Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PLURALISME
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits Ahkam Siyasah
Dosen pengampu: Ahmad Dinal Musthofa,M.H

Kelompok 11:
Syafaatur Rahmah 200203110037
Ahmad Syahrul Illiyin 200203110044

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UIN MAULANA MALAIK IBRAHIM MALANG
2022
Kata Pengantar

Puji syukur Alhamdulillah kami ucapakan atas berkah dan rahmat yang tel
ah Allah SWT anugrahkan kepada kita, sehingga makalah yang kami susun ini da
pat terselesaikan guna memenuhi tugas mata kuliah Hadist Ahkam Siyasah.

Sholawat dan salam kami sampaikan kepada suri tauladan kita Nabi Muha
mmad SAW, yang mana berkat beliau kita dapat merasakan nikmat Isalam dan Im
an. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ahsin Dinal Musthaf
a selaku dosen pengampu mata kuliah Hadist Ahkam Siyasah yang telah membim
bing kami dengan kami dengan baik.

Kami menyadari bila tulisan kami ini masih memiliki kekurangan dan kete
rbatasan, oleh karenanya kami mengharapkan saran dan kritik sebagai upaya menj
adikan tulisan kami ini menjadi lebih baik.

13, Maret 2022

Kelompok 11

2
DAFTAR ISI

Contents
Kata Pengantar................................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................3
BAB I................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan masalah................................................................................................4
C. Tujuan......................................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN...............................................................................................................5
A. Hadist tentang Pluralisme...................................................................................5
B. Konsep pluralisme................................................................................................8
BAB III...........................................................................................................................17
PENUTUP.......................................................................................................................17
A. Kesimpulan.........................................................................................................17
B. Saran...................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................18

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajemukan atau yang biasa dikenal dengan adalah suatu fenomena kea
daan masyarakat yang harus kita hadapi dengan arif dan bijaksana. Membuda
yakan saling menghargai dan berdamai adalah salah satu cara yang siperlukan
dalam menghadapi pluralisme, sehingga dapat menjadi solusi guna menjaga k
esatuhan dan persatuan di masyarakat. Tantangan pluralisme seharusnya dapa
t menjadi peluang untuk menunjukkan bahwa ketetuan dalam Al-Qur’an dan
Hadits merupakan pedoman dalam hidup bermasyarakat. Menggunakan Al-Q
ur’an dan Hadits sebagai rujukan berfikir guna menghadapi tantangan pluralis
me dalam masyarakat dan menghindari terjadinya konflik yang mengatasnam
akan agama. Berkenaan dengan hal tersebut penulis akan menjelaskan Sebagi
an kecil hadits yang membahas terkait pluralisme secara singkat.

B. Rumusan masalah
1. Apa hadist yang membahas pluralisme?
2. Apa itu pluralisme?

C. Tujuan
1. Mengtahui hadist yang membahas pluralisme
2. Agar pembaca mengetahui konsep dari pluralisme

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadist tentang Pluralisme

ِ ‫ ع َْن َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا‬، ‫د هَّللا ِ ْب ِن ِم ْق َس ٍم‬Gِ ‫ ع َْن ُعبَ ْي‬، ‫ ع َْن يَحْ يَى‬، ‫ َح َّدثَنَا ِه َشا ٌم‬، َ‫ضالَة‬ َ َ‫َح َّدثَنَا ُم َعا ُذ بْنُ ف‬
‫ يَا‬: ‫ فَقُ ْلنَا‬،‫ َوقُ ْمنَا بِ ِه‬،‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬َ ‫ فَقَا َم لَهَا النَّبِ ُّي‬،ٌ‫ َم َّر بِنَا َجنَا َزة‬: ‫ قَا َل‬،‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما‬
ِ ‫َر‬
‫ ِإ َذا َرَأ ْيتُ ُم ْال ِجنَازَ ةَ فَقُو ُموا‬: ‫ال‬ ٍّ ‫ ِإنَّهَا ِجنَا َزةُ يَهُو ِد‬،ِ ‫َرسُو َل هَّللا‬
َ َ ‫ ق‬.‫ي‬

Artinya: Telah menceritakan pada kami Mu’adz bin Fadhalah, tela


h menceritakan pada kami Hisyam dari Yahya dari Ubaidillah bin Muqsim
dari Jubair bin Abdullah radiallahu’anhuma berkata: “suatu hari jenazah pe
rnah lewat dihadapan kami maka Nabi Shallallahu’alaihiwasallam berdiri
menghotmati jenazah tersebut dan kami pun ikut berdiri” kemudian kami b
ertanya: “wahai Rasulullah jenazah itu adalah jenazah rang Yahudi”. Maka
beliau berkata : “jika kalian mlihat jenazah maka berdirilah”. (H.R Bukhar
i)

Dalam hadist diatas kita bisa memahami bahwa Rasulullah SAW


menghormati setiap orang tanpa memandang agama yang dianut, baik oran
g tersebut muslim maupun nonmuslim. Kata yang perlu diperhatikan dari
hadits tersebut adalah ‫فَقُو ُموا‬, hal tersebut merupakan cara Rasulullah SAW
memberikan contoh kepada umatnya untuk menghormati umat nonmuslim
tanpa harus menghawatirkan keyakinan atau aqidahnya karena perilaku ter
sebut dicontohkan oleh Rasulullah sendiri.1Dengan kata lain hadits
tersebut mengandung makna jika dalam keadaan meninggal saja
Rasulullah SAW menghormati jenazah orang nonmuslim sebagaimana
yang disebutkan dalam hadist diatas, maka sepatutnya sikap kita terhadap
orang nonmuslim yang masih hidup dalam arti saat kita berinteraksi dalam
kehidupan sehari-hari, ialah dengan saling menghormati, tidak mencela

1
Wildan Amiruddin dan Lilik Canna AW, Pluralisme Agama di Desa Balon Lamongan, Jurnal
Pemikiran dan Kebudayaan Islam, No.30,44.

5
dan menghindari perilaku yang dapat menimbulkan konflik antar agama.
Disisi lain Rosulullah SAW juga menegaskan bahwa kita menghormati
agama lain tidak akan tercampur akidah kita dengan akidah mereka.

 Ranji Sanad dan Metode Periwayatan Hadits.


ranji sanad dari jalur Shahih Bukhori

ِ ‫ُول هَّللا‬
َ ‫َرس‬
‫ع َْن‬

ِ ‫َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا‬
‫ع َْن‬

‫ُعبَ ْي ِد هَّللا ِ ْب ِن ِم ْق َس ٍم‬

‫ع َْن‬

‫يَحْ يَى‬
)‫َح َّدثَنَا (السماع‬

‫ِه َشا ٌم‬

)‫َح َّدثَنَا (السماع‬


َ َ‫ُم َعا ُذ بْنُ ف‬
َ‫ضالَة‬

)‫َح َّدثَنَا (السماع‬

‫امام البخاري‬

Kata ‫ َح َّدثَنَا‬pada kolom diatas adalah symbol/sighot periwayatan hadits, sedangka


n ‫ السماع‬adalah hasil indentifikasi metode periwayatan hadits.

6
 Biografi singkat

Nama Perawi Guru Murid Aqwalul Ulama’


Jabir bin Abdullah bin Amr b Rasulullah SAW, -Ibrahim bin Abdul ‫له‬:‫أبو حاتم الرازي‬
lah
in Haram kolid bin walid, th ‫صحبة‬
-Ibrahim bin Abdur
alhah bin ubaidilla rahman ‫ذكره في طبقة الصحابة‬:‫ابن حبان‬
-Ubaidillah bin Mi
h. ‫قال‬:‫ الذهبي‬. )‫من كتابه (الثقات‬
qsam2
‫ عقبي‬: )‫ في (الكاشف‬.

Ubaidillah bin Miqsam Jabir bin Abdilla -Ishaq bin Hazim ‫ال بأس‬:‫بو حاتم الرازي‬
h, Abdullah bin U - Ishaq bin Abdilla
‫به هو ثقة‬
mar bin Khattab, h
Abi Hurairah - Yahya bin Abi K ‫ثق‬:‫أبو زرعة الرازي‬
atsir
‫ ثقة‬:‫ النسائي‬.
Yahya bin Abi Katsir Ibrahim bin andull -Aban ibnu Hasyim ‫يحيى بن أبي كثير أحسن‬:‫شعبة‬
ah, Anas bin Mali Al-muallimi
‫ حديثا من الزهري‬.
k, Ubaidillah bin - Aban ibnu Yazid
Miqsam al-a’thor ‫وقال عبد الرحمن بن الحكم بن‬
- Hisyam ad-dastu
‫ كان شعبة يقدم‬: ‫بشير بن سلمان‬
waii (Hisyam bin
Abi Abdillah) ‫يحيى بن أبي كثير على الزهري‬
.
Hisyam bin Abi Abdillah Yahya bin Abi Ka Muad bin Fadlalah ‫ما من الناس أحد أقول إنه‬:‫شعبة‬
tsir ‫طلب الحديث يريد به وجه هللا عز‬
‫وجل إال هشام الدستوائي‬
Muad bin Fadlalah Hafsh bin Maisara Al-bukhari, ‫ذكره في طبقة تبع‬:‫ابن حبان‬
h, khalid bin hum -abu Muslim Ibrahi
)‫ األتباع من كتابه (الثقات‬.
aid al mahri, Hisy m Abdullah Asyuki
am ad-dastuwaii -Ahmad bin Mansh ‫قال في‬:‫ابن حجر العسقالني‬
(Hisyam bin Abi ur Arramadi
‫ ثقة‬: ‫ تقريب التهذيب‬.
Abdillah)3

Berdasarkan penjelasan diatas hadist ini termasuk jenis hadits marfu’ yakn
i perkataan, perbuatan maupaun ketetapan yang disandarkan pada Nabi SAW. Sed
angkan dari segi kualitasnya penulis dengan keterbatasan sumber menganggap ba
2
Al-mizzi, Tadzhib Kamal FI Asma Ar Rijal,juz 4, Muassasah ar-Risalah Bairut,1992,446
3
Al-mizzi, Tadzhib Kamal FI Asma Ar Rijal,juz 28, Muassasah ar-Risalah Bairut,1992,129.

7
hwa hadits ini adalah sahih karena diriwayatkan oleh para ulama dengan kalimat
tsiqah sebagimana yang dijabarkan diatas , selain juga karena dimuat dalam Shahi
h Bukhari

B. Konsep pluralisme

1. Pengertian Pluralisme

Pluralisme diambil dari pluralis yang berarti jamak, lebih dari satu.4 Plural
izzing sama dengan jumlah yang menunjukkan lebih dari satu, atau lebih dari
dua yang mempunyai dualis, sedangkan pluralisme sama dengan keadaan ata
u paham dalam masyarakat yang majemuk bersangkutan dengan system socia
l politiknya sebagai budaya yang berbeda-beda dalam satu masyarakat5 . Dala
m istilah lain plualisme adalah sama dengan doktrin yang menyatakan bahwa
kekuasaan, pemerintahan di suatu Negara harus dibagi bagikan antara berbag
ai gelombang karyawan dan tidak dibenarkan adanya monopoli suatu golonga
n6.

Dalam kamus filsafat, Pluralisme mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; Per


tama, Realitas fundamental bersifat jamak, berbeda dengan dualisme yang me
nyatakan bahwa realitas fundamental ada dua dan monisme menyatakan bahw
a realitas fundamental hanya satu. Kedua; Banyak tingkatan hal-hal dalam ala
m semesta yang terpisah tidak dapat diredusir dan pada dirinya independent.
Ketiga; Alam semesta pada dasarnya tidak ditentukan dalam bentuk dan tidak
memiliki kesatuan atau kontinuitas harmonis yang mendasar, tidak ada tatana
n kohern dan rasional fundamental. Pluralisme agama adalah sebuah konsep y
ang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap aga
ma-agama yang berbeda dan dipergunakan dalam cara yang berlainan pula.7
4
Muhammmad Ilham, “Monoisme dan Pluralisme Kebenaran dalam Persfektif Hukum
Islam”Sangaji, no.1(2021):67
http://ejournal.iaimbima.ac.id/index.php/sangaji/article/view/603/446
5
Fuad Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke II (Jakarta: Balai Pustaka,1990),777.
6
Prigoo digdo, Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Kanisius,1990), 893.
7
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia,2006),853.

8
2. Fiqh Al-Hadits Pluralisme Agama Ibn Taimiyah

Berikut ini beberapa hadits dan ayat yang dikemukakan Ibn Taimiyah me
nyangkut agama selain Islam.

1) Hadits tentang Nabi Muhammad lebih utama dari Nabi yang lain

Dari Abī Hurairah ia berkata: Rasul bersabda: saya adalah manusia


yang lebih utama dari Nabi Isa bin Maryam di dunia dan akhirat. Para
nabi itu bersaudara dalam satu keluarga, ibu-ibu mereka memang banyak
tetapi agama mereka satu. (Hr. Bukhori)

Ibn Taimiyah mengatakan bahwa agama para nabi adalah satu, yaitu
agama Islam. Sama-sama menyembah Allah semata-mata, tiada sekutu
apapun bagi-Nya. Dialah yang patut disembah menurut cara yang
diajarkan para nabi-Nya pada suatu masa, karena itulah agama Islam yang
sesuai untuk masa itu. Syari’at yang datang kemudian kadangkala
menghapus syar`at sebelumnya sesuai dengan kehendak Allah. Nabi
Muhammad pada awalnya diperintahkan shalat berkiblat ke Baitul
Maqdis, kemudian dinasakh (diharamkannya) dan diganti untuk
menghadap ke Ka`bah. Meskipun syari`at telah berbeda namun agama
Islam tetap satu (dalam kurun yang berbeda). Begitu juga agama Islam,
pernah mensyari’atkan kepada Bani Israil untuk berkumpul melakukan
shalat pada hari Sabtu (sebagai hari raya mingguan umat Nabi Musa),
namun kemudian dinasakh dengan disyar`atkan shalat tersebut pada hari
Jum`at kepada umat Islam. Siapa yang berpegang kepada yang mansukh
tidak dipandang lagi sebagai muslim, karena tidak dianggap lagi agama
para nabi setelah datangnya Nabi Muhammad. Barangsiapa tidak mau
masuk ke dalam agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad, ia bukanlah
seorang muslim. Barangsiapa meninggalkan syari`at para Nabi dan
menciptakan sebuah syari`at, itu dianggap batal dan tidak boleh

9
mengikutinya, karena Allah berfirman dalam surat al-Syūrā, ayat 21: ‫اَ ْم َل ُه ْم‬
‫هّٰللا‬ ۤ
ُ ‫ْن َما لَ ْم َيْأ َذ ۢنْ ِب ِه‬
ِ ‫ۗ ُش َر ٰكُؤ ا َش َرع ُْوا لَ ُه ْم م َِّن ال ِّدي‬
Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang
menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan atau diridhai
Allah?.
Oleh karena itu, kaum Yahudi dan Nasrani dipandang "kafir" karena
mereka berpegang kepada syari`at yang telah dimansukhkan. Berdasarkan
hal tersebut, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa Allah mewajibkan kepada
semua manusia (jamī` al-khalq) untuk mengimani semua kitab dan para
nabi-Nya di mana Nabi Muhammad sebagai penutup. Mereka pun "wajib"
mengikuti Nabi Muhammad dan syari`at yang dibawanya, yaitu apa yang
disampaikan di dalam al-Qur'an dan sunnah.8

Berdasarkan penjelasan Ibn Taimiyah terhadap hadits dan ayat di atas,


secara "teologis" ia dengan tegas mengklaim bahwa setelah diutus Nabi
Muhammad dengan membawa syari`at Islam terakhir itu, seluruh syari`at nabi
sebelumnya tidak lagi dipandang sebagai agama yang diterima oleh Allah.
Konsekuensi logisnya, orang-orang Yahudi dan Nasrani yang masih
menjalankan syari`at agamanya, jika ingin disebut muslim, harus berpindah
kepada syari`at Islam Nabi Muhammad yang ajarannya termuat di dalam al-
Qur'an dan hadits. Mereka tidak lagi dipandang sebagai satuan dari agama yang
dibawa oleh nabi- nabi sebelum Nabi Muhammad, akan tetapi telah dipandang
"kafir".9

Akan tetapi Ibn Taimiyah tidak menganggap ahlul kitab itu sebagai kaum
"musyrikin" sebagaimana pandangan sebahagian ulama, oleh karena itu, wanita
kitabiyah boleh dinikahi. Dalam hal boleh mengawini wanita kitabiyah, ia tidak
memandang kaum ahli kitab ini sebagai orang musyrik, karena: pertama, semua
orang yang masih beriman kepada para nabi dan kitab-kitabnya yang masih
8
Ibn Taimiyah, Jāmi` al-Rasā'il, Tahqīq Muhammad Rasyād Sālim, Majmū`ah al-'Ulā
(Cairo: Matba`ah al-Madanī, 1984), 283-284; Ibn Taimiyah, Majmū` Fatāwā, juz 19, 180-
195
9
Ibn Taimiyah, Majmū` Fatāwā Syaykh al-Islām Ibn Taimiyah, juz 32, 178-179

10
"asli" tidak dianggap mereka musyrik. Hanya saja pekerjaan kaum Nasrani
menciptakan kemusyrikan yang dilarang oleh Allah, oleh karena itu, mereka
dipandang musyrik perbuatannya (bi al-fi`l=`anmā yusyrikūn), bukan musyrik
pada nama atau sejak asalnya (musyrikūna bi al-'ism). Musyrik berdasarkan
nama lebih utama daripada musyrik karena perbuatannya. Maka yang dilarang
nikah oleh Allah dalam surat al-Baqarah: 221, adalah yang berdasarkan
nama (bi al-'ismi).

Alasan yang kedua, ahlul kitab itu harus dibedakan antara yang disebut
"tersendiri" dan yang disebut "beriringan" seperti yang disebut di dalam surat al-
Ηajj: 17;

‫ص ُل بَ ْينَهُ ْم يَوْ َم ْالقِ ٰي َم ۗ ِة‬ ‫هّٰللا‬ ٰ َّ‫اِ َّن الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َوالَّ ِذ ْينَ هَا ُدوْ ا َوالصَّابِـِٕ ْينَ َوالن‬
َ ْ‫ص ٰرى َو ْال َمجُو‬
ِ ‫س َوالَّ ِذ ْينَ اَ ْش َر ُك ْٓوا ۖاِ َّن َ يَ ْف‬
‫اِ َّن هّٰللا َ ع َٰلى ُك ِّل َش ْي ٍء َش ِه ْي ٌد‬

Kalau disebut tersendiri ‫ركني‬GG‫ركات أو ادلش‬GG‫ادلش‬, maka ahlul kitab termasuk


didalamnya, sedangkan jika ia disebut beriringan dengan entitas lainnya seperti di
dalam surat al-Hajj: 17, maka di sini tidak tergolong ahlul kitab, karena ia
dipandang khāssah, dan khāssah ini didahulukan daripada yang `āmm. Maka laran
gan dalam surat al-Baqarah: 221 dipandang `āmm dan kebolehan mengawini wani
ta kitabiyah dalam surat al-Mā'idah: 5 adalah khāss.

Alasan ketiga, surat al-Mā'idah di atas sebagai surat yang lebih akhir
turun daripada surat al-Baqarah, maka ia menjadi penasikh ayat dalam surat al-
Baqarah tersebut. Sehubungan dengan pendapatnya itu, Nurcholis Madjid
menyebutkan: "mengenai Taurat dan Injil, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa
sebahagian besar ajaran kitab-kitab suci tersebut tetap benar, dan hukum-hukum
atau syar`atnya masih berlaku untuk kaum Muslim, sepanjang tidak dengan jelas
dinyatakan telah dinasakh atau diganti oleh al-Qur'an."

Dari pandangannya yang tegas seperti dalam penjelasan hadits di atas, Ib


n Taimiyah, sama dengan pendapat orang yang menolak paham pluralisme agam
a secara mutlak (eksklusivis). Di sisi lain, dari ulasan pandangannya mengenai w

11
anita kitabiyah, ia hampir sepaham dengan kelompok pluralis yang kedua di atas
(kelompok inklusivis). Oleh karena itu, ia cocok digolongkan pemikiran- pemiki
rannya secara umum, kepada "inklusivisme hegemonistik".

Ia dipandang bersifat "hegemonik" karena selain pandangan-pandangan-


nya dalam banyak hal sangat tegas terhadap ahlul kitab juga terkesan sukar bersi
kap kooperatif dengan mereka karena ia sangat "concern" untuk memproteksi u
matnya dari hal yang ia pandang telah terpengaruh dengan sifat-sifat ahlul kitab i
ni. Dalam mukaddimah kitabnya, 'Iqtidha' Sirat al-Mustaqīm, Ibn Taimiyah men
jelaskan bahwa ia merasa terpanggil untuk memperingatkan kaum muslimin agar
menjauhi dan meniru sikap kaum ahli kitab. Sebab, dalam pandangannya, telah b
anyak umat Islam di masanya yang telah dipengaruhi oleh ajaran Yahudi dan Na
srani. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya Allah mengutus Nabi Muhammad ke
pada manusia di kala kekosongan para rasul (fatrah min al-rusul). Manusia di
kala itu terdiri dari salah satu di antara dua golongan. Pertama, ahlul kitab yang
berpegang kepada kitab Taurat atau Injil, baik yang telah diubah maupun yang
dimansukh. Kedua, golongan 'ummī dari kalangan Arab atau `Ajam yang mereka
beribadat menurut yang mereka pandang baik dan benar, seperti menyembah
bintang, berhala, kuburan, patung dan seterusnya. Orang di masa jahiliyah
berada dalam kebodohan (jahlan) karena mereka merasa berilmu padahal
"bodoh" dan menganggap berbuat kebaikan padahal kerusakan. Maka dengan
barakah kenabian Muhammad, manusia saat itu mendapat petunjuk Allah kepada
jalan yang benar (sirat al-mustaqīm). Oleh karena itu, umat Islam secara terus
menerus diwajibkan untuk memohon petunjuk Allah (misalnya dalam shalat)
agar mereka selalu mendapat nikmat seperti para nabi, kaum yang jujur, para
syuhada' dan orang-orang saleh, bukan golongan yang dimurkai dan sesat
(seperti orang Yahudi dan Nasrani).

Menurut Ibn Taimiyah, Yahudi dimurkai (maghdūb) oleh Allah, dan kaum
Nasrani itu dipandang sesat (dullāl),10 karena keduanya telah merubah ajaran
10
Berdasarkan QS. al-Mā'idah: 60; QS. al-Mujādilah: 14; QS. Ali `Imran: 112; QS. al- Baqarah:
61 dan 90 (terhadap kaum Yahudi) dan QS. al-Mā'idah: 73-77; QS. al-Nisa': 171 (terhadap kaum
Nasrani)

12
Nabi mereka dalam masalah kebenaran (al-haqq), kaum Yahudi sebagai
muqassirūna `an al-haqq (pengkooptasi kebenaran) dan Nasrani ghālūna fīhi
(berlebih-lebihan dalam kebenaran). Yahudi dianggap "kufr" karena mereka
tidak mengamalkan agama padahal mereka mengetahui kebenaran sedangkan
Nasrani mengamalkannya tanpa ilmu. Mereka memang giat dalam beribadah
tetapi tidak menurut syar`at Allah sehingga mengatakan sesuatu tentang Allah
dengan sesuatu yang mereka tidak ketahui. Ibn Taimiyah mengutip pernyataan
seorang Salaf, Sufyan bin `Uyaynah, ia berkata bahwa sesungguhnya orang fasad
dari para ulama Islam sama dengan Yahudi dan orang fasad dari kalangan ahli
ibadah Islam sama dengan Nasrani."11

2) Hadits larangan menghadiri hari raya agama non-muslim


Hadits nomor :1556
‫ان َأِلهْ ِل‬
َ ‫ َك‬: ‫ْن َمالِكٍ َقا َل‬ ِ ‫سب‬ ِ ‫ َعنْ َأ َن‬، ‫ َح َّد َث َنا ُح َم ْي ٌد‬: ‫ َقا َل‬، ‫ َأ ْن َبَأ َنا ِإسْ مَاعِ ي ُل‬: ‫ َقا َل‬، ‫َأ ْخ َب َر َنا َعلِيُّ بْنُ حُجْ ٍر‬
َ ‫ " َك‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْال َمدِي َن َة َقا َل‬
ِ ‫ان لَ ُك ْم َي ْو َم‬
‫ان‬ َ ُّ‫ َفلَمَّا َق ِد َم ال َّن ِبي‬،‫ِيه َما‬ َ ‫ان فِي ُك ِّل َس َن ٍة َي ْل َعب‬
ِ ‫ُون ف‬ ِ ‫ْال َجا ِهلِ َّي ِة َي ْو َم‬
‫ َي ْو َم ْالف ِْط ِر َو َي ْو َم اَأْلضْ َحى‬: ‫ َو َق ْد َأ ْب َدلَ ُك ُم هَّللا ُ ِب ِه َما َخيْرً ا ِم ْن ُه َما‬،‫ِيه َما‬
ِ ‫ُون ف‬ َ ‫" َت ْل َعب‬.
‫ صحيح‬:‫حكم الحديث‬
Artinya:

Dari Anas bin Mālik ia berkata: Sewaktu Nabi pindah ke Madinah, orang-orang
Madinah mempunyai dua hari raya, mereka dapat bersenang-senang di dalamny
a. Nabi bertanya kepada warga Madinah, bagaimana kedua hari raya kalian itu.
Mereka menjawab: pada zaman jahiliyah, dalam masa dua hari raya itu kami ber
main bersuka ria. Akhirnya Nabi bersabda: sesungguhnya Allah telah menyediak
an pengganti dua hari raya jahiliyah itu dengan dua hari raya Islam yang lebih b
aik, yaitu `īd al-adhā dan `īd al-fitrī.
Merayakan hari raya agama non Islam dilaranag sebagaimana yang tercantum
dalam hadist diatas. Bahkan Ibnu Taimiyah dan muridnya yang Ibnu Qayyim
mengharamkan umat muslim memberikan ucapan selamat untuk orang nonmuslim yang
merayakan hari raya mereka. Mngucapkan selamat pada peryaan oranng non-muslim
sama halnya dengan mengaukui mengakui kebanaran tasa agama yang mereka anut dan
hal tersebut bertnetangan dengan dalil qur’an QS Al-Maidah:48,QS Ali Imran:85 da

11
Muhammad Sālih al-`Uthaymīn, Syarah Iqtidhā' al-Sirāth al-Mustaqīm Mukhalifatu Ashāb al-
Jahīm, cet. 1 (Cairo: Dār Ibn al-Haytam, 2003), 5-9

13
n hadis tasyabbuh.12 Mengucapkan sselamat atas perayaan umat non muslaim
merupaka bentuk menyerupai mereka dipandang sama dengan golongan mereka juga (ma
n tasyabbaha biqawmin fahuwa ma`ahum). Secara mutlak, selain yang dibolehkan, mengi
kuti perbuatan agama mereka dan syiar-syiar agamanya,seperti hari-hari raya mereka, ada
lah haram menurut Ibn Taimiyah.13 Dalam hal inilah Batasan plurapisme.Selain berdasark
an kepada hadits di atas, Ibn Taimiyah memandang larangan menghadiri hari raya orang k
afir itu berdasarkan pada ayat 72 surat al-Furqan:
‫الزوْ ۙ َر َواِ َذا َمرُّ وْ ا بِاللَّ ْغ ِو َمرُّ وْ ا ِك َرا ًما‬
ُّ َ‫َوالَّ ِذ ْينَ اَل يَ ْشهَ ُدوْ ن‬

Penakwilan dari kalangan sahabat bermacam- macam, namun intinya, orang I


slam tidak boleh meniru dan melibatkan diri didalam kegiatan hari raya mereka.
Takwilan yang dimaksud oleh para sahabat yaitu: hari raya orang-orang musyrik,
permainan orang-orang jahiliyyah dahulu, menghadiri hari raya orang musyrik, p
erkataan syirik, tidak meniru kemusyrikan dan bergaul dengan orang musyrik da
n tidak mengunjungi rumah mereka dan masuk ke rumah ibadat mereka.

3) Beberapa Pandangan Tentang Pluralisme dalam Islam

Pluralism dalam kacamata Agama Islam adalah sabagai bentuk saling


menghormati dan menghargai agama lain, namun bukan menyamakan semua arti
nya tidak menganggap bahwa dalam Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan
yang kalian sembah (agama lain),. Namun demikian Islam tetap mengakui
adanya pluralisme agama yaitu dengan mengakui perbedaan dan identitas agama
masing-masing (lakum dinukum waliyadin), disini pluralisme diorientasikan
untuk menghilangkan konflik, perbedaan dan identitas agama-agama yang ada14

Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menunjukkan pada nilai-nilai


pluralisme, sebagaimana al-Qur’an sampaikan;

Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang
12
Syamsul Bahri,“Mengucapkan hari natal dan hari raya agama lain” Jurnal kalam, no.2 (2016)
41-42
13
Agusni Yahya, “Fikih Hadits Ibnu Taimiyah Tetang Pluralisme Agama” Jurnal Substantia, no.1
(2011), 19.
14
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia,2006),853.

14
paling baik, kecuali dengan orangorang zalim diantara mereka, dan katakanlah
kami telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kami dan yang
diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya
kepada-Nya berserah diri.” Qs. Al-Ankabut (29);46

Alwi Shihab yang berorientasi paa pandangan Fahr Al-Din Ar-Razi


berpandapat bahwa Islam mengakui eksistensi Pluralisme agama, namun hanya
sebatas mengakui keberadaanya sebagai bentuk realitas sosial buakan dalam
pengakuan atas kebenaran agama.15 Selanjutnya, dalam bukunya Anggukan
retmis kaki pak kyai Emha Ainun Najib sampaikan bahwa ditengah pluralitas
sosial dan agama di era modern saat ini merupakan lahan kita untuk menguji dan
memperkembangkan kekuatan keislaman kita16 . Karena pemenang didapat dari
seleksi ketat antar kompotitor siapa yang konsisten dengan keimanan dan
berpegang tuguh pada ketaqwaannya, maka dialah pemenangnya.

‫ت اِلَى هّٰللا ِ َمرْ ِج ُع ُك ْم َج ِم ْيعًا‬ ‫هّٰللا‬


ِ ۗ ‫ۗ َولَوْ َش ۤا َء ُ لَ َج َعلَ ُك ْم اُ َّمةً وَّا ِح َدةً و َّٰل ِك ْن لِّيَ ْبلُ َو ُك ْم فِ ْي َمٓا ٰا ٰتى ُك ْم فَا ْستَبِقُوا ْالخَ ي ْٰر‬
َ‫م بِ َما ُك ْنتُ ْم فِ ْي ِه ت َْختَلِفُوْ ۙن‬Gْ ‫فَيُنَبُِّئ ُك‬

: Artinya: “…. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu


umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya
kepadamu, maka berlomba lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah
kembali kmu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.” (Al.Maidah (5);48)

Keberagaman merupakan sunnatullah yang harus direnungi dan diyakini


setiap umat, kesadaran umat beragama menjadi kunci bagi keberlangsungan
dalam menjalankan agamanya masingmasing. Setiap agama memiliki substansi
kebenaran, dalam filsafat prenial suatu konsep dalam wacana filsafat yang
banyak membicarakan hakekat Tuhan sebagai wujud absolut merupakan sumber
dari segala sumber wujud. Sehingga semua agama samawi berasal dari wujud
yang satu, atau adanya the common vision menghubungkan kembali the man of

15
Hamiruddin, “Dakwah dan Perdabatan Pluralisme Agama” Jurnal Tabligh no. 2 (2019),338
16
Emha Ainun Najib,Anggukan retmis kaki pak kyai (Surabaya: Risalah gusti,1995), 79.

15
good dalam realitas eksoterik agama-agama. Disamping itu pluralisme harus
dipahami sebagai pertalian sejati kebinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban,
bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan manusia, melalui
mekanisme dan pengimbangan masing masing pemeluk agama dan
menceritakan secara obyektif dan transparan tentang histores agama yang
dianutnya

Jhon Hick dam Lorens Bagus katakan” dalam pandangan femenologis,


termenologi pluralisme agama adalah sebuah realitas, bahwa sejarah agama-
agama menunjukkan berbagai tradisi serta kemajemukan yang timbul dari
cabang masing-masing agama. Bagi Sayyed Husen Nasr agama-agama besar
dunia adalah pembentuk aneka ragam persepsi yang berbeda mengenai satu
puncak hakikat yang misterius17. Lebih jauh Masdar F. Mas’udi “sebagai jati diri
manusia agama dapat ditinjau dari tiga aspek, Pertama, agama sebagai kesadaran
azali yang bersumber pada bisikan ilahiyah dalam nurani setiap manusia, Kedua,
agama sebagai konsep ajaran atau doktrin yang bersumber pada wahyu kenabian.
Dan ketiga, agama sebagai wujud aktualisasi dan pelembagaan dari yang kedua.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
  Pluralisme berasal dari kata pluralis yang berarti jamak, lebih dari satu, ata
u pluralizzing sama dengan jumlah yang menunjukkan lebih dari satu, atau lebih d

17
Seyyed Hossein Nasr, In Quest of the Eternal Sophia dalam Philosopher Critique D’eux Mens
Philosophische Selbstbetrachtugen, (Andre Mercier and Sular Maja, Vol. 5-6,1980),113. dikutip
dalam Buku Islam dan Pluralisme oleh Syyed Husein Nasr dan Jhon Hick, oleh Adnan Aslan. 20.

16
ari dua yang mempunyai dualis, sedangkan pluralisme sama dengan keadaan atau
paham dalam masyarakat yang majemuk bersangkutan dengan system social politi
knya sebagai budaya yang berbeda-beda dalam satu masyarakat. Salah satu hadist
yang berkenaan dengan pluralisme adalah:

ِ ‫ ع َْن َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا‬، ‫د هَّللا ِ ْب ِن ِم ْق َس ٍم‬Gِ ‫ ع َْن ُعبَ ْي‬، ‫ ع َْن يَحْ يَى‬، ‫ َح َّدثَنَا ِه َشا ٌم‬، َ‫ضالَة‬ َ َ‫َح َّدثَنَا ُم َعا ُذ بْنُ ف‬
‫ يَا‬: ‫ فَقُ ْلنَا‬،‫ َوقُ ْمنَا بِ ِه‬،‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬َ ‫ فَقَا َم لَهَا النَّبِ ُّي‬،ٌ‫ َم َّر بِنَا َجنَا َزة‬: ‫ قَا َل‬،‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما‬
ِ ‫َر‬
‫ " ِإ َذا َرَأ ْيتُ ُم ْال ِجنَا َزةَ فَقُو ُموا‬: ‫ال‬ ٍّ ‫ ِإنَّهَا ِجنَا َزةُ يَهُو ِد‬،ِ ‫َرسُو َل هَّللا‬
َ َ ‫ ق‬.‫ي‬
(‫" )رواه البخاري‬

Kata uang perlu diperhatikan dari hadits tersebut adalah ‫فَقُو ُموا‬, hal tersebut
merupakan cara Rasulullah SAW memberikan contoh kepada umatnya untuk men
ghormati umat nonmuslim tanpa harus menghawatirkan keyakinan atau aqidahnya
karena perilaku tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah sendiri.

B. Saran
Mekalah kami ini masih belum bisa dikatan baik oleh karenanya kami sanga
t mengahrapkan masukan dari pembaca untuk perbaikan, sehingga makalah ini da
pat menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Ainun Najib, Emha ,Anggukan retmis kaki pak kyai. Surabaya: Risalah
gusti,1995.
Al-mizzi, Tadzhib Kamal FI Asma Ar Rijal,juz 4, Muassasah ar-Risalah
Bairut,1992.

17
Amiruddin, Wildan dan Lilik Canna AW.” Pluralisme Agama di Desa Balon
Lamongan”, Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam, No.30(2021),43-
54.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia,2006.
Bahri, Syamsul.“Mengucapkan hari natal dan hari raya agama lain,” Jurnal
kalam, no.2 (2016):10-21.
Digdo, Prigoo. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Kanisius,1990.
Hamiruddin, “Dakwah dan Perdabatan Pluralisme Agama” Jurnal Tabligh no. 2:
(2019),331-347.
Hasan, Fuad. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke II. Jakarta: Balai
Pustaka,1990.
Ilham, Muhammmad. “Monoisme dan Pluralisme Kebenaran dalam Persfektif Hu
kum Islam”Sangaji, no.1(2021):69-80. http://ejournal.iaimbima.ac.id/inde
x.php/sangaji/article/view/603/446
Muhammad bin Ismail Al-Bukhori,Shohih Bukhori, Darul Khadhor Linsasyri wa
Tauzi’,Riyad, 1436 H,85 nomor 1311.
Muhammad Sālih al-`Uthaymīn, Syarah Iqtidhā' al-Sirāth al-Mustaqīm
Mukhalifatu Ashāb al-Jahīm, cet. 1,Cairo: Dār Ibn al-Haytam, 2003.

Seyyed Hossein Nasr, In Quest of the Eternal Sophia dalam Philosopher Critique
D’eux Mens Philosophische Selbstbetrachtugen, (Andre Mercier and Sular
Maja, Vol. 5-6,1980),113. dikutip dalam Buku Islam dan Pluralisme oleh
Syyed Husein Nasr dan Jhon Hick, oleh Adnan Aslan.
Yahya, Agusni. “Fikih Hadits Ibnu Taimiyah Tetang Pluralisme Agama” Jurnal S
ubstantia, no.1 (2011): 19.

18

Anda mungkin juga menyukai