Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha


Kuasa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada
kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini tepat pada waktunya meskipun dalam bentuk maupun isinya
yang sangat sederhana. Harapan kami semoga makalah ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman, juga membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga untuk kedepannya
kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini dengan
lebih baik.

Kami menyadari bahwa maklah ini masih jauh dari


sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah
Yang Maha Kuasa senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi
Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi
umat manusia untuk mencapai kebahagiaannya di dunia dan di
akhirat. Dari awal hingga akhir, Al-Qur'an merupakan kesatuan
utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Dalam Al-
Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al-Qur’an
memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan
dengan keimanan, Ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita,
seruan kepada uma tmanusia untuk beriman dan bertaqwa,
memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain lain.
Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam
penjelasan Al Qur’an ada yang dikemukakan secara terperinci,
ada pula yang garis besarnya saja, Ada yang khusus, ada yang
masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang sepintas
lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut
Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat tentang
bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul
pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu :
1) Apa pengertian Nasih dan Mansukh
2) Apa saja syarat-syarat Nasakh
3) Apa saja pembagian Nasakh?
4) Bagaimana ruang lingkup Nasakh?
5) Apa hikmah adanya Nasakh dalam Al-Quran?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:
1) Untuk mengetahui Nasih dan Mansukh.

1
M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994), hal. 143

2
2) Untuk mengetahui syarat-syarat Nasakh.
3) Untuk mengetahui pembagian Nasakh.
4) Untuk mengetahui ruang lingkup Nasakh.
5) Untuk mengetahui hikmah adanya Nasakh dalam Al-
Quran.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh


Dari segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an
mengemukakan arti kata nasakh dalam beberapa makna,
diantaranya adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari
suatu tempat ke tempat lain, mengganti atau menukar,
membatalkan atau mengubah, dan pengalihan. 2. Nasakh dalam
istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah membatalkan hukum
syar’i dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan
pembatalan, secara tersurat atau tersirat, baik pembatalan secara
keseluruhan ataupun pembatalan sebagian, menurut keperluan
yang ada. Atau: Melahirkan dalil yang dating kemudian yang
secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.3
Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa
definisi sebagai berikut:

1) Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah:


‫رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي‬
“Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab
(dalil) syara’ yang lain”

2) Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:

‫رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر‬

“Mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’


yang lain yang datang kemudian”.4

2
Usman. Ulumul Qur’an (Yogyakarta: TERAS, 2009), hal. 256
3
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, ( Bandung: Gema Risalah Press, 1997 ),
hlm. 391
4
Academia.edu, “ Hadis Nasikh Mansukh” hal. 3, diakses dari
https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 24 Oktober 2018

4
Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H)
memperluas arti Nasikh sehingga mencakup beberapa hal
sebagai berikut:
1) Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh
hukum yang ditetapkan kemudian.
2) Pengecualian hukum yang bersifat oleh hukum yang bersifat
khusus yang datang kemudian.
3) Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat
samar.
4) Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum
bersyarat.5

Hal yang demikian luas dipersempit oleh ulama’ yang


datang kemudian (mutaakhkhirin). Menurut mereka nasakh
terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna
membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan
hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.6
Pengertian mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang
dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/dinukil.
Sedangkan menurut istilah para ulama’, mansukh ialah hukum
syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum
diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil
syara’ baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan
hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan
yang baru, karena adanya situasi dan kondisi yang menghendaki
perubahan dan penggantian hukum.7

B. Syarat- Syarat Nasakh

5
Referensi Makalah ,” Diskursus Pendapat Ulama Tentang Nasikh” diakses dari
http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-nasikh.html/ pada tanggal 24
Oktober 2018
6
Muhammad Chirzin. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hal. 40
7
Abdul Djalal. Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012), hal. 122

5
Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh,
perlu diketahui syarat-syarat nasakh. Syarat-syarat nasakh yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa
hukum yang dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang
bersifat ‘amali, tidak terikat atau tidak dibatasi dengan waktu
tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu maka hukum akan
berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Karena itu, maka
yang demikian itu tidak dapat dinamakan dengan nasakh. Di
samping itu, mansukh (ayat yang dihapus) tidak bersifat “ajeg”
secara nashshi, dan ayat yang mansukh itu lebih dahulu
diturunkan daripada ayat yang nasikh (menghapus).
2. Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus),
dengan syarat, datangnya dari Syari’ (Allah) atau dan
Rasulullah s.a.w. sendiri yang bertugas menyampaikan wahyu
dari Allah. Sebab penghapusan sesuatu hukum tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan ijma’ (konsensus) ataupun
qiyas (analogi).
3. Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-
kadang ketentuan hukum yang dihapus itu berupa al-Qur’an dan
kadang-kadang pula berupa sunnah.
4. Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah
orang-orang yang sudah aqil-baligh atau mukallaf), karena yang
menjadi sasaran hukum yang menghapus dan atau yang dihapus
itu adalah tertuju kepada mereka.8

Sedang ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy mengemukakan, bahwa


nasakh baru dapat dilakukan apabila :
a. Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan
tidak dapat dikompromikan, serta tidak dapat diamalkan secara
sekaligus dalam segala segi.

8
Usman. Ulumul Qur’an….., hal. 262

6
b. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya
belakangan daripada ketetapan hukum syara’ yang diangkat
atau dihapus.
c. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-
ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu diturunkan ditetapkan
sebagai mansukh, dan yang diturunkan kemudiannya sebagai
nasikh.9

C. Pembagian Nasakh
Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat
macam:10
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Ulama-ulama sepakat mengatakan ini diperbolehkan dan telah
terjadi dalam pandangan mereka yang mendukung adanya
naskh dalam Alquran. Misalnya ada ayat tentang iddah empat
bulan sepuluh hari yakni Q.S. al- Baqarah ayat 240:

‫َو ٱَّلِذ يَن ُيَتَو َّف ۡو َن ِم نُك ۡم َو َي َذ ُروَن َأۡز َٰو ٗج ا َو ِص َّيٗة َأِّلۡز َٰو ِج ِهم َّم َٰت ًع ا ِإَلى ٱۡل َح ۡو ِل‬
‫َغ ۡي َر ِإۡخ َر اٖۚج َف ِإۡن َخ َر ۡج َن َفاَل ُج َن اَح َع َلۡي ُك ۡم ِفي َم ا َفَع ۡل َن ِفٓي َأنُفِس ِهَّن ِم ن‬
‫م‬ٞ‫َّم ۡع ُروٖۗف َو ٱُهَّلل َع ِز يٌز َحِكي‬
Yang artinya:
"Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu
dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-
isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan
tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka
pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris
dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf
terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana".

9
Academia.edu, “ Hadis Nasikh Mansukh” hal. 5, diakses dari
https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 24 Oktober 2018
10
Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: PT. Litera AntarNusa. Halim Jaya, 2009),hal. 334

7
Ayat ini kemudian di nasakh oleh surah yang sama pada ayat
234:

‫َو ٱَّل ِذ يَن ُيَتَو َّف ۡو َن ِم نُك ۡم َو َي َذ ُروَن َأۡز َٰو ٗج ا َيَتَر َّبۡص َن ِبَأنُفِس ِهَّن َأۡر َبَع َة َأۡش ُهٖر‬
‫َو َع ۡش ٗر ۖا َفِإَذ ا َبَلۡغ َن َأَج َلُهَّن َفاَل ُجَناَح َع َلۡي ُك ۡم ِفيَم ا َفَع ۡل َن ِفٓي َأنُفِس ِهَّن ِبٱۡل َم ۡع ُروِۗف‬
‫ر‬ٞ‫َو ٱُهَّلل ِبَم ا َتۡع َم ُلوَن َخ ِبي‬
Yang artinya :
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
merekamenurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat".

2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah


Menurut Manna’ Khalil al-Qhaththan nasakh ini ada dua
macam:
a. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Ahad:
Jumhur ulama’ berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh
oleh hadits ahad, sebab Qur’an adalah mutawatir dan
menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanni, bersifat dugaan,
di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum
(jelas diketahui) dengan yang madznun (diduga).

b. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Mutawatir:


Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, dan Iman Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-
masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman dalam surat
an-Najm ayat 3-4:

‫ي ُيوَح ٰى‬ٞ ‫َو َم ا َينِط ُق َع ِن ٱۡل َهَو ٰٓى ۞ ِإۡن ُهَو ِإاَّل َو ۡح‬

Yang artinya:

8
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).”

Sedangkan asy-Syafi’i, Ahli Zahir dan Ahmad dalam


riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini, berdasarkan
firman Allah surat al-Baqarah ayat 106:

۞‫َم ا َننَس ۡخ ِم ۡن َء اَي ٍة َأۡو ُننِس َها َن ۡأ ِت ِبَخ ۡي ٖر ِّم ۡن َه ٓا َأۡو ِم ۡث ِلَه ۗٓا َأَلۡم َتۡع َلۡم َأَّن ٱَهَّلل‬
‫َع َلٰى ُك ِّل َش ۡي ٖء َقِد يٌر‬

Yang artinya:

“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau kami jadikan


(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik
atau yang sebanding dengannya.”

3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an


Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah shalat yang
dahulunya menghadap baitul maqdis berdasarkan sunnah
kemudian dinasakh oleh ayat al-Baqarah: 144
untuk menghadap ka’bah.
‫َفَو ِّل َو ۡج َهَك َش ۡط َر ٱۡل َم ۡس ِج ِد ٱۡل َحَر اِۚم‬
Yang artinya :
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”.

Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu
riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu
didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan Al-
Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara
Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak
bertentangan.

4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah

Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: 1) naskh


mutawatir dengan mutawatir, 2) nasakh ahad dengan ahad, 3)

9
naskh ahad dengan mutawatir, 4) naskh mutawatir dengan ahad.
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat
terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh Qur’an dengan
hadits ahad, yang tidak didolehkan oleh jumhur.

Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan


qiyas atau menasakh dengan keduanya, maka pendapat yang
shohih tidak membolehkannya.11

Contoh nasakh sunnah dengan sunnah ialah mengenai


larangan berziarah kubur pada waktu permulaan Islam.
Kemudian Rasul dengan hadisnya yang lain membolehkan
ziarah kubur setelah masyarakat mengetahui hakikat ziarah
kubur.

‫ُكْنُت َنَهْيُتُك ْم َع ْن ِز َياَر ِة اْلُقُبْو ِر َأَال َفُز ْو ُرْو َها‬

Yang artinya :

“Dulu aku (nabi) melarang kalian untuk ziarah kubur,


sekarang berziarah kuburlah kamu.” (H.R. Muslim)

D. Ruang Lingkup Nasakh


Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik
yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang
diungkapkan dengan kalimat khabar (berita) yang bermakna
amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak
berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada
Zat Allah, sifat-sifat-Nya, para rasul-Nya dari hari kemudian,
serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan
pokok-pokok ibadah dan mu’amalah. Hal ini karena semua
syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut.

11
Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an,….. hal. 336

10
Naskh tidak terjadi dalam berita atau kabar yang jelas-
jelas tidak bermakna talab (tuntutan ; perintah atau larangan),
seperti janji (al-wa’d) dan ancaman (al-wa’id).12

Penununjukan adanya nasakh dalam syariat. Firman Allah


SWT:

‫َو ِإَذ ا َبَّد ۡل َنٓا َء اَيٗة َّم َك اَن َء اَيٖة‬

Yang artinya

“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang


lain”. (An Nahl: 101)

Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya


ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh
saja. Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah nasikh, ayat
yang digantikan adalah ayat mansukh.

E. Hikmah adanya Nasakh dalam Al-Qur’an

Hikmah nasakh secara umum ialah sebagai berikut:

1) Untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at


yang paling sempurna. Karena itu, syari’at agama islam ini
menasakh semua syariat dari agama-agama sebelum islam.
Sebab, syari’at Islam ini telah mencakup semua kebutuhan
seluruh umat manusia dari segala periodenya, mulai dari Nabi
Adam a.s. yang kebutuhan-kebutuhannya masih sederhana
hingga Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW yang
kebutuhan-kebutuhannya sudah banyak dan kompleks.
2) Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka
senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang
zaman.

12
Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an,….. hal. 326

11
3) Untuk menjaga agar perkembangan hukum Islam selalu relevan
dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan,
mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat yang sempurna.
4) Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya
perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka
tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau
dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang?
5) Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu
setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari
yang mudah sampai yang sulit. Sebab, semakin sulit
menjalankan suatu peraturan Tuhan, akan semakin besar
manfaat, faedah dan pahalanya.
6) Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat Islam,
sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban
dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijaksanaan
dan kemurahan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.13

13
Abdul Djalal. Ulumul Qur’an,… hal. 148

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Nasakh adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu
tempat ke tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan
atau mengubah, dan pengalihan. Sedangkan Mansukh ialah
hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang
belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari
dalil syara’ baru yang datang kemudian.
2. Syarat-syarat nasakh adalah adanya mansukh (ayat yang
dihapus), adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk
menghapus), adanya nasikh (yang berhak menghapus), adanya
mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang
yang sudah aqil-baligh atau mukallaf).
3. Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat
macam, yaitu nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, nasakh Al-
Qur’an dengan Sunnah, nasakh sunnah dengan Al-Qur’an,
nasakh sunnah dengan sunnah.
4. Ruang lingkup nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan,
baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang
diungkapkan dengan kalimat khabar (berita) yang bermakna
amar (perintah) atau nahy (larangan) tidak berhubungan dengan
soal akidah serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak
atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah.
5. Hikmah nasakh secara umum ialah untuk menunjukkan bahwa
syari’at agama islam adalah syari’at yang paling sempurna,
selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka
senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang
zaman, untuk menjaga agar perkembangan hukun Islam selalu
relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang
mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat
yang sempurna, untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan

13
adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu
mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Tuhan,
atau tidak, untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba
yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan,
untuk member dispensasi dan keringanan bagi ummat Islam.

B. Saran

Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu


kami sebagai penyusun makalah ini sangat mengharapkan
kritik, saran, dan masukan dari pembaca dan dosen pengampu
mata kuliah agar makalah ini jadi lebih sempurna. Semoga
makalah ini membawa manfaat bagi para pembaca.

14
DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an. Bandung:


PT Mizan Pustaka.
Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: TERAS.
Wahhab, Khallaf, Abdul. 1997. Alih bahasa oleh Helmy,
Masdar. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Gema Risalah Press.
Academia.edu, “Hadis Nasikh Mansukh”, diakses dari
https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/
(24 Oktober 2018)
Referensi Makalah ,” Diskursus Pendapat Ulama Tentang
Nasikh” diakses dari
http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-
ulama-tentang-nasikh.html/ (24 Oktober 2018)
Chirzin, Muhammad. 1998. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an.
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Djalal, Abdul. 2012. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
Al-Qhaththan, Manna’ Khalil. 2009. Studi Ilmu-ilmu Qur’an.
Bogor: PT. Litera AntarNusa. Halim Jaya.

Anda mungkin juga menyukai