Anda di halaman 1dari 17

Sistem Istinbath Hukum Empat Imam Mazhab

PENDAHULUAN

Wafatnya Rasulullah SAW menandai berakhirnya pembentukan syari’at


Islam. Para sahabat sebagai perpanjangan tangan Nabi dalam melestarikan dan
mengembangkan Islam dihadapkan pada persoalan sosial yang sangat
kompleks. Namun kepergian beliau tidak berarti berakhirnya pembentukan
hukum Islam. Rasulullah SAW telah meninggalkan warisan yang sangat
berharga untuk dipedomani oleh umatnya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Sehubungan persoalan umat semakin berkembang dan tidak mungkin semuanya
terakomodasi dalam al-Qur’an dan sunnah, maka jauh-jauh hari Rasulullah telah
memberikan contoh melalui pembicaraannya dengan Mu’az bin Jabal, bahwa
penyelesaian persoalan umat itu berpedoman kepada al-Qur’an atau sunnah,
kalau tidak ditemukan solusinya maka diselesaikan melalui ijtihad yang tentu
saja tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utama tersebut.

Dengan berpedoman kepada pesan ini, para sahabat dan tabi’in kemudian
berijtihad disaat mereka tidak menemukan dalil dari al-Qur’an atau sunnah yang
secara tegas mengatur suatu persoalan. Ijtihad para sahabat dan tabi’in inilah
kemudian yang melahirkan fiqih. Perbedaan kuantitas hadits oleh kalangan
tabi’in, ditambah pula perbedaan mereka dalam menetapkan standar kualitas
hadits serta situasi dan kondisi daerah yang berbeda menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam hasil ijtihad mereka. Selain itu perbedaan hasil ijtihad juga
ditunjang oleh kadar penggunaan nalar (rasio), yang pada akhirnya
menyebabkan timbulnya beberapa mazhab dalam fiqih. Di dalam makalah ini
penulis mencoba memberikan penjelasan mengenai sistematika sumber hukum
Islam dan sistem istinbath masing-masing imam mazhab yang empat, yaitu
imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i dan imam Ahmad ibn Hanbal.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin…

PEMBAHASAN

Sebelum membahas sistem istinbath imam-imam mazhab, akan lebih utama


jika memahami dahulu apa itu istinbath dan apa itu sumber hukum Islam.
Dibawah ini akan sedikit dijelaskan mengenai sumber hukum Islam dan
Istinbath. Semoga dengan pemahaman kita itu dapat mempermudah untuk
memahami sistem istinbath empat Imam Mazhab.

1.PengertianSumberHukumIslam
Kata “Sumber Hukum Islam” terdiri dari tiga kata yaitu sumber, hukum, dan
Islam. Adapun kata “sumber” yang dalam bahasa arabnya ‫ مصادر‬-‫ ””مصدر‬yang
berasal dari akar kata “‫ يص;;در‬-‫ “ص;;در‬berarti tempat terbit sesuatu atau asal
sesuatu. Yang dimaksud dengan sumber disini ialah apa-apa yang dijadikan
bahan rujukan bagi ulama dalam merumuskan pendapat-pendapat hukumnya
(fiqih). Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “hukum” dan kata
“Islam”. Kedua kata itu secara terpisah merupakan kata yang digunakan dalam
bahasa arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan juga dalam bahasa
Indonesia baku. “Hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata telah menjadi
bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun bukan merupakan kata yang
terpakai dalam bahasa Arab dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, juga tidak
ditemukan dalam literatur yang berbahasa Arab. Karena itu tidak akan
menemukan artinya secara definitif.

Untuk memahami pengertian Hukum Islam perlu terlebih dahulu diketahui


kata “hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu
disandarkan kepada kata “Islam”. Ada kesulitan dalam memberikan definisi
kepada kata “hukum”, karena setiap definisi akan mengandung titik lemah.
Karena itu untuk memudahkan memahami pengertian “hukum”, berikut ini akan
diketengahkan definisi hukum dalam arti yang sederhana, yaitu: seperangkat
peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat;
disusun oleh orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku dan
mengikat untuk seluruh anggotanya”. Definisi tersebut tentunya masih
mengandung kelemahan, namun dapat memberikan pengertian yang mudah
dipahami.

Bila kata “hukum” dalam pengertian diatas dihubungkan dengan kata


“Islam” atau “syara'”, maka “hukum Islam” akan berarti: “seperangkat
peraturan berdasarkan wahyu Allah SWT dan atau sunnah Rasulullah SAW
tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk
semua yang beragama Islam”. Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah peraturan-peraturan yang
dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat. Kata
“yang berdasarkan wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW”
menjelaskan bahwa perangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada
wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW, atau yang populer dengan
sebutan “syari’ah”. Kata “tentang tingkah laku manusia mukallaf” mengandung
arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tindak lahir dari manusia yang
dikenai hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap
orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu Allah SWT dan sunnah
Rasulullah SAW itu, yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
Sementara itu, kata “hukum Islam” juga berhubungan dengan kata “syari’ah”.
Secara leksikal syari’ah berarti “jalan ke tempat pengairan” atau “jalan yang
harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”. Arti terakhir ini digunakan orang
Arab sampai sekarang untuk maksud kata “syari’ah”. Di antara para pakar
Hukum Islam memberikan definisi kepada syari’ah itu dengan “Segala titah
Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai
akhlak”. Dengan demikian syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang
bersifat amaliah. Di antara ulama ada yang mengkhususkan lagi penggunaan
kata syari’ah itu dengan “apa yang bersangkutan dengan peradilan serta
pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan
haram”. Seorang ulama bernama Qatadah menurut yang diriwayatkan oleh al-
Thabari, ahli tafsir dan sejarah, sebagaimana yang dikutip oleh Amir
Syarifuddin, menggunakan kata syari’ah kepada hal yang menyangkut
kewajiban, hak, perintah dan larangan; tidak termasuk di dalamnya aqidah,
hikmah dan ibarat yang tercakup dalam agama. Mahmud Syaltut mengartikan
syari’ah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi
hambanya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya
dengan sesama manusia dan alam sekitarnya”. Dr. Farouk Abu Zeid
menjelaskan bahwa syari’ah ialah “apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan
Nabinya. Allah adalah pembuat syari’ah yang menyangkut kehidupan agama
dan kehidupan dunia”.

2. Pengertian Istinbath
Secara bahasa kata istinbath berasal dari bahasa Arab yaitu “-‫ يس;;تنبط‬-‫اس;;تنبط‬
‫ ”اس;;تنباط‬yang berarti mengeluarkan, melahirkan, menggali dan lainnya. Kata
dasarnya adalah “)‫ نبوطا (الم;;اء‬-‫ نبطا‬-‫ ينبط‬-‫ ” نبط‬berarti air terbit dan keluar dari
dalam tanah. Adapun yang dimaksud dengan istinbath disini adalah suatu upaya
menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya yang terperinci
untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni.

3. Pengertian Mazhab
Menurut bahasa, mazhab (‫ )مذهب‬berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat)
dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy
“dzahaba” (‫ )ذهب‬yang berarti “pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu (‫ )الرأى‬yang
artinya “pendapat”.
Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua
pengertian, yaitu:
a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam
Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-
Qur’an dan hadits.
b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum
suatu peristiwa yang diambil dari Al-Qur’an dan hadits.
Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam
Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam.
Selanjutnya Imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi
kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu
atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.

A. Sistematika Sumber Hukum Islam


Keempat Imam mazhab sepakat mengatakan bahwa sumber hukum Islam
adalah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Dua sumber tersebut disebut
juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan petunjuk
(dalil) utama kepada hukum Allah SWT.
Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Qur’an dan sunnah seperti Qiyas, Istihsan,
Istishlah, dan lainnya, tetapi dalil ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya
merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh
Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Karena hanya sebagai alat bantu untuk
memahami Al-Qur’an dan sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai
metode istinbath. Oleh karena yang disebut sebagai “dalil-dalil pendukung” di
atas pada sisi lain disebut juga sebagai metode istinbath, para ulama Imam
mazhab tidak sependapat dalam mempergunakannya sebagai sumber hukum
Islam.

 Sistem Istinbath Imam Abu Hanifah


Biografi imam Hanafi
a. Awal kehidupan
Abu Hanifah merupakan imam pertama dari keempat imam dan yang paling
dahulu lahir juga wafatnya, ia mampu memeperoleh kedudukan yang terhormat
dalam masyarakat yang menghimpun factor-faktor positif dan factor-faktor
negative, sehingga tidak heran ia di juluki Imam A’zham (pemimpin terbesar),
ia juga dikenal sebagai fakih irak, dan imam Ar-Ra’y (Imam Aliran Rasional)
Beliau dilahirkan di kota Kuffah, pada tahun 80 H (699 M), beliau benama asli
Nu’mam bin Tsabit Bin Zhauth Bin Mah, ayah beliau keturunan bangsa persi
( Kabul Afganistan) yang menetap di Kuffah, tsabit bapak dari abu hanifah lahir
sebagai seorang muslim dan diriwayatkan dia berasal dari bangsa anbar.
Adapula ia mukim di tirtmidz, ada lagi yang mengatakan ia bermukim di Nisa,
bisa jadi ia bermukim di tiap-tiap kota itu sementara waktu. Ia adaalah seorang
pedagang yang kaya dan taat beragama, sebagai mana ia pernah berttemu
dengan ali bin Abi Thalib, lalu sang imam mendoakan dan keturunananya
dengan kebaikan dan keberkahan.
b. Pendidikan Imam abu Hanifah
pada masa abu hanifah terdapat empat sahabat, mereka adalah: Anas bin Malik,
Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin Sa’ad dan Abu Thufail, mereka adalah
sahabat-sahabta yang paling akhir wafat, namun abu Hanifah tidak Berguru
kepada mereka. Mengapa tidak berguru kepada mereka?, mungkin diantara
mereka ada yang sudah wafat sedang abu hanifah masih kecil, seperti Abdullah
bin Aufa yang meninggal pada tahun 87 hijriyah sehinggga umur abu hanifah
pada waktu itu baru 7 tahun, dan seperti abu Sahl bin Sa’ad yang wafat tahun 88
atau 91 hijriyah dan umur Imam Hanafi baru berumur 11 tahun. Sementara
Anas bin Malik wafat pada tahun 90 atau 92 atau 95 hijriyah dank ala itu abu
Hanifah berumur 15 tahun dan belum mulai mencari ilmu, ketika itu beliau
masih berdagang.
Sampai akhir hayatnya, Imam Abu Hanifah belum mengkodifikasikan metode
penetapan hukum yang digunakannya, meskipun secara praktis dan aplikatif
telah diterapkannya dalam menyelesaikan beberapa persoalan hukum. Thaha
Jabir Fayadl al-‘Ulwani, sebagaimana yang dikutip oleh Jaih Mubarok,
membagi cara ijtihad Imam Abu Hanifah menjadi dua cara: cara ijtihad yang
pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok
dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri, yaitu:

‫ فما لم اجده فيه اخذت بسنة رسول هللا واآلثار الصحاح عن;;ه ال;;تى فش;;ت في‬،‫انى آخذ بكتاب هللا اذا وجدته‬
‫ فاذا لم اجد في كتاب هللا و سنة رسول هللا صلى هللا عليه و سلم اخذت بق;;ول اص;;حابه اخ;;ذت‬.‫ايدى الثقات‬
‫ فاذا انتهى االمر الى ابراهيم والشعبي; وابن المسيب‬،‫بقول ما شئت ثم ال اخرج عن قولهم الى قول غيرهم‬
‫…(عدد رجاال) فاجتهد كما اجتهدوا‬

“sesungguhnya aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Qur’an apabila aku


mendapatkannya; apabila tidak ada dalam Al-Qur’an, aku merujuk kepada
sunnah Rasulullah SAW dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang-
orang tsiqah. Apabila aku tidak mendapatkan dalam Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah, aku merujuk kepada qaul sahabat, (apabila sahabat ikhtilaf), aku
mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan
pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila
didapatkan pendapat Ibrahim, Al-Sya’bi dan ibnu Al-Musayyab, serta yang
lainnya, aku berijtihad sebagai mana mereka berijtihad.”
Sahal ibn Muzahim, sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy,
menerangkan bahwa dasar-dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah dalam
menegakkan fiqih adalah: “Abu Hanifah memegangi riwayat orang yang
terpercaya dan menjauhkan diri dari keburukan serta memperhatikan muamalat
manusia dan adat serta ‘uruf mereka itu. Beliau memegang Qiyas. Kalau tidak
baik dalam satu-satu masalah didasarkan kepada Qiyas, beliau memegangi
istihsan selama yang demikian itu dapat dilakukan. Kalau tidak, beliau
berpegang kepada adat dan ‘uruf. Ringkasnya, dasar (sumber-sumber) hukum
Abu Hanifah, ialah:
a. Al-Qur’an
b. Sunnah Rasulullah SAW (hadits) dan atsar-atsar yang shahih yang telah
masyhur di antara para ulama.
c. Fatwa-fatwa para sahabat
d. Qiyas.
e. Istihsan.
f. Adat dan ‘uruf masyarakat.
Abu Hanifah tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya. Ia selalu
mengatakan, “Inilah pendapat saya dan kalau ada orang yang membawa
pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.” Pernah
ada orang yang berkata kepadanya, “Apakah yang engkau fatwakan itu benar,
tidak diragukan lagi?”. Ia menjawab, “Demi Allah, boleh jadi ia adalah fatwa
yang salah yang tidak diragukan lagi”.
Dari keterangan di atas, tampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam beristidlal
atau menetapkan hukum syara’ yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qath’iy
dari Al-Qur’an atau dari hadits yang diragukan keshahihannya, ia selalu
menggunakan ra’yu. Ia sangat selektif dalam menerima hadits. Imam Abu
Hanifah memperhatikan muamalat manusia, adat istiadat serta ‘urf mereka.
Beliau berpegang kepada Qiyas dam apabila tidak bisa ditetapkan berdasarkan
Qiyas, beliau berpegang kepada istihsan selama hal itu dapat dilakukan. Jika
tidak, maka beliau berpegang kepada adat dan ‘urf. Dalam menetapkan hukum,
Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum di Kufah, yang terletak
jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulullah SAW yang banyak
mengetahui hadits. Di Kufah kurang perbendaharaan hadits. Di samping itu,
kufah sebagai kota yang berada di tengah kebudayaan Persia, kondisi
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban cukup tinggi. Oleh sebab
itu banyak muncul problema kemasyarakatan yang memerlukan penetapan
hukumnya. Karena problema itu belum pernah terjadi di zaman Nabi, atau
zaman sahabat dan tabi’in, maka untuk menghadapinya memerlukan ijtihad atau
ra’yu. Di Kufah, sunnah hanya sedikit yang diketahui di samping banyak terjadi
pemalsuan hadits, sehingga Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima
hadits, dan karena itu maka untuk menyelesaikan masalah yang aktual, beliau
banyak menggunakan ra’yu. Sedangkan cara ijtihad Imam Abu Hanifah yang
bersifat tambahan adalah:
a. Bahwa dilalah lafaz umum (‘am) adalah qath’iy, seperti lafaz khash
b. Bahwa pendapat sahabat yang “tidak sejalan” dengan pendapat umum adalah
bersifat khusus
c. Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih)
d. Adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan shifat
e. Bahwa apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil
adalah perbuatannya, bukan riwayatnya
f. Mendahulukan Qiyas Jali atas khabar ahad yang dipertentangkan
g. Menggunakan istihsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.

 Sistematika Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Malik


Biografi Imam Malik
a. Awal kehidupan
Nama lengkap beliau adalah Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir al-
asybahi al-‘araby al-Yamaniyah, lahir di Madinah pada tahun 93 H (712 M).
Ayahnya berasal dari kabilah Dzi Ashbah yang ada di Yaman, dan ibunya
bernama ‘Aliyah binti syuraik dari kabilah Azdi. Kakek imam Malik datang
berhijrah ke negeri Madinah setelah Rasulullah wafat, beliau merupakan
seorang pembesar tabi’in, banyak meriwayatkan hadis dari sahabat, seperti
Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan ‘Aisyah.
Imam malik tidak pernah meninggalkan kota Madinah, kecuali untuk
menunaikan ibadah haji sampai beliau wafat pada tanggal 14 Rabi’ul Awal
tahun 179 H dalam usia 87 tahun.
b. Guru-guru Imam Malik
Imam malik mendapatkan ilmu fiqh dan sunnah dari para gurunya, diantaranya
Abdurrahman bin Hurzum, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-zuhry, Abu
Az-zanad, Abdullah bin Dzakwan, Yahya bin Sa’id, dan Rabi’ah bin
Abdirrahman.
c. Murid-murid Imam Malik
Banyak murid Imam Malik yang menjadi ulama terkenal pada masa
sesudahnya. Berikut ini adalah murid-muridnya yang menjadi fuqaha dan ahli
hadits:
Yang berasal dari Mesir antara lain: Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin
Muslim Al-Quraisyi, Abu Abdillah bin Qosim Al-A’taqi, Asyhab bin Abdul
Aziz Al-Qoisy Al-A’miry Al-ja’dy, Abu Muhammad Abdullah bin Abdul
Hakam bin A’yun bin Al-Laits, Ashbah bin Alfaraj Al-Amawi, Muhammad bin
Abdul Hakam, Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad Al-Iskandari Al-Ma’ruf bin
ibni Mawaz.
Yang berasal dari afrika dan Andalusia (spanyol) antara lain: Abu Abdillah
Ziyad bin Abdurrahman Al-Qurthubi Al-Ma’ruf bisyabtun, I’sa bin Dinar Al-
Andalusi, Yahya bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi, Abdul Malik bin Habib bin
Sulaiman As-Salami.

Adapun sumber hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah
berpegang pada:
a. Al-Qur’an
Dalam memegang Al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas
zahir nash Al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan
mafhum al-Aula dengan memperhatikan ‘illatnya.
b. Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti
cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur’an. Apabila dalil
syar’iy menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan
adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zahir Al-
Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang
adalah makna zahir Al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh
sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl Al-Madinah, maka ia lebih
mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-
Qur’an (sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah mutawatir atau
masyhurah).
c. Ijma’ Ahl al-Madinah
Ijma’ ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma’ ahl al-Madinah yang
asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil
ijtihad ahl al-Madinah. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Huzaemah T. Yanggo,
yang dimaksud dengan ijma’ ahl al-Madinah tersebut ialah ijma’ ahl al-Madinah
pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi
SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama
sekali bukan merupakan hujjah. Ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql,
sudah merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.
Dikalangan mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada
khabar ahad, sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama’ah,
sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perseorangan.
d. Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan Sahabat disini adalah sahabat besar, yang pengetahuan
mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Ini berarti bahwa
yang dimaksud dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadits-hadits yang
wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar itu tidak akan
memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW.
Namun demikian, beliau mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak
boleh bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa
sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada Qiyas.
e. Khabar Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari
Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah
dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali
khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath’iy. Dalam
menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang-
kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu
tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini
dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari
Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar ahad tersebut tidak digunakan
sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan mashlahah.
f. Al-Istihsan
Menurut mazhab Maliki, al-Istihsan adalah: “Menurut hukum dengan
mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully
(menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada
qiyas, sebab menggunakan istihsan itu,tidak berarti hanya mendasarkan pada
pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada
maksud pembuat syara’ secara keseluruhan”. Dari ta’rif tersebut, jelas bahwa
istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu
dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam ungkapan
yang lain sering dikatakan bahwa istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas
lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Artinya
jika terdapat satu masalah yang menurut qiyas semestinya diterapkan hukum
tertentu, tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata akan menghilangkan suatu
mashlahah atau membawa madharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang
demikian itu harus dialihkan ke qiyas lain yang tidak akan membawa kepada
akibat negatif. Tegasnya, istihsan selalu melihat dampak suatu ketentuan
hukum. Jangan sampai suatu ketentuan hukum membawa dampak merugikan.
Dampak suatu ketentuan hukum harus mendatangkan mashlahat atau
menghindarkan madharat.
g. Al-Mashlahah Al-Mursalah
Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara
tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka
maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan.
Tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui Al-Qur’an, sunnah atau
ijma’.
Para ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai dasar hukum,
menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:
• Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang
seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
• Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum,
bukan sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu.
• Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan
tidak bertentangan dengan ketentuan nash atau ijma’.
h. Sadd Al-Zara’i
Imam Malik menggunakan sadd al-Zara’i sebagai landasan dalam menetapkan
hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram
atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab
yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.
i. Istishhab
Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau
yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa
lampau. Jadi sesuatu yang telah dinyatakan adanya, kemudian datang keraguan
atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap
seperti hukum pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula sebaliknya.
j. Syar’u Man Qablana
Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan
kaedah syar’u man qablana syar’un lana, sebagai dasar hukum. Tetapi menurut
Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam
Malik yang menyatakan demikian. Menurut Abd. Wahab Khallaf, bahwa
apabila Al-Qur’an dan sunnah shahihah mengisahkan suatu hukum yang pernah
diberlakukan buat umat sebelum kita melalui para Rasul yang diutus Allah
untuk mereka dan hukum-hukum tersebut dinyatakan pula di dalam Al-Qur’an
dan sunnah shahihah, maka hukum-hukum tersebut berlaku pula buat kita.

d. Sistematika Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Syafi’i


Biografi Imam Syafi’i
a. Awal Kehidupan
Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin
Utsman bin Syafi’i, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada
kakeknya Abdul Manaf.Imam Syafi’i lahir pada bulan Rajab pada tahun 150 H.
di Gaza, tidak lama kelahiran beliau, ayah beliau wafat. Ibu beliau bernama
Fatimal al-Azdiyah, salah satu kabilah di Yaman. Imam Syafi’i kecil memiliki
kecerdasan yang mengagumkan serta kecepatan hapalan yang luar biasa. Beliau
pernah berkata: “Saat aku di kuttab, aku mendengar guruku mengajar ayat-ayat
Alquran, maka aku langsung menghapalkan, apabila dia mendiktekan sesuatu.
Belum selesai guruku membacakannya kepada kami, aku telah menghafal
seluruh apa yang didiktekannya. Maka dia berkata kepadaku suatu hari: Demi
allah, aku tidak pantas mengambil bayaran dari kamu sesen pun”. Imam Syafi’i
amat gemar mengembara, khususnya bertujuan menuntut ilmu. Beliau pindah
ke Madinah untuk belajar fikih kepada Imam Malik, pada usia dua puluh tahun
sampai Imam Malik meninggal pada tahun 179 H. pada tahun 184 H, Khalifah
Harun Al-Rasyid memerintahkan Imam Syafi’i didatangkan ke Baghdad
bersama sembilan orang lainnya atas tuduhan menggulingkan pemerintahan.
Namun beliau dapat lepas dari tuduhan itu atas bantuan Muhammad Ibn al-
Hasan Al-Syaibani, murid dan teman Imam Hanafi, yang kemudian hari
menjadi guru beliau. Tak lama berada di Baghdad, Imam Syafi’i kembali ke
Mekkah al-Mukarramah, dengan membawa ilmu ahl ra’yu, yang dia peroleh
dari Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, yang bersinergi dengan ilmu ahl
Hijaz, yang diperoleh dari Imam Malik. Pada tahun 195 H, beliau kembali ke
Baghdad yang bertujuan untuk berdiskusi tentang fikih. Tidak lama di Baghdad,
beliau melanjutkan perjalanan ke Mesir dan tiba di Mesir pada bulan Syawal
tahun 199 H. tak lama setelah tinggal di Mesir, tepatnya tahun 2004 204 H,
beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Konon beliau sebelum wafat
menderita penyakit wasir yang parah, hingga terkadang jika naik kuda,
darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaos
kakinya. Beliau rela menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir.
Selain itu, beliau terus mengajar, meneliti, dialog serta mengkaji baik siang
maupun malam.
b. Guru-Guru Imam Syafi’i
Imam Syafi’i merupakan ulama sintesis yang beraliran antara ahl ra’yu dan ahl
hadis (Kufah dan Madinah), di Kufah Imam Syafi’i menimba ilmu kepada
Muhammad Ibn al-Hasan al Syaibani yang merupakan murid sekaligus sahabat
dari Imam Hanafi. Sedangkan di Madinah, beliau belajar kepada Imam Malik,
beliau (Imam Malik) dikenal dengan sebutan ahl Hadis. Selain itu, beliau juga
berguru kepada ulama-ulama di Yaman, Mekah dan Madinah. Adapun ulama
Yaman yang menjadi guru Imam Syafi’i yaitu :
1) Mutharaf Ibn Mazim
2) Hisyam Ibn Yusuf
3) ‘Umar Ibn Abi Salamah
4) Yahya Ibn Hasan
Adapun selama tinggal di Mekkah, Imam Syafi’i belajar kepada beberapa ulama
antara lain:
1) Sufyan Ibn ‘Uyainah
2) Muslim Ibn Khalid al-Zauji
3) Sa’id Ibn Salim al-Kaddah
4) Daud Ibn ‘Abdurrahman al-‘Aththar
5) ‘Abdul Hamid ‘Abdul aziz Ibn Muhammad ad-Dahrawardi
6) Ibrahim Ibn Abi Sa’id Ibn Abi Fudaik
7) ‘Abdullah Ibn Nafi’.
Selain dua fikih di atas (aliran ra’yu dan hadis), Imam Syafi’i juga belajar fikih
aliran al-Auza’i dari ‘Umar Ibn Abi Salamah dan fikih al-Laits dari Yahya Ibn
Hasan.
c. Murid-Murid Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mempunyai banyak murid alam meneruskan kajian fikih dalam
alirannya. Yang paling berperan dalam pengembangan aliran fikih Imam Syafi’i
ini antara lain :
1. Al-Muzani
Nama asli beliau Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya al-Muzani al-Misri yang lahir
pada tahun 185 H serta menjadi besar dalam menuntut ilmu dan periwayatan
hadis. Saat Imam Syafi’i datang ke Mesir pada tahun 1994, al-Muzani
menemuinya dan belajar fikih kepadanya. Al-Muzani dianggap orang yang
paling pandai, serdas serta yang paling banyak menyusun kitab untuk
mazhabnya. Beliau meninggal pada tahun 264 H. adapun kitab karangan beliau
antara lain al-Jami’ al-Kabīr, al-Jami’ aş-Şagir, serta yang terkenal al-
Mukhtaşar aş-Şagir.
2. Al-Buwaiti
Nama beliau adalah Abu Ya’qub Yusuf Ibn Yahya al-Buwaiti, yang berasal dari
Bani Buwait kampung di Tanah Tinggi Mesir. Beliau adalah murid sekaligus
sahabat Imam Syafi’i yang tertua bekebangsaan Mesir dan pengganti atau
penerus Imam Syafi’i, sepeninggalnya.beliau belajar fikih dari Imam Syafi’i
dan mengambil hadis darinya pula serta dari Abdullah bin Wahab dan dari yang
lainnya. Imam Syafi’i merupakan sandarannya dalam berfatwa serta
pengaduannya apabila diberikan satu masalah padanya. Beliau selalu
menghidupkan malam dengan membaca Alquran dan shalat serta selalu
menggerakkan kedua bibirnya dengan berdzikir kepada Allah. Beliau wafat
pada tahun 231 H. di dalam penjara Baghdad, karena tidak menyetujui paham
Mu’tajilah yang merupakan paham resmi negara saat itu, tentang kemakhlukan
Alquran. Beliau menghimpun kitab al-fiqh, al-Mukhtaşar al-Kabīr, al-
Mukhtaşar aş-Şagir dan al-Fara’id dalam aliran Imam Syafi’i menjadi satu.
Selain mereka berdua, murid-murid Imam Syafi’i yang lain, yaitu ar-Rabi’ Ibn
Sulaiman al-Marawi, ‘Abdullah Ibn Zubair al-Hamidi. Abu Ibrahim, Yunus Ibn
Abdul a’la as-Sadafi, Ahmad Ibn Sibti, Yahyah Obn Wazir al-Misri, Harmalah
Ibn Yahya Abdullah at-Tujaidi, Ahmad Ibn Hanbal, Hasan Ibn ‘Ali al-Karabisi,
Abu Saur Ibrahim Ibn Khalid Yamani al-Kalbi serta Hasan Ibn Ibrahim Ibn
Muhammad as-Sahab az-Za’farani.
Secara sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam
Istinbāţ hukum, antara lain :
1. Alquran dan sunnah
2. Ijmak
3. Menggunakan al-Qiyas dan at-Takhyir bila menghadapi ikhtilaf.
Sedangkan manhaj atau langkah-langkah ijtihad Imam Syafi’i, seperti yang
dikutip DR. Jaih Mubarok dari Ahmad Amin dalam kitabnya Duha al-Islam,
yaitu sebagai berikut : rujukan pokok adalah Alquran dan sunnah. Apabila suatu
persoalan tidak diatur dalam Alquran dan sunnah, hukumnya ditentukan dengan
qiyas. Sunnah digunakan apabila sanadnya sahih. Ijmak diutamakan atas khabar
mufrad. Makna yang diambil dari hadis adalah makna zahir. Apabila suatu lafaz
ihtimal (mengandung makna lain), maka makna zahir lebih diutamakan.hadis
munqati’ ditolak kecuali jalur Ibn Al-Musayyab. As-Asltidak boleh diqiyaskan
kepada al-asl. Kata “mengapa” dan “bagaimana” tidak boleh dipertanyakan
kepada Alquran dan sunnah, keduanya dipertanyakan hanya kepada al-Furu’
Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafi’i
menggunakan lima sumber, yaitu:
1. Nash-nash
baik Alquran dan sunnah yang merupakan sumber utama bagi fikih Islam, dan
selain keduanya adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang sepakat atau
berbeda pendapat, tetapi tidak pernah bertentangan dengan Alquran atau
sunnah.
2. Ijmak
merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh imam Syafi’i menempati
urutan setelah Alquran dan sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai
kesepakatan ulama suatu zaman tertentu terhadap satu masalah hukum syar’i
dengan bersandar kepada dalil. Adapun ijmak pertama yang digunakan oleh
imam Syafi’i adalah ijmaknya para sahabat, beliau menetapkan bahwa ijmak
diakhirkan dalam berdalil setelah Alquran dan sunnah. Apabila mmasalah yang
sudah disepakati bertentangan dengan Alquran dan sunnah maka tidak
adahujjah padanya.
3. Pendapat para sahabat.
Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu
yang sudah disepakati, seperti ijmak mereka untuk membiarkan lahan pertanian
hasil rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijmak seperti ini adalah
hujjah dan termasuk dalam keumumannya serta tidak dapat dikritik. Kedua,
pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada yang lain dalam suatu masalah,
baik setuju atau menolak, maka imam Syafi’i tetap mengambilnya. Ketiga,
masalah yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini imam Syafi’i
akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan Alquran, sunnah atau
ijmak, atau mrnguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan
membuat pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
4. Qiyas.
Imam Syafi’i menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi syariat
Islam untuk mengetahui tafsiran hukum Alquran dan sunnah yang tidak ada
nash pasti. Beliau tidak menilai qiyas yang dilakukan untuk menetapkan sebuah
hukum dari seorang mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan hukum syariat
dalam masalah yang sedang digali oleh seorang mujtahid.
5. Istidlal. Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum,
apabila tidak menemukan hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas. Dua
sumberistidlal yang diakui oleh imam Syafi’i adalah adat istiadat (‘urf) dan
undang-undang agama yang diwahyukan sebelum Islam (istishab). Namun
begitu, kedua sumber ini tidak termasuk metode yang digunakan oleh imam
Syafi’i sebagai dasar istinbath hukum yang digunakan oleh imam Syafi’i.[12]
6. Kaul Qadim dan Kaul Jadid.
Ulama membagi pendapat imam Syafi’i menjadi dua, yaitu Kaul Qadim dan
Kaul Jadid. Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan
ditulis di Irak. Sedangkan Kaul Jadid adalah pendapat imam Syafi’i yang
dikemukakan dan ditulis di Mesir. Di Irak, beliau belajar kepada ulama Irak dan
banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-ra’y. Di antara
ulama Irak yang banyak mengambil pendapat imam Syafi’i dan berhasil
dipengaruhinya adalah Ahmad bin Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani, dan Abu
Tsaur. Setelah tinggal di Irak, imam Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir
kemudian tinggal di sana. Di Mesir, dia bertemu dengan (dan berguru kepada)
ulama Mesir yang pada umumnya sahabat imam Malik. Imam Malik adalah
penerus fikih Madinah yang dikenal sebagai ahl al-hadits. Karena perjalanan
intelektualnya itu, imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang
kemudian disebut Kaul Jadid. Dengan demikian, Kaul Qadim adalah pendapat
imam Syafi’i yang bercorak ra’yu, sedangkan Kaul Jadid adalah pendapatnya
yang bercorak sunnah.
Beberapa contoh pendapat Kaul Qadim dan Kaul Jadid antara lain:
a. Air yang terkena najis.
Kaul Qadim: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari
ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis selama air itu
tidak berubah.
Kaul Jadid: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran
yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis apakah air itu berubah
atau tidak.
b. Zakat buah-buahan.
Kaul Qadim: wajib mengeluarkan zakat buah-buahan, walaupun yang tidak
tahan lama.
Kaul Jadid: tidak wajib mengeluarkan zakat buah-buahan yang tidak tahan
lama.
c. Membaca talbiyah dalam thawaf.
Kaul Qadim: sunat hukumnya membaca talbiyah dalam melakukan thawaf.
Kaul Jadid: tidak sunat membaca talbiyah dalam melakukan thawaf.

 Sistematika Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Ahmad ibn
Hanbal
Biografi imam Hanbali
a. Awal kehidupan
Ibnu hanbal lahir pada tahun 164 hijriyah di Baghdad setelah ibunya
membawanya pindah keyika ia masih dalam kandungan dari kota marwa tempat
tinngal ayahnya kekota bagdad. Ia adalah Abu aabdullah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan
bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban Al-Marwazi
lalu Al-Baghdadi, nasab ibnu hanbal sampai kepada rasulullah saw, pada Nizar
bin Ma’ad bin Adnan. Penisbatan Inbu Hanbal yang terkenal adalah kepada
kakeknya Hanbal, maka orang-orang mengatakan Ibnu Hanbal.
b. Pendidikan Ibnu Hanbal
Ibnu Hanbal hafal Al-Qur’anul Karim, mempelajari Ilmu Bahsa, dan belajar
membaca dan menulis di diwan (tempat belajar dan menulis). Ibnu Hanbal
pertama kali belajar kepada Abu yusuf Ya’kub bin Ibrahim Al-Qadhi, murid
abu hanifah kepadanya ia belajar hadist dan fiqih, karenanya Abu Yusuf dikenal
sebagai guru pertama Ibnu Hanbal. Namun pengaruh Abu Yusuf tidak begitu
kuat tertanam dalam jiwa Ibnu Hanbal sehingga ada yang berpendapat bahwaa
Abu Yusuf bukan guru pertamanya. Sementara guru pertamanya adalah Hasyim
bin Basyir bin Kazim Al-Wasiti, karena ia adalahguru yang palin kuat
pengaruhnya kepada Inbu Hanbal, Ibnu Hnbal berguru kepadanya selama empat
tahun.
Disela-sela berguru kepada Hasyim, Ibnu Hanbal juga berguru kepada Umair
bin Abdullah bin Khalid, Abdurrahman bin Mahdi, dan Abu bakar bin Iyasy.
Imam Syafi’I adalah salah satu guru dari Ibnu Hanbal, bahkan ada yang
mneganggap bahwa Syafi’I merupakan guru kedua dari ibnu hanbal setelah
Hasyim. Muhammad bin ishaq bi Khuzaimah mangatakan “Ahmad bin Hanbal
tidak lain hanyalah merupakan salah satu pelayan Syafi’I”. ia juga berguru
kepada Ibrahim bin Sa’ad, Yahya Al-Qathan, Waki’ juga berguru kepada
Sufyan bin Uyainah (pengganti Imam Malik).
Adapun sumber hukum dan metode istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal dalam
menetapkan hukum adalah:
1. Nash dari Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari Al-Qur’an dan dari Sunnah
Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan
nash itu.

2. Fatwa para sahabat Nabi SAW


Apabila ia tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qur’an
maupun dari hadits shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat
Nabi yang tidak ada perselisihan di kalangan mereka. Apabila terdapat
perbedaan di antara fatwa para sahabat, maka Imam Ahmad ibn Hanbal memilih
pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
3. Hadits Mursal dan Hadits Dha’if
Apabila ia tidak menemukan dari tiga poin di atas, maka beliau menetapkan
hukum dengan hadits mursal dan hadits dha’if. Dalam pandangan Imam Ahmad
ibn Hanbal, hadits hanya dua kelompok yaitu, hadits shahih dan hadits dha’if.
4. Qiyas
Apabila Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal
dan hadits dha’if, maka ia menganalogikan / menggunakan qiyas. Qiyas adalah
dalil yang digunakan dalam keadaan dharurat (terpaksa)
5. sadd al-dzara’i
yaitu melakukan tindakan preventif terhadap hal-hal yang negatif.

KESIMPULAN
a. Imam Hanafi
Sebagai seorang ulama, beliau tidak membenarkan seorang bertaklid buta
dengan beliau (tidak mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu juga
kepada para Ulama beliau menginginkan seorang bersikap kritis dalam
menerima fatwa dalam ajaran agama. Bahakan beliau pernah berkata “Tidak
Halal bagi seorang yang berfatwa dengan perkataanku, selam ia belum mengerti
dari mana perkataanku”.
Dalam mengistinbathkan hukum, beliau melihat terlebih dahulu kepada
kitabullah, bila tifdak ditemukan dilanjutkan kepada sunnah jika tidak
ditemukan pula dalam sunnah beliau melihat kepada perkataan para sahabat,
lalu beliau menggunakan jalan pikiran untuk mengambil pendapat mana yang
sesuai dengan jala pikiran dan ditiggal mana yang tidak sesuai.
b. Imam Malik
Imam Malik pernah berkata: ” saya seorang manusia, dan saya terkadang salah
terkadang benar. Oleh sebab itu lihatlah dan pikirkanlah baik-baik pendapat
saya, jika sesuai dengan al-qur’an dan sunnah maka ambilah dia dan jika tidak
sesuai maka tingglkanlah”. Artinya bahwa jika beliau menjatuhkan hukumnan
dalam masalah keagamaan, dan pada waktu menetapkan buah pikirannya itu
bukan dari nash al-qur’an dan sunnah, maka masing-masing kita disuruh untuk
melihat dan memperhatikannya kembali dengan baik tentang buah fikirannya,
terlebih dahulu harus dicocokknya dengan nash yaitu al-qur’an dan sunnah.
Pada suatu waktu beliau juga pernah megatakan bahwa tidaklah semua
perkataan itu lalu diturut sekalipun ia orang yang mempunyai kelebihan-
kelebihan. Kita tidak mesti mengikuti perkataan orang itu jelas berlawanan atau
menyalahi hukum-hukum rasul, maka kita diperbolehkan untuk mengikutinya”.
Dengan demikian jelaslah, bahwa kita dilarang bertaqlid kepada pendapat-
pendapat dan perkataan yang memang nyata tidak sesuai dengan petunjuk yang
ada dalam al-qur’an dan sunnah. Demikianlah nasihat Imam Malik menganai
taqlid.

c. Imam Syafi’i
Beliuselalu member peringatan terhadap murid-muridnya agar tidak begitu saja
menerima apa-apa yang disampaikan oleh beliau samapikan dalam masalah
agama, yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Diantara nasihat beliau tentang taklid buta, beliau pernah berkata kepada
muridnya yaitu Imam Ar-Rabi : “Ya Abi Ishak, janganlah engkau bertaklid
kepadaku, dalam tiap-tiap yang apa aku lakukan, dan pikirkanlah benar-benar
bagi dirimu sendiri karena ia adalah urusan agama”.Dari pernyataan tersebut di
atas kiranya cukup jelas pendapat imam Syafi’I tentang taklid buta sungguh
beliau melarang taklid buta kepada beliau dan kepada para ulama lainnya dalam
urusan hokum-hukum agama.
d. Imam Hanbali
Imam Ibnu Hanbal merupakan seorang ahli sunnah dan ahli Atsar, dan beliau
sangat keras terhadap penggunaan ra’yu, maka demikian Imam Ibnu Hanbal
pailng keras terhadap taqlid buta dan orang yang bertaqlid terhadap urusan
agama. Pendirian beliau yang seperti itu dapat dibuktikan dengan ucapannya
yang beliau sampaikan kepada salah atu muridnya seperti Imam Abu Dawud
pernah mendengar bahwa Imam Ibnu Hanbal Berkata “janganlah engkau
bertaqlid kepada saya, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan janganlah pula kepada
Tsauri tetapi ambillah olehmu darimana mereka Itu mengambil”. Dari perkataan
beliau, jelas ras terhadap beliau melarang keras terahadap taqlid, dan beliau
memerinntahkan supaya orang mengambil segala sesuatu dari sumbber yang
telah mereka ambil (para Imam). Imam Ibnu Hanbal merupakan seorang ahli
sunnah dan ahli Atsar, dan beliau sangat keras terhadap penggunaan ra’yu,
maka demikian Imam Ibnu Hanbal pailng keras terhadap taqlid buta dan orang
yang bertaqlid terhadap urusan agama. Pendirian beliau yang seperti itu dapat
dibuktikan dengan ucapannya yang beliau sampaikan kepada salah atu
muridnya seperti Imam Abu Dawud pernah mendengar bahwa Imam Ibnu
Hanbal Berkata “janganlah engkau bertaqlid kepada saya, Imam Malik, Imam
Syafi’I, dan janganlah pula kepada Tsauri tetapi ambillah olehmu darimana
mereka Itu mengambil”. Dari perkataan beliau, jelas ras terhadap beliau
melarang keras terahadap taqlid, dan beliau memerinntahkan supaya orang
mengambil segala sesuatu dari sumbber yang telah mereka ambil (para Imam)
DAFTAR PUSTAKA

Yanggo, Huzaemah Tahido, Dr. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab.


Jakarta: Logos.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Prof. Dr. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad, MA. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Haswir, MAg. dan Muhammad Nurwahid, MAg. 2006. Perbandingan Mazhab,
Realitas Pergulatan Pemikiran Ulama Fiqih. Pekanbaru: Alaf Riau.
M. Zein, Satria Effendi, Prof. Dr. H. MA. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Mubarok, Jaih, Dr. 2002. Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim
dan Qawl Jadid. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai