LEMBAR JAWABAN
1.
1. Orang Syiah Rafidah, mereka sangat sangat berlebihan dalam menetapkan nasikh dan
meluaskannya, mereka memandang konsep al-bada’ yakni suatu yang Nampak jelas
setelah kabur (tidak jelas) adalah sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah SWT.
2. Abu Muslim Al-Asfahani seorang mufassir mu’tazilah berpendapat bahwa tidak setuju
dengan adanya naskh, baik secara garis besar maupun secara terperinci karena apabila ada
ayat yang secara sepintas dinilai kontradiktif maka tidak diselesaikan secara mtetapi
dengan jalan takhsis.
3. Pendapat jumhur ulama’, mereka mengakui adanya nasikh dan Mansukh dalam Al-
Qur’an dan tetap berlaku, mereka berpendapat bahwa naskh adalah suatu yang dapat
diterima akal dan telah terjadi pula dalam hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil
baik naqli maupun aqli.
Cara mendeteksi nasikh dan Mansukh dapat dilakukan dengan cara :
a. Terdapat keterangan penegas pentransmisian yang jelas dari Nabi Muhammad SAW atau
dari sahabatnya
b. Konsensus atau kesepakatan (ijma’) umat bahwa ayat ini adalah naskh dan ayat Mansukh
c. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan histori
Contohnya yaitu dalam firman Allah SWT di surat Al-anfal ayat 65
Pendapat para ulama’ dalam menyikapi ayat mutasyabihat
a. Ulama’ banyak berbeda pendapat, apakah makna ayat mutasyabuh bisa diketahui oleh
manusia atau tidak, Sebagian mereka mengatakan tidak dapat diketahui oleh manusia dan
hanya Allah yang mengetahuinya. Pendapat ini kebanyakan dari sahabat, tabi’in, tabi’at
dan diikuti oleh golongan aswaja.
b. Pendapat kedua mengatakan bahwa makna yang terkandung dalam mutasyabih dapat
diketahui oleh orang tertentu yang sudah dalam ilmunya. Pendapat ini dipelopi ahli tafsir
dari kalangan tabi’in yang Bernama mujahid. Contoh ayat mutasyabih yaitu dalam surat
At-Thoha ayat 110.
2.
Dalam Bahasa arab digunakan istilah I’jaz Al-Qur’an atau Mu’jizat Al-Qur’an. Dilihat dari
sudut kebahasaan, kata mu’jizat merupakan salah satu bentuk ubahan dari lafadz I’jaz yang
bermakna melemahkan. Dan I’jaz Al-Qur’an bermakna pengkohan Al-Qur’an sebagai
sesuatu yang mampu melemahkan berbagai rintangan dan melemahkan tantangan
menciptakan karya yang serupa dengannya. Jadi mu’jizar Al-Qur’an ini sebagai senjata
yang mampu membungkam berbagai tantangan dan hambatan yang dihadapi Nabi
Muhammad SAW dalam menjalankan dakwahnya.
Al-Qur’an dianggap sebagai mu’jizat yang paling istimewa karena :
a. Kemurnian dan keaslian Al-Qur’an terjaga hingga akhir zaman
b. Memiliki susunan kata yang sangat indah dan kalimat serta keseimbangan redaksi Al-
Qur’an itu sendiri.
c. Al-Qur’an adalah pekengkap dan penyempurna kitab-kitab terdahuli.
d. Berisi ketetapan hukum yang mendalam dan lengkap yang tidak dapat dicapai oleh
penetapan hukum yang dibuat oleh manusia.
e. Pemberitannya tentang hal-hal yang ghoib yang kesemuanya tidak dapat diketahui,
kecuali melalui Al-Qur’an.
3.
Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
a. Tafsir lebih banyak digunakan pada lafadz dan mufradat sedangkan ta’wil lebih banyak
digunakan pada jumlah dan makna-makna.
b. Tafsir apa yang bersangkut pada riwayah sedangkan ta’wil apa yang bersangkut pau
dengan dirayah.
c. Tafsir menjelaskan secara detail sedangkan Ta’wil hanya menjelaskan secara global apa
yang dimaksud dengan ayat itu.
d. Ta’wil menjabarkan kalimat-kalimat dan menjelaskan maknanya sedangkan Tafsir
menjelaskan secara sunna dan menyampaikan pendapat para ulama’ dalam penafsiran
itu.
e. Tafsir menjelaskan lafadz yang dhohir, sedangkan Ta’wil menjelaskan lafadz secara
batin atau tersembunyi.
Metode tafsir maudhu’i adalah metoe tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-qur’an
dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-qur’an yang mempunyai tujuan yang satu,
yang bersana-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai
dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan
ayat-ayat tersebut dengan penjelasan, keterangan dan hubungan-hubungannya dengan
ayat-ayat yang lain kemudian mengistimbatkan hukum hukum.
Kitab yang berhubungan dengan metode tersebut yaitu kitab Al-Futuhat al-rahbaniyah fi
al-Tafsir al-Maudhu’I li al-ayat Al-Qur’aniyah karya al-Husaini Abu Farhah dan kitab
al-Bidayah fi at-Tafsir al-Maudhu’I karya Abdul hayyi al-Farmawi.
Contohnya pada menafsirkan firman Allah yang berbunyi “Dihalalkan bagi kamu pada
malam hari puasa dengan istri-istri kamu” (Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 187).
Menurut tafsir dari Imam Al-Qurthubi dalam masalah yang terkandung pada ayat ini,
mengemukakan pendapat para ulama’ mengenai hukum orang yang akan maka siang hari
di bulan Ramadhan karena lupa dan mengutip pendapat dari Imam Malik, yang
mengatakan batal dan wajib mengqadha. Ia mengatakan menurut pendapat selain Imam
Malik, tidaklah dipandang batal setiap oran yang makan karena lupa akan puasanya, dan
jumhur ulama’ pun berpendapat yang sama.
Kitab yang membahas corak ini adalah kitab Ahkamul Qur’an al-jashash, karya Abu
bakar Ahmad bin Ali Ar-Razi Al-Jashosh dan kitab Tafsir Ayatul Ahkam, karya
Muhammad Ali As-Sayis.
Mufassir harus bisa menguasainya karena Al-Qur’an diturunkan dari satu sumber, maka
setiap ayat menjadi penjelasan bagi ayat-ayat lainnya dan tidak saling bertentangan.
Harus bisa menguasai ilmu ushul fiqih karena seorang Mufassir karena dengan ilmu ini
Mufassr dapat mengambil dalil-dalil dan mengambil hukum dari suatu ayat.
DAFTAR PUSTAKA