Anda di halaman 1dari 24

Makalah Tafsir dan Ta'wil - Pengertian, Sejarah, Metode dan Syarat mufassir

November 09, 2017

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan sumber ilmu yang tidak habis untuk dikaji berbagai kalangan. Semakin lama dikaji,
semakin banyak ilmu yang terkuak. Sebagai contoh, para ilmuwan mengembangkan maupun
mencocokan penemuan mereka tentang teknologi, ilmu perbintangan, penemuan pesawat terbang,
matematika, fisika, dan lain sebagainya, dengan pemaparan yang tersebut dalam al-Qur’an. Sebagian
sumber-sumber hukum juga berasal dari al-Qur’an. Sehingga, Pengetahuan mengenai makna al-Qur’an
pun menjadi sangat penting untuk dipahami. Adanya tafsir dan ta’wil al-Qur’an tentu mempermudah
setiap orang memahami hingga mengkaji isi al-Qur’an. Perlu kiranya kita memperdalam pengetahuan
mengenai tafsir, ta’wil al-Qur’an, metodologi penafsiran hingga tokoh mufassir beserta karyanya.
Sehingga kita dapat mmperkokoh keimanan dan menambah pengetahuan dalam memahami al-Qur’an.
Inilah yang menjadi latar belakang disusunnya makalah tafsir dan ta’wil ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan tafsir dan ta’wil al-Qur’an?

2. Bagaimana urgensi tafsir dan ta’wil al-Qur’an?

3. Bagaimana sejarah perkembang tafsir dan ta’wil al-Qur’an?

4. Bagaimana metodologi dan corak penafsiran al-Qur’an?

5. Siapa saja tokoh-tokoh mufassir? Dan apa syarat-syarat menjadi mufassir?

1.3 Tujuan

Tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengertian, perbedaan, urgensi dan sejarah perkembangan dari tafsir dan ta’wil al-
Quran.
2. Memahami metodologi dan corak penafsiran al-Qur’an

3. Mengetahui tokoh-tokoh mufassir, syarat menjadi mufassir beserta karya-karnya.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Tafsir dan Ta’wil

2.1.1 Pengertian Tafsir dan Ta’wil

Kata “tafsir” diambil dari kata “fassara-yufassiru-tafsira” yang bearti keterangan atau uraian. Al-jurani
berpendapat bahwa kata “tafsir” menurut pengertian bahasa adalah “Al-kasf wa Al-izhar” yang artinya
menyikap (membuka) dan melahirkan.1[1] Pada dasarnya, pengertian “tafsir” berdasarkan bahasa tidak
akan lepas dari kandungan makna Al-idhah (menjelaskan), Al-bayan (menerangkan), Al-kasf
(mengungkapkan), Al-izhar (menampakkan), dan Al-ibanah (menjelaskan). Dalam Al-Qur’an dinyatakan :

25:33

Artinya : “Tidaklah kamu mereka datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami
datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik tafsir-Nya” (Al-Furqan [25]:33). Maksudnya,
“paling baik penjelasan dan perinciannya.” Diantara kedua bentuk al-fassr dan at-tafsir, kata at-tafsir
(tafsir)-lah yang paling banyak dipergunakan.

Adapun pengertian “tafsir” berdasarkan istilah, para ulama banyak memberikan komentar, antara lain
sebagai berikut:

a. Menurut Al-Kilabi dalam At-Tashil :

Tafsir adalah menjelaskan Al-quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan dikehendakai dengan
nasbnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya.[2]

a. Menurut Syekh Al-Jazairi dalam Shahib At-Taujih :

Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahamioleh pendengar dengan
mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan
salah satu dilalah lafdz tersebut.[3]

b. Menurut Abu hayyan :

Tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan lafadz-lafadz Al-Quran serta cara mengungkapkan
petunjuk, kandungan-kandungan hukum, dan makna-makna yang terkandung didslamnya.[4]

c. Menurut Az-Zarkasyi

Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW., serta menyimpulkankandungan-kandungan hukum dan
hikmahnya.[5]

Berdasarkan beberapa rumusan tafsir yang dikemukakan para ulama tersebut, dapat ditarik satu
kesimpulan bahwa pada dasarnya, tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran, dan ijtihad
manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi yang terdapat di dalam Al-Quran.
“Ta’wil” menurut bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali ke asal artinya, memikirkan,
memperkirakan dan menafsirkannya. Atas dasar ini maka ta’wil kalam dalam istilah mempunyai dua
makna:

Pertama, ta’wil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang kepadanya mutakallim (pembicara, orang
pertama) mengembalikan perkataanya, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu makna yang
kepadanya suatu kalam dikembalikan

Kedua, ta’wilun kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Perkataan mereka, “apa
ta’wil perkataan ini? Artinya ialah “sampai kemanakah akibat yang dimaksud oleh perkataan itu?”
misalnya firman Allah dalam surat Al-A’raf [7]:53 maksudnya ialah “disaat akibat (kesudahan)-nya
tersingkap”. Dalam firman-Nya dalam surat Al-Kahfi [18]:82. “Ta’wil” berasal dari ma’al, yaitu akibat dan
kesudahan. Dengan demikian, ta’wil seakan-akan memalingkan ayat kepada makna-makna yang dapat
diterimanya. Kata “ta’wi” dibentuk dengan pola “taf’il” adalah untuk menunjukan arti banyak.

Sedangkan arti ta’wil menutakrut lughat adalah menerangkan, menjelaskan. Diambil dari kata “awwala-
yu’awwilu-ta’wilan.” Al-Qathathan dan Al-Jurjani berpendapat bahwa arti ta’wil menurut lughat adalah
“a;-ruju’ ila Al-ashl” ( berarti kembali pada pokoknya ).[6] Sedangkan arti bahasanya menurut Az-Zarqani
adalah sama dengan arti tafsir.[7]

Adapun ta’wil mtenurut istilah, dalam hal ini banyak para ulama memberikan pendapatnya, antara lain:

a. Menurut Al-Jurzani

Memalingkan suatu lafadz dari makna lahirnya terhadap makna yang dikandungnya, apabila makna
alternatif uyang dipandnagnya sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-Sunnah.[8]

b. Menurut definisi lain:

Ta’wil ialah mengembalikan sesuatu pada ghayahnya (tujuannya), yakni menerangkan apa yang
dimaksud.[9]dk

c. Menurut Ulama Salaf:

(1) “Menafsirkan dan menjelaskan makna suatu ungkapan, baik bersesuai dengan makna lahirnya
ataupun bertentangan.” Definisi ta’wil seperti ini sama dengan definisi tafsir. Dalam pengertian ini pula,
Ath-Thabari menggunakan istilah ta’wil di dalam kitab tafsirnya.

(2) “Hakikat sebenarnya yang dikehendaki suatu ungkapan.”[10]

d. Menurut ulama khalaf:

Mengalihkan suatu lafadz dari maknanya yang rajib pada makna yang marjub karena ada indikasi untuk
itu.

Ringakasnya, pengertian ta’wil dalam penggunaan istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-
lafazh (ayat-ayat) Al-Quran melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari
lafazh itu. Dengan kata lain, ta’wil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan
makna yang bukan makna lahiriahnya, bahkan penggunaan secara masyhur kadang-kadang diidentikan
dengan tafsir. [11]

2.1.2 Perbedaan antara Tafsir dengan Ta’wil

Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua kata tersebut. Berdasarkan pada
pembahasan diatas tentang makna tafsir dan ta’wil, kita dapat menyimpulkan pendapat terpenting
diantaranya sebagai berikut:

1. Apabila berpendapat, ta’wil adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka
“ta’wil” dan “tafsir” adalah dua kata yang berdekatan atau sama maknanya. Termasuk pengertian ini
ialah doa Rasululloh untuk Ibn Abbas: “Ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami
agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.

2. Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka ta’wil
dari talab (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri dan ta’wil dari khabar adalah
esensi sesuatu yang diberikan. Atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dengan ta’wil cukup besar;
sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan dan penjelasan ini berada dalam
pikiran dengan cara memahaminya dan dalam lisan dengan ungkapan yang menunjukkannya. Sedang
ta’wil ialah esensi sesuatu yang berada dalam realita (bukan dalam pikiran). Sebagi contoh, jika
dikatakan: “Matahari telah terbit”, maka ta’wil ucapan ini ialah terbitnya matahari itu sendiri. Inilah
pengertian ta’wil yang lazim dalam bahasa Quran sebagaimana telah dikemukakan. Allah berfirman:

“Atau (patutkah) mereka mengatakan: ‘Muhammad membuatnya’ Katakanlah: ‘(Kalau benar yang kamu
katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surah seumpamanya dan panggilah siapa yang dapat
kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.’ Tetapi sebenarnya
mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang
kepada mereka ta’wil-Nya.” (Yunus [10]:38-39). Yang dimaksud dengan ta’wil disini ialah terjanya
sesuatu yang diberitahukan.

3. Dikatakan, tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam Kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunnah
yang shahih karnanya maknanya telah jelas dan gamblang. Sedang ta’wil adalah apa yang telah
disimpulkan para ulama. Karena itu sebagian ulama mengatakan, “Tafsir adalah apa yang berhubungan
dengan riwayat sedang Ta’wil adalah apa yang berhubungan dengan dirayah.[12]

4. Dikatakan pula, tafsir lebih banyak digunakan dalam (menerangkan) lafaz dan mufrodat (kosa kata),
sedang ta’wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat. Dan masih banyak
lagi pendapat-pendapat yang lain.

2.1.3 Keutamaan Tafsir


Tafsir adalah ilmu syariat paling agung dan paling tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling
mulia obyek pembahasan dan tujuannya serta dibutuhkan. Obyek pembahassannya adalah Kamullah
yang merupakan sumber segala hikmah dan “tambang” segala keutamaan. Tujuan utamanya untuk
dapat berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai kebahagiaan hakiki. Dan kebutuhan terhadapnya
sangat mendesak karena segala kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah sejalan dengan syara’
sedang kesejalanan ini sangat bergantung pada pengetahuan tentang Kitab Allah.[13]

2.2 Urgensi Tafsir dan Ta’wil dalam Memahami Al Quran

Urgensi tafsir dan ta’wil dalam memahami Al-Qur’an untuk ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat
adalah sebagai berikut:

2.2.1 Ayat Mukhamat

Urgensi tafsir dan ta’wil dalam memahami ayat muhkamat diantaranya adalah:

– Dengan adanya ayat mukhamat yang sudah jelas arti maksudnya, maka menjadi rahmat bagi umat
Islam, khususnya orang yang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan mempelajari bahasa arab
akan menambah kosa kata yang bersumber dari al Quran.

– Untuk mempermudah dalam memahami isi kandungan al Quran supaya umat Islam mudah
mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui dan
dipahami.

– Untuk membantu dalam menghafal al Quran, karena salah satu metode menghafal yang paling
efektif adalah dengan memahami terlebih dahulu arti ayat yang akan dihafal.

– Untuk menghilangan kebingungan dan kesulitan umat Islam dalam mempelajari isi ajarannya
karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya.

2.2.2 Ayat Mutasyabihat

Urgensi tafsir dan ta’wil al-Qur’an dalam memahami ayat mutasyabihat diantaranya adalah:

– Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-
ayat al Quran sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang
merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi
akan menyombongkan keilmuannya sehinnga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.

– Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat al Quran. Sebagaimana Allah


menyebutkan bahwa cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabihat itu.
Sebaiknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya.

– Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia,
masih ada kekurangan dan kelemahannya.
– Untuk mengetahui kemukjizatan yang terdapat dalam al Quran agar manusia sadar bahwa kitab itu
bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.

2.3 Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an

Tahapan perkembangan tafsir al-Qur’an adalah sebagai berikut:

1. Tahap Pertama (Masa Sahabat dan Tabi’in)

Para sahabat memberikan perhatian maksimal kepada Kitabulla, mereka membaca ayat-ayatnya,
memahami kandungan hukumnya dan merenungkan isinya. Mereka adalah orang-orang yang sangat
mengenal kitabullah.

Para sahabat belum bertumpu kepada tulisan dan kodifikasi. Masa mereka berlalu tanpa ada
pembukuan tafsir sedikitpun. Semua tafsir terjaga terjaga dalam hafalan, tertanam dalam jiwa dan
muncul tokoh-tokoh seperti khulafa’urrasyidin, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Ubai bibn Ka’ab dan lain-lain.

Kemudian datang masa tabi’in. banyak terjadi pembukaan wilayah. Orang-orang non-Arab masuk Islam
berbondong-bondong. Kebutuhan akan tafsir semakin meningkat. Munsullah sekolah-sekolah tafsir dan
meluaslah tafsir-tafsir yang sebelumnya belum dibutuhkan karena kedekatan mereka dengan sumber
risalah dan pelita kenabian. Ketika mereka semakinjauh dari masa itu, maka kebutuhan mereka akan
tafsir meningkat. Muncullah sekolah Ibn Abbas di Mekkah yang memunculkan banyak murid terkemuka,
sekolah Abdullah ibn Mas’ud di Kufah yang juga memunculkan banyak murid terkemuka lainnya, di
samping sekolah Ubai bin Ka’b di Madinah yang didatangi oleh banyak murid dari kalangan sahabat dan
tabi’in, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

2. Tahap Kedua

Tahap ini dimulai pada akhir masa Bani Umayyah dan awal masa Bani Abbasiyyah, ketika dimulainya
pembukuan terhadap berbagai macam ilmu. Permulaan tafsir adalah bersama pembukuan hadis, ketika
tafsir dimasukkan ke dalam salah satu bab dalam buku-buku hadis. Yang dikodifikasikan saat itu masih
sangat sedikit, terutama yang berkaitan dengan sebab nuzul sejumlah ayat atau keutamaan sejumlah
surat dan ayat. Di dalam al-Kutub al-Sittah banyak ditemukan.

Sampai saat itu belum ada karya khusus tentang tafsir al-Qur’an baik secara keseluruhan maupun
sebagiannya. Usaha-usaha untuk menafsirkan al-Qur’an tidak lebih dari penghimpunan sabda Rasul,
pendapat sahabat dan tabi’in tentang Tafsir. Yang mula-mula menulis tentang hal itu adalah Yazid ibn
Harun al-Maslami (w. 117 H), Syu’bah ibn al-Hajjaj (w. 160 H), Sufyan ibn ‘Uyainah (w. 198 H), Waki’ ibn
al-Jarrah (197 H, Ruh ibn Ubadah al-Bashri (w. 205 H), Abdurrazzaq ibn Humam (211 H), Abd ibn Humaid
(w. 249 H) dan lain-lain.

Penulis al-Tafsir wa al-Mufassirin menjelaskan bahwa tafsir para imam itu tidak sampai kepada kita.
Dikatakan: “Merka itu adalah para imam hadis. Penghimpunan mereka terhadap hadis adalah
penghimpunan terhadap salah satu bab hadis, bukan penghimpunan tafsir secara mandiri. Semua yang
mereka kutip dari para pendahulu mereka disandarkan kepada mereka. Hanya saja tafsir-tafsir itu tidak
sampai kepada kita sedikitpun. Sehingga kita tidak bisa menilainya.[14]

Kemudian tafsir memisah dari hadis dan menjadi ilmu tersendiri. Tafsir untuk seluruh ayat mulai ditulis
secara runtut, meski tidak dijumpai sekaligus, meliankan sedikit demi sedikit.

Dalam sejarah penafsiran al-Qur’an, pada akhir abad kedua Hijriah, muncul-(kalaupn masih
diperdebatkan tentang apakah ia yang pertama atau bukan)- kitab tafsir yang telah tersusun secara
sistematis. Kitab tersebut ditulis oleh Yahya Ibn Ziyad al-Farra’ dangan nama Ma’anil Qur’an. Para ahli
tafsir menengarai zaman itu sebagi suatu zaman di mana tafsir menjadi bagian integral dari kitab-kitab
hadis. Dengan kata lain, pada abad kedua ini aktivitas penafsiran lebih banyak berbentuk laporan
tentang penafsiran generasi sebelumnya dibanding sebagai hasil kreativitas mandiri.

3. Tahap Ketiga (Masa Kodifikasi)

Pada tahap ini, muncul banyak tafsir dengan berbagai ragamnya. Mula-mula tefsir tidak bergerak dari
jenis tafsir bil-ma’tsur. Namun sanad-sanadnya mulai terbuang, agar ringkas, dan dikodifikasikan pula
riwayat-riwayat dari ulama salaf tanpa menisbatkan kepada orang yang mengatakannya. Ini jelas lubang
yang menganga bagi masuknya pemalsuan dan menerobosnya Isra’iliyyat ke dalam kitab-kitab tafsir.
Sehingga yang shahih berbaur dengan dla’if, yang kuat berbaur dengan yang lemah, yang berakibat
ditinggalkannya banyak riwayat. Sehingga nilai kitab-kitab itu menjadi kecil.

Setelah itu tafsir meluas. Para mufassir mulai memasuki tafsir bil-ra’yi. Disusunlah kitab-kitab tafsir
dirayah secara tersendiri. Disamping itu para mufassir juga mulai memadukan antara tafsir bil ma’tsur
dan tafsir bil ra’yi. Pemahaman rasional berbaur dengan tafsir naqli. Sehingga kitab-kitab tafsir itu lebih
mirip dengan karya-karya ilmiah yang menghimpun beragam ilmu dan seni. Ada yang yang berorientasi
pada aspek-aspek balaghah dan bayan. Ada yang mendalami aspek-aspek fikih. Ada yang sibuk dengan
masalah kalam dan akidah. Ada yang menyelami makna-makna terdalam ayat denganmenggali isyarat-
isyaratnya. Ada yang sengaja memaksa diri menta’wilkan ayat-ayat untuk membela madzhab dan
menyebarnya ideologinya.[15]

2.4 METODOLOGI TAFSIR AL-QURAN

2.4.1 Sejarah Perkembangan Metodologi Tafsir

Al-Quran melalui salah satu ayatnya memperkenalkan diri sebagai hudan (petunjuk) bagi umat manusia,
penjelasan-penjelasan terhadap petunjuk itu dan sebagai al-furqan. Oleh karena fungsinya itu maka Al-
Quran haruslah dipahami secara tepat dan benar. Upaya dalam memahami Al-Quran dikenal dengan
istilah tafsir. Sekalipun demikian, aktivitas menafsirkan Al-Quran bukanlah pekerjaan gampang,
mengingat kompleksitas persoalan yang dikandungnya serta kerumitan yang digunakannya. Dalam
kaitan ini dapat dikemukakan bahwa redaksi ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana setiap reaksi yang
diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti kecuali oleh pemilik redaksi
tersebut. Meskipun demikian, upaya penafsiran tetap dilakukan karena, di samping memang dirasakan
urgen setiap saat, juga ada bukti kesejarahan dari Nabi sendiri sebagai pengemban amanat ilahi itu.

Sejarah mencatat, penafsiran al-Quran telah tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal
pertumbuhan dan perkembangan Islam. Hal ini didukung oleh adanya fakta sejarah yang menyebutkan
bahwa Nabi pernah melakukannya. Pada saat sahabat beliau tidak memahami maksud dan kandungan
salah satu isi kitab suci Al-Quran, mereka menanyakannya kepada Nabi. Dalam konteks ini, Nabi
memang berprofesi sebagai mubayyin, penjelasan terhadap segala persoalan umat. Penafsiran yang
dilakukan Nabi memiliki sifat-sifat dan karakteristik tertentu, diantaranya makna (bayan al-tashrif);
perincian makna (bayan al-tafshil); perluasan dan penyempitan makna; kualifikasi makna serta
pemberian contoh. Sedangkan dari segi motifnya, penafsiran Nabi SAW terhadap ayat-ayat Al-Quran
mempunyai tujuan; pengarahan (bayan irsyad), peragaan (tathbiq), pembetulan (bayan tashhih) atau
koreksi.

Sepeninggal Nabi, kegiatan penafsiran Al-Quran tidak berhenti, malah boleh jadi semakin meningkat.
Munculnya persoalan-persoalan baru seiring dengan dinamika masyarakat yang progresif mendorong
umat Islam generasi awal mencurahkan perhatian yang besar dalam menjawab problematika umat.
Perhatian utama mereka tertuju kepada Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam. Maka upaya-upaya
penafsiran terus dilakukan. Dalam menafsirkan Al-Quran pada masa itu, pegangan utama mereka adalah
riwayat-riwayat yang dinukilkan dari Nabi.

Penafsiran-penafsiran yang dilakukan para sahabat di atas, di belakang hari nanti dikenal dengan tafsir
bil ma’tsur. Tafsir yang disebut terakhir ini mendasari pembahasan dan sumbernya pada riwayat. Cara
ini kemudian dikenal sebagai sebuah metode penafsiran Al-Quran dengan metode riwayah. Sebagai
perimbangan dari metode ini timbullah satu metode lainnya yaitu tafsir bil-ra’y yang mendasari
sumbernya pada penalaran dan ijtihad. Dari dua metode ini nantinya lahir metode-metode lain yang
menyebabkan metodologi penafsiran Al-Quran berkembang. Metode-metode dimaksud adalah metode
tahlili, metode muqaran, dan metode maudhu’i.

2.4.2 Beberapa Metode Tafsir

A. Metode Tafsir Tahliliy

Metode Tafsir Tahlîliy adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-
Quran dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang
telah tersusun di dalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata
diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munâsabah (korelasi) ayat-
ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir
membahas mengenai sabab al-nuzûl (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari
Rasulullah s.a.w., sahabat, atau para tabi’in, yang kadang-kadang bercampur-baur dengan pendapat
para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan sering pula bercampur
baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash
(teks) al-Quran tersebut. Muhammad Baqir ash-Shadr menyebut tafsir metode tahlîliy ini dengan tafsir
tajzî’iy, yang secara harfiah berarti “tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian atau tafsir
parsial”.

1. Bentuk Tafsir al-Quran dengan Metode Tahlîly

Metode Tahlîly kebanyakan dipergunakan para ulama masa-masa klasik dan pertengahan. Diantara
mereka, sebagian mengikuti pola pembahasan secara panjang lebar (ithnâb), sebagian mengikuti pola
singkat (i’jâz) dan sebagian mengikuti pula secukupnya (musâwâh). Mereka sama-sama menafsirkan al-
Quran dengan metode tahlîliy, namun dengan corak yang berbeda.

Para ulama membagi wujud tafsir al-Quran dengan metode tahlîly kepada tujuh macam (bentuk) yaitu:
At-Tafsîr bi al-Ma’tsûr, At-Tafsîr bi ar-Ra’yi, At-Tafsîr ash-Shûfiy, At-Tafsîr al-Fiqhiy, At-Tafsîr al-Falsafiy,
At-Tafsîr al-‘Ilmiy, dan At-Tafsîr al-Adabiy al-Ijtimâ’iy.

2. Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode tahlîliy

Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: a) Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm karya Ibn
Katsîr’ b) Tafsîr al-Munîr karya Syaikh Nawawiy al-Bantaniy.

Ada yang ditulis dengan sangat panjang, seperti kitab tafsir karya al-Alusi, Fakhr al-Din ar-Razi, dan Ibn
Jarir ath-Thabari; ada yang sedang, seperti kitab Tafsir al-Baidhawi dan an-Naisaburi; dan ada pula yang
ditulis dengan ringkas, tetapi jelas dan padat, seperti kitab Tafsîr al-Jalâlaiyn karya Jalal ad-Din Suyuthi
dan Jalal ad-Din al-Mahalli dan kitab Tafsir yang ditulis Muhammad Farid Wajdi.

3. Kelebihan dan Kekurangan Metode Tahlîliy

a. Kelebihan Metode Tahlîliy

· dapat mengetahui dengan mudah tafsir suatu surat atau ayat, karena susunan tertib ayat atau
surat mengikuti susunan sebagaimana terdapat dalam mushaf

· mudah mengetahui relevansi/munâsabah antara suatu surat atau ayat dengan surat atau ayat
lainnya

· memungkinkan untuk dapat memberikan penafsiran pada semua ayat, meskipun inti penafsiran
ayat yang satu merupakan pengulangan dari ayat yang lain, jika ayat-ayat yang ditafsirkan sama atau
hampir sama

· mengandung banyak aspek pengetahuan, meliputi hukum, sejarah, sains, dan lain-lain.

b. Kelemahan Metode Tafsir Tahlîliy

· menghasilkan pandangan-pandangan yang parsial dan kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.

· faktor subjektivitas tidak mudah dihindari misalnya adanya ayat yang ditafsirkan dalam rangka
membenarkan pendapatnya
· terkesan adanya penafsiran berulang-ulang, terutama terhadap ayat-ayat yang mempunyai tema
yang sama

4. Urgensi Metode Tafsir Tahlîliy

Keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan dan
mengembangkan khazanah intelektual Islam, khususnya dalam bidang tafsir al-Quran. Berkat metode
ini, maka lahir karya-karya tafsir yang besar-besar sebagaimana yang telah disebutkan di depan.
Berdasarkan kenyataan itu dapatlah dikatakan, urgensitas metode ini tak dapat dipungkiri oleh siapa
pun. Dalam penafsiran al-Quran, jika ingin menjelaskan dengan firman Allah dari berbagai segi seperti
bahasa, hukum-hukum fiqih, teologi, filsafat, sains, dan sebagainya, maka di sini metode tahlîliy lebih
berperan dan lebih dapat diandalkan dari pada metode-metode yang lain.

Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan, bahwa jika menginginkan pemahaman yang luas dari suatu
ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek, maka jalan yang ditempuh adalah menggunakan metode
tafsir tahlîliy. Dan inilah salah satu urgensi pokok bagi metode ini dibandingkan dengan yang lain.

B. Metode Tafsir Ijmâliy

Metode Tafsir Ijmâliy adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan cara
mengemukakan makna global. Di dalam sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat
sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushaf; kemudian mengemukakan makna global yang
dimaksud oleh ayat tersebut. Mufassir dengan metode ini, dalam penyampaiannya, menggunakan
bahasa yang ringkas dan sederhana, serta memberikan idiom yang mirip, bahkan sama dengan al-Quran.
Sehingga pembacanya merasakan seolah-olah al-Quran sendiri yang berbicara dengannya. Sehingga
dengan demikian dapatlah diperoleh pengetahuan yang diharapkan dengan sempurna dan sampailah
kepada tujuannya dengan cara yang mudah serta uraian yang singkat dan bagus.

Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan metode ini, mufassir juga meneliti, mengkaji dan
menyajikan asbâb al-nuzûl atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti
Hadis-Hadis yang berhubungan dengannya. Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalâlain
terhadap 5 ayat pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global hingga tidak
ditemui rincian atau penjelasan yang memadai. Penafsiran tentang alif lâm mîm (‫) الم‬, misalnya, dia
hanya berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Dengan demikian pula hanya dikatakan: “Yang dibacakan
oleh penafsiran ‫ذلك الكتاب‬, Muhammad”. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran lima
ayat itu hanya dalam beberapa baris saja. Sedangkan tafsir tahlîliy (analitis), al-Maraghi, misalnya, untuk
menjelaskan lima ayat pertama itu ia membutuhkan 7 halaman.

1. Kitab-kitab Tafsir yang Menggunakan Metode Ijmâliy

Di antara kitab-kitab Tafsir dengan metode ijmâliy adalah: Tafsîr al-Jalâlayn, karya Jalal ad-Din as-Suyuthi
dan Jalal ad-Din al-Mahalli, Shafwah al-Bayân Lima’âni al-Qurân, karya Syeikh Hasanain Muhammad
Makhluf, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, karya Ustadz Muhammad Farid Wajdiy, Tafsîr al-Wasîth, karya Tim
Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah (Lembaga Penelitian Islam) al-Azhar Mesir.
2. Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmâliy

a. Kelebihan Metode Tafsir Ijmâliy

· praktis dan mudah dipahami

· bebas dari penafsiran israiliyat

· akrab dengan bahasa al-Quran

b. Kekurangan metode Tafsir Ijmâliy

· menjadikan petunjuk al-Quran bersifat parsial

· midak mampu mengantarkan pembaca untuk mendialogkan al-Quran dengan permasalahan sosial
maupun keilmuan yang aktual dan problematis

3. Urgensi Metode Tafsir Ijmâliy

Dalam kaitan ini, bagi para pemula atau mereka yang tidak membutuhkan uraian yang detail tentang
pemahaman suatu ayat, maka tafsir yang menggunakan metode ijmâliy ini sangat membantu dan tepat
sekali untuk digunakan. Hal itu disebabkan uraian di dalam tafsir yang menggunakan metode ini sangat
ringkas dan tidak berbelit-belit, sehingga relatif lebih mudah dipahami oleh mereka yang berada pada
tingkat ini. Kondisi tafsir ijmâliy yang ringkas dan sederhana ini juga lebih cocok bagi mereka yang
disibukkan oleh pekerjaan rutin sehari-hari. Dengan demikian, tafsir dengan metode ini sangat urgen
(penting) bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir dan mereka yang sibuk
dalam mencari kehidupannya. Dalam kondisi yang demikian akan dapat dirasakan betapa cocoknya
tafsir ijmâliy ini bagi mereka dalam rangka membimbing mereka ke jalan yang benar serta diridhai Allah.

C. Metode Tafsir Muqâran

Yang dimaksud dengan metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Quran yang ditulis
oleh sejumlah para mufassir. Disini seorang mufassir menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Quran,
kemudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah mufassir mengenai ayat tersebut melalui kitab-
kitab tafsir mereka, apakah mereka itu mufassir dari generasi salaf maupun khalaf, apakah tafsir mereka
itu at-tafsîr bi al-ma’tsûr maupun at-tafsîr bi ar-Ra’yi. Kemudian ia menjelaskan bahwa diantara mereka
ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya. Ada diantara mereka yang
menitikberatkan pada bidang nahwu, yakni segi-segi i’râb, seperti Imam az-Zarkasyi. Ada yang corak
penafsirannya ditentukan oleh kecenderungan kepada bidang balâghah, seperti ‘Abd al-Qahhar al-
Jurjaniy dalam kitab tafsirnya I’jâz al-Qurân dan Abu Ubaidah Ma’mar Ibn al-Mustanna dalam kitab
tafsirnya al-Majâz, dimana ia memberi perhatian pada penjelasan ilmu ma’âniy, bayân, badî’, haqîqah
dan majâz.

Jadi metode tafsir muqâran adalah menafsirkan sekelompok ayat al-Quran dengan cara membandingkan
antar-ayat dengan ayat, atau antara ayat dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan
menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan itu.
1. Kitab-kitab Tafsir Yang Menggunakan Metode Muqâran

Di antara kitab-kitab yang menggunakan metode ini adalah: Durrah at-Tanzîl wa Ghurrah at-Tanwîl,
karya al-Iskafi yang terbatas pada perbandingan antara ayat dengan ayat; Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân,
karya al-Qurthubiy yang membandingkan penafsiran para mufassir. Rawâ’i al-Bayân fî Tafsîr Âyât al-
Ahkâm, karya ‘Ali ash-Shabuniy’ Qur’an and its Interpreters adalah satu karya tafsir yang lahir di zaman
modern ini, buah karya Profesor Mahmud Ayyoub.

2. Kelebihan dan Kekurangan Metode Tafsir Muqâran

a. Kelebihan Metode Tafsir Muqâran

· membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain.

· tafsir dengan metode muqaran ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai
pendapat tentang suatu ayat.

· dengan menggunakan metode muqaran ini, maka mufassir didorong untuk mengkaji berbagai ayat
dan hadis-hadis serta pendapat-pendapat para mufassir yang lain.

b. Kekurangan Metode Tafsir Muqâran

Di antara kekurangan metode ini adalah:

· penafsiran yang menggunakan metode ini, tidak dapat diberikan kepada para pemula.

· metode muqâran kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di
tengah masyarakat. hal itu disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan daripada
pemecahan masalah.

· metode muqâran terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah di berikan
oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. sebenarnya kesan serupa itu tak perlu
timbul bila mufassirnya kreatif.

3. Urgensi Metode Tafsir Muqâran

Pada abad modern sekarang, tafsir dengan metode ini terasa makin dibutuhkan oleh umat. Hal itu
terutama dikarenakan timbulnya berbagai paham dan aliran yang kadang-kadang jauh keluar dari
pemahaman yang benar. Dengan menggunakan metode muqâran ini, akan dapat diketahui mengapa
penafsiran yang menyimpang itu timbul dan bahkan dapat membuat sikap ekstrim di kalangan sebagian
kelompok masyarakat. Dengan metode muqâran ini amat penting posisinya, terutama dalam rangka
mengembangkan pemikiran tafsir, yang rasional dan objektif, sehingga kita mendapatkan gambaran
yang lebih komprehensif berkenaan dengan latar belakang lahirnya suatu penafsiran dan sekaligus dapat
dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam mengembangkan penafsiran al-Quran pada periode-
periode selanjutnya.

D. Metode Tafsir Maudhû’iy


Metode tafsir maudhû’iy juga disebut dengan dengan metode tematik yaitu menghimpun ayat-ayat al-
Quran yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti, sama-sama membicarakan satu topik masalah
dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai
memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir
melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhû’iy, dimana ia melihat ayat-ayat tersebut dari
seluruh seginya, dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas
untuk menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan
mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang
terdalam dan dapat menolak segala kritik.

1. Cara Kerja Tafsir Maudhû’iy

Al-Farmawi di dalam kitab Al-Bidâyah fî al-Tafsir al-Maudhû’iy secara rinci mengemukakan cara kerja
yang harus ditempuh dalam menyusun suatu karya tafsir berdasarkan metode ini. Antara lain adalah
sebagai berikut:

· memilih atau menetapkan masalah al-Quran yang akan dikaji secara maudhû’iy (tematik)

· melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat
Makkiyyah dan Madaniyyah

· menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai
pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbâb an-nuzûl.

· mengetahui korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya.

· menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (outline).

· melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan
menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.

· mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-
ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian ‘âm dan khash, antara
yang muthlaq dan yang muqayyad, menyingkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif,
menjelaskan ayat nâsikh dan mansûkh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa
perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang
kurang tepat.

· menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Quran terhadap masalah yang dibahas

2. Bentuk kajian Tafsir Maudhû’iy

Di sini tafsir maudhû’iy mempunyai dua bentuk, yaitu: Tafsir yang membahas satu surat secara
menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan
korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang
betul-betul utuh dan cermat. Menurut M. Quraish Shihab, biasanya kandungan pesan suatu surah
diisyaratkan oleh nama surah tersebut, selama nama tersebut bersumber dari informasi Rasulullah
s.a.w.. Ia mencontohkan surah al-Kahfi, yang secara harfiah berarti gua. Gua itu dijadikan tempat
berlindung oleh sekelompok pemuda untuk menghindar dari kekejaman penguasa zamannya. Dari ayat
tersebut dapat diketahui bahwa surah itu dapat memberi perlindungan bagi yang menghayati dan
mengamalkan pesan-pesannya. Itulah pesan umum surah tersebut. Ayat atau kelompok ayat yang
terdapat di dalam surah itu kemudian diupayakan untuk dikaitkan dengan makna perlindungan itu.

Tafsir maudhû’iy dalam bentuk pertama ini sebenarnya sudah lama dirintis oleh ulama-ulama tafsir
periode klasik, seperti Fakhr ad-Din al-Razi. Namun, pada masa belakangan beberapa ulama tafsir lebih
menekuninya secara serius. Tafsir yang menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama
membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di
bawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhû’iy. Bentuk kedua inilah yang lazim
terbayang di benak kita ketika mendengar istilah tafsir maudhû’iy itu diucapkan. Upaya mengaitkan
antara satu ayat dengan ayat yang lainnya itu pada akhirnya akan mengantarkan mufassir kepada
kesimpulan yang menyeluruh tentang masalah tertentu menurut pandangan al-Quran. Bahkan melalui
metode ini, mufassir dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di dalam benaknya dan
menjadikannya sebagai tema-tema yang akan dibahas dengan tujuan menemukan pandangan al-Quran
mengenai hal tersebut.

Contoh: ayat-ayat khusus mengenai harta anak yatim terdapat pada ayat-ayat di bawah ini:

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga
sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan
beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, maka
hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS al-An’âm, 6:152).

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang
baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya
tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar”. (QS an-Nisâ, 4’: 2)

Dan surat QS an-Nisâ, 4’: 10 dan 127.

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”

“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu
tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Quran (juga memfatwakan) tentang para
wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang
kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah
menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang
kamu kerjakan, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.”

3. Kitab-Kitab Tafsir Yang Menggunakan Metode Maudhû’iy


Sebagian kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode maudhu’iy ini adalah: Al-Mar’ah fî al-Qurân dan
Al-Insân fî al-Qurân al-Karîm karya Abbas Mahmud al-Aqqad; Ar-Ribâ fî al-Qurân al-Karîm karya Abu
al-‘A’la al-Maududiy; Al-Washâyâ al-‘Asyr karya Syaikh Mahmud Syalthut; Tema-tema Pokok al-Quran
karya Fazlur Rahman; dan Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat karya M.
Quraish Shihab.

4. Kelebihan dan Kekurangan Metode Maudhû’iy

a. Kelebihan Metode Maudhû’iy

· hasil tafsir maudhû’iy memberikan pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan hidup


praktis, sekaligus memberikan jawaban terhadap tuduhan/dugaan sementara orang bahwa al-quran
hanya mengandung teori-teori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata.

· sebagai jawaban terhadap tuntutan kehidupan yang selalu berobah dan berkembang,
menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap al-Quran.

· studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu topik tertentu juga merupakan jalan terbaik dalam
merasakan fashâhah dan balâghah al-Qurân.

· kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan secara lebih mendalam dan lebih terbuka.

· tafsir maudhû’iy lebih tuntas dalam membahas masalah.

b. Kekurangan Metode Maudhû’iy

· Mungkin melibatkan pikiran dalam penafsiran terlalu dalam.

· Tidak menafsirkan segala aspek yang dikandung satu ayat, tetapi hanya salah satu aspek yang
menjadi topik pembahasan saja.

5. Urgensi Metode Maudhû’iy

Di depan telah penulis singgung bahwa tafsir dengan metode maudhû’iy lebih dapat diandalkan untuk
menjawab permasalahan kehidupan di muka bumi ini. Itu berarti, metode ini besar sekali artinya dalam
kehidupan umat agar mereka dapat terbimbing ke jalan yang benar sesuai dengan maksud
diturunkannya al-Quran. Berangkat dari pemikiran yang demikian, maka kedudukan metode ini menjadi
semakin kuat di dalam khazanah intelektual Islam. Oleh karenanya metode ini perlu dimiliki oleh para
ulama, khususnya oleh para mufassir atau calon mufassir agar mereka dapat memberikan kontribusi
menuntun kehidupan di muka bumi ini ke jalan yang benar demi meraih kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.

2.5 Tokoh Mufassir dan Karyanya

At- Tabhary
Abu Ja'far, Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabariy. Beliau lahir di Baghdad tahun 224 H dan wafat
310 H. ia merupakan ahli tarikh sekaligus ahli tafsir yang terkemuka. Diantara kitab-kitabnya yang
terkenal ialah Tafsir Jami’ul Bayan, yang mencerminkan keluasan ilmunya dan ketinggian
penyelidikannya.[16]

Ibnu Katsir

Nama lengkapnya ialah Imaduddin Abul Fida Ismail bin Umar bin Katsir Asy-Syafii. Beliau ialah seorang
imam, hafidz dan sejarawan. Lahir pada tahun 701 H dan wafat tahun 774 H. Kitab tafsirnya ialah Tafsir
Quranul Adhim atau yang dikenal dengan sebutan Tafsir Ibnu Katsir sebanyak 4 jilid.

Al-Qurtuby

Imam Abu 'Abdillâh, Muhammad bin Ahmad bin Farh al-Anshâriy al-Khazrajiy al-Andalusiy al-Qurthubiy.
Beliau lahir di Cordova (Andalusia) pada tahun 486 H dan wafat di Maushul tahun 671 H. Judul kitab
tafsirnya ialah Al-Jâmi' Li Ahkâm al-Qur`ân.[17]

As Suyuthi

Nama lengkapnya, Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Muhammad As-Suyuthi. Lahir pada tahun
849 H dan wafat tahun 911 H. beliau termasuk pakar sejarah dan ilmu Bahasa arab. Kitab tafsir
susunannnya sangat terkenal yakni Tafsir Jalalain.

As-Sa’di

Beliau adalah Abu ‘Abdillah, ‘Abdurrahman bin Nashir bin ‘Abdullah bin Nashir as-Sa’dy at-Tamimy al-
Qashimy, al-‘Allamah, seorang Mufassir dan ahli fiqih, pengarang banyak buku. Kitab tafsirnya berjudul
Tafysiir al-Kariim ar-Rahmaan Fii Tafsiir Kalaam al-Mannaan.[18]

Az-Zamakhsyari

Beliau adalah Abu al-Qasim, Mahmud bin ‘Umar bin Muhammad al-Khawarizmi, al-Hanafi, penganut
aliran Muktazilah, yang dijuluki Jaarullah. Ia lahir ada tahun 467H dan wafat tahun 538 H. Kitab yang
beliau susun ialah Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil. [19]

Al-Baghawiy

Ia adalah Abu Muhammad al-Husayn ibn Mas'ud ibn Muhammad al-Farra' al-Baghawi lahir 1122 M dan
wafat pada bulan Syawal tahun 516 H. di Marw ar-Rud, di kuburkan di samping makam gurunya (al-Qadi
Husen), Beliau terkenal sebagai Mufassir, ahli Hadis dan Faqih bermadzhabkan al-Syafi'i. kitab tafsir
susunanya ialah Ma'âlim at-Tanzîl.[20]

Muhammad Rasyid Ridho

Muhammad Rasyîd bin ‘Aly Ridla bin Muhammad Syams ad-Dîn bin Minla ‘Aly Khalîfah al-Qalmûny al-
Baghdâdy al-Hasany (dinisbahkan kepada al-Hasan bin ‘Aly), pemilik majalah al-Manâr dan termasuk
seorang Da’i yang Mushlih (reformis) dan Mujaddid. Lahir di Kalmun pada tahun 1283 H dan wafat
tahun 1353 H. Nama kitab tafsirnya adalah Tafsir al-Qur`ân al-Hakîm dan lebih dikenal dengan nama
Tafsir al-Manâr. Namun sayang tafsir ini tidak rampung dan hanya sampai pada surat Yûsuf, ayat 101.
[21]

Ibn Athiyyah Al-Muharibi

Ia lahir di Granada pada tahun481 H. Dalam menulis tafsir, beliau terkadang mengutip pemikiran ath-
Tabrany dalam tafsir Jami’ al-Bayan juga dari tafsir al-Mahdawi yang berjudul at-Tafsir al-Jami’ li Ulum
at-Tanzil.

2.6 Syarat-syarat Mufassir

Syarat-syarat yang harus dimiliki mufassir adalah sebagai berikut:

1. Mempunyai Aqidah yang Benar.

Aqidah berpengaruh besar bagi mufassir. Apabila seorang mufassir beraqidah jelek, maka kemungkinan
ia akan mengubah nash-nash dan akan berhianat dalam meriwayatkan berita, ia akan mena’wilkan ayat-
ayat yang bertentangan dengan aqidahnya serta akan menjuruskan tafsirnya kepada madzhabnya yang
batal.

2. Tidak Dipengaruhi Oleh Hawa Nafsunya.

Hawa nafsunya kadang-kadang mengajak mufassir itu untuk membela madzhabnya. Kemudian mereka
menipu manusia dengan perkataan-perkataan yang indah seperti yang dilakukan oleh Madzhab
Qadariyah, Rafidlah, Mu’tazilah dan lain-lain.

3. Mengetahui ilmu Bahasa Arab dan Cabang-cabangnya.

Seorang yang akan menafsirkan al-Qur’an wajib menguasai ilmu bahasa Arab, karena bahasa Arab
merupakan bahasanya al-Qur’an. Ilmu bahasa Arab memiliki beberapa cabang, dan yang terpenting di
antaranya adalah: Ilmu nahwu, Ilmu Sharaf, Isytiqaq dan Ilmu Balaghah.

4. Menguasai ilmu ushul fiqih

Dengan ilmu ini, dapat diketahui bagaimana cara menggunakan dalil (dalam hal ini adalah al-Qur’an),
yang dari dalil tersebut bisa diambil kesimpulan hukum tentang suatu perkara.

5. Menguasai ulumul Qur’an.

Di antara cabang ulumul Qur’an yang wajib dikuasai oleh seorang mufassir adalah: Ilmu qiraat, Ilmu
asbabun nuzul, Ilmu nasikh-mansukh dan Ilmu qashashul Qur’an.

6. Mendalamnya faham yang memungkinkan mufassir itu mentarjihkan suatu makna atas makna yang
lain, atau mengistinbathkan makna yang sesuai dengan nash-nash syari’ah.
7. Mengetahui hadits-hadits Nabi yang berisi tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Orang yang paling
memahami al-Qur’an adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, agar seorang mufassir tidak
menyimpang tafsirnya, ia wajib mengetahui hadits-hadits Nabi yang terkait dengan ayat yang ingin ia
tafsirkan.

8. Mengetahui tafsir shahabat

Setelah Nabi, para shahabat lah yang paling mengetahui al-Qur’an, karena mereka hidup di masa
turunnya al-Qur’an, hari-hari mereka dihabiskan dengan bersama Rasul, sang penerima wahyu. Jadi,
seorang mufassir wajib mengetahui tafsir para shahabat, dan menjadikannya sumber ketiga dalam
penafsiran al-Qur’an setelah al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW.

2.7 Corak Penafsiran Alquran

Corak penafsiran dalam literatur sejarah tafsir biasanya diistilahkan dalam bahasa Arab yaitu “al-laun”
yang arti “dasarnya warna”.[22] Corak penafsiran yang dimaksud ialah nuansa khusus atau sifat khusus
yang memberikan warna tersendiri pada tafsir.[23]

Ada 7 corak penafsiran yang relatif digunakan para mufasir dalam menafsirkan Al-Quran:

1. Tafsir Bercorak Sufi

Tafsir bercorak sufi ialah tafsir dengan kecenderungan mentakwilkan Al-Quran selain dari apa yang
tersirat, dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada ahli ibadah.[24]

Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak
terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. [25]

Dalam perjalanannya, tafsir ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:

a. Tafsir Sufi Isyari, yaitu penafsiran Al-Quran dalam bentuk takwil, yakni penafsiran yang bersifat
batini. Penafsiran ini dapat diuji validitasnya ketika dibuktikan kesesuaiannya antara penafsiran yang
batini dengan kenyataan lahiriah.

b. Tafsir Sufi Nadzari, yaitu tafsir yang dibangun atas premis-premis ilmiah yang diterapkan dalam
penafsiran Al-Quran. Sedangkan Tafsir Sufi Isyari tidak dibangun atas dasar premis-premis ilmiah. Ia
dibangun atas dasar riyadhah ruhiyyah, yaitu latihan-latihan spiritual yang dilakukan seorang sufi hingga
ia mencapai tingkat menemukan petunjuk melalui hati nuraninya.

Salah karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah

1) Tafsir Al-Quran al-Karim, karya Sahl al-Tustari (w.283 H);

2) Haqa‟iq al-Tafsir, karya Abu Abd al-Rahman al-Sulami (w.412 H);

3) Latha‟if al-Isyarah, karya al-Qusyairi, dan


4) Ara‟is al-Bayan fī Haqa‟iq al-Qurann, karya al-Syirazi (w.606).[26]

2. Tafsir Bercorak Fiqh

Tafsir bercorak fiqh ialah kecenderungan tafsir dengan metode fiqh sebagai basisnya, atau dengan kata
lain, tafsir yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqh, karena fiqih sudah menjadi minat dasar mufasirnya
sebelum dia melakukan usaha penafsiran.[27]Tafsir semacam ini seakan-akan melihat Al-Quran sebagai
kitab suci yang berisi ketentuan perundang-undangan, atau menganggap Al-Quran sebagai kitab hukum.
[28]

Corak fiqih atau hukum, timbulnya akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab
fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-
penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.[29] Faktor yang cukup mencolok berkaitan dengan
kemunculan corak tafsir fiqh adalah karya-karya yang menampilkan pandangan fiqh yang cukup
sektarian, ketika kita menemukan tafsir fiqh sebagai bagian dari perkembangan kitab-kitab fiqh yang
disusun oleh para pendiri madzhab. Meskipun begitu, ada pula sebagian yang memberikan analisis
dengan membandingkan perbedaan pandangan madzhab yang mereka anut.[30]Contoh : Abu as-Su’ûd
Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi, Irsyâd al-‘Aql as-Salîm Ilâ Mazâya al-Kitâb al-Karîm;[31]

3. Tafsir Bercorak Lughowi

Tafsir bercorak Lughawi adalah sebuah tafsir yang cendrung kebidang bahasa. Penafsirannya meliputi
segi irab, harakat, bacaan, pembentukan kata, susunan kalimat dan kesusastraannya. Tafsir semacam ini
selain menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat Al-Quran juga menjelaskan segi-segi kemukjizatannya.[32]

Corak sastra bahasa timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat
kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk
menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an. Contoh:
Abu as-Su’ûd Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi, Irsyâd al-‘Aql as-Salîm Ilâ Mazâya al-Kitâb al-Karîm;
[33]

4. Tafsir Bercorak Sosial Masyarakat

Tafsir ini adalah tafsir yang memiliki kecenderungan kepada persoalan sosial kemasyarakatan. Tafsir
jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan kebudayaan
masyarakat yang sedang berlangsung. Corak tafsir ini berusaha memahami teks Al-Quran dengan cara,
pertama dan utama, mengemukakan ungkapan-ungkapan Al-Quran secara teliti, selanjutnya
menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh Al-Quran tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan
menarik, kemudian berusaha menghubungkan nash-nash Al-Quran yang tengah dikaji dengan kenyataan
sosial dan sistem budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan
teknologi, dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya
sebatas kebutuhan. [34]

5. Tafsir Bercorak Filsafat


Tafsir bercorak falsafi ialah kecenderungan tafsir dengan menggunakan teori-teori filsafat, atau tafsir
dengan dominasi filsafat sebagai pisau bedahnya. Tafsir semacam ini pada akhirnya tidak lebih dari
deskripsi tentang teori-teori filsafat .[35] Dalam melakukan tafsir Falsafi, dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu: pertama dengan metode takwil atas teks-teks agama dan hakikat umumnya yang sesuai
dengan pandangan-pandangan filosofis. Dan yang kedua dengan Metode pensyarahan teks-teks agama
dan hakikat hukumnya berdasarkan pandangan-pandangan filosofis. [36]

Corak teologi dan atau filsafat, timbulnya akibat penerjmahan kitab filsafat yang mempengaruhi
sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar
atau tanpa sadar masih mempecayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya
menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.[37]

Ada beberapa kitab tafsir falsafi seperti :

1) Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H),

2) Al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)

3) Rasail Ibn Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H)[38]

6. Tafsir Bercorak Ilmu

Tafsir bercorak Ilmu adalah kecenderungan menafsirkan Al-Quran dengan memfokuskan penafsiran
pada kajian bidang ilmu pengetahuan, yakni untuk menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan Ilmu
dalam Al-Quran.[39]

Corak penafsiran Ilmu, timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha mufasir untuk memahami
ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu. Contoh: Asy-Syaikh Thanthâwi Jauhari (w. 1358
H), al-Jawâhir fî Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm;[40]

7. Tafsir Bercorak Teologi (Kalam)

Tafsir bercorak Teologi (Kalam) ialah tafsir dengan kecendrungan pemikiran Kalam, atau tafsir yang
memiliki warna pemikiran kalam. Tafsir semacam ini merupakan salah satu bentuk penafsiran Al-Quran
yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok Teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan
tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang Teologi tertentu. Paling tidak tafsir model ini
akan lebih banyak membicarakan tema-tema Teologis dibandingkan mengedepankan pesan-pesan
pokok Al-Quran. Salah satu kitab tafsir yang bercorak Teologi adalah Tafsir Mu‟tazilah.[41]

2.8 Contoh Ayat Tafsir dan Ta’wil

2.8.1 Contoh Ayat Tafsir

Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah/Hadits

Contoh Surat Al-An’am ayat 82:


‫الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم األمن وهم مهتدون‬

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka
itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk”

Kata “al-zulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh Rasul Allah saw dengan pengertian “al-syirk”
(kemusyrikan).

2.8.2 Contoh Ayat Takwil

Menurut Az-Zuhaili, di antara contoh takwil ialah taqyîd al-muthlaq (pemberian batasan/syarat pada
nash yang mutlak), takhshîsh al-‘âmm (pengkhususan nash yang umum), dan pengalihan nash umum
dari maknanya yang umum ke makna khusus. Az-Zuhaili lalu mencontohkan takwil Imam Asy-Syafi’i
terhadap firman Allah Swt.:

‫َوالَ يُ ْب ِدينَ ِزينَتَه َُّن إِالَّ َما ظَهَ َر ِم ْنهَا‬

Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. (QS an-Nur [24]:
31).

Frasa illâ mâ zhahara minhâ asalnya bermakna umum (kecuali yang tampak darinya). Lalu Imam Asy-
Syafi’i menakwilkannya dengan, “illâ al-wajh wa al-kaffayn” (kecuali wajah dan dua telapak tangannya).
Takwil ini berdasarkan hadis yanhg dituturkan Aisyah ra. bahwa Nabi saw. pernah berkata kepada Asma’
binti Abu Bakar:

َ ‫يض لَ ْم تَصْ لُحْ أَ ْن ي َُرى ِم ْنهَا إِالَّ َه َذا َوهَ َذا َوأَش‬
«‫َار إِلَى َوجْ ِه ِه َو َكفَّ ْي ِه‬ َ ‫ت ْال َم ِح‬
ِ ‫»يَا أَ ْس َما ُء إِ َّن ْال َمرْ أَةَ إِ َذا بَلَ َغ‬

Hai Asma’, sesungguhnya wanita itu, jika sudah haid, tidak pantas dilihat darinya kecuali ini dan ini (Nabi
saw. menunjuk pada wajah dan kedua telapak tangannya). (HR Abu Dawud).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang patut kita pelajari. Metodologi tafsir Al-Qur’an adalah salah satu
cara untuk mengkaji, memahami dan menguak lebih jauh maksud dan kandungan dari ayat-ayat Al-
Qur’an. Metode tafsir yang adapun sangat beragam model, bentuk dan pendekatannya. Adalah suatu
hal yang sangat penting bagi kita untuk mengetahui dan memahami macam-macam metode tafsir ayat
Al-Qur’an yang ada dengan berbagai macam pendekatannya, jika hal ini telah kita ketahui, maka ayat-
ayat Al-Qur’an semakin hidup dan mampu untuk menjawab segala persoalan masyarakat yang
berkembang begitu cepat. Hal ini semakin mempertegas bahwa Al-Qur ’an adalah wahyu Allah yang
menjadi rujukan dan sumber utama semua umat Islam.

Wallahu A’lam.

DAFTAR PUSTAKA

http://amirsabri.blogspot.co.id/2015/01/muhkam-dan-mutasyabih-a.html?m=1. Januari 2015. Muhkam


dan Mutasyabih. 09 September 2017.
https://ebdaaprilia.wordpress.com/2013/05/21makalah-ulumul-quran-muhkam-mutasyabih/. 21 Mei
2013. Ulumul Qur’an(Muhkam Mutasyabih). 09 September 2017.

https://muslim.or.id/28026-apa-yang-dimaksud-dengan-muhkam-dan-mutasyabih-dalam-al-quran.html.
11 Mei 2016. Apa yang Dimaksud dengan Muhkam dan Mutasyabih dalam Al Qur’an? 09 September
2017.

https://www.abufurqan.net/syarat-menjadi-mufassir/

Iqbal, Mashuri Sirojuddin., dan A. Fudlali. 1987. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: ANGKASA Bandung.

Saiful Amin Ghofur. 2007. Profil Para Mufasir Al-Qur’an.Yogyakarta: Insan Madani.

https://mafhum.wordpress.com/2009/10/29/antara-tafsir-dan-takwil/

http://azistakata.blogspot.co.id/2014/03/contoh-makalah-tafsir-tawil-dan_23.html

http://gemakreatif.blogspot.co.id/2009/06/tafsir-dan-tawil.html

Izzan, Ahmad, 2011. Metodologi Ilmu Tafsir: Bandung :Tafakur

Mustaqim, Abdul, 2005, Aliran Aliran Tafsir, dari Periode Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta :
Kreasi Warna

Kholid, Abdul,2003, Kuliah Madzahib Al Tafsir. IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin.

Ilyas, Yunahar, 2014, Kuliah Ulumul Quran. Yogyakarta : ITQAN Publishing

Al-hay Al Farmawi, Abdul, 1996, Metode Tafsir Maudhu’i, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai