A. Pengertian
Nasakh menurut bahasa artinya menghapus atau memindahkan. ‘Abdul
Wahhab Khallaf memberikan definisi bahwa nasakh menurut para ahli ilmu ushul
fiqh ialah: pembatalan pemberlakuan hukum syar’i dengan dalil yang datang
belakangan dari hukum yang sebelumnya, yang menunjukkan pembatalannya baik
secara terang-terangan atau secara kandungannya saja, baik pembatalan secara
umum ataupun pembatalan sebagian saja karena suatu kemaslahatan yang
menghendakinya. Sedang menurut al Syatibi dari kalangan ulama Maliki, nasakh
ialah:
متأخر
ٍ رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي
Menghapus hukum syara dengan dalil yang datang kemudian
Secara sederhana nasakh adalah menghapus hukum syara’ yang sudah ada
dengan mengganti hukum syara’ baru yang datang setelah hukum tersebut. Yang
dimaksud menghapus di sini adalah menghapus keterkaitan hukum tersebut dengan
perbuatan mukallaf. Dari definisi tersebut, nasakh bisa terjadi bila memenuhi
kriteria berikut ini:
1. Hukum yang dihapus atau diganti adalah hukum syara’. Karena itu
penghapusan hukum akal tidak disebut nasakh. Contoh, Seseorang diwajibkan
shalat karena ada dalil ayat al-Qur’an. Secara akal, sebelum dalil al-Qur’an itu
datang shalat hukumnya tidak wajib. Maka pergantian hukum tidak wajibnya
shalat menjadi wajib tidak disebut nasakh.
2. Penghapusan atau penggantian hukum tersebut disebabkan karena tuntutan
syara’. Dengan demikian penghapusan hukum yang disebabkan karena
kematian, lupa, gila atau ketidakmampuan tidak disebut nasakh.
3. Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian,
istitsna’ (pengecualian) tidak disebut nasakh.
4. Terjadinya naskh dengan jalan yang seandainya khithab/titah penunjuk tersebut
tidak ada maka khithab terdahulu masih berlaku. Hal ini mengecualikan adanya
penghapusan hukum pada dalil yang pertama dibatasi adanya ghoyah dan illat.
Sedangkan dalil ke dua menunjukkan sampainya ghoyah (batas akhir), atau
hilangnya illat (alasan hukum).
Contoh sampainya ghoyah: pertama, QS. Al Jumu’ah: 9. Kedua, QS. Al
Jumu’ah: 10 (lihat al Qur`an). Jual beli yang semula hukumnya haram, berubah
menjadi boleh, bukan karena adanya dalil ayat ke dua. Akan tetapi karena telah
sampainya ghoyah (batas akhir) sebagaimana dipahami dari ayat pertama.Yaitu
bahwa jual beli diharamkan selama berlangsung shalat Jum’at. Sehingga ketika
selesai sholat, maka hukum haram menjadi hilang, dan berganti mubah. Hal ini
bukan termasuk nasakh.
Sedangkan contoh hilangnya illat, sebagaimana haramnya berburu disebabkan
karena sedang ihram (sebagai illat). Kemudian ketika hilangnya illat yaitu
ihram maka hukum berburu menjadi boleh.
B. Syarat Nasakh
1. Hukum yang di-naskh merupakan hukum syariat
2. Hukum tersebut menerima naskh.
Terdapat tiga macam bentuk hukum yang tidak menerima naskh. Pertama;
sesuatu yang telah menjadi ketetapan nash secara langsung dan tegas atas
kelanggengannya. Kedua; syariat Nabi Muhammad saw. yang tetap sampai
batas terputusnya wahyu, kemudian Nabi Muhammad saw. mencabutnya.
Ketiga; hukum yang dibatasi dengan limit waktu.
3. Dalil yang me-naskh terpisah dan datang kemudian
Jika terdapat dalil yang bersambung dan secara waktu bersamaan seperti syarat,
sifat dan istitsnâ’ tidaklah dikatakan sebagai dalil naskh, melainkan itu sebagai
takhshîsh atau penjelas hukum yang pertama.
4. Dalil yang me-naskh adalah titah syar’î, artinya dalil yang me-naskh harus
berupa titah yang datang dari pencipta syariat yaitu al-Quran dan hadits.
5. Dalil yang me-naskh harus kuat
Dalil yang me-naskh kukum tersebut harus lebih kuat dari pada yang di-naskh
atau setidaknya sama.
6. Dalil yang me-naskh tidak mungkin dikompromikan
C. Macam-macam Nasakh
Macam-macam nasakh dilihat dari nash yang mansukh (dihapus)
1. Dinasakh dalam kitab bacaannya, tetapi hukumnya tetap. Seperti hukuman
rajam bagi pezina muhshan.
2. Dinasakh hukumnya, tetapi bacaanya tetap. Seperti masa iddah wafat, QS. Al
Baqarah: 240 dinasakh dengan QS. Al Baqarah: 234
3. Dinasakh bacaan beserta hukumnya bersama-sama. Seperti hadis Muslim dari
Aisyah ra. Yang menyatakan bahwa: “menurut ayat yang pernah diturunkan
sepuluh kali menyusu yang diketahui itu menjadikan haram. Kemudian
dinasakh dengan lima kali menyusu yang diketahui itu menjadikan haram”.
4. Nasakh sunnah dengan sunnah. Misalnya hadis Muslim yang menyatakan:
Rasulullah saw bersabda, “aku pernah melarang kamu berziarah kubur,
ingatlah, ziarahlah ke kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur mengingatkan
kamu akan kehidupan akhirat”.
5. Nasakh sunnah dengan al Qur`an. Seperti menasakh menghadap Baitul Maqdis.
HR. Muttafaq ‘alaih dinasakh oleh QS. Al Baqarah: 144
E. Pandangan Ulama
Pendapat pertama menyatakan bahwa di dalam al-Qur`an ada nasikh-
mansukh. Dipelopori oleh: asy-Syafi’i, as-Suyuti, dan asy-Syaukani dengan dasar
QS. Al Baqarah: 106 dan QS. An-Nahl: 101
Pendapat kedua menyatakan bahwa di dalam al-Qur`an tidak ada nasikh-
mansukh. Dipelopori oleh: Abu Muslim Isfahan, al Fakhrur Razi, Rasyid Ridha,
dan Muhammad Abduh dengan dasar QS. Al Kahfi: 27