1
Seperti Firman Allah SWT dalam Surat Ali Imran (3) ayat 193 dan Surat
Yusuf (12) ayat 42:
“Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada
iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", Maka Kamipun beriman. Ya
Tuhan Kami, ampunilah bagi Kami dosa-dosa Kami dan hapuskanlah dari Kami
kesalahan-kesalahan Kami, dan wafatkanlah Kami beserta orang-orang yang banyak
berbakti” (Q.S. Ali Imran (3): 193).
Doa (Permohonan): Perintah itu berupa permohonan yang datang dari bawah
ke atas.
“Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat diantara mereka
berdua: "Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu." Maka syaitan menjadikan Dia
lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. karena itu tetaplah Dia (Yusuf)
dalam penjara beberapa tahun lamanya” (Q.S. Yusuf (12): 42)..
Iltimas (Ajakan): Perintah itu berasal dari pihak yang sederajat.
Muhammad Abu Zahrah menyebutkan bahwa perintah (amr) adalah
permintaan lisan untuk melakukan sesuatu yang keluar dari orang yang kedudukanya
lebih rendah. Perintah menurut pengertian ini berbeda dari permohonan (do‟a) dan
ajakan (iltimas). Karena yang disebut pertama merupakan permintaan dari orang yang
kedudukanya lebih rendah kepada orang yang kedudakanya lebih tinggi. Sementara
ajakan permintaan diantara orang yang seterusnya sejajar/hampir sejajar.
2
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya” (Q.S. Ath-
Thalaq (65): 7).
3) Bentuk Mashdar yang diposisikan sebagai Fi’il Amr
Contoh: Q.S. Muhammad (47) ayat 4:
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk
menundukkan dirinya (kepadanya) dan Dia menutup pintu-pintu, seraya berkata:
"Marilah ke sini”” (Q.S. Yusuf (12): 23.
5) Bentuk kalimat berita yang bermakna perintah (Khabariyyah Lafzan
Insya’iyyah Ma’nan)
Contoh: Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 228:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'”
(Q.S. Al-Baqarah (2): 228).
6) Bentuk kata أمر
Contoh: Q.S. An-Nisa‟ (4) ayat 58:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya” (Q.S. An-Nisa‟ (4): 58).
7) Bentuk kata فرض
Contoh: Q.S. Al-Ahzab (33) ayat 50:
“Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka
tentang isteri-isteri mereka” (Q.S. Al- Ahzab (33) : 50).
8) Menggunakan kata كتب
Contoh: Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 183:
3
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa” (Q.S. Al-Baqarah
(2): 183).
9) Jawab syarat
Contoh: Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 196:
“Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah)
korban” (Q.S. Al-Baqarah (2) : 196).
10) Memberitahukan tentang adanya kewajiban dengan memakai kata على
Contoh: Q.S. Ali Imran (3) ayat 97:
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan
rukuklah beserta orang yang rukuk” (Q.S. Al-Baqarah (2)
ayat 43).
2 ( الندبsunnah)
“Dan buatlah kontrak kitabah pada hamba-hamba itu, jika
kalian meyakini ada kebaikan pada mereka” (Q.S. An-Nur
(24): 33).
3 ( التأديبmendidik adab)
“Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara
kamu” (Q.S. An-Nur (24): 33).
4 ( اإلرشادmemberi petunjuk)
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli” (Q.S. Al-
Baqarah (2): 282).
4
5 ( اإلذنmengizinkan) ا ْد ُخ ْل
“Masuklah” (saat ada orang mengetuk pintu).
6 ( اإلابحةmembolehkan)
“Makanlah dari makanan yang baik-baik” (Q.S. Al-
Mu‟minun (23): 51).
7 ( إرادة االمتثالingin اس ِق ِن َماء
ْ
dijalankan) “Berilah aku air minum” (saat orang haus meminta minum
pada orang lain).
8 ( اإلكرامmemuliakan)
“(Allah Berfirman), “Masuklah ke dalamnya dengan
sejahtera dan aman”” (Q.S. Al-Hijr (15): 46).
9 ( االمتنانmemberi anugerah)
5
15 ( التكوينmenjadikan)
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki
sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka
terjadilah ia” (Q.S. Yasin (36): 82).
16 ( التعجيزmelemahkan)
“Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis
banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka
kerjakan” (Q.S. At-Taubah (9): 82).
21 ( اإلنعامmemberi nikmat)
“Makanlah di antar rezeki yang baik yang telah Kami
berikan kepadamu” (Q.S. Al-Baqarah (2): 57).
22 ( التفويضmenyerahkan)
6
“Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan”
(Q.S. Thaha (20): 72).
23 ( التعجبterheran-heran)
“Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-
perumpamaan terhadapmu” (Q.S. Al-Isra‟ (17): 48).
24 ( التكذيبmendustakan)
“Maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu
orang-orang yang benar” (Q.S. Ali Imran (3): 93).
25 ( املشورةmusyawarah)
“Maka pikirkanlah apa pendapatmu” (Q.S. Ash-Shaaffat
(37): 102).
26 ( االعتبارmengambil teladan)
“Perhatikanlah buahnya diwaktu pohonnya berbuah”
(Q.S. Al-An‟am (6): 99).
Imam Ar-Razi berkata di dalam kitabnya Al-Mahsul, bahwa ahli ushul telah
sepakat menetapkan bahwa bentuk if‟al dipergunakan dalam 15 macam makna sesuai
dengan qarinah yang mempengaruhinya, yaitu:
1) Ijab (wajib)
Contoh: Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 43:
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang
rukuk” (Q.S. Al-Baqarah (2): 43).
2) Untuk menunjukkan anjuran (nadb/mandub/sunnah)
Contoh: Q.S. An-Nur (24) ayat 33:
“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya
kepadamu” (Q.S. An-Nur (24): 33).
3) Ta’dib (adab)
Contoh:
إِ َّن ِِمَّا:صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِ
َ ال َر ُس ْو ُل هللا
َ َ ق: ال ِ َعن أَِِب مسعو ٍد ُع ْقبةَ بِن َعم ٍرو األَنْصا ِري الْب ْد ِري ر
َ َض َي هللا َع ْنوُ ق َ َ َ ْ ْ َ ُْ ْ َ ْ
َ اصنَ ْع َما ِش ْئ ِ ِ أَ ْدر َك الن
)ت (رواه البخاري ْ َ إِ َذا ََلْ تَ ْستَ ِح ف،َّاس م ْن َكالَِم النُّبُ َّوة األ ُْو ََل
ُ َ
“Dari Abu Mas‟ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al Badry R.A. dia berkata: Rasulullah
SAW bersabda: “Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan
nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu perbuatlah apa yang engkau suka”
(H.R. Bukhari).
7
4) Untuk menunjuki (Irsyad)
Contoh: Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 282:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki- laki di antara kamu” (Q.S. Al-
Baqarah (2): 282).
5) Ibahah (kebolehan)
Contoh: Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 187:
“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar” (Q.S. Al-Baqarah (2): 187).
6) Tahdid (ancaman)
Contoh: Q.S. Fushshilat (41) ayat 40:
“Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan” (Q.S. Fushshilat (41): 40).
7) Inzhar (peringatan)
Contoh: Q.S. Ibrahim (14) ayat 30:
“(Allah Berfirman), “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera dan aman”” (Q.S. Al-
Hijr (15): 46).
9) Taskhir (penghinaan)
Contoh: Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 65:
“Jadilah kamu kera yang hina!” (Q.S. Al-Baqarah (2): 65).
10) Ta’jiz (melemahkan)
Contoh: Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 23:
8
“Baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu” (Q.S. Ath-Thur (52): 16).
12) Tamanni (angan-angan)
Contoh:
أال أيها الليل الطويل أال اجنلي
“Ingatlah wahai malam yang panjang, hendaklah menjadi terang” (Syi‟ir Umrul Qais).
13) Do’a (berdoa)
Contoh: Q.S. Shad (38) ayat 35:
“Dia berkata, “Ya Tuhan-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan
yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha
Pemberi”” (Q.S. Shad (38): 35.
14) Ihanah (meremehkan)
Contoh: Q.S. Ad-Dukhan (44) ayat 49:
“Rasakanlah, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang perkasa lagi mulia” (Q.S.
Ad-Dukhan (44): 49).
15) Imtinan (memberi anugerah)
Contoh: Q.S. An-Nahl (16) ayat 114:
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah Diberikan Allah
kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya”
(Q.S. An-Nahl (16): 114).
Berarti bahwa setiap kata Amr (perintah) belum tentu menentukan sebuah
hukum wajib, bisa jadi kata perintah itu berarti memohon, mengajak, petunjuk,
anjuran, mengharapkan, dan lain-lain.
9
C. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Amr ()األمر
1) Kaidah pertama:
األصل ىف األمر للوجوب وال تدل على غيه إال بقرينة
“Amr atau perintah pada dasarnya menunjukkan arti wajib, kecuali adanya qarinah
tersebut yang memalingkan arti wajib tersebut”.
Contoh: Q.S. An-Nisa‟ (4) ayat 77:
”Dan Sembahlahlah Allah” (Q.S. An-Nisa‟ (4): 36).
Perintah mentauhidkan Allah atau menyembah Allah berarti larangan
mempersekutukan Allah.
3) Kaidah ketiga:
األمر يقتضى الفور إال لقرينة
“Perintah itu menghendaki segera dilaksanakan kecuali ada qarinah tertentu yang
menyatakan jika suatu perbuatan tersebut tidak segera dilaksanakan”.
Contoh: Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 148:
“Berlomba-lombalah kamu dalam mengejar kebaikan” (Q.S. Al-Baqarah (2): 148).
4) Kaidah keempat:
األمر ال يقتضى الفور
“Suatu suruhan atau perintah itu tidak menghendaki kesegeraan dikerjakannya”.
Contoh: Q.S. Al-Hajj (22) ayat 27:
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji” (Q.S. Al-Hajj (22): 27).
5) Kaidah kelima:
األصل ىف األمر ال يقتضى التكرار إال ما دل الدليل على خالفو
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali
mengerjakan perintah), kecuali adanya qarinah atau kalimat yang menunjukkan
kepada pengulangan”.
10
إذا عُلِّق األمر على شرط أو صفة فإنو يقتضي التكرار
“Apabila mengaitkan perintah kepada syarat atau sifat maka sesungguhnya
menghendaki pengulangan”.
Contoh: Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 196:
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan
shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S. Al-Jumu‟ah (62): 9-10).
11
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar” (Q.S. Al-Baqarah (2): 282).
Pada ayat ini ditemukan adanya kasus tentang hukum pencatatan dan
persaksian dalam kasus utang-piutang, yang tertuang pada kalimat ُ فَا ْكتُ بُوهarti yang
terkandung dalam kalimat ini diperselisihkan para ahli ushul, yakni :
Kelompok al-Dhahiry berpendapat bahwa hukum yang terdapat di dalam perintah
pencatatan dan penulisan dalam hutang-piutang adalah wajib, sebab bentuk amar
menunjukkan wajib. Dan arti ini tidak bisa menyimpang dari arti amar secara
lahiriyah, kecuali ada nash atau ijma‟ yang mengalihkannya dari wajib.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum yang dapat diambil dari kata amar
adalah nadb, sebab kebanyakan masyarakat muslim dalam melakukan transaksi
kontrak jual-beli yang dilakukan dengan tidak kontan, tidak dilakukan oleh
mereka dengan percatatan dan penulisan, sehingga ijma‟ kaum muslimin tersebut
dianggap sebagai indikasi (qarinah) yang menunjukkan bahwa amar tersebut tidak
menunjukkan hukum wajib.
Dengan demikian, untuk menentukan sesuatu yang dapat dianggap sebagai
qarinah, para ahli berbeda-beda, sehingga berakibat pada terjadinya perbedaan dalam
penetapan hukum, misalnya problem muth‟ah bagi wanita yang diceraikan suami
dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat 236:
“Dan hendaklah kamu beri mereka mutah, bagi yang mampu menurut
kemampuannya” (Q.S. Al-Baqarah (2): 236).
Dalam menanggapi kasus ayat ini, kelompok imam syafi‟i, hanafiyah,
hanabilah menganggap bahwa pemberian muth‟ah kepada wanita telah diceraikan
suami adalah wajib, berdasarkan pada kemutlakan perintah. Begitu juga Ibn „Umar
(dari keempat sahabat), sa‟id bin Musayyab dan imam Mujahid (dari kelompok
Tabi‟in).
Contoh:
Pencatatan dan Persaksian dalam Transaksi Utang Piutang.
Kalangan ulama Dhahiriyyah berpandangan bahwa pencatatan dan persaksian
dalam transaksi utang piutang hukumnya wajib (fardu). Sedangkan kalangan
mayoritas ulama (jumhur) berpendapat bahwa pencatatan dan persaksian dalam
transaksi utang piutang hukumnya sunnah (mandub).
Pembacaan basmalah dan penggunaan tangan kanan pada saat makan.
Kalangan ulama Dhahiriyyah berpandangan bahwa pembacaan basmalah dan
penggunaan tangan kanan pada saat makan hukumnya wajib (fardu). Sedangkan
kalangan mayoritas ulama (jumhur) berpendapat bahwa pembacaan basmalah dan
penggunaan tangan kanan pada saat makan hukumnya sunnah (mandub).
12
Menikah bagi laki-laki dewasa yang mampu.
Kalangan ulama Dhahiriyyah berpandangan bahwa menikah bagi laki-laki
dewasa yang mampu hukumnya wajib (fardu). Sedangkan kalangan mayoritas ulama
(jumhur) berpendapat bahwa menikah bagi laki-laki dewasa yang mampu hukumnya
sunnah (mandub).
Mempercepat pengurusan jenazah.
Kalangan ulama Dhahiriyyah berpandangan bahwa mempercepat pengurusan
jenazah hukumnya wajib (fardu). Sedangkan kalangan mayoritas ulama (jumhur)
berpendapat bahwa mempercepat pengurusan jenazah hukumnya sunnah (mandub).
Mengadakan walimah al-ursy.
Kalangan ulama Dhahiriyyah berpandangan bahwa mengadakan walimah al-
ursy hukumnya wajib (fardu). Sedangkan kalangan mayoritas ulama (jumhur)
berpendapat bahwa mengadakan walimah al-ursy hukumnya sunnah (mandub).
Menyetubuhi istri yang sudah suci dari haid.
Kalangan ulama Dhahiriyyah berpandangan bahwa menyetubuhi istri yang
sudah suci dari haid hukumnya wajib (fardu), minimal satu kali dalam setiap masa
suci. Sedangkan alangan mayoritas ulama (jumhur) berpendapat bahwa menyetubuhi
istri yang sudah suci dari haid hukumnya sunnah (mandub).
13
melakukan suatu perbuatan. Seperti firman Allah SWT: "وال اتكلوا أموالكم
" بينكم ابلباطلartinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil” (QS. Al-Baqarah (2): 188).
Berarti Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari
atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
14
Khin, bahwa sighat Nahi yang sebenarnya adalah Fi‟il Mudhari‟ ( )فعل املضارعyang
15
4. Untuk memutusasakan ()للتيئيس. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-
Tahrim (66) ayat 7:
ين َك َف ُروا َال تَ ْعتَ ِذ ُروا الْيَ ْو َم إِ ََّّنَا ُُتْ َزْو َن َما ُك ْن تُ ْم تَ ْع َملُو َن ِ َّ
َ ََي أَيُّ َها الذ
“Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini.
Sesungguhnya kamu hanya diberi Balasan menurut apa yang kamu kerjakan” (Q.S.
At-Tahrim (66): 7).
5. Untuk menghibur ()لإلئتناس. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah
(9) ayat 40:
َّ َال َحتْ َز ْن إِ َّن
اّللَ َم َعنَا
“Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita” (Q.S. At-Taubah
(9): 40).
6. Untuk ancaman ()للتهديد. Misalnya ucapan kepada pelayan:
Para ulama Ushul Fiqh merumuskan beberapa kaidah yang berkenaan dengan
larangan, antara lain:
Kaidah pertama, األصل يف النهي للتحرمي, pada dasarnya suatu larangan
menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi
yang menunjukkan hukum lain. Contohnya surat Al-An‟am (6) ayat 151:
َّ س الَِّيت َح َّرَم
اّللُ إَِّال ِاب ْْلَ ِّق َ َوَال تَ ْقتُ لُوا النَّ ْف
“dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”.
Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain
haram, dalam surat Al-Jumu‟ah (62) ayat 9:
َِّ لص َالةِ ِمن ي وِم ا ْجلمع ِة فَاسعوا إِ ََل ِذ ْك ِر
اّلل َوذَ ُروا الْبَ ْي َع ذَلِ ُك ْم َخ ْي ٌر لَ ُك ْم إِ ْن ُك ْن تُ ْم َّ ِي ل ِ ِ ِ َّ
ْ َ ْ َ ُُ ْ َ ْ َ آمنُوا إذَا نُود
َ ين
َ ََي أَيُّ َها الذ
تَ ْعلَ ُمو َن
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.”
Kaidah kedua, األصل يف النهي يطلق الفساد مطلقا, suatu larangan menunjukkan fasad
(rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Kaidah ini disepakati bilamana
larangan itu tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal
yang terletak diluar esensi perbuatan itu.
16
Kaidah ketiga, النهي عن الشيئ أمر بضده, suatu larangan terhadap suatu perbuatan
berarti perintah terhadap kebalikannya. Seperti dalam surat Luqman (31) ayat 18:
ِ ش ِيف ْاأل َْر
ض َم َرحا ِ ََْوَال َت
“dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh”.
Larangan tersebut mengajarkan agar berjalan di permukaan bumi dengan
rendah hati dan sopan.
Mengenai sighat dan makna yang digunakan pada larangan (nahi) ini, pada
dasarnya memiliki dua konsekwensi hukum; Haram atau Makruh. Sama halnya
dengan perintah (amar) yang memiliki konsekwensi hukum; Wajib dan sunnah.
Biasanya sebuah larangan yang disertai dengan sebuah indikasi (qarinah) maka
hukumnya digolongkan ke dalam makruh. Sedangkan larangan yang tidak disertai
dengan indikasi tertentu, maka hukumnya digolongkan pada haram. Ini bisa dilihat
dari Firman Allah SWT Q.S. Al-Maidah (5): 87 yang berbunyi; “ َي أيها الذين أمنوا ال حترموا
”طيبات ما أحل هللا لكمArtinya: “Janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu” (Q.S. Al-Maidah (5): 87). Pengharaman di sini maknanya
adalah makruh, karena mengkonsumsi hal-hal yang baik adalah mubah.
Kemudian apakah sebuah larangan menuntut pengulangan (tikrar) dan
penyegeraan (faur), dalam hal ini ulama berbeda pendapat; pertama; ada yang
mengatakan bahwa larangan itu tidak menunjukkan atas pengulangan dan
penyegeraan. Ini diwakili oleh ar-Razi (W.606H) dan al-Baidhawi (W.685H) dari
golongan ulama Syafi‟i. Kedua; ada yang mengatakan bahwa sebuah larangan
menunjukkan atas pengulangan dan penyegeraan. Ini diwakili oleh al-Amidi
(W.631H), Ibnu Hajib (W.646H) dan al-Qarafi (W.684H).
Dan pendapat yang paling rajih (kuat) adalah pendapat ke dua. Karena sebuah
larangan menuntut adanya penyegeraan dan pengulangan. Sebab, jika Allah melarang
suatu maka itu artinya bahwa seorang mukallaf tidak diperkenankan untuk
mengerjakannya sampai kapanpun dan harus segera meninggalkannya dengan segera.
Adapun efek hukum yang ditimbulkan dari larangan ini, bisa membuat
pekerjaan tersebut menjadi fasad dan bisa menjadi batal. Fasad berarti pekerjaan yang
semula sah, kemudian menjadi tidak sah dan harus dihentikan, jika diteruskan maka
pekerjaan tersebut tidak terhitung, terutama dalam mua‟malah, maka seluruh
pemindahan hak yang ada menjadi tidak sah. Contoh yang fasad ini adalah jual beli
yang dilakukan oleh salah seorang „aqidain (penjual atau pembeli) adalah anak-anak.
Maka jual belinya tidak sah (fasad).
17
Adapun sebuah perbuatan menjadi batal, jika perbuatan tersebut tidak
memenuhi persyaratan sejak awal, atau antara syarat yang ada tidak terpenuhi, maka
ini adalah batal. Contohnya jual beli yang tidak ada barangnya.
Contoh lainnya:
Larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
Larangan berpuasa pada hari raya karena hikmah di hari raya ialah agar semua
umat Islam dapat menikmati kegembiraan makan minum di hari tersebut.
Larangan dalam jual beli sewaktu shalat jum‟at yang akibatnya akan
meninggalkan shalat jum‟at.
18