Anda di halaman 1dari 9

II pengertian fiqh dan syariah

Fiqh merupakan, sebuah ilmu yang membahas berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan
dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya.

Syariat merupakan jalan hidup seorang muslim, ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul nya.

A. Definisi fiqh

Definisi fiqh menurut keterangan Abu Hanifah, memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Definisi ini
meliputi pembahasan apapun yang menjadi kewajiban kita dan apa saja yang boleh kita terima. Dan itu
mencakup semua syariat islam, baik terkait aqidah, ibadah, maupun muamalah. Karena itulah, sebagian
ulama menyebut definisi fiqh dengan cakupan yang masih luas itu dengan sebutan “fiqih akbar”(besar).
Dan ini merupakan definisi fiqh menurut ulama masa silam.

B. Definisi syariah

Syariah, juga dikenal sebagai hukum Islam, adalah sebuah prinsip dan aturan yang berasal dari ajaran
agama Islam. Ini mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk hukum pidana, hukum keluarga,
hukum ekonomi, dan etika moral. Bertujuan untuk memandu umat Islam dalam menjalani kehidupan
sehari-hari sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai agama Islam. Sistem hukum syariah dapat bervariasi di
berbagai negara dan wilayah, tergantung pada penafsiran dan penerapannya.

C. Perbedaan fiqh dan syariah

Syariah itu berasal dari Al-Qur'an dan As-sunah, Bersifat fundamental, Hukumnya bersifat Qath'i, Hukum
Syariatnya hanya Satu, Langsung dari Allah yang kini terdapat dalam Al-Qur'an.

Sedangkan Fiqih itu merupakan karya manusia yang bisa diubah, bersifat fundamental, hukumnya dapat
berubah, banyak macamnya, berasal dari Ijtihad ahli hukum sebagai hasil pemahaman manusia yang
dirumuskan oleh Mujtahid.

III Sumber hukum dalam fiqih dan syariah

A. Sumber sumber hukum dalam fiqh

Penerapan hukum dalam islam (fiqh) ulama telah sepakat bahwa al quran yang pertama dan hadits
yang kedua. Alasannya karena al quran bersal dari firman allah sedangkan hadits bersumber dari nabi
yaitu makhluk allah yang memiliki segala keistimewaan dan kelebihan.

Di sisi lain kesepakatan tersebut juga mengacu kepada


perkataan Nabi kepada Muadz bin Jabal sebagaimana berikut;

“Rasulullah SAW bersabda kepada Mu’adz bin Jabal: Bagaimana kamu akan

memutuskan perkara jika dihadapkan pada suatu persoalan hukum? Mu’adz

menjawab: saya akan memutuskannya berdasarkan kitab Allah (al-Qur’an).

Rasulullah bersabda: jika kamu tidak menjumpainya dalam al-Qur’an?. Mu’adz

menjawab: maka berdasarkan pada sunnah Rasul. Rasulullah bersabda: jika tidak

menjumpainya juga dalam sunnah Rasul? Muadz menjawab: saya akan berijtihad

berdasarkan akal pikiran saya.” (HR Imam Abu Dawud)

Melihat percakapan antara Nabi kepada Muadz, maka dapat dipahami

bahwa utamanya adalah al-Qur’an kemudian hadis. Percakapan tersebut juga

Dibutuhkan para mujtahid apabila merujuk sebuah hukum haruslah berpedoman pada alQur’an
sebelum mengambil pedoman dari Sunnah nabi, jika tidak ditemukan maka

diperbolehkan mengambil dari Sunnah-sunnah Nabi.

Sebagai sumber hukum utama, al-Qur’an tentunya mengandung ayat-ayat yang

berkaitan dengan hukum, ayat-ayat tersebut mayoritas diturunkan di kota Madinah. Abdul

Wahab Khlalaf berpendapat bahwa, ayat yang membahas hukum terkandung dalam al-Qur’an

hanya 5,8 persen dari 63 60 ayat al-Qur’an, sebagaimana berikut ini;35

1) Ibadah (shalat, puasa, haji, dll) sebanyak 140 ayat

2) Hidup Kekeluargaan (perkawinan, perceraian, hak waris, dsb) sebanyak 70 ayat

3) Perdagangan atau Perekonomian (jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam,

gadai, perseroan, kontrak, dsb)sebanyak 70 ayat

4) Kriminal sebanyak 30 ayat

5) Hubungan Islam dengan selain Islam sebanyak 25 ayat


B. Sumber hukum dalam syariah

Al quran merupakan sumber hukum syariah islam di karena kan al quran wahyu yang langsung turun
dari Allah.

C. Perbedaan dan persamaan sumber hukum

masingmasing memiliki metode penemuan hukum tersendiri yang secara substansif

dan redaksional ada persamaan dan perbedaan antara keduanya. Di antara

persamaan dan perbedaan antara keduanya, antara lain:18

a. Baik dalam hukum Islam maupun hukum positif, dalam penemuan

hukum mengenal metode interpretasi. Metode tersebut merupakan satu

metode penemuan hukum dengan menjadikan teks-teks hukum sebagai

obyeknya. Hanya saja dalam penggunaan istilah dan cakupannya

berbeda. Dalam hukum Islam metode interpretasi literal lebih

menitikberatkan pada pemaknaan teks-teks hukum sesuai dengan

kaidah-kaidah bahasa yang digunakan teks hukum itu, yakni bahasa

Arab. Sedangkan dalam hukum positif, cakupan metode interpretasi tidak

hanya menitikberatkan pada aspek pemaknaan bahasa saja (interpretasi

gramatikal), tetapi juga mencakup interpretasi sosiologis (teleologis),

interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi komparatif,

interpretasi antisipatif, interpretasi restriktif, interpretasi ekstensif,

interpretasi subsumtif, interpretasi interdisipliner dan interpretasi

multidisipliner.

b. Dalam hukum Islam tidak dikenal dua metode penemuan hukum

interdisipliner dan multidisipliner. Meskipun demikian, dalam

penemuan hukum positif keduanya termasuk metode interpretasi literal

karena obyeknya teks hukum itu sendiri kemudian dikaitkan dengan


disiplin ilmu lain, baik dalam lingkup ilmu hukum maupun di luar ilmu

hukum.

c. Terkait dengan cakupan metode interpretasi dalam hukum positif,

terdapat empat model interpretasi yang menitikberatkan pada aspek kebahasaan sebagaimana metode
interpretasi literal dalam hukum Islam,

yakni interpretasi gramatikal, interpretasi restriktif, interpretasi ekstensif

dan interpretasi subsumtif.

d. Dalam hukum positif dikenal metode argumentasi yang juga berbasis

teks. Metode ini dipergunakan apabila aturannya ada tetapi tidak

lengkap. Metode ini ditempuh dengan tiga cara, yakni metode analogi

(argumentum a fortiori), metode a contrario (argumentum a contrario) dan

metode penyempitan hukum (Rechtvervijning). Dalam konteks hukum

Islam, metode analogi (argumentum a fortiori) ini terjadi perbedaan

pendapat. Menurut Samsul Anwar ada yang memasukkannya sebagai

mafhum muwafaqah dan ada yang menganggapnya sama dengan metode

qiyasi yakni pembentukan hukum dengan mendasarkan pada adanya

kesamaan ‘illat karena tidak adanya teks hukum yang secara langsung

mengatur persoalan yang dihadapi. Adapun metode a contrario

(argumentum a contrario) sama dengan mafhum mukhalafah yakni

pengertian tersirat dari apa yang tersurat. Selanjutnya metode

penyempitan hukum (Rechtvervijning), dalam konteks hukum Islam

metode penyempitan hukum ini termasuk dalam kategori metode

interpretasi literal, karena teks hukumnya ada tetapi tidak jelas.

e. Dalam hukum Islam dalam penemuan hukum dikenal metode

sinkronisasi yang juga menjadikan teks hukum sebagai obyeknya. Metode


ini dilakukan ketika terjadi pertentangan (ta’arud) antar dalil yang

sederajat. Sementara dalam hukum positif tidak dikenal metode

sinkronisasi.

f. Dalam hukum Islam, ketika tidak dijumpai teks hukum yang terkait

langsung dengan peristiwa yang dihadapi, maka dilakukan penelitian

terhadap fondasi yang menjadi dasar tegaknya hukum dalam konsepsi

hukum Islam. Fondasi hukum itu merupakan alasan keberadaan hukum,

baik berupa kausa efisien (‘illat al-hukm) maupun kausa finalis yang

berupa tujuan-tujuan hukum. Sedangkan dalam hukum positif, ketika tidak ada teks hukum
yang terkait langsung dengan kasus yang dihadapi,

maka digunakan metode penemuan hukum bebas, yakni metode

penemuan hukum oleh hakim pada saat dihadapkan pada situasi

kekosongan undang-undang.

Metode penafsiran fiqh dan syariah

A. metode penafsiran fiqh

Dalam bidang fiqh, Nawawi memiliki corak penafsiran dengan

kecenderungan Syafi`iyah dan ini bukanlah hal yang mengherankan,

karena beliau menyebut dirinya sebagai penganut madzhab al-Syafi`i.

Sekalipun demikian, tafsir ini agak detail dalam menjelaskan hukum dan
tidak ingin terlibat dalam diskusi panjang dalam masalah furû` dengan

tidak memberikan tarjih setelah menguraikan pendapat para ulama.

Mengikuti madzhab Syafi`i, Nawawi tidak berarti menolak madzhab lain.

Di beberapa tempat dalam tafsirnya banyak mengindikasikan Nawawi

tidak fanatik (ta`ashub) madzhab. Beliau terkadang membandingkan empat

madzhab yang ada. Hal ini terlihat di antaranya ketika beliau menafsirkan

Q.s. Al-Maidah/5: 5:

“(Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang

yang diberi al-Kitab sebelum kamu) artinya mereka juga halal bagi kamu

meskipun mereka adalah harbi (memusuhi). Sebagian besar ulama fiqh

mengatakan bahwa sebenarnya Ahl al-Kitab yang halal dinikahkan

adalah mereka yang menganut kitab Taurat dan Injil sebelum al-Qur’an

turun, karenanya orang-orang yang menganut kitab-kitab tersebut

setelah al-Qur’an turun, dikecualikan dari hukum ahl al-kitab, demikian

pendapat madzhab Imam al-Syafi`i. adapun pendapat Ahli madzhab

tiga lainnya, mereka tidak berbicara detailnya tetapi secara global

mereka berpendapat bahwa dihalalkannya memakan daging sembelihan

Ahl al-Kitab menunjukkan dihalalkannya pula menikahi perempuanperempuan mereka


meskipun mereka masuk agama Ahl al-Kitab setelah
Contoh Aplikasi

Untuk memudahkan memahami perbedaan di


atas, ada beberapa contoh kasus yang bisa kita

temukan dalam kitab-kitab fiqih para fuqaha.

Sebagian kecil dari contoh-contoh itu antara lain ;

1. Dalam Shalat

Shalat lima waktu dihukumi wajib adalah syariah.

Jumlah rakaat masing-masing shalat lima waktu

tersebut juga syariah. Makanya kita tak mengenal

madzhab-madzhab dalam hukum shalat lima waktu.

Semuanya sepakat bahwa hukumnya adalah fardhu.

Tidak boleh sama sekali menyebutkan bahwa

shalat lima waktu itu wajib dalam pandangan

syafi’iyyah misalnya. Karena ini syariah, maka

karakternya; tidak pernah salah, mengikat semua

mukallaf, dan tidak akan pernah berubah. Begitu juga

dengan jumlah rakaat masing-masing shalatnya.

Akan tetapi ketika kita menelusuri lebih detail

gerakan, bacaan shalat dan cara melakukannya, kita

akan menemukan setiap gerakan dan bacaan yang

berbeda sesuai dengan perbedaan madzhab yang

ada.
Dimulai dari hukum niat shalat itu sendiri apakah

syarat atau rukun. Membaca basmalah sebelum al

Fatihah dan pembacaannya secara pelan atau keras.

Turun ke sujud apakah lutut atau tangan terlebih

dahulu. Qunut dalam shalat subuh, apakah sunnah

. Dalam Ibadah Yang Lain

Sebenarnya dari masing-masing bab dalam fiqih

bisa saja kita ambil contoh untuk memudahkan

penerimaan kita akan pemetaan fiqih dan syariah ini.

Akan tetapi karena keterbatasan ruang, beberapa

contoh yang sudah ada dalam pembahasan fiqih

shalat, -dan sedikit tambahan berikut ini- kiranya

sudah bisa dikatakan cukup.

Shalat dalam kondisi sudah berwudhu adalah

syariah. Tidak boleh ada yang menyebut bahwa

syarat thaharah (suci) adalah syarat sah shalat dalam


madzhab malikiyah misalnya. Tapi tentang

bagaimana cara bersucinya maka itu tergantung

ijtihad masing-masing madzhab.

Dan hasil kesimpulan ijtihad itulah yang

kemudian disebut sebagai fiqih. Karenanya,

kewajiban berthaharahnya sama sekali tidak boleh

ditentang. Akan tetapi tentang tata caranya, masingmasing boleh meyakini madzhab fiqihnya dan

sekaligus memberi kritik kepada madzhab yang lain.

Tentu saja yang terakhir ini hanya berlaku bagi yang

ahli atau para mujtahid.

Anda mungkin juga menyukai