PENDAHULUAN
Dengan berpedoman kepada pesan ini, para sahabat dan tabi’in kemudian
berijtihad disaat mereka tidak menemukan dalil dari al-Qur’an atau sunnah yang
secara tegas mengatur suatu persoalan. Ijtihad para sahabat dan tabi’in inilah
kemudian yang melahirkan fiqih. Perbedaan kuantitas hadits oleh kalangan
tabi’in, ditambah pula perbedaan mereka dalam menetapkan standar kualitas
hadits serta situasi dan kondisi daerah yang berbeda menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam hasil ijtihad mereka. Selain itu perbedaan hasil ijtihad juga
ditunjang oleh kadar penggunaan nalar (rasio), yang pada akhirnya
menyebabkan timbulnya beberapa mazhab dalam fiqih. Di dalam makalah ini
penulis mencoba memberikan penjelasan mengenai sistematika sumber hukum
Islam dan sistem istinbath masing-masing imam mazhab yang empat, yaitu
imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i dan imam Ahmad ibn Hanbal.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin…
PEMBAHASAN
1.PengertianSumberHukumIslam
Kata “Sumber Hukum Islam” terdiri dari tiga kata yaitu sumber, hukum, dan
Islam. Adapun kata “sumber” yang dalam bahasa arabnya مصادر- ””مصدرyang
berasal dari akar kata “ يص;;در- “ص;;درberarti tempat terbit sesuatu atau asal
sesuatu. Yang dimaksud dengan sumber disini ialah apa-apa yang dijadikan
bahan rujukan bagi ulama dalam merumuskan pendapat-pendapat hukumnya
(fiqih). Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “hukum” dan kata
“Islam”. Kedua kata itu secara terpisah merupakan kata yang digunakan dalam
bahasa arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan juga dalam bahasa
Indonesia baku. “Hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata telah menjadi
bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun bukan merupakan kata yang
terpakai dalam bahasa Arab dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, juga tidak
ditemukan dalam literatur yang berbahasa Arab. Karena itu tidak akan
menemukan artinya secara definitif.
2. Pengertian Istinbath
Secara bahasa kata istinbath berasal dari bahasa Arab yaitu “- يس;;تنبط-اس;;تنبط
”اس;;تنباطyang berarti mengeluarkan, melahirkan, menggali dan lainnya. Kata
dasarnya adalah “) نبوطا (الم;;اء- نبطا- ينبط- ” نبطberarti air terbit dan keluar dari
dalam tanah. Adapun yang dimaksud dengan istinbath disini adalah suatu upaya
menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya yang terperinci
untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni.
3. Pengertian Mazhab
Menurut bahasa, mazhab ( )مذهبberasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat)
dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy
“dzahaba” ( )ذهبyang berarti “pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu ( )الرأىyang
artinya “pendapat”.
Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua
pengertian, yaitu:
a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam
Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-
Qur’an dan hadits.
b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum
suatu peristiwa yang diambil dari Al-Qur’an dan hadits.
Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam
Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam.
Selanjutnya Imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi
kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu
atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
فما لم اجده فيه اخذت بسنة رسول هللا واآلثار الصحاح عن;;ه ال;;تى فش;;ت في،انى آخذ بكتاب هللا اذا وجدته
فاذا لم اجد في كتاب هللا و سنة رسول هللا صلى هللا عليه و سلم اخذت بق;;ول اص;;حابه اخ;;ذت.ايدى الثقات
فاذا انتهى االمر الى ابراهيم والشعبي; وابن المسيب،بقول ما شئت ثم ال اخرج عن قولهم الى قول غيرهم
…(عدد رجاال) فاجتهد كما اجتهدوا
Adapun sumber hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah
berpegang pada:
a. Al-Qur’an
Dalam memegang Al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas
zahir nash Al-Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan
mafhum al-Aula dengan memperhatikan ‘illatnya.
b. Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti
cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur’an. Apabila dalil
syar’iy menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan
adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zahir Al-
Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang
adalah makna zahir Al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh
sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl Al-Madinah, maka ia lebih
mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-
Qur’an (sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah mutawatir atau
masyhurah).
c. Ijma’ Ahl al-Madinah
Ijma’ ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma’ ahl al-Madinah yang
asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil
ijtihad ahl al-Madinah. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Huzaemah T. Yanggo,
yang dimaksud dengan ijma’ ahl al-Madinah tersebut ialah ijma’ ahl al-Madinah
pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi
SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama
sekali bukan merupakan hujjah. Ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql,
sudah merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.
Dikalangan mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada
khabar ahad, sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama’ah,
sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perseorangan.
d. Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan Sahabat disini adalah sahabat besar, yang pengetahuan
mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Ini berarti bahwa
yang dimaksud dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadits-hadits yang
wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar itu tidak akan
memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW.
Namun demikian, beliau mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak
boleh bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa
sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada Qiyas.
e. Khabar Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari
Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah
dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali
khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath’iy. Dalam
menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang-
kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu
tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini
dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari
Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar ahad tersebut tidak digunakan
sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan mashlahah.
f. Al-Istihsan
Menurut mazhab Maliki, al-Istihsan adalah: “Menurut hukum dengan
mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully
(menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada
qiyas, sebab menggunakan istihsan itu,tidak berarti hanya mendasarkan pada
pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada
maksud pembuat syara’ secara keseluruhan”. Dari ta’rif tersebut, jelas bahwa
istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu
dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam ungkapan
yang lain sering dikatakan bahwa istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas
lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Artinya
jika terdapat satu masalah yang menurut qiyas semestinya diterapkan hukum
tertentu, tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata akan menghilangkan suatu
mashlahah atau membawa madharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang
demikian itu harus dialihkan ke qiyas lain yang tidak akan membawa kepada
akibat negatif. Tegasnya, istihsan selalu melihat dampak suatu ketentuan
hukum. Jangan sampai suatu ketentuan hukum membawa dampak merugikan.
Dampak suatu ketentuan hukum harus mendatangkan mashlahat atau
menghindarkan madharat.
g. Al-Mashlahah Al-Mursalah
Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara
tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka
maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan.
Tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui Al-Qur’an, sunnah atau
ijma’.
Para ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai dasar hukum,
menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:
• Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang
seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
• Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum,
bukan sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu.
• Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan
tidak bertentangan dengan ketentuan nash atau ijma’.
h. Sadd Al-Zara’i
Imam Malik menggunakan sadd al-Zara’i sebagai landasan dalam menetapkan
hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram
atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab
yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.
i. Istishhab
Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau
yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa
lampau. Jadi sesuatu yang telah dinyatakan adanya, kemudian datang keraguan
atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap
seperti hukum pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula sebaliknya.
j. Syar’u Man Qablana
Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan
kaedah syar’u man qablana syar’un lana, sebagai dasar hukum. Tetapi menurut
Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam
Malik yang menyatakan demikian. Menurut Abd. Wahab Khallaf, bahwa
apabila Al-Qur’an dan sunnah shahihah mengisahkan suatu hukum yang pernah
diberlakukan buat umat sebelum kita melalui para Rasul yang diutus Allah
untuk mereka dan hukum-hukum tersebut dinyatakan pula di dalam Al-Qur’an
dan sunnah shahihah, maka hukum-hukum tersebut berlaku pula buat kita.
Sistematika Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Ahmad ibn
Hanbal
Biografi imam Hanbali
a. Awal kehidupan
Ibnu hanbal lahir pada tahun 164 hijriyah di Baghdad setelah ibunya
membawanya pindah keyika ia masih dalam kandungan dari kota marwa tempat
tinngal ayahnya kekota bagdad. Ia adalah Abu aabdullah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan
bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban Al-Marwazi
lalu Al-Baghdadi, nasab ibnu hanbal sampai kepada rasulullah saw, pada Nizar
bin Ma’ad bin Adnan. Penisbatan Inbu Hanbal yang terkenal adalah kepada
kakeknya Hanbal, maka orang-orang mengatakan Ibnu Hanbal.
b. Pendidikan Ibnu Hanbal
Ibnu Hanbal hafal Al-Qur’anul Karim, mempelajari Ilmu Bahsa, dan belajar
membaca dan menulis di diwan (tempat belajar dan menulis). Ibnu Hanbal
pertama kali belajar kepada Abu yusuf Ya’kub bin Ibrahim Al-Qadhi, murid
abu hanifah kepadanya ia belajar hadist dan fiqih, karenanya Abu Yusuf dikenal
sebagai guru pertama Ibnu Hanbal. Namun pengaruh Abu Yusuf tidak begitu
kuat tertanam dalam jiwa Ibnu Hanbal sehingga ada yang berpendapat bahwaa
Abu Yusuf bukan guru pertamanya. Sementara guru pertamanya adalah Hasyim
bin Basyir bin Kazim Al-Wasiti, karena ia adalahguru yang palin kuat
pengaruhnya kepada Inbu Hanbal, Ibnu Hnbal berguru kepadanya selama empat
tahun.
Disela-sela berguru kepada Hasyim, Ibnu Hanbal juga berguru kepada Umair
bin Abdullah bin Khalid, Abdurrahman bin Mahdi, dan Abu bakar bin Iyasy.
Imam Syafi’I adalah salah satu guru dari Ibnu Hanbal, bahkan ada yang
mneganggap bahwa Syafi’I merupakan guru kedua dari ibnu hanbal setelah
Hasyim. Muhammad bin ishaq bi Khuzaimah mangatakan “Ahmad bin Hanbal
tidak lain hanyalah merupakan salah satu pelayan Syafi’I”. ia juga berguru
kepada Ibrahim bin Sa’ad, Yahya Al-Qathan, Waki’ juga berguru kepada
Sufyan bin Uyainah (pengganti Imam Malik).
Adapun sumber hukum dan metode istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal dalam
menetapkan hukum adalah:
1. Nash dari Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari Al-Qur’an dan dari Sunnah
Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan
nash itu.
KESIMPULAN
a. Imam Hanafi
Sebagai seorang ulama, beliau tidak membenarkan seorang bertaklid buta
dengan beliau (tidak mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu juga
kepada para Ulama beliau menginginkan seorang bersikap kritis dalam
menerima fatwa dalam ajaran agama. Bahakan beliau pernah berkata “Tidak
Halal bagi seorang yang berfatwa dengan perkataanku, selam ia belum mengerti
dari mana perkataanku”.
Dalam mengistinbathkan hukum, beliau melihat terlebih dahulu kepada
kitabullah, bila tifdak ditemukan dilanjutkan kepada sunnah jika tidak
ditemukan pula dalam sunnah beliau melihat kepada perkataan para sahabat,
lalu beliau menggunakan jalan pikiran untuk mengambil pendapat mana yang
sesuai dengan jala pikiran dan ditiggal mana yang tidak sesuai.
b. Imam Malik
Imam Malik pernah berkata: ” saya seorang manusia, dan saya terkadang salah
terkadang benar. Oleh sebab itu lihatlah dan pikirkanlah baik-baik pendapat
saya, jika sesuai dengan al-qur’an dan sunnah maka ambilah dia dan jika tidak
sesuai maka tingglkanlah”. Artinya bahwa jika beliau menjatuhkan hukumnan
dalam masalah keagamaan, dan pada waktu menetapkan buah pikirannya itu
bukan dari nash al-qur’an dan sunnah, maka masing-masing kita disuruh untuk
melihat dan memperhatikannya kembali dengan baik tentang buah fikirannya,
terlebih dahulu harus dicocokknya dengan nash yaitu al-qur’an dan sunnah.
Pada suatu waktu beliau juga pernah megatakan bahwa tidaklah semua
perkataan itu lalu diturut sekalipun ia orang yang mempunyai kelebihan-
kelebihan. Kita tidak mesti mengikuti perkataan orang itu jelas berlawanan atau
menyalahi hukum-hukum rasul, maka kita diperbolehkan untuk mengikutinya”.
Dengan demikian jelaslah, bahwa kita dilarang bertaqlid kepada pendapat-
pendapat dan perkataan yang memang nyata tidak sesuai dengan petunjuk yang
ada dalam al-qur’an dan sunnah. Demikianlah nasihat Imam Malik menganai
taqlid.
c. Imam Syafi’i
Beliuselalu member peringatan terhadap murid-muridnya agar tidak begitu saja
menerima apa-apa yang disampaikan oleh beliau samapikan dalam masalah
agama, yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Diantara nasihat beliau tentang taklid buta, beliau pernah berkata kepada
muridnya yaitu Imam Ar-Rabi : “Ya Abi Ishak, janganlah engkau bertaklid
kepadaku, dalam tiap-tiap yang apa aku lakukan, dan pikirkanlah benar-benar
bagi dirimu sendiri karena ia adalah urusan agama”.Dari pernyataan tersebut di
atas kiranya cukup jelas pendapat imam Syafi’I tentang taklid buta sungguh
beliau melarang taklid buta kepada beliau dan kepada para ulama lainnya dalam
urusan hokum-hukum agama.
d. Imam Hanbali
Imam Ibnu Hanbal merupakan seorang ahli sunnah dan ahli Atsar, dan beliau
sangat keras terhadap penggunaan ra’yu, maka demikian Imam Ibnu Hanbal
pailng keras terhadap taqlid buta dan orang yang bertaqlid terhadap urusan
agama. Pendirian beliau yang seperti itu dapat dibuktikan dengan ucapannya
yang beliau sampaikan kepada salah atu muridnya seperti Imam Abu Dawud
pernah mendengar bahwa Imam Ibnu Hanbal Berkata “janganlah engkau
bertaqlid kepada saya, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan janganlah pula kepada
Tsauri tetapi ambillah olehmu darimana mereka Itu mengambil”. Dari perkataan
beliau, jelas ras terhadap beliau melarang keras terahadap taqlid, dan beliau
memerinntahkan supaya orang mengambil segala sesuatu dari sumbber yang
telah mereka ambil (para Imam). Imam Ibnu Hanbal merupakan seorang ahli
sunnah dan ahli Atsar, dan beliau sangat keras terhadap penggunaan ra’yu,
maka demikian Imam Ibnu Hanbal pailng keras terhadap taqlid buta dan orang
yang bertaqlid terhadap urusan agama. Pendirian beliau yang seperti itu dapat
dibuktikan dengan ucapannya yang beliau sampaikan kepada salah atu
muridnya seperti Imam Abu Dawud pernah mendengar bahwa Imam Ibnu
Hanbal Berkata “janganlah engkau bertaqlid kepada saya, Imam Malik, Imam
Syafi’I, dan janganlah pula kepada Tsauri tetapi ambillah olehmu darimana
mereka Itu mengambil”. Dari perkataan beliau, jelas ras terhadap beliau
melarang keras terahadap taqlid, dan beliau memerinntahkan supaya orang
mengambil segala sesuatu dari sumbber yang telah mereka ambil (para Imam)
DAFTAR PUSTAKA