Anda di halaman 1dari 15

HADIST DHA’IF DAN MACAM MACAMNYA

Dosen Pengampu : Prof.Dr.Nawir Yuslem, MA

Disusun Oleh;

Ahmad Sukry Daulay(0203222149)

HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

SUMATERA UTARA MEDAN

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah SWT berkat rahmat karunia-
Nya saya dapat menyelesaikan makalah kami ini. Serta shalawat beriring salam kami hadiahkan
kepada nabi Muhammad SAW dengan kemuliaan hati beliau membawa kita dari zaman
kebodphan ke zaman yang berilmu pengetahuan.

Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah hadis ahkam, penulis ditugaskan membuat
makalah dengan judul “Hadits Dhaif dan macam macamnya”. Saya menyadari di dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dalam penulisan ataupun penyusunan makalah.
Oleh karena itu, Saya mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing maupun temean
teman sekalian.

Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Ulumul
Hadis yang terhormat Bapak Prof.Dr.Nawir Yuslem,MA

Semoga makalah saya ini sekiranya dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat
menambah wawasan bagi kita semua sesuai dengan fungsi dan sebagaimana mestinya

Medan, 03 Desember 2023

PENULIS

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis merupakan sumber kedua setelah Al-Quran dalam mengetahui ajaran Islam. Hadis
merupakan kumpulan perkataan, perbuatan dan persetujuan Rasulullah SAW yang dijadikan
pedoman oleh umat Islam dalam menjalankan ibadah dan kehidupan sehari-hari. Namun, tidak
semua hadis dapat dijadikan sebagai sumber hukum agama yang sahih. Ada beberapa hadis yang
memiliki kelemahan dalam sanad (rantai periwayatan) atau matannya sehingga tidak dapat
dijadikan sebagai sumber hukum agama yang sahih. Hadis yang memiliki kelemahan tersebut
disebut dengan hadis dha'if.

Dalam pemahaman ajaran Islam secara benar dan akurat, perlu memahami perbedaan
antara hadis sahih dan hadis dha'if, serta klasifikasi hadis dha'if agar tidak terjadi kesalahan
dalam mengambil kesimpulan dan penafsiran atas suatu hadis. Para ulama melakukan kajian dan
verifikasi terhadap hadis sebelum dijadikan sebagai sumber hukum agama yang sahih. Pada
pembahasan hadis dha'if, akan dijelaskan tentang apa itu hadis dha'if, macam-macam hadis
dha'if, serta pentingnya memahami hadis dha'if dalam pemahaman ajaran Islam. Di akhir nanti,
akan disertakan daftar referensi yang dapat digunakan untuk lebih mendalaminya.

iii
BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Hadist Dha‟if

Yang dinamakan hadist dhaif, yaitu hadist yang tidak bersambung sanadnya atau dalam
sanadnya itu ada orang yang bercacat.[1] Yang dimaksud orang yang bercacat disini adalah rawi
yang bukan Islam, belum baligh, berubah akalnya, buruk hafalannya, dituduh dusta, biasa lalai,
fasik (keluar dari batas agama), tetapi tidak sampai kepada batas kufur.

Disamping itu, hadits dhaif juga bisa disebut sebagai hadits yang kehilangan salah satu
syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat diterima). Adapun syarat-syarat hadits maqbul ialah
rawinya adil, rawinya dhabit meskipun tidak sempurna, sanadnya bersambung, tidak dapat suatu
kerancuan, tidak terdapat „illat yang merusak, dan pada saat dibutuhkan hadits yang
bersangkutan menguntungkan (tidak mencelakakan).

A. Dha’if disebabkan putus sanad dan macam –macamnya

Maksud dari sanad terputus adalah apabila dalam periwayatan terdapat perawi yang gugur
dari rentetan sanad. Gugurnya perawi dalam sanad dapat berbeda-beda tempatnya. Ada yang
gugur dari awal, di tengah dan di akhir. Bisa juga gugurnya dibeberapa tempat secara berurutan
atau tidak berurutan.

Hadits dhoif berdasarkan terputusnya sanad terbagi menjadi tujuh bagian yaitu:[2]

a) Hadits Mauquf

Hadis mauquf adalah adalah hadis yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan, atau taqrir.[3]

Contoh hadits mauquf :

َُّ‫ا َء ن‬َٛ ‫ ًَاٌَ ِن ًَ ٍْ ََل َح‬ْٚ ِ‫ ََل ا‬: َ‫اسثَح‬


ِ ‫ذ ُ ْتٍُ َح‬ْٚ ‫ ِز‬َٚ ‫قَا َل‬

“Yazid bin Haris berkata: Tidaklah beriman seseorang yang tidak mempunyai malu”[4]

Disamping itu, sahabat yang menafsirkan sabda Nabi atau firman Allah, termasuklah
kepada mauquf.[5]

b) Hadits Maqthu‟

Hadis maqthu‟ adalah hadis yang disandarkan kepada tabiin atau orang yang sebawahnya, baik
perkataan atau perbuatan.[6]

iv
Contoh hadits Maqtu‟ :

َ ِ‫ِي ٍْ ت َ ًَ ِاو ْان َح ّج‬


ِ ْ‫ض ْشبُ ا‬
‫نج ًَا ِل‬

‫قانّ اَلعًش‬

“Haji yang sempurna ialah dengan mengendarai unta.” Ini adalah perkataan dari salah seorang
tabi‟in bernama A‟masy.

c) Hadits Muallaq

Mu‟allaq menurut bahasa adalah terikat atau tergantung. Sedangkan menurut istilah, hadis
mu‟allaq adalah hadis yang seorang rawinya atau lebih gugur dari awal sanad secara berurutan.

Contoh hadits muallaq :

ِّ ‫زْ ُك ُش هللاَ عهٗ ُك ِّم اَحْ ٕا ِن‬َٚ ٗ ْ َ‫ قان‬: ٖ‫قَا َل ْانثُخَاس‬


ُّ ‫ َكاٌَ انَُّ ِث‬: ‫ هللا َع ُْ َٓا‬ٙ‫ت َعائشح سض‬
“Buchari berkata : Aisyah telah berkata : adalah Nabi selalu mengingat Allah pada segala
keadaanya”. (Riwayat Buchari)

Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah. Antara Buchari dengan Aisyah ada
beberapa orang yang tidak disebutkan namanya, sebab itu hadits tersebut dinamakan Hadits
Mu‟allaq.

d) Hadits Mu‟dhal

Adapun menurut istilah muhaditsin, hadis mu‟dhal adalah hadis yang putus sanadnya dua orang
atau lebih secara berurutan.[7]

Hadis ini yang kita dapatkan bersambung sanadnya pada kita, selain Al-Muwatha‟,
diriwayatkan dari Malik bin Anas dari Muhammad bin „Ajlan, dari bapaknya, dari Abu Hurairah.
Letak ke-mu‟dhalan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya, yaitu Muhammad bin
„Ajlan dan bapaknya. Kedua rawi tersebut gugur secara berurutan.[8]

e) Hadits Mursal

Secara etimologi mursal berarti „yang dilepaskan‟. Menurut istilah, hadis mursal adalah hadits
yang dimarfu‟kan (diangkat) oleh seorang tabi‟i kepada Rasulullah saw, baik berupa sabda,
perbuatan dan taqrir, baik itu Tabi‟i kecil ataupun besar.

Hadits Mursal adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seorang perawi sesudah tabi‟i.
Maksud dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa seorang tabi‟i mengatakan Rasulullah saw
berkata demikian, den sebagainya, sementara Tabi‟i tersebut jelas tidak bertemu dengan
Rasulullah saw. Dalam hal ini Tabi‟i tersebut menghilangkan sahabat sebagai generasi perantara
antara Rasulullah SAW dengan tabi‟i.

v
f) Hadits Mudallas

Hadis mudallas adalah hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadis
tersebut tidak bernoda.[9] Dengan kata lain bahwa hadits mudallas adalah hadis yang
diriwayatkan dengan tidak menyebutkan nama orang yang meriwayatkannya dan menukar
namanya dengan orang lain. Rawi yang berbuat demikian disebut mudallis. Hadis yang
diriwayatkan oleh mudallis disebut hadis mudallas, dan perbuatannya disebut dengan tadlis.[10]

Macam-macam tadlis sebagai berikut :

1. Tadlis Isnad, yaitu bila seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadis dari orang yang
pernah bertemu dengan dia, tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadis darinya. Agar
dianggap rawi tersebut pernah mendengarnya maka ia menggunakan lafadz „an fulanin atau anna
fulanan yaqulu.

2. Tadlis Syuyukh, yaitu bila seorang rawi meriwayatkan hadis yang didengarkan dari sang
guru dengan menyebutkan nama kauniyah-nya, nama keturunannya, atau dengan menyifati guru
tersebut dengan sifat-sifat yang tidak/belum dikenal banyak orang.

3. Tadlis Taswiyah (tajwid), yaitu seorang rawi meriwayatkan hadis dari gurunya yang tsiqah
(dipercaya), yang oleh guru tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini
menerima dari seorang guru yang tsiqah pula, tetapi si mudallis tersebut dalam meriwayatkannya
tanpa menyabutkan rawa-rawi yang lemah.

g) Hadits Munqathi‟

Hadis munqathi‟, yaitu hadis yang tidak disebutkan seorang rawinya sebelum sahabat.[11]

Macam-Macam Pengguguran (Inqita‟)

1. Perawi yang meriwayatkan Hadits jelas dapat diketahui tidak sezaman hidupnya dengan
guru yang memberikan Hadits padanya.

2. Dengan samar-samar yang hanya diketahui oleh orang yang mempunyai keahlian saja.
Diketahui dengan jalan lain dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam Hadits
riwayat orang lain.

Contoh hadits munqathi‟ :

‫ا‬َْٛ ّ‫عاٌ طانِةُ ْان ِع ْه ِى ٔ طانِةُ انذ‬


ِ َ‫َ ْشث‬ٚ ‫ياٌ َل‬
ِ ْٕٓ ُْ ‫َي‬

‫ٓقٗ ٔ قال اَّ يُقطع‬ٛ‫سٔاِ انث‬

vi
"Dua macam manusia yang tidak akan kenyang (puas) selama-lamanya, ialah penuntut ilmu dan
penuntut dunia”. (Riwayat Baihaqi, katanya Hadits Munqathi‟). Kalau sekiranya dalam sanad
hadits itu tidak disebutkan seorang rawinya sebelum sahabat. Maka hadits itu dinamai hadits
munqathi‟.

B. Dha’if disebabkan cacat selain dari putus sanad serta macam macamnya.

A. Hadits al-Mudha‟af

Hadits mudha‟af adalah hadits yang tidak disepakati kedha‟ifannya. Sebagian ahli hadits
menilainya hadits mudha‟af mengandung kedha‟ifan, baik dalam sanad atau dalam matannya,
dan sebagian lain menilainnya kuat. Akan tetapi penilaian dha‟if itu lebih kuat, bukannya lebih
lemah. Atau tidak ada yang lebih kuat antara penilaian dha‟if dan penilaian kuat. Karena tidak
ada istilah mudha‟af untuk hadits yang penilaian kuatnya lebih kuat. Dengan demikian hadits
mudha‟af dianggap sebagai hadits dha‟if yang paling tinggi tingkatannya.[1]

B. Hadits al-Mudththarib

َ ‫ض‬
Kata al-mudththarib barasal dari kata ‫ط ِشب‬ ْ ‫ْط َشاتًا َف ُٓ َٕ ُي‬ َ ‫ض‬
ِ ‫ط ِشبُ ِاض‬ ْ َٚ ‫ب‬ َ ‫ض‬
َ ‫ط َش‬ ْ ِ‫ ا‬yang artinya goncang
dan bergetar. Sedangkan menurut istilah, hadits muththarib adalah:

َ َ‫٘ َعهَٗ أ َ ْٔ ُج ٍّ ُي ْخت َ ِهفَ ٍح ُيت‬


ِ‫ انقُ َّٕج‬ِٙ‫َ ٍح ف‬ِٚٔ ‫سا‬ َ ِٔ ‫َيا ُس‬
Hadits yang diriwayatkan pada beberapa segi yang berbeda, tetapi sama kualitasnya.[2]

Hadits mudththarib adalah hadits yang yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang berbeda
antara satu dengan yang lain tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat mentarjihkan (tidak
dapat mencari yang lebih unggul) sebagiannya atas sebagian yang lain, baik perawinya satu atau
lebih. Apabila salah satunya bisa ditarjihkan dengan salah satu alasan tarjih, misalnya perawinya
lebih hafidz atau lebih sering bergaul dengan perawi sebelumnya (gurunya), maka penilaian
deberikan kepada yang rajih.

Kemudththariban mengakibatkan kedha‟ifan suatu hadits, karena menunjukkan ketidak dhabitan.


Pada hal kedhabitan adalah syarat keshahihan dan kehasanan, kecuali dalam satu keadaan, yaitu
bila terjadi ikhtilaf mengenai nama seorang perawi atau nama ayahnya, atau nama nisbatnya.
Dan perawi yang di ikhtilafkan itu namanya tsiqah. Sehinggan haditsnya tetap dihukumi shahih
ataupun hasan.[3]

Ke-dha‟ifan hadits mudththatib terletak pada atau disebabkan oleh perbedaan hafalan dan
kekuatan ingatan di antara para perawinya. Jika perbedaan tersebut tidak ada dan salah satu
riwayat unggul berarti haditsnya bukan mudththarib lagi.

Hadits mudhtharib kebanyakan terjadi pada sanad dan sedikit yang terjadi pada matan.

vii
Contoh hadits mudhthorib pada sanad, seperti hadits Abu Bakar RA berakata : ya Rasulullah aku
melihat engkau beruban. Rasulullah menjawab:

‫ِّثَتُِْٗ ْ ُْٕدً َٔأَ ْخ َٕات ُ َٓا‬ٛ‫ش‬


َ

Yang membuat rambutku beruban Surah Hud dan saudara-saudaranya. (HR.At-Tirmidzi).

Ad-Daruquthni berkata: hadits ini mudhtharib, karena hanya diriwayatkan melalui Abu Ishaq
dan diperselisihkan dalam sekitar 10 segi masalah. Di antara mereka ada yang menjadikannya
dari musnad Abu Bakar, Musnad „Aisyah, Musnad Sa‟ad, dan lain-lain. Semua tsiqah tetapi
tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat di tarjih.

Contoh hadits Mudhtharib dalam matan, seperti hadits yang dirawayatkan oleh At-Tirmidzi dari
Syarik dari Abu Hamzah dari Asy-Sya‟bi dari Fatimah binti Qays RA. Berkata: Rasulullah
SAWditanya tentang zakat, kemudian Rasulullah menjawab:

َّ َٖٕ ‫ ان ًَا ِل نَ َحقًّا ِس‬ٙ‫ِإ ٌَّ ِف‬


ِ‫انزكَاج‬

Sesungguhnya pada harta itu ada hak selain zakat.

Sementara pada riwayat Inu Majah melalui jalan Rasulullah SAW bersabda:

َ َٛ‫ن‬
َّ َٖٕ ‫ ان ًَا ِل َح ٌّق ِس‬ِٙ‫ْس ف‬
ِ‫انزكَاج‬

Tidah ada hak pada harta selain zakat.

Al-Iraqi berkata: hadits di atas terjadi Idhthirab tidak mungkin dita‟wilkan. Hadits pertama
menyatakan adanya hak bagi harta selain zakat, sementara hadits yang kedua menyatakan
seblaliknya. Yakni tidak adanya hak selain zakat atau hanya zakat saja sebagai hak harta.[4]

C. Hadits al-Maqlub

Hadits maqlub adalah hadits yang terbalik susunan kalimatnya yang tidak sesuai dengan susunan
yang semestinya, terkadang mendahulukan yang seharusnya diakhirkan atau sebaliknya, atau
mengganti kata lain dengan tujuan tertentu. Adapun faktor penyebabnya karena kesalahan yang
tidak disengaja atau karena untuk menguji daya ingat seseorang, seperti yang terjadi terhadap
imam Al-Bukhori yang dilakukan oleh ulama‟ Baghdad dengan memutarbalikkan 100 sanad
dengan matan lain atau agar lebih dicintai oleh pendengar.

Menurut Shubhi al-Shalih, letak kedhaifan hadits maqlub adalah pada sedikit kekuatan ingatan
karena mendahulukan apa yang semestinya diakhirkan atau mengakhirkan apa yang seharusnya
didahulukan, serta mengganti sesuatu dengan yang lain, serta mengganti sesuatu dengan sesuatu
yang lain.[5]

viii
Jika pembalikan nama, kata, atau kalimat itu terjadi karena lupa dan bukan karena disengaja,
maka hadits yang bersangkutan berkualitas dha‟if. tetapi, jika hal tersebut dilakukan secara
sengaja, bukan karena lupa atau salah, maka pembalikan itu merupakan salah satu bentuk
pemalsuan hadits. Sebagai gambarannya adalah jika suatu hadits terkenal diriwayatkan oleh
periwayat atau dengan sanad tertentu, kemudian ada orang yang suka mengada-ada sengaja
mengganti periwayat itu dengan periwayat lain, supaya orang menyukai hadits tersebut, maka
hadits itu dinyatakan palsu. Begitu juga jika jika sanad (periwayat) yang satu diganti atau ditukar
dengan sanad (periwayat) yang lain.[6]

D. Hadits Syadz

Dari segi bahasa syadz berasal dari kata ٌّ ‫شزًّا َف ُٓ َٕ شَار‬


َ ُّ‫شز‬
ُ َٚ َّ‫شز‬
َ yang berarti ganjil tidak sama dengan
yang lain. sedangkan menurut istilah hadits syadz adalah:

‫ف‬ َ َ‫ َْش ِثقَ ٍح خَان‬ٛ‫س َٕاء َكاٌَ ِثقَحً ا َ ْٔ َغ‬


ْ ‫ُ َخا ِن‬ٚ ‫ َْشُِ ا َ ْو نَ ْى‬ٛ‫ف َغ‬ َّ ِّ ‫َيا ا َْفَ َشدَ ِت‬
َ ِٖٔ ‫انشا‬

Periwayatan seorang perawi secara sendirian baik ia tsiqah atau yidak, baik ia menyalahi
periwatan yang lain atau tidak.[8]

Yang petama memperkenalkan hadits syadz ini adalah Imam Asy-Syafi‟iy. Beliau mengatakan
bahwa hadits syadz bukanlah hadits dimana perawi tsiqah meriwayatkan hadits yang sama sekali
tidak diriwayatkan oleh perawi yang lain. Menurut Muhammad Ajjaj Al-Khatib dalam
bukunya,yang dimaksud hadits syadz adalah bila di antara sekian banyak perawi tsiqah ada di
antara mereka yang menyimpang dari perawi yang lainnya. Dan generasi setelah Imam asy-
Asyafi‟i (ulama‟ hadits) sepakat bahwa hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi
maqbul dalam keadaan menyimpang dari perawi lain yang lebih kuat darinya.

Oleh karena itu kriteria hadits syadz adalah:

1. Tafarrud ( kesendirian perawinya)

2. Mukhalafah (penyimpangan)

Seandainya ada seorang perawi yang berkualitas tsiqah melakukan penyendirian dalam
meriwayatkan suatu hadits tanpa penyimpangan dari yang lainnya, maka haditsnya shahih, bukan
syadz. Dan seandainya ada yang menyimpang darinya yang lebih kuat, karena kelebihan kualitas
hafalan atau banyaknya jumlah perawi atau karena kriteria tarjih lainnya, maka yang rajih
disebut mahfud, sedang yang marjuh disebut syadz.[9]

Contoh hadits syadz

Sebagaimana hadits dha‟if lainnya, hadits syadz juga dapat terjadi pada sanad dan bisa terjadi
pada matan.

ix
Contoh hadits syadz pada sanad:

Hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi, An-Nasa‟I, dan ibnu Majah melalui jalan Ibnu Uyaynah
dari Amr bin Dinar dari Aisyah dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki wafat pada masa
Rasulullah SAW dan tidak meninggalkan pewaris kecuali budak yang ia merdekakan. Nabi
bertanya: “Apakah ada seorang yang menjadi pewarisnya?” mereka menjawab: Tidak, kecuali
seorang budak yang telah dimerdekakannya, kemudian Nabi menjadikannya sebagai pewaris
baginya.

Hammad bin Ziad ( seorang tsiqah, adil dan dhabith) juga meriwayatkan hadits diatas dari Amr
bin Dinar dari Ausajah, tetapi tidak menyebutkan Ibnu Abbas. Maka periwayatan Hammad bin
Ziad syadzi sedangkan periwayatan Ibnu Uyaynah mahfudz.[10]

Contoh hadits syadz pada matan:

Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad dari Al-
A‟masy dari Abu Shalih dari Abu hurairah secara marfu‟ Rasulullah SAW bersabda:

ِّ ُِْٛ ًِ َٚ ٍْ ‫ط ِج ْع َع‬ ْ َٛ‫ ْانفَجْ ِش فَ ْه‬َٙ ‫صهَّٗ أ َ َحذ ُ ُك ْى َس ْك َعت‬


َ ‫ض‬ َ ‫ِإرَا‬

Jika salah seorang di antara kamu telah melakukan shalat dua rakaat fajar maka hendaklah ia
berbaring pada lambung kanannya.

Al-Baihaqiy berkata mengatakan: Periwayatan Abdul Wahid bin Zayyad adalah syadz karena
menyalahi mayoritas perawi yang meriwayatkannya. Orang-orang meriwayatkan dari segi
perbutan Nabi SAW, bukan sabdanya. Abdul Wahid juga melakukan penyendirian di antara para
murid Al-A‟masy mengenai redaksinya.[11]

E. Hadits munkar

Dari kedua definisi tersebut telah jelas bahwa di antara periwayat hadits munkar ada yang sangat
lemah daya ingatannya, sehingga periwayatannya menyendiri tidak sama dengan periwayatan
perawi tsiqah. Oleh karena itu kriteria hadits munkar adalah penyendirian perawi dha‟if dan
mukhalafah.

Seandainya ada seorang perawi dha‟if melakukan penyendirian dalam meriwayatkan suatu
hadits, tanpa menyimpang dari perawi-perawi lain yang tsiqah, maka haditsnya tidak munkar,
tetapi dha‟if. Bila haditsnya ditentang dengan adanya hadits dari perawi tsiqah, maka yang rajih
disebut marfu‟, sedang yang marjuh disebut munkar.

Hadits syadz dan hadits munkar sama-sama memiliki kriteria mukhalafah. Bedanya hanya pada
hadits syadz, yang perawinya tsiqah atau shadiq. Sementara pada hadits munkar, perawinya
dha‟if.[13]

x
Contoh Hadits Munkar

Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui Usamah bin Zaid Al-Madani dari Ibnu
Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf dari ayahnya secara marfu‟:

َ ‫ اْنح‬ِٙ‫س ْف ِش ك َْان ًُ ْف ِط ِش ف‬
‫ض ِش‬ َّ ‫ ان‬ِٙ‫ضاٌَ ف‬
َ ‫صا ئِ ُى َس َي‬
َ

Seorang puasa Ramadhan dalam perjalanan seperti orang berbuka dalam tempat tinggalnya.

Hadits tersebut munkar karena periwayatan Usamah bin Zaid Al-Madani secara marfu‟ (dari
Rasulullah), bertentangan dengan periwayatan Ibn Abi Dzi‟bin yang tsiqah, hadits tersebut
mauquf pada abdurrahaman bin Auf.

Adapun tingkatan kedha‟ifanya sangat dha‟if setelah hadits matruk, karena cacat hadits munkar
sangat parah yaitu banyak kesalahan dan banyak kelupaan dalam periwayatannya, sehingga
menyalahi periwayatan para perawi tsiqah.[14]

F. Hadits Matruk

Dari segi bahasa matruk barasal dari kata ‫َتْ ُشكُ ت َْش ًكا فَ ُٓ َٕ َيتْ ُش ْٔك‬ٚ َ‫ ت ََشك‬yang berarti tertinggal.
Sedangkan menurut istilah hadits matruk adalah:

ِ ‫َ ُك ٌُْٕ أ َ َحذُ ُس َٔاتِ ِّ ُيت َّ ِٓى تِ ْان َك ِز‬ٚ ِ٘‫ْث انَّز‬


‫ب‬ ُ ٚ‫ْان َح ِذ‬

Hadits yang salah satu periwayatnya seorang tertuduh dusta.

Di antara sebab-sebab tertuduhnya dusta seorang perawi, ada beberapa kemungkinan, yaitu :

1. Periwayatan hadits yang menyendiri atau hanya dia sendiri yang meriwayatkannya. Hal ini
dikarenakan tidak ada seorang pun yang meriwayatkannya selain dia.

2. Seorang perawi dikenal sebagai pembohong dan pendusta pada selain hadits tertentu.

3. Menyalahi kaidah-kaidah yang maklum seperti kewajiban beragama, kewajiban shalat,


zakat, puasa, haji dan lain-lain.[15]

Menurut Muhammad Ajjaj Al-Khathib dalam bukunya, hadits matruk adalah hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang “muttahan bi al-kidzbi” (yang tertuduh melakukan dusta)
dalam hadits nabawiy, atau sering berdusta dalam pembicaraannya, atau yang terlihat
kefasikannya melaului perbuatan maupun perkataannya, atau yang sering sekali salah dan
lupa.[16]

Contoh Hadits Matruk

xi
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Ad-Daud dalam Qadha‟ Al-Hawa‟ij melalui Juwaibir
bin Sa‟ad Al-Azdi dari Adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas dari nabi SAW, bersabda:

‫ة هللاُ َع َّز َٔ َج َّم‬ َ ‫ئ َغ‬


َ ‫ض‬ ْ ُ ‫صذَقَ ِح انس ِ ِّش فَإََِّ َٓا ت‬
ُ ‫ط ِف‬ َ ‫ ُك ْى ِت‬ْٛ َ‫ع انس ُّْٕ ِء َٔ َعه‬
َ ‫اس‬
ِ ‫ص‬ ِ ْٔ ‫ص ِطَُاعِ ْان ًَ ْع ُش‬
َ ‫ ًَُْ ُع َي‬َٚ ََُِّّ‫ف فَإ‬ ْ ِ ‫ ُك ْى ِتإ‬ْٛ َ‫َعه‬

Wajib atas kamu berbuat yang ma‟ruf, sesungguhnya ia mencegah pergulatan kejahatan dan
wajib atas kamu shadaqah asamaran (sirr), sesungguhnya ia mematikan murka Allah azza wa
jalla.

Pada isnad hadits tersebut terdapat Juwaibir bin Sa‟id Al-Azdi, An-Nasa‟i, dan Ad-Daruquthni
berkata, bahwa ia matruk al-hadits, menurut Ibnu Ma‟in: ‫ْئ‬
ٍ ٛ‫ش‬ َ َٛ‫ = ن‬tidak ada apa-apa.
َ ِ‫ْس ت‬

Tingkatan Hadits Matruk

Yang jelas, hadits matruk merupakan tingkatan hadits dha‟if yang terendah. Karena cacat yang
sangat fatal yaitu tertuduh dusta.[17]

G. Hadits mathruh

Al-Hafidz adz-Dzahabiy menjadikan hadits mathruh sebagai jenis tersendiri. Beliau mengambil
istilah dari para ulama‟ “ Fulan Mathruh al-Hadits” (seorang yang terlempar haditsnya). Beliau
mengatakan: ia termasuk dalam daftar hadits-hadits perawi dha‟if yang tertinggal haditsnya.

D.Kehujjahan hadist Dha’if

telah diketahui bahwa Hadîts semasa sebelum al-Tirmidzi dibagi dalam dua kategori
yakni: (1) Hadîts shahîh yang didalamnya terkumpul syarat-syarat Hadîts shahîh,dan (2) Hadîts
dla‟îf yang di alamnya tidak terkumpul syarat-syarat Hadîts shahîh, termasuk di dalamnya
Hadîts hasan atau Hadîts dla‟îf yang derajatnya naik menjadi Hadîts hasan karena aspek
banyaknya jumlah sanad dan jalan.Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa yang mengenalkan
pembagian Hadîts kedalam shahîh, hasan dan dla‟îf adalah al-Tirmidzi, serta tidak dikenal
pembagian semacam ini sebelumnya. Dan telah diketahui kalau ImâmAhmad bin Hanbal
sesunguhnya menggunakan Hadîts dla‟îf sebagai hujjah setelah fatwa sahabat. Imâm Ahmad
bin Hanbal sesungguhnya menerima riwayat dla‟îf jika tidak diketahui kebohongan perawi
dan tidak masyhûr dlabith-nya tetapi mereka dikenal kebaikannya seperti Ibn luhai‟ah
dan lainnya. Dengan demikiandla‟îfdalam pandangan ImâmAhmad bin Hanbal ini adalah
Hadîts hasan atau Hadîts dla‟îf yang naik derajatnya menjadi Hadît shasan.Adapun menurut
Ibnu Taymiyah dalam Minhâj al-Sunnah mengatakan: Jika aku mengatakan Hadîts dla‟îf

xii
lebih baik dari pada pendapatku berarti yang dimaksud adalah bukan Hadîts matruk tetapi
Hadîts hasan. Sebagaimana Hadîtsnya Amr ibn Syu‟aib dari bapaknya dari kakeknya.

Adapun kehujjahan Hadîts dla‟îfada tiga pendapat yaitu:

-Pertama, pendapat para ahli Hadîts yang besar seperti Imâm Bukhârîdan ImâmMuslim, yang
berpendapat bahwa Hadîts dla‟îf tidak bisa diamalkan secara mutlak. Baik dalam masalah
fadlâ‟il al-a‟mâl, ahkâm, al-i‟tibar maupun masalah mawâ‟idz.Perkara-perkara agama tidak
dapat didasarkan kecuali pada al-Qur‟ân danSunnah Rasûlullâhsaw yang shahîh. Adapun
Hadîts dla‟îf adalah Hadîtsyang bukan shahîh. Dan pengambilan Hadîts dla‟îf dalam masalah
agama berarti menambah masalah-masalah syari‟at yang tidak diketahui dasar ilmunya.
Padahal ada larangan dari Allah swt.yang tidak boleh mengikuti sesuatu yang tidak
didasarkan atas ilmunya (walâ takfu mâ laysa laka bihi ilm).\

-Kedua, Hadîts dla‟îf bisa diamalkan secara mutlak. Sebagaimana Imâm al-Suyûthî mengatakan
bahwa Imâm Abû Dawûd dan ImâmAhmad, keduanya berpendapat kalau Hadîts dla‟îf lebih
kuat dari pada ra‟y perorangan.

-Ketiga, Hadîts dla‟îf bisa digunakan dalam masalah fadlâ‟il,mawâ‟idz atau yang sejenis bila
memenuhi beberapa syarat. Ibnu Hajar mensyaratkan Hadîts dla‟îf yang dapat diamalkan
adalah:(1) ke-dla‟îf-annya tidak terlalu, sehingga tidak tercakup di dalamnya seorang
pendusta atau yang tertuduh berdusta yang melakukan penyendirian, juga orang yang terlalu
sering melakukan kesalahan; (2) Hadîts dla‟îf tersebut masuk dalam cakupan Hadît spokok
yang bisa diamalkan dan tidak keluar dari kaidah-kaidah Islam; (3) ketika mengamalkannya
tidak meyakini bahwa Hadîts itu berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati; (4) fadlâ‟ildan
yang sejenis seperti mawadz, al-targhib wa al-tarhib bukan dalam masalah aqidah dan hukum.

Meriwayatkan HadîtsDla‟îf

Ulama‟ Hadîts mengingatkan agar orang yang meriwayatkan Hadîts dla‟îf tanpa sanad tidak
meriwayatkannya dengan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh bahwa hal itu
merupakan Hadîts. Sehingga ia tidak diperkenankan mengatakan : ”Rasûlullâh SAW
menyabdakan begini-begini”, dan sejenisnya. Dan kata-kata tersebut makruh digunakan
dalam meriwayatkan Hadîts shahih. Sehingga dalam meriwayatkan Hadîts shahih seseorang
harus menggunakan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh akan kualitasnya.
Adapun meriwayatkan Hadîtsdla‟îflengkap dengan sanadnya tidak dimakruhkan
menggunakan redaksi yang menunjukkan kemantapan, bila diriwayatkan kepada ahl al-
ilmi. Sedang bila diriwayatkan kepada orang yang awam, agar tidak menunjukkan
kemantapan penuh.

xiii
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, kesimpulan yang dapat diambil
ialah sebagai berikut :
· Hadits dhaif ialah hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits
maqbul (yang dapat diterima).
· Hadits dhoif berdasarkan terputusnya sanad terbagi menjadi tujuh bagian yaitu :
1. Hadits Mauquf
2. Hadits Maqthu‟
3. Hadits Mu‟allaq
4. Hadits Mu‟dhal
5. Hadits Mursal
6. Hadits Mudallas
7. Hadits Munqathi‟
· Karena sebab-sebab kedhaifan hadis itu berbeda-beda kekuatan dan pengaruhnya,
maka tingkatan hadis dhaif itu dengan sendirinya berbeda-beda. Ada yang kadar
kelemahannya kecil sehingga hampir-hampir dihukumi sebagai hadis hasan dan ada yang
terlalu dhaif.

B. Saran

Demikianlah makalah yang dapat kami buat, pemakalah menyadari dalam penulisan
makalah ini banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif demi
kesempurnaan makalah ini sangat pemakalah harapkan. Berikutnya besar harapan pemakalah
semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah
pada khususnya. Amin.

1
DAFTAR PUSTAKA

Ajjaj Al-khathib Muhammad, ushulu al-hadits; Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Gaya Media
Partama, jakarta, 1998.

Khon Abdul Majid, ulumul hadits, Amzah, Jakarta, 2009.

al-Shalih Shubhi, ulum al-hadts wa Musthalahuhu, Dar al-„Ilmi al-malayin, Beirut, 1988h. Buku
Ajar Ulumul Hadits I. UIN Malang

Anda mungkin juga menyukai