Anda di halaman 1dari 19

PEMBAHASAN

Sebelum membahas sistem istinbath imam-imam mazhab, akan lebih utama jika memahami
dahulu apa itu istinbath dan apa itu sumber hukum Islam. Dibawah ini akan sedikit dijelaskan
mengenai sumber hukum Islam dan Istinbath. Semoga dengan pemahaman kita itu dapat
mempermudah untuk memahami sistem istinbath empat Imam Mazhab.

1. Pengertian Sumber Hukum Islam

Kata “Sumber Hukum Islam” terdiri dari tiga kata yaitu sumber, hukum, dan Islam. Adapun kata
“sumber” yang dalam bahasa arabnya ‫ مصادر‬-‫ ””مصدر‬yang berasal dari akar kata “‫ يصدر‬-‫“صدر‬
berarti tempat terbit sesuatu atau asal sesuatu. Yang dimaksud dengan sumber disini ialah apa-
apa yang dijadikan bahan rujukan bagi ulama dalam merumuskan pendapat-pendapat
hukumnya (fiqih).

Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “hukum” dan kata “Islam”. Kedua kata itu secara
terpisah merupakan kata yang digunakan dalam bahasa arab dan banyak terdapat dalam Al-
Qur’an dan juga dalam bahasa Indonesia baku. “Hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata
telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun bukan merupakan kata yang
terpakai dalam bahasa Arab dan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, juga tidak ditemukan dalam
literatur yang berbahasa Arab. Karena itu tidak akan menemukan artinya secara definitif.

Untuk memahami pengertian Hukum Islam perlu terlebih dahulu diketahui kata “hukum” dalam
bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu disandarkan kepada kata “Islam”. Ada
kesulitan dalam memberikan definisi kepada kata “hukum”, karena setiap definisi akan
mengandung titik lemah. Karena itu untuk memudahkan memahami pengertian “hukum”,
berikut ini akan diketengahkan definisi hukum dalam arti yang sederhana, yaitu: seperangkat
peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun oleh
orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku dan mengikat untuk seluruh
anggotanya”. Definisi tersebut tentunya masih mengandung kelemahan, namun dapat
memberikan pengertian yang mudah dipahami.

Bila kata “hukum” dalam pengertian diatas dihubungkan dengan kata “Islam” atau “syara'”,
maka “hukum Islam” akan berarti: “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah SWT dan
atau sunnah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini
mengikat untuk semua yang beragama Islam”. Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah peraturan-peraturan yang dirumuskan
secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat. Kata “yang berdasarkan wahyu
Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW” menjelaskan bahwa perangkat peraturan itu digali dari
dan berdasarkan kepada wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW, atau yang populer
dengan sebutan “syari’ah”. Kata “tentang tingkah laku manusia mukallaf” mengandung arti
bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tindak lahir dari manusia yang dikenai hukum.
Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini
kebenaran wahyu Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW itu, yang dimaksud dalam hal ini
adalah umat Islam.

Sementara itu, kata “hukum Islam” juga berhubungan dengan kata “syari’ah”. Secara leksikal
syari’ah berarti “jalan ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu
air di sungai”. Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang untuk maksud kata
“syari’ah”. Di antara para pakar Hukum Islam memberikan definisi kepada syari’ah itu dengan
“Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai
akhlak”. Dengan demikian syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Di
antara ulama ada yang mengkhususkan lagi penggunaan kata syari’ah itu dengan “apa yang
bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak
mencakup kepada halal dan haram”. Seorang ulama bernama Qatadah menurut yang
diriwayatkan oleh al-Thabari, ahli tafsir dan sejarah, sebagaimana yang dikutip oleh Amir
Syarifuddin, menggunakan kata syari’ah kepada hal yang menyangkut kewajiban, hak, perintah
dan larangan; tidak termasuk di dalamnya aqidah, hikmah dan ibarat yang tercakup dalam
agama. Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang
ditetapkan Allah bagi hambanya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan
hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya”. Dr. Farouk Abu Zeid menjelaskan
bahwa syari’ah ialah “apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabinya. Allah adalah
pembuat syari’ah yang menyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia”.

2. Pengertian Istinbath

Secara bahasa kata istinbath berasal dari bahasa Arab yaitu “ ‫ استنباط‬-‫ يستنبط‬-‫ ”استنبط‬yang berarti
mengeluarkan, melahirkan, menggali dan lainnya. Kata dasarnya adalah “ ‫ نبوطا‬-‫ نبط ا‬-‫ ينب ط‬-‫نبط‬
)‫ ” (الماء‬berarti air terbit dan keluar dari dalam tanah. Adapun yang dimaksud dengan istinbath
disini adalah suatu upaya menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya yang
terperinci untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni.

3. Pengertian Mazhab

Menurut bahasa, mazhab (‫ )مذهب‬berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan
(kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba” (‫ )ذهب‬yang berarti
“pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu (‫ )الرأى‬yang artinya “pendapat”.

Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:

a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan hadits.

b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa
yang diambil dari Al-Qur’an dan hadits.

Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam
memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam. Selanjutnya Imam mazhab dan
mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara
istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah
hukum Islam.

A. Sistematika Sumber Hukum Islam

Keempat Imam mazhab sepakat mengatakan bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah SAW. Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena
keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah SWT.

Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Qur’an dan sunnah seperti Qiyas, Istihsan, Istishlah, dan
lainnya, tetapi dalil ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya merupakan alat bantu untuk
sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Karena hanya sebagai alat bantu untuk memahami Al-Qur’an dan sunnah, sebagian ulama
menyebutnya sebagai metode istinbath. Oleh karena yang disebut sebagai “dalil-dalil
pendukung” di atas pada sisi lain disebut juga sebagai metode istinbath, para ulama Imam
mazhab tidak sependapat dalam mempergunakannya sebagai sumber hukum Islam.

 Sistem Istinbath Imam Abu Hanifah

Biografi imam Hanafi

a. Awal kehidupan

Abu Hanifah merupakan imam pertama dari keempat imam dan yang paling dahulu lahir juga
wafatnya, ia mampu memeperoleh kedudukan yang terhormat dalam masyarakat yang
menghimpun factor-faktor positif dan factor-faktor negative, sehingga tidak heran ia di juluki
Imam A’zham (pemimpin terbesar), ia juga dikenal sebagai fakih irak, dan imam Ar-Ra’y (Imam
Aliran Rasional)

Beliau dilahirkan di kota Kuffah, pada tahun 80 H (699 M), beliau benama asli Nu’mam bin
Tsabit Bin Zhauth Bin Mah, ayah beliau keturunan bangsa persi ( Kabul Afganistan) yang
menetap di Kuffah, tsabit bapak dari abu hanifah lahir sebagai seorang muslim dan
diriwayatkan dia berasal dari bangsa anbar. Adapula ia mukim di tirtmidz, ada lagi yang
mengatakan ia bermukim di Nisa, bisa jadi ia bermukim di tiap-tiap kota itu sementara waktu. Ia
adaalah seorang pedagang yang kaya dan taat beragama, sebagai mana ia pernah berttemu
dengan ali bin Abi Thalib, lalu sang imam mendoakan dan keturunananya dengan kebaikan dan
keberkahan.

b. Pendidikan Imam abu Hanifah

pada masa abu hanifah terdapat empat sahabat, mereka adalah: Anas bin Malik, Abdullah bin
Abu Aufa, Sahl bin Sa’ad dan Abu Thufail, mereka adalah sahabat-sahabta yang paling akhir
wafat, namun abu Hanifah tidak Berguru kepada mereka. Mengapa tidak berguru kepada
mereka?, mungkin diantara mereka ada yang sudah wafat sedang abu hanifah masih kecil,
seperti Abdullah bin Aufa yang meninggal pada tahun 87 hijriyah sehinggga umur abu hanifah
pada waktu itu baru 7 tahun, dan seperti abu Sahl bin Sa’ad yang wafat tahun 88 atau 91
hijriyah dan umur Imam Hanafi baru berumur 11 tahun. Sementara Anas bin Malik wafat pada
tahun 90 atau 92 atau 95 hijriyah dank ala itu abu Hanifah berumur 15 tahun dan belum mulai
mencari ilmu, ketika itu beliau masih berdagang.

Sampai akhir hayatnya, Imam Abu Hanifah belum mengkodifikasikan metode penetapan hukum
yang digunakannya, meskipun secara praktis dan aplikatif telah diterapkannya dalam
menyelesaikan beberapa persoalan hukum. Thaha Jabir Fayadl al-‘Ulwani, sebagaimana yang
dikutip oleh Jaih Mubarok, membagi cara ijtihad Imam Abu Hanifah menjadi dua cara: cara
ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok
dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri, yaitu:
‫ ف اذا لم اجد‬.‫ فما لم اجده فيه اخذت بسنة رسول هللا واآلثار الصحاح عنه التى فشت في ايدى الثق ات‬،‫انى آخذ بكتاب هللا اذا وجدته‬
‫في كتاب هللا و سنة رسول هللا صلى هللا عليه و سلم اخذت بق ول اص حابه اخ ذت بق ول ما ش ئت ثم ال اخ رج عن ق ولهم الى ق ول‬
‫ فاذا انتهى االمر الى ابراهيم والشعبي وابن المسيب (عدد رجاال) فاجتهد كما اجتهدوا‬،‫…غيرهم‬

“sesungguhnya aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Qur’an apabila aku mendapatkannya;
apabila tidak ada dalam Al-Qur’an, aku merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW dan atsar yang
shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqah. Apabila aku tidak mendapatkan dalam Al-
Qur’an dan sunnah Rasulullah, aku merujuk kepada qaul sahabat, (apabila sahabat ikhtilaf), aku
mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan pindah dari
pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, Al-
Sya’bi dan ibnu Al-Musayyab, serta yang lainnya, aku berijtihad sebagai mana mereka
berijtihad.”

Sahal ibn Muzahim, sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy, menerangkan bahwa
dasar-dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah dalam menegakkan fiqih adalah: “Abu
Hanifah memegangi riwayat orang yang terpercaya dan menjauhkan diri dari keburukan serta
memperhatikan muamalat manusia dan adat serta ‘uruf mereka itu. Beliau memegang Qiyas.
Kalau tidak baik dalam satu-satu masalah didasarkan kepada Qiyas, beliau memegangi istihsan
selama yang demikian itu dapat dilakukan. Kalau tidak, beliau berpegang kepada adat dan ‘uruf.
Ringkasnya, dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah, ialah:

a. Al-Qur’an

b. Sunnah Rasulullah SAW (hadits) dan atsar-atsar yang shahih yang telah masyhur di antara
para ulama.

c. Fatwa-fatwa para sahabat

d. Qiyas.

e. Istihsan.
f. Adat dan ‘uruf masyarakat.

Abu Hanifah tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya. Ia selalu mengatakan, “Inilah
pendapat saya dan kalau ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat, maka
pendapatnya itulah yang lebih benar.” Pernah ada orang yang berkata kepadanya, “Apakah
yang engkau fatwakan itu benar, tidak diragukan lagi?”. Ia menjawab, “Demi Allah, boleh jadi ia
adalah fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi”.

Dari keterangan di atas, tampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam beristidlal atau menetapkan
hukum syara’ yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qath’iy dari Al-Qur’an atau dari hadits
yang diragukan keshahihannya, ia selalu menggunakan ra’yu. Ia sangat selektif dalam menerima
hadits. Imam Abu Hanifah memperhatikan muamalat manusia, adat istiadat serta ‘urf mereka.
Beliau berpegang kepada Qiyas dam apabila tidak bisa ditetapkan berdasarkan Qiyas, beliau
berpegang kepada istihsan selama hal itu dapat dilakukan. Jika tidak, maka beliau berpegang
kepada adat dan ‘urf. Dalam menetapkan hukum, Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan
hukum di Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulullah SAW
yang banyak mengetahui hadits. Di Kufah kurang perbendaharaan hadits. Di samping itu, kufah
sebagai kota yang berada di tengah kebudayaan Persia, kondisi kemasyarakatannya telah
mencapai tingkat peradaban cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problema
kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya. Karena problema itu belum pernah
terjadi di zaman Nabi, atau zaman sahabat dan tabi’in, maka untuk menghadapinya
memerlukan ijtihad atau ra’yu. Di Kufah, sunnah hanya sedikit yang diketahui di samping
banyak terjadi pemalsuan hadits, sehingga Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima hadits,
dan karena itu maka untuk menyelesaikan masalah yang aktual, beliau banyak menggunakan
ra’yu. Sedangkan cara ijtihad Imam Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:

a. Bahwa dilalah lafaz umum (‘am) adalah qath’iy, seperti lafaz khash

b. Bahwa pendapat sahabat yang “tidak sejalan” dengan pendapat umum adalah bersifat
khusus

c. Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih)


d. Adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan shifat

e. Bahwa apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah
perbuatannya, bukan riwayatnya

f. Mendahulukan Qiyas Jali atas khabar ahad yang dipertentangkan

g. Menggunakan istihsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.

 Sistematika Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Malik

Biografi Imam Malik

a. Awal kehidupan

Nama lengkap beliau adalah Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir al-asybahi al-‘araby
al-Yamaniyah, lahir di Madinah pada tahun 93 H (712 M). Ayahnya berasal dari kabilah Dzi
Ashbah yang ada di Yaman, dan ibunya bernama ‘Aliyah binti syuraik dari kabilah Azdi. Kakek
imam Malik datang berhijrah ke negeri Madinah setelah Rasulullah wafat, beliau merupakan
seorang pembesar tabi’in, banyak meriwayatkan hadis dari sahabat, seperti Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan ‘Aisyah. Imam malik tidak pernah meninggalkan
kota Madinah, kecuali untuk menunaikan ibadah haji sampai beliau wafat pada tanggal 14
Rabi’ul Awal tahun 179 H dalam usia 87 tahun.
b. Guru-guru Imam Malik

Imam malik mendapatkan ilmu fiqh dan sunnah dari para gurunya, diantaranya Abdurrahman
bin Hurzum, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-zuhry, Abu Az-zanad, Abdullah bin Dzakwan,
Yahya bin Sa’id, dan Rabi’ah bin Abdirrahman.

c. Murid-murid Imam Malik

Banyak murid Imam Malik yang menjadi ulama terkenal pada masa sesudahnya. Berikut ini
adalah murid-muridnya yang menjadi fuqaha dan ahli hadits:

Yang berasal dari Mesir antara lain: Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim Al-
Quraisyi, Abu Abdillah bin Qosim Al-A’taqi, Asyhab bin Abdul Aziz Al-Qoisy Al-A’miry Al-ja’dy,
Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam bin A’yun bin Al-Laits, Ashbah bin Alfaraj Al-Amawi,
Muhammad bin Abdul Hakam, Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad Al-Iskandari Al-Ma’ruf bin ibni
Mawaz.

Yang berasal dari afrika dan Andalusia (spanyol) antara lain: Abu Abdillah Ziyad bin
Abdurrahman Al-Qurthubi Al-Ma’ruf bisyabtun, I’sa bin Dinar Al-Andalusi, Yahya bin Yahya bin
Katsir Al-Laitsi, Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As-Salami.

Adapun sumber hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang pada:

a. Al-Qur’an

Dalam memegang Al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir nash Al-
Qur’an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-Aula dengan
memperhatikan ‘illatnya.

b. Sunnah

Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang
dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur’an. Apabila dalil syar’iy menghendaki adanya
penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat
pertentangan antara makna zahir Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah,
maka yang dipegang adalah makna zahir Al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh
sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna
yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-Qur’an (sunnah yang dimaksud disini adalah
sunnah mutawatir atau masyhurah).

c. Ijma’ Ahl al-Madinah

Ijma’ ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql,
hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah. Ijma’ semacam ini
dijadikan hujjah oleh Imam Malik.

Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Huzaemah T. Yanggo, yang dimaksud
dengan ijma’ ahl al-Madinah tersebut ialah ijma’ ahl al-Madinah pada masa lampau yang
menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al-
Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. Ijma’ ahl al-Madinah
yang asalnya dari al-Naql, sudah merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai
hujjah.

Dikalangan mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada khabar ahad, sebab
ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama’ah, sedang khabar ahad hanya
merupakan pemberitaan perseorangan.

d. Fatwa Sahabat

Yang dimaksud dengan Sahabat disini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka
terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan
fatwa sahabat itu adalah berwujud hadits-hadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik,
para sahabat besar itu tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari
Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak
boleh bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang
demikian ini lebih didahulukan dari pada Qiyas.
e. Khabar Ahad dan Qiyas

Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika
khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah,
sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain
yang qath’iy. Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang-
kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau
tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa
khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar
ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan
mashlahah.

f. Al-Istihsan

Menurut mazhab Maliki, al-Istihsan adalah: “Menurut hukum dengan mengambil maslahah
yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud
mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu,tidak
berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan
pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan”. Dari ta’rif tersebut, jelas
bahwa istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan
dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam ungkapan yang lain sering dikatakan bahwa
istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan
syari’at diturunkan. Artinya jika terdapat satu masalah yang menurut qiyas semestinya
diterapkan hukum tertentu, tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata akan menghilangkan
suatu mashlahah atau membawa madharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang demikian itu
harus dialihkan ke qiyas lain yang tidak akan membawa kepada akibat negatif. Tegasnya,
istihsan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum. Jangan sampai suatu ketentuan hukum
membawa dampak merugikan. Dampak suatu ketentuan hukum harus mendatangkan
mashlahat atau menghindarkan madharat.

g. Al-Mashlahah Al-Mursalah
Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau
sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka maslahah mursalah itu kembali
kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan. Tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui
melalui Al-Qur’an, sunnah atau ijma’.

Para ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan
beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:

• Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang seksama,
bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.

• Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum, bukan sekedar
maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu.

• Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum dan tidak
bertentangan dengan ketentuan nash atau ijma’.

h. Sadd Al-Zara’i

Imam Malik menggunakan sadd al-Zara’i sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang,
hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal,
halal pula hukumnya.

i. Istishhab

Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishhab
adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang,
berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah
dinyatakan adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini
adanya tersebut, hukumnya tetap seperti hukum pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula
sebaliknya.

j. Syar’u Man Qablana


Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan kaedah syar’u man
qablana syar’un lana, sebagai dasar hukum. Tetapi menurut Sayyid Muhammad Musa, tidak kita
temukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang menyatakan demikian. Menurut Abd.
Wahab Khallaf, bahwa apabila Al-Qur’an dan sunnah shahihah mengisahkan suatu hukum yang
pernah diberlakukan buat umat sebelum kita melalui para Rasul yang diutus Allah untuk
mereka dan hukum-hukum tersebut dinyatakan pula di dalam Al-Qur’an dan sunnah shahihah,
maka hukum-hukum tersebut berlaku pula buat kita.

d. Sistematika Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Syafi’i

Biografi Imam Syafi’i

a. Awal Kehidupan

Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i,
nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakeknya Abdul Manaf.Imam Syafi’i
lahir pada bulan Rajab pada tahun 150 H. di Gaza, tidak lama kelahiran beliau, ayah beliau
wafat. Ibu beliau bernama Fatimal al-Azdiyah, salah satu kabilah di Yaman. Imam Syafi’i kecil
memiliki kecerdasan yang mengagumkan serta kecepatan hapalan yang luar biasa. Beliau
pernah berkata: “Saat aku di kuttab, aku mendengar guruku mengajar ayat-ayat Alquran, maka
aku langsung menghapalkan, apabila dia mendiktekan sesuatu. Belum selesai guruku
membacakannya kepada kami, aku telah menghafal seluruh apa yang didiktekannya. Maka dia
berkata kepadaku suatu hari: Demi allah, aku tidak pantas mengambil bayaran dari kamu sesen
pun”. Imam Syafi’i amat gemar mengembara, khususnya bertujuan menuntut ilmu. Beliau
pindah ke Madinah untuk belajar fikih kepada Imam Malik, pada usia dua puluh tahun sampai
Imam Malik meninggal pada tahun 179 H. pada tahun 184 H, Khalifah Harun Al-Rasyid
memerintahkan Imam Syafi’i didatangkan ke Baghdad bersama sembilan orang lainnya atas
tuduhan menggulingkan pemerintahan. Namun beliau dapat lepas dari tuduhan itu atas
bantuan Muhammad Ibn al-Hasan Al-Syaibani, murid dan teman Imam Hanafi, yang kemudian
hari menjadi guru beliau. Tak lama berada di Baghdad, Imam Syafi’i kembali ke Mekkah al-
Mukarramah, dengan membawa ilmu ahl ra’yu, yang dia peroleh dari Muhammad bin al-Hasan
al-Syaibani, yang bersinergi dengan ilmu ahl Hijaz, yang diperoleh dari Imam Malik. Pada tahun
195 H, beliau kembali ke Baghdad yang bertujuan untuk berdiskusi tentang fikih. Tidak lama di
Baghdad, beliau melanjutkan perjalanan ke Mesir dan tiba di Mesir pada bulan Syawal tahun
199 H. tak lama setelah tinggal di Mesir, tepatnya tahun 2004 204 H, beliau menghembuskan
nafas terakhirnya. Konon beliau sebelum wafat menderita penyakit wasir yang parah, hingga
terkadang jika naik kuda, darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan
kaos kakinya. Beliau rela menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir. Selain itu,
beliau terus mengajar, meneliti, dialog serta mengkaji baik siang maupun malam.

b. Guru-Guru Imam Syafi’i

Imam Syafi’i merupakan ulama sintesis yang beraliran antara ahl ra’yu dan ahl hadis (Kufah dan
Madinah), di Kufah Imam Syafi’i menimba ilmu kepada Muhammad Ibn al-Hasan al Syaibani
yang merupakan murid sekaligus sahabat dari Imam Hanafi. Sedangkan di Madinah, beliau
belajar kepada Imam Malik, beliau (Imam Malik) dikenal dengan sebutan ahl Hadis. Selain itu,
beliau juga berguru kepada ulama-ulama di Yaman, Mekah dan Madinah. Adapun ulama Yaman
yang menjadi guru Imam Syafi’i yaitu :

1) Mutharaf Ibn Mazim

2) Hisyam Ibn Yusuf

3) ‘Umar Ibn Abi Salamah

4) Yahya Ibn Hasan

Adapun selama tinggal di Mekkah, Imam Syafi’i belajar kepada beberapa ulama antara lain:

1) Sufyan Ibn ‘Uyainah

2) Muslim Ibn Khalid al-Zauji

3) Sa’id Ibn Salim al-Kaddah


4) Daud Ibn ‘Abdurrahman al-‘Aththar

5) ‘Abdul Hamid ‘Abdul aziz Ibn Muhammad ad-Dahrawardi

6) Ibrahim Ibn Abi Sa’id Ibn Abi Fudaik

7) ‘Abdullah Ibn Nafi’.

Selain dua fikih di atas (aliran ra’yu dan hadis), Imam Syafi’i juga belajar fikih aliran al-Auza’i dari
‘Umar Ibn Abi Salamah dan fikih al-Laits dari Yahya Ibn Hasan.

c. Murid-Murid Imam Syafi’i

Imam Syafi’i mempunyai banyak murid alam meneruskan kajian fikih dalam alirannya. Yang
paling berperan dalam pengembangan aliran fikih Imam Syafi’i ini antara lain :

1. Al-Muzani

Nama asli beliau Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya al-Muzani al-Misri yang lahir pada tahun 185 H
serta menjadi besar dalam menuntut ilmu dan periwayatan hadis. Saat Imam Syafi’i datang ke
Mesir pada tahun 1994, al-Muzani menemuinya dan belajar fikih kepadanya. Al-Muzani
dianggap orang yang paling pandai, serdas serta yang paling banyak menyusun kitab untuk
mazhabnya. Beliau meninggal pada tahun 264 H. adapun kitab karangan beliau antara lain al-
Jami’ al-Kabīr, al-Jami’ aş-Şagir, serta yang terkenal al-Mukhtaşar aş-Şagir.

2. Al-Buwaiti

Nama beliau adalah Abu Ya’qub Yusuf Ibn Yahya al-Buwaiti, yang berasal dari Bani Buwait
kampung di Tanah Tinggi Mesir. Beliau adalah murid sekaligus sahabat Imam Syafi’i yang tertua
bekebangsaan Mesir dan pengganti atau penerus Imam Syafi’i, sepeninggalnya.beliau belajar
fikih dari Imam Syafi’i dan mengambil hadis darinya pula serta dari Abdullah bin Wahab dan
dari yang lainnya. Imam Syafi’i merupakan sandarannya dalam berfatwa serta pengaduannya
apabila diberikan satu masalah padanya. Beliau selalu menghidupkan malam dengan membaca
Alquran dan shalat serta selalu menggerakkan kedua bibirnya dengan berdzikir kepada Allah.
Beliau wafat pada tahun 231 H. di dalam penjara Baghdad, karena tidak menyetujui paham
Mu’tajilah yang merupakan paham resmi negara saat itu, tentang kemakhlukan Alquran. Beliau
menghimpun kitab al-fiqh, al-Mukhtaşar al-Kabīr, al-Mukhtaşar aş-Şagir dan al-Fara’id dalam
aliran Imam Syafi’i menjadi satu.

Selain mereka berdua, murid-murid Imam Syafi’i yang lain, yaitu ar-Rabi’ Ibn Sulaiman al-
Marawi, ‘Abdullah Ibn Zubair al-Hamidi. Abu Ibrahim, Yunus Ibn Abdul a’la as-Sadafi, Ahmad Ibn
Sibti, Yahyah Obn Wazir al-Misri, Harmalah Ibn Yahya Abdullah at-Tujaidi, Ahmad Ibn Hanbal,
Hasan Ibn ‘Ali al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim Ibn Khalid Yamani al-Kalbi serta Hasan Ibn Ibrahim
Ibn Muhammad as-Sahab az-Za’farani.

Secara sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam Istinbāţ hukum, antara
lain :

1. Alquran dan sunnah

2. Ijmak

3. Menggunakan al-Qiyas dan at-Takhyir bila menghadapi ikhtilaf.

Sedangkan manhaj atau langkah-langkah ijtihad Imam Syafi’i, seperti yang dikutip DR. Jaih
Mubarok dari Ahmad Amin dalam kitabnya Duha al-Islam, yaitu sebagai berikut : rujukan pokok
adalah Alquran dan sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur dalam Alquran dan sunnah,
hukumnya ditentukan dengan qiyas. Sunnah digunakan apabila sanadnya sahih. Ijmak
diutamakan atas khabar mufrad. Makna yang diambil dari hadis adalah makna zahir. Apabila
suatu lafaz ihtimal (mengandung makna lain), maka makna zahir lebih diutamakan.hadis
munqati’ ditolak kecuali jalur Ibn Al-Musayyab. As-Asltidak boleh diqiyaskan kepada al-asl. Kata
“mengapa” dan “bagaimana” tidak boleh dipertanyakan kepada Alquran dan sunnah, keduanya
dipertanyakan hanya kepada al-Furu’

Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafi’i menggunakan lima sumber,
yaitu:

1. Nash-nash
baik Alquran dan sunnah yang merupakan sumber utama bagi fikih Islam, dan selain keduanya
adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang sepakat atau berbeda pendapat, tetapi tidak
pernah bertentangan dengan Alquran atau sunnah.

2. Ijmak

merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh imam Syafi’i menempati urutan setelah
Alquran dan sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama suatu zaman
tertentu terhadap satu masalah hukum syar’i dengan bersandar kepada dalil. Adapun ijmak
pertama yang digunakan oleh imam Syafi’i adalah ijmaknya para sahabat, beliau menetapkan
bahwa ijmak diakhirkan dalam berdalil setelah Alquran dan sunnah. Apabila mmasalah yang
sudah disepakati bertentangan dengan Alquran dan sunnah maka tidak adahujjah padanya.

3. Pendapat para sahabat.

Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu yang sudah
disepakati, seperti ijmak mereka untuk membiarkan lahan pertanian hasil rampasan perang
tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijmak seperti ini adalah hujjah dan termasuk dalam
keumumannya serta tidak dapat dikritik. Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada
yang lain dalam suatu masalah, baik setuju atau menolak, maka imam Syafi’i tetap
mengambilnya. Ketiga, masalah yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini imam
Syafi’i akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan Alquran, sunnah atau ijmak, atau
mrnguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan membuat pendapat baru
yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.

4. Qiyas.

Imam Syafi’i menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi syariat Islam untuk
mengetahui tafsiran hukum Alquran dan sunnah yang tidak ada nash pasti. Beliau tidak menilai
qiyas yang dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum dari seorang mujtahid lebih dari
sekedar menjelaskan hukum syariat dalam masalah yang sedang digali oleh seorang mujtahid.
5. Istidlal. Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum, apabila tidak
menemukan hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas. Dua sumberistidlal yang diakui oleh
imam Syafi’i adalah adat istiadat (‘urf) dan undang-undang agama yang diwahyukan sebelum
Islam (istishab). Namun begitu, kedua sumber ini tidak termasuk metode yang digunakan oleh
imam Syafi’i sebagai dasar istinbath hukum yang digunakan oleh imam Syafi’i.[12]

6. Kaul Qadim dan Kaul Jadid.

Ulama membagi pendapat imam Syafi’i menjadi dua, yaitu Kaul Qadim dan Kaul Jadid. Kaul
Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan Kaul
Jadid adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir. Di Irak, beliau
belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-
ra’y. Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat imam Syafi’i dan berhasil
dipengaruhinya adalah Ahmad bin Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani, dan Abu Tsaur. Setelah
tinggal di Irak, imam Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di sana. Di Mesir,
dia bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat imam
Malik. Imam Malik adalah penerus fikih Madinah yang dikenal sebagai ahl al-hadits. Karena
perjalanan intelektualnya itu, imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian
disebut Kaul Jadid. Dengan demikian, Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang bercorak
ra’yu, sedangkan Kaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak sunnah.

Beberapa contoh pendapat Kaul Qadim dan Kaul Jadid antara lain:

a. Air yang terkena najis.

Kaul Qadim: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah
ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis selama air itu tidak berubah.

Kaul Jadid: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah
ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis apakah air itu berubah atau tidak.

b. Zakat buah-buahan.

Kaul Qadim: wajib mengeluarkan zakat buah-buahan, walaupun yang tidak tahan lama.
Kaul Jadid: tidak wajib mengeluarkan zakat buah-buahan yang tidak tahan lama.

c. Membaca talbiyah dalam thawaf.

Kaul Qadim: sunat hukumnya membaca talbiyah dalam melakukan thawaf. Kaul Jadid: tidak
sunat membaca talbiyah dalam melakukan thawaf.

Anda mungkin juga menyukai