Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

STUDY AL-QUR’AN

ILMU MUJMAL DAN MUBAYYAN

Dosen Pengampu;Moh.Atar,M.Ag.

DI SUSUN OLEH KELOMPOK:13

1.JAMAL AZHARI(2302605)
2.WANDIWAN (2302605309 )

FAKULTAS SYARI’AH

PRODI EKONOMI SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NWDI PANCOR

2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan kita nikmat
kesehatan dah kesempatan, yang bilamana nikamat itu di ukur tidak akan mampu untuk kita
ukur. Dan apabila seantero air laut di dunia ini menjadi tinta dan semua ranting di bumi ini
menjadi polpennya maka tidak akan mampu untuk menulis nikamat yang Allah berikan
kepada hambanya. Dari itu sepatutnya kita sebagai hamba untuk memperbanyak bersyukur
kepadanya sebagai wujud hamba yang taat kepada tuhan-nya.

Kedua kalinya taklupa kita haturkan solawat beserta salam kepada junjungan Nabi
besar Muhammad SAW. Yang dimana dijelaskan dalam kitab Al-Gunyah karangan Syeikh
Abdul Qodir Al-Jaelani bahwasanya Rasulullah SAW menjadi SABABUL A’ZOM LI KULLI
MAUJUD yaitu sebab daripada semua di ciptakan oleh Allah dikarnakan Nabi Muhammad
SAW. Dari itu dengan membalas jasa Rasulullah senantiasa bersolawat kepada beliau.`

Dengan disusun-Nya makalah ini semoga kita bisa mengetahui peran kita sebagai
manusia untuk kemanfaatan kita kepada lingkungan kita sendiri. Dan dengan disusunnya
makalah ini kami sangat mengharapkan kritikan dan saran daripada pembaca. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita sekalian. Aamiin.
DAFTAR ISI
BAB 1.........................................................................................................................................4
A. Pendahuluan.................................................................................................................4
Rumusan masalah...................................................................................................................4
BAB ll........................................................................................................................................5
B. Pengertian Mujmal dan Mubayyan...............................................................................5
C. Bentuk-bentuk Lafadz Mujmal dan Mubayyan..............................................................5
D. Implikasi Hukum dan Kaidah Mujmal dan Mubayyan..................................................7
E. Kesimpulan....................................................................................................................9
F. Kritik dan Saran...........................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................10
BAB 1
A. Pendahuluan
Al-Qur’an dan al-Hadits merupakan pedoman asas bagi umat islam. Setiap tindakan
orang muslim haruslah sesuai dengan tuntutannya atau setidaknya tidak bertentangan dengan
keduanya. Akan tetapi untuk memahami maksud yang terkandung dalam kedua sumber asas
tersebut tidaklah semudah yang kita fikirkan dengan akal, tetapi memerlukan ilmu dalam
membantu menjelaskan kesamaran dan menyingkap maksud-maksud al-Qur’an dan al-
Hadits. Salah satu ilmu tersebut adalah ilmu ushul fiqh.
Oleh karena itu, suatu pembahasan usul fiqh yang dapat membantu mengenali
kejelasan suatu makna dalam al-Qur’an dan al-Hadits ialah mujmal dan mubayyan.
Pembahasan mengenai ini sangat penting karena untuk mendapatkan pemahaman yang
mantap memerlukan pengetahuan yang luas mengenai suatu makna perkataan yang diteliti.
Dengan mengetahui mujmal dan mubayyan ini, kita dapat mengklasifikasikan yang mana
perkataan yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut karena masih bersifat umum dan
jelas sehingga maksudnya dapat diuraikan.
Rumusan masalah
· Pengertian mujmal dan mubayyan
· Bentuk-bentuk lafadz mujmal dan mubayyan
· Implikasi hukum dan kaidah-kaidahnya.
BAB ll
B. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Arti Mujmal menurut bahasa adalah kabur atau tidak jelas, samar-samar. Maksudnya
suatu perkara atau lafadz yang tidak jelas atau hal-hal yang memerlukan penjelasan.
Mujmal menurut istilah ushul fiqh adalah lafadz atau mantuq yang memerlukan bayan
(penjelasan).

Mujmal adalah suatu perkataan yang belum jelas maksudnya dan untuk
mengetahuinya diperlukan penjelasan dari lainnya. Penjelasan ini disebut Bayan. Dalam arti
lain, kandungan maknanya masih global dan memerlukan perincian. Ketidakjelasan tersebut
disebut ijmal.

Arti mubayyan menurut bahasa adalah yang menjelaskan. Maksudnya adalah suatu
lafadz yang mengandung penjelasan.

Mubayyan menurut istilah ushul fiqh adalah mengeluarkan sesuatu dari bentuk yang
musykil (kabur) kepada bentuk yang terang.

Mubayyan adalah suatu perkataan yang jelas maksudnya tanpa memerlukan


penjelasan dari lainnya (Saebani, 2009: 261).

C. Bentuk-bentuk Lafadz Mujmal dan Mubayyan


Bila dilihat dari segi bentuknya lafadz-lafadz mujmal ada dua macam, pertama lafadz
mufrad dan kedua lafadz murakkab.
1. Lafadz mufrad yakni lafadz-lafadz yang terdiri dari satu kalimat. Lafadz-lafadz mufrad juga
dilihat dari segi jenis ada tiga macam:
a. Isim artinya nama atau nama benda.
Contoh: ‫ار‬GG‫مخت‬boleh sebagai pelaku (fa’il), dalam hal ini diartikan dengan “orang yang
memilih”, dan boleh juga sebagai maf’ul (tujuan) atau penderita, yang dalam hal ini diartikan
dengan “orang yang dipilih”.

b. Fi”il artinya kata kerja


Contoh: ‫عسعس‬boleh diartikan dengan “datang” dan boleh juga dengan arti “kembali’ atau
“pulang”. ‫ باع‬boleh diartikan dengan “menjual” dan boleh dengan “membeli”.
c. Huruf ( ‫ )حرف‬kalimat yang terdiri dari satu huruf, atau kalimat yang tidak akan berarti bila
tidak disambung dengan yang lainnya.
Contoh: ‫ و‬artinya ‘dan” kedudukannya boleh sebagai ataf (‫ )عطف‬artinya penyambung, tetapi
boleh juga sebagai al-Ibtida’ (‫ )االبتداء‬artinya kata awal atau permulaan (Djalil, 2010: 110).

Yang termasuk mufrad diantaranya adalah :

1) Lafadz yang diletakkan untuk dua makna secara haqiqat, yakni lafadz-lafadz yang
musytarak, seperti lafadz ‫ القرء‬yang diletakkan untuk menunjukkan makna “suci” dan makna
“haid”.
2) Lafadz yang layak untuk diarahkan pada kedua makna dengan sebab adanya musyabahah
(keserupaan) dalam sebuah titik persamaan. Seperti lafadz ‫ النور‬yang layak untuk diarahkan
pada makna “akal” dan “cahaya matahari”.
3) Lafadz yang layak untuk diarahkan pada kedua makna dengan sebab adanya mumatsalah
(kemiripan). Seperti lafadz ‫ الجسم‬yang layak diarahkan pada “langit’ dan “bumi”, atau benda-
benda yang lain.
4) Lafadz yang terkena imbas I’lal, seperti lafadz ‫ المختار‬yang diarahkan pada bentuk isim fa’il
atau isim maf’ul (Afandi dan Huda, 2013: 157 -158).

2. Lafadz-lafadz murakkab yakni lafadz-lafadz yang terdiri dari beberapa kalimat.


Sebagai contoh firman Allah yang berbunyi:
٢٣٧ : ‫ البقرة‬. . .‫او يعفو الذي بيده عقدة النكاح‬
Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah… (QS. Al-Baqarah: 237)

Yang mempunyai ikatan perkawinan bisa diartikan wali atau suami, karena maknanya
tidak tunggal, berarti hukumnya belum pasti. Oleh karena itu, tidak diamalkan sebelum ada
penjelasan atau al-Bayan (Saebani, 2009: 262).

Mubayyan atau penjelasan dilihat dari segi jenisnya, terbagi kepada beberapa macam:

1. Penjelasan denga kata-kata (‫)بيان بالقول‬


Contoh, firman Allah yang berbunyi:
١٩٦: ‫ البقرة‬...‫فصيام ثالثة ايام في الحج وسبعة اذا رجعتم تلك عشرة كاملة‬

“Maka wajib berpuasa tiga hari dalam waktu haji, dan tujuh hari setelah kamu kembali. Itulah
sepuluh hari yang sempurna. (QS. Al-Baqarah: 196).
Perkataan “sepuluh hari yang sempurna’ pada ayat tersebut adalah sebagai penjelasan
dari tiga dan tujuh hari yang disebutkan sebelum itu.

2. Penjelasan dengan perbuatan (‫)بيان بالفعل‬


Contoh, seperti cara-cara shalat yang harus diikuti sebagaimana yang diterangkan dengan
perbuatan beliau sendiri, sebagaimana sabdanya yang berbunyi:
‫ حديث‬. ‫صلوا كما رايتمواني اصلي‬.

“Shalatlah engkau sebagaimana engkau melihat aku melakukan sholat.” (hadis)

3. Penjelasan dengan tulisan/surat (‫)بيان بالكتاب‬


Contoh, seperti ukuran zakat dan diat anggota-anggota badan, banyak Nabi melakukan
dengan surat-surat, untuk dikirim ke daerah-daerah Islam di waktu itu.
4. Penjelasan-penjelasan dengan isyarat (‫)بيان باالشارة‬
Contoh, seperti penjelasan Nabi tentang jumlah hari pada bulan Ramadhan, dengan
mengucapkan
‫ حديث‬.‫ وهكذا‬،‫ وهكذا‬،‫الشهر هكذا‬
“Satu bulan itu sekian dan sekian dan sekian” (hadist).

Sewaktu Nabi mengucapkan “sekian” pertama dan kedua adalah dengan mengangkat
semua jari tangan, dan sedang waktu mengucapkan “sekian” yang ketiga, Nabi melipatkan
satu ibu jarinya. Hal tersebut merupakan isyarat yang menunjukkan bahwa bulan Ramadhan
adalah dua puluh Sembilan hari. Yang demikianlah penjelasan dengan isyarat.

5. Penjelasan dengan meninggalkan (‫)بيان بالترك‬


Contoh, seperti yang disebutkan dalam satu riwayat oleh Jabir:

‫ ابن حبان‬. ‫كان اخراج المرين من رسول هللا عليه وسلم عدم الوضوء مما مست النار‬
“Adalah akhir dua perkara dari Nabi SAW. (adalah) tidak mengambil wudhu (lagi) setelah
makan sesuatu yang dibakar.” (Hadist Ibnu Hibban).
Dari riwayat tersebut tampak bahwa pada mulanya, setiap makan sesuatu yang
dibakar maka Nabi SAW. Wudhu, kemudian Nabi tinggalkan, yakni Nabi tak wudhu lagi
walau makan makanan yang dibakar. Nabi meninggalkan wudhu dalam hal tersebut, oleh
ulama dikatakan sebagai penjelasan atau bayan dengan meninggalkan (Djalil, 2010: 113-
115).
D. Implikasi Hukum dan Kaidah Mujmal dan Mubayyan
1. Hukum dan kaidah mujmal
Tentang hukum mujmal pada umumnya ulama berkata:

‫حكم المجمل التوقف فيه الى ان يبين‬

“Hukum mujmal adalah tawaquf (ditunda, ditangguhkan) sampai ada atau terdapat bayan
(penjelasan).”
Maksudnya adalah apabila terdapat satu dalil yang bersifat mujmal, sedang bayannya
belum didapat atau belum ditemukan, maka dalil tersebut tidak boleh diamalkan sebelum
mendapatkan penjelasan atau bayan dari dalil tersebut.

Tapi ada sebagian ulama yang tidak sependirian dengan ketentuan di atas, antara lain
Daud Adzahiri yang berpendapat bahwa boleh mengamalkan dalil yang mujmal bila tidak
terdapat bayan atau penjelassannya. Alasaan beliau antara lain adalah tidak mungkin terdapat
dalil yang mujmal setelah Nabi wafat, karena sebelum Nabi wafat, Islam telah
disempurnakan terlebih dahulu (Djalil, 2010: 109).

2. Hukum menangguhkan penjelasan


Hukum menangguhkan penjelasan yang dimaksudkan di sini adalah misalnya seorang
bertanya tentang suatu perkara yang berhubungan dengan agama, dalam hal demikian apakah
kita boleh menangguhkan jawaban karena sesuatu hal, dan bagaimana bila saat itu si penanya
sangat memerlukan hukumnya.

Dilihat dari segi waktunya, maka penangguhan ada dua macam, masing-masing
terdapat ketentuan ulama:

‫تاءخير البيان عن وقت الحاجة ال يجوز‬.

“menangguhkan penjelasan dari waktu yang diperlukan tidak boleh.”

Alasan ketentuan di atas adalah, bila dalam hal demikian kita menangguhkan
penjelasan, berarti kita membenarkan seseorang berijtihad salah atau membenarkan seseorang
melakukan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak agama.
Di samping itu beralasan itu berlandaskan juga dengan hadits yang berasal dari
A’isyah, yang mana ketika Fatimah binti Abi Hubeisy bertanya pada Nabi ‘apakah boleh
meninggalkan sholat, karena dirinya selalu ‘istihadhah”’, yakni tidak pernah suci. Maka Nabi
menjawab:

“Tidak, itu adalah cairan dan bukan darah haid, dan bila datang haid maka tinggalkanlah
sholat, dan bila telah habis (waktu haid) maka cucilah darah itu dari dirimu dan shalatlah”
(HR. Bukhari dan Muslim).

Dari hadits ini tampak bahwa, tidak boleh ditangguhkan penjelasan pada waktu yang
diperlukan, karena bila Nabi menundanya berarti Nabi telah membenarkan orang tersebut
tidak shalat.

Oleh sebagian ulama, hadits A’isyah tersebut dipakai juga sebagai alasan, bahwa
wanita-wanita istihadhah tidak wajib bersuci setiap akan sholat.

‫تاءخير البيان عن وقت الخطاب يجوز‬.

“Menangguhkan penjelasan dari waktu khitab (waktu berbicara) adalah boleh.”

Mereka beralasan dengan firman Allah yang berbunyi:

١١٠:‫البقرة‬...‫اقيمواالصالة‬

Dirikanlah shalat… (QS.al-Baqarah: 110)

Perintah shalat pada ayat tersebut tidaklah langsung diiringi dengan penjelasannya.
Adapun penjelasan mengenai bentuk atau tata caranya adalah kemudian, yakni dengan cara-
cara yang ditunjukkan oleh Nabi SAW. sendiri. hal tersebut menunjukkan bolehnya menunda
penjelasan atau bayan (Djalil, 2010: 111 – 113).

E. Kesimpulan
1. Mujmal menurut istilah ushul fiqh adalah lafadz atau mantuq yang memerlukan bayan
(penjelasan).
2. Mubayyan menurut istilah ushul fiqh adalah mengeluarkan sesuatu dari bentuk yang
musykil (kabur) kepada bentuk yang terang.
3. Bila dilihat dari segi bentuknya lafadz-lafadz mujmal ada dua macam, pertama lafadz
mufrad dan kedua lafadz murakkab.
4. Mubayyan atau penjelasan dilihat dari segi jenisnya, terbagi kepada beberapa macam:
a. Penjelasan denga kata-kata
b. Penjelasan dengan perbuatan
c. Penjelasan dengan tulisan/surat
d. Penjelasan-penjelasan dengan isyarat
e. Penjelasan dengan meninggalkan
5. Hukum mujmal adalah tawaquf (ditunda, ditangguhkan) sampai ada atau terdapat bayan
(penjelasan).
6. menangguhkan penjelasan dari waktu yang diperlukan tidak boleh.
7. Menangguhkan penjelasan dari waktu khitab (waktu berbicara) adalah boleh.

F. Kritik dan Saran


Dalam penulisan makalah ini saya mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen
pengampu yang telah memberi tugas membuat makalah ini, karena dengan adanya tugas ini
kami bisa belajar lebih banyak tentang ushul fiqh, karena dalam hal ini kami termasuk
golongan yang sangat awam yang belum mengerti banyak tentang ilmu usul fiqh. Dan
kesalahan dan kekeliruan kiranya masih terjadi dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu,
kami mengharapkan banyak bimbingan dan koreksi yang membangun untuk makalah kami
ini, agar kedepan bisa menjadi lebih baik lagi.
Saran kami kepada pembaca supaya lebih jeli dalam membaca dan belajar tentang
ushul fiqh, lebih pandai memilih-milih bacaan dan sumber informasi yang didapatkan, karena
untuk mendapatkan pemahaman yang mantap memerlukan pengetahuan yang luas mengenai
suatu makna perkataan yang diteliti. Terimakasih kami ucapkan sebagai penutup, dengan
harapan semoga makalah ini bermanfaat dan memberikan tambahan ilmu sejarah bagi
pembaca, khususnya bagi kami. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. Boedi. 2009. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Afandi. Kholid dan Nailul Huda. 2013. Dari Teori Ushul Menuju Fiqh Ala Tashil ath- Thuruqat.
Santri Salaf Press.
Djalil. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Prenada Media Group.

Anda mungkin juga menyukai