Alhamdulilah, segala puja dan puji serta rasa syukur yang sedalam-
dalamnya kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah yang berjudul: “CORAK PENAFSIRAN” ini disusun dalam
rangka tugas presentasi kelompok mata kuliah TAFSIR ADABI IJTIMAI
Penulis menyampaikan dan mengharapkan semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis, mahasiswa dan para pembaca semuanya. Namun
makalah ini tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan
selanjutnya.
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. III; Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), hal-220
2
Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, Maktaba Syamila Juz 13 hal. 393.
3
Al-Itqaan Fi Ulum Al-Quran,
Ath-Thabari menyebutkan dalam tafsirnya bahwa makna “tafsira” dalam
ayat ini adalah penjelasan dan perincian. Hal ini juga disebutkan oleh Jalaludin
As-Suyuti dalam tafsirnya.4
Kedua, berarti keterangan sesuatu (al-syarh), artinya pengembangan dan
perluasan dari ungkapan ungkapan yang masih sangat umum dan global, sehingga
menjadi lebih terperinci dan mudah dipahami dan dihayati.
Ketiga, kata tafsir berasal dari kata al-tafsirah, yang berarti alat-alat
kedokteran yang secara khusus digunakan untuk dapat mendeteksi atau
mengetahui segala penyakit yang diderita oleh pasien. Karena tafsirahadalah alat
yang digunakan untuk mengetahui penyakit yang menjangkit seorang penderita,
maka dalam hal ini tafsir adalah alat untuk mengeluarkan makna yang terkandung
dalam ayat-ayat Al-Quran.
Keempat, ia berasal dari kata al-fasr yang berarti penjelasan atau
keterangan. Maksudnya menjelaskan atau mengungkapkan sesuatu yang tidak
jelas.
Adapun ilmu tafsir menurut Istilah adalah: Tafsir adalah Ilmu untuk memahami
kitabullah yang di turunkan kepada Nabi MuhammadShalallahu Alaihi
Wasalam untuk menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hukum-hukumnya
dan hikmah-hikmahnya.
Al-Zarkasyi berkata “Tafsir adalah ilmu untuk memahami, menjelaskan
makna, dan mengkaji hukum-hukum serta hikmah hukum tersebut dalam al-
Qur’an5
Dari pengertian mengenai corak dan tafsir maka dapat disimpulkan bawa
corak tafsir adalah ragam, jenis dan kekhasan suatu tafsir. Dalam pengertian yang
lebih luas “Corak Tafsir’’ adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah
penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang
mufassir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Penggolongan
suatu tafsir pada suatu corak tertentu bukan berarti ia hanya memiliki satu ciri
khas saja. Setiap seorang mufasir menulis sebuah kitab tafsir sebenarnya telah
menggunakan banyak corak dalam tafsirnya tersebut, namun tetap saja ada corak
dominan yang ada pada hasil karyanya tersebut. Sehingga corak yang dominan
inilah yang menjadi dasar penggolongan tafsir tersebut.
B. Macam-macam Corak Tafsir
1. Tafsir Falsafi
a. Pengertian
Tafsir Falsafi atau disebut juga dengan tafsir Aqli adalah Tafsir al-Qur’an
yang beraliran filsafat atau rasional. Pada umumnya penafsiran ayat-ayat
difouskan kepada bidang filasafat dengan menggunakan jalan pemikiran secara
filsafat.6
Tafsir falsafi adalah upaya penafsiran al-Qur’an dikaitkan dengan
persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-
4
Imam Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Juz VI/ hal.387, Kairo : Maktabah Ibnu Taimiyah. Lihat
juga Tafsir Jalalain Al-Suyuti Maktabah Syamilah edisi Ketiga
5
Manna Al-Qathan, Mabahits Fii Ulum Al-Qur’an, hal. 317
6
Nailul Rahmi, Ilmu Tafsir, (Padang: IAIN IB Press Padang, 2010) h. 84-85
teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi
sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori
filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan
menggunakan filsafat. Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-
persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori filsafat.7
b. Karakteristik
Latar belakang lahirnya tafsir corak filsafat karena tokoh-tokoh Islam yang
membaca buku-buku falsafat. Dalam memahami filsafat tersebut para ulama
trbagi kepada dua golongan, sebagai berikut: pertama,golongan yang menolak
falsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan anatara falsafat dan
agama. Kelompok ini secara radikal menentang falsafat dan berupaya menjauhkan
umatnya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah al-Imam al-Ghazali dan al-Fakr al-
Razi. Dalam tafsirnya membeberkan ide-ide falsafat yang dipandang berentangan
dengan agama, khususnya dengan al-Qur’an, akhirnya ia dengan tegas menolak
falsafat berdasarkan alasan dan dalil yang ia anggap memadai.
Diantara yang bersikap keras dalam menyerang para filosof dan filsafat
adalah Hujjah al-Islam al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali. Karena ia mengaran
kitab Al-Isyarat untuk menolak paham mereka, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Imam Al-
Fakhr Al-Razy dalam kitab tafsirnya megemukakan paham mereka kemudian
membatalkan teori-teori filsafat mereka, karena dinilai bertentangan dengan
agamadan Al-Qur’an.
Kedua, golongan yang mengagumi dan menerima filsafat, kelompok ini
berupaya mengkompromikan atau mencari titik temu antara falsafat dan agama
serta berusaha untuk menyingkirkan segala pertentangan.
Di antara kitab-kitab tafsir yang ditulis berdasarkan corak falsafi, yaitu
golongan pertama yang menolak falsafat, adalah kitab tafsir Mafatih al-Ghiaib,
oleh al-Fakhr al-Razi (w. 606 H.). sedangkan golongan kedua adalah Tasir al-
Farabi (w. 239 H) dan Tafsir Ikhwanus Shafa. 8Tafsir yang menggunakan analisis
disiplin ilmu-ilmu filsafat. Al-Dzahabi ketika mengomentari perihal tafsir
falsafi antara lain menyatakan bahwa mnurut penyelidikannya dalam banyak segi
pembahasan-pembahasan filsafat bercampur dengan penafsiran ayat-ayat al-
Qur’an. Di antara contohnya ia menyebutkan penafsiran sebagian filosof yang
mengingkari kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw., dengan fisik di
samping ruhnya. Mereka hanya meyakini kemungkinanmi’raj Nabi Muhammad
Saw., hanya dengan ruh tanpa jasad. Contoh kitab tafsirnya adalah Mafatih al-
Ghayb karya Fakhr al-Din al-Razi.
Pada saat ilmu-ilmu agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-
kebudayaan Islam berkembang kepada gerakan penerjemahan buku-buku yang
diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Hal ini pula yang membawa Islam kepada
pengenalan terhadap filsafat terutama dari buku-buku karangan Aristoteles dan
Plato. Filsafat dianggap sebagai hal baru yang dapat mengeksplor pemikiran
mereka dan oleh karena mereka sangat gandrung akan model pemikiran semacam
7
Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah, (Bandung: Rosda Karya, 2000), h. 15
8
Nailul Rahmi, Ibid h. 84-85
ini, maka dari sinilah mengapa sebagian orang Islam menafsirkan al-Qur’an
dengan menggunakan pendekatan filsafat atau yang disebut dengan tafsir
falsafi. (Journal Menimbang Tafsīr Al-falsafī oleh : Dosen Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Ampel Surabaya voll –34-79).
Yang dimaksud dengan tafsir falsafi dalam tafsir al-Mizan fi tafsir al-
Qur’an adalah bagaimana para filosof membawa pikiran-pikiran filsafat dalam
memahami ayat-ayat al-Qur’an. Diantara tokohnya adalah Al-Farabi, Ibnu-Shina.
Sedang Thaba’ Thaba’i sendiri memasukkan pembahasan filsafat sebagai
tambahan dalam menerangkan suatu ayat atau menolak teori filsafat yang
bertentangan dengan al-Qur’an. Ia menggunakan pembahasan
9
filsafat hanya pada sebagian ayat saja.
c. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Falsafi
Dari penjelasan diatas penulis memberikan kesimpulan bahwa kelebihan
dan kekurangan Tafsir Falsafi adalah:
Kelebihan Tafsir Falsafi:
1. Membangun khazanah keislaman sehingga nantinyaakanmampu
mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek
filsafat.
2. Membangun abstraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi)
yang diangkat dari teks kitab suci untu dikomunikasikan lebih luas lagi
kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.
Kekurangan Tafsir Falsafi:
Cendrung membangun proposisi universal yang hanya berdasarkan logika
dan karena peran logika begitu mendominasi, maka corak ini kurang
memperhatikan aspek historisitas kitab suci.
2. Tafsir Fiqhi
a. Pengertian
Tafsir fiqhi, yaitu penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh tokoh suatu
madzhab untuk dijadikan sebagai dalil atas kebenaran
madzhabnya.Tafsir fiqhi banyak ditemukan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai
madzhab yang berbeda.10
Tafsir al-Fiqh yaitu penafsiran ayat-ayat Al-Qur’anyang khusus
mengandung hukum-hukum amaliyah bagi seorang muslim dalam kehidupannya
sehari-hari. Tafsir al-fiqh muncul bebarengan dengan lahirnya tafsir al-ma’tsur,
dan sama-sama dinukilkan oleh Nabi SAW tanpa perbedaan antara keduanya.
b. Karekteristik
Tafsir al-Fiqh muncul berbarengan dengan lahirnya al-Tafsir bi al-
Ma’tsur, dan sama-sama dinukilkan oleh Nabi SAW tanpa perbedaan antara
keduanya. Pada masa lahirnya mazhab fikih yang empat dan lainnya. Tatkala
menemukan kemskilan dalam memahami Al-Quran, para sahabat bertanya
kepada Nabi pun menjawab dengan dikategorikan sebagai tafsir bi al-
9
(http:www.ziddu.com/download/10281685/tafsirfalsafi.rar.html )
10
Mana’ul Quthan, Op Cit , h.198
ma’tsur juga dikategorikan sebagai tafsir fiqih. Tafsir Fiqih semakin berkembang
seiring dengan majunya itensitas ijtihad.
Pada masa lahirnya mazhab fikih banyak muncul masalah-masalah baru
yang belum ada ketentuan hukumnya pada masa ulama terdahulu. Karena hal
tersebut belum pernah terjadi pada zaman mereka, maka para imam pada zaman
ini terpaksa harus memecahkan persoalan-persoalan baru tersebut dengan merujuk
langsung kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah serta sumber hukum lainnya.
Oleh karena itu kita menemukan beberapa karya tafsir al-quran di
kalangan Ahl Sunnah yang semula obyektif kemudian terpengaruh juga oleh
fanatisme mazhab. Di kalangan mazhab al-zhahir terdapat pula tafsir al-fiqhi yang
berdasarkan kepada pengertian zhahir ayat-ayat al quran.
Tafsir Fiqhi ini tersebar luas di berbagai kitab fikih yang dikarang oleh
tokoh berbagai mazhab. Setelah masa kodifikasi, banyak ulama menulis karya
tafsir fiqhi sesuai dengan pandangan mazhab mereka. Diantara kitab-kitab tafsir
yang bercorak fiqhi ini adalah: Ahkam al-Quran, oleh al-Jash-shash (w. 370 H),
Ahkam al-Qur’an, karya Ibn al-Aarabi w.543 H) dan Al-Jami’ li Ahkam Al-
Qur’an, oleh al-Qurthuby (w. 671 H).11
c. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fiqih
Dari penjelasan diatas penulis memberikan kesimpulan bahwa kelebihan
dan kekurangan Tafsir Fiqih adalah:
Kelebihan Tafsir Fiqhi
Meskipun peluang terjadinya perbedaan pendapat dalam melakukan
penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi sangatlah besar, namun penafsiran
lewat pendekatan ini memiliki bebarapa kelebihan, diantaranya :
1. Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum
syari’at yang terdapat dalam al-Qur’an, hal ini menjadi titik tolak pemahaman
umat bahwa sesungguhnya al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tentang aspek
yang bersifat transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi ia juga
menjelaskan tentang aspek-aspek syari’ah, disisi lain juga memberitahukan
bahwa syari’ah atau hukum bukan semata-mata merupakan
produk fuqaha’akan tetapi telah menjadi bagian dari nash-nash al-Qur’an
bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan hidup manusia baik
individu maupun sosial.
2. Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk
mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-
hukum Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an setelah terjebak ke dalam
perbedaan mazhab dogmatis serius yang bersifat teoritis.
3. Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan fiqhi meskipun memberikan peluang
terjadinya perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetap
memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk
aturan dan hukum dalam kehidupan baik individu maupun social tetap harus
tunduk kepada al-Musyarri’ al-Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang mulia
kemudian kepada pembawa wahyu dan risalah yang kemudian dikenal
11
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Penerbit CV Pustaka Setia, 2008) h. 167-168
sebagai al-musyarri’ ats-Tsany ba’da Allah (Rasulullah Saw) melalui Sunnah
beliau demi kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
a. Tafsir fiqhi berusaha untuk membumikan al-Qur’an lewat pemahaman
ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat kauniyyah guna meberikan
penyadaran, pemberdayaan dan advokasi terhadap permasalahan
kehidupan manusia.
b. Tafsir fiqhi kendatipun beragam tetap memberikan kekayaan bagi
khazanah intelektual muslim dunia, sebab tanpa adanya penafsiran al-
Qur’an dalam bentuk ini, maka umat Islam secara khusus dan manusia
secara umum akan kehilangan akar hukum dan perundang-undangan yang
sesungguhnya.
12
http://putralalamping.blogspot.com/2013/05/tafsir-fiqhi.html
digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang
terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Ahmad Syurbasyi menempatkan
ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sharaf, etimologi, balaghah dan qira’at)
sebagai syarat utama bagi seorang mufassir. Di sinilah, urgensi bahasa akan
sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an.
b. Karakteristik
Sebelum menjelaskan jenis-jenis dan metode tafsir lughawi, perlu
diketahui bahwa tafsir lughawi dengan berbagai macam penyajian dan
pembahasannya tidak akan keluar dari dua kelompok besar yaitu:
1) Tafsir lughawi yang murni atau lebih banyak membahas hal-hal yang terkait
dengan aspek bahasa saja, seperti tafsir Ma’an al-Qur’an karya al-
Farra’, Tafsir al-Jalalain karya al-Suyuthi dan al-Mahally. Dll.
2) Tafsir lughawi yang pembahasannya campur-baur dengan pembahasan lain
seperti hukum, theology dan sejenisnya, sepertiTafsir al-Thabary li Ibn Jarir
al-Thabary, Mafatih al-Ghaib li al-Fakhruddin al-Razy, dan sebagian besar
tafsir dari awal hingga sekarang, termasuk Tafsir al-Mishbah yang disusun
oleh Quraish Shihab. Tafsir lughawi dalam perkembangannya, juga memiliki
beberapa macam bentuk dan jenis. Ada yang khusus membahas aspek nahwu,
munasabah dan balaghah saja dan ada pula yang membahas linguistik dengan
mengkelaborasikan bersama corak-corak yang lain.
Untuk lebih jelasnya tentang jenis dan macam-macam tafsir lughawi, akan
dijelaskan sebagai berikut:
1) Tafsir nahwu atau i’rab al-Qur’an yaitu tafsir yang hanya pokus
membahas i’rab (kedudukan) setiap lafal al-Qur’an, seperti kitabal-
Tibyan fi I’rab al-Qur’an karya Abdullah bin Husain al-‘Akbary (w. 616
H)
2) Tafsir Sharaf atau morpologi (semiotik dan semantik) yaitu tafsir lughawi
yang pokus membahas aspek makna kata, isytiqaq dan korelasi antarkata
seperti Tafsir al-Qur’an Karim karya Quraish Shihab, Konsep Kufr
dalam al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu.
3) Tafsir Munasabah yaitu tafsir lughawi yang lebih menekankan pada aspek
korelasi antar ayat atau surah, seperti Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat
wa al-Suwar karya Burhanuddin al-Buqa’y (w. 885), Mafatih al-
Ghaib karya Fakhruddin al-Razy (w. 606), Tafsir al-Mishbah karya
Quraish Shihab, dll.
4) Tafsir al-amtsal (alegori) yaitu tafsir yang cenderung mengekspos
perumpamaan-perumpamaan dan majaz dalam al-Qur’an seperti kitab al-
Amtsal min al-Kitab wa al-Sunnah karya Abdullah Muhammad bin Ali
al-Hakim al-Turmudzi (w. 585 H), Amtsal al-Qur’an karya al-Mawardi
(w. 450 H), Majaz al-Qur’an karya Izzuddin Abd Salam (w. 660 H)
5) Tafsir qir’ah yaitu tafsir yang membahas macam-macam qira’ah seperti
kitab Tahbir al-Taisir fi Qir’aat al-Aimmah al-‘Asyrahkarya Muhammad
bin Muhammad al-Jazry (w. 843 H).
6) Tafsir klasifikasi bahasa yaitu tafsir yang mengkaji lafal-lafal yang murni
bahasa arab dan yang tidak seperti kitab al-Muhadzzab fi Waqa’a fi al-
Qur’an min al-Mu’arrab karya Jalaluddin al-Suyuthi.
7) Dan tafsir-tafsir lughawi yang lain semisal tafsir Fawatih al-
Hijaiyyah dll.13
13
http://makalahratih.blogspot.com/2013/02/macam-macam-corak-tafsir.html
sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Para ulama ini menakwilkan ayat-
ayat al Qur’an tanpa mengikuti cara-cara yang benar. Penjelasan mereka
menyimpang dari pngertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh
dalil-dalil syara’ yang telah terbukti kebenarannya bila dilihat dari sudut
pandang bahasa.
2. Aliran tasawuf praktis, adalah cara hidup yang sederhana, zuhud dan sifat
meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah. ulama aliran ini menamai
karya tafsirnya dengan tafsir isyarat, yakni menakwilkan alquran dengan
penjelaskan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa
isyarat-isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang
menjalankan suluk(perjalanan menuju Allah), namun terdapat kemungkinan
untuk menggabungkan antara penafsiran tekstual dan penafsiran isyarat.
Di antara kitab-kitab tafsir sufistik ini adalah: Tafsir Al Qur’an Al Azhim,
karya Imam al Tusturi (w. 283 H), Haqa iq al tafsir, karya al allamah al Sulami
(w. 412 H), dan Arais Al Bayan fi Haqa iq al Qur’an,karya Imam al Syirazi (w.
283 H).14 Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan, sebagai berikut:
“Apa yang dkemukakan oleh tokoh-tokoh shufy tentang al Qur’an adalah
termasuk kedalam babisyarat terhadap pengertian rumit yang berhasil dingkapkan
oleh orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada
Allah dan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini termasuk
kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati. Mereka berkeyakinan bahwa
pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki. Tokoh-tokoh shufy
kita tidaklah sampai bersikap demikian, karena mereka menganjurka agar tetap
terpelihara penafsiran dan pengertian tekstual”. Lebih jauh Al-Alusy berkata:
”Tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya
belum mendalam mengingkari bahwa Al-Qur’an mempunyai bagian-
bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang maha pencipta dan maha
pelimpah kepada batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki. Al-Alusy berkata
tentang Isyarat yang diberikan oleh firman Allah (QS. 2:45), yang artinya sebagai
berikut: Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.
Dan (shalat) dengan sabar dan shalat. Dan shalat itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusuk.
Bahwa shalat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsestrasikan
hati untuk menangkap tajally (penampakan diri) Allah hal ini sangat berat,
kecuali orang-orang yang luluh dan lunak hatinya utuk menerima cahaya-cahaya
dari tajally-tajally Allah yang amat halus dan menangkap kekuasaan-Nya yang
perkasa.15 Tafsir Sufistik dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Tidak menafikan makna lahir (pengetahuan tekstual) Al-Quran
2. Penafsirannya diperkuat oleh dalil syara’ yang lain
3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara’ ataupun rasio
4. Penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah
yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
Diantara kitab-kitab Tafsir Sufistik adalah:
14
Nurhayati Zain, Pembaharuan Pemikiran dalam Tafsir, (Padang: Katalog Dalam
Terbitan, 2005) h. 21-23
15
Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: CV Rajawali Pers,1992) h. 55-56
1. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tusturi (w. 283 H).
2. Haqa ‘iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412 H).
3. Arais Al-Bayan fi Haqa ‘iq Al-Qur’an, karya Imam Syirazi (w. 283 H.)16
16
Rosihon Anwar, Ilmu Op Cit h. 167
berlebih-lebihan dalam menakwiklkan ayatt-aya tanpa ada rasa kagum akan aspek
kemukjizatan ayat dan tanpa perasaan yang benar lagi sehat.
Faktor yang menyebabkan ulama bersikap keras menolak al-Tafsir al-Ilmi.
Di antaranya menurut al-Ustazd Ahmad Hanafi, Pertama adanya warisan akidah
yang berakar kuat di dalam benak umat bahwa Al Quran itu semata-mata petnjuk
dan penuntun kehidupan manusia. Kedua,sebagian ulama beranggapan antara
ayat-ayat yang berbicara tentang alam secara terpisah-pisah tersebut tidak ada
korelasi dan berkaitan satu sama lainnya, walaupun semuanya berbicara satu
masalah yang sama.
Kajian al-Tafsir al-‘Ilmi ini, termasuk kedalam kategori kajian tafsir
Tematik (Al Tafsir al-Mawdhu’iy), yang membahas topik atau masalah-masalah
menarik dewasa ini, dan hukum membahasnya adalah sama dengan hukum
membahas tafsir tematik.
Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah bukan
sebaliknya, dalam artian teori ilmiah memperkuat tafsir. Kajian aspek-aspek
ilmiah terdapat di dalam al-Qur’an, sebagai jalan untuk menemukan petunjuk dan
metode memahaminya.17
Sikap para ulama terhadap tafsir ‘Ilmy dapat dikelompokkan kepada dua, sebagai
berikut:
1. Mereka yang mendukung tafsir ‘Ilmi dan bersikap terbuka sehingga mereka
menjadikan Al-Qur’an sebagai mu’jizat ilmiah, karena ia mencangkup segala
macam penemuan dan teori-teori ilmiah moderen. Mereka berkata:”Al Quran
itu menghimpun ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan yang
tidakkesemuanyadapat dijangkau oleh manusia, bahkan lebih dari itu ia
mengemukakan hal-hal yang terjadi jauh sebelum ia turun dan yang akan
terjadi.
2. Mereka yang menolak tafsir ‘Ilmi tidak melangkah jauh untuk memberikan
makna-makna yang tidak dikandung dan dimunginkan oleh ayat yang
mengharapkan Al Qur’am kepada teori-teori ilmiah yang jelas-jelas terbukti
tidak benar setelah berpuluh-puluh tahun, teori-teori itu bersifat relatif.
Selain dua sikap ulama diatas ada ulama yangbersikap moderat. Mereka
mengatakan; “kita sangat perlu mengetahui cahaya-cahaya ilmu yang
mengungkapkan kepada kita hikmah-hiknah dan rahasia-rahasia yang dikandung
oleh ayat-ayat kawniyyah yang demikian itu tidak ada salahnya, mengingat ayat-
ayat itu tidak hanya dipahami seperti pemahaman bahasa arab, oleh karena Al
Qur’an untuk seluruh manusia.18
c. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Ilmi
Dari sekilas pembacaan di atas, gagasan-gagasan yang berupaya
menghubungkan atau mencari relevansi antara berbagai ilmu pengetahuan dengan
pemahaman atau penafsiran al-Qur’an terus mengalami perkembangan hingga
abad 14 H/ 20 M dengan berbagai motivasi dan latar belakang.
17
Nailul Rahmi, Loc Cit h. 85-89
18
Ali Hasan Al-‘Aridl, Op Cit h. 62-65
Sayangnya perhatian intelektual Islam terhadap pemikiran-pemikiran
tersebut sangat minim, sementara di sisi lain kebutuhan terhadap ilmu
pengetahuan seperti yang ditunjukkan dalam ayat-ayat yang berbicara tentang
hewan, tumbuh-tumbuhan, langit dan bumi juga tidak bisa dinafikan disamping
kebutuhan terhadap hukum dan sebagainya.19
Senada dengan hal itu, Az-Zahabi juga menunjukkan beberapa kelemahan
dalam dalam penafsiran model tafsir ilmi ini, diantaranya:
1. Aspek Bahasa: Bahasa selalu mengalami perkembangan, sehingga sebuah
kata tidak hanya memiliki satu makna akan tetapi memiliki berbagai makna
termasuk penggunaannya dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, pada
umumnya ayat-ayat al-Qur’an dipahami dengan tetap memperhatikan latar
belakang pemaknaan pada saat ayat itu turun, yang di antaranya diketahui
melalui informasi para Sahabat dan masyarakat Arab pada waktu itu.
Memperluas pemaknaan sebuah ayat dengan istilah-istilah baru sains tanpa
memperhatikan latar belakang pemaknaan, sementara hal itu tidak pernah
dikenal sebelumnya dinilai merupakan sesuatu yang tidak rasional.
2. Aspek Retoris: Al-Qur’an dikenal memiliki nilai dan kualitas retorika
yang tinggi sehingga selalu terdapat korelasi dalam sebuah ayat dengan ayat-
ayat yang lainnya termasuk dari aspek pemaknaannya. Adanya anggapan
bahwa al-Qur’an mencakup seluruh ilmu pengetahuan, bahkan mengaitkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan istilah-istilah sains dan ilmu pengetahuan tanpa
memperhatikan korelasinya dengan ayat-ayat yang lain adalah sesuatu yang
mengurangi ketinggian nilai al-Qur’an.
3. Aspek Aqidah: Al-Qur’an adalah kebenaran mutlak yang diturunkan
kepada seluruh manusia secara sempurna, tidak akan pernah lekang dimakan
waktu sehingga selalu dapat di dipahami dan diaplikasikan sepanjang
masa. Sementara kebenaran temuan ilmiah adalah sesuatu yang bersifat
tentatif dan relatif, dalam arti bahwa teori-teori sains tersebut dapat
diruntuhkan oleh teori lain sebagaimana dikenal dalam dunia saintifik.
Mensejajarkan ayat-ayat al-Qur’an dengan teori dan temuan-temuan saintifik
dengan demikian merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima karena jika
teori-teori tersebut runtuh maka kebenaran al-Qur’an seolah-olah juga
runtuh.20
6. Tafsir Adabi Ijtima’i
a. Pengertian
Pengertian secara makna kebahasaan, istilah corak Al-adabi wa al-
ijtima’iitutersusun dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i, kata al-
adaby merupakan bentuk kata yangdiambil dari fi’il madhi aduba, yang
mempunyai arti sopan santun, tata krama dan sastra, sedangkan kata al-ijtima’iy
yaitu mempunyai makna banyak berinteraksi dengan masyarakat atau bisa
diterjemahkan hubungan kesosialan, namun secara etimologisnya tafsir al-adaby
19
Quraish Shihab. Biarkan Al-Qur’an Sendiri yang Bicara, hasil wawancara dalam UMMAT no.
24 thn 1, 27 Mei 1996
20
Quraisy Shihab, dkk. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an.Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999
al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan
kemasyarakatan.21
b. Karakteristik
Sebagai salah atu akibat perkembangan modern adalah munculnya corak
tafsir yang mempunyai karakteristik tersendiri, berbeda dari corak tafsir lainnya
dan memiliki corak tersendiri yang benar-benar baru bagi dunia tafsir dengan
cara:
1) Mengemukakan ungkapan al-Qur’an secara teliti.
2) Menjelaskan makna-makna yang dimaksud Al-Qur’an dengan
menggunakan gaya bahasa yang indah dan menarik.
3) Langkah berikutnya mufassir berusaha menghubungkan nash-nash al-
Qur’an yang dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
21
Muhammad Abduh. Tafsir Juz Amma. tej. Muhammad Bagir. Bandung: Mizan. 1999
22
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung: 2004,
hlm. 94.
2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum.
Kandungan Al-Qur’an bersifat universal dan berlaku terus menerus
sepanjang masa sampai hari kiamat. Di dalamnya terdapat pelajaran-pelajaran,
janji dan ancaman, berita gembira dan siksa, serta ajaran tentang aqidah
akhlak dan ibadah yang berlaku bagi semua umat dan bangsa di mana pun dan
kapan pun. Dengan universalitas kandungan ayat-ayat Al-Qur’an itu, maka
pendapat yang membatasi pengertian dan kandungan Al-Qur’an hanya berlaku
untuk masa tertentu akan tertolak. Misalnya sifat orang munafik yang
digambarkan pada awal surat Al-Baqarah tidak hanya berlaku dan ditujukan
kepada orang-orang munafik pada masa Rasulullah SAW. saja, tetapi berlaku
juga bagi setiap orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut baik pada masa
lampau, kini, maupun yang akan datang.
23
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Pustaka Hidayah, Bandung, 1994, hal 548-549.
3. Mudah mendha’ifkan dan memaudhu’kan hadits, padahal hadits tersebut
berada dalam Kitab Shahih Bukhari Muslim.24
24
Muhammad Husaian al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid 2, (Beirut:Dar al-Fikr,
1976),., hal. 548-549.
25
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduhdan M. Rasyid Ridha,
(Bandung:, Pustaka Hidayah, 1994), hlm.11
26
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduhdan M. Rasyid Ridha,
(Bandung:, Pustaka Hidayah, 1994), hal 59
27
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduhdan M. Rasyid Ridha,
(Bandung:, Pustaka Hidayah, 1994), hal 59
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa At-Tafsir Al-
Adabi Al-Ijtima’iadalah:
1. Salah satu bentuk dan corak dalam perkembangan penafsiran ayat-ayat al-
Qur›an, yang telah memperkaya khazanah Kitab-kitab Tafsir yang ada dan
mendorong kemajuan perkembangan pemikiran dalam Dunia Islam.
2. Tafsir yang telah berjasa dalam menjawab berbagai persoalan dalam kehidupan
sosial ummat Islam dan menangkis serangan-serangan kaum non Muslim atas
anggapan mereka bahwa Islam adalah agama yang tidak rasional, dengan
hujjah-hujjah yang relevan, rasional dan gaya bahasa yang indah dan mudah
dipahami.