Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-qur’an bersumber dari Allah, baik lafaz maupun maknanya, maka di
dalamnya tidak akan ditemukan kontradiksi. Dan berdasarkan ayat ini pula umat
islam memegang teguh prinsip dan meyakini kebenarannya. Namun demikian,
jika ditemukan adanya kontradiksi dalam Al-Qur’an, hal ini disebabkan
pemahaman para ulama yang berbeda dalam memahami ayat yang seolah-olah
(secara zahir) menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari sinilah muncul
adanya pembahasan nasikh mansukh.
Walau demikian, perlu digarisbawahi bahwa para ulama telah menyepakati
tidak ditemukan ikhtikaf (kontradiksi) dalam kandungan ayat-ayat Al-Qur’an.
Dalam menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu dinilai memiliki gejala
kontradiksi, mereka mempromosikannya. Hal tersebut dilakukan oleh salah satu
pihak tanpa menyatakan adanya alat yang telah dibatalkan, dihapus, atau bahkan
tidak berlaku lagi. Tetapi, ada pula yang menyatakan bahwa ayat yang turun
kemudian telah membatalkan ayat sebelumnya, akibat perubahan kondisi sosial.

B. Rumusan Masalah
Dengan adanya latar belakang dapat disimpulkan rumusan masalah seperti
berikut :

1. Apa pengertian nasikh dan mansukh?


2. Bagaimana klasifikasi nasikh dan mansukh?
3. Apa perbedaan antara nasikh dan Takhsis?
4. Bagaimana pendapat para ulama tentang nasikh dan mansukh?

1
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah selain memenuhi tugas dosen, dalam
pengambilan nilai, juga dijadikan bahan diskusi kelompok pada mata kuliah
Ulumul Quran. Adapun tujuan lain dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui Pengertian Nasikh Dan Mansukh
2. Mengetahui Klasifikasi Nasikh Dan Mansukh
3. Mengetahui Perbedaan Antara Nasikh Dan Takhsis
4. Mengetahui Pendapat Para Ulama Tentang Nasikh Dan Mansukh?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasikh Wal Mansukh
Al-Qattan berkata, istilah nasikh menurut bahasa berarti izalah yakni
menghilangkan. Misalnya nasakhati ayamsu az-zilla ( matahari menghilangkan
bayang-bayangan ). Selanjutnya, Al-Qattan menyebutkan bahwa kata nasikh juga
dipergunakan untuk menghapuskan jejak pertahanan. Juga bermakna
memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain.
Lebih lanjut Rosihin Anwar dengan mengutip beberapa ulama ulumul qur’an,
seperti Az-Zarqani As-Suyuthi bahwa selain bermakna tersebut diatas, nasikh juga
bermakna tabdil yang artinya penggantian, tahwil yang berarti memalingkan, dan
naql yang berarti memindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Menurut Quraish Shihab, secara etimologis kata nasikh dipakai untuk
beberapa makna, antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan sesuatu dari
suatu wadah ke wadah yang lain. Oleh karena sesuatu yang bermakna yang
membatalkan, menghapus, memindahkan dan sebagainya, dinamai nasikh.
Adapun yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya dinamakan
mansukh.1
Adapun pengertian nasikh sacara termonologis (istilah) sebagaimana
dikemukakan oleh Manna’khalil al-qattan adalah mengangkat(menghapuskan)
hukum syarak dengan dalil hukum (khitab) syarak yang lain. Adapula yang
mendefinisikan nasikh adalah menghapuskan hukum syarak dengan khitab syarak
pula. Maksud menghapuskan di sini adalah terputusnya hubungan hukum yang
dihapus dari seseorang mukalaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu
sendiri.
Para ulama mutaqadimin yakni para ulama yang hidup sekitar abad ke-1
sampai dengan abad ke-3 hijriah, sebagaimana dikemukakan oleh Asy-Syaitibi
dalam Al-Mufawaqat Fi Usul Asy-Syari’ahb yang dikutip oleh Quraish Shihab,
memperluas makna nasikh sehingga mencakup beberapa hal berikut :

1
Gunawan, Heri Dan Deden Suparman, Ulumul Quran (Studi-Studi Ilmu Al Qur’an),Bandung:
CV Arfino Raya,2015,Hlm. 108

3
1. Pembatalan hukum yang ditetapakan terdahulu oleh hukum yang ditetapakan
kemudian;
2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus
yang datang kemudian;
3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar,
4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Bahkan menurut Muhammad Abd. Azhim al-Zarqaniy, seperti juga yang
dikemukakan oleh Quraish Shihab, diantara mereka ada yang beranggapan, bahwa
suatu ketetapan hukum yang ditetapkan berdasarkan suatu kondisi tertentu telah
menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda. Misal, perintah untuk
bersabar dan menahan diri, pada periode Makkah disaat kaum muslimin masih
dalam keadaan lemah, dianggap telah dinasakh oleh perintah atau izin berperang
pada periode Madinah.2

Sementara itu, para ulama mutaakhirin (para ulama yang datang kemudian
sebagaimana dikemukakan oleh Quraish Shihab, bahwa nasikh itu terbatas pada
ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau
menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga
ketentuan hukum yang berlaku adalah hal yang ditetapkan diakhir.
Dalam pandangan kelompok yang pro-nasakh mensinyalir, bahwa penetapan
maupun pencabutan suatu hukum oleh al-Qur’an terhadap ayat al-Qur’an lain
didasarkan oleh pertimbangan kemaslahatan. Sehingga, dalam konteks ini, ada
yang menganalogikannya dengan turunnya al-Qur’an kepada nabi secara
berangsur-angsur. Ayat al-Qur’an, diturunkan oleh Allah sesuai dengan realitas
yang berkembang serta memperhatikan kesanggupan umat manusia yang mukallaf
terhadap pesan yang dibawa oleh al-Qur’an itu sendiri.3
Adapun yang dimaksud dengan mansukh adalah hukum yang diangkat atau
dihapuskan atau mansukh bermakna hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau
dipindahkan.

2
Dr. Usman, M.Ag. Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009) Hal. 259.
3
Ibid, hal.261.

4
Rukun dan Syarat Naskh

1. Adat Naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan


hukum yang telah ada.
2. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada
hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dia-lah yang membuat
hukum dan Dia pula lah yang menghapusnya.
3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan atau dipindahkan.
4. Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat naskh adalah

1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’


2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu
pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa
tidak berarti dinaskh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.
Dengan demikian, ada dua lapangan yang tidak menerima nasakh, yaitu:

a. Seluruh khabar/aqidah baik dalam al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sebab,


pembatalan khabar berarti mendustakan khabar itu sendiri pula.
Sedangkan al-Qur’an dan as-Sunnah tidak mungkin berbohong.
b. Hukum-hukum yang disyariatkan secara abadi.4

B. Klasifikasi Nasikh Wal Mansukh


Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam al-Qur’an dibagi
menjadi empat macam yaitu:
1. Naskh sharih, yaitu ayat yang jelas menghapus hukum yang terdapat pada
ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat al-anfal
yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir:

4
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. Ulum Al-Qur’an. (Bandung: Pustaka Setia, 2007). Hal.165-166.

5
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua
pulub orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan
dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang sabar diantara kamu, mereka
dapat mengalahkan seribu kafir, sebab orang-orang kafir adalah kaum yang tidak
mengerti.”(QS. Al-Anfal:65)

Yang kemudian dinasakh oleh ayat selanjutnya

“Sekarang, Allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu
memiliki kelemahan. Maka jika diantara kamu ada seratus orang yang sabar,
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantara
kamu terdapat seribu orang yang sabar, mereka akan dapat mengalahkan dua
ribu orang kafir.” (QS. Al-Anfal:66)

2. Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan,
dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama,
serta keduanya diketahui waktu turunnya, ayat yang kemudian menghapus ayat-
ayat terdahulunya. Contohnya: ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi
orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat al-Baqarah 180.
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu-
bapak serta karib-kerabatnya secara ma’ruf.”

Menurut pendukung teori nasikh-mansukh ayat ini dinaskh oleh hadis “la
wahiyyah li waris” (Tidak ada wasiat bagi ahli waris).

3. Nash kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.


Contoh: ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat al-Baqarah ayat
234 dinaskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 di surat yang sama.
4. Naskh juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua
individu dengan hukum yang hanya berlaku pada sebagian individu. Contohnya,
hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi
pada surat An-Nur ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat

6
kali dengan nama Allah jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam
surat yang sama.5
Ditinjau dari keberadaan ayat dan hukumnya, nasikh dan mansukh dalam Al-
Quran dapat dibagi menjadi tiga:
1. Penghapusan Hukum Dan Bacaan Secara Bersamaan (nasikh al-hukmi wa
at-tilawah ma’a)
Ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan
diamalkan. Misalnya disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a
"Diriwayatkan dari 'Aisyah, dia berkata: Adalah di antara yang diturunkan
dari Al-Qur'an adalah sepuluh kali susuan yang maklum (jelas diketahui) itu
menyebabkan mahram, kemudian ketentuan ini dinasakh dengan lima kali susuan
yang maklum, sampai Rasulullah SAW wafat lima kali susuan ini termasuk ayat
Al-Qur'an yang dibaca." (H.R. Muslim)

Maksud dari hadist diatas, bahwa ketentuan tentang susunan ini tidak ada lagi
di dalam Al-Qur’an, baik bacan maupun hukumnya. Naskh ayat tentang radha’ah
itu tidak sampai kepada semua orang, sehingga sampai Rasulullah SAW wafat
masih ada yang membacanya. Karena sudah di nasakh tilawahnya, maka ayat
tersebut tidak terdapat di dalam mushaf ‘Utsmani’.

2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaan tetap ada (nasikh


al-hukmi wa tilawatuha yabqa)
Misalnya, ajarkan para penyembah berhala dari kelompok musyrikin kepada
orang-orang muslim untuk bergantian dalam beribadah telah dihapus oleh ayat
qital. Contoh nasikh jenis ini adaah (surat al-mujadilah ayat 12) dinasakh oleh
surat yang sama ayat 13 berikutnya. Yang dinasakh hanya hukumnya, sedangkan
tilawah keduanya tetap ada dalam mushf ‘Utsmani’.

"Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan


khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang
miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih
bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka
5
Ibid, hal. 173-175

7
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-
Mujâdilah 58: 12)
"Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah
sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-Mujâdilah 58: 13)
Hukum memberikan sedekah terlebih dahulu kepada orang miskin sebagai
syarat untuk rasulullah saw pada ayat 12 diatas, dinasakh oleh ayat 13
berikutnya sebagai keringanan bagi umat.
3. Penghapusan terhadap tilawah atau bacaanya saja, sedangkan hukumnya
tetap berlaku (nasikh at-tilawah, wa hukmuha yabqa)
Contoh naskh jenis ini adalah apa yang diriwayatkan dari umar bin khatab dan
ubayya ibn ka’ab bahwa keduanya berkata, diantara ayat yang pernah diturunkan
adalah ayat:

"Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina maka


rajamlah keduanya dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana" (H. R. Ibnu Hibban dan Ibn Majah)

Hukum rajam masih berlaku tetapi ayat tersebut adalah dinasakh sehingga
tidak ditemukan dalam mushaf ‘Utsmani’.6
C. Perbedaan Nasakh dengan Takhsis
Nasakh dan takhsis memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaanya antara
lain, terletak pada fungsinya, yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum.
Keduanya berfungsi untuk menghususkan sebagian kandungan dari suatu lafadz.
Hanya saja, takhsis lebih khusus pada pembatasan berlakunya hukum yang umum,
sedangkan nasakh menekankan pembatasan suatu hukum pada masa tertentu.

Adapun perbedaan diantara keduanya adalah: takhsis merupakan penjelasan


mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai
dengan lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau
6
Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur’an, Yogyakarta, ITQAN Publishing, 2014, Hlm 181-185

8
membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang
sebelunya telah berlaku. (Al-Bukhari : 876)

Penjelasan yang lebih rinci dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang perbedaan


di antara keduanya: (Al-Ghazali : 71, Al-Amidi : 165)

a. Thaksis bisa dilakukan terhadap lafadz yang belakangan dan bisa pula
terhadap lafadz yang datang beriringan (datang belakangan). Sedangkan nasakh
mutlaq hanya bisa dilakukan melalui lafadz yang datang kemudian.
b. Thaksis bisa dilakukan baik dengan dalil naqli maupun dengan dalil aqli,
sedangkan nasakh hanya bisa dilakukan dengan dalil naqli saja.
c. Takhsis tidak berlaku pada perintah (amr) yang mengandung suatu perintah
saja, seperti “Berilah si fulan:, sedangkan nasakh bisa dilakukan dapa kasus
seperti itu.
d. Lafadz yang umum tetapada sesuai keumumanya walaupun setelah di-
takhsis, sedangkan lafadz yang di-nasakh tidak berlaku lagi.
e. Dibolehkan men-takhsis lafadz yang qath’i dengan qiyas hadis ahad, dan
dalil-dalil syara’ lainya (pendapat ini masih diperselisihkan dikalangan para
ulama). Sedangkan dalam nasakh tidak boleh men-takhsis suatu lafadz yang
qath’i, kecuali dengan lafadz yang qath’i pula.

D. Pendapat Ulama Tentang Nasikh Dan Mansukh


Terjadi perbedaan pendapat di kalangan yang menerima adanya nasikh
mansukh dan ada pula yang menolaknya. Kedua kelompok ulama ini memberikan
argumentasinya masing-masing, sebagaimana dijelaskan berikut ini:

1. Kelompok Yang Menolak Adanya Nasikh Dalam Al-Qur’an

Kelompok pertama adalah kelompok yang menolak keberadaan nasikh dalam


Al-Qur’an. Di antaranya adalah Abu Muslim Al-Asfahani dan Iman Ar-Raji.

Menurut al-ashafani bahwa secara logika nasikh bisa saja terjadi, tetapi tidak
mungkin terjadi pula itu ditinjau dari syariat. Selanjutnya al-ashafani sebagaimana
dikutip ash-shidiqy berkata, jika ada hukum dalam al-qur’an dan ada ayat yang
telah dimansukh berarti membatalkan sebagian isinya. Membatalkan itu berarti

9
menetapkan bahwa dalam Alquran ada yang batal atau salah. Oleh karena itu, ia
dengan tegas menolak sepenuhnya nasikh dalam Alquran. Hal ini berdasarkan
ayat Alquran “

Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari
belakang (pada masa lalu dan yang akan dating, yang diturunkan dari tuhan yang
bijaksana, maha terpuji.” (QS Fushilat :41-42)

Lebih lanjut Asfahani berkata, mengingatkan bahwa Alquran itu syariat yang
diabadikan hingga hari kiamat dan menjadi hujjah atas manusia sepanjang masa,
maka tidaklah pantas jika padanya ada ayat ayat yang mansukh. Kalau sunnah
boleh saja dinasikh, karena ia sebagiannya datang untuk seketika saja, lalu
dinasikh dengan sunnah yang datang sesudahnya. Dan mengingatkan bahwa
kandungan Alquran bersifat kulliyah (general), bukan juziyyah (lebih khusus).
Hukum-hukum yang diterangkan juga bersifat ijmali (umum), bukan secara tafsili
(terperinci). Dengan demikian, menurutnya hukum-hukum Alquran tidak akan ada
yang dibatalkan atau dinasikh untuk selamanya. Dan ayat-ayat tentang nasikh
semua ia tasiskan.

Adanya kelompok ulama yang menolak adanya nasikh dalam Alquran ini,
karena mereka berbeda pendapat ketika menafsirkan kata (ayat) yang terdapat
dalam surat (Albaqarah ayat 106) di atas. Mereka mengatakan bahwa ayat yang
dimaksud adalah mukjizat para nabi. Selanjutnya untuk memperkuat argumentasi
ini, mereka mengemukakan firman Allah yang artinya sebagai berikut “Tidak
datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari
belakangnya, (karena) ia diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji.” (QS. Fushilat: 42).

Menurut al-Ashfani, bertolak dari ayat diatas, al-Qur’an tidak mungkin


disentuh pembatalan. Sudah tentu, mayoritas ulama’ merasa keberatan terhadap
pendapat al-Ashfani, sebab bagi mereka, ayat tersebut tidak berbicara tentang
“pembatalan”, tetapi tentang “kebatilan” yang merupakan lawan dari “kebenaran”.
Juga, menurut mereka, hukum Tuhan yang dibatalkannya tidak mengandung

10
keharusan bahwa hukum itu batil, sebab suatu yang dibatalkan penggunaannya
ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu, bukan berarti
hukum itu menjadi tidak benar.

Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menyimpulkan, bahwa semua ayat al-Qur’an
pada dasarnya berlaku. Ayat hukum yang tidak kondusif (berlaku) pada suatu
waktu, pada waktu yang lain akan tetap berlaku bagi orang-orang yang memiliki
kesesuaian kondisi dengan apa yang ditunjuk oleh ayat yang bersangkutan.

2. Kelompok yang Menerima Adanya Nasikh Mansukh dalam Alquran\

Kelompok kedua ini diikuti oleh mayoritas jumhur ulama untuk memperkuat
pendapatnya, kelompok ini mengemukakan berbagai argumentasi, baik yang
bersifat aqliyah (berasal dari rasio) maupun naqliyah (berasal dari Alquran) :

a. Bahwa perbuatan – perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan


tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada sewaktu-waktu dan melarang
pada sewaktu-waktu yang lain. Karena hanya Dia-lah yang lebih mengetahui
kepentingan hukumnya.

b. Nas-nas kitab (Alquran) dan sunnah menganjurkan adanya kebolehan nas


dan terjadinya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan adalah Firman Allah
berikut.“

“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan,pasti Kami ganti
dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu
bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (Q.S.Al-Baqarah {2{:106)

“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya
terdapat Ummul-Kitab.” (Q.S.Ar-Rad{13}:39)

Berdasarkan dua ayat di atas, dapat dipahami bahwa dalam Al-Qur’an itu
terdapat nasikh. Dan menurut mereka maksud kata ”ayat” yang di-nasikh itu
adalah ayat Al-Qur’an yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum.

11
Gagasan lain yang diungkapkan oleh para ulama yang mendukung adanya
nasikh dalam Al-Qur’an adalah penerapan perintah-perintah tertentu kepada kaum
muslimin di dalam Al-Qur’an hanya bersifat sementara dan jika keadaan telah
berubah, perintah dihapus dan diganti dengan perintah yang baru. Akan tetapi,
karena perintah-perintah itu adalah kalam Allah ia harus dbaca sebagai bagian dari
Al-Qur’an.

Perbedaan pendapat tentang ada dan tidaknya nasikh, menurut para ahli
disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang ayat-ayat hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an. Sebagamana dilansirkan oleh Rosihon Anwar,Ibn Kasir, Al-
Maragi, dan Al-Asfahani memiliki perbedaan diametral dalam memandang
persoalan nasikh. Ibn Kasir dan Al-Marag menetapkan adanya pembatalan hukum
dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, Al-Asfahani dengan tegas menyebutkan bahwa Al-
Qur’an tidak mungkin disentuh pembatalan meskpun pada umumnya dia sepakat
tentang adanya, (a) pengecualian Ibn Kasir memandang ketiga hal tersebut
sebagai nasikh, sedangkan Al-Asfahani mengatakan bukan naskh, tetapi takhsis
(pengkhususan) karena menurutnya tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Jika
memang dalam Al-Qur’an ditemukan hukum yang bersifat umum, untuk
mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pen-takhsis-khukum yang bersifat
umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian, (b) penjelasan susulan
terhadap hukum terdahulu yang ambigu, (c) penetapan syarat terhadap hukum
yang terdahulu yang belum bersyarat.

Ibn Kasir memandang ketiga hal tersebut sebagai nasikh, sedangkan Al-
Asfahani mengatakan bukan nasikh, tetap takhsis (pengkhususan) karena
menurutnya tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Jika memang dalam Al-Qur’an
ditemukan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat
dilakukan proses pen-takhsis-an. Dengan demikian, menurutnya, takhsis adalah
mengeluarkan sebagian satuan dari satua-satuan yang tercakup dalam lafadz yang
‘amm.

12
Selanjutnya, Muhammmad Abduh dalam Rasyid Ridho menolak adanya
nasikh dalam arti pembatalan. Ia lebih setuju dengan adanya “tabdil” yang
bermakna penggantian, pengalihan, pemindahan ayat huum ditempat ayat hukum
yang lain. Dengan demikian, pemahaman Abduh di sini sama dengan sebagian
definisi nasikh diatas, yakni “pemindahan sesutu dari satu wadah ke wadah yang
lain.” Berdasarkan pendapatnya ini, seua ayat Al-Qur’an tetap berlaku, dan di
dalamnya tidak ada kontadiksi, yang ada hanyalah pergantian hukum bagi
masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian,
ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya tetap dapat berlaku bagi orang lain
yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula. Pemahaman demikian akan
sangat membantu dakwah Islam sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap
dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi
umat Islam pada masa awal Islam.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun pengertian nasikh adalah mengangkat (menghapuskan) hukum syarak
dengan dalil hukum (khitab) syarak yang lain. Adapula yang mendefinisikan
nasikh adalah menghapuskan hukum syarak dengan khitab syarak pula. Adapun
yang dimaksud dengan mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan
atau mansukh bermakna hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
Pendapat ulama’ tentang nasikh mansukh, ada yang menolak adanya Nasikh
dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah Abu Muslim Al-Asfahani dan Iman Ar-
Raji. Dan kelompok yang menerima adanya Nasikh Mansukh dalam Alquran
yang diikuti oleh mayoritas jumhur ulama.

14
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Heri Dan Deden Suparman, 2015, Ulumul Quran (Studi-Studi Ilmu Al
Qur’an),Bandung: CV Arfino Raya.

Ilyas, Yunahar, 2014, Kuliah Ulumul Qur’an, Yogyakarta, ITQAN Publishing.

Usman, Ulumul Qur’an. 2009.Yogyakarta, Penerbit Teras,


Anwar, Rosihon, Ulum Al-Qur’an. 2007.Bandung, Pustaka Setia.

15

Anda mungkin juga menyukai