Anda di halaman 1dari 18

ASWAJA DAN KEPESANTRENAN

RESUME

Dosen Pengampu: M. Nailul Author, S.E.I.,M.E.

Oleh:

M. Zidni Fadhlurrahman

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM AN NAWAWI

PURWOREJO

2023
Kelompok 1
Dasar-Dasar Ahlus Sunah

PENDAHULUAN
Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) merupakan aliran teologi yang diklaim
berbagai organisasi Islam dan kelompok gerakan Islam baik secara redaksional maupun
substantif. Klaim ini terdapat pada Laskar Jihad Ahlussunnah wal Jama’ah, Nahdlatul
Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Wahabi. Ironosnya, pemikiran,
pemahaman, sikap, respons terhadap tradisi (budaya) dan haluan politiknya tidak hanya
berbeda tetapi seringkali berlawanan. Aswaja itu di kalangan warga maupun ulama,
masih acapkali dipahami secara parsial, lokal dan sangat bersperspektif ideologi
organisatoris. Kelahiran Aswaja lebih karena reaksi terhadap Mu’tazilah yang kurang
kuat dalam memegangi sunnah Nabi daripada faktor lainnya, sehingga ia muncul sebagai
antithesis dalam perspektif dialektika Hegel. Ajaran Aswaja itu dikonstruk oleh al-
Asy’ari dan al-Maturidi, tetapi keduanya memiliki sedikit perbedaan corak pemikiran:
pemikiran al-Asy’ari lebih tradisional sedang pemikiran al-Maturidi lebih rasional.

PEMBAHASAN
Pengertian Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, dan Qiyas
Pengertian al-Qur’an secara bahasa adalah yang dibaca, dilihat, dan ditelaah.
Adapun dalam pengertian terminologi, menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni al-Qur‟an
adalah Firman Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada “Penutup para
Nabi dan Rasul”; (Muhammad Saw) melalui malaikat Jibril, yang termaktub di dalam
mushaf, yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan
ibadah, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Selanjutnya mengenai kehujjahan al-Qur‟an, semua umat sependapat bahwa al-
Qur‟an merupakan hujjah bagi setiap muslim, karena ia adalah wahyu dan kitab Allah
yang sifat periwayatannya mutawatir. Periwayatan al-Qur‟an sendiri, selain dilakukan
oleh orang banyak dari satu generasi ke generasi yang lain, sejak generasi shahabat Nabi
Saw, juga dilakukan dalam bentuk lisan dan tulisan, dimana tidak seorangpun berbeda
pendapat dalam periwayatannya, padahal para perawi al-Qur‟an pun berbeda-beda suku,
bangsa, dan wilayah tempat tinggalnya.
Hadits, yaitu sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw, baik perkataan,
perbuatan, maupun sikap beliau dalam suatu peristiwa. Secara etimologis hadits dimaknai
sebagai jadid, qarib, dan khabar. Jadid adalah lawan dari qadim yang artinya yang baru.
Sedangkan qarib artinya yang dekat, yang belum lama terjadi.
Secara bahasa ijma’ berarti kesepakatan terhadap sesuatu, berniat untuk
melakukan suatu pekerjaan, atau membuat keputusan terhadap suatu permasalahan.
Dalam terminologi ushul fiqh, ijma’ dimaknai sebagai suatu kesepakatan para mujtahid
dalam suatu masa tertentu terhadap masalah hukum syariah setelah meninggalnya Nabi
saw.
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau
penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Imam Syafi’i mendefinisikan qiyas sebagai upaya
pencarian (ketetapan hukum) dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu yang
pernah diinformasikan dalam al-Qur’an dan hadist. Pengertian qiyas secara terminologi
terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para pakar ushul fikih, sekalipun
redaksinya berbeda, tetapi mengandung pengertian yang sama.
Alasan Dasar-Dasar Ahlusunnah Wal Jama’ah
 Alasan Al-Qur’an Sebagai Dasar Ahlusunnah Wal Jama’ah
Alasan digunakannnya dasar Al-Qur’an yaitu karena Al-Qur’an adalah perkataan
Allah yang merupakan petunjuk kepada umat manusia dan diwajibkan untuk
berpegangan kepada Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 2. Yang
artinya: “kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa.”
 Alasan Hadist Sebagai Dasar Ahlusunnah Wal Jama’ah
Al-Hadis dijadikan sebagai dasar aswaja karena hadis merupakan sunnah Rasul
yang mana Rasul lah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka hadist
menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-
Nahl ayat 44. Yang artinya: “Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu
menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya
mereka mamikirkan”.
 Alasan Ijma’ Sebagai Dasar Ahlusunnah Wal Jama’ah
Alasan digunakannya Ijma’ sebagai dasar aswaja karena para ulama mujtahid itu
termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-
Qur’an dan Al-Hadist, dan mereka itulah yang disebut Ulim Amri Mingkum. Allah
berfirman dalam AL-Qur’an surat An-Nisa ayat 59. Yang artinya: “hai orang-orang yang
beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu”.
 Alasan Qiyas Sebagai Dasar Ahlusunnah Wal Jama’ah
Mayoritas ulama melakukan qiyas atas dasar perintah untuk mengambil pelajaran
atau berijtihad. Menurut jumhur ulama, qiyas termasuk mengambil pelajaran dari suatu
peristiwa. Dikutip dari buku Qiyas: Sumber Hukum Syariah Keempat oleh Ahmad
Sarwat, dasar qiyas juga merujuk pada surat An Nisa ayat 59, yaitu perintah untuk
kembali kepada Allah dan Rasul. Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara
kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS.
An-Nisa: 59)
Dalam tafsir Mafatih Al-Ghaib, Al-Fahru ar-Razi menafsirkan bahwa maksud dari
mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul dalam ayat tersebut adalah perintah
untuk menggunakan qiyas. Pendapat ini diperkuat dengan penggunaan Quran dan Sunnah
Rasulullah SAW dalam qiyas, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam istilah
qiyas.

PENUTUP
Al-Qur’an secara bahasa adalah yang dibaca, dilihat, dan ditelaah. Adapun dalam
pengertian terminologi al-Qur‟an adalah Firman Allah yang merupakan mukjizat, yang
diturunkan kepada “Penutup para Nabi dan Rasul”; (Muhammad Saw) melalui malaikat
Jibril, yang termaktub di dalam mushaf, yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir,
membacanya merupakan ibadah, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah
an-Nas.
Alasan digunakannnya dasar Al-Qur’an yaitu karena Al-Qur’an adalah perkataan
Allah yang merupakan petunjuk kepada umat manusia dan diwajibkan untuk
berpegangan kepada Al-Qur’an. Al-Hadis dijadikan sebagai dasar aswaja karena hadis
merupakan sunnah Rasul yang mana Rasul lah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan
Al-Qur’an, maka hadist menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Alasan
digunakannya Ijma’ sebagai dasar aswaja karena para ulama mujtahid itu termasuk
orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-
Hadist, dan mereka itulah yang disebut Ulim Amri Mingkum. Mayoritas ulama
melakukan qiyas atas dasar perintah untuk mengambil pelajaran atau berijtihad. Menurut
jumhur ulama, qiyas termasuk mengambil pelajaran dari suatu peristiwa.
Kelompok 2
Takwil, Ayat Muhkamat Dan Mutasyabihat

PENDAHULUAN
Al-Qur’an memberikan kemungkinan arti yang tak terbatas. Ayat-ayatnya selalu
terbuka untuk interpretasi baru; tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi
Tunggal. Betapa indah gambaran Muhammad Arkoun dalam menjelaskan Al-Qur’an.
Sepanjang zaman Al-Qur’an akan selalu mengalami perkembangan penafsiran
(interpretasi baru) sesuai background sang penafsir, pendapat Muhammad Arkoun di
atas, dapat kita buktikan dalam salah satu kajian Ulumul Qur’an, yaitu tentang Muhkam
dan Mutasyabih. Sebuah kajian yang sering menimbulkan kontroversial sepanjang
sejarah penafsiran Al-Qur’an, karena perbedaan ’interpretasi’ antara ulama mengenai
hakikat Muhkam dan Mutasyabih.

PEMBAHASAN
Pengertian Takwil, Muhkamat dan Mutasyabihat
Pengertian takwil menurut lughat diambil dari kata “awwala-yu’awwilu-takwilan”
yang berarti kembali ke asal. Mentakwil kalam berarti menjelaskan dan mengembalikan
kepada maksud yang diharapkan.
Secara terminologi, ulama salaf memberi dua pengertian tentang takwil. Pertama,
menjelaskan kalam dan menerangkan maknanya. Dalam hal ini antara tafsir dan takwil
tidak ada perbedaan. Inilah yang dimaksud oleh Mujahid dan Ibn Jarirat-Thabari ketika
menggunakan lafadz takwil. Kedua, makna yang dimaksudkan dalam sebuah perkataan.
Jika perkataannya bernada thalab (perintah) maka takwilnya adalah pekerjaan yang
diminta. Nampak para ulama salaf memahami takwil sinonim dengan tafsir dan tak jauh
dari pengertian takwil secara bahasa.
Muhkamat secara bahasa berasal dari kata hakama, kata hukum berarti
memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang mencegah
yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan muhkam adalah
sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih dan membedakan antara yang hak dan batil.
Mutasyabih secara bahasa berasal dari kata syabaha yang berarti salah satu dari
dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan di mana satu dari dua hal itu
tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara
konkrit atau abstrak.
Kriteria Ayat-Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Dari pengertian Muhkam dan Mutasyabih yang telah disampaikan, tampak tidak
ada kesepakatan yang jelas di antara para ulama tentang Muhkam dan Mutasyabih,
sehingga hal ini terasa menyulitkan untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk
Muhkam dan Mutasyabih. J.M.S Baljon, mengutip pendapat Zamakhsari yang
berpendapat bahwa termasuk kriteria ayat-ayat Muhkamat adalah apabila ayat-ayat
tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan), sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat
adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat).
Menurut Ali Ibnu Abi Thalhah kriteria ayat-ayat Muhkamat yakni ayat-ayat yang
membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan, ayat-ayat yang
mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat yang harus diimani
dan diamalkan. Sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang telah
dibatalkan, ayat-ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-
ayat yang berisi beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang
boleh diimani dan tidak boleh diamalkan.
Kriteria lain tentang ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat yaitu pendapat dari
Ar-Raghib Al-Ashfihani yang memberikan kriteria ayat-ayat Mutasyabihat sebagai ayat
atau lafal yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti tibanya hari kiamat, ayat-ayat
Al-Qur’an yang hanya bisa diketahui maknanya dengan sarana bantu, baik dengan ayat-
ayat Muhkamat, hadis-hadis sahih maupun ilmu pengetahuan, seperti ayat-ayat yang
lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya tertutup, ayat-ayat yang maknanya hanya
bisa diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya. Sebagaimana diisyaratkan dalam
doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, “Ya Allah, karuniailah ia ilmu yang mendalam
mengenai agama dan limpahankanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya.”
Pembagian Ayat-Ayat Mutasyabihat dalam Al-qur’an
Az-Zarqani membagi ayat-ayat Mutasyabihat menjadi tiga macam:
 Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti
pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu
kiamat dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman Q.S. al-An’am [6]: 59 yang artinya,
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri.”
 Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan
pengkajian, seperti ayat-ayat Mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas,
panjang, urutan, dan seumpamanya. Allah berfirman Q.S. anNisa’[4]: 3 yang artinya,
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim, Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” Maksud ayat
ini tidak jelas dan ketidakjelasannya timbul karena lafalnya yang ringkas.
 Ayat-ayat Mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu
dan bukan semua ulama. Inilah yang diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu
Abbas, yang artinya “Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama,
dan ajarkanlah kepadanya takwil.”
Pentingnya Memahami Ayat-Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Muhammad Chirzin menyimpulkan setidaknya ada tiga hikmah yang dapat kita
ambil dari persoalan Muhkam dan Mutasyabih tersebut, hikmah-hikmah itu adalah:
 Andai kata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat Muhkamat, niscaya akan
sirnalah ujian keimanan dan amal lantaran pengertian ayat yang jelas.
 Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an Mutasyabihat, niscaya akan lenyaplah
kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang benar
keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sis Allah, segala yang datang
dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.
 Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat Muhkamat dan ayat-ayat Mutasyabihat, menjadi
motivasi bagi umat Islam untuk teus menerus menggali berbagai kandungannya
sehingga mereka akan terhindar dari taklid, bersedia membaca Al-Qur’an dengan
khusyu’ sambil merenung dan berpikir.
Ketika hikmah ini kita kaitkan dengan dunia pendidikan, setidaknya Allah telah
mengajarkan ajaran Muhkam dan Mutasyabih kepada manusia agar kita mengakui
adanya perbedaan karakter pada setiap individu, sehingga kita harus menghargainya.
Kalau kita sebagai guru, sudah sepatutnya meneladani-Nya untuk kita aplikasikan dalam
menyampaikan pelajaran yang dapat diterima oleh peserta didik yang berbeda-beda
dalam kecerdasan dan karakter.
PENUTUP
Muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya,
sehingga tidak menimbulkan keraguan dan memerlukan pentakwilan. Sedangkan
mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan baru kita
dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu. Ayat-ayat mutasyabih merupakan salah
satu kajian dalam Al-Qur’an yang para ulama menilainya dengan alasannya masing-
masing menjadi dua macam, yaitu pendapat ulama Salaf dan Khalaf.
Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an itu Muhkam. Jika maksud
Muhkam adalah kuat dan kokoh. Tetapi kita dapat pula mengatakan bahwa semua ayat
itu adalah Mutasyabih, jika maksud Mutasyabih itu adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam
hal Balaghah dan I’jaznya.
Adanya Muhkam dan Mutasyabih sebenarnya merupakan ke-MahaBijaksanaan-
Nya Allah, bahwa AlQur’an ditujukan kepada semua kalangan, karena bagi orang yang
mengetahui berbagai tabiat manusia, di antara mereka ada yang senang terhadap bentuk
lahiriyah dan telah merasa cukup dengan bentuk literal suatu nash. Ada yang memberikan
perhatian kepada spritualitas suatu nash, dan tidak merasa cukup dengan bentuk
lahiriyahnya saja, sehingga ada orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan ada orang
yang melakukan pentakwilan, ada manusia intelek dan manusia spiritual.
Kelompok 3
Aqidah Aswaja An-Nahdliyah

PENDAHULUAN
Nahdlatul Ulama didirikan sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah (organisasi
keagamaan kemasyarakatan) untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan
pengikutnya. Tujuan didirikannya NU ini diantaranya adalah: memelihara, melestarikan,
mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlu as-sunah Wal Jama’ah yang
menganut salah satu pola madzhab empat: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan
Imam Hambali, mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya, dan
melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan
masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.

PEMBAHASAN
Pengertian Aqidah Aswaja An-Nahdliyah
Ahlussunnah Wal Jamaah atau yang biasa disingkat dengan ASWAJA secara
bahasa berasal dari kata Ahlun yang artinya keluarga, golongan atau pengikut.
Ahlussunnah berarti orang orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal
perbuatan Nabi Muhammad SAW.) Sedangkan al-Jama’ah adalah sekumpulan orang
yang memiliki tujuan.
Dalam sejarah Islam, muncul dua tokoh yang menonjol pada akhir abad ke-3
Hijriyah, yaitu Abu Hasan al’Asy’ari (260 H – 330 H) di Bashrah dan Abu Manshur al-
Maturidi di Samarkand. Pemikiran mereka di temukan banyak perbedaan, namun mereka
bersama bersatu dalam membendung kuatnya gejola hegemoni paham Muktazilah yang
di lancarkan para tokoh dan pengikutnya. Selanjutnya lahir kecenderungan baru yang
banyak mewarnai pemikiran umat Islam yang kemudian di nisbatkan pada ahl al-Sunnah
wal al-Jama’ah, yang kemudian populer dengan sebutan Aswaja.
Istilah ASWAJA populer di kalangan umat islam, terutama di dasarkan pada
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tarmidzi, dan Ibnu Majah dai Abu
urairah yang menegaskan bahwa umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, umat
Nasrani akan terpecah menjadi 72 golongan dan umat Islam akan terpecah menjadi 73
golongan. Semua golongan tersebut masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan, yaitu
golongan Ahl as-Sunnah Wal Jama’ah. Pendapat ini di pertegas oleh Al Hasyiah Asy-
Syanwani, bahwa yang di maksud Ahl as-Sunnah Wal Jama’ah adalah pengikut Imam
kelompok Abul Hasan Asy’ari dan para ulama madzhab.
Aqidah Asy’ariyah
Asy’ariyah merupakan aliran teologi Islam yang lahir sebagai reaksi terhadap
firqah-firqah sesat qadariyah, jabariyah, khawarij, dan muktazilah, penamaan ‘Asy’ariyah
dinisbatkan kepada seorang imam Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu Abul Hasan al-
Asy’ari. Abul Hasan Asy’ari berawal bermadzhab muktazilah, Imam Ibnu ‘Asakir
menyebutkan bahwa imam Abul Hasan as-Asy’ari berguru kepada bapak tirinya yaitu
Abu Ali Jubba’i, Abul Hasan al-Asy’ari seorang ulama senior muktazilah mendalami
paham muktazilah selama 40 tahun lamanya, sampai-sampai jika Abu Ali Jubai
berhalangan untuk mengisi kajian di masjid al-Mansur, maka Abul Hasan ‘Asyari yang
menggantikannya.
Kisah yang fenomenal tentang berlepas dirinya Abul Hasan al-‘Asyari dari aliran
Muktazilah sebagaimana diceritakan bahwa Abul Hasan pada hari Jumat di masjid Jami
di Basrah berdiri di atas mimbar kemudian mendeklarasikan berlepas dirinya dari
Muktazilah seraya berkata “barang siapa yang mengenali-ku maka dia telah mengenali-
ku, dan barang siapa yang belum mengenali-ku maka aku akan memperkenalkan diri, aku
fulan bin fulan, dahulu aku bependapat bahwa al-Qur’an adalah makhluq, Allah tidak
dapat dilihat dengan penglihatan dan perbuatan manusia, manusialah yang
menciptakannya, maka sesungguhnya saya telah taubat dari pemahaman muktazilah
karena kesesatan ajarannya.
Pada hakikatnya Abul Hasan al-Asy’ari tidak menciptakan suatu pendapat,
madzhab yang baru melainkan pemikirannya serupa dengan apa yang diajarkan salaf, dan
sahabat Rasul Saw. maka penisbatan kepada Abul Hasan Asy’ari merupakan bentuk
pembelaan secara jidal yang beliau lakukan, maka orang yang mengikutinya dinamakan
Asy’ariyah. Asy’ariyah mulai mengalami perkembangan ketika perdana menteri Tugril
yang menganut pandangan Muktazilah wafat (1063), dan digantikan oleh Alp Arselan
(1063-1092) yang mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Kunduri. Perdana
menteri baru itu adalah penganut aliran Asy’ariah dan atas usahanya pula aliran ini cepat
berkembang, sedang aliran Muktazilah mulai mundur, hingga saat ini Asy’ariyah tersebar
diberbagai penjuru dunia.
Aqidah Maturidhiyah
Al-Maturidiyah yaitu aliran yang dinisbatkan kepada imam Abu Manshur al-
Maturidi, Abu manshur al-Maturidi hidup sezaman abul Hasan Asy’ari keduanya
memiliki tujuan yang sama, hidup berperang pemikiran melawan aliran muktazilah yang
pada saat itu berpusat di Bashrah, Al-Maturidiyah merupakan salah satu aliran teologi
Islam dalam aqidah, lahirnya aliran tersebut pada abad ke-4 H, yang mengklaim bagian
dari ahlussunnah wal jama’ah dengan tujuan membantah pemikiran aliran muktazilah
dengan doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, al-Maturidiyyah tersebar di negar-negara
yang berkembang perdebatan Fikh, Ushul Fiqh dan Aqidah yaitu negri Ma Wara al-
Nahr yang dikenal saat ini terletak di Turkistan, Uni Soviet, Cina, Iran, India dan
Afghanistan.
Para fuqaha mengatakan bahwa ajaran aqidah yang disebarkan oleh imam
Mathuridiyah serupa dengan apa yang diajarkan oleh imam Abu Hanifah. Aliran
Maturidhiyah ini terbagi dua golongan yaitu Maturidiyah Samarkand yang dipimpin oleh
Abu Mansyur al-Maturidi dan Maturidiyah Bukhara yang dipimpin oleh al-Bazdawi.
Kedua golongan Maturidiyah tersebut, tentang keberadaan dan pokok ajarannya akan
dijelaskan pada subbab selanjutnya.
Persamaan dan Perbedaan Asy’ariyah dan Maturidhiyah
Persamaan dari kedua aliran ini adalah karena keduanya sering menggunakan
istilah ahlu sunnah wal jama’ah. Dan dikalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa
madzhab salaf ahlu sunnah wal jama’ah adalah apa yang dikatakan oleh Al-Asy’ari an
Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa ahlu sunnah wal jama’ah adalah
Asy’ariyah dan Maturidiyah dan salaf. Az-Zubaidi mengatakan : “Jika dikatakan ahlu
sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan
Maturidiyah.”(Ittihafus Sadatil Muttaqin, 2: 6).
Menurut Imam Muhammad Abduh khilaf antara Asy’ariyah dengan Maturidiyah
tidak lebih dari sepuluh permasalahan, beliau juga menegaskan bahwa khilaf diantara
mereka merupakan khilaf lafdzi (redaksional). Diantaranya tentang sifat Tuhan,
perbuatan manusia, tentang Al-Qur’an, perbuatan Tuhan, pelaku dosa besar, dll.

PENUTUP
Ahlussunnah Wal Jamaah atau yang biasa disingkat dengan ASWAJA secara
bahasa berasal dari kata Ahlun yang artinya keluarga, golongan atau pengikut.
Ahlussunnah berarti orang orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal
perbuatan Nabi Muhammad SAW.) Sedangkan al Jama’ah adalah sekumpulan orang
yang memiliki tujuan.
Al Asy’ariyah dari Abul Hasan al-Asy’ari yaitu tidak menciptakan suatu pendapat,
madzhab yang baru melainkan pemikirannya serupa dengan apa yang diajarkan salaf, dan
sahabat Rasul Saw maka penisbatan kepada Abul Hasan Asy’ari merupakan bentuk
pembelaan secara jidal yang beliau lakukan, maka orang yang mengikutinya dinamakan
Asy’ariyah
Al-Maturidiyah merupakan salah satu aliran teologi Islam dalam aqidah, lahirnya
aliran tersebut pada abad ke-4 H, yang mengklaim bagian dari ahlussunnah wal jama’ah
dengan tujuan membantah pemikiran aliran muktazilah dengan doktrin Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah, al-Maturidiyyah tersebar di negar-negara yang berkembang perdebatan Fikh,
Ushul Fiqh dan Aqidah yaitu negri Ma Wara al-Nahr yang dikenal saat ini terletak di
Turkistan, Uni Soviet, Cina, Iran, India dan Afghanistan.
Kelompok 4
Syariah Aswaja An-Nahdliyah

PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembanganya muncul beraneka ragam paham keagamaan
khususnya pada ranah teologi. Sehingga masyarakat dituntut untuk selektif dalam
memfilter setiap ajaran yang ditawarkan. Benarkah ajaran tersebut telah sesuai dengan
Ahlus sunnah wal jama’ah atau hanya sekedar doktrin yang sesat dan menyesatkan.
Untuk itu sebagai kaum intelektual dituntut untuk menggali dan mengkaji lebih dalam
terkait masalah-masalah tersebut dalam sebuah diskusi ilmiyah. Diskusi tersebut salah
satunya dapat terwadahi dalam mata kuliah aswaja an-nahdliyah.

PEMBAHASAN
Pengertian Aswaja An-Nahdliyah
Ahlussunnah Wal Jamaah atau yang biasa disingkat dengan ASWAJA secara
bahasa berasal dari kata Ahlun yang artinya keluarga,golongan atau pengikut.
Ahlussunnah berarti orang orang yang mengikutisunnah (perkataan, pemikiran atau amal
perbuatan Nabi Muhammad SAW.) Sedangkan al Jama’ah adalah sekumpulan orang
yang memiliki tujuan.
Sejarah Singkat Imam Empat Madzhab
 Imam Hanafy (80 – 182 H)
Pendiri dari madzhab Hanafi adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin
Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H
pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat
kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa
Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang
mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi
mengatakan dari Babilonia.
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya
diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam
Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari
Khurasan, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari,
Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-
Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al Hanath
Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.
 Imam Maliky (93 – 179H)
Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin
Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di
Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179 H/796 M. Berasal dari keluarga
Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam.
Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam,
mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang
memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ‘ilmu’ yang sangat
terkenal.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran
hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada
ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad,
Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya
yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu
berdebat, juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
 Imam Syafi’i (150 – 204 H)
Madzhab ini dirintis oleh Abu Abdillah Muhammad Ibn Idris Ibn Abbas Ibn
Utsman Asy Syafi’i Al Muthallabi keturunan Quraisy. Beliau dilahirkan di kota Gaza,
kemudian dibawa ke Asqaalan. Ketika berusia 2 tahun, ibunya membawa ke Hijaz dan
hidup bersama orang Yaman, karena ibunya keturunan dari suku Azdiyah. Usia 10 tahun
beliau di bawa ke Mekkah karena khawatir nasabnya yang mulia akan lenyap.
 Imam Hambali (164 – 241 H)
Bernama Muhammad as Syaibani bin Hambali. Lahir di masa pemerintahan
Muhammad al Mahdi, dinasti Bani Abbasiyah, bulan Rabiul Awwal 164 Hijriyah (780
Masehi). Keadaan kecilnya tak banyak beda dengan Imam Syafi’i, yatim.
Di antara empat Imam madzab, beliau tergolong bungsu dan terakhir. Sudah
menjadi sunatullah, setiap orang besar dan berderajat tinggi di sisi Allah, niscaya
mendapatkan ujian berat. ujian itu sengaja turun dari hadirat-Nya, untuk manusia, supaya
terbukti di tengah khalayak, apakah ia loyang atau emas. Jika emas, sekalipun tersuruk di
comberan, ia akan tetap sebagai emas yang kemilau.
Metode Imam Empat Madzhab dalam Bidang Fiqh
 Imam Abu Hanifah
Secara ringkas madzhab Hanafi yang dikenal dengan aliran akal (ra’yu)
mempergunakan dasar-dasar hukum sebagai berikut, Kitabullah (Al Qur’an), As Sunnah
(Al Hadits), Atsar-atsar sahabat yang masyhur dan fatwa-fatwa mereka, Ijma’
(Konsensus Ulama’), Qiyas (Analogi), Istihsan (Menganggap baik sebuah hal), dan Urf
(Adat istiadat yang tidak menyimpang syara’).
 Imam Malik Ibn Anas
Adapun madzhab Maliki terkenal dengan aliran Ahli Hadits (Sunnah)
mempergunakan dasar-dasar hukum sebagai berikut, Kitabullah (Al Qur’an), As Sunnah
(Al Hadits) yang dipandang shahih, Ijma’ (amalan) Ahli Madinah, Qiyas (Analogi),
Maslahah Mursalah (kebaikan yang tidak disinggung syara’), dan Syadzudz dzari’ah
(mencegah dari perbuatan yang menuju haram).
 Imam Muhammad Ibn Idris
Adapun madzhab Syafi’i terkenal dengan aliran tengah-tengah (moderat) antara
nash dan ra’yu (akal), mempergunakan dasar-dasar hukum sebagai berikut, Kitabullah
(Al Qur’an), As Sunnah (Al Hadits) yang dipandang shahih, Ijma’ (Konsensus Ulama’),
Qiyas (Analogi), dan Istidlal (mempergunakan dzahir ayat, selama tidak ada dalil yang
menunjukan takwil ayat).
 Imam Ahmad Ibn Hambali
Adapun madzhab Hambali terkenal dengan aliran murni nash, mempergunakan
dasar-dasar hukum sebagai berikut, Kitabullah (Al Qur’an), As Sunnah (Al Hadits),
Fatwa-fatwa sahabat, Pendapat sahabat yang tidak diperselisihkan, danQiyas (hanya
dalam posisi dharurat).
Pentingnya Madzhaibul Arba’ah
Bermazhab sangat penting di zaman modern ini, zaman dimana ilmu pengetahuan
dapat berkembang dengan sangat cepat sehingga media untuk kajian ilmu juga sangat
mudah didapatkan. Masa dimana sudah banyak orang terpelajar. Lembaga pendidikan
pun bermunculan di berbagai tempat. Ilmu-ilmu keislaman (Islamic Studies) diajarkan di
berbagai lembaga pendidikan. Zaman berkembang, situasi dan kondisi, kondisi sosial
dan kondisi sosial budaya berkembang sangat berbeda dengan kondisi dan kondisi sosial
yang berlaku pada saat ulama atau mujtahid melakukan ijtihad. Apakah orang-orang yang
sudah terlatih,terkhusus tentang fiqih dan usulnya masih relevan dengan Bermadzhab
atau bahkan taqlid, Sejauh mana dia bisa bermazhab, hanya pada aspek metodologis atau
bisa juga taqlid pada aspek furu’ atau produk

PENUTUP
Ahlussunnah Wal Jamaah atau yang biasa disingkat dengan ASWAJA secara
bahasa berasal dari kata Ahlun yang artinya keluarga,golongan atau pengikut.
Ahlussunnah berarti orang orang yang mengikutisunnah (perkataan, pemikiran atau amal
perbuatan Nabi Muhammad SAW.) Sedangkan al Jama’ah adalah sekumpulan orang
yang memiliki tujuan.
Adapun konsep madzaibul arba’ah meliputi Imam Hanafy (80 – 182 H), Imam
Maliky (93 – 179H), Imam Syafi’i (150 – 204 H), Imam Hambali (164 – 241 H).Metode
dari keempat madzab, madzhab Hanafi dikenal dengan aliran akal (ra’yu)
mempergunakan dasar-dasar hukum, madzhab Maliki terkenal dengan aliran Ahli Hadits
(Sunnah) mempergunakan dasar-dasar hukum, madzhab Syafi’i terkenal dengan aliran
tengah-tengah (moderat) antara nash dan ra’yu (akal) mempergunakan dasar-dasar
hukum, madzhab Hambali terkenal dengan aliran murni nash, mempergunakan dasar-
dasar.
Bermazhab di zaman modern ini, zaman dimana ilmu pengetahuan dapat
berkembang dengan sangat cepat sehingga media untuk kajian ilmu juga sangat mudah
didapatkan. Masa dimana sudah banyak orang terpelajar. Lembaga pendidikan pun
bermunculan di berbagai tempat. Ilmu-ilmu keislaman (Islamic Studies) diajarkan di
berbagai lembaga pendidikan. Zaman berkembang, situasi dan kondisi, kondisi sosial dan
kondisi sosial budaya berkembang sangat berbeda dengan kondisi.

Anda mungkin juga menyukai