c. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’.Kalau nasikh bukan dalil
syara’,seperti mati maka tidak disebut nasakh. Tidak adanya hokum terhadap
orang yang sudah mati dapat diketahui akal tanpa petunjuk syara’.
d. Mansukh tidak dibataskan kepada sesuatu waktu.Seperti kebolehan makan
dan minum pada malam hari puasa dibataskan kepada waktu fajar. Kalau
sudah terbit fajar, makan dan minum tidak dibolehkan lagi. Meskipun
menghapuskan kebolehan makan dan minum , namun ,tidak disebut nasakh.
Hukum pertama dengan sendirinya akan hilang, apabila waktu yang
disebutkan telah habis.
e. Mansukh harus hukum-hukum syara’.Yang bisa dibatalkan (mansukh)
hanyalah hukum syara’.Tidak semua nas-nas Qur’an dan hadist dapat
dinasakh. Ada nas-nas yang sudah pasti dan tidak bisa dinasakh sama sekali,
yaitu :
1. Nas-nas yang berisi hukum-hukum pokok, baik yang berhubungan
dengan kepercayaaan dan pokok-pokok ibadah, atau yang berhubungan
dengan pokok-pokok keutamaan, seperti adil, kejujuran dan lain-lain,
atau melarang perbuatan-perbuatan yang hina seperti mempersekutuan
4
Ibid hlm. 334.
5
A.Hanafi, Ushul Fiqh, (Jakarta: AKA Jakarta, 1989), h.93
Tuhan, membunuh, mencuri dan lain-lain.
2. Nas-nas yang berisi hukum-hukum yang abadi seperti firman Tuhan:
“Jangan kamu terima persaksian mereka selamanya”. (An Nur ayat 4)
3. Nas-nas yang berisi pemberitaan sesuatu kejadian baik yang lewat
ataupun yang akan datang, seperti peristiwa Musa dengan Fir’aun, akan
datangnya kiamat dan lain-lain.
Ketiga macam nas tersebut sama sekali tidak bisa dinasakh.
7
Muhammad, Abu Zahroh, al-Shafi’i, Hayatuh Wa ‘Asrah Wa al- Fiqhuh, Jilid II, (Dar al-Fikr, Mesir,
1945), hlm. 240.
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
Muhammad, Abu Zahroh, al-Shafi’i, Hayatuh Wa ‘Asrah Wa al-Fiqhuh, Jilid II, (Dar al-Fikr,
Supiana dan M. Karman, Ulumul al-Quran dan Pengenalan Metode Tafsir, (Bandung :