Anda di halaman 1dari 9

MATERI 3

Muthlaq (‫ )املطلق‬Dan Muqayyad (‫)املقيد‬

A. Pengertian Muthlaq (‫ )املطلق‬Dan Muqayyad (‫)املقيد‬

Kata muthlaq berarti “bebas tanpa ikatan”, dan kata muqayyad berarti
“terikat”. Secara istilah, muthlaq: ‫( ما دل على فرد غري مقيد لفظا أبي قيد‬lafadz yang
menunjukkan suatu satuan tanpa dibatasi secara harfiah dengan suatu ketentuan),
misalnya: ‫مصري – رجل‬.
Muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu satuan yang secara
lafdziyah dibatasi dengan suatu ketentuan, misalnya ‫مصريون مسلمون – رجل راشد‬.
Kaidah Ushul: Ayat yang bersifat muthlaq harus dipahami secara muthlaq
selama tidak ada dalil yang membatasinya. Contoh, Q.S. Al-Baqarah (2): 234:
‫ص َن ِأبَنْ ُف ِس ِه َّن أ َْربَ َعةَ أَ ْش ُه ٍر َو َع ْش ًرا‬ ِ ِ َّ
ً ‫ين يُتَ َوفَّ ْو َن م ْن ُك ْم َويَ َذ ُرو َن أَ ْزَو‬
ْ َّ‫اجا يَتَ َرب‬ َ ‫َوالذ‬
kata ‫ أزواجا‬adalah lafadz muthlaq karena tidak membedakan apakah wanita itu
sudah pernah digauli oleh suaminya atau belum.
Sebaliknya, ayat yang bersifat muqayyad harus dilakukan sesuai dengan
ِ ْ ‫ام َش ْهريْ ِن ُمتَ تَابِ َع‬
batasannya. Contoh, QS. Al-Mujadilah: 3-4: ‫ي‬ ِ ِ
َ ُ َ‫فَ َم ْن ََلْ ََي ْد فَصي‬
Dengan kata lain, MUTHLAQ adalah suatu lafadz yang menunjuk hakikat
sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Sedangkan
MUQAYYAD adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi
dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.
Dari beberapa literatur ushul fiqh terdapat sejumlah definisi yang diberikan
oleh ulama ushul tentang muthlaq ini. Muhammad Jawad Mughniyah, dalam
kitab „Ilmu Ushul Fi Tsawbih al-Jadid, menyebutkan sebagai berikut:
ِ ‫َّال علَى الْم‬
‫اىيَّ ِة بََِل قَ ْي ٍد‬ ُ ‫إِ َّن ال ُْمطْلَ َق ُى َو الًّل ْف‬
َ َ ُ ‫ظ الد‬
“Bahwa muthlaq itu adalah suatu lafal yang menunjukan kepada sesuatu pengertian
tanpa diikat oleh batasan tertentu”.
Secara tegas Muhammad Jawad mengatakan bahwa yang dimaksud Muthlaq
adalah suatu lafal yang menunjukan satu bagian atau jenis, tanpa ada
pengecualiannya. Seperti nama orang, hamba sahaya atau orang persi, definisi ini
beliau ambil dari Imam Ibnu Subki (W.771H). Dalam hubungan ini Mustafa Said al-
Khin menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan muthlaq ialah:
َ ِ‫َي قَ ْي ٍد ََيُ ُّد ِم ْن اْنت‬
ِ‫شا ِره‬ ٍ ِِ ِ ِ ٍ
ِّ ‫ِأبَن يَ ُد ّل َعلَى فَ ْرد ُم ْن تَش ٍر ِِف جنْسو غَ ِْري ُم َقيَّد لَْفظًا ِأب‬
“Yaitu satu lafal yang menunjukan atas suatu objek yang tercakup dalam jenisnya,
tanpa dibatasi oleh suatu batasan dari cakupannya itu”.

1
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa pada hakekatnya apa yang di
sebut dengan muthlaq itu ialah suatu lafal nash yang tertentu yang tidak atau tanpa
adanya batasan yang mempersempit cakupan artinya. Misalnya dalam nash Al-Qur‟an
yang sering dirujuk oleh ulama ushul disebutkan:
‫فَ تَ ْح ِريْ ُر َرقَ بَ ٍة ِم ْن قَ ْب ِل أَ ْن يَتَ َما َّسا‬
“Maka (wajib) atasnya memerdekakan budak sebelum suami istri itu bercampur”.
Dalam ayat diatas terdapat lafal (‫“ ) َرقَ بَ ٍة‬budak” yang tidak ada batasannya
berupa sifat atau keadaan lainnya yang membatasi cakupannya.
Adapun pengertian muqayyad mengandung arti sebaliknya dari muthlaq.
Tentang muqayyad ini para ulama ushul juga memberikan sejumlah pengertian.
Diantaranya, seperti dikemukakan oleh Syaik al-Khudari Beik:
‫املَُقي ُد َما َد َل َعلَى فَ ْرٍد أ َْو أَفر ٍاد َشائِ َع ٍة بَِق ْي ٍد ُم ْستَقل لَ ْفظًا‬
“Muqayyad ialah lafal yang menunjukan kepada suatu objek (afrad) atau beberapa
objek tertentu yang dibatasi oleh lafal tertentu”.
Sementara Zaky al-Din Sya‟ban mendefinisikan muqayyad:
‫ص َف ٍة ِم َن‬
ِ ِ‫الشي و ِع واقْتَ ر َن بِ ِو ما ي ُد ّل َعلَى تَ ْقيِي ِدهِ ب‬
ْ َ َ ِ ٍ ٍ ِ َّ ُ ‫املَُقيَّ ُد ىو اللَّ ْف‬
َ َ ْ ُ ُّ ‫ظ الذي يَ ُد ّل َعلَى فَ ْرد أ َْو أَفْ َراد َعلَى َسب ْي ِل‬ َُ
ِ ‫الص َف‬
‫ات‬ ِ
ّ
“Muqayyad ialah suatu lafal yang menunjukan atas satu objek atau beberapa objek
dan ia telah dibatasi oleh suatu sifat”.
Kemudian, Mustafa Said al-Khin menyebutkan:
ٍ َّ ‫اىيَ ِة ُم َقيَّ َدةٌ بَِق ْي ٍد َما يُ َقلِّل ِم ْن ُشيُ ْو ِع َها أ َْو َعلَى َم ْدل ُْو ٍل ُم َع‬
‫ي‬ ِ ‫ِد ََللَةُ الَّل ْف ِظ علَى الْم‬
َ َ
ُ
“Yaitu petunjuk makna lafal kepada sesuatu yang telah dibatasi dengan suatu batasan
yang mempersempit cakupannya atau petunjuk lafal tersebut telah tertentu
maknanya”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
muqayyad itu adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi
dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih spesifik dan pasti. Contohnya
surat An-Nisa‟ ayat 92:
‫سلَّ َمةٌ إِ ََل أ َْىلِ ِو‬ ِ ٍِ ٍ
َ ‫فَ تَ ْح ِر ُير َرقَبَة ُم ْؤمنَة َوديَةٌ ُم‬
“Maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat
yang diserahkan kepada keluarganya”.
Lafal merupakan (‫ ) َرقَ بَ ٍة ُم ْؤِمنَ ٍة‬muqayyad, karena telah dibatasi oleh suatu sifat
yang cakupan maknanya menjadi lebih spesifik dan terbatas.

2
B. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Muthlaq (‫ )املطلق‬Dan

Muqayyad (‫)املقيد‬
Kaidah lafadz muthlaq dan muqayyad dibagi dalam 5 bentuk:
1. Suatu lafadz dipakai dengan muthlaq pada suatu nash, sedangkan pada nash
lain digunakan dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada
sebab hukum.
2. Lafadz muthlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
3. Lafadz muthlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik
dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
4. Muthlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab
hukumnya sama.
5. Muthlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam
sebabnya.
1) ‫املطلق يبقى على إطَلقو ما َل يقم دليل على تقييده‬
“Muthlaq itu ditetapkan berdasarkan kemutlakannya selama belum ada dalil yang
membatasinya”. Contoh: ‫ وأمهات نسائكم‬Kata ibu mertua mutlaq karena tidak ada yang
membatasi, maka ibu mertua tidak boleh dinikahi.
2) ‫املقيد ابقى على تقييده ما َل يقم دليل على إطَلقو‬
“Muqayyad itu ditetapkan berdasarkan batasannya selama belum ada dalil yang
menyatakan kemuthlaqannya”. Contoh: ‫ فصيام شهرين متتابعي‬Kata dua bulan terikat
dengan berturut-turut, maka puasa harus dilakukan terus menerus, karena ada yang
membatasi.
3) ‫املطلق َل يبقى على إطَلقو إذا يقوم دليل على تقييده‬
“Muthlaq itu tidak boleh ditetapkan berdasarkan kemutlakannya selama ada dalil yang
membatasinya/Hukum muthlaq yang sudah batasi”. Contoh: ‫من بعد وصية يوصى‬
Kata wasiat muthlaq karena tidak ada batasan jumlah, kemudian ayat ini
dibatasi oleh hadits bahwa wasiat sepertiga dari harta.
4) ‫املقيد َل يبقى على تقييده إذا يقوم دليل على إطَلقو‬
“Muqayyad tidak akan ditetapkan berdasarkan batasannya jika ada dalil yang
menyatakan kemuthlaqannya/Hukum muqayyad yang dihapuskan batasannya”.
Contoh:
‫ورابئبكم الَلتى ِف حجوركم من نسائكم الَلتى دخلتم هبن‬
Haram menikahi anak tiri “dalam peliharaan dan ibunya sudah dicampuri”.
Jika muqayyad dihapus maka menjadi mutlaq kembali.
5) ‫املطلق َيمل على املقيد إذا اتفقا يف السبب واحلكم‬
“Lafadz mutlaq dibawa ke muqayyad (maksud lafadz mutlaq dan muqayyad sama),
karena sebab yang satu tidak akan menghendaki dua hal bertentangan/Sebab dan

3
Hukum Sama, dibawa ke muqayyad”. Seperti Puasa untuk Kafarat Sumpah dalam
surat Al-Maidah ayat 89:
َ ِ‫ام ثَََلثَِة أَ ََّّيٍم ذَل‬
‫ك َك َّف َارةُ أ َْْيَانِ ُك ْم إِذَا َحلَ ْفتُ ْم‬ ِ
ُ َ‫فَ َم ْن ََلْ ََِي ْد فَصي‬
‫ام ثَََلثَِة أَ ََّّيٍم متتابعات‬ ِ
ُ َ‫فَصي‬
6) ‫املطلق َل َيمل على املقيد إذا اختلفا يف السبب واحلكم‬
“Dalam keadaan ini mutlaq tidak boleh dibawa kepada muqayyad karena sebab dan
hukum berbeda/ Sebab dan Hukum berbeda masing-masing”. Seperti tangan dalam
berwudhu dan mencuri. Wudhu dibatasi sampai siku, sedang pencurian tidak dibatasi.
Dalam surat Al-Maidah (5) ayat 6 dan 38:
‫وى ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِ ََل ال َْم َرافِ ِق‬ ِ ِ َّ ‫َّي أَيُّها الَّ ِذين آمنُوا إِ َذا قُمتم إِ ََل‬
َ ‫الص ََلة فَا ْغسلُوا ُو ُج‬ ُْْ َ َ َ َ
‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْ ِديَ ُه َما‬
َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬
7) ‫املطلق َل َيمل على املقيد إذا اختلفا يف احلكم‬
“Lafadz muthlaq tidak dibawa ke muqayyad karena berlainan hukumnya, sebaliknya
karena sebabnya sama/Sebab sama, Hukum berbeda masing-masing”. Seperti Tangan
dalam Wudhu dan Tayamum. Dalam wudhu dibatasi sampai siku, sedang dalam
tayamum tidak dibatasi, muthlaq. Dalam surat Al-Maidah ayat 6:
‫وى ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِ ََل ال َْم َرافِ ِق‬ ِ ِ َّ ‫َّي أَيُّها الَّ ِذين آمنُوا إِذَا قُمتم إِ ََل‬
َ ‫الص ََلة فَا ْغسلُوا ُو ُج‬ ُْْ َ َ َ َ
ِ ِ ِ ِ ِ َ ‫فَ تَ يَ َّمموا‬
ُ‫س ُحوا بُِو ُجوى ُك ْم َوأَيْدي ُك ْم م ْنو‬
َ ‫صعي ًدا طَيّبًا فَ ْام‬ ُ
8) ‫املطلق َيمل على املقيد إذا اختلفا يف السبب‬
“Sebab beda, hukum sama, jadi muqayyad”. Hal ini dibagi dua: a. Taqyid atau
batasannya hanya satu: -Budak, taqyidnya beriman b. Taqyid atau batasannya
berbeda-beda: -Kafarat dzihar, puasa berturut-turut, -Kafarat haji tamattu‟, terpisah-
pisah, -Puasa Qadha dan muthlaq, tanpa taqyid.

C. Problematika Memahami Muthlaq (‫ )املطلق‬Dan Muqayyad (‫)املقيد‬

Pada prinsipnya para ulama sepakat baik hukum lafadz muthlaq maupun
hukum lafadz muqayyad itu wajib diamalkan kemutlakannya maupun
kemuqayyadannya. Namun dari lima bentuk tersebut, ada yang disepakati dan ada
yang diperselisihkan. Yang disepakati ialah: Hukum dan sebabnya sama, disini para
ulama sepakat bahwa wajibnya membawa lafadz muthlaq kepada muqayyad. Hukum
dan sebabnya berbeda, dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan
masing-masing lafadz, yakni muthlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap
pada kemuqayyadannya. Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk
ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafadz muthlaq kepada
muqayyad, masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.
Lafadz muthlaq yang terdapat dalam nash wajib diamalkan sesuai dengan
kemuthlaqannya kecuali bila ada dalil yang menunjukkan sebagai muqayyad. Dalam

4
pandangan ahli ushul fiqh, mereka menetapkan hukum wajib mengamalkan
muqayyad. Lafadz muqayyad tidak tetap sebagai muqayyad apabila ada dalil lain
yang menghapuskan batasannya.

D. Khilaf Ulama Tentang Muthlaq (‫ )املطلق‬Dan Muqayyad (‫)املقيد‬

Yang diperselisihkan dalam muthlaq dan muqayyad adalah kemuthlaqan dan


kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah (maudhu‟) dan
hukumnya sama. Atau sebabnya berbeda, tetapi hukumnya sama.
Menurut Jumhur ulama dari kalangan Syafi‟iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah,
dalam masalah ini wajib membawa muthlaq kepada muqayyad. Oleh sebab itu,
mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba sahaya.
Sedangkan ulama Hanafiyah tidak mewajibkan membawa lafadz muthlaq dan
muqayyad. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba
sahaya secara muthlaq.
Muthlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun
sebabnya berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan.
Menurut ulama Hanafiyah tidak boleh membawa muthlaq pada muqayyad,
melainkan masing-masingnya berlaku sesuai dengan sifat nya. Oleh sebab itu, ulama
Hanafiyah, pada kafarat zihar tidak mensyaratkan hamba mukmin.
Sebaliknya, menurut jumhur ulama, harus membawa muthlaq kepada
muqayyad secara mutlak. Namun menurut sebagian ulama Syafi‟iyah, muthlaq
dibawa pada muqayyad apabila ada ‟illat hukum yang sama, yakni dengan jalan qiyas.
Para ulama madzhab berbeda pendapat dalam hal ketentuan hukum antara
mutlaq dan muqayyad adalah sama, sementara sebabnya berbeda.
َّ ‫أَ ْن يَتَ ِح َدا ِِف ا ْحلُ ْك ِم َوََيْتَلِ َفا ِِف‬
ِ َ‫السب‬
‫ب‬
Kalangan madzhab Hanafi, yang mutlaq diamalkan sesuai dengan
kemutlaqannya dan demikian pula yang muqayyad. Akan tetapi, kalangan jumhur
fuqaha seperti madzhab syafi‟i, maliki, dan hanbali berpendapat bahwa jika ketentuan
hukum antara mutlaq dan muqayyad adalah sama dan sebab yang melatar belakangi
berbeda, maka mutlaq dibawa ke muqayyad.

ُ ‫فَ تَ ْح ِر‬
Contohnya seperti kafarat zihar adalah memerdekakan seorang budak ( ‫ير‬

‫ ) َرقَ بَ ٍة‬diungkapkan dengan lafal mutlaq (‫ ) َرقَ بَ ٍة‬adapun kafarat pembunuhan tak sengaja
(tersalah) memerdekakan seorang budak mukmin (‫ ) َرقَ بَ ٍة ُم ْؤِمنَ ٍة‬diungkapkan dengan
muqayyad. Pada dasarnya ketentuan kafarat zihar dan pembunuhan tak sengaja
ketentuannya dalah sama, tetapi yang disebut terakhir yang diungkapkan dengan
muqayyad. Menurut Hanafi Mutlaq tetap pada kemutlaqannya dan muqayyad juga
tetap pada tempatnya. Sebaliknya kalangan jumhur berpendapat Mutlaq dibawa ke
Muqayyad.

5
Persoalan sekarang adalah apa yang melatarbelakangi perbedaan kedua
kelompok yang disebutkan ini? Ternyata masing-masing kelompok mempunyai
alasan tersendiri.
Menurut madzhab Hanafi, sebagaimana dijelaskan oleh Mustafa Said al-Khin,
bahwa pada dasarnya setiap dalalah lafal nash yang bersumber dari syari‟
mengandung ketentuan hukum tersendiri. Oleh karena itu subtansial setiap nash
mempunyai hujjah tersendiri. Dengan demikian lafal mutlaq tidak boleh disatukan
oleh lafal muqayyad.
Jadi merupakan suatu prisip bahwa kita melaksanakan adalah lafazh atas
semua hukum yang dibawa saja, sesuai dengan sifatnya, sehingga lafazh muthlaq
tetap pada kemuthlaqannya dan lafazh muqayyad tetap pada kemuqayyadannya. Tiap-
tiap nash merupakan hujjah yang berdiri sendiri. Pembatasan terhadap keluasan
makna yang terkandung pada mutlaq tanpa dalil dari lafazh itu sendiri berarti
mempersempit yang bukan dari perintah syara‟. Berdasarkan pada ini, lafazh muthlaq
tidak bisa dibawa pada muqayyad, kecuali apabila terjadi saling menafikan antara dua
hukum, yakni sekiranya mengamalkan salah satunya membawa pada tanaqud (saling
bertentangan).
Adapun alasan jumhur tentang mutlaq yang harus dibawa kepada muqayyad
adalah karena Al-Qur‟an itu merupakan atau ibarat satu perkataan yang wajib
membina antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Jika terdapat satu perkataan
dalam Al-Qur‟an yang tertentu hukumnya sudah pasti, maka ketentuan hukum
tersebut berlaku sama disemua tempat. Menurut Muhammad Abu Zahrah, apabila
terdapat pada satu tempat suatu ketentuan secara Muqayyad dan di tempat lain
Mutlaq, maka mutlaq dibawa kepada muqayyad karena hakekatnya kedudukannya
adalah satu ketentuan.
Jadi Al-Qur‟an itu merupakan kesatuan hukum yang utuh dan antara satu ayat
dengan ayat lainnya berkaitan, sehingga apabila ada suatu kata dalam Al-Qur‟an yang
menjelaskan hukum berarti hukum itu sama pada setiap tempat yang terdapat kata itu
(Asy-Syafi‟i). Alasan kedua, muqayyad itu harus menjadi dasar untuk menafikan dan
menjelaskan maksud lafazh mutlaq. Sebab mutlaq itu kedudukannya bisa dikatakan
sebagai orang dian, yang tidak menyebut qayyi. Di sini ia tidak menunjukkan adanya
qayyid, dan tidak pula menolaknya, sedangkan muqayyid sebagai orang yang
berbicara, yang menjelaskan adanya taqyid. Di sini tampak jelas adanya kewajiban
memakai qayyid ketika adanya dan menolaknya apabila tidak adanya. Sehingga
kedudukannya sebagai penafsir. Oleh sebab itu, ia lebih baik dijadikan sebagai dasar
untuk menjelaskan maksud mutlaq.

6
E. Contoh-Contoh Muthlaq (‫ )املطلق‬Dan Muqayyad (‫)املقيد‬
1) Ayat Muthlaq: Surat Al-Maidah (5) ayat 3 tentang darah yang diharamkan,
yaitu:
(3:‫اْلِْن ِزي ِر (املائدة‬
ْ ‫َّم َو َحلْ ُم‬ ْ ‫ُح ِّرَم‬
ُ ‫ت َعلَْي ُك ُم ال َْم ْي تَةُ َوالد‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”
Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua
darah tanpa terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat
oleh sifat atau hal-hal lain yang mengikatnya. Adapun sebab ayat ini ialah “dam”
(darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi siapa yang memakannya,
sedangkan hukumnya adalah haram.
Ayat Muqayyad: Surat Al-An‟am (6) ayat 145, dalam masalah yang sama
yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
ِ ِ ‫َج ُد ِيف ما أ‬
ِ ‫قُل ََل أ‬
ً ‫َل ُُمَ َّرًما َعلَى طَاع ٍم يَط َْع ُموُ إََِّل أَ ْن يَ ُكو َن َم ْي تَةً أ َْو َد ًما َم ْس ُف‬
(545:‫وحا (األنعام‬ ََّ ِ‫ُوح َي إ‬ َ ْ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti
oleh qarinah atau qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah
yang diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an masfuhan” (darah yang mengalir).
Sebab dan hukum antara ayat Al-An‟am (6) ayat 145 ini dengan surat al-
Maidah ayat 3 adalah sama yaitu masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam
ayat yang mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang
muqayyad, maka pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik
kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat Al-
Maidah (5) yakni darah yang diharamkan harus dipahami darah yang mengalir
sebagaimana surat Al-An‟am (6) ayat 145.
2) Ayat Muthlaq: Surat Al-Maidah (5) ayat 6 tentang tayammum, yaitu:
(6:‫( املائدة‬.…ُ‫وى ُك ْم َوأَيْ ِدي ُك ْم ِم ْنو‬
ِ ‫…فَ ت ي َّمموا ص ِعي ًدا طَيِبا فَامسحوا بِوج‬.
ُ ُ ُ َ ْ ًّ َ ُ ََ
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah…”.
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada
lafadz lain yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari
ayat ini ialah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu
hingga pergelangan tangan atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana
ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi yang
memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai pergelangan tangan.
Ayat Muqayyad: Surat Al-Maidah (5) ayat 6 tentang wudhu‟, yaitu:
(6:‫وى ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِ ََل ال َْم َرافِ ِق …(املائدة‬ ِ ِ َّ ‫َّي أَيُّها الَّ ِذين آمنُوا إِذَا قُمتم إِ ََل‬
َ ‫الص ََلة فَا ْغسلُوا ُو ُج‬ ُْْ َ َ َ َ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”.

7
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz
yang mengikatnya yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat
tersebut mencuci tangan harus sampai siku.
Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya
yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat
mutlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat
muqayyad menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang
ada pada ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya, ketentuan
menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana
ketentuan wudhu‟ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dengan
demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya
sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
3) Ayat Muthlaq: Surat Al-Mujadilah (58) ayat 3 tentang kafarah dzihar yang
dilakukan seorang suami kepada istrinya:
َّ ‫ودو َن لِ َما قَالُوا فَ تَ ْح ِر ُير َرقَ بَ ٍة ِم ْن قَ ْب ِل أَ ْن يَتَ َم‬
(3:‫اسا …(اجملادلة‬ ُ ‫سائِ ِه ْم ُُثَّ يَ ُع‬ ِ ِ ِ
َ ‫ين يُظَاى ُرو َن م ْن ن‬
ِ َّ
َ ‫َوالذ‬
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur”.
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk mutlaq
karena tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah
terlanjur men-dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum
mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau budak, baik yang beriman
ataupun yang tidak.
Ayat Muqayyad: Surat An-Nisa‟ (4) ayat 92 tentang kafarah qatl
(pembunuhan) yang tidak sengaja, yaitu:
(29:‫َوَم ْن قَ تَ َل ُم ْؤِمنًا َخطَأً فَ تَ ْح ِر ُير َرقَبَ ٍة ُم ْؤِمنَ ٍة (النساء‬
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan
diikat lafadz “mukminah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Karena sebabnya berbeda, satu masalah
kafarah dzihar dan yang lain kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama
memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya
masing-masing. Ayat mutlaq berjalan berdasarkan kemutlaq-annya, sedang yang
muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.
4) Ayat Muthlaq: Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah
ayat 38 yang berbunyi:
َِّ ‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعوا أَي ِدي هما جزاء ِِبَا َكسبا نَ َك ًاَل ِمن‬
(33:‫اَّلل ( املائدة‬ َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬
َ ََ ً ََ َ َُ ْ ُ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”

8
Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan
memotong tangan tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus
dipotong.
Ayat Muqayyad: Masalah wudhu‟ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat
6, yaitu:
(6:‫وى ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِ ََل ال َْم َرافِ ِق (املائدة‬ ِ ِ َّ ‫َّي أَيُّها الَّ ِذين آمنُوا إِذَا قُمتم إِ ََل‬
َ ‫الص ََلة فَا ْغسلُوا ُو ُج‬ ُْْ َ َ َ َ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”
Lafadz “yad” dalam ayat wudhu‟ ini berbentuk muqayyad karena diikat
dengan lafadz “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah
kewajiban mencuci tangan sampai siku.
Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz “yad”. Ayat
pertama berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad. Keduanya
mempunyai sebab dan hukum yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan
pencurian yang hukumannya harus potong tangan. Sedangkan yang muqayyad
berkenaan masalah wudhu‟ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang
muqayyad.

Anda mungkin juga menyukai