- Kata “ ”ال َفسْ رdan “ ”ال َّت ْفسِ يْرdua kata yang berdekatan makna dan lafadznya.
- Yang pertama ( )ال َفسْ رuntuk menunjukkan arti menampakkan (mendzahirkan) makna
yang abstrak
- Yang kedua ( )ال َّت ْفسِ يْرuntuk menampakkan benda kepada penglihatan mata
Abu Hayyan: Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Al-
Qur’an, indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang independen
maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang
berkaitan dengan kondisi struktur lafazh yang melengkapinya
- Menurut Az-Zarkasyi:
Ilmu yang untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, menerangkan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.
TA’WIL
1. Suatu makna yang menjadi tempat kembali perkataan pembicara, atau suatu makna
yang kepadanya kembali suatu ka;am dikembalikan. Dan akan ini biasanya merujuk
kepada makna aslinyayang merupakan esensi yang yang dimaksud.
Kalam ada 2 macam; insya’ dan ikhbar. Diantara khabar insya adalah kalimat perintah
- Ta’wilul amr: perbuatan yang diperintahkan. Misal: hadits yang diriwayatkan dari
Aisyah ra, berkata: “adalah Rasulullah SAW membaca di dala ruku’ dan sujudnya:
“Dan sungguh Kami telah datangkan Kitab (Al-Qur’an) kepada mereka yang Kami
telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan kami, menjadi petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman. Tiadalah mereka menungu-nunggu kecuali ta’wilnya… (Q.S. Al-A’raf:
52-53)
Ta’wilnya artinya datangnya apa yang diberitakan Al-Qur’an, bahwa itu kan
terjadi, seperti hari Kiamat dan tanda tandanya serta segala apa yang ada di
akhirat berupa buku catatan, mizan, surga, neraka, dll.
Pengertian inilah yang dimaksud oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari: pendapat tentang
ta’wil terhadap firman Allah ini… begini ..dan begitu.. Dan kata ahli ta’wilerbeda
pendapat tentang ayat ini. Maka yang dimaksud dengankata ta’wil disini adalah
tafsir.
Az-Zarkasyi berkata:
Ibnu Faris menjelaskan, makna-makna ungkapan yang menggambarkan sesuatu
itu kembali kepada 3 kata: makna, tafsir, dan ta’wil.
Makna: apa yang dimaksud dan dituju. Contoh: yang aku maksdu dengan
perkataan ini adalah begini
Ta’wil: menurut bahasa berasal dari kata aul. Misalnya: Apa ta’wil perkataan ini?
Artinya: sampai dimanakah pengaruh yang dimaksud oleh perkataan ini.
Contoh :
2. Bila kita berpendapat bhw ta’wil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan,
maka ta’wil dari thalab (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri, dan
ta’wil dari khabar adalah esensi sesuatu yang diebritakan , maka, perbedaan antara tafsir
dan ta’wil cukup besar.
Sebab tafsir merupakan syarah/penjelasan bagi suatu perkataan dan penjelasan ini berada
dalam pikiran dengan cara memahaminya dan dalam lisan dengan ungkapan yang
menunjukkannya.
Sedang ta’wil ialah esensi sesuatu yang berada dalam realita (bukan dalam
pikiran)
Contoh:
jika dikatakan “matahari telah terbit”, maka ta’wil ucapan ini adalah terbitnya
matahari itu sendiri.
3. Tafsir: apa yang telah jelas di dalam Kitabullah atau tertentu (pasti) dalam Sunnah yang
shahih karena maknanya telah jelas dan gamblang.
Karena itu sebagian ulama mengatakan tafsir adalah apa yang berhubungan
dengan riwayat, sedangkan ta’wil adalah apa yang berhubungan dengan dirayah (akal)
4. Tafsir: lebih banyak dipergunakan dalam menerangkan lafazh dan mufradat (kosa kata).
Ta’wil: lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat.
Ilmu yang paling mulia obyek pembahasan dan tujuannya seta dibutuhkannya.
- Tujuan: berpegang teguh pada tali yang kokoh dn mencapai kebahagian hakiki
HALAMAN 45
HALAMAN 108
1. corak tafsir,
2. metode tafsir
3. bentu-bentuk tafsir.
Bentuk tafsir yang dimaksudkan adalah apakah kemungkinan tafsir tersebut berpatokan
pada bentuk tafsir bi al-Ma’sur / bi arRa’yi.
Sedangkan metode yang dimaksud adalah ijmali, tahlili, muqaran atau maud’ui
a) bunga atau gambar (ada yang berwarna-warna) pada kain (tenunan, anyaman, dsb).
b) Berjenis-jenis warna pada warna dasar (tentang kain, bendera, dan sebagainya.
Nasarudin mengemukakan corak-corak tafsir kedalam ilmu fiqih, tasawuf, filsafat dan al-
adab bi al-Ijtima’ atau Lugawi
1. CORAK LUGHAWI
Tafsir lughawi adalah tafsir yang mencoba menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan
menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan. Seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an
dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu
bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan
sastranya. Ahmad Syurbasyi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sharaf,
etimologi, balaghah dan qira’at) sebagai syarat utama bagi seorang mufassir. Di sinilah,
urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an.
Tafsir dengan corak bahasa ini biasanya berjudul tidak jauh dari kata Majaz al-Qur’an,
Ma’ani al-Qur’an, Garib al-Qur’an dan Musykil al-Qur’an.
a. Ma’ani al-Qur’an karya Abi Zakariyya Yahya Ibn Ziyad Al-Farra’ (Wafat. 207
H/822M).
b. Majaz al-Qur’an karya Abu Ubaydah Ma’mar Ibn al-Masna (Wafat. 210 H/825 M)
c. Ma’ani al-Qur’an karya Abi Hasan Sa’ide Ibn Mas’ad, terkenal dengan al-Akhfas
(Wafat. 215 H)
d. Garib al-Qur’an dan Ta’wil Musykil al-Qur’an karya Abi Muh ammad Abdillah Ibn
Muslim Ibn Qutaibah (Wafat. 276 H)
Corak penafsiran ini memang sangat tekstualis dalam arti sangat tergantung pada teks.
Corak ini membantu kita untuk menelusuri makna-makna asal sebuah kata serta
penggunaan awalnya dan menentukan posisi kata.
Mu’tazilah adalah aliran rasionalis yang berorientasi dan berargumen tentang kehendak
bebas, sedangkan aliran tradisionalis berposisi dan menegaskan tentang kehendak Allah.
Sedangkan Asy’ariyah berposisi di antara kedua aliran tersebut
Tafsir teologis adalah satu bentuk penafsiran alQur’an yang tidak hanya ditulis oleh
simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang
dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis tertentu.
Sehingga dalam pembahasan model penafsiran ini lebih banyak membicarakan tema-tema
teologis dibanding mengedepankan pesan-pesan pokok al-Qur’an.
Pendeknya, tafsir teologis adalah tafsir yang muatannya mengandung suatu kepentingan
subjektifitas penafsir yang sangat mencolok. Dalam perkembangannya, bias ideologi dari
beberapa aliran yang ada pada waktu itu sudah muncul, seperti Sunni, Syiah, Khawarij,
Murjiah, Jabbariyah, dan Qadariyah
Corak penafsiran ini menuai banyak keritikan termasuk diantaranya adalah Manna’ al-
Qattan. Dia mengatakan bahwa itulah implikasi dari pemahaman yang cenderung subjektif
tanpa memperhatikan maksud dari teks.
b). Az-Zamakhsyari (w. 538 H) dalam al-Kasyaf ‘an Haqa’iq atTanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi
Wujuh at-Ta’wi
Ada yang menyebutnya dengan corak sufi, tafsir Isyari, tafsir batini, tafsir esoteris, dan
juga ta’wil. Kemunculan corak penafsiran ini seiring dengan lahirnya sufism, Islam sebagai
sebuah gerakan yang terpisah pada abad II Hijriyah atau VIII M, yang secara bertahap,
berkembang menjadi ordo-ordo sufi yang berada di seluruh wilayah muslim
Tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang kecenderungannya mencari hukum-hukum fikih di
dalam ayat-ayat al-Qur’an. Corak ini memiliki kekhususan dalam mencari ayat-ayat yang
secara tersurat maupun tersirat mengandung hukum-hukum fikih.
Di antara karya para mufassir yang memiliki kecenderungan tafsir fiqhi> adalah:
a. Ahkam al-Qur’an karya al-Jashshash yang memiliki corak fikih madzhab Hanafi
b. Tafsir al-Kabir atau Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi yang memiliki corak fikih
madzhab Shafi’i
c. al-Ja>mi’ li Ahkam al-Qur’a> karya Abu Abdullah al-Qurt}ubi> yang memiliki corak fikih
madzhab Maliki>
Tafsir Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiyah atau
menggali kandungan al-Qur’an berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan.
Menurut alDhahabi tafsir ilmi adalah tafsir yang menghimpun idiom-idiom ilmiah yang ada
dalam ungkapan bahasa al-Qur’an dan berusaha mengungkap berbagai ilmu pengetahuan
dan beberapa pendapat mengenai filsafat dari ungkapanungkapan tersebut.
T{ant}awi> Jauhari> salah seorang ulama tafsir ilmi menafsirkan ayat di atas dengan
mengatakan: nah ini sekarang Anda baru tahu apa yang telah diungkap oleh al-Qur’an
selama ratusan tahun, bahwa sesungguhnya langit dan bumi, yakni matahari dan pelanet
dan semua komponen alam semesta pada awalnya menyatu, kemudian Allah
memisahkannya.
Kami menyebut hal ini dengan mukjizat, karena pengetahuan seperti ini belum ada yang
mengetahuinya kecuali pada zaman sekarang ini, bukankah Anda menyaksikan para ulama
tafsir mengatakan, pada masa itu orang-orang kafir tidak mengetahui disiplin ilmu ini, dan
jawaban mereka atas hal itu adalah bahwa orang-orang kafir diuji dalam ayat ini, dan ayat
ini menjadi bukti ketidaksanggupan mereka untuk mengetahuinya, karena hal itu belum
diciptakan.
Maka kemudian, para ulama dengan kecerdasan yang mereka miliki menafsirkan dengan
berbagai penafsiran, sekarang kita bisa menemukan pengetahuan yang tersimpan ini telah
Allah munculkan melalui orang-orang Eropa, sebagaimana disampaikan al-Qur’an dalam
ayat ini.
Allah seakan berfirman: orang-orang kafir itu akan melihat bahwa langit dan bumi pada
mulanya menyatu kemudian Kami belah keduanya, meski dalam ayat ini disebutkan
dengan menggunakan lafaz} yang bermakna lampau, namun yang dimaksud adalah masa
yang akan datang, sebagaimana firman Allah: ata> amrulla>
Pada masa kini, muncul corak penafsiran baru, yaitu tafsir adabi ijtima’i yang fokus
bahasannya adalah mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur'an secara teliti,
selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur'an tersebut dengan
gaya bahasa yang indah dan menarik, kemudian berusaha menghubungkan nas}-nas} al-
Qur'an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada
diungkap oleh al-Dhahabi, tafsir adabi ijtima’i mengungkap sisi bala>ghah dan
kemukjizatan al-Qur’an, mengungkap makna dan tujuan al-Qur’an, menyingkap hukum-
hukum alam raya dan norma- norma sosial masyarakat, memuat solusi bagi kehidupan
masyarakat muslim secara khusus dan masyarakat luas secara umum.