Disusun Oleh:
TAHUN 2023
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perbedaan Sumber Hukum Islam dan Dalil Hukum
Kata “Sumber Hukum Islam” berasal dari lafaz mashadir al-ahkam yang
kata-kata ini tidak dapat ditemukan dalam kitab – kitab hukum islam yang ditulis
oleh ulama- ulama fiqih dan ushul fiqih klasik. Untuk itu, dalam menjelaskan arti
sumber hukum Islam, para ulama menggunakan al-adillah al-Syariyyah.
Penggunaan kata mashadir al-ahkam oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu
yang dimaksud- kannya adalah searti dengan istilah al-adillah al-syar'iyyah.
Secara etimologis kata Al-mashadir dan kata Al-adillah bila dihubungkan
dengan kata Al-sya'riyyah mempunyai arti yang berlainan. Al-Mashadir merupakan
bentuk jamak dari Al-mashdar yang bermakna asal, sumber yang dari padanya
digali norna-norma hukum tertentu, sedangkan kata Al-dillah merupakan bentuk
jamak dari dalil artinya petunjuk yang merupakan petunjuk untuk membawa kita
menemukan hukum tertentu1. Sedangkan, secara terminologi sumber hukum adalah
dalil-dalil syari'at yang diistinbathkan darinya hukum-hukum syariat'. Dari definisi
ini dapat dilihat bahwa diperlukan adanya penggalian untuk mengeluarkan suatu
hukum dari dalil-dalil syari' at (Istinbath). Pada sumber hukum, yag berlaku hanya
Al-Qur’an dan Hadist karena hanya keduanyalah digali norma – norma hukum.
Selanjutnya yaitu dalil hukum, dalil berasal bahasa Arab ‘al-dalil’ ()الدليل,
jamaknya dari al-adillah ()االدلة, yang secara etimologi berarti: “Petunjuk kepada
sesuatu baik yang bersifat material maupun non material (maknawi)”. Secara
terminologi, dalil mengandung pengertian suatu petunjuk yang dijadikan landasan
berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik
yang statusnya qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif).
Pertama, dalil harus dipahami dengan baik dan benar, agar tidak
terjadi kesalahan dalam penafsiran.
Kedua, dalil harus disesuaikan dengan konteks dan kondisi yang
ada, sehingga tidak menghasilkan pemahaman yang keliru atau tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Ketiga, dalil harus diuji kembali dengan metode-metode ijtihad yang
benar, seperti ushul fiqh, sehingga dapat menghasilkan keputusan
yang adil dan sesuai dengan hukum Islam.2
1
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, bagian pertama (Cet. I: Jakarta: Logos, 1997), hlm.
81
2
Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam, (Medan, Penerbit Cita Pustaka: 2007), Hlm. 73
Akan tetapi dalam dari segi pengertian bahasa, kedua pengertian itu
sebenarnya terdapat perbedaan. Mashdar dalam pengertian bahasa adalah rujukan
utama, tempat dikembalikannya segala sesuatu. Dalam pengertian Bahasa
Indonesia biasa diartikan ‘asal sesuatu”. Oleh karena itu, yang dapat disebut sebagai
sumber hukum Islam sebenarnya hanya ada dua, yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Sebab
keduanya merupakan dasar lahirnya ketentuan huku Islam dan merupakan teks-teks
nash yang menjadi rujukan dalam menentukan hukum Islam itu sendiri.
Terdapat hukum Allah yang turun melalui Alquran dan sunnah dapat
ditemukan dalam tiga hal, yaitu:
1. Hukum Allah yang ditemukan dalam ibarat lafadz. Bentuk ini disebut
"hukum yang tersurat dalam nash"
2. Hukum Allah yang tidak ditemukan secara harfiyah dalam lafaz, tetapi
dapat ditemukan melalui isyarat petunjuk dari lafaz yang ada. Bentuk
hukum ini disebut "hukum yang tersirat di balik lafaz nash"
3. Hukum Allah yang tidak ditemukan secara harfiah dan tidak pula secara
isyarat. Hukum dalam bentuk ini disebut "hukum yang tersembunyi di balik
nash".
3
Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dart Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia, (Cet. I, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001)
Pertama; al-Qur'an menjelaskan hukum secara terperinci jelas dan
sempurna tanpa memerlukan penjelasan serta dapat di pahami secara
langsung. Penjelasan ayat-ayat seperti ini di namakan muhkamat.
Kedua; al-Quran memberikan hukum yang memberikan garis
besarnya dan membutuhkan penjelasan pemahaman dan penafsiran
untuk melaksanakannya. Sifat kedua selain membutuhkan ijtihad,
juga di maksudkan agar al-Quran dapat berinteraksi dalam semua
dimensi ruang dan waktu sesuai dengan perkembangan kehidupan
manusia.
Ketiga; al-Quran menjelaskan suatu hukum yang bersifat ibarat dan
isyarat. Penjelasan seperti ini dimaksudkan agar dapat di pahami
makna dan isyarat yang terkandung di dalamnya. Model seperti ini
dapat ditemukan dalam syariat haji dan qurban yang secara jahirnya
mengandung makna ibadah mendekatkan diri kepada Allah swt.
Tetapi makna tersiratnya adalah perintah untuk melakukan
perenungan tentang pentingnya, melakukan introspeksi diri, dan
membangun solidaritas sosial yang kuat melalui sifat kebersamaan
dan pengorbanan.4
2. Hadist
Hadis adalah peraturan sahabat tentang Rasulullah baik mengenai
perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Pengertian hadis sering diidentikan
dengan sunnah, meskipun para ulama hadis membedakannya. Sunnah diartikan
secara khusus untuk tradisi yang diyakini berasal dari perbuatan atau kebiasaan
Rasulullah yang berkaitan dengan ajaran Islam5.
3. Ijma’
Secara etimologi, ijma berarti “kesepakatan” atau konsensus, dan ketetapan
hati untuk melakukan sesuatu. Mayoritas ulama mendefinisikan ijmak sebagai
kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa terhadap suatu hukum syara’ setelah
wafatnya Rasulullah. Dalilnya adalah hadist yang mencatat praktik sahabat-sahabat
Nabi dan generasi awal Islam yang memutuskan suatu masalah hukum berdasarkan
4
Moh. Ahsanuddin Jauhari, Filsafat Hukum Islam, (Cet. I:Bandung, PT. Liventurindo:September
2022), Hlm. 65
5
Ibid., Hlm. 72
konsensus. Dapat dipahami juga bahwa Ijma’ adalah penerimaan mayoritas umat
Islam tentang suatu ketetapan hukum, yang bisa jadi ketetapan hukum tersebut
berasal dari seorang ulama saja. Penerimaan umat inilah yang kemudian disebut
sebagai kesepakatan atau ijmak. 6
4. Qiyas
Qiyas secara etimologis berarti “mengukur”, “membandingkan” sesuatu
dengan sesuatu yang lain, didefinisikan oleh para ahli hukum Islam dengan
menyamakan hukum cabang kepada hukum asal, karena sama alasannya. Qiyas
adalah menganalogikan suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya
(nash/dalil) dengan masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya karena adanya
persamaan ‘illat. ‘Illat adalah sebab atau hikmah yang menjadi dasar penetapan
hukum tersebut. Dengan demikian, qiyas bukan untuk menetapkan hukum dari
awal, melainkan hanya menyingkap hukum yang ada pada suatu kasus yang belum
jelas hukumnya. 7
Dalam pelaksanaanya, qiyas harus memenuhi rukun-rukun sebagai berikut:
1) Ashl (Maqis alaih): yaitu masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya
atau sudah ada nashnya, baik dari Al-Qur’an maupun hadis
2) Furu’ (Maqis): yaitu masalah yang sedang dicari ketetapan hukumnya
3) Hukm Ashl: yaitu hukum masalah yang sudah ditetapkan oleh nash.
4) Illat: yaitu sifat yang terdapat dalam ashl, dengan syarat: sifatnya nyata
dan dapat dicapai dengan indera, konkrit tidak berubah, dan sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai.
6
Ibid., hlm. 77
7
Ibid., hlm. 80
Contoh implementasi metode qiyas adalah dalam penetapan boleh tidaknya
menjadikan jagung sebagai alat pembayar zakat fitrah. Sebagaimana diketahui,
bahwa hadis tentang zakat fitrah menyebutkan alat pembayarannya adalah kurma
atau gandum.
5. Istihsan
Istihsan Artinya memandang dan menyakini baiknya sesuatu menurut
Syatibi, istihsan adalah meberlakukan kemaslahatan parsial ketika berhadapan
dengan kaidah umum, atau mendahulukan maslahah mursalah dari qiyas. Istihsan
adalah mengalihkan hukum sesuatu kepada hukum baru karena adanya alasan yang
lebih kuat, atau lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Dalilnya dapat
ditemukan dalam beberapa hadis yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW
mempertimbangkan maslahah (kepentingan umum) dalam pengambilan keputusan.
Contoh contoh penerapan hukum dengan metode istihsan:
6. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah penetapan hukum berdasarkan kemaslahan yang
tidak didukung oleh dalil nash secara terperinci, tetapi didukung oleh makna
sejumlah nash. Maslahah mursalah merupakan hasil induksi dari logika
sekumpulan nash, bukan nash parsial sebagaimana dalam metode qiyas. Dilihat dari
segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan. Dalilnya adalah ketidak-berasalannya
batasan-batasan dalam beberapa masalah hukum, sehingga memungkinkan
pemikiran yang fleksibel. Para ahli ushul fiqh membaginya kepada tiga macam,
yaitu:
8
Ibid., hlm. 81
1) Maslahah Dharuriyyah
Maslahah Dharuriyyah yaitu maslahah primer bagi kehidupan kehidupan
manusia, yang meliputi penjagaan atau pemeliharaan terhadap lima hal yaitu:
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Contohnya: berjihad diwajibkan karena
untuk memelihara jiwa, larangan membunuh bertujuan untuk memelihara jiwa,
keharaman minuman keras adalah untuk menjaga akal manusia, larangan berzina
berfungsi untuk menjaga kesucian keturunan, dan pencurian dilarang untuk tujuan
pemeliharaan harta.
2) Maslahah hajiyah
Maslahah hajiyah adalah maslahah sekunder, bukan pokok, tetapi
keberadaannya mendukung terwujudnya kemaslahatan primer. Jika kemaslahatan
ini tidak terwujud akan menimbulkan kesulitan atau kesempitan. Contohnya: qasar
salat, buka puasa bagi musafir (dalam masalah ibadah), jual beli salam atau pesanan
(dalam bidang muamalah), berpakaian yang rapid an indah (dalam hal kebiasaan
hidup).
3) Maslahah Tahsiniyah
Maslahah tahsiniyah adalah maslahah tersier, bukan pokok atau pendukung,
tetapi pelengkap atau penyempurna. Keberadaan maslahah ini akan
menyempurnakan maslahah pokok, meskipun jika tidak terpenuhi tidak akan
menimbulkan kesulitan atau kesempitan. Keberadaanya akan memberikan
kemudahan hidup manusia. Contohnya: memperbanyak ibadah sunnah, menjaga
etika makan dan minum, dan sebagainya.9
9
Ibid., hlm. 87