Anda di halaman 1dari 311

P

u
st
ak
a
Sy
ia
h
RAGAM KIASAN DALAM AL-QURAN

Judul asli: al-Amtsl fi al-Qur`n (Perumpamaan dalam Al-Quran)

Penulis: Syekh Jafar Subhani

Penerjemah: Muhammad Ilyas

Penyunting: Rudy M.

Bismillhir rahmnir rahm

Sebelum memasuki inti pembahasan, perlu disajikan beberapa mukadimah

berikut ini:

-1-

Matsal dalam Bahasa

Kata matsal ( ) atau perumpamaan dalam kamus bahasa Arab, Lisn al-

Arab dan al-Qmus al-Muhith, mempunyai bermacam-macam makna, antara lain:

nazhr (sifat; seperti), atau ibrah (peringatan; pelajaran). Makna kata matsal

( ) yang lain adalah yang menjadi contoh bagi yang lain; atau yang ditiru.

Selain beberapa makna ini, kata matsal juga mempunyai makna yang lain.1 P0F

Fairuz Abadi mengatakan: Kata mitsl ( ) berarti syibh atau serupa.

Bentuk jamak mitsl adalah amtsl. Kata matsal berarti hujjah atau bukti; alasan;

sifat. Sedangkan kata mitsl ( ) berarti miqdr atau ukuran; yang juga berarti

qishsh atau pembalasan yang sepadan, selain arti-arti yang lain. 2


P1F

Penulis kitab Mujam al-Maqyis menyatakan bahwa makna-makna yang

disebutkan di atas merupakan gambaran luar saja. Banyaknya makna kata tersebut

muncul karena terjadi pencampur-adukan pemahaman. Sebuah kata atau lafaz

semestinya hanya memiliki satu atau dua makna saja. Apabila lebih dari itu, maka

1
Lisan al-Arab, 13/22, Matsal
2
Al-Qamus al-Muhith, 4/49, Matsal
makna yang dikemukakan hanyalah merupakan gambaran dari pemahaman kata

dimaksud.

Lebih lanjut ia mengatakan: Kata mitsl dan mitsal menunjuk pada satu

makna, yaitu: sesuatu yang menjadi contoh bagi yang lain. Ibn Faris berkata: Mitsl

menunjukkan bahwa sesuatu seperti sesuatu yang lain: yang ini adalah seperti yang

itu!, atau yang ini serupa dengan yang itu. Kata mitsl dan mitsl memiliki satu

makna. Sedangkan kata matsl ( ) adalah seperti kata syabh atau yang serupa.

Orang Arab misalnya mengatakan: amtsala as-sulthnu fulnan, maksudnya: sang

sultan melakukan sesuatu serupa dengan yang telah dilakukan si fulan. Atau, sang

sultan menjatuhkan hukuman kepada si fulan setimpal dengan perbuatannya.

Kata mitsl juga mempunyai arti yang sama seperti pada kata matsal, yaitu

syibh dan syabah, yang berarti serupa. Dan matsal atau perumpamaan yang dibuat

ialah diambil dari makna keserupaan itu, karena matsal menyebutkan hal yang

memperlihatkan sesuatu yang bermakna seperti dia.

Kalimat matstsala bihi ( :) atau ia membuat contoh, misalnya, juga

muncul dari maksud keserupaan. Makna di dalam kalimat itu ialah izd nukkala bihi,

yaitu: ia menjadikan yang seperti itu sebagai contoh, atau perumpamaan, atau

penyerupaan, bagi siapa saja yang melakukan tindakan atau yang menginginkan

demikian.

Kata matsult ( : ), jamak dari kata mutsul ( : ), juga bermakna serupa

atau keserupaan. Seperti terdapat dalam ayat al-Quran:

dan telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka. 3 P2F

3
QS. ar-Rad: 6
Matsult adalah uqbt, artinya, bermacam-macam contoh siksaan yang

dijelaskan, dan diharapkan dapat mencegah manusia dari perilaku yang menyebabkan

ia disiksa. Kata matsult memiliki bentuk tunggal mutsul. 4

Selain itu, kata mitsl mempunyai kemungkinan makna-makna yang lain, yaitu

washf atau penyifatan dan shifah atau sifat. Kata ini digunakan baik dalam

haqqah (makna hakiki) maupun dalam majz (makna kiasan). Ibn Manzhur

menisbatkan penggunaan makna ini seperti yang dipakai oleh Yunus bin Habib an-

Najwa (wafat 182 H), Muhammad bin Salam al-Jamhi (wafat 232 H) dan Abu

Manshur ats-Tsalibi (wafat 429 H).

Az-Zarkasyi (wafat 794 H) berkata: Menurut ahli bahasa, secara lahir, kata

mistl berarti sifat. Tetapi, nukilan dari Abu Ali al-Farisi (wafat 377 H) yang

menyebut kata mitsl bermakna sifat itu, tampaknya tidak umum dalam istilah

bahasa Arab. Kata mistl di sini lebih tepat atau lebih dekat maksudnya dengan makna

tamtsil (penggambaran, memberi contoh) 5.

Apa yang disampaikan penulis Lisn al-Arab menunjukkan tentang adanya

pilihan mayoritas ahli bahasa ketika menyatakan: Umar bin Abi Khalifah berkata:

Aku mendengar Muqtil, penulis at-Tafsir, menanyakan kepada Abu Amr bin al-

Al` tentang firman Allah: matsalu al-jannah (perumpamaan surga). Muqtil

bertanya: Apakah matsal surga? Abu Amr menjawab: (yang) Di dalamnya ada

sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya 6. P5F P

Muqtil bertanya lagi: Lalu apa mastal-nya?. Abu Amr diam (tak

menjawab). Lalu Muqtil berkata: Mengenainya aku tanyakan kepada Yunus. Lalu ia

(Yunus) menjawab: matsaluh adalah shifatuh, atau sifat surga.

4
Mujam Maqyis al-Lughah, 5/296
5
Al-Burhan fi Ulum al-Quran, 1/490
6
QS. Muhammad: 15
Muhammad bin Salam berkata: Contoh untuk matsal itu ialah firman Allah

SWT: dzlika matsaluhum fi at-taurah wa matsaluhum fi al-injil, artinya, demikianlah

sifat mereka dalam Taurat dan (begitulah) sifat mereka dalam Injil 7. Matsaluhum

artinya sifat mereka.

Abu Manshur berkata: Contoh yang demikian diriwayatkan dari Ibn Abbas.

Adapun jawaban Abu Amr terhadap pertanyaan Muqtil: Apa matsal (perumpamaan)

surga? Abu Amr berkata; Di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada

berubah rasa dan baunya, kemudian Muqtil bertanya lagi: Apa matsalnya?. Abu

Amr diam. Sesungguhnya Abu Amr telah menjawabnya dengan jawaban yang

memuaskan. Ketika ia melihat Muqtil tetap pada pendiriannya, Abu Amr diam saja.

Dengan demikian, ayat yang berbunyi matsalu al-jannah adalah sebuah interpretasi

bagi ayat: Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan

mengerjakan amal saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-

sungai 8. Ayat ini tampaknya hendak menyifati atau menggambarkan tentang surga.

Maka ia pun berkata: matsalu l-jannati l-lati wa shifatuh (matsal surga dan

sifatnya). Yang demikian itu adalah seperti ayat: dzlika matsaluhum fi t-taurti wa

matsaluhum fi l-injiil, artinya, demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan

sifat-sifat mereka dalam Injil; yakni, demikianlah sifat Muhammad saw dan para

sahabatnya di dalam Taurat. Selain itu, aku mengetahui bahwa sifat mereka di dalam

Injil seperti sebuah tanaman. 9

Selanjutnya, perbedaan antara kata mumtsalah dan muswh. Muswh

digunakan untuk mengaitkan dua hal yang berlainan tapi sama dalam golongan,

karena saling sama (taswi) berarti saling cukup (takfu`) dalam ukuran tidak lebih

7
QS. al-Fath: 29
8
QS. al-Hajj: 14
9
Lisan al-Arab, materi Matsal.
dan tidak kurang. Sedangkan kata mumtsalah hanya digunakan untuk dua hal yang

sama atau bersamaan 10.

Kata lain dalam bahasa Arab yang memiliki perbedaan adalah kata

mumtsalah dan musybahah. Kata mumtsalah diterapkan untuk dua hal yang

bersamaan dalam esensi dan realitas (hakikat), sedangkan kata musybahah umumnya

digunakan untuk dua hal yang berlainan esensi tapi sama dalam sifat khususnya.

Kita dapat mengetahui bahwa kata yang bermakna serupa dapat diterapkan

pada eksperimen yang dilakukan atas dua obyek, yang sama persis dan tidak berlainan

dalam hakikat, seperti semua logam memuai ketika terkena api (baca: dipanaskan).

Hal itu berbeda dengan makna kata istiqr (penelitian secara cermat), yang

penerapannya untuk perkara-perkara yang beragam, seperti pada kalimat: setiap

binatang, rahang bawahnya bergerak ketika mengunyah. Dalam hal ini, kata istiqr

diterapkan pada golongan yang berlainan, seperti pada kambing, sapi, dan unta.

Selain itu, muncul pertanyaan yang secara berulang-ulang diungkapkan oleh

para penulis kamus Arab tentang kata matsal dan mistl, dua kata yang sama seperti

kata syabah dan syibh. Sementara itu, mereka melihat bahwa al-Quran menafikan

mistl (kesamaan, keserupaan) bagi Allah, seperti dalam ayat: laisa ka mitslihi syai

(tiada yang serupa dengan Dia)11. Dan pada saat yang sama ditetapkan matsal (sifat,

hujjah) bagi-Nya, yaitu ayat lain: lil ladzina l yu`minuuna bi l-khirati matsalu s-

suu`i wa li l-lhi l-matsalu l-al wa huwa l-aziizu l-hakiim (orang-orang yang

tidak beriman kepada kehidupan akhirat mempunyai sifat yang buruk, dan Allah

mempunyai sifat Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana)12.

10
Lisan al-Arab, ibid.
11
QS. asy-Syura: 11
12
QS. an-Nahl: 60
Jawaban untuk pertanyaan tersebut ialah, tidak ada pertentangan antara

penafian mitsl (keserupaan) bagi Allah dan penetapan matsal (penetapan sifat) bagi-

Nya. Mitsl adalah ibarat wujud individu terhadap Wajibul Wujud (Allah) yang

menyamai-Nya dalam ada tapi berbeda dengan-Nya dalam kekhususan. Maka

keserupaan (mitsl) dalam kekhususan di sini menjadi perkara mustahil yang

kemustahilannya berlaku terus-menerus dan tetap pada posisinya. Adapun matsal

adalah sifat terpuji yang dengannya Allah SWT dikenal, seperti asm`ul husn atau

sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi. Dengan demikian, matsal dalam ayat di atas dan

ayat-ayat serupa bermakna sesuatu yang disifati, atau sesuatu dilukiskan dengan sifat,

keadaan, dan kekhususan.

Kutipan ayat ke-60 surat an-Nahl di atas menegaskan bahwa tiadanya

keimanan pada akhirat menjadi sumber sifat-sifat buruk dan segala keburukan.

Sebaliknya, mengimani akhirat adalah sumber segala kebaikan, kebajikan, dan

keberkahan. Dengan kalimat lain, setiap sifat buruk yang menghampiri manusia

(sesungguhnya) datang dari tiadanya keimanan pada akhirat. Sebaliknya, setiap sifat

baik yang dimiliki manusia berasal dari keimanan pada akhirat. Karena itu, jelaslah

maksud dari firman Allah SWT: Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan

akhirat mempunyai sifat yang buruk. Dalam ayat ini tampak adanya kelaziman

(mulzamah) bagi orang-orang yang beriman pada akhirat, yakni bagi mereka adalah

matsal (sifat) yang baik.

Adapun kalimat Dan Allah mempunyai sifat yang Maha tinggi, bermakna

Dia suci dari penyifatan segala sesuatu yang buruk dan tercela, seperti sifat zhulm

(aniaya). Allah SWT berfirman: Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang pun 13.

Selain keagungan dan ketinggian, Dia disifati dengan sifat-sifat yang terpuji.

13
QS. al-Kahfi: 49
Jadi, setiap sifat yang dibenci tabiat dan ditolak akal pasti bukan milik-Nya.

Dia adalah yang kuasa dan tidak memiliki kelemahan, Dia hidup dan tidak mati, Dia

memiliki seluruh sifat terpuji, berbeda dengan seluruh tabiat dan sifat lemah.

Banyak ayat lain mengisyaratkan hal ini, di antaranya: dan Dia mempunyai

sifat yang maha tinggi di langit dan di bumi 14; atau ayat, Dia mempunyai nama-

nama yang baik 15. Di sini kata amtsl (bentuk jamak dari matsal atau mitsl) ada yang

bersifat rendah (dniyah) dan tinggi (liyah). Dan sesungguhnya yang tetap bagi

Allah adalah sifat-sifat yang tinggi (li) bahkan yang tertinggi (al)16.

Dengan demikian, apabila digunakan kata amtsl, bentuk jamak dari mistl,

maka sesungguhnya Maha Suci Allah dari mistl dan amtsl (keserupaan). Tetapi

apabila bentuk jamak dari matsal bermakna washf (sifat) yang terpuji bagi-Nya, maka

bagi-Nya-lah amtsl atau sifat yang maha tinggi dan Asm`ul Husn, sebagaimana

dijelaskan sebelumnya.

-2-

Matsal dalam Istilah

Matsal adalah termasuk di antara kata-kata bijak atau bagian dari kata-kata

yang mengandung hikmah. Hikmah atau kebijaksanaan dalam kata atau kalimat

muncul dalam sebuah kejadian karena kesesuaian dan keserupaan suatu peristiwa.

Selanjutnya, orang-orang atau masyarakat tertentu menggunakan kembali kata atau

kalimat itu dalam kejadian-kejadian serupa yang menimpanya kemudian tanpa

mengubah makna, baik dalam ringkasan, keganjilan, kesamaran, ataupun

penggambarannya .

14
QS. ar-Rum: 27
15
QS. Thaha: 8
16
Lihat, Tafsir al-Mizan: 12/249
Kata yang mengandung hikmah (kalimah hakmah) ada dua macam: Pertama,

kalimah s`irah atau kata yang beredar dan umum dikenal di tengah masyarakat dan

berlaku dalam bahasa komunikasi mereka. Kata atau kalimat hikmah seperti ini

disebut matsal. Kedua, ialah kata hikmah yang bermakna khusus dan tidak berlaku

secara umum (kalimah ghairu s`irah)17 di tengah masyarakat. Selain itu,

perumpamaan yang beredar (matsal s`irah) juga memiliki sifat dapat menjelaskan

(qaid taudhihi), bukan bersifat memisahkan (qaid ihtirzi).

Hal ini tampak dari ungkapan Abu Hilal al-Askari (wafat 400 H.) ketika

mengatakan: Setiap hikmah yang beredar (hikmah s`irah) merupakan matsal. Tak

jarang, muncul pembicara di kalangan masyarakat yang mengeluarkan ungkapan

hikmah. Si pembicara bisa saja mengeluarkan kata-kata hikmah atau bijak tetapi ia

belum atau tidak disepakati keberlakuannya secara umum, sehingga ungkapan

tersebut tidak dapat disebut sebagai matsal. 18

Oleh karena itu, seringkali kepopuleran dari penggunaan ucapan orang-orang

di lingkungan masyarakat tertentu dapat digunakan sebagai pembeda antara hikmah

dan matsal. Perkataan yang benar namun tidak populer yang muncul dari suatu

pengalaman tertentu dinamakan hikmah. Sedangkan ucapan bijak yang sering

digunakan orang-orang dan umum digunakaan dalam kesempatan yang berbeda-beda

disebut matsal.

Berkenaan dengan ini, seorang penyair mengatakan:

Kau cuma perumpamaan yang beredar

yang dimengerti si bodoh dan si pintar

17
Istilah ini tambahan dari penerjemah, diambil dari mafhum mukhlafahnya atau
antonimnya.
18
Jamharatu Amtsl al-Arab: 1/5
Penyebutan sesuatu dengan menggunakan kata mitsl maksudnya ialah

untuk kesesuaian dan kemiripan antara dua hal dalam bentuk perumpamaanyang

memiliki keserupaan. Ibn as-Sakit (wafat tahun 244 H) berkata: Matsal

(perumpamaan) adalah sebuah kata atau kalimat tertentu yang berbeda dengan kata

atau kalimat lain yang diumpamakan. Makna matsal selaras dengan arti kata atau

kalimatnya. Sebuah matsal merupakan perumpamaan dengan keserupaan lain yang

sesuai untuknya 19.

Adanya bentuk keserupaan dan kesesuaian itulah yang menjadi sebab bagi

pengungkapan hikmah tertentu yang ditujukan pada satu perkara dengan mengikutkan

perkara yang lain. Jika bentuk serupa muncul dalam hal yang khusus maka matsal

menjadi sebuah tanda bagi kesesuaian yang menyeluruh di antara tanda-tanda yang

berlainan.

Al-Mubarrad berkata: Hakikat matsal ialah sesuatu yang diciptakan, seperti

ilmu bagi penyerupaan dengan keadaan yang pertama. Misalnya dalam kata-kata

Kaab bin Zuhair: Janji muslihat memuat satu matsal. Dan janjinya cuma omong

kosong. Artinya, janji dalam tipu daya adalah pengetahuan tentang segala sesuatu

untuk janji-janji yang tidak dibenarkan 20.

Oleh karena itulah, perumpamaan yang beredar (matsal s`ir) dikenal. Seperti

kalimat: Di musim panas kosonglah air susu, yang berarti pengetahuan bagi setiap

orang yang menyia-nyiakan dan membuang-buang kesempatan. Atau seperti sabda

Nabi Muhammad saw: Tidak tanduk menanduk di dalamnya dua kambing betina,

yang berarti pengetahuan untuk setiap perkara yang tidak perlu diperhatikan 21. Atau,

seperti ungkapan pemuka syuhada, Imam Husien bin Ali bin Abi Thalib as: Andai ia

19
Majmu al-Amtsl: 1/6
20
Ibid..
21
Ibid, 2/225
tinggalkan burung-burung itu dalam semalam, pasti ia tertidur. Imam membuat

perumpamaan ketika menjawab pertanyaan adiknya, Zainab as, yang artinya:

Pengetahuan bagi seseorang tidak ditinggalkan dalam satu keadaan; atau Orang yang

dibawa karena sesuatu yang dibenci tanpa diinginkannya. Selain contoh ini, masih

banyak matsal lain yang beredar.

-3-

Manfaat-manfaat Amtsl S`irah

Berikut ini adalah nama para sastrawan yang menyebutkan manfaat matsal

sirah:

1- Ibn Muqanni (wafat tahun 143 H) berkata: Bila pembicaraan (kalam)

menjadi sebuah matsal, maka ia menjadi yang paling jelas bagi lisan, paling elok

untuk pendengaran, dan paling luas diketahui oleh bangsa-bangsa baru.

2- Ibrahim an-Nizham (wafat tahun 231 H) berkata: Dalam matsal terhimpun

empat hal yang tidak dimiliki oleh kalam lain: Pertama, keringkasan kata atau

kalimat. Kedua, ketepatan makna. Ketiga, kebagusan penyerupaan. Dan keempat,

keindahan kiasan. Dengan empat hal itulah sebuah ungkapan dapat disebut telah

mencapai puncak kefasihan.

Selain manfaat yang disebutkan oleh dua sastrawan di atas, disebutkan pula

bahwa hikmah-hikmah yang dibenarkan akal dinamakan amtsl, karena gambaran-

gambarannya menancap kokoh dalam akal. Kata amtsl, yang berakar dari kata

mutsul, berarti kekokohan 22.

Ibn Qayim al-Jauziyah (wafat tahun 751 H) menukil kalam nizham, dengan

bentuk yang sempurna, sambil berkata: Allah dan Rasul-Nya telah memberikan

misal-misal (amtsl) bagi manusia untuk dapat mendekatkan dan menyampaikan

22
Majmaul Amtsal: 1/6
maksud serta memahamkan makna dalam pikiran si pendengar. Sebab, seringkali,

dengan menghadirkan sesuatu yang serupa tersebut dapat lebih mendekatkan

sampainya maksud, dalam hubungan, pemahaman, penguasaan, dan penghadirannya.

Hal ini tak bisa dipungkiri karena diri senang dengan keserupaan dan kemiripan, dan

sebaliknya, tidak senang dengan keasingan, kesendirian dan tiadanya kemiripan.

Di dalam amtsl terdapat kesenangan diri itu, karena di dalam perumpamaan

terdapat kemudahan dan kelebih-jelasan penggambaran tentang suatu kebenaran

untuk bisa diterima. Selain itu, dengan sifatnya yang kokoh, sebuah amtsl dapat

memberikan ungkapan tentang sebuah perkara yang tidak dapat ditolak dan diingkari

oleh siapapun. Setiap kali amtsl dimunculkan akan selalu memberi makna yang lebih

terang bagi pemerhatinya. Amtsl, dapat dikatakan pula, sebagai bukti-bukti makna

yang dimaksudkan tentang perkara tertentu. Ia juga merupakan keistimewaan dan

buah akal 23.

3-Abdul Qahir al-Jurjani (wafat tahun 371 H) berkata: Ketahuilah, tamtsil

yang disepakati oleh para pemikir ialah apabila ia datang membawa makna-makna,

atau makna-makna itu ditampilkan secara lugas dengan perumpamaan yang

ditunjukkan, dan memberi gambaran asli dengan kemasan yang indah, menghimpun

sesuatu dengan bijak, dengan meninggikan takarannya, dapat mengobarkan semangat,

berkekuatan ganda dalam menggugah jiwa, mengajak kalbu kepadanya,

membangkitkan hati dengan kecintaan yang meluap dan menyala, serta memaksa

watak untuk memberikan cinta dan kasih sayang.

Oleh karena itu, apabila tamtsil itu berupa celaan maka sentuhannya lebih

menyakitkan, kekerasannya lebih membakar, mengena dengan lebih dahsyat, dan

membedakan secara lebih tajam. Apabila berupa hujjah, argumentasinya lebih terang,

23
Almu al-Muqiin: 1/291
kekuatannya lebih mengalahkan, dan penjelasannya lebih cemerlang. Apabila berupa

kebanggaan maka posisinya lebih menguntungkan, kemuliaannya paling mujur, dan

lisannya paling sengit. Apabila berupa alasan, ia paling dekat diterima, paling

memikat hati, lebih dapat menghilangkan dendam dan kedengkian, lebih meluluhkan

kekerasan murka, lebih melegakan dalam janji dan sumpah, dan lebih mengarahkan

pada sebaik-baiknya rujuk. Dan apabila berupa nasihat maka ia lebih menyejukkan

dada, lebih mengajak berpikir, lebih menyentuh dalam peringatan dan pencegahan,

lebih layak untuk memperjelas pengamanan dan menyingkap tujuan, lebih

menyembuhkan penyakit dan melegakan puncak kehausan 24.

4-Abu Saud (wafat tahun 982 H) berkata: Tamtsil adalah menzhahirkan

makna sesuatu yang dimaksud dengan menunjukkan perkara lain yang masyhur,

menghiasi rasio dengan kepekaan jiwa, dan melukis celah-celah makna dengan bentuk

yang disenangi guna menepis keragu-raguan, serta menjauhkan pertentangan dengan

akal dalam menjangkau hakikat yang tersembunyi, dan untuk memahami kedalaman

yang agung. Oleh karena itu, amtsl merebak di dalam kitab-kitab ilahiyah dan sabda-

sabda nabawiyah, juga meluas dalam ibarat-ibarat para sastrawan dan isyarat-isyarat

para filosof.

Tamtsil merupakan mediator paling halus untuk mengalahkan keraguan

pikiran dan menghindarkan pikiran dari pelanggaran aturan logika serta menjadi

sarana paling kuat untuk memahamkan orang bodoh dan menghanguskan gambaran

orang bengal yang angkuh. Tamtsil dapat mengangkat hijab dari wajah rasionalitas

yang tersembunyi, memunculkannya ke hadapan pelupuk kepekaan jiwa yang terang,

24
Asrr al-Balghah: 101-102
menampakkannya pada orang yang mengingkari bentuk-bentuk yang dikenal, dan

memperlihatkan kebenaran pada orang liar dalam bentuk yang digemarinya. 25

As-Suyuthi, dalam al-Mazhar-nya, dengan menukil dari Abu Ubaid,

menyatakan: Amtsl adalah hikmah bagi bangsa Arab di masa jahiliyah dan Islam,

dan dengan itu masyarakat Arab menjauhi ucapannya (yang biasa) sehingga mereka

sampai pada ungkapan-ungkapan kiasan untuk menyampaikan keperluan-keperluan

mereka. 26

Namun demikian, amtsl bukan hanya menjadi ciri khas bangsa Arab saja.

Setiap kaum juga memiliki amtsl dan aturan bahasa tertentu yang dengannya mereka

dapat mendekatkan dan memahamkan maksud dan tujuannya kepada setiap lawan

bicara. Tidak mustahil pula apabila suatu matsal tertentu ternyata menyebar di antara

kaum-kaum yang beragam kemudian dan menjadi sebuah matsal yang berlaku

nasional atau bahkan internasional.

Ath-Thabari meriwayatkan dari Muhallab bin Abu Shafrah: Muhallab

memanggil anak-anaknya untuk berkumpul. Ia meminta dengan sungguh-sungguh

(sembari menggenggam panah-panah) sehingga suasana menjadi serius dan tegang,

sehingga setiap yang hadir seolah merasa sesak nafas. Muhallab bertanya: Apakah

kalian melihat orang-orang yang memecahkan sesuatu secara bersama-sama?

Tidak, kata mereka.

Ia berkata: Apakah kalian melihat orang-orang yang memecah sesuatu (itu) secara

bercerai-berai (sendiri-sendiri)?

Mereka berkata: Ya.

Begitulah jamaah, kata Muhallab.

25
Hamisy tafsir al-Fakhru ar-Razi: 1/156
26
Al-Mazhar: 1/288
Muhallab bukanlah orang pertama yang mengungkapkan matsal ini melalui

ucapannya, karena sudah ada orang lain yang mendahuluinya.

Abu Hilal al-Askari dalam Jamharah-nya meriwayatkan dari Qais bin Ashim

at-Tamimi (wafat tahun 20 H) tentang sebuah matsal yang juga dituangkan dalam

syair berikut ini:

Bila damai antara dua, akan lama hidupmu

meski panjang atau pendek umurku

Sampai lunak hati dan watak kerasmu

yang pemberani atau yang tidak di antaramu

Gelas berhimpun, apa yang dimau

ialah pecah di tangan si kepala batu

Mulialah kaum yang tak pecah meski pisah

Mudah pecah hanya bagi yang suka pecah

Tentang pribadi Abdul Malik bin Marwan, al-Masudi menukilkan: Al-Walid

adalah orang yang sangat menyayangi saudara-saudaranya, dan memperhatikan semua

wasiat Abdul Malik kepadanya. Ia sering membacakan bait-bait syair yang ditulis

Abdul Malik dalam wasiatnya; antara lain:

Buanglah kedengkian di antara kamu

baik dalam hadir maupun tidak hadir

Gelas berhimpun, apa yang dimau

ialah pecah di tangan si kepala batu

Mulialah kaum yang tak pecah meski pisah

Mudah pecah hanya bagi yang suka pecah

Kitab-kitab Amtsl Arab


Banyak sekali kitab amtsl bahasa Arab yang dapat ditemui saat ini, dari yang

klasik sampai yang kontemporer. Kitab terlengkap tentang amtsl ditulis oleh Ahmad

bin Muhammad bin Ibrahim an-Naisaburi al-Maidani (wafat tahun 518 H) dengan

judul Majma al-Amtsl, yang memuat enam ribu lima ratus (matsal) [Majma al-

Amtsl: 1/5].

-4-

Perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Qur`n

Tidak sedikit dari ayat al-Quran memuat amtsl (perumpamaan-

perumpamaan). Allah SWT membuat perumpamaan bagi umat manusia agar mereka

berpikir dan menjadikannya pelajaran. Allah berfirman: Kalau sekiranya Kami

menurunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihat ia tunduk

runtuh terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-

perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir [al-Hasyr: 21].

Juga disebutkan bahwa ar-Ruh al-Amin (malaikat Jibril) turun dengan amtsl, dan

merupakan sosok matsal tatkala turun ke dalam kalbu pemuka para rasul (Muhammad

saw). Itulah pelajaran dari ayat-ayat al-Quran.

Matsal merupakan ungkapan yang dilontarkan untuk suatu kejadian karena

kesesuaian maksud yang menuntut sebuah pengungkapan untuk tujuan tertentu.

Selanjutnya, perkataan atau kalimat yang diungkapkan tersebut bisa berlaku di

sepanjang zaman dalam konteks kejadian-kejadian serupa yang dialami masyarakat

dan bangsa-bangsa di dunia.

Matsal dalam makna seperti ini tidak dapat dijumpai dalam al-Quran.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tegaknya amtsl adalah karena ia

beredar pada lisan-lisan (baca: ucapan-ucapan) dan berlaku di antara bangsa-bangsa.

Kekhususan inilah yang tidak dimiliki ayat-ayat al-Quran. Sebab, bagaimana mungkin
terjadi pertautan, di satu sisi telah beredar perumpamaan atau matsal dalam budaya

lisan bangsa-bangsa Arab sedemikian rupa, sementara di sisi lain Nabi Muhammad

saw belum menerima ayat-ayat al-Quran (wahyu) yang disampaikannya kepada umat,

tapi kemudian Tuhan memberi nama ayat-ayatnya dengan matsal. Artinya, tidak ada

tempat untuk makna matsal yang lain ketika mengikuti perumpamaan ayat-ayat al-

Quran selain bahwa ia merupakan tamtsl qiysi, sebagaimana disebutkan para ahli

balghah dalam Ilmu Bayan, dan ia tegak dengan tasybh, istirah, kinyah dan

majz.

Dalam kitabnya, Talkhish al-Miftah, al-Qazwini mengistilahkan matsal

dengan kiasan yang tersusun (al-majz al-murakkab). Al-Qazwini berkata:

Sesungguhnya matsal adalah kata-kata tersusun yang dipakai untuk sesuatu yang

diserupakan dengan maknanya yang asli, yakni kata atau kalimat perumpamaan secara

dilebihkan (mublaghah) dalam penyerupaan. Sebagai contoh adalah perumpamaan

dalam surat Yazid bin Walid kepada Marwan bin Muhammad ketika Marwan

terlambat membaiatnya; Amma badu, aku melihatmu mendahulukan seorang laki-

laki dan mengakhirkan yang lain. Bila suratku ini sampai kepadamu maka

berpeganglah pada yang manapun yang kau mau dari keduanya! Wassalam. [al-

Idhh: 304, at-Talkhish: 322].

Dengan demikian, tamtsil tidak mempunyai kedudukan apabila untuk makna

yang dimaksud digunakan kata-kata yang khusus. Seandainya Yazid mengatakan:

(Tentang) keterlambatanmu dari baiatku itu telah sampai kepadaku, maka jika sudah

sampai suratku ini kepadamu, berbaiatlah, atau tidak! Kata-kata yang disampaikan

ini sama sekali tidak memiliki makna tamtsil, atau kalimat ini bukan (berbentuk)

tamtsil.
Umumnya, amtsl di dalam al-Quran termasuk dalam salah satu bentuk

tamtsl, tapi bukan mitsl (permisalan) secara terminologis. Selain itu, perbedaan

antara tasybih, istirah, kinyah dan majz (istilah-istilah dalam Ilmu Bayan) itu

merupakan perkara yang jelas dan tidak memerlukan uraian lebih panjang. Hal itu

dijelaskan oleh para ahli balghah di dalam Ilmu Bayan, yang kemudian dilontarkan

pula oleh ulama ushul tatkala mereka menguraikan tentang lafaz. Untuk itu,

keterangan berikut ini mencoba menghantar para pembaca kepada kitab-kitab yang

menerangkan tentangnya.

Sebagian dari mereka menyatakan bahwa tamtsl merupakan salah satu dari

makna matsal. Al-Alusi berkata: Matsal diambil dari kata mutsl, yang berarti

kedudukan, seperti dikatakan dalam hadis: Barangsiapa yang cinta kedudukan di

mata manusia, maka bersiap-siaplah tempat tinggalnya di neraka.

Selanjutnya, tamtsil diistilahkan sebagai ungkapan fasih yang indah dan

tersebar yang mencakup penyerupaan (tasybiih) tetapi tidak sama; atau perumpamaan

(istirah) yang memikat secara proporsional; atau hikmah dan nasihat yang

bermanfaat; atau kiasan (kinyah) yang indah mengagumkan; atau syair dari

ungkapan-ungkapan ringkas yang bermakna luas. [Ruh al-Maani: 1/163].

Sekiranya kita tidak menggunakan kata yang tersebar (syyi), maka

sesuailah ibarat kata perumpamaan (matsal) ini dengan tamtsil qiysi (proporsi

silogis).

Keistimewaan bentuk perumpamaan al-Quran (shghah matsal Qur`ni) ialah

bahwa bentuk dan isinya tidak menukil dari peristiwa atau kejadian fiktif yang

diulang-ulang. Matsal Qur`ni diciptakan tanpa meniru, dan ia belum pernah ada

sebelumnya. Ia (perumpamaan al-Quran) bersifat artistik, unik, dan kontemporer,


sehingga ia memiliki bentuk tersendiri dalam pengungkapan, penyusunan dan

pengisyaratan.

Perumpamaan dalam al-Quran bukanlah perumpamaan terminologis, dan

bukan pula bagian yang bertolok ukur hanya pada kata dan arti kata semata.

Perumpamaan dalam al-Quran adalah jenis perumpamaan lain, yang al-Quran sendiri

menyebutnya dengan matsal, jauh sebelum masyarakat mengetahui ilmu sastra

matsal dan sebelum disebut sebagai jenis sastra tak beraturan, bahkan sebelum para

sastrawan matsal mendefinisikannya, [ash-Shuratu al-Fanniyah fi al-Matsal al-

Qurani: 72, menukil dari kitab al-Matsal karya Munir al-Qadhi].

-5-

Pembagian Tamtsl

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tamtsil adalah memberikan kedudukan

sesuatu bagi sesuatu yang lain, melalui jalan penyerupaan (tasybih) atau pengkiasan

(istirah) atau majz, atau lainnya. Tamtsil terbagi dalam beberapa macam:

1- Penggambaran simbolik (at-tamtsil ar-ramzi): ialah bentuk simbol dan

penggambaran dengan menukil bahasa burung, tumbuhan, dan pepohonan, menjadi

kiasan yang memberi makna-makna mendalam. Jenis tamtsil ini diungkapkan dalam

kitab Kalilah wa al-Dimnah karya Ibn al-Muqaffa. Metode ini digunakan oleh

penyair arif al-Aththar an-Naisyaburi dalam kitab karangannya, Mantiqu ath-Thair.

Kitab Kalilah wa al-Dimnah beredar di masa sebelum Islam. Sejarawan

menceritakan, seorang tabib bangsa Persia menemukan kitab Kalilah wa al-Dimnah

yang berbahasa Sansekerta di India, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Pahlevi.

Selanjutnya kitab itu sampai ke tangan Abdullah bin al-Muqaffa (106-143 H), yang

lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Selanjutnya, kitab itu dinukil oleh

Nashrullah bin Muhammad bin Abdul Hamid, penulis terkenal abad ke-6, dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Parsi. Kitab itu populer dalam kajian-kajian ilmiah

masa kini. Pada abad ke-9, kitab ini dinukil dalam bahasa Parsi oleh Husein bin

Waizh al-Kasyifi. Selain itu, kitab terjemahan dari Ibn al-Muqaffa itu, diubah ke

dalam puisi oleh Rudaki, seorang penyair, dengan menggunakan bahasa Parsi.

Dalam buku-buku sejarah disebutkan, sebagian dari permisalan atau

perumpamaan dalam kitab Kalilah wa Dimnah telah tersebar ke tengah-tengah bangsa

Arab dan populer dalam bahasa di masa Risalah atau setelahnya. Diriwayatkan bahwa

Ali bin Abi Thalib as mengomentari sesuatu dengan perumpamaan Sesungguhnya

aku dimakan pada hari sapi putih dimakan. Perumpamaan seperti ini juga terdapat

dalam kitab Kalilah wa Dimnah tersebut.

Di dalam kitab itu terdapat semacam upaya yang hendak menyimpulkan

bahwa seluruh kisah Quraniyah termasuk ke dalam perumpamaan jenis simbolik,

yakni simbol bagi hakikat-hakikat keluhuran tanpa harus memiliki realitas di balik

pikiran. Dengan cara demikian, mereka menafsirkan kisah Adam dengan setan

sebagai keberhasilan setan atas Adam as. Seperti juga kisah bersaudara putra Adam,

Habil dan Qabil, tatkala Qabil membunuh saudaranya itu. Atau seperti percakapan

semut dengan Sulaiman, dan kisah-kisah lainnya.

Upaya semacam ini berlawanan dengan penjelasan al-Quran. Sebab, al-Quran

menyebut kisah-kisah yang menceritakan tentang hakikat-hakikat kegaiban itu tidak

diketahui oleh Nabi Muhammad saw (sebelumnya), dan oleh orang lain. Allah SWT

berfirman: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi

orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat,

akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala

sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum beriman [Yusuf: 111].
Ayat ini menjelaskan bahwa kisah-kisahnya bukan sebagai perkara yang

dibuat-buat, dan ayat-ayat lainnya pun menunjukkan bahwa seluruh ayat al-Quran

adalah haq, tanpa sedikitpun disertai kebatilan.

2-At-Tamtsil al-Qashashi (penggambaran novelistik); ialah menjelaskan

keadaan umat-umat terdahulu, yang bertujuan mengambil pelajaran (ibrah) karena

kesamaan keadaan atau kejadiannya. Allah SWT berfirman: Allah membuat istri Nuh

dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah

pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua

istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat

membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya);

Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka) [at-Tahrim: 10].

Kisah-kisah tentang keadaan umat-umat masa lampau yang diceritakan

kembali oleh al-Quran merupakan penyerupaan (tasybiih) yang jelas dan tersembunyi.

Tujuannya ialah untuk mengambil hikmah dan pelajaran.

3-At-Tamtsil ath-Thabii (penggambaran alami); ialah penyerupaan yang tak

tersentuh dengan yang tersentuh, yang tak terlihat dengan yang terlihat. Syarat tamtsil

seperti ini ialah, yang diserupakan (al-musyabbah bihi) merupakan perkara natural

(takwiniyah). Allah SWT berfirman: Sesungguhnya perumpamaan kehidupan

duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu

tumbuhlah tanam-tanaman bumi dengan subur karena air itu, di antaranya ada yang

dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna

keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira

bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di

waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanam-

tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.


Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang

yang berpikir. [Yunus: 24].

Selanjutnya dikatakan bahwa al-Amtsl al-Qur`niyah beredar sebagai tamtsil

qashashi dan tamtsil tabii. Sedangkan Amtsl al-Qur`niyah dalam bentuk tamtsil

ar-ramzi hanya dinyatakan oleh para ahli tawil.

-6-

Al-Amtsl Al-Qur`niyah di dalam Hadis

Al-Amtsl al-Qur`niyah merupakan nasihat dan pelajaran atau hikmah. Para

Imam Ahlulbait as dalam hadis-hadis menganjurkan kepada manusia agar

merenungi perumpamaan-perumpamaan dalam al-Quran. Di antara anjuran mereka

adalah sebagai berikut:

1- Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata: Telah kalian analisa dan

renungi perkara-perkara, telah dinasihati kalian dengan orang-orang sebelum kalian,

telah dibuatkan perumpamaan-perumpamaan bagi kalian, dan telah diseru kalian pada

perkara yang terang. Maka tidak tuli dari hal demikian melainkan yang tuli, dan tidak

buta dari hal demikian melainkan yang buta. Orang yang tidak diberi Allah

kemanfaatan dari cobaan dan pengalaman, tidak dapat memperoleh manfaat dari

dakwah (Nahjul Balaghah: 176).

2- Imam Ali as juga berkata: Kitab Tuhan kalian (al-Quran) ada pada kalian,

yang menjelaskan halal dan haram, fardu-fardu dan keutamaan-keutamaan,

keringanan-keringanan dan keharusan-keharusan, yang khusus dan yang umum,

ibrah-ibrah dan perumpamaan-perumpamaan. (Nahjul Balaghah: 176).

3- Ia juga berkata: Al-Quran turun memuat seperempat-seperempat.

Seperempat tentang kami (Ahlulbait), seperempat tentang musuh-musuh kami,

seperempat tentang sunnah-sunnah dan perumpamaan-perumpamaan, dan seperempat


lagi tentang kewajiban-kewajiban dan hukum-hukum (Bihar al-Anwar: 24/305, hadis

1, bab Ta`wil m Nazala fiihim).

4- Imam jafar ash-Shadiq as meriwayatkan dari datuknya, bahwa Imam Ali

bin Abi Thalib as bertanya kepada seorang hakim: Tahukan Anda tentang perkara

nasikh dari mansukh? Tidak, jawabnya. Mengertikah Anda akan maksud Allah

tentang perumpamaan-perumpamaan al-Quran? tanya Imam lagi. Tidak, jawab si

hakim sekali lagi. Kemudian Imam Ali as berkata: Jika begitu Anda binasa dan

membinasakan. Seorang mufti (hakim) membutuhkan pengetahuan tentang makna

ayat-ayat al-Quran, hakikat-hakikat sunnah, rahasia-rahasia isyarat, etika, ijma dan

ikhtilaf. Selain itu, seorang hakim harus memahami ushul yang telah disepakati

atasnya dan apa-apa yang telah diperselisihkan. Ia juga harus berperilaku baik,

beramal saleh, memahami hikmah, bertakwa; dan dengan semua itu ia dapat dianggap

sebagai telah mampu. (Bihar al-Anwar: 2/121, bab an-Nahi ani l-Qaul bi Ghairi l-

ilmi, kitab al-Ilmi).

5- Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata: Mereka yang diberi nama

dengan sebagus-bagus perumpamaan oleh al-Quran ialah Itrah Nabi Muhammad saw.

Ini air tawar yang segar, maka minumlah kalian! Itu air garam yang amat asin maka

jauhilah! (Bihar al-Anwar 92/116, bab 12, kitabu al-Quran).

6- Imam Ali Zain al-Abidin as (as-Sajjad) dalam untaian doanya, Khatmu al-

Quran, berkata: Ya Allah, Engkau telah membantuku dalam mengkhatamkan kitab-

Mu (al-Quran) yang Engkau turunkan sebagai cahaya, dan Engkau jadikan al-Quran

sebagai pembenar semua kitab yang telah Engkau turunkan Ya Allah, jadikanlah al-

Quran penghibur bagi kami di kegelapan malam, melindungi kami dari rayuan setan

dan bisikan was-was, menahan langkah kaki kami kepada perbuatan maksiat,

menghalangi anggota-anggota tubuh kami dari berbuat dosa, dan memaparkan


renungan pertimbangan ketika kelalaian sirna dari kami. Sehingga dengan al-Quran

yang meresap ke dalam hati, kami memahami keajaiban-keajaibannya, kandungan dan

perumpamaannya, yang karena beratnya kandungan-kandungan itu gunung-gunung

yang kokoh pun mengaku lemah untuk memikul al-Quran (ash-Shahifah as-

Sajjadiyah).

7- Imam as-Sajjad as juga berkata: Hai hamba-hamba Allah, bertakwalah

kepada Allah! Ketahuilah bahwa Allah Azza wa Jalla tidak pernah menyukai

keindahan dunia yang cepat berlalunya itu diperuntukkan bagi para auliy`-Nya, dan

tidak pernah menganjurkan mereka menyukai dunia, atau menyukai keindahannya

yang segera sirna. Sesungguhnya Allah SWT menciptakan dunia dan penghuninya

untuk menguji mereka di dalamnya, manakah dari mereka yang lebih baik amalnya

untuk akhirat. Demi Allah, Dia telah membuat perumpamaan-perumpamaan di dalam

al-Quran bagi kalian dan menurunkan ayat-ayat-Nya bagi kaum yang berakal, dan

tiada kekuatan melainkan dengan (kekuatan) Allah (al-Kafi: 8/75).

8- Imam Muhammad al-Baqir as berkata kepada saudaranya Zaid bin Ali:

Tahukah kamu wahai saudaraku, tentang sesuatu yang telah kamu nisbahkan dirimu

kepadanya; lalu kamu harus datang dengan membawa saksi Kitabullah, atau hujjah

dari Rasulullah, atau kamu yang membuat perumpamaan dengannya. Sesungguhnya

Allah Azza wa Jalla menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram,

membuat perumpamaan-perumpamaan, dan menetapkan sunnah-sunnah. (Bihar al-

Anwar: 46/204, bab 11).

9- Al-Kulaini meriwayatkan dari Ishaq bin Jarir, yang berkata: Aku diminta

oleh seorang perempuan untuk memohonkan izin agar ia dapat bertemu dengan Abu

Abdillah (Imam Jafar ash-Shadiq) as. Lalu ia diizinkan bertemu. Ia pun masuk

bersama seorang temannya, dan berkata: Wahai Aba Abdillah, apakah maksud
firman Allah Azza wa Jalla: zaituunatin l syarqiyatin wa l gharbiyatin 27 ?. Imam

Shadiq as menjawab: Hai perempuan, sesungguhnya Allah tidak pernah membuat

perumpamaan untuk pohon, tetapi Dia membuat perumpamaan untuk anak keturunan

Adam (al-Kafi: 5/551, hadis 2, bab as-Suhq min Kitab an-Nikah).

10- Daud bin Katsir meriwayatkan dari Abu Abdillah as, yang berkata

kepadanya: Hai Daud, sesungguhnya Allah menciptakan kami (ahlulbait), lalu

memuliakan tabiat dan kebajikan kami, dan menjadikan kami kepercayaan dan

pengawal-Nya, serta sebagai juru bicara-Nya atas apa yang ada di langit dan di bumi.

Dia menetapkan kami mempunyai para penentang dan musuh-musuh, lalu

menamakan kami dalam kitab-Nya, dan memberi julukan kepada kami dari nama-

nama kami dengan asm` yang terindah dan yang paling disukai-Nya. Dan menyebut

para penentang dan musuh-musuh kami dengan julukan dari nama-nama mereka di

dalam kitab-Nya, dan membuat perumpamaan-perumpamaan dengan nama-nama

yang paling Dia benci di dalam kitab-Nya.. (al-Bihar: 24/303, hadis 14).

*****

Telah terhimpun perumpamaan-perumpamaan (al-amtsl) al-Qur`niyah atas

kepedulian para ulama, cendikiawan, dan mereka memberikan keterangan tentang

pentingnya al-amtsl dan kedudukannya di dalam al-Quran:

1- Hamzah bin al-Hasan al-Ishbahani (wafat tahun 351 H) menerangkan: Al-

amtsl yang diciptakan bangsa Arab, dan an-nazh`ir (penyerupaan-penyerupaan)

yang dihadirkan ulama, memiliki kedudukan yang kuat. Ia bukan merupakan rahasia

dalam menampakkan rahasia-rahasia mendalam dan mengangkat tirai-tirai hakikat,

yang dengannya tergantikan khayalan (menjadi) bentuk kenyataan, keraguan

(menjadi) bentuk keyakinan, dan yang ghaib seolah hadir. Dan dalam membuat

27
Baca: pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
berat(nya). [QS. an-Nur: 35]
perumpamaan (dharbu al-amtsl), musuh yang besar permusuhannya menjadi luluh,

yang mogok keras dan yang angkuh menjadi tunduk. Dharbu al-amtsl memberikan

kesan pada kalbu yang tidak tertembus oleh penyifatan akan sesuatu pada dirinya.

Karena itu Allah SWT memperbanyak perumpamaan-perumpamaan di dalam kitab-

Nya. Dan di dalam salah satu surat dalam Injil terdapat surat bernamakan surat al-

Amtsl, dan itu tersebar dalam ucapan Nabi Muhammad saw, ucapan anbiya dan para

filosof (ad-Durratu al-Fakhirah fi al-Amtsal as-Sairah: 1/59-60). Yang

menakjubkan adalah, nash ini diuraikan secara utuh dalam kitab al-Kasyaf, tentang

tafsir ayat-6 surat al-Baqarah. (Lihat, al-Kasyaf: 1/149).

2- Abul Hasan al-Mawardi (wafat tahun 450 H): Salah satu ilmu teragung al-

Quran adalah ilmu amtsl-nya, tetapi orang-orang tidak mengetahui karena mereka

sibuk dengan perumpamaannya dan melalaikan obyek-obyek perumpamaan

(mumatstsalt). Padahal perumpamaan tanpa yang diumpamakan (mumatstsal) seperti

kuda tanpa kekang atau seperti onta tanpa kendali. (al-Itqan fi Ulum al-Quran:

2/1041).

3- Az-Zamakhsyari (wafat tahun 538 H) tentang tafsir ayat 17 surat al-Baqarah

yang berbunyi Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api,

menyatakan bahwa bangsa Arab membuat al-amtsl dan ulama menghadirkan

peribahasa dan penyerupaan-penyerupaan. Dan selanjutnya ialah seperti keterangan

yang telah dinukil dari al-Ishbahani di atas. (al-Kasysyaf: 1/72).

4- Ar-Razi (wafat tahun 606 H) berkata: Maksud dari dharbu al-amtsal

adalah memberi kesan mendalam pada hati tanpa menyifatinya dengan suatu perkara.

Ini disebabkan oleh tujuan perumpamaan (matsal) sendiri, yakni memberikan

penyerupaan yang samar dengan yang jelas dan yang ghaib dengan yang hadir.

Sehingga menguatkan pemahaman atas hakikat sesuatu, dan indera menjadi sesuai
dengan akal. Yang demikian itu merupakan puncak kejelasan. Bukankah ketika

seseorang melihat suatu anjuran (kebenaran atau kebaikan), apabila anjuran itu hampa

dari perumpamaan maka keberadaannya dalam hati tidak akan kokoh. Seperti

keimanan, yang akan kokoh tertanam dalam hati jika diumpamakan atau diserupakan

dengan cahaya. Atau anjuran untuk menjauhi kufur yang dilakukan hanya dengan

sebutan semata, maka keburukan kufur tidak menetap di dalam akal. Lain halnya

apabila kufur di-matsal-kan dengan kegelapan, maka kesannya akan menetap dalam

akal. Atau, misal yang lain, jika mengungkap kelemahan sesuatu disertai dengan

membuat perumpamaannya seperti rajutan (rumah) laba-laba, maka yang demikian itu

lebih menyentuh dalam menerangkan bentuk atau keadaan amalan seseorang

ketimbang semata-mata mengungkap kelemahan perbuatan yang dimaksud. Oleh

karena itu, Allah SWT memperbanyak perumpamaan-perumpamaan di dalam kitab-

Nya (al-Quran) dan semua kitab-kitab-Nya. Allah SWT berfirman: Dan

perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang

memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu [al-Ankabut: 43]. (lihat: Mafatihu

al-Ghaib: 2/72-73).

5- Syeikh Izzuddin Abdus Salam (wafat tahu 660 H) berkata: Sesungguhnya

Allah membuat al-amtsl dalam al-Quran, sebagai pengingat dan pemberi nasihat.

Perumpamaan yang dibuat di dalam al-Quran itu meliputi, di antaranya, perbedaan

dalam pahala, menggugurkan amal, atau atas pujian dan celaan, dan yang

semacamnya. Hal tersebut berarti menunjukkan suatu perumpamaan atas hukum-

hukum. (al-Itqan fi Ulum al-Quran: 2/1041).

6- Az-Zarkasyi (wafat tahun 794 H): Di dalam dharbul amtsal antara lain

menjelaskan maksud tertentu yang bukan merupakan rahasia, yang bertujuan untuk

memperserupakan yang samar dengan yang jelas, yang hadir dengan yang ghaib.
Contohnya, perkara iman. Jika iman diumpamakan dengan cahaya maka maksudnya

menjadi kuat mempengaruhi hati. Begitu pula dengan anjuran untuk menjauhkan diri

dari kekufuran. Bila kekufuran diumpamakan dengan kegelapan, maka menguatlah

keburukan kufur dalam diri seseorang. Sungguh, Allah SWT telah memperbanyak

perumpamaan-perumpamaan di dalam al-Quran dan di dalam kitab-kitab-Nya yang

lain (al-Burhan fi Ulum al-Quran: 1/388).

Namun demikian, apa yang dikatakan az-Zamakhsyari, ar-Razi, dan az-

Zakarsyi adalah tentang al-amtsl yang bukan ad-dharb. Artinya, mereka berpendapat

bahwa al-amtsl adalah satu hal dan dharbul amtsl merupakan hal lain. Sebab,

memunculkan khayalan dalam bentuk realitas, dan keraguan di panggung keyakinan

bukanlah perkara penting dalam dharbul amtsal, tetapi ia menjadi milik al-amtsl.

Hal tersebut menunjukkan bahwa makna-makna universal sebenarnya tampil dalam

pikiran secara global dan samar, sehingga sulit menembus dan mengambilnya serta

mengeluarkan rahasianya. Dan al-matsal (kata tunggal dari al-amtsl) ialah yang

merinci keglobalan dan menjelaskan kesamarannya. Al-matsal adalah neraca, standar,

lentera, dan pelita kefasihan. (Lihat Tafsir al-Manar: 1/237).

-7-

Kitab-kitab Al-Amtsl Al-Qurniyah

Begitu pentingnya masalah ini, sehingga tidak sedikit dari ulama, baik klasik

maupun kontemporer, telah membuat karya-karya dan buku tentang al-Amtsl al-

Qur`niyah. Di antaranya kami sebutkan sebagai berikut:

1- Amtsl al-Quran, karya al-Junaid bin Muhammad al-Qawariri (wafat 298

H).

2- Amtsl al-Quran, karya Ibrahim bin Muhammad bin Arafah bin Mughirah,

dikenal dengan nama Nafthawaih (wafat 323 H).


3- Ad-Durrah al-Fakhirah fi al-Amtsal as-Sairah, karya Hamzah bin al-Hasan

al-Ishbahani (wafat 351 H).

4- Amtsl al-Quran, karya Abu Ali Muhammad bin Ahmad bin Junaid al-

Iskafi (wafat 381 H).

5- Amtsl al-Quran, karya Syeikh Abu Abdurrahman Muhammad bin Husein

as-Salmi an-Naisaburi (wafat 412 H).

6- Al-Amtsl al-Quraniyah, karya Abul Hasan bin Ali bin Muhammad bin

Habib al-Mawardi asy-SyafiI (wafat 450 H).

7- Amtsl al-Quran, karya Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin

Qayim al-Jauziyah (wafat 754 H). Karya ini telah dicetak beberapa waktu yang lalu.

8- Al-Amtsl al-Quraniyah, karya Abdurrahman Hasan Hanbakah al-Maidani.

9- Amtsl al-Quran, karya Maula Ahmad bin Abdullah al-Kuzkinani at-

Tabrizi (wafat 1327 H). Karya ini tercetak di atas batu di Tabriz tahun 1324 H.

10- Amtsl al-Quran, karya Mahmud bin asy-Syarif.

11- Al-Amtsl fi al-Quran al-Karim, karya Dr. Muhammad Jabir al-Fayadhi.

12- Ash-Shuratu al-Fanniyah fi al-Matsal al-Qurani, karya Dr. Muhammad

Husein Ali ash-Shaghir.

13- Amtsl al-Quran (dalam bahasa Parsi), karya Ali Ashghar Hikmat.

14- Tafsir Amtsl al-Quran (dalam bahasa Parsi), karya Dr. Ismail Ismaili.

-8-

Pembagian Al-Amtsl Al-Quran: Yang Jelas dan Yang Samar

Badruddin az-Zarkasyi menyebutkan bahwa al-Amtsl terbagi menjadi dua

bagian: pertama, yang tampak (zhhir); ialah yang menyebutkan kata matsal secara

terang dalam ucapan atau kalimatnya. Kedua, yang tersembunyi (kmin); ialah yang
tidak disebutkan kata matsal di dalam ucapan atau kalimatnya, tetapi ucapan atau

kalimat itu memiliki hukum al-amtsal (al-Burhan fi Ulum al-Quran: 1/571).

As-Suyuthi mengutip beberapa nash dan mencoba menginterpretasikan al-

matsal al-kmin, dan berkata: Ini bukan nash az-Zarkasyi. Adapun contoh-contoh

yang pertama (yakni al-matsal azh-zhhirah) antara lain ialah firman Allah SWT:

perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api.. [al-Baqarah: 17-

20]. Dalam ayat ini Allah membuat dua perumpamaan bagi kaum munafik; yakni

yang pertama mengumpamakan dengan api, dan yang kedua mengumpamakan

dengan hujan.

Kemudian ia berkata: Adapun perumpamaan yang tersembunyi (al-kminah),

maka al-Mawardi berkata: Aku mendengar Abu Ishaq Ibrahim bin Mudharib bin

Ibrahim berkata: Aku mendengar ayahku berkata: Aku berkata kepada al-Husein bin

Fadl; Anda melontarkan perumpamaan-perumpamaan Arab dan Ajam dari al-Quran,

apakah Anda menemukan di dalam Kitabullah kalimat khairul umuur awsathuh

(sebaik-baik perkara adalah tengah-tengahnya)?

Ia (al-Husein bin Fadhl) berkata: Ya, dalam empat tempat: Firman Allah: yang tidak

tua dan yang tidak muda [al-Baqarah: 68]. Dan orang-orang yang apabila

membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula kikir), dan

adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian [al-Furqan: 67]. Dan

janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu

terlalu mengulurkannya [al-Isra: 29]. Dan Dan janganlah kamu mengeraskan

suaramu dalam salatmu dan jangalah pula merendahkannya, dan carilah jalan

tengah di antara kedua itu [al-Isra: 110].


Aku (ayah Abu Ishaq) bertanya: Apakah Anda menemukan dalam Kitabullah

kalimat man jahila syai`an dhu (orang yang tidak tahu sesuatu maka ia

menjauhinya?)

Ia menjawab: Ya, di dua tempat, yaitu: Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa

yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna [Yunus: 39]. Dan Dan

karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka mereka akan berkata: Ini

adalah dusta yang lama [al-Ahqaf: 11].

Dan, soal atau tanya jawab itu sebagai berikut:

S: Apakah Anda menemukan dalam Kitabullah: ihdzar syarra man ahsanta ilahi

(waspadalah akan keburukan orang yang telah kamu berbaik kepadanya)?

J: Ya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan

rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka [at-Taubah: 73].

S: Apakah Anda menemukan dalam kitab Allah: laisa l-khabaru ka l-iyn (bukanlah

khabar itu yang sudah jelas-jelas)?

J: Dalam al-Quran disebutkan: Allah berfirman: Apakah kamu belum percaya?

Ibrahim menjawab: Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati

saya [al-Baqarah: 26].

S: Apakah Anda menemukan fi l-harakt al-barakt (dalam gerakan-gerakan terdapat

keberkahan-keberkahan)?

J: Dalam firman-Nya: Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka

mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak [an-

Nisa: 100].

S: Apa Anda menemukan: kam tadiinu tudnu (sebagaimana kamu taat, maka kamu

pun diganjar)?
J: Dalam firman-Nya: Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan

diberi pembalasan dengan kejahan itu [an-Nisa: 123].

S: Apakah Anda menemukan di dalam al-Quran perkataan mereka; hiina taqlii tadri

(akan kau ketahui ketika kau menggoreng)?.

J: Dan mereka kelak akan mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang

paling sesat jalannya [al-Furqan: 42].

S: Apakah Anda menemukan kalimat l yuldaghu l-mu`min min juhrin marratain

(orang mukmin tidak dipatuk dalam satu sarang sebanyak dua kali)?.

J: Bagaimana aku mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku

telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu [Yusuf: 64].

S: Apakah Anda menemukan juga: man ana zhliman sullitha alaihi (barangsiapa

yang membantu orang zalim maka ia telah dikuasainya)

J: Telah ditetapkan terhadap setan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengan

dia, tentu dia (setan) akan menyesatkannya, dan membawanya ke azab neraka [al-

Hajj: 4].

S: Bagaimana dengan perkataan mereka: l talidu l-hayyah illa l-hayyah (ular tidak

melahirkan kecuali ular).

J: Firman Allah: dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat

maksiat lagi sangat kafir [Nuh: 27].

S: Apakah Anda menemukan: li l-hiithn dzn (dinding-dinding itu punya telinga)?.

J: dan di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan

mereka [at-Taubah: 47].

S: Bagaimana dengan kalimat: al-jhil marzuuq wa l-lim mahruum (orang bodoh

diberi rezki dan orang alim tertahan rezkinya.).


J: Barangsiapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha

pemurah memperpanjang tempo baginya [Maryam: 75].

S: Apakah Anda menemukan dalam al-Quran kalimat: al-hall l ya`tiika ill quutan

wa l-harm l ya`tiik ill jazfan (yang halal tidak datang kepadamu kecuali makanan

pokok, dan yang haram tidak datang kepadamu kecuali barang yang tanpa ditakar)?

J: di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka

terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu

tidak datang kepada mereka [al-Araf: 163] (al-Itqan fi Ulum al-Quran: 2/1045-

1046).

Kita dapat menyimpulan dari perumpamaan-perumpamaan di atas: Bahwa

jika Anda benar-benar memperhatikan apa yang disebutkan al-Mawardi di atas, yakni

perumpamaan (matsal) Qurni dengan tabir makna perumpamaan tersembunyi

(matsal kmin), menunjukkan bahwa al-Mawardi tidak pernah menukil matsal kmin

dari al-Husein bin Fadhl. Sebab, al-Mawardi tidak menamakan yang demikian itu

sebagai matsal kmin, tetapi ia mendatangkan sebuah riwayat untuk membandingkan

(muqranah) antara sesuatu dengan sesuatu yang lain yang mungkin dipandang

sebagai perumpamaan dari ungkapan bangsa Arab dan Ajam. Setelah melakukan itu

ia meletakkan katalog pilihan yang diambilnya dari ayat-ayat al-Quran yang

mengalahkan ungkapan orang-orang Arab dan Ajam sebagai bukti bahwa amtsal

Qurani jauh lebih tinggi di atas amtsl mereka.

Jadi, penamaan yang dipilih as-Suyuthi adalah mengikuti az-Zarkasyi, yang

dengan nama itu ia mencocokkan contoh-contoh tersebut. Menurut as-Suyuthi semua

itu termasuk amtsl kminah. Tetapi, yang jelas bahwa ibarat-ibarat Quraniyah

tersebut bukan termasuk dalam bab al-amtsl. Soal pencakupan ibarat atas makna

yang ada di dalam matsal, tidaklah cukup untuk memutlakkan sebutan al-matsal atas
ibarat tersebut, sehingga bentuk yang diriwayatkan itu adalah rukun yang asas dalam

matsal.

Oleh karena itu, yang dapat dilihat ialah bahwa pengistilahan ulama atas

penamaan ibarat Quraniyah di sini (-yaitu- amtsl kminah), adalah pengupayaan

yang tidak bersandar pada dalil, baik secara nash maupun secara historis. (Lihat, ash-

Shuratu al-Fanniyah fi al-Matsal al-Qurani: 118, nukilan dari kitab al-Amtsal fi an-

Natsri al-Arabi al-Qadim).

Interpretasi Lain bagi Al-Matsal al-Kmin

Mungkin saja, perumpamaan yang tersembunyi (al-matsal al-kmin)

ditafsirkan dengan bentuk proporsional (at-tamtsilt) tanpa bersambung dengan kata

at-tasybiih atau penyerupaan (yakni kata matsal dan huruf kf). Namun kenyataannya,

hal itu merupakan tamtsil yang sangat indah dalam hakikat (secara aqliyah), meskipun

ia kurang indah apabila ditangkap secara emosional. Dalam hal ini, beberapa ayat al-

Quran dapat dipetik untuk dijadikan contoh:

1- Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya atas dasar takwa

kepada Allah dan keridhaan(-Nya) itu yang baik, ataukah orang yang mendirikan

bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama dia ke

dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang

yang zalim [at-Taubah: 109].

Sesungguhnya Allah SWT menyerupakan bangunan yang didirikan orang

zalim atau munafik seperti bangunan di tepi jurang. Sebagai orang yang membangun

di tepi jurang, maka bangunannya berbahaya, labil, dan sangat mudah runtuh. Artinya,

bangunan mereka akan runtuh dan segera jatuh di neraka jahannam. Ayat ini

menunjukkan bahwa tidak sama antara amal orang bertakwa dengan amal orang

munafik. Amal orang mukmin yang bertakwa itu kokoh dan tangguh, pondasinya
ditanam di atas landasan yang benar dan kuat, sedangkan amal orang yang munafik

tidak kokoh dan segera runtuh (Majma al-Bayan: 3/73).

2- Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan

menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka

pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang

jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat

kejahatan [al-Araf: 40].

Dahulu Arab menyerupakan sesuatu yang jauh dijangkau, dengan perkataan:

Aku tidak berbuat demikian sampai gagak beruban, sampai batu hitam memutih.

Atau dengan pepatah-pepatah lain. Seorang penyair berkata: Jika gagak beruban

kudatangi istriku. Dan apabila batu hitam telah menjadi seperti air susu.

Dalam surat al-Araf ayat-40 di atas Allah SWT menyerupakan kemustahilan

orang kafir masuk ke surga dengan ungkapan: orang-orang kafir akan masuk surga

apabila sudah tiba waktunya unta masuk ke dalam lubang jarum. Ungkapan ini

menunjukkan bahwa mereka tidak akan pernah masuk surga selama-lamanya.

3- Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya subur dengan seizin Allah;

dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana.

Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang

yang bersyukur [al-Araf: 58].

Ayat ini memberikan perumpamaan untuk orang mukmin dan orang kafir.

Semua tanah adalah satu jenis, ada yang baik, lembut, dan subur, yang lunak oleh

hujan, tanah yang cocok untuk tumbuhan dan banyak hasilnya. Tetapi, ada pula yang

tandus, tidak menumbuhkan tanaman apapun, dan kalau menumbuhkan pun tidak

memberikan manfaat yang berarti bagi manusia.


Demikian juga dengan kalbu atau hati manusia, yang secara fisik terdiri dari

darah dan daging. Di antara hati manusia itu ada yang lunak (baca: mudah) menerima

nasihat, tapi ada pula yang kering dan keras serta tidak mau menerima nasihat. Maka,

hendaklah bersyukur kepada Allah orang-orang yang lunak hatinya, yang selalu

mengingat-Nya (Majma al-Bayan: 2/ 432).

Potongan ayat selanjutnya berbunyi; kadzlika nusharrifu l-yt

(Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran Kami). Maknanya,

pengetahuan yang disampaikan melalui tamtsil memiliki kedudukan penting,

sebagaimana juga terdapat pada ayat selanjutnya.

4- Allah SWT berfirman: Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin

kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; di dalam kebun

itu dia mempunyai segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada

orang itu sementara dia mempunyai keturunan yang masih kecil. Maka kebun itu

ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah

menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu agar kamu memikirkannya [al-Baqarah:

266].

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibn Abbas: Suatu hari Umar bin Khatthab

berkata kepada para sahabat Nabi as: Tentang siapa ayat ini turun; Apakah ada

salah seorang di antaramu yang menginginkan kebun kurma dan anggur..?

Allah Maha Mengetahui, jawab mereka.

Umar marah lalu berkata: Katakanlah, kami tahu atau tidak tahu!.

Lalu Ibn Abbas berkata: Dari ayat itu aku memiliki sesuatu.

Wahai anak saudaraku, katakanlah! Janganlah menutup diri, kata Umar.

Ibn Abbas berkata: Aku membuat matsal dalam amal.

Amal apakah itu?, tanya Umar.


Ibn Abbas berkata: Seorang lelaki kaya mempunyai sebuah amal ketaatan

kepada Allah, kemudian Allah mengutus setan kepadanya, kemudian ia berbuat

maksiat sehingga menenggelamkan amal-amal(baik)nya [Shahih al-Bukhari: at-

Tafsir; Tafsir surat al-Baqarah, bab Qauluhu: Ayawaddu ahadukum.., No. 4273].

Kesimpulan pembahasan ini adalah: Perumpamaan atau penyerupaan di dalam

al-Quran memiliki beberapa ciri, antara lain: pertama, bergandengan dengan kata

matsal. Kedua, bergandengan dengan matsal yang disertai kata dharbu, yang Allah

SWT memilih dharb menjadi bagian yang besar dalam amtsl al-Quran. Ketiga,

diiringi dengan huruf yang bermakna penyerupaan (kf at-tasybiih). Keempat, dengan

menyebutkan materi matsal tanpa bergandengan dengan salah satu dari keduanya

(dharb atau matsal), seperti pada ayat: wa l-baladu th-thayyibu yakhruju nabtuhu bi

idznihi rabbihi, wa l-ladzii khabutsa l yakhruju ill nakidan (dan tanah yang baik

yang tanamannya subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur yang

tanamannya hanya tumbuh merana. [al-Araf: 58].

-9-

Maksud Dharbul Matsal

Al-Quran menggunakan dua kata, al-matsal dan al-mitsl, dalam beberapa

ayatnya, yang jumlah penggunaannya hampir delapan puluh kali. Kata al-mitsl

digunakan satu kali lebih banyak dari kata al-matsal. Kata al-amtsl merupakan

bentuk jamak bagi keduanya. Tetapi kedua kata atau lafaz ini berbeda maksud sesuai

dengan ada tidaknya pasangan katanya (qariinah). Kalimat dalam surat al-Araf ayat-

194: inna l-ladziina taduuna min duuni llhi ibdun amtslukum (sesungguhnya

berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk yang lemah yang

serupa juga dengan kamu) menunjukkan bahwa kata amtsl pada ayat tersebut

merupakan bentuk jamak dari al-mits. Buktinya adalah, Allah menilai tuhan-tuhan
kaum musyrik seperti diri mereka dalam kebutuhan dan kemungkinan (imkn), yakni,

tuhan-tuhan buatan itu adalah makhluk atau keberadaan yang membutuhkan sebab.

Dalam al-Hasyr ayat-21 disebutkan: tilka l-amtslu nadhribuh li n-nsi

laallahum yatafakkaruun (dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk

manusia supaya mereka berpikir. Dalam ayat ini, kata al-amtsl dan adh-dharb

diletakkan bergandengan. Hal ini merupakan bukti atas bentuk jamak matsal. Yang

penting dalam masalah ini adalah mempelajari makna adh-dharb dan semacamnya,

mengingat tak sedikit kata al-matsal yang bergandengan kata adh-dharb. Misalnya

dalam surat Ibrahim ayat-24: dharaba-llh matsalan (Allah telah membuat

perumpamaan kalimat yang baik) dan wa laqad dharabn li n-nsi fi hdza l-

qur`ni min kulli matsalin laallahum yatafakkarun (Sesungguhnya telah Kami

buatkan bagi manusia dalam al-Quran ini setiap macam perumpamaan supaya mereka

dapat pelajaran. [az-Zumar: 27].

Dalam hal ini para mufasir berbeda pendapat ketika menafsirkan kata adh-

dharb. Setelah mereka bersepakat bahwa adh-dharb dalam bahasa bermakna

penjatuhan sesuatu atas sesuatu, yaitu menjatuhkan dengan tangan atau dengan

tongkat atau dengan alat pemukul lainnya. Seperti terdapat dalam ayat: ani dhrib bi

ashka l-hajar (pukullah batu itu dengan tongkatmu!). [al-Araf: 160]. Dalam hal

ini, mereka menyebutkan beberapa segi:

1- Bahwa adh-dharb dalam masalah ini bermakna al-matsal, dan yang

dimaksud adalah at-tamtsil. Pengertian ini yang dipilih oleh Ibn Manzhur, dengan

dalil ayat: wa dhrib lahum mastalan ashhba l-qaryati idz j`ah l-mursalun

[Yasin: 13], yakni: matstsil lahum matsalan hla ashhbi l-qaryah (buatlah bagi

mereka suatu perumpamaan, yaitu keadaan penduduk suatu negeri), dan itu adalah
keadaan ashhbul qaryah. Dan ayat: yadhribu llhu l-haqqa wa l-bthil [ar-Rad:

17], adalah: yamtsilu llhu l-haqqa wa l-bthil.

2- Bahwa adh-dharb bermakna sifat dan penjelasan. Sebagaimana

diriwayatkannya dari Muqatil bin Sulaiman yang menafsirkan ayat: wa dharaba

llhu matsalan abdan mamluukan l yaqdiru al syai`in [an-Nahl: 75].

3- Bahwa adh-dharb bermakna kepercayaan dan pengukuhan. Inilah pilihan

tafsir dari Syeikh ath-Thusi (wafat 460 H) dalam at-Tibyan fi Tafsir al-Quran: 7/302;

az-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf: 2/553, dan al-Alusi (wafat 1270 H) dalam ar-Ruuhu

al-Maani: 1.207. Mereka menafsirkan ayat-73 surat al-Hajj: y ayyuha n-nsu

dhuriba matsalun fa stamiuu lah dengan makna tersebut.

4- Bahwa adh-dharb dalam kedudukan ini termasuk dalam perkara bepergian

dan menempuh perjalanan (adh-dharb fi l-ardh wa qathu l-masiir). Dharbul matsal

adalah menjadikan matsal menempuh perjalanan ke negeri-negeri, seperti dalam

dharaba fi l-ardh. Dan kata dhrib dinamakan juga mudhrib (yang berspekulasi)

(lihat, al-Hukum wa al-Amtsal: 79).

Jadi jika adh-dharb bermakna menempuh dan melintasi benua, maka dharbul

matsal adalah menjadikan perumpamaan sesuatu yang berlaku di antara kaum-kaum

dan bangsa-bangsa. Perumpamaan itu berjalan dan terus berjalan hingga menembus

kalbu-kalbu.

Pada kedudukan ini Ibn Qayim mengungkapkan beberapa kemungkinan,

antara lain: Allah SWT membuat untuk hamba-Nya perumpamaan-perumpamaan,

Rasulullah saw membuat perumpamaan-perumpamaan bagi umatnya, dan orang-

orang bijak, ulama dan pendidik pun membuat perumpamaan-perumpamaan. Lalu,

apa makna dharbul matsal?


- Dharbul matsal berasal dari kalimat: dharaba fi l-ardh (berjalan melintasi

negeri-negeri). Maka makna dharbul matsal adalah menjadikan matsal tersebar,

tersiar dan berjalan melintasi negeri-negeri. Ini yang dipilih oleh Abu Hilal dalam

mukadimah kitabnya. (lihat: Jamharatu al-Amtsal).

- Dharbul matsal bisa bermakna menegakkan matsal bagi masyarakat dengan

cara memasyhurkannya, yakni dengan menggunakannya sebagai argumentasi dalam

benak dan pikiran, sebagaimana mata-mata mereka menjadi dalil atas sesuatu yang

ditegakkan. Dalam konteks ini, dharbul matsal berasal dari perkataan mereka:

dharabtu l-khib` (telah kudirikan atau kupasang kemah).

Dalam surat ar-Rad ayat-17: kadlika yadhribu llhu l-haqqa wa l-bthil,

yakni Allah SWT yanshibu (memasang) petunjuk kebenaran dan kebatilan serta

menjelaskan tanda-tanda keduanya, agar para mukallaf mengenal kebenaran berikut

tanda-tandanya sehingga mereka menujunya; dan agar mereka mengetahui pula

kebatilan dengan tanda-tandanya sehingga menjauhinya. Sebagaimana yang dikatakan

asy-Syarif ar-Radhi (358-406 H) dalam kitabnya Talkhish al-Bayan fi Majzti al-

Quran: Terkadang dharbul matsal dimaknai sebagai membuat perumpamaan

(matsal), yang berasal dari kalimat; dharbul laban (membuat susu) dan dharbul

khatam (membuat cincin). Atau dimaknai dengan, menetapkan sesuatu atas sesuatu.

(lihat, Talkhish al-Bayan fi Majzti al-Quran: 107)

- Dharbul matsal berasal dari dharbu ad-darhim (mencetak dirham-dirham);

yakni menempelkan huruf-huruf atau gambar atas dirham untuk dicetak dengannya.

Maksudnya, matsal dimaknai dengan kesesuaian atas suatu keadaan, yakni matsal

hadir untuk menjelaskan suatu sifat tertentu yang bersesuaian. Ringkasnya; dharbul

matsal diangkat dari beberapa kemungkinan, yaitu: (1) Bermakna sra (berjalan); dari

dharaba fi l-ardh; atau (2) Bermakna nashaba (menegakkan); dari dharabahu li n-


ns; atau (3) Bermakna shanaa (membuat); atau (4) Bermakna menetapkan sesuatu

atas sesuatu. (al-Amtsal fi al-Quran al-Karim: 20-21)

Dengan demikian terungkap tafsir ayat: ..Dan orang-orang yang zalim itu

berkata: Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena

sihir. Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan

tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan

(untuk menentang kerasulanmu) [al-Furqan: 8-9].

Ayat ini menjelaskan sikap orang-orang musyrik yang menyifati atau

menyamakan Nabi Muhammad saw dengan seorang laki-laki yang tersihir. Tapi Allah

SWT menegaskan dalam firman-Nya: Perhatikanlah wahai Nabi, kaifa dharabuu

laka l-amtsl; yakni bagaimana mereka menyifatimu sebagai orang yang tersihir.

Padahal siirah-mu bersaksi atas kebalikan dari penyifatan kaum musyrikin itu. Ayat-

ayat yang dilantunkan Nabi saw adalah firman Allah SWT, yang tidak ada

hubungannya dengan sihir, dan apa yang mereka lihat dari al-Quran sungguh menarik

akal dan memikat segenap hati. Hal itu disebabkan oleh kemanisan, keindahan dan

kemukjizatan al-Quran yang luar biasa. Lalu bagian manakah yang disebut sihir?

Dengan demikian, makna yang sesuai untuk penafsiran ayat 8-9 surat al-

Furqan di atas ialah, kata adh-dharb ditafsirkan sebagai sifat. Dan telah dikatakan

sebelumnya bahwa sifat merupakan salah satu dari makna adh-dharb, seperti

dinyatakan oleh Ibn Manzhur: lihatlah, bagaimana mereka menyifatimu dengan

tersihir?

Sedangkan untuk kata adh-dharb yang ditafsirkan sebagai tamtsil atau

perumpamaan (bukan sifat) dengan mengatakan: lihatlah bagaimana mereka

memperumpamakan bagimu suatu misal atau tamtsil, maka hal ini sama sekali tidak

sempurna. Sebab menyifati Nabi Muhammad saw dengan tersihir, bukanlah matsal
s`ir (perumpamaan yang berlaku/beredar), juga bukan merupakan tamtsil qiysi

(proporsi silogisme).

Tafsir yang serupa ialah adh-dharb dengan qathu l-ardh (melintasi bumi atau

dunia). Kaum musyrikin tidak menyifati Nabi saw dengan itu untuk memasyhurkan

beliau, sehingga mereka mengatakan sairan fi l-ardh (berjalan atau melintasi negeri-

negeri).

-10-

Al-Amtsl Al-Qurniyah dan Kesesuaiannya dengan Kondisi

Setiap pembicara, tidak diragukan lagi, dipengaruhi oleh lingkungan (situasi

dan kondisi) yang melingkupi hidupnya. Karena itu, setiap pembicaraan kemudian

dengan mudah dapat dibedakan, mana yang dari kota dan mana yang dari desa, atau

dari pedalaman. Hal ini terjadi karena lingkungan termasuk salah satu dari tiga hal

yang membentuk pribadi manusia. (dua hal yang lain adalah keluarga dan pendidikan,

penj.) Dari sisi ini seorang muhaqqiq yang ahli dalam sejarah dapat membedakan

antara syiir jahiliyah dengan syiir pada masa Islam, syiir pada masa Umayah

dengan syiir di masa Abbasiyah. Hal ini sebagai sebuah kesimpulan dari pemantulan

keadaan atas jejak sastra. Tetapi al-Quran, yang merupakan firman Allah SWT, bersih

dari ketidaksempurnaan ini. Sebab, Allah SWT adalah Pencipta segala sesuatu. Dia

Maha Suci dari pengaruh selain-Nya.

Di samping itu, al-Amtsl al-Quraniyah turun sebagai hidayah bagi manusia,

dan karena itu mesti diperhatikan tujuan diturunkannya. Kita mendapati tanda

Mekah pada ungkapan al-Amtsl al-Makkiyah dan tanda Madinah pada uraian al-

Amtsl al-Madaniyah.

Al-Amtsal al-Makkiyah menjadi semacam balai pusat penanganan penyakit

yang melanda masyarakat Mekah. Di masa itu, misalnya, Nabi Muhammad saw
memberikan argumentasi kepada kaum musyrikin, menilai bodoh pikiran-pikiran

mereka, mengajak mereka untuk beriman kepada Tuhan Yang Esa dan hari akhir, dan

menyuruh mereka meninggalkan berhala-berhala. Dalam besar dan luasnya cakupan

pergulatan ini, al-Quran datang dengan bahasa perumpamaan yang memukau dengan

memperserupakan tuhan-tuhan buatan yang mereka pegang rumbai-rumbainya itu

dengan sarang laba-laba, yang tidak lebih kuat dari hembusan angin, dan tidak lebih

kokoh dari tetesan rintik hujan.

Allah SWT berfirman: Perumpamaan orang-orang yang mengambil

pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah.

Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau saja

mereka mengetahui [Al-Ankabut: 41].

Tuhan-tuhan yang mereka jadikan sebagai benteng-benteng penjaga,

diserupakan dengan garis-garis (benang) laba-laba. Dengan itulah Allah SWT

merendahkan dan menghina musyrikin.

Sebagaimana dalam ayat lain, mereka diserupakan dengan lalat; Hai

manusia, telah dibuat perumpamaan-perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu

perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak

dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya.

Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya

kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pula) yang

disembah [al-Hajj: 73].

Konon kaum Quraisy menyembah 360 tuhan. Mereka memolesi tuhan-tuhan

itu dengan minyak zafaron sampai kering, lalu datanglah lalat-lalat merampas (baca:

menghisap) minyak itu, dan tuhan-tuhan mereka itu tidak mampu membela diri. Allah

SWT berfirman: dhaufa th-thbi wa l-mathluub (begitu lemahnya si


pencari/penyeru dan yang dicari/diseru). Yakni, si pencari adalah lalat dan yang

diseru adalah tuhan berhala.

Mastal dalam ayat ini sangat memukul kaum musyrikin, yang

mengumpamakan tuhan-tuhan mereka dengan serangga yang rendah. Dan

perumpamaan ini beredar di tengah umat manusia sejak al-Quran melontarkannya

empat belas abad silam. Matsal Qurani kerapkali ditujukan kepada para pembesar,

pejuang, dan tokoh-tokoh cendekiawan, dan selalu unggul mengatasi orang-orang

yang tertipu oleh kebanggaan, kebatilan, dan jebakan atas nama penemuan-penemuan

seputar keluar-biasaan pengetahuan. Segolongan orang menyalin hasil temuan

mereka, bergabung untuk membunuh lalat, atau membebaskan dan melindungi

sesuatu yang diserang oleh rombongan serangga kecil ini. Mereka mematikan

serangga kecil itu dengan hawa yang disemprotkan dari pemusnah serangga. Namun,

lalat-lalat tetap saja mampu menyangkal penemuan pemusnah kehidupan serangga

tersebut, dan dengan sentuhan lembutnya justru terus saja membawa kuman penyakit

yang mematikan kepada mereka. (ash-Shuratu al-Fanniyah fi al-matsal al-Qurani:

99, menukil dari kitab al-Quran wa Qadhaya al-Insan karya Bintu asy-Syathi`).

Demikianlah ayat Kitab Suci memberi perumpamaan tentang lemahnya

penyembahan orang-orang musyrik dan kafir (kaum penolak kebenaran) kepada

patung-patung berhala. Sedangkan mengenai orang-orang yang condong memilih

dunia dan berpaling dari akhirat, al-Quran membawakan sebuah perumpamaan yang

menunjukkan bahwa dunia hanyalah seperti bayangan, yang akan hilang dan cepat

berlalu. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu,

adalah seperti (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan

suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan

manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna
keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira

bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di

waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya itu) laksana

tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.

Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (Kami) kepada orang-orang yang

berpikir [Yunus: 24]. Ayat yang mengutarakan al-amtsl untuk tauhid dan cara

pandang manusia terhadap pilihan hidupnya ini (dunia atau akhirat) banyak turun di

Mekah.

Tanda Madinah tampak pada al-amtsl yang turun di Madinah. Amtsl ini

ditujukan untuk menangani penyakit-penyakit yang melanda masyarakat Madinah dan

sekitarnya waktu itu; yaitu penyakit-penyakit moral yang memunculkan kesyirikan,

keberhalaan, dan pengingkaran terhadap kehidupan ukhrawi. Karena itu, wahyu yang

turun di Madinah memusatkan pada penanganan jenis penyakit-penyakit tersebut

dengan tamtsil-tamtsil yang akan diisyaratkan selanjutnya.

Ketika berhijrah, Rasulullah saw dan para sahabat setianya diganggu oleh

sepak terjang kaum munafik yang terus menyimpan kekufuran dalam tampilan

keislaman dengan tujuan merusak pemerintahan Islam yang baru dibangun. Dalam

masa penuh ujian bagi golongan mukminin itu tampak bahwa al-amtsal al-Madaniyah

dalam banyak ayat menyerang kaum munafik dan menjelaskan aksi-aksi mereka

terhadap Islam dan muslimin. Di antaranya; Allah SWT membuat perumpamaan bagi

mereka dengan api dan hujan: Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang

menyalakan api. Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan

cahaya (yang menyinari) mereka itu, dan membiarkan dalam kegelapan (sehingga

mereka) tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan

kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat
dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya

dengan jari-jemarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan

Allah meliputi orang-orang yang kafir [al-Baqarah: 17-19].

Ketika itu, di dalam masyarakat Madinah terdapat tiga kelompok bangsa

Yahudi, yaitu bani Qainuqa, bani Nadhir, dan bani Quraidhah. Mereka memiliki

watak membuat makar dan tipu muslihat. Sebenarnya, mereka sudah membaca tanda-

tanda kerasulan Muhammad saw dalam kitab Taurat, tapi mereka mengabaikan ayat-

ayat Taurat tersebut dan hanya memandangnya sebagai bacaan yang tidak enak dibaca

dan ditulis. Sifat kaum Yahudi ini digambarkan di dalam al-Quran melalui

penyerupaan mereka dengan keledai yang membawa kitab-kitab berharga tanpa

mengambil manfaat sedikitpun darinya. Allah SWT berfirman: Perumpamaan

orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, tapi kemudian mereka tidak

memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangat

buruk sifat kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi

petunjuk kepada kaum yang zalim. [al-Jumah: 5]

Di sisi lain, kaum muslimin yang hidup bersama Nabi Muhammad saw

memang tidak sepi dari berbagai ujian. Karena itu, mereka selalu membutuhkan

hidayah ilahiyah yang dapat memperbaiki akhlak mereka. Sebagian dari mereka yang

menginfakkan harta karena riy` dan tidak mengharap keridhaan Allah, atau berinfak

dengan rasa pamrih dan menyakiti hati si penerima, diberi teguran keras melalui

perumpamaan khusus. Sebuah perumpamaan yang menjelaskan sikap penginfak di

jalan Allah dan penginfak yang berpamrih, riya, dan menyakiti si penerima tampak

dalam ayat berikut ini: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang

yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang

menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir (tumbuh lagi) seratus biji. Allah
melipat gandakan (pahala) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas

(karunianya) lagi Maha mengetahui. [al-Baqarah: 261].

Sedangkan ayat selanjutnya menjelaskan: Hai orang-orang beriman,

janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya

dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya

karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.

Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian

batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka

tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak

memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir [al-Baqarah: 264].

Inilah gambaran sekilas tentang al-Amtsl al-Quraniyah yang turun sebelum

dan sesudah Hijrah. Selanjutnya akan dibasah al-amtsal dalam tafsir satu persatu ayat.

-11-

Mengingkari Al-Amtsl Al-Qur`niyah

Sebagian ayat al-Quran mengungkapkan adanya kelompok yang mengingkari

perumpamaan al-Quran. Hal itu disebabkan oleh fakta penyingkapan al-Quran atas

niat (busuk) kaum musyrik dan munafik dan mengungkapkan realitas keyakinan

mereka serta menilai bodoh cara berpikir mereka. Pengetahuan yang disampaikan al-

Quran itulah yang membuat para pengingkar kebenaran gelisah dan terguncang. Yang

demikian itu, secara mengesankan diajarkan oleh Allah SWT melalui perumpamaan

binatang seperti lalat, laba-laba, dan nyamuk, atau anjing dan keledai.

Allah SWT berfirman: Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu

menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu biarkan dia menjulurkan lidahnya

(juga) [al-Araf: 176].


Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian

mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal

[al-Jumah: 5].

Allah SWT memperlihatkan pengingkaran mereka dalam firman-Nya:

Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang

lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa

perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan

apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? Dengan perumpamaan itu

banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak

yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang

yang fasik [al-Baqarah: 26].

Az-Zamakhsyari berkata: Tamtsil dibuat untuk menyingkap makna-makna

dan menguraikan yang samar menjadi tampak. Jika yang diperumpamakan besar,

maka begitu pula dengan yang dituju oleh perumpamaan itu. Demikian juga jika

perumpamaannya kecil atau rendah, ia pun berlaku demikian. (al-Itqan fi Ulumi al-

Quran: 2/1042).

Barangkali karena kesamaran makna ayat itu masih terjadi sampai masa kini,

sebagian masyarakat mengingkari perumpamaan dengan jenis serangga dan perkara-

perkara yang rendah dan hina lainnya. Mereka lalai bahwa ibrah yang terkandung di

dalam al-amtsal bukanlah pada perantara-perantaranya, tapi pada hakikat dan

tujuannya. Tidak ada orang yang mengetahui rahasia kemukjizatan susunan kerangka

tubuh nyamuk sebagai sebuah perumpamaan, dan tidak pula mengetahui pembuatan,

perencanaan dan persiapan di dalam susunan kerangka tersebut. Mungkin saja, dalam

ketidak-tampakan pandangan mata, terdapat rahasia tertentu yang tidak dimiliki oleh

kebanyakan kerangka binatang lain yang secara fisik lebih besar. Yang pasti, pembuat
semua itu adalah Allah SWT, dan cukuplah demikian. Allah, adalah Tuhan (bagi)

yang kecil dan yang besar, Pencipta nyamuk dan gajah. Mukjizat pada nyamuk

substansinya sama dengan mukjizat pada gajah. Nyamuk adalah mukjizat kehidupan,

memiliki rahasia yang tertutup yang tidak diketahui kecuali oleh Allah SWT. Ibrah

di dalam perumpamaan ayat bukan dilihat dari ukuran fisik (besar dan kecilnya)

contoh perumpamaannya, tetapi ia semata-mata alat dan perantara untuk penerangan

dan pencerahan. Tiada dalam pembuatan perumpamaan itu sesuatu yang tercela, dan

tiada tempat rasa malu untuk menyebutkannya. Allah Yang begitu agung hikmah-

Nya hendak menguji kalbu dan jiwa manusia. (Fi Zhilalu al-Quran: 1/57).

-12-

Perumpamaan-Perumpamaan Al-Quran

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa perumpamaan yang beredar

(matsal s`ir) bukanlah tamtsil yang ada dalam al-Quran. Ketika al-Quran

menyebutkan: Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia

supaya mereka berpikir [al-Hasyr: 21], ia menghendaki tamtsil, bukan matsal s`ir.

Dan tamtsil ini adalah sebuah metode Ulumul Quran dan merupakan bab besar

tentang pengetahuan-pengetahuan.

Tidak sedikit para peneliti dan ulama menuliskan penjelasan rumus-rumusnya

dalam kitab-kitab dan makalah-makalah. Sebagiannya telah disebutkan dalam deretan

daftar khusus, meskipun mungkin masih lebih banyak lagi dari apa dapat disebutkan

itu.

Untuk dapat memahami ayat-ayat yang akan diuraikan dalam pembahasan

buku ini, akan disampaikan perumpamaan al-Quran (tamtsil Quraniyah) menurut

urutan surat-surat yang memuatnya. Adalah DR Muhammad Husein Ali ash-Shaghir

yang menghimpun ayat-ayat perumpamaan itu dalam bukunya, ash-Shuratu al-


Fanniyah fi al-Matsal al-Qurani, meskipun ia melewati beberapa ayat karena

dianggap bukan bagian dari tamtsil. Marilah kita perhatikan ayat-ayat al-Quran

sebagai berikut:

1- Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah

api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka,

dan membiarkan dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta,

maka tidaklah mereka akan kembali (kejalan yang benar) [al-Baqarah: 17-18].

2- Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai guruh

dan kilat serta gelap gulita; mereka menyumbat telinga dengan jari-jemarinya karena

suara petir itu; sebab mereka takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang

kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu

menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa

mereka, mereka berhenti. (padahal) Kalau Allah menghendaki, niscaya Dia

melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa

atas segala sesuatu [al-Baqarah: 19-20].

3- Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau

yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman maka mereka yakin

bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. Tetapi mereka yang kafir

mengatakan, apakah maksud Allah menjadikan itu untuk perumpamaan? Dengan

perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan, dan dengan perumpamaan itu

(pula) banyak yang diberi petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali

orang-orang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah

perjanjian itu teguh, memutuskan apa-apa yang diperintahkan Allah untuk

menghubungkannya, dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-

orang yang merugi [al-Baqarah: 26-27].


4- Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti

pengembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan

seruan. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti [al-

Baqarah: 171].

5- Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang

kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang sebelum kamu? Mereka

ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-

macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman

bersamanya: Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat!. [al-

Baqarah: 214].

6- Atau apakah( kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang

(temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: Bagaimana Allah

menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh? Maka Allah mematikan orang itu

seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: Berapakah

lamanya kamu tinggal di sini? Ia menjawab: Saya tinggal di sini sehari atau

setengah hari. Allah berfirman: Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus

tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah;

dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang): Kami akan

menjadikan kamu sebagai tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada

tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami

menutupnya dengan daging. Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah

menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: Saya yakin bahwa Allah Maha

Kuasa atas segala sesuatu[al-Baqarah: 259].

7- Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan di

jalan Allah) adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir,
pada tiap-tiap bulir (tumbuh lagi) seratus biji. Allah melipatgandakan (karunia) bagi

siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha

Mengetahui. [al-Baqarah: 261].

8- Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekah

dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang

yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan (dia) tidak beriman

kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpaman orang itu seperti batu licin yang

di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia

bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka

usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir[al-

Baqarah: 264].

9- Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari

keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa, seperti sebuah kebun yang terletak di

dataran tinggi yang di siram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya

dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun

memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. [al- Baqarah: 265].

10- Apakah ada salah seorang di antara kamu yang ingin mempunyai kebun kurma

dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; di dalam kebun itu dia

memiliki segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu

sedang dia mempunyai keturunan yang kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras

yang mengandung api, lalu terbakar. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya

kepada kamu supaya kamu memikirkannya. [al-Baqarah: 266].

11- Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan)

Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya:

Jadilah (seorang manusia), maka jadilah dia. [al-Imran: 59].


12- Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini

adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa sangat dingin, yang

menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya.

Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka

sendiri. [al-Imran: 117].

13- Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami

berikan kepadanya cahaya terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di

tengah-tengah masyarakat, adalah serupa dengan orang yang keadaannya berada

dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari kegelapan itu?

Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah

mereka kerjakan [al-Anam: 122].

14- Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya subur dengan seizin Allah; dan

tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah

Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur

[al-ARaf: 58].

15- Dan beritakanlah kepada mereka tentang orang yang telah Kami berikan ayat-

ayat Kami (pengetahuan tetang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-

ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk

orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami

tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan

menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika

kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu biarkan dia menjulurkan

lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-

ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.
Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan

kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim. [al-ARaf: 175-177].

16- Sesungguhnya perumpaman kehidupan dunia itu adalah seperti air (hujan) yang

Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya tanam-tanaman bumi

karena air, yang di antaranya ada yang di makan manusia dan binatang ternak.

Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula)

perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa pasti menguasainya, tiba-tiba

datanglah azab Kami kepadanya di saat malam atau siang, lalu Kami jadikan

(tanamannya) laksana tanaman yang sudah disabit, yang seakan-akan belum pernah

tumbuh sebelumnya. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami)

kepada orang-orang yang berpikir[Yunus: 24].

17- Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang

mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan

mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah

kamu mengambil pelajaran (dari pada perbandingan itu)? [Hud: 24].

18- Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala

yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi

mereka, (keadaan mereka) seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya

ke dalam air supaya air sampai ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke

mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka [ar-

Rad: 14].

19- Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-

lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan

dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-

alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan (bagi) yang benar dan batil. Buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang

tidak berharga; sedangkan yang memberi manfaat kepada manusia, ia tetap di bumi.

Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. [ar-Rad: 17].

20- Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa ialah

(seperti taman) yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; pohonnya tak henti-henti

berbuah berikut naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-

orang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir adalah neraka.

[ar-Rad: 35].

21- Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka seperti abu

yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka

tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di

dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. [Ibrahim: 18].

22- Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan

kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya

(menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada tiap musim dengan seizin

Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya

mereka selalu ingat. [Ibrahim: 24-25].

23- Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah

dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; dia tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun

[Ibrahim: 26].

24- Dan kamu telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang

menganiaya diri mereka sendiri, telah nyata bagimu bagaimana Kami berbuat

terhadap mereka, dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan

[Ibrahim: 45].
25- Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat

yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi; dan Dia-lah Yang Maha

Perkasa lagi Maha Bijaksana [an-Nahl: 60].

26- Allah membuat perumpamaan melalui seorang hamba sahaya yang dimiliki,

yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun, dan seseorang yang Kami beri rezki

yang baik, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan terang-

terangan. Adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan

mereka tidak mengetahui. [an-Nahl: 75].

27- Dan Allah membuat (pula) perumpamaan dengan dua orang laki-laki; yang

seorang bisu, tidak dapat berbuat apa-apa dan menjadi beban atas penanggungnya,

ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan

kebajikan apapun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat

keadilan, dan yang selalu berada di atas jalan yang lurus? [an-Nahl: 76].

28- Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benang

yang sudah dipintalnya dengan kuat hingga menjadi cerai berai kembali. Kamu

menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan

adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.

Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari

kiamat akan dijelaskan kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. [an-

Nahl: 91-92].

29- Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang

dahulunya aman dan tenteram, rezki yang melimpah-ruah datang kepada

penghuninya dari segenap tempat, tetapi mereka mengingkari nikmat-nikmat Allah;

karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan,

disebabkan apa yang selalu mereka perbuat [an-Nahl: 112].


30- Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki. Kami

jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur yang

dikelilingi dengan pohon-pohon kurma, dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan

ladang. Kedua kebun itu menghasilkan buah, dan kebun itu tidak pernah kurang

buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia

mempunyai kekayaan besar. Maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika

sedang bercakap-cakap: Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikutku

lebih kuat. Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri;

ia berkata: Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak

percaya hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada

Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-

kebunku ini. Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya: Apakah kamu kafir

kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani,

lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi aku percaya

bahwa: Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan apapun dengan

Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan ketika kamu memasuki kebunmu

itu masya Allah, tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah? Jika kamu

anggap aku lebih sedikit daripada kamu dalam hal harta dan pengikut, maka mudah-

mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada

kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit

kepada kebun-kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; atau airnya

menjadi surut ke dalam tanah, sehingga kamu sekali-kali tidak dapat menemukannya

lagi. Dan harta kekayaan orang yang ingkar pun dibinasakan, lalu ia membolak-

balikkan kedua tangannya (menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk

itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: Aduhai
kiranya dulu aku tidak mempersekutukan Tuhan dengan seorangpun. Dan tidak ada

bagi dia segolonganpun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak

dapat membela dirinya. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah yang Haq. Dia

adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan. [al-Kahfi: 32-

43].

31- Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), bahwa kehidupan dunia

adalah laksana air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi suburlah

tumbuh-tumbuhan di muka bumi ini karenanya, kemudian tumbuh-tumbuhan itu

menjadi kering karena diterbangkan angin. Dan adalah Allah Maha kuasa atas

segala sesuatu [al-Kahfi: 45].

32- Hai manusia, telah dibuat perumpamaan-perumpamaan, maka dengarkanlah

olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-

kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk

menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka

dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat

lemah (pulalah) yang disembah. [al-Hajj: 73].

33- Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah,

adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.

Pelita itu berada di dalam kaca, dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)

seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,

(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di

sebelah barat(nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak

disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada

cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-


perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. [an-Nur:

35].

34- Dan untuk orang-orang yang kafir, amal-amal mereka seperti fatamorgana di

atas tanah datar yang disangka air oleh orang-orang yang haus dahaga. Bila air itu

didatangi, dia tidak mendapati sesuatu apapun. Dan dia mendapati (ketetapan) Allah

di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup,

dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. [an-Nur: 39].

35- Atau seperti gelap gulita di laut dalam, yang diliputi ombak, yang di atasnya

ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; kegelap-gulitaan yang bertumpuk-tumpuk.

Apabila dia mengeluarkan tangannya, dia tidak dapat melihatnya, (dan) barangsiapa

yang tidak diberi cahaya (petunjuk) Allah, dia tidak akan mempunyai cahaya

sedikitpun. [an-Nur: 40].

36- Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah

adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang

paling lemah adalah rumah laba-laba, jika mereka mengetahui. [al-Ankabut: 41].

37- Dan Dia-lah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian

mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu lebih

mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nya sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi; dan Dia

adalah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [ar-Rum: 27].

38- Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada di

antara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam

(memiliki) rezki yang telah Kami berikan kepadamu, maka kamu pun sama dengan

mereka dalam (hak mempergunakan) rezki itu, dan kamu takut kepada mereka

sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri. Demikianlah Kami jelaskan ayat-

ayat bagi kaum yang berakal. [ar-Rum: 28].


39- Dan tidak sama (antara) dua laut; yang satu tawar, segar, dan sedap diminum

dengan air lain, yang asin lagi pahit. Dari masing-masing laut itu kamu dapat

memakan daging yang segar dan dapat mengeluarkan perhiasan yang kamu bisa

memakainya, dan pada masing-masingnya kamu melihat kapal-kapal berlayar

membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu

bersyukur. [Fathir: 12].

40- Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Dan tidak sama

gelap gulita dengan cahaya. Dan tidak sama yang teduh dengan yang panas terik.

Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.

Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya

dan kamu sekali-kali tidak akan sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur

dapat mendengar. [Fathir: 19-22].

41- Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri

ketika utusan-utusan datang kepada mereka; (yaitu) ketika Kami mengutus kepada

mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami

kuatkan dengan (utusan) yang ketiga. Ketiga utusan itu berkata: Sesungguhnya kami

adalah orang-orang yang diutus kepadamu. Mereka menjawab: Kamu tidak lain

hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan

sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka. Para utusan itu berkata:

Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus

kepada kamu, dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah

Allah) dengan jelas. Mereka menjawab: Sesungguhnya kami bernasib malang

karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami

akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.

Utusan-utusan itu berkata: kemalanganmu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika
kamu diberi peringatan (maka kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah

kaum yang melampaui batas. Dan datanglah dari ujung kota seorang laki-laki, yang

sambil bergegas mengatakan: Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu, ikutilah

orang yang tidak pernah meminta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-

orang yang mendapat petunjuk. Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah

menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya lah kamu (semua) akan dikembalikan?

Mengapa aku menyembah tuhan-tuhan selain-Nya yang jika (Allah) Yang Maha

Pemurah menghendaki kemudaratan terhadapku niscaya syafaat mereka tidak

memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak dapat menyelamatkanku?

Kalau begitu, sesungguhnya aku pasti berada dalam kesesatan yang nyata.

Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan

keimanan)ku. Dikatakan (kepadanya): Masuklah ke surga Ia berkata: Alangkah

baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi

ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan. Dan

Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukanpun

dari langit, dan Kami tidak layak menurunkannya. Tidak ada siksaan atas mereka

melainkan satu teriakan saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati. Alangkah

besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasulpun

kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya. [Yasin: 13-30].

42- Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari

air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata. Dan dia membuat

perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; dia berkata: Siapakah

yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh. Katakanlah:

Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang telah menciptakannya pertama kali. Dan Dia

Maha Mengetahui tentang seluruh makhluk. [Yasin: 77-79].


43- Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki

oleh beberapa orang yang berserikat yang berada dalam perselisihan, dan seorang

budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja). Adakah kedua budak

itu sama keadaannya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak

mengetahui. [az-Zumar: 29]

44- Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan

apa yang dijadikan permisalan bagi Allah Yang Maha pemurah; jadilah mukanya

hitam pekat sedang dia amat menderita menahan sedih. [az-Zukhruf: 17-18]

45- Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami pun menghukum mereka.

Lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka

sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang datang kemudian. [az-

Zukhruf: 55-56]

46- Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan, tiba-tiba kaummu

(Qurays) bersorak karenanya. Dan mereka berkata: Manakah yang lebih baik

tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu

kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah

kaum yang suka bertengkar. Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami

berikan kepadanya (nikmat/kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti

(kekuasaan Allah) untuk Bani Israil. [az-Zukhruf: 57-59]

48- Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa, yang

di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak pernah berubah rasa dan baunya,

sungai-sungai dari air susu yang tak pernah berubah rasanya, sungai-sungai dari

khamar yang lezat rasanya bagi para peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang

disaring, dan di dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan dan

ampunan dari Tuhan mereka itu, apakah sama dengan orang yang kekal dalam
neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih yang memotong-motong

ususnya. [Muhammad: 15]

51- (Mereka adalah) seperti orang-orang yang belum lama sebelum mereka telah

merasakan akibat buruk dari perbuatan mereka, dan bagi mereka azab yang pedih.

[al-Hasyr: 15]

52- Bujukan orang-orang munafik itu adalah seperti (bujukan) setan ketika dia

berkata kepada manusia: kafirlah kamu, maka tatkala manusia itu telah kafir ia

berkata: Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut

kepada Allah, Tuhan semesta alam. [al-Hasyr: 16]

53- Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti

kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah, disebabkan takut kepada Allah. Dan

perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.

[l-Hasyr: 21].

54- Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan Taurat kepadanya, kemudian

mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang

tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu.

Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim [al-Jumah: 5]

55- Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir.

Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara

hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka

kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun (keluar) dari (siksa)

Allah; dan dikatakan kepada keduanya: Masuklah ke neraka bersama orang-orang

yang masuk (neraka) [at-Tahrim: 10].

56- Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang

beriman; ia berkata: Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam


surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku

dari kaum yang zalim. Dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang memelihara

kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan)

Kami, dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya, dan adalah dia

termasuk orang-orang yang taat. [at-Tahrim: 11-12]

57- Dan tidak Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan

tidaklah Kami jadikan bilangan mereka itu melainkan untuk menjadi cobaan bagi

orang-orang kafir, agar orang-orang yang diberi al-Kitab menjadi yakin, dan supaya

orang-orang yang beriman bertambah imannya, dan supaya orang-orang yang diberi

al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu, dan supaya orang-orang yang di

dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): Apakah yang

dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan? Demikianlah

Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk

kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara

Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan itu tidak lain hanyalah peringatan bagi

manusia [al-Mudatstsir: 31].

Itulah ayat-ayat yang diambil oleh Dr. M. Husein Ali Shaghir. Meskipun

demikian, ayat-ayat yang dikumpulkannya itu belum mencakup keseluruhan, karena

masih ada ayat-ayat lain yang memuat tamtsil. Meskipun di dalam ayat-ayat lain itu

tidak terdapat kata matsal atau huruf tasybih, tetapi ayat-ayat itu membuat tamtsil dan

memenuhi rukun-rukunnya. Seperti ayat: Orang-orang yang makan (mengambil)

riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan

lantaran (tekanan) penyakit gila. [al-Baqarah: 275]. Dalam ayat ini, pemakan riba

diserupakan dengan orang yang dirasuki sakit gila, sehingga ia menjadi orang yang
linglung, tidak punya akal, dan kehilangan kesadaran dirinya. Dan masih ada ayat-

ayat yang lain.

Sebagian ulama mengatakan bahwa kita dapat mengambil banyak hal

bermanfaat dari dharbul al-Amtsl di dalam al-Quran, antara lain: peringatan, nasihat,

anjuran dan pencegahan, pertimbangan, penetapan, pendekatan makna bagi akal, dan

penggambaran dalam bentuk inderawi. Al-amtsal merupakan pengambaran makna-

makna dalam bentuk yang lebih visual (baca: tampak mata), karena al-amstal

mengukuhkan sebuah tanda di dalam pikiran untuk membantu pemikiran atau

pandangan melalui reaksi panca indera. Tujuan pengungkapan seruan melalui

perumpamaan adalah penyerupaan (tasybih) yang samar dengan yang terang, yang

gaib dengan yang hadir.

Perumpamaan al-Quran mencakup penjelasan tentang perbedaan ganjaran dan

balasan, pujian dan celaan, pahala dan siksaan, meninggikan dan merendahkan

perkara, dan membenarkan dan membatilkan perkara. [Riyadhu as-Salikin: 5/461].

Berikut ini adalah ayat-ayat al-Quran yang secara jelas memuat (kata) matsal.

Kata yang terletak sebelum tanda kurung dalam ayat-ayat di bawah ini adalah arti dari

matsal atau amtsl.

1-Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam al-Quran

ini tiap-tiap macam perumpamaan (al-matsal) [al-Isra: 89].

2- Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang bagi manusia dalam al-Quran

ini bermacam-macam perumpamaan (al-matsal) [al-Kahfi: 54].

3- Dan Allah mempunyai sifat (al-matsal) yang Mahatinggi; dan Dia-lah Yang Maha

Perkasa lagi Maha Bijaksana [an-Nahl: 60]

4- Dan bagi-Nya-lah sifat (al-matsal) yang maha tinggi di langit dan di bumi; dan

Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [ar-Rum: 27].


5- Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam al-Quran ini segala macam

perumpamaan (al-matsal) untuk manusia [ar-Rum: 58].

6- Dan sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Quran ini setiap

macam perumpamaan (al-matsal) supaya mereka dapat pelajaran [az-Zumar: 27].

7- Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (al-amtsl) [ar-Rad:

17].

8- Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (al-amtsl) itu untuk manusia

supaya mereka selalu ingat [Ibrahim: 25].

9- Dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka dan

telah Kami berikan kepada kamu beberapa perumpamaan (al-amtsl). surat dan ayat berapa :[Comment [

10- Dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (al-amtsl) bagi manusia, dan

Allah Maha Mengetahui segala sesuatu [an-Nur: 35].

11- Dan perumpamaan-perumpamaan (al-amtsl) ini Kami buatkan untuk manusia;

dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu [Al-Ankabut: 43].

12- Dan perumpamaan-perumpamaan (al-amtsl) itu dibuat untuk manusia supaya

mereka berpikir [al-Hasyr: 21].

13- Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan (al-

amtsl). surat dan ayat berapa :[Comment [

14- Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kapada kamu ayat-ayat yang

memberi penerangan, dan contoh-contoh (matsal) dari orang-orang yang terdahulu

sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa [an-Nur: 34].

15- Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang

ganjil (matsal), melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang

paling baik penjelasannya [al-Furqan: 33].


Perumpamaan dalam al-Quran (al-amtsal) itu mencakup ayat-ayat yang

memuat lafaz matsal dan yang menggunakan huruf kf at-tasybih, sebagaimana telah

disinggung sebelumnya.

-13-

Ayat-Ayat yang Berlaku sebagai Matsal

Al-Quran secara keseluruhan berisi hikmah dan nasihat, berita dan ibrah.

Banyak muhaqqiq berupaya menguak hikmah-hikmah yang terkandung di dalam ayat-

ayat al-Quran, berupa perumpamaan yang beredar (amtsl sirah) pada kurun waktu

tertentu, untuk diedarkan melalui budaya lisan dalam kehidupan dan perbuatan

keseharian mereka. Telah dibicarakan sebelumnya bahwa ayat-ayat ini tidak turun

dalam bentuk matsal, sebab matsal merupakan kalam yang beredar melalui lisan atau

pengucapan sampai menjadi amtsl s`irah. Yang jelas, bahwa hikmah-hikmah yang

terkandung di dalam al-Quran turun dan menyebar dengan hikmah-hikmah tinggi

tanpa ada yang menyamainya. Jadi, ketika hikmah-hikmahnya turun, belum ada

penyifatan (atau penamaan) matsal pada saat itu. Baru setelah beberapa waktu

kemudian, penyifatan matsal disandangkan atas hikmah-hikmah tersebut di sepanjang

zaman, dan menyebar melalui perantaraan lisan-lisan.

Jafar bin Syamsul Khilafah 28 (wafat tahun 622 H) telah menghimpun satu bab

tentang kata-kata al-Quran yang berlaku sebagai matsal, dan dinukil oleh as-Suyuthi

dalam kitabnya, al-Itqan, sambil menyatakan: Ini adalah macam al-badi29 yang

diistilahkan dengan irslu l-matsal (penyampaian perumpamaan).

Berikut ini adalah ayat-ayat yang dimaksud:

28
Ia adalah Abul Fadhl Jafar bin Muhammad Syamsul Khilafah al-Afdhali al-Bashri, lahir
tahun 543 H. Diterangkannya oleh Ibn Khalkan dalam kitab Wafayat al-Ayan, penulis kitab
al-Adab, sebuah kitab ringkas tentang hikmah-hikmah dan amtsl dari prosa dan syair, yang
dicetak di Mesir tahun 1349 H.
29
Ilmu Badi (dalam sastra Arab).
1- Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu [al-Baqarah:

216].

2- Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang

banyak [al-Baqarah: 249].

3- Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya [al-

Baqarah: 286].

4- Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu

menafkahkan sebagian hartamu yang kamu cintai [Al Imran: 92].

5- Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan [al-Maidah: 99].

6- Katakanlah: Tidak sama yang buruk dengan yang baik [al-Maidah: 100].

7- Untuk tiap-tiap berita (yang di bawa oleh para rasul) ada (waktu) terjadinya [al-

Anam: 67].

8- Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah

menjadikan mereka dapat mendengar [al-Anfal: 23].

9- Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik

[at-Taubah: 91].

10- Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah

durhaka sejak dahulu [Yunus: 91].

11- Bukankah subuh itu sudah dekat [Hud: 81].

12- Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku)

[Yusuf: 41].

13- Sekarang jelaslah kebenaran itu [Yusuf: 51].

14- Katakanlah tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing [al-

Isra: 84].
15- Demikian itu adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan

kamu dahulu [al-Hajj: 10].

16- Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah [al-

Hajj: 73].

17- Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan

mereka [ar-Rum: 32].

18- Telah tampak kerusakan di darat dan di laut [ar-Rum: 41].

19- Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih [as-Saba: 13].

20- Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini [as-Saba: 54].

21- Dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang

diberikan oleh Yang Maha Mengetahui [Fathir: 14].

22- Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang

merencanakannya sendiri [Fathir: 43].

23- Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami, dan dia lupa pada kejadiannya

[Yasin: 78].

24- Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja

[ash-Shaffat: 61].

25- Dan amat sedikitlah mereka ini [Shad: 24].

26- Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah [an-Najm:

58].

27- Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula) [ar-Rahman: 60].

28- Maka ambillah (kejadian itu) sebagai suatu pelajaran, hai orang-orang yang

memiliki pandangan [al-Hasyr: 2].

29- Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah-belah [al-Hasyr:

14].
30- Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya [al-

Mudatstsir: 38].

Inilah yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dari kitab al-

Aadb, karya Jafar bin Syamsul Khilafah. Kitab al-Aadb menyebutkan tidak lebih

dari 69 ayat, dan ayat-ayat ini telah menjadi amtsl s`irah (perumpamaan yang

beredar) di zamannya (Al-Itqan: 2/46).

Syihabuddin Muhammad bin Ahmad Abul Fath al-Absyihi al-Mahalli (790-

850 H) dalam kitabnya, al-Mustathraf fi Fanni Mustazhraf, menyebutkan hikmah-

hikmah dalam al-Quran yang berlaku sebagai al-amtsal lebih banyak daripada yang

dinukil oleh as-Suyuthi dalam al-Itqan yang diambilnya dari al-Aadb.

Syihabuddin berkata: Al-amtsal memiliki kandungan paling tinggi daripada

pembicaraan lain, yang dengannya orang-orang pandai sampai (kepada maksud), dan

rangkaian tulisannya (terasa) lezat dalam menyampaikan kandungannya. Sungguh, al-

Quran telah berbicara, dan ia adalah kitab yang paling tinggi jauh sekali daripada

kitab-kitab lain yang diturunkan. Dan sabda Rasulullah saw tidak pernah lepas

darinya, sementara beliau adalah orang dari Arab yang paling fasih lisannya dan

paling sempurna penjelasannya. Beliau banyak sekali menggunakan matsal dalam

ungkapan dan pembicaraan, dan semua pembesar lemah (kalah) menghadapi beliau

dalam balaghah.

Beberapa matsal al-Quran itu ialah: Allah tidak membebani seseorang

melainkan sesuai dengan kesanggupannya [al-Baqarah: 286], Sekarang jelaslah

kebenaran itu [Yusuf: 51], Telah diputuskan perkara yang kamu berdua

menanyakannya (kepadaku) [Yusuf: 41], dan ayat-ayat lainnya yang telah

disebutkan (Lihat, al-Mustathraf fi Fanni Mustazhraf: 1/27).


Kemudian, sebagian penulis kitab tentang amtsal al-Quran mengikuti

keduanya (Jafar bin Syamasul Khilafah dan Syihabuddin) ketika mengutip hikmah-

hikmah yang telah menjadi matsal di tengah khalayak, yang jumlahnya melebihi 245

ayat. (lihat, Amtsal al-Quran karya Ali Ashghar Hikmat). Doktor Muhammad Husein

ash-Shaghir menyebutkan hal semacam ini dalam bagian akhir kitabnya, yaitu sampai

pada 495 ayat (Lihat, ash-Shuratu al-Fanniyah fi al-Matsal al-Qurani: 387-402).

Namun demikian, yang dilewatkan oleh mereka adalah pemusatan atas

anggapan bahwa ayat-ayat yang dinukil tersebut bukan matsal pada saat wahyu

tersebut diturunkan, tetapi ia merupakan hikmah. Ayat-ayat itu menjadi matsal ketika

sudah beredar pada zaman sesudahnya.

Akhirnya, perlu juga ditambahkan ayat-ayat lain selain yang telah disebut di

atas, yaitu ayat-ayat yang lebih banyak beredar melalui lisan-lisan di sebagian besar

negeri-negeri Islam. Di bawah ini hanya disebutkan sebagian darinya, dan barangkali

pula di antaranya terdapat dalam kitab al-Aadb. Ayat-ayat yang dimaksud adalah:

1- Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan [al-Araf: 31].

2- Inilah perpisahan antara aku dan kamu [al-Kahfi: 78].

3- Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis) [an-Nur: 35].

4- Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah)

dengan terang [an-Nur: 54].

5- Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari

yang hidup [ar-Rum: 19]

6- Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak

mengetahui [az-Zumar: 9].

7- Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka [al-Fath: 10].

8- Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula) [ar-Rahman: 60].


9- Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan [ash-Shaff: 2].

10- Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku (al-Kafirun: 6].

Itulah sepuluh ayat yang telah menjadi perumpamaan yang beredar (matsal

s`irah) di tengah mayoritas kaum muslimin.

Baha`uddin al-Amili (tahun 953-1030), salah seorang muhaqqiq, menulis satu

pasal berjudul Fi m Warada min Kitabillah Taala Munasiban li Kalamil Arab.

Dalam tulisan al-Amili itu ditunjukkan perbandingan-perbandingan dalam kalam

Arab dengan hikmah dalam al-Quran. Ia menyebutkan ayat-ayat yang dimaksud dan

amtsal berikut:

1- Orang Arab mengatakan tentang jelasnya suatu perkara dengan kalimat: qad

wadhaha sh-shubhu ladz ainain (sungguh subuh telah terang di kedua mata).

Ayat al-Quran menyatakan: aal-na hashhasha l-haqq (Sekarang jelaslah kebenaran

itu) [Yusuf: 51].

2- Mereka mengungkapkan tentang ketinggalan suatu perkara, dengan perkataan:

sabaqa s-saifu l-adla (pedang telah mendahului keadilan). Ayat al-Quran

mengatakan: qudhiya l-amru l-ladzi fiihi tastafiyn (Telah diputuskan perkara yang

kamu berdua menanyakannya (kepadaku)) [Yusuf: 41].

3- Tentang memperbaiki perbuatan buruk, mereka mengatakan: da ghaitsun al m

afsadahu (hujan kembali (membawa manfaat) pada apa yang telah merusak). Al-

Quran menyebutkan: makna s-saiyi`ati l-hasanata (Kami ganti kesusahan itu

dengan kebaikan) [Al-Araf: 95].

4- Tentang berbuat buruk bagi orang yang tidak menerima perbuatan baik, mereka

mengungkapkan: athi akhka tsamratan fa in ab fa jamratan (berilah saudaramu

buah-buahan, bila menolak berilah ia kerikil). Ayat al-Quran mengatakan: wa man

yasyu an dzikri r-rahmni nuqaiyidh lahu syathnan fa huwa lahu qariin


(Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha pemurah (al-Quran),

maka adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi

teman yang selalu menyertainya) [Az-Zukhruf: 36].

5- Untuk faedah balasan, mereka mengatakan: al-qatlu anf li l-qatl (pembunuhan

(balas) itu meniadakan pembunuhan). Ayat menyatakan: wa lakum fi l-qishshi

haytun y uli l-albb (dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup

bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa). surat adan ayat berapa :[Comment [

6- Untuk wilayah suluh, disebutkan: li kulli maqm maql (setiap kedudukan

mempunyai perkataan). Al-Quran menyebutkan: li kulli naba`in mustaqar (Untuk

tiap-tiap berita (yang di bawa oleh Para rasul) ada (waktu) terjadinya) [al-Anam:

67] (dalam Asrar al-Balaghah: 616-617).

Bahauddin al-Amili juga mengangkat topik ini dalam kitabnya yang lain, al-

Mikhlt, dengan menukil sebagian dari amtsal Arab yang diambil oleh orang-orang

Arab dari al-Quran. Maka jelaslah, bahwa al-Quran menjadi sumber pokok bagi

amtsal ini. Bahauddin berkata:

1- Ucapan mereka, m tazra tahshud (apa yang kamu tanam akan kamu peroleh);

dalam al-Quran dinyatakan: man yamal yujza bihi (artinya: [an-Nisa: 132]. ini bukan an Nisa ay132 :[Comment [

2- Mereka mengucapkan: li l-hiithni dznun (dinding-dinding punya telinga)30,

dan Kitabullah mengungkapkan: wa fiikum sammuuna lahum (sedang di antara

kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka... [at-

Taubah: 47].

3- Kata mereka, ihdzar syarra man ahsanta ilahi, dan ayat al-Quran menyebut: wa m nya arti bahasa Indonesia :[Comment [
?a
naqamuu ill an aghnhumu llhu wa rasuuluhu min fadhlih (..dan mereka tidak

30
Sebagai peringatan agar hati-hati dalam bicara.
mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah

melimpahkan karunia-Nya kepada mereka.... [at-Taubah: 74].

4- Mereka menyebut, L talidu l-haiyatu ill haiyyatan; al-Quran menyatakan: wa l arti bahasa Indonesianya :[Comment [
?a
yaliduu ill fjiran kuffran (...dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang

berbuat maksiat lagi sangat kafir. [Nuh: 27] (dalam al-Mikhlt: 307).

Beberapa kalimat yang disebutkan Syeikh Bahauddin al-Amili tersebut

disebutkan sebelumnya dalam pembicaraan ulama lain, antara lain dalam kitab al-

Amtsal al-Kminah. Dan mungkin saja, apa yang dikatakan oleh Ibn Syamsul

Khilafah, as-Suyuthi, dan al-Bahauddin al-Amili di atas hanyalah bagian yang

sederhana dari hikmah-hikmah yang berlaku dan digunakan di tengah masyarakat, dan

menjadi contoh bagi amtsal lain yang ada di baliknya. Bagaimana tidak, sementara

Rasulullah saw sendiri bersabda: Tak terukur keajaiban-keajaiban al-Quran dan tak

terkira pula keutamaan-keutamaannya (al-Kafi: 2/599, kitab Fadhlu al-Quran,

hadist 2).

-14-

Peribahasa atau Perumpamaan an-Nabawiyah

Jika makna perumpamaan atau peribahasa (matsal) ialah menampakkan

makna yang dimaksud di panggung perkara yang disaksikan, melukiskan hal yang

rasional dengan lukisan inderawi, dan menurunkan hakikat yang sulit dijangkau

pemahaman menjadi sederhana dicerna pikiran, maka matsal sesungguhnya adalah

sebuah alat tabligh dan talim. Oleh karena itu, peribahasa dalam al-Quran, sabda

Rasulullah saw, riwayat para Imam Ahlulbait as, isyarat ulama, dan ibarat dari para

sastrawan dan isyarat para bijak pun tersiar luas.

Para ahli hadits mengumpulkan peribahasa (amtsal) yang disampaikan Nabi

Muhammad saw dalam sabda-sabdanya. Seorang muhaqqiq kontemporer, Syeikh


Muhammad al-Gharwi semoga Allah menjaganya dalam mukadimah kitabnya, al-

Amtsal an-Nabawiyah, menulis kurang lebih sepuluh kitab yang memuat al-amtsal

an-nabawiyah. Ia telah menukil ibarat dari Abdul Majid Mahmud, penulis kitab

Amtsl al-Hadits, berikut ini: Amtsl (perumpamaan-perumpamaan) hadis tidak

mendapatkan perhatian seperti terhadap amtsl al-Quran dan amtsal Arab umumnya.

Saya tidak melihat seorangpun dari para penulis Kutubus Sittah (enam kitab-kitab

standar hadis) yang menulis secara terpisah atau satu bab saja dalam kitabnya, kecuali

Imam Turmudzi. Ia khususkan amtsal al-hadist di satu tempat dalam kitab Jami-nya

dengan judul: Abwb al-Amtsal an Rasulillah saw (Bab-bab peribahasan dari

Rasulullah saw). Di bawah judul ini, ia hanya menyebutkan empat belas hadis. Oleh

karena itu, Ibn Arabi mengatakan: Aku tidak melihat seorangpun dari para ahli

hadis yang menyusun satu bab tersendiri selain Abu Isa (at-Turmudzi). Sungguh dia

telah membuka satu pintu dan telah membangun satu istana. Walaupun ia (at-

Turmudzi) hanya menulis sedikit, tapi kami merasa cukup puas dan berterima kasih

kepadanya 31.

Syeikh al-Gharwi mengumpulkan al-amtsal an-nabawiyah secara tidak

beraturan dalam dua juz disertai penafsirannya. Tetapi ia menulisnya secara tertib

menurut huruf-huruf hij`iyah, lalu tulisan itu diberi nama al-Amtsal an-Nabawiyah

dan dicetak di Beirut.

Selain itu, kami bawakan contoh-contoh al-amtsal an-nabawiyah yang

dikumpulkan oleh as-Suyuthi dalam kitabnya, al-Jami ash-Shaghir, untuk

melengkapi buku ini:

1- Perumpamaan iman seperti baju, terkadang dipakai dan terkadang dilepas.

31
Amtsal al-Hadits: 8
2- Perumpamaan orang kikir dan orang bersedekah, ialah ibarat dua orang laki-

laki yang menutupi bagian dadanya sampai dua tulang selangkangannya dengan jubah

besi. Yang bersedekah berarti, jubahnya melebar dan meliputi kulitnya hingga

menutupi ujung jari dan menghapus sidik jarinya. Sedangkan yang kikir, jubahnya

menutupi bagian badannya dengan sempit, lalu dia berusaha memperlebarnya, tetapi

tidak juga melebar.

3- Perumpamaan rumah yang di dalamnya dibaca dan yang tidak dibaca

dzikirullah, adalah seperti orang hidup dan orang mati.

4- Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang buruk, ialah seperti pemilik

misik dan ubupan tukang besi; tidak menghilang apa yang berasal dari si pemilik

misik, baik anda membelinya atau hanya mendapatkan baunya. Sedangkan ubupan

tukang besi, akan membakar rumah atau pakaian, atau ikut menerima bau yang tak

sedap darinya.

5- Perumpamaan teman yang saleh seperti tukang parfum, walaupun tidak

memberikan parfumnya, dia tetap terkena aromanya.

6- Perumpamaan rfilah (perempuan yang melepaskan ujung kainnya ke bawah

dan berjalan tidak biasa) dalam berhias untuk selain keluarganya (suaminya) demi

mendapat perhatian lain adalah seperti kegelapan di hari kiamat, yang tidak ada

cahaya sedikitpun baginya.

7- Perumpamaan salat lima waktu ibarat sebuah sungai yang mengalirkan air

segar pada pintu seseorang. Setiap hari lima kali orang itu mandi dengan air mengalir

tersebut, sehingga tidak ada kotoran yang tersisa.

8- Perumpamaan orang berilmu yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain

dan melupakan (kebaikan) dirinya, laksana lampu menerangi orang-orang sementara

dirinya sendiri terbakar.


9- Perumpamaan hati seperti bulu yang terombang-ambing oleh angin di sahara.

10- Perumpamaan orang merdeka di saat mati, seperti orang yang memberi

hadiah bila sudah kenyang.

11- Perumpamaan orang yang belajar ilmu kemudian ia tidak

menyampaikannya, seperti menyimpan harta lalu tidak menginfakkannya.

12- Perumpamaan orang yang belajar ilmu di masa kecil seperti mengukir di

atas batu, dan perumpamaan orang yang belajar di masa dewasa seperti menulis di

atas air.

13- Perumpamaan orang yang duduk mendengarkan hikmah dan tidak

membicarakan tentang sahabatnya kecuali keburukan yang dia dengar, adalah seperti

orang yang datang kepada si pengembala lalu berkata: hai pengembala, potongkan

seekor kambingmu untukku. Lalu si pengembala berkata: Silahkan ambil seekor

kambing dengan menarik pangkal telinganya. Maka ia langsung pergi sambil

memegang telinga anjingnya.

14- Perumpamaan orang yang berbicara di hari Jumat sementara imam sedang

berkhotbah, seperti keledai memikul kitab-kitab tebal, dan yang akan dikatakan

kepadanya: Diamlah, tiada Jumat bagimu!.

15- Perumpamaan orang mengajarkan kebaikan kepada orang-orang dan ia

melupakan dirinya, adalah seperti sumbu lampu yang menerangi orang-orang

sementara ia membakar dirinya.

16- Perumpamaan orang yang membantu kaumnya atas selain kebenaran,

seperti unta berpakaian sambil menarik ekornya.

17- Perumpamaan orang-orang yang berperang dari umatku dan mendapat upah,

lalu menjadi kuat dengannya terhadap musuh, seperti ibu Musa, yang menyusui

anaknya dan mendapat upah.


18- Perumpamaan orang mukmin seperti tukang parfum, jika duduk bersamanya

ia memberikan manfaat, jika berjalan bersamanya ia memberikan manfaat, dan jika

menyertainya, ia pun memberikan manfaat.

19- Perumpamaan orang mukmin ialah seperti pohon kurma, apapun yang

diambil darinya akan memberikan manfaat.

20- Perumpamaan orang-orang mukmin ialah, jika ia berjumpa dengan orang

mukmin (lainnya) ia mengucapkan salam, mereka seperti bangunan yang saling

menopang satu dengan yang lain.

21- Perumpamaan orang mukmin seperti lebah (madu), tidak makan kecuali

yang baik dan tidak mengeluarkan kecuali yang baik.

22- Perumpamaan orang mukmin seperti bulir, terkadang menunduk dan

terkadang tegak.

23- Perumpamaan orang mukmin seperti bulir, sesekali berdiri dan sesekali

menunduk. Dan perumpamaan orang kafir seperti padi, selalu tegak lurus hingga jatuh

dan tidak merasakannya.

24- Perumpamaan orang mukmin seperti kulit, kadang memerah dan kadang

menguning. Sedang orang kafir seperti padi.

25- Perumpamaan orang mukmin seperti kulit tanaman, apabila angin

menerpanya ia merasa cukup dan apabila reda ia tetap stabil. Begitulah orang

mukmin! Ia dibolak-balikkan dengan cobaan. Sedangkan perumpamaan orang ahli

maksiat ialah seperti padi yang pekak sampai Allah SWT membinasakannya dengan

kehendak-Nya

26- Perumpamaan orang mukmin yang membaca al-Quran seperti limau yang

berbau sedap dan rasanya lezat, dan perumpamaan orang mukmin yang tidak

membaca al-Quran seperti kurma yang tidak berbau dan rasanya manis. Perumpamaan
orang munafik yang membaca al-Quran seperti kemangi, berbau harum dan rasanya

pahit, dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al-Quran seperti jenis

labu, tak berbau dan rasanya pahit.

27- Perumpamaan orang mukmin seperti lebah, ia hanya memakan makanan

yang baik dan hanya mengeluarkan yang baik. Perumpamaan orang mukmin seperti

batang emas, apabila ditiupkan hawa kepadanya maka akan memerah, dan jika

ditimbang ia tidak berkurang.

28- Perumpamaan orang mukmin itu seperti rumah yang rusak luarnya, tapi bila

dimasuki, ia menenteramkan. Dan perumpamaan orang ahli maksiat seperti kuburan

yang megah, menarik dilihat tapi dalamnya penuh kebusukan

29- Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta dan kasih satu dengan yang

lain, seperti satu badan; jika satu anggota dari badan mengeluh maka terundang

seluruh anggota badan dengan bangun malam dan kesakitan.

30- Perumpamaan mujahid di jalan Allah, seperti orang puasa yang suka bangun

malam dengan istiqamah, tidak lesu karena puasa dan sedekah sampai ia dipanggil

kembali (pulang). Dan Allah SWT telah menjamin mujahid di jalan-Nya ketika Allah

memanggilnya, yaitu dengan surga atau dikembalikan (ke rumahnya) dalam selamat

dengan membawa pahala atau harta rampasan.

31- Perumpamaan perempuan salehah di antara kaum perempuan, seperti gagak

bergelang yang salah satu kakinya putih.

32- Perumpamaan orang munafik seperti domba mengembara di antara dua

kambing, kadang mengikuti yang ini dan kadang mengikuti yang itu, tidak tahu yang

mana yang harus diikutinya.


33- Perumpamaan anak Adam ialah di sisinya ada sembilan puluh sembilan

angan-angan, apabila angan-angannya itu menyalahinya niscaya ia menjadi pikun

sampai mati.

34- Perumpamaan sahabatku seperti garam di makanan, tidak baik makanan

kecuali dengan garam.

35- Perumpamaan umatku laksana hujan, tidak diketahui apakah di awalnya

baik atau di akhirnya.

36- Perumpamaan Ahlulbaitku seperti kapal Nuh, siapa yang menaikinya

selamat dan siapa yang berpaling darinya tenggelam.

37- Perumpamaan Bilal adalah seperti lebah, siang dia makan yang manis dan

yang pahit kemudian sore harinya menjadi manis seluruhnya.

38- Perumpamaan Balam bin Baaura` di Bani Israil seperti Umayah bin Abi

ash-Shalt di umat ini.

39- Perumpamaan Mina seperti rahim dalam sempitnya, apabila telah hamil

maka Allah meluaskannya.

40- Perumpamaan dunia ini seperti baju yang robek di awal sampai akhirnya,

sehingga dia terus bergantung pada jahitan di akhirnya, dan jahitan akhir itu hampir

putus.

41- Perumpamaanku dan perumpamaan kalian adalah seperti dua kuda pacu;

Perumpamaanku dan perumpamaan kalian seperti seorang lelaki yang diutus ke garis

depan, ketika ia merasa menang ia lambai-lambaikan kain bajunya: Kalian menang,

kalian menang!; Akulah itu! Akulah itu!

42- Perumpamaanku dan perumpamaan kalian seperti seorang laki-laki yang

menyalakan api, lalu kawanan laron dan belalang menghampiri api maka si laki-laki
melindungi mereka yang menghampiri itu dari api; Aku bertindak menahan kalian

dari api, tetapi kalian berpaling dari tanganku.

-15-

Peribahasa Al-Alawiyah (Imam Ali as)

Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib as adalah mata air kefasihan dan

balghah. Dari Imam Ali as tersingkap rahasia bahasa dan komunikasi serta terpetik

kaidah-kaidah sastra. Para orator meniru perumpamaan-perumpamaan yang

disampaikannya; para penyuluh yang bijak meminjam ungkapan dan perkataannya.

Perkataan Imam Ali as merupakan tetesan dari ilmu Ilahiah yang di dalamnya selalu

mengikuti jejak ucapan Rasulullah saw. Banyak ahli kefasihan dan balaghah

menghimpun keutamaan kalamnya, dari untaian-untaian kalimatnya baik yang ringkas

maupun panjang, yang mencapai hingga 12 ribu lebih. Abdul Wahid al-Amadi telah

mengumpulkan untaian kalam fasih yang berhikmah itu dalam kitabnya, Ghurar al-

Hikam wa Durar al-Kalim, yang cukup memuaskan para pencari kebenaran.

Sedangkan tamtsil dalam untaian lisan dan tulisan para imam Ahlulbait (Dua

Belas Imam) banyak sekali riwayatnya. Itulah yang berusaha dikumpulkan dengan

sungguh-sungguh oleh muhaqqiq al-Gharwi, lalu disusun menjadi semacam

ensiklopedia. Semoga Allah tidak menyia-nyiakan usaha dan upaya yang indah itu.

-16-

Peribahasa Luqman Al-Hakim

Berbagai pandangan muncul mengomentari kepribadian Luqman al-Hakim.

Ibn Umar meriwayatkan: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Luqman bukan

seorang nabi. Tapi dia adalah hamba yang banyak tafakur dan memiliki keyakinan
yang kuat dan bagus. Ia mencintai Allah dan Allah mencintainya serta memberinya

karunia hikmah 32.

Ucapannya telah sampai pada tingkatan hikmah yang oleh Allah dimuat dalam

al-Quran. Allah SWT menurunkan satu surat yang diberi nama seperti namanya,

Luqman. Tidak sedikit ulama yang mengumpulkan hikmahnya yang beredar dalam

kitab-kitab.

Aminul Islam, ath-Thabrasi, menukil sebagian hikmah Luqman al-Hakim

dalam tafsirnya. Imam ash-Shadiq as menyifati Luqman al-Hakim seperti ini: Demi

Allah, Luqman tidak dikaruniai hikmah karena kedudukan, harta dan penampilan

fisiknya. Luqman adalah seorang laki-laki sejati, yang kokoh dalam urusan Allah,

bertakwa kepada Allah dalam diam dan tenang, berpandangan dalam, berpikir luas

dan berpandangan tajam; tidak pernah sekalipun tidur siang; tidak pernah menyia-

nyiakan sesuatu; tak seorangpun melihatnya buang air kecil dan besar bahkan

mandinya, karena kuatnya penghijaban dan penjagaannya dalam setiap urusan; dia tak

pernah tertawa oleh sesuatu, tak pernah marah karena takut dosa dalam agamanya, tak

pernah mencandai seorang pun; tak pernah merasa senang dengan pemberian duniawi,

tidak pernah merasa sedih karena (kehilangan) sesuatu; tak pernah melewati (tanpa

peduli) antara dua orang yang saling membunuh dan berkelahi, melainkan ia

damaikan antara keduanya, dan tidak akan berlalu dari keduanya sebelum keduanya

lerai; tak pernah ia mendengar satu perkataan yang dianggapnya benar dari seseorang

sebelum dia bertanya dahulu apa penjelasannya dan dari siapa dia mengutip; Ia sering

duduk bersama fuqaha dan ulama, mendatangi para hakim, raja dan penguasa; ia

merasa kasihan terhadap para hakim karena kesulitan yang mereka hadapi; ia

mengasihi para raja dan penguasa yang mengagungkan Allah dan berlaku adil karena-

32
Majma al-Bayan: 4/315
Nya. Ia belajar mengalahkan dirinya, memerangi hawa nafsunya dan waspada dari

penguasa. Ia obati dirinya dengan tafakur dan mengambil ibrah. Ia telusuri sesuatu

yang memberinya manfaat dan memikirkan sesuatu yang dapat membantunya. Karena

semua ini, ia dikaruniai hikmah dan hujjah 33.

Surat al-Baqarah

Tamtsl 1

* *

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan:

Kami telah beriman. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan, mereka

mengatakan: Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-

olok. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka

terombang-ambing dalam kesesatan mereka. Mereka itulah yang membeli kesesatan

dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka

mendapat petunjuk. Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan

api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang

menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.

Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (kejalan yang

benar) 34.
P3F P

Tafsir Ayat:

33
Majma al-Bayan: 4/317-318
34
QS. al-Baqarah: 14-18
Kata al-waqud 35 bermakna al-hathab (kayu bakar), atau berarti istauqada

nran atau auqada nran (menyalakan api), sebagaimana kata istaujaba yang berarti

aujaba (menjawab).

Allah SWT memulai firman-Nya dalam surat al-Baqarah dengan menjelaskan

keadaan tiga golongan, yaitu kaum mukmin, yang digambarkan dalam dua ayat; kaum

kafir, yang disebutkan dalam satu ayat; dan kaum munafik, yang keadaan dan tanda-

tanda mereka diungkapkan dalam dua belas ayat.

Pembagian seperti ini menjelaskan bahwa kemunafikan (nifq) adalah sesuatu

yang berbahaya. Orang-orang munafik menyembunyikan satu kepentingan besar

terhadap masyarakat Islam. Allah mengungkapkan dua sifat buruk mereka guna

menyadarkan manusia akan niat, tabiat, dan kekufuran yang mereka sembunyikan.

Pada kutipan ayat di atas dijelaskan tentang posisi kaum munafik sebagai

golongan yang menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan: Dan bila

mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: Kami

telah beriman. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan, mereka mengatakan:

Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.

Karena niat, sikap dan perbuatan mereka itu, Allah SWT memberi balasan

untuk mereka: Allah akan membalas olok-olokan mereka dan membiarkan mereka

terombang-ambing dalam kesesatan mereka.

Selain itu, kaum munafik digambarkan dengan: Mereka itulah yang membeli

kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah

mereka mendapat petunjuk. Artinya, mereka memilih meninggalkan petunjuk demi

jalan kesesatan. Mereka menukar keimanan dengan kekufuran. Maka, mereka tidak

35
al-waqud merupakan akar kata dari kata istauqada, artinya menyalakan (dalam ilmu sharaf
berwazan istafala), -penerj.
akan beruntung dalam perniagaan dan pertukaran. Sifat dan keadaan mereka itu

digambarkan melalui tamtsil berikut ini.

Seorang sedang tersesat di padang pasir yang gersang di tengah kegelapan

malam gulita. Ia ingin memotong jalan yang ditempuhnya tanpa perhitungan dan

mengabaikan petunjuk. Dalam keadaan seperti ini, yang dapat ia lakukan ialah

menyalakan api agar bisa berjalan di bawah sinarnya dan menghindari jurang-jurang

berbahaya. Sayangnya, setelah menyalakan api, seketika datang angin kencang

memadamkan api yang telah dinyalakan itu. Maka buyarlah harapannya, dan ia

kembali pada keadaan semula (kebingungan).

Begitulah keadaan yang dialami orang munafik. Keadaan itu seperti keadaan

orang yang pada awalnya beriman, tersinari cahaya keimanan dan berjalan di bawah

sinarannya. Tapi, mereka menukar keimanan dengan kekufuran. Maka, mereka pun

diliputi kegelapan, kekufuran, dan tidak mendapatkan jalan petunjuk lagi. Penjelasan

ini berdasarkan perkataan bahwa, kaum munafik sebelumnya telah beriman, kemudian

mereka berpindah pada kekufuran.

Sedangkan penjelasan yang berdasarkan pada perkataan bahwa mereka sudah

tidak beriman sejak awal, ialah bahwa api yang telah mereka nyalakan itu kembali

pada dalil cahaya fitrah yang selalu menuntun manusia ke jalan kebenaran. Namun

kemudian mereka memadamkannya dengan kekufuran atau pengingkaran terhadap

ayat-ayat Allah SWT.

Alhasil, keadaan orang-orang munafik ketika mereka menampakkan keimanan

dan menyembunyikan kekufuran adalah seperti keadaan orang yang tersesat di jalan,

di tengah kegelapan, dan di tempat yang penuh marabahaya. Lalu ia menyalakan api

untuk menerangi jalan. Tapi tiba-tiba datang angin topan memadamkannya, dan ia

berada dalam kesendirian di kegelapan yang tiada petunjuk jalan.


Tamtsil yang digambarkan al-Quran ini menerangkan tentang keadaan kaum

munafik di masa dakwah Rasulullah saw. Menurut tamtsil ini, orang-orang munafik

itu sebenarnya pernah mendapat petunjuk. Namun, cahaya petunjuk itu dipadamkan

atas izin Allah SWT. Maka, mereka pun menjadi tuli, bisu, dan buta, serta tidak

memperoleh petunjuk.

Api untuk menerangi jalan adalah ibarat untuk cahaya al-Quran dan sunnah

Rasulullah saw. Ketika Rasulullah saw hadir di tengah-tengah mereka dengan

memberi penjelasan dan hujjah melalui setiap keterangan saat membacakan ayat al-

Quran, sesungguhnya merupakan kehormatan bagi masyarakat di sana. Kondisi

mereka ini diibaratkan seperti orang yang menyalakan api untuk menerangi jalan. Di

saat api menyala, mereka seperti memperoleh penerangan jalan dan ajaran kebenaran.

Tetapi sayangnya, mereka kemudian bertindak sewenang-wenang, ingkar, dan

munafik terhadap kebenaran. Mereka keluar dari jatidiri seorang manusia yang layak

mendapatkan petunjuk. Lalu, Allah menimpakan ammrah (hal mengajak pada

kejahatan), dan mereka pun memilih hawa nafsu yang nista sebagai jalan. Maka,

jadilah gelap kesesatan meliputi mereka sebagai akibat dari sikap dan perilaku buruk.

Itulah yang mendasari penjelasan atas ayat: Perumpamaan mereka adalah

seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya....

Sampai di sini perumpamaan kalimat (ayat) ini sempurna. Kalimat selanjutnya

menyebutkan hal yang diperumpamakan; Allah hilangkan cahaya (yang menyinari)

mereka, dan membiarkan dalam kegelapan, (mereka) tidak dapat melihat....

Jika ditanyakan: Lalu apa jawaban bagi huruf syarat lamm (ketika) dalam

falamm adh`at (maka setelah api itu menerangi)? Jawabannya: dihapus

(mahdzuf) untuk meringkas, yang berarti khamadat (lalu padam).


Jika ditanyakan: Berkaitan dengan apakah ayat dzahaballahu bi nurihim

(Allah hilangkan cahaya mereka)? Jawabnya: Itu sebagai pembicaraan awal (kalm

musta`nif), yang kembali pada penjelasan keadaan yang diperumpamakan, yang kira-

kira berkata demikian: Api itu padam setelah menerangi sekelilingnya. Mereka tetap

dalam keadaan asing di kegelapan, kebingungan karena cahaya padam, dan

mengalami kegagalan setelah kerja keras (menyalakan api).

Seperti itulah keadaan kaum munafik; mereka menyalakan api untuk

mendapatkan penerangan, tapi Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka,

dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.

Ringkasnya, kalimat-kalimat yang kami sebutkan di atas merupakan

pemahaman atas ayat secara ringkas tanpa menyulitkan (al-jz bil taqd), yang

termasuk bagian dari ilmu Blaghah 36.

Kalimat Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, bermakna: itulah

akibat dari kemunafikan dan perbuatan melampaui batas. Orang-orang munafik itu

menghancurkan sendiri potensinya dalam memperoleh cahaya kebenaran (hidayah).

Dan kalimat, dan membiarkan dalam kegelapan, (mereka) tidak dapat melihat,

yakni mereka tetap dalam hawa nafsu dan perilaku yang buruk. Keadaan mereka

kacau-balau dalam gelap kesesatan, tidak dapat melihat petunjuk dan jalan kebenaran.

Dengan uraian di atas, tampak jelas bahwa tamtsil dalam ayat al-Quran

memuat makna-makna yang dalam dan sarat dengan ibarat-ibarat ringkas. Jika al-

Quran memilih ciri khas penjelasan makna-makna tersebut di luar jalur perumpamaan

(tamtsil), akan mengharuskannya menjelaskan dengan pembicaraan seperti di atas.

Itulah salah satu manfaat perumpamaan, yakni ia memuat makna yang sarat dengan

ibarat-ibarat ringkas.

36
Lihat, Al-Kasyaf: 1/153
Selain itu, orang-orang munafik digambarkan sebagai orang yang telah

menyia-nyiakan pendengaran, lisan-lisan, dan penglihatan mereka, sehingga mereka

menjadi tuli, bisu, dan buta: Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan

kembali (kejalan yang benar).

Yang dimaksud tathl (penyia-nyiaan) dalam ayat ini ialah, mereka tidak

memanfaatkan (atau menyalahgunakan) sarana-sarana inderawi sebagai alat bantu

yang dapat mengantarkan pada pengetahuan akan hakikat. Akibatnya, mereka tidak

dapat mendengar ayat-ayat Allah dan tidak dapat melihat bukti-bukti tentang kenabian

yang begitu terang benderang di hadapannya, dan justru berada dalam keraguan 37.

Sampai di sini, sempurnalah penguraian keadaan kaum munafik melalui

(ibarat) keadaan orang menyalakan api untuk mendapatkan penerangan yang segala

usahanya itu mengalami kegagalan.

Selain itu, ayat di atas juga memberi isyarat bahwa pada mulanya kaum

munafik itu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tapi kemudian sifat kemunafikan

mencengkeram mereka dan mereka pun menjadi kelompok yang melampaui batas.

Ayat menyebutkan: Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka telah

beriman, (tapi) kemudian menjadi kafir, lalu hati mereka dikunci mati, karena itulah

mereka (menjadi) tidak dapat mengerti. 38

Isyarat bahwa Islam merupakan cahaya yang menerangi hati dan jiwa, tertuang

dalam ayat: Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk

(menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan

orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang

37
Majma al-Bayan: 1/54. Al` ar-Rahmn: 1/73
38
QS. al-Munafiqun: 3
telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu berada dalam kesesatan

yang nyata 39.

Sedangkan kegelapan yang meliputi mereka setelah kemunafikan dan

menjadikan mereka tuli, bisu, dan buta, ialah gelap kesesatan yang di dalamnya tidak

terlihat jalan hidayah dan petunjuk, terungkap dalam ayat: Dan orang-orang yang

kafir, pelindung-pelindungnya ialah thghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya

kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni nereka; mereka kekal di

dalamnya 40.

Oleh karena itu, pendapat yang menyebutkan bahwa kegelapan (yang

memadamkan cahaya) dalam ayat ini sebagai kegelapan alam kubur, atau kehidupan

barzakh, dan alam setelahnya berupa hisab dan balasan, tampaknya kurang tepat.

Meskipun memang benar bahwa di sana ada kegelapan ukhrawi bagi orang-orang

munafik, tetapi kegelapan yang dimaksud dalam ayat ini adalah bagian dari akibat-

akibat kegelapan duniawi.

Dengan demikian, pandangan penulis Tafsir al-Manr yang memaknai

kegelapan (zhulmah) sebagai kegelapan alam kubur dan Barzakh dengan dalil ayat:

Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada

orang-orang yang beriman: Pandanglah kami supaya kami dapat mengambil

sebagian dari cahayamu. Dikatakan: Kembalilah kamu ke belakang dan carilah

sendiri cahaya (unukmu)... 41 adalah tidak tepat. Sebab, ayat ini berbicara tentang

keadaan orang-orang munafik di tengah lingkungan keimanan dan cahaya kenabian,

yang kemudian diselimuti kegelapan dan kesesatan karena sifat munafik, dan bukan

berbicara soal keadaan setelah kematian.

39
QS. az-Zumar: 22
40
QS. al-Baqarah: 257
41
QS. al-Hadid: 13
Soal-Jawab

Tuntutan kefasihan (balghah) biasanya dengan menghadirkan bentuk jamak

untuk memelihara kesesuaian antara penyerupa atau yang diserupakan (musyabbah)

dengan yang dijadikan penyerupa (musyabbah bihi). Sedangkan Allah SWT

menyampaikan kalamnya dalam bentuk tunggal bagi yang dijadikan penyerupa:

seperti orang yang menyalakan api, dan bentuk jamak bagi yang diserupakan:

perumpamaan mereka, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka. Lantas,

apa maksudnya?

Penulis al-Manr menjawab: Orang Arab menggunakan kata al-ladzi

dalam bentuk jamak seperti kata m dan man. Dalam al-Quran antara lain

dikatakan: wa khudhtum ka al-ladzi khdhu (dan kalian mempercakapkan

sebagaimana mereka mempercakapkannya)42. Jika berlaku bentuk tunggal bagi kata

al-ladzi, hal itu disebabkan oleh bentuk jamak yang ia miliki, dan kata-nya tetap

terpelihara dalam kata istauqada dalam ayat. Dan ayat: dzahaba Allahu bi

nurihim, merupakan maknanya (bagi lafaz al-ladz). Kefasihan yang ada di dalam

ayat ialah, memperhatikan pengucapan lafaz, dan sekaligus maknanya. Sementara

keberagaman dalam mengembalikan kata ganti-kata ganti (dham`ir) merupakan

contoh yang dipakai oleh para sastrawan 43.

Seiring penjelasan di atas, terdapat dugaan lain, yaitu: apa yang disampaikan

berdasarkan ayat: Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan

membiarkan dalam kegelapan, tidak dapat melihat, ialah dalam penyempurnaan

perumpamaan dan pemilahan bagi yang dijadikan penyerupa. Tetapi, perbedaannya,

perumpamaan itu sudah sempurna pada ayat: Allah hilangkan cahaya (yang

menyinari) mereka, dengan menghapus jawaban bagi lamm (huruf syarat) karena

42
QS. at-Taubah: 69
43
Tafsir al-Manar: 1/169
kedudukannya sudah dimaklumi melalui kalimat: memadamkan apinya, sehingga ia

berada dalam kegelapan dengan rasa takut dan bingung.

Selain itu, seandainya ayat Allah hilangkan cahaya (yang menyinari)

mereka merupakan satu dari bagian musyabbih bihi dan kembali pada orang yang

telah menyalakan api, maka kalimat tuli, bisu dan buta seharusnya juga demikian,

sebab ia termasuk dalam salah satu dari sifat si penyala api. Padahal, tidak

diragukan lagi bahwa itu merupakan sifat orang munafik. Dan seandainya mau

menghilangkan musyabbah dan musyabbah bihi dengan ibarat yang terpisah, maka

dapat dikatakan bahwa yang diserupakan ialah orang yang menyalakan api untuk

sekitarnya, lalu (api itu) padam, dan yang dijadikan penyerupa ialah orang-orang

munafik yang telah mendapatkan sinar dengan cahaya Islam, kemudian Allah

menghilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, sehingga

mereka tidak dapat melihat; mereka tuli, bisu, buta, dan mereka tidak akan kembali.

Adapun sisi bentuk tunggalnya ialah: apabila terdapat penyerupaan (tasybih)

di antara semua yang ada, maka ia harus sesuai. Karena tiap-tiap sesuatu berbeda satu

dengan yang lain. Oleh karena itu, penyerupaan hanya berlaku di antara sesuatu

apabila kesesuaian bentuk jamak dan tunggalnya terjaga. Seperti pada ayat-ayat:

mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar 44, dan: seakan-akan mereka

tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk) 45.

Jika penyerupaan di antara perbuatan-perbuatan itu, tidak harus menjadi

kesesuaian bagi kesatuan perbuatan dari segi hakikat dan kekhususan; seperti dalam

satu perumpamaan: m flukum ka fili al-kalbi: atau Perbuatan-perbuatan kalian

tiada lain melainkan seperti perbuatan anjing.

44
QS. al-Munafiqun: 4
45
QS. al-Hqqah: 7
Barangkali dapat pula dikatakan bahwa kata sambung al-ladzi mempunyai arti

jamak; sebagaimana dalam ayat: Dan orang yang (al-ladzi) membawa kebenaran

dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa 46. 47 az-Zumar ayat brapa? :[Comment [

Tamtsl 2

Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap

gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinga dengan jari-jemarinya, karena

(mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang

yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat

itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa

mereka, mereka berhenti. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan

pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala

sesuatu 48.
P47F P

Tafsir Ayat

Kata shayyib berarti hujan, atau semua yang turun dari atas ke bawah.

Dikatakan: shba-yashbu merupakan sambungan (ataf) dari ayat (sebelumnya) ka

matsali lladzi stauqada nran (perumpamaan mereka adalah seperti orang yang

menyalakan api).

Matsal kedua ini juga merupakan matsal bagi kaum munafik. Menurut kaidah,

kalimat wa ka shayyibin menempati kalimat au ka shayyibin, sebab huruf au

(atau) kadang-kadang juga digunakan dalam makna wa (dan). Seperti pada

46
QS. az-Zumar
47
At-Tibyan fi Tafsir al-Quran: 1/86
48
QS. al-Baqarah: 19-20
kalimat penyair yang berkata: nla al-khilfata au knat lahu qadran; kam at

rabbahu mus al qadrin (Khilafah telah diraihnya dan itu baginya satu kemampuan;

Sebagaimana Tuhan mendatangi Musa sesuai dengan kemampuannya). Barangkali,

penggunaan huruf au adalah untuk pilihan, yakni bahwa kaum munafik itu

diumpamakan sebagai si penyala api atau orang yang ditimpa hujan.

Kata rad (guruh) berarti suara yang terdengar dari balik kumpulan gumpalan-

gumpalan awan. Kata barq (kilat) ialah sinar berkilau karena pertemuan gumpalan

awan. Guruh dan kilat itu terjadi akibat muatan-muatan tertentu yang bersinggungan

dalam awan. Kata shiqah (petir) berarti api besar yang terkadang turun di tengah

hujan dan kilat. Penyebabnya adalah pembongkaran muatan-muatan listrik yang ada

di awan dengan kekuatan daya tarik tertentu yang menariknya ke permukaan bumi.

Kata ihthah bisy sya`i 49 berarti mengelilingi sesuatu dari segala sisi. Kata

khathaf (menyambar) ialah merampas dan mengambil dengan cepat. Kata ini bukan

kata khatfah (sekali renggut) juga bermakna nuhbah (perampasan). Sedangkan

potongan ayat yang berbunyi wa idz azhlama (bila gelap menimpa), bermakna

bila kamu takut sinar kilat.

Demikianlah penjelasan melalui penafsiran terhadap kosa kata (mufradt)

ayat. Dengan itu, selanjutnya dapat dilihat penjelasan hakikat tamtsil dalam ayat yang

mengungkapkan kondisi kaum munafik. Yakni, keadaan yang diserupakan

(musyabbah) diketahui melalui keadaan yang dijadikan penyerupa (musyabbah bihi).

Jadi, dalam hal ini, yang penting adalah mencari tahu musyabbih bihi.

49
Kalimat ini menjadi bentuk umum yang diambil dari ayat di atas muhithun bil kfirin
yang artinya: Dia meliputi orang-orang yang kafir. Penerj.
Ayat di atas menetapkan bahwa perumpamaannya bermula dari: Atau50

seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit dan berakhir sampai

kalimat: bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti.

Sedangkan ayat: Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir adalah susunan

kontradiksi (jumlah mutaarridhah), yang ditampilkan di tengah tamstil, dan setelah

selesai kalimat tamtsil itu, kalimat penutupnya berbunyi: Jika Allah menghendaki,

niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah

berkuasa atas segala sesuatu. Kalimat penutup ini kembali pada yang diserupakan,

yakni keadaan kaum munafik. Ini adalah sesuatu yang kembali pada kosa kata ayat

dan bentuk keselarasannya, dan yang penting ialah bagaimana ayat ini

menggambarkan kesaksian yang mengerikan itu.

Contoh: suatu kaum berjalan di padang sahara di tengah langit terbuka yang

diliputi kegelapan yang pekat. Tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat menimpa

mereka. Ada guruh-guruh yang menggelegar dan kilat berkilauan yang hampir

menyambar penglihatan mereka lantaran begitu dahsyatnya dengan disertai petir yang

amat mengerikan. Mereka dikuasai rasa takut, ngeri dan terkejut, yang memaksa

mereka menutupi telinga dengan jari-jemari karena takut mati. Mereka tidak mau

mendengar suara yang mengerikan itu. Di saat itu, mereka berhenti dalam

kebingungan, tidak tahu harus melihat ke arah mana. Tiba-tiba kilauan cahaya kilat

menerangi jalan, mereka pun dapat berjalan dengan tenang. Tapi ketika cahaya kilat

itu tertutupi, mereka kembali lagi diliputi kegelapan yang menyebabkan langkah

mereka terhenti.

Ringkasan dari kesaksian seperti ini ialah, bahwa ketakutan, kengerian, dan

kebingungan telah menguasai benak kaum munafik, yang tidak tahu harus berbuat

50
Pada pembahasan sebelumnya kata au bisa bermakna dan.
apa. Begitulah keadaan yang dialami kaum munafik. Sebagai pendekatan, dapatlah

disimak penjelasan di bawah ini:

Penjelasan pertama: penyesuaian yang terpisah (tathbiq mufarraq) bagi setiap

kata dalam musyabbah bihi, yaitu hujan lebat, kegelapan, petir, dan kilat- bagi

musyabbah. Mengenai hal ini para mufasir menyebutkan beberapa segi, yang paling

utama adalah segi ketiga, yang diangkat oleh at-Thabarsi.

Ia berkata: Itu adalah sebuah matsal bagi Islam, karena di dalamnya ada

kehidupan, sebagaimana di dalam hujan ada kehidupan. Dan keserupaan kegelapan

dengan menyimpan kekufuran di balik keislaman mereka. Guruh dengan ajaran

Islam berupa kewajiban jihad dan takut perang serta ancaman akhirat yang mereka

takuti disebabkan keraguan mereka terhadap agama (Islam). Kilat dengan

penyelamatan darah, para perempuan, dan harta warisan mereka dengan cara

menampakkan keislamannya. Dan petir dengan hentakan atau lecutan hukuman,

sebagaimana di dalam Islam terdapat hukum-hukum yang harus dilaksanakan, baik

dalam waktu cepat maupun lambat. Penafsiran seperti ini dikuatkan dengan riwayat

dari Imam Hasan bin Ali as, yang pernah berkata: Perumpamaan keislaman orang

munafik, seperti hujan lebat. Inilah sifatnya 51.

Selain itu, ada juga penafsiran yang berbeda, seperti yang dipetik oleh

muhaqqiq Muhammad Jawad al-Balaghi (wafat 1352 H). Al-Balaghi berkata: Bagi

masyarakat dan tatanan sosial, Islam seperti hujan. Hujan memberikan air yang dapat

menghidupkan dan menyuburkan tanah. Dan aturan atau penataan terhadap aliran air

hujan (dengan irigasi) akan memberikan hasil tanaman yang sangat berguna bagi

masyarakat. Di dalam Islam ada seperangkat ajaran dan aturan bagi kehidupan dan

kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat, karena dengan ajaran dan aturan itu

51
Majma al-Bayan: 1/57
timbul keindahan bumi dengan keadilan, kedamaian, ketentraman dan hubungan

sosial yang baik.

Namun penentangan terhadap kebenaran (Islam) dan ahli kebenaran,

menjadikan Islam seperti hujan lebat, yang memuat kegelapan yang hebat, seperti

timbulnya peperangan dan permusuhan dari kaum musyrikin. Gemuruh hujan adalah

peperangan, pembunuhan, dan ancaman-ancaman yang menggelisahkan bagi kaum

yang tidak sabar terhadap kaum yang berjiwa lapang dan terang yang memurahkan

diri mereka di jalan Allah dalam mencapai kebahagiaan. Bagi mereka yang berjiwa

lapang, kilat-kilat seperti pertanda kemenangan, harapan selamat, memperoleh hasil

yang menguntungkan, penjagaan dan pemberian (dari Allah) dengan mulia. Ketika

mendengar petir-petir peperangan, kaum musyrikin dikuasai oleh rasa takut dan

kengerian akan pembunuhan. Dalam hal ini kondisi mereka serupa dengan mereka

menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab

takut akan mati.... Mereka takut, seakan-akan hati mereka hendak lepas karena ngeri

mendengar suara petir. Pikiran mereka dungu, tak tahu harus ke mana melarikan diri

dari kematian. Rasa takut memberikan kengerian kepada mereka, dan Allah

menguasai orang-orang kafir 52.

Pejelasan kedua: penyesuaian yang tersusun (tathbiq murakkab), ialah bahwa

tujuan di balik tamtsil ini ada tiga perkara yang kembali kepada penjelasan keadaan

kaum munafik.

Sebelum mengangkat pembahasan tentangnya, perlu disebutkan terlebih

dahulu perkataan az-Zamakhsyari, yang mengatakan: Yang benar, yang dijelaskan

secara tidak tertulis oleh ulama bahwa dua tamtsil itu merupakan keseluruhan dari

gabungan tamtsil-tamtsil yang tersusun berurutan, bukan yang terpisah

52
Al-kasysyaf: 1/162-163
Tiga perkara yang menerangkan keadaan kaum munafik yang dimaksud

adalah: Pertama: Rasa takut yang mendominasi (ihthah) kaum munafik terjadi

setelah tersebarnya Islam ke berbagai penjuru jazirah Arab. Kekuatan Islam semakin

bertambah yang antara lain disebabkan oleh banyaknya kabilah-kabilah Arab yang

datang memeluk Islam mendatangkan rasa takut dalam hati kaum musyrikin

menggelisahkan jiwa mereka. Orang-orang musyrik terguncang menyaksikan

perkembangan Islam yang datang seperti menghimpit, seolah mereka ditimpa hujan

lebat dari langit membuat suasana jadi gelap diiringi kilat dan petir. Dalam firman-

Nya: Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap

gulita, guruh dan kilat.

Kedua: di zaman Nabi Muhammad saw, ketika Nabi saw memberitakan

kepada masyarakat tentang masa depan yang gelap bagi orang-orang kafir dan mereka

yang menolak Islam dan iman, terutama setelah kematian, maka berita itu seperti petir

yang menyambar kepala mereka. Mereka lari mencari persembunyian tatkala

mendengar ayat-ayat Allah dan merasa takut pada petir argumentasi dan bukti-

bukti-Nya yang berkilauan. Ketika orang-orang mukmin mengambil manfaat dari

cahaya kilat firman Tuhan, orang-orang kafir dan musyrik malah menjauhinya.

Menjauh dari kebenaran seperti ini adalah puncak kepandiran. Sebab, menyumbat

telinga bukanlah merupakan perisai dari sambaran petir dan datangnya maut. Allah

SWT mengisyaratkan tentang hal ini: Mereka menyumbat telinga dengan jari-

jemarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah

meliputi orang-orang yang kafir.

Ketiga: Di masa permulaan perkembangan Islam itu, Nabi Muhammad saw

mengajak umat manusia kepada agama yang suci. Nabi saw melantunkan ayat-ayat

yang jelas dan membawakan hujjah-hujjah yang tak terbantahkan kepada mereka,
sehingga, saat itu teranglah kebenaran bagi mereka. Boleh jadi mereka telah berniat

mengikuti langkah Nabi saw dan berjalan di belakang pemikiran-pemikiran beliau,

tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama. Mereka cepat kembali mengikuti jejak

bapak-bapak mereka secara buta dan memilih tunduk pada kegelapan hawa nafsu dan

ketidakjelasan (syubht). Dalam hal ini Allah berfirman: Hampir-hampir kilat itu

menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka

berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti.

Sampai di sini selesailah tathbiq murakkab.

Al-Quran melanjutkan tamtsil-nya dengan menyatakan: Jikalau Allah

menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka.

Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. Yakni bahwa Allah SWT mampu

menjadikan mereka tuli dan buta, sehingga nasihat tidak akan mempan bagi mereka

dan hidayah tidak akan masuk kepada mereka. Hilangnya pendengaran dan

penglihatan mereka tidak lain adalah akibat perbuatan buruk mereka sendiri, yang

mengakibatkan pintu taufik di hadapan mereka tertutup. Maka mereka menjadi tuli,

bisu dan buta.

Selanjutnya ayat-ayat al-Quran menguraikan keadaan memprihatinkan yang

menguasai jiwa orang-orang munafik di tempat hijrah Nabi saw (Madinah). Mereka

gelisah, berjaga-jaga dan takut terhadap turunnya ayat yang dapat menyingkap niat-

niat jahat mereka. Allah SWT berfirman: Orang-orang yang munafik itu takut akan

diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi

dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: teruskanlah ejek-ejekanmu (terhadap

Allah dan Rasul-Nya)! Sesungguhnya Allah akan menampakkan apa yang kalian

takuti itu 53.

53
QS. at-Taubah: 64
Di sisi lain, mereka menyaksikan perkembangan kekuaasan dan bertambahnya

kekuatan Islam dalam bentuk kemampuan melenyapkan mereka dari muka bumi,

Allah SWT berfirman: Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik,

orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan

kabar bohong di Madinah itu, dari menyakitimu, niscaya Kami perintahkan kamu

(untuk memerangi mereka), kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di

Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, dan dalam keadaan terlaknat.

Dimana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-

hebatnya 54.

Inilah sebagian yang dapat dikatakan tentang tamtsil yang di dalamnya

terdapat uraian mengenai orang-orang munafik. Sungguhpun begitu, menyesuaikan

tamtsil atas orang-orang munafik di masa kini adalah menjadi tugas terpenting bagi

para mufasir dalam mempelajari keadaan kaum munafik kontemporer. Yaitu, bahwa

hakikat kemunafikan adalah satu, ialah kembali pada menampakkan keimanan dan

menyembunyikan kekufuran; ia bertujuan mencelakakan Islam dan kaum muslimin.

Mereka selalu berada dalam ketakutan dan kekhawatiran, dan pada saat yang sama

mereka tuli, bisu, dan buta dan mereka tidak akan kembali.

Tamtsl 3

Firman Allah: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa

nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman maka

mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang

54
QS. al-Ahzab: 60-61
kafir mengatakan apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? Dengan

perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu

(pula) banyak yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali

orang-orang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah

perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan untuk

menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-

orang yang rugi [al-Baqarah: 26-27].

Tafsir Ayat

Kata al-hay` (akar kata istihy` dalam ayat) berarti perubahan dan kelemahan

yang menyertai manusia karena takut dicela. Dikatakan: Fulan yastahyi an yafla

kadz, yang artinya: fulan malu atau enggan berbuat demikian. Maksudnya, ia

menahan diri dari melakukan sesuatu.

Jadi, al-hay, atau malu, merupakan suatu reaksi. Maka, bagaimana mungkin

kata tersebut dinisbatkan kepada Allah SWT padahal mustahil bagi-Nya untuk

mengikuti perubahan, takut, dan cela?

Jawab: Penisbatan kata atau sifat al-hay`, seperti penisbatan sifat al-ghadhab

(murka) dan ar-ridh kepada Allah, bahwa semua sifat itu dinisbatkan kepada Allah

terlepas dari dampak-dampak materi, dan diambil dari akibat-akibat. Mereka

mengatakan: khudzuu l-ghyt watrukuu l-mabdi`, artinya, raihlah tujuan dan

tinggalkan prinsip. Jadi sifat al-hay` (malu) menahan manusia dari melontarkan

perkataan yang disembunyikannya. Dan Allah SWT menafikan penahanan seperti

(manusia) itu. Artinya, tidak ada sesuatupun yang mencegah-Nya dari menampakkan

sesuatu yang benar (kebenaran). Allah berfirman: dan bila kamu selesai makan,

keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang


demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh

kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar (al-Ahzab: 53).

Adapun membuat perumpamaan (dharbul matsal) pada ayat sebagaimana

telah dibicarakan sebelumnya ialah, bahwa penggunaan kalimat dharbul matsal di

dalam tamtsil dengan berbagai permisalan mempunyai beberapa bentuk

pertimbangan, antara lain:

Dharbul matsal disebutkan di dalam pembicaraan ialah karena ada satu hal

yang bersesuaian, sehingga tampaklah kebagusan dan kejelekan, kebenaran dan

kekeliruan, di mana sebelumnya tidak tampak. (Istilah) ini diambil dari kalimat

dharbu adh-dharhim (mencetak dirham-dirham), yaitu istilah dengan ciri tertentu

yang dapat menimbulkan dampak. Dengan kata lain, dharbul matsal mengetuk

gendang telinga si pendengar hingga meresap ke dalam hati si pendengar. Tapi ia

tidak terkesan menghina dan menjelekkan pribadi siapa pun selain menyerupakan si

pendengar dengan sesuatu yang berlaku pada umumnya. Apabila kalimat dalam

dharbul masal itu mengandung argumentasi nyata maka siapa pun yang dituju

perumpamaan itu merasa terhina dan tidak senang (Tafsir al-Maraghi: 1/70).

Al-baudhah (nyamuk) pada ayat adalah binatang kecil berbelalai yang

bentuk belalainya mirip belalai gajah, berongga, dan dapat menghisap serta menyerap

darah. Allah SWT memberi nyamuk kekuatan menyerap dan membuang, serta telinga

dan sayap, yang sempurna sesuai dengan kondisi kehidupannya. Nyamuk sangat

sensitif, mampu melarikan diri dengan kemahiran yang menakjubkan ketika datang

bahaya mengancamnya. Bentuk tubuhnya yang kecil dan ringan menjadi kelebihan

baginya, selain merupakan pertahanan juga dapat membuat kewalahan binatang-

binatang besar dengan manuver-manuvernya. Para pakar biologi belakangan berhasil


menyingkapkan bahwa nyamuk mampu menyadap gerak mangsanya hingga jarak

sejauh enam puluh lima kilometer.

Tentang kebenarannya, Imam Ali bin Abi Thalib as berkata: Bagaimana

mungkin? Sekalipun semua hewan bumi, burung atau hewan buas, ternak yang

dikandang atau yang merumput di padang, dari berbagai asal dan jenis, orang bodoh

dan manusia arif bergabung bersama berusaha untuk menciptakan (sekalipun

hanya) seekor nyamuk, mereka tidak akan mampu membuatnya dan tidak pernah

mengetahui bagaimana cara penciptaannya. Pikiran mereka justru bingung sekaligus

takjub. Kekuatan mereka terlampau kurang, percobaan mereka gagal, dan akhirnya

kembali dengan letih dan kecewa. Mereka mendapati bahwa sesungguhnya mereka

dikalahkan, dan mengakui ketidakmampuan mengadakan atau menciptakannya.

Mereka menyadari pula bahwa mereka terlalu lemah (sekalipun) hanya untuk

menghancurkannya (Nahjul Balaghah: 186).

Tentang penciptaan binatang kecil ini, Imam Jafar Shadiq as mengatakan:

Sesungguhnya Allah membuat perumpamaan dengan nyamuk yang bertubuh kecil.

Allah menciptakan segenap apa yang ada padanya juga seperti yang Dia ciptakan

pada gajah yang bertubuh besar, dan (dengan) tambahan dua anggota (tubuh) yang

lain. Allah berkehendak memperingatkan kepada orang-orang mukmin atas

kelembutan dan keunikan ciptaan-Nya (Majm al-Bayan: 1/67).

Sampai di sini uraian penafsiran dari sisi kosakata ayat selesai. Adapun tafsir

ayat secara keseluruhan, para mufasir memilih cara penukilan sebab turun (asbabun

nuzul) ayat dengan dua segi atau cara pandang:

Pertama; ketika Allah SWT membuat dua perumpamaan bagi kaum munafik

sebelum ayat ini, yaitu pada ayat: Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang

menyalakan api dan Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari
langit. Orang-orang munafik berkata: Allah Maha Tinggi dan Maha Agung dari

membuat perumpamaan-perumpamaan seperti ini. Kemudian, Allah SWT

menurunkan ayat (al-Baqarah: 26-27) ini.

Kedua; bahwa ketika Allah SWT membuat perumpamaan dengan lalat dan

laba-laba, kaum musyrikin berkomentar mengenai perumpamaan yang dibuat itu

dengan mencela penyebutannya. Lalu, Allah SWT menurunkan ayat ini (Majm al-

Bayan: 1/67).

Pada segi yang pertama di atas mengandung kelemahan. Orang-orang munafik

tidak memungkiri dharbul matsal, tapi mereka mengingkari dua perumpamaan yang

dibawa oleh ayat tersebut, yaitu mengumpamakan (baca: menyerupakan) keadaan

mereka dengan dua matsal tadi. Padahal, tamtsil dengan nyamuk bukanlah sebuah

jawaban untuk membalas pengingkaran mereka. Karena mereka telah mengingkari

dua matsal yang datang membawa kebenaran itu. Maka tiadanya istihy (segan atau

malu) Allah mentamtsilkan nyamuk sama sekali bukanlah untuk membalas

penentangan mereka.

Dan segi kedua, (ayat) dharbul matsal dengan lalat dan laba-laba termasuk

dalam ayat-ayat Makkiyah. Yakni, ayat pertama (lalat) ada di dalam surat al-Hajj dan

ayat kedua (laba-laba) ada di dalam surat al-Ankabut yang keduanya turun di Mekah.

Sementara ayat ini (tentang nyamuk) turun di Madinah. Maka bagaimana mungkin

ayat yang turun di Madinah (tempat hijrah Nabi saw) menjadi jawaban atas penolakan

kaum musyrikin di Mekah (tanah air beliau)?.

Alhasil, ayat di atas menjelaskan bahwa tolok ukur kebenaran tamtsil bukanlah

pada berat atau besarnya sesuatu yang diumpamakan dengannya. Jadi bukanlah

tamstil dengan nyamuk itu menjadi aib, dan bukan pula tamtsil dengan onta dan gajah

itu sempurna. Sesungguhnya yang bisa disebut kesempurnaan dalam perkara ini ialah
bila suatu matsal mampu menjadi penjelas bagi hakikat yang sebenarnya, yang

dilupakan oleh orang yang diajak bicara (mukhathab), tanpa membedakan komponen

yang dibuat perumpamaan (penyerupaan), baik perumpamaan kecil atau besar.

Dengan ibarat lain; ketika target perumpamaan adalah kesan dan pengaruh

pada diri pihak yang dituju, maka kalimat yang digunakan menuntut perumpamaan-

perumpamaan dari sesuatu yang mengena, seperti mengambil perumpamaan nyamuk

yang mempunyai sifat rendah yang sifat rendahnya itu cenderung dijauhi dalam

kebiasaan masyarakat. Jadi, tolok ukurnya adalah kegunaan matsal untuk merealisasi

apa yang diinginkan si pembicara (mutakallim), tanpa perlu membedakan antara kecil

dan besarnya unsur perumpamaan yang dibawanya. Sebagaimana firman Allah SWT:

Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk, bahkan

yang lebih kecil lagi, seperti kuman-kuman yang tak dapat dilihat kecuali dengan

menggunakan mikroskop. Persis seperti kalau kita mengatakan: Fulan tidak peduli

berbakhil dengan setengah dirham fa m fauqah (baca: atau bahkan lebih sedikit lagi

dari itu).

Seandainya maksud fa m fauqah adalah banyaknya, maka kata yang

selayaknya digunakan adalah fadhlan an atau (apalagi) satu dan dua dirham.

Pendapat sebagian orientalis yang menyatakan, yang seharusnya dikatakan

ialah fa m duunahu (bahkan yang di bawahnya) adalah tidak sempurna. Mengapa?

Sebab, untuk membedakan antara kalimat fa m fauqah dan kalimat fadhlan ialah,

kalimat pertama yang di situ terdapat pasangan kata (qarinah) posisi, bermakna fa m

fauqah di dalam kecil dan kerendahan, bukan bermakna fadhlan (apalagi).

Barangkali, tafsiran ayatnya mengatakan: Allah tidak malu membuat

perumpamaan berupa nyamuk fa m fauqah di dalam besar(nya). Akan tetapi,

pendapat yang pertama (yakni fa m fauqah di dalam kecilnya) lebih sesuai bagi
maksud mutakallim. Sebagaimana dikatakan: Lantaran kau berbuat kejahatan untuk

satu dinar, bal fauqahu (bahkan di atasnya), yakni setengah dinar. Dan yang dimaksud

fauqiyah (sifat di atas) itu adalah fauqiyah di dalam kerendahan.

Az-Zamakhsyari melontarkan pertanyaan pada dirinya sendiri: Bagaimana

Allah membuat perumpamaan pada sesuatu di bawah nyamuk, sedangkan nyamuk

adalah binatang terkecil? Ia menjawab: Bahwa sayap nyamuk lebih rendah dan lebih

kecil kedudukannya, dan Rasulullah saw telah membuat perumpamaan bagi dunia.

Dalam ciptaan Allah terdapat binatang yang lebih kecil dari nyamuk dan bahkan lebih

kecil lagi dari sayapnya. Mungkin Anda telah melihat secara tekun dan jeli

keberadaan kitab-kitab kuno yang tulisannya nyaris tidak terang lagi bagi penglihatan

mata kita yang tajam, kecuali dengan cara digerak-gerakkan. Karena Bila didiamkan,

tulisannya akan tertutupi. Kemudian bila (tulisannya) ditampakkan dengan tangan,

maka akan menyimpang dan miring. Mahasuci Dia yang mengetahui gambar itu dan

anggota-anggotanya yang lahir maupun yang batin berikut kedetailan bentuknya. Dia

melihat penglihatannya dan mengetahui kedalamannya, bahkan barangkali yang

paling kecil dan super kecil dalam ciptaan-Nya; Maha suci (Allah) Yang menciptakan

semuanya (makhluk) berpasangan dari apa yang ditumbuhkan tanah dan dari diri-diri

mereka serta dari apa yang tidak mereka ketahui. (al-Kasysyaf: 205-206).

Al-Baidhawi berkata: Ketika ada ayat-ayat yang sebelumnya memuat

bermacam-macam tamtsil maka setelah itu dilanjutkan dengan menjelaskan

keindahannya. Kebenaran apa yang dimiliki dan syarat apa yang ada di dalamnya

ialah sebuah kenyataan yang diambil dari al-mumatstsal lahu (yang

diperumpamakan), di sisi mana tamtsil tersebut berkaitan dengannya dalam kebesaran

dan kerendahan, kehinaan dan kemuliaannya, tanpa menyangkut al-mumatstsal (yang

diumpamakan). Artinya, tamtsil dibuat untuk menyingkap makna al-mumatstsal lahu,


mengangkat tirai yang menutupinya dan menampakkan sesuatu dalam bentuk yang

bisa diinderai, guna membantu akal memahami keadaan sesungguhnya dan

mempertemukan dengan dirinya. Makna itu sendiri dijangkau oleh akal disertai

perbedaan dan perselisihan pemahaman. Sebab, hal itu sudah merupakan tabiat

manusia yang condong pada indera dan senang pada persamaan. Oleh karena itu al-

amtsal populer di dalam kitab-kitab Ilahiyah dan tersebar dalam ibarat-ibarat para

sastrawan dan dalam isyarat-isyarat para filosof. Maka diperumpamakanlah orang

hina dengan yang hina, sebagaimana orang besar dengan yang besar. Meskipun al-

mumatstsal (yang diumpamakan) lebih besar (agung) dari semua yang besar.

Sebagaimana perumpamaan di dalam Injil; mengumpamakan dada dengan pohon

kurma, mengumpamakan hati yang keras dengan kerikil dan mengumpamakan

bergaul dengan orang-orang dungu dengan memuliakan tabuhan. Dalam perbincangan

bahasa Arab misalnya dikenal perkataan: lebih mendengar dari kutu binatang, lebih

gegabah dari kupu-kupu dan lebih mulia dari otak nyamuk (al-Baidhawi: 1/43).

Barangkali ada pendapat yang mengatakan bahwa tamtsil dengan sesuatu yang

rendah dan hina tidak sesuai dengan kalam para sastrawan. Sehingga, al-Quran yang

mencantumkan semut, lalat, laba-laba, dan lebah di dalamnya, tidak bisa disebut fasih,

apalagi berkedudukan sebagai mukjizat.

Shadru Mutaallihin asy-Syirazi (Mulla Shadra), wafat 1050 H, menjawab:

Sesungguhnya kehinaan seperti itu tidak bertentangan dengan tamtsil, jika syarat

dalam perumpamaan itu sesuai dengan mumatstsal lahu, yakni dari arah mana tamtsil

itu mengundangnya dengan sesuatu, seperti kebesaran dan kerendahan, kemuliaan dan

kehinaan, dan bukan atas dasar kesesuaian dengan sesuatu yang menjadi obyek

tamtsil dan yang dibuat permisalan. Karena tujuan asli dari tamtsil adalah

menjelaskan makna rasional dan menghapus kesamaran ketika muncul dalam bentuk
yang bisa diinderai, dengan maksud membantu akal untuk memahaminya. Sebab,

sebagaimana maklum, akal manusia selama berhubungan dengan kekuatan inderawi,

tidak dapat menjangkau kedalaman makna tanpa adanya waham dan persamaannya,

yang salah satu tabiatnya ialah seperti setan-setan yang bermain dalam takhayul tanpa

ketetapan dalam sebuah gambaran.

Oleh karena itu, al-amtsl beredar di dalam kitab-kitab samawi, tersebar

dalam ibarat orang-orang fasih Arab dan Ajam, dan termaktub dalam isyarat dan

kaidah-kaidah para filosof, tertuang dalam suhuf-suhuf dan lembaran-lembaran tulisan

mereka. Semuanya dirangkai dalam ungkapan yang menyempurnakan terawang

imajinasi dan penglihatan indera. Di dalam tamtsil ada berlipat-lipat sentuhan yang

membangkitkan potensi jiwa, pada awalnya memperumpamakan rasional dengan

imajinasi, lalu memperumpamakan imajinasi dengan bentuk gambar yang terinderai,

yang terukur dan berbentuk. (Tafsir al-Quran al-Karim: 2/192-193).

Penafsiran terhadap ayat al-Quran menyatakan, Allah SWT menyebutkan

posisi manusia yang terbagi dua di hadapan al-amtsal:

1- Kaum mukmin. Mereka adalah orang-orang yang posisinya tergambar

seperti dalam firman Allah SWT: Adapun orang-orang yang beriman maka mereka

yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka.

2- Kaum kafir. Mereka adalah orang-orang yang kedudukannya tampak seperti

dalam firman Allah SWT: tetapi mereka yang kafir mengatakan apakah maksud

Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?. Dalam ayat ini tampak bahwa ucapan

mereka, m arda llh (apa maksud Allah) adalah bermaksud mengejek seruan

Rasulullah saw yang menyatakan bahwa matsal (perumpamaan) yang

disampaikannya adalah wahyu dari Allah SWT. Atau, lebih gamblangnya, orang-

orang kafir dan munafik itu sebenarnya mengingkari wahyu Ilahi.


Oleh karena itu, kita dapat melihat bahwa keberadaan sesuatu bisa menjadi

sebab datangnya hidayah bagi satu golongan tapi juga dapat menimbulkan kesesatan

bagi golongan yang lain. Semua itu tidak lain karena adanya perbedaan penerimaan

pada tiap orang. Bagi orang yang siap menerima kebenaran dan hakikat, maka ayat-

ayat Ilahiyah menjadi sebab hidayah. Sedangkan bagi yang menentang, sesungguhnya

mereka adalah orang-orang yang tuli dari mendengar kalimat al-haq, mereka

mengingkari ayat-ayat, dan menjadi kufur.

Ayat al-Quran yang berbunyi, Dengan perumpamaan itu banyak orang yang

disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak yang diberi-Nya

petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, ialah

kalam Allah SWT yang tidak ada kaitannya dengan perkataan kaum yang ingkar.

Kalam-Nya tetap sempurna, dan ayat: bi hda matsalan (dengan perumpamaan

ini), berarti amtsal itu berkesan bagi satu kaum, namun tidak pada kaum yang lain.

Kemudian Allah SWT menjelaskan penyebab kesesatan orang-orang yang

tidak beriman dalam kalimat; Dengan perumpamaan itu banyak orang yang

disesatkan Allah. Al-fisq dalam etimologi adalah isi buah kurma, dan dalam

terminologi ialah orang yang keluar dari ketaatan Allah, baik itu seorang muslim biasa

atau kafir yang fasik.

Para mufasir merinci makna kalimat akhir ayat; Dengan perumpamaan itu

banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak

yang diberi-Nya petunjuk, dengan tafsiran bahwa bagian ayat tersebut ingin

mengisyaratkan pada konsep keterpaksaan (jabr). Meskipun tidak sedikit pula dari

mereka yang mencoba menafsirkan ayat ini dengan bentuk lain, yaitu yang selaras

dengan konsep ikhtiar. Namun demikian, ke mana maksud ayat ini tertuju ialah

menjelaskan bahwa nasihat-nasihat sejuk dan untaian-untaian hikmah sesungguhnya


mempunyai pengaruh yang efektif; hati manusia dapat menerima kesan positif dan

akal menolak kesan negatif. Inilah barangkali tafsiran ayat yang di atas!.

Selain itu, dapat diduga pula bahwa ayat di atas tidak berada dalam posisi

menjelaskan dharbul matsal dengan nyamuk seperti dharbul matsal dengan laba-laba

dan lalat. Tetapi ayat itu keluar dari ruang dhabul matsal dalam makna

terminologisnya. Ayat di atas sebenarnya hendak menjelaskan qudrat Ilahiah, tentang

sifat-sifat kamal (keindahan) dan jalal (Keagungan)-Nya. Juga ingin menjelaskan

bahwa Allah tidak malu berargumentasi atas qudrat-Nya, keagungan dan keindahan-

Nya dengan menciptakan makhluk-makhluk-Nya, baik yang besar dan agung seperti

langit dan bumi, maupun yang kecil dan rendah seperti nyamuk dan lalat. Jadi makna

dharbul matsal di sini adalah mengagungkan Allah SWT dengan sifat-sifat agung dan

sempurna.

Sebagian mufasir berusaha menunjukkan bahwa Allah SWT berargumentasi

atas jalal dan kamal-Nya dengan menciptakan langit dan bumi: Hai manusia,

sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu,

agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan

langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia

menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena

itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu

mengetahui [al-Baqarah: 21-22].

Atas konsep di atas terlintas dua hal:

Pertama, apabila maksud dari dharbul matsal adalah penyifatan Allah dengan

qudrat yang agung, maka yang lazim setelah ayat 21-22 al-Baqarah ini ialah ayat di

atas (al-Baqarah 26-27). Sementara pemisah antara keduanya, yakni tiga ayat (ayat
23-25 al-Baqarah) terfokus pada mukjizat al-Quran dan tantangannya, dan berpaling

pada taman surga dan buah-buahannya, sebagaimana kita bisa merujuk al-Quran.

Kedua, al-Quran pada sebagiannya menafsirkan sebagian yang lain. Dalam

ayat di atas Allah SWT berfirman: Adapun orang-orang yang beriman maka mereka

yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. Setelah menggambarkan

al-haqq dan al-bthil dengan matsal yang indah (yang nanti akan di bahas pada

tamtsil ke 21), Allah SWT berfirman: Allah telah menurunkan air (hujan) dari

langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya.., -sampai pada

ayat- Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. Dan: Adakah

orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu

adalah benar sama dengan orang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja

yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan

tidak merusak perjanjian [ar-Rad: 17-20].

Kita dapat mengatakan bahwa ayat-ayat dalam surat al-Baqarah dan ar-Rad

bagaikan satu batang emas, yang saling menafsirkan satu sama lain. Dalam surat al-

Baqarah disebutkan dharbul matsal dengan nyamuk, sebagaimana termuat dalam

surat ar-Rad sebuah matsal mengenai al-haqq dan al-bthil.

Dalam surat al-Baqarah, Allah SWT berfirman: Adapun orang-orang yang

beriman maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka.

Dan di dalam surat ar-Rad, Allah berfirman: Adakah orang yang mengetahui bahwa

apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu adalah benar sama dengan orang

buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.

Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah berbunyi: Dan tidak ada yang

disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, ditafsirkan dengan ayat: (yaitu)

orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh.


Dalam surat ar-Rad, ulil albb (baca: orang-orang yang berakal) ditafsirkan

dengan: (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak

perjanjian.

Dengan membandingkan ayat-ayat ini maka terungkap bahwa maksud dari

dharbul matsal adalah makna yang sudah dikenal. Yakni, tamtsil dengan nyamuk

ialah untuk menghinakan sesembahan-sesembahan orang-orang musyrik atau yang

semacamnya.

Barangkali riwayat yang telah kami nukil dari Imam Jafar ash-Shadiq as di

muka dapat menguatkan maksud dari kesimpulan penjelasan ini. Maka renungilah!

Tamtsl 4

Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.

Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai

daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air

daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut

kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan [al-

Baqarah: 74].

Tafsir Ayat

Ayat ini turun setelah kisah sapi yang disembelih Bani Israil. Masyarakat Bani

Israil membantah nabinya, Musa as, dengan maksud hendak berlepas diri dari perintah

menyembelih sapi. Tetapi pada akhirnya mereka dapat melaksanakan

penyembelihan dan hampir saja mereka tidak melakukannya.

Penyembelihan sapi yang diperintahkan Nabi Musa as adalah upaya untuk

menentukan secara tegas identitas seorang pembunuh licik, yang melontarkan tuduhan
pembunuhan kepada seseorang dari Bani Israil. Keluarga dari Bani Israil mengelak

dan membela diri dari tuduhan tersebut. Kemudian mereka datang kepada Nabi Musa

as meminta jalan keluar menyelesaikan masalah tersebut. Dan Allah SWT

berkehendak menampakkan hakikat perkara tersebut melalui hal yang menakjubkan.

Nabi Musa as berkata kepada mereka; Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan

agar kalian menyembelih sapi. Ketika mereka telah menyembelihnya setelah

melewati perdebatan panjang lalu Nabi Musa as menyuruh mereka (atas perintah

Allah SWT) agar memukul (mayat) yang terbunuh dengan sebagian anggota sapi,

sehingga mayat itu hidup (kembali) dan menunjuk siapa pembunuhnya.

Allah SWT berfirman: Lalu Kami berfirman: Pukullah mayat itu dengan

sebagian anggota sapi betina itu?. Demikianlah Allah menghidupkan kembali

orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaan-

Nya agar kamu mengerti [al-Baqarah: 73].

Dengan melihat mukjizat agung Nabi Musa as itu, sempurnalah hujjah kepada

masyarakat. Mukjizat itu bertujuan untuk menambah keimanan dan ketaatan mereka

kepada Nabi Musa as. Tetapi sayangnya, hati mereka keras (qaswat), sebagaimana

terungkap dalam ayat, Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu,

bahkan lebih keras lagi.

Di satu sisi, masyarakat mengenal batu sebagai benda yang keras, dan Allah

SWT menyerupakan hati mereka dengan batu; yaitu hati mereka seperti batu,

bahkan lebih keras lagi. Huruf aw dalam ayat ini mengganti posisi huruf bal

(bahkan).

Kemudian, kalbu-kalbu (al-qulb); bisa bermakna jiwa-jiwa yang berpikir (an-

nufus an-nthiqah). Maka, dalam konteks seperti ini, hubungan kerasnya hati pada

ruh adalah hubungan atau nisbah yang bersifat hakiki. Atau, maksud dari al-quluub
adalah anggota (tubuh) yang terletak di dada sisi kiri, yang berperan sebagai

pembersih darah dan mengirimkan darah ke segenap anggota tubuh. Jika maksudnya

seperti penjelasan yang kedua ini maka hubungannya menjadi bersifat majazi. Dan

sebenarnya, kekerasan atau keras (qaswat) tersebut dinisbatkan pada bagian anggota

tubuh ini, karena anggota ini (hati atau quluub) adalah bagian dari fenomena

kehidupan insaniyah, dan merupakan anggota pertama yang tergerak oleh perkara-

perkara psikologis, seperti senang, marah, sedih, dan takut. Maka tidak ada

pertentangan di dalam kandungan maksud ayat. Sebab, keberadaan pencapai (mudrik)

adalah jiwa yang berpikir, meskipun kaitan pencapaian (idrk) pada hati adalah benar.

Allah SWT menerangkan, hati para pengingkar kebenaran itu lebih keras dari

batu, dan menjelaskan penyebab kekerasan itu dengan tiga perkara: (1)- Padahal di

antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya. (2)-

Dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya.

(3)- Dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada

Allah.

Yang pertama; sungai-sungai yang memancar dari batu-batuan, seperti mata

air yang mengalir dari gunung yang berbatu. Yang kedua; seperti mata air yang

muncul ketika terjadi gempa yang menimbulkan pecahan tanah dan batu, lalu

memancar air dari celah batu itu, yang melancarkan aliran sungai-sungai. Dan ketiga;

seperti runtuhan batu dari bukit tinggi ke lembah yang menurun, karena takut kepada

Allah SWT.

Tidak menutup kemungkinan juga bahwa runtuhan batu itu (hubth) terjadi

karena sebab natural, seperti karena adanya sambaran petir yang menimpa bebatuan,

dan ada pula karena sebab spiritual, yakni ketika wahyu Ilahiah mengungkap

tentangnya. Atau, batu itu runtuh karena takut kepada Allah SWT. Dengan kata lain,
meskipun batu itu keras, tetapi ia bisa tergerak karena faktor-faktor di atas. Sementara

hati Bani Israil, tetap keras dan tidak bereaksi mendengar dan melihat wahyu serta

hujjah Ilahiah yang dibawa oleh Rasul-Nya. Jadilah jiwa mereka tidak merasa takut

dan tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya.

Hal yang mengherankan ialah karena Bani Israil melihat dengan mata kepala

mereka sendiri kelunakan batu-batu tatkala Nabi Musa as mencari air untuk kaumnya,

lalu Nabi Musa as diperintah Allah SWT memukul batu itu dengan tongkatnya.

Ketika batu dipukul, memancarlah air darinya menjadi dua belas mata air sesuai

bilangan al-Asbth (Imam Dua Belas as).

Ayat ini secara lahiriah menjelaskan kondisi batu yang bisa runtuh karena

takut kepada Allah SWT. Inilah hakikat ilmiah yang hendak diungkap oleh wahyu

Ilahi, meskipun orang-orang tidak dapat menjangkaunya melalui panca indera. Mulla

Shadra mengatakan: Alam ciptaan dengan segenap bagiannya bertasbih dan memuji

Allah SWT karena mereka berperasaan. Setiap wujud dari segala yang ada di alam

semesta ini memiliki perasaan dan pencapaian sendiri sesuai potensi yang dimilikinya.

Dengan perasaan itu, segala maujud bertasbih kepada penciptanya, yaitu Tuhan Yang

Maha Suci dari segala aib dan kekurangan.

Mulla Shadra melanjutkan: Ilmu, perasaan, dan pengetahuan, semuanya ada

pada tingkatan-tingkatan wujud. Pertama bermula dari Wajibul Wujud (Allah) sampai

pada tetumbuhan dan benda-benda mati. Setiap maujud menunjukkan dirinya dengan

tingkatan wujud dan mendapat bagian berupa sifat-sifat umum seperti ilmu, perasaan,

hidup, dan lain sebagainya. Dan setiap maujud tidak pernah lepas dari kondisi

demikian. Tujuan dari rangkaian keterkaitan wujud ini ialah bahwa sifat-sifat itu

kadang-kadang tak tampak pada diri kita karena wujud kita sedang lemah dan surut.
Hal itu menunjukkan tentang posisi sesungguhnya dari setiap maujud ciptaan,

yakni semakin ia menjauh dari (tingkat) materi dan mendekati pada tajarrud (lepas

dari materi), atau menjadi mujarrad secara aktual, maka semakin besar, kuat, dan

jelaslah sifat-sifat tersebut baginya. Tapi sebaliknya, maujud yang semakin dekat

dengan materi dan hanyut di dalamnya, maka sifat-sifat miliknya itu semakin lemah

dan surut sehingga menghilang sekali waktu. Seolah-olah lenyap dan kosong dari

pengetahuan, perasaan, dan pencapaian. Meskipun sebenarnya bukanlah demikian

sebagaimana yang kita duga, sebab maujud tersebut tetap memiliki pengetahuan dan

perasaan, hanya saja ia berada dalam keadaan lemah dan surut. Dalam kondisi seperti

ini ia tidak mungkin mencapai kekuatan dan ketinggian dengan cepat dan mudah. (al-

Asfar: 1/118, dan 6/ 139, 140).

Tidak hanya ayat di atas yang mengungkapkan tentang masalah ini. Tidak

sedikit ayat lain yang menguatkan keberadaan perasaan dalam setiap maujud alam

ciptaan, mulai dari atom-atom atau ion-ion hingga ke galaksi-galaksi. Allah SWT

berfirman: Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih

kepada Allah. Dan tak ada satupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi

kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah maha

penyantun lagi maha pengampun [al-Isra: 44].

Telah dipaparkan pada bagian pertama buku ini mengenai penisbatan perasaan

pada seluruh bagian alam. Oleh karena itu, di sini penjelasannya hanya singkat saja.

Bagi yang menginginkan pembahasan secara lebih rinci, hendaknya merujuk pada

tempat atau bagian tersendiri.

Tamtsl 5


Artinya: Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah

seperti pengembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain

panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka

tidak mengerti [al-Baqarah: 171].

Tafsir Ayat

An-naiiq; ialah suara bentakan pengembala kepada kambingnya. Dikatakan

naiqa-yaniqu-naiiq ar-rri li ghanamihi (atau: pengembala berteriak kepada

kambingnya dengan membentak).

An-nid`; asal kata nd-yundii-mundh, berarti memanggil. Kata ini lebih

khusus dari kata ad-du` (doa). Di dalam kata an-nid` ada pengerasan suara (jahr)

dan semacamnya, yang berbeda dengan kata ad-du`.

Penafsiran ulama terhadap ayat di atas ada beberapa macam: Pertama, ayat

tersebut ingin menyerupakan orang-orang kafir dengan seorang pengembala yang

membentak kambing gembalanya. Penyerupaan ini tidaklah benar kecuali jika si

pengembala itu tuli. Maka maknanya menjadi: sesungguhnya orang-orang kafir yang

tak mempedulikan dakwah Ilahiyah adalah seperti orang tuli yang berteriak

membentak dengan suara lantang yang dirinya tidak mendengar dan tidak dapat

membedakan makna-makna teriakannya sendiri secara rasional, kecuali hanya suatu

panggilan atau seruan keras yang tak bermakna.

Titik penyerupaannya ialah si pengembala itu tuli, sebagaimana orang-orang

kafir itu tuli, bisu dan buta, tidak menggunakan akal sehat. Dalam makna ini, maka

yang diserupakan adalah orang-orang kafir yang tidak mengerti seruan Nabi

Muhammad saw, kecuali hanya sebagai suara dan seruan yang tidak bermakna. Dan

yang dijadikan serupa adalah seorang pengembala yang berteriak membentak


kambing gembalaannya, tapi ia tidak mendengar dari suara bentakan itu kecuali

panggilan dan seruan tanpa makna apa-apa.

Meskipun penafsiran pertama ini tampaknya sesuai dengan bunyi lahir ayat,

tetapi dari sisi makna masih kurang tepat. Karena seandainya tujuannya adalah bahwa

orang-orang kafir itu tuli, bisu dan buta, serta tidak berpikir, maka cukuplah

penyerupaan mereka dengan binatang yang keadaannya juga demikian. Lalu apa

bentuk bagi penyerupaan mereka dengan manusia berakal yang hilang pendengaran

dan tidak mendengar suara bentakannya sendiri kecuali sekadar suara dan seruan?

Kedua, bahwa yang diserupakan adalah Nabi Muhammad saw, dan yang

dijadikan serupa adalah pengembala kambing. Maknanya: perumpamaan yang

disampaikan oleh Nabi Muhammad saw dalam menyeru orang-orang kafir adalah

seumpama dengan pengembala yang berteriak memanggil binatang-binatang ternak

yang tidak mendengar maksud panggilan itu kecuali hanya suara teriakan atau seruan

belaka. Lalu binatang itu terhalau hanya dengan bentakan suara yang didengarnya

tanpa memikirkan seruan tersebut. Dengan ungkapan lain, orang-orang kafir itu

menulikan diri tidak mendengar ucapan yang bermanfaat bagi mereka, membisukan

diri tidak berbicara sesuatu yang manfaat, dan membutakan diri tidak mau melihat

hujjah di depan mata. Jadilah, mereka tidak mengerti apapun. Seruan dan sentuhan

yang menjadikan berpikir pun terkunci oleh mereka.

Dengan demikian yang tampak dalam pembicaraan ini mengandung satu

perhatian yang mendalam, yaitu perumpamaan dengan menyerupakan orang yang

memanggil dengan sesuatu yang dia sendiri tidak mendengar kecuali sekadar seruan

semata. Seperti orang yang menyeru kepada hidayah, tapi bukan seperti kaum kafir

yang diseru kepada hidayah. Dari perumpamaan itu disimpulkan ada tiga sifat dari

mereka yang tidak mau mendengar, seperti disampaikan pada kalimat berikutnya pada
ayat, yaitu; tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.

Bilamana orang-orang kafir bersifat demikian, maka jelas mengharuskan

perumpamaan itu ditujukan pada orang-orang kafir, bukan kepada Rasulullah (saw).

Sehingga bunyi tamtsilnya adalah penyerupaan dengan hati! (al-Mizan: 420)

Penulis tafsir al-Manar menafsirkan ayat ini dengan bentuk yang pertama di

atas, bahwa: matsalu l-ladziina kafaruu (perumpamaan orang-orang yang kafir), yakni

sifat mereka dalam mengikuti (taklid buta kepada) ayah-ayah dan pemimpin-

pemimpin mereka, ialah seperti orang yang tidak mendengar kecuali panggilan dan

seruan saja. Yakni seperti sifat pengembala binatang ternaknya yang mendengar,

membentak dan menjerit, menggiring mereka menuju padang gembala, memanggil

menuju air dan melindungi mereka dari kepanasan. Ternak itu mengindahkan seruan

dan tergerak oleh hentakan suara teriakan yang dilakukan secara berulang-ulang.

Keadaan mereka (orang-orang kafir) diserupakan dengan keadaan pengembala yang

memanggil, dan kambing yang menyambut. Ia menghalau dan kambing pun terhalau.

Kambing itu tidak mengerti apapun yang dikatakan pengembalanya, tidak tahu arti

apa-apa. Ia hanya mendengar suara-suara yang datang, sebagian mengikuti yang lalu

diikuti sebagian yang lain secara kebiasaan, tanpa mengerti sebab datang dan perginya

suara teriakan itu (Tafsir al-Manar: 2/93-94).

Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa ayat tersebut bermaksud mencela

orang-orang kafir. Mereka tidak berpegang pada keimanan dan tidak melaksanakan

perintah serta larangan Tuhan. Oleh karena itu, ayat tersebut menjadi semacam ujian

bagi mereka. Sebab, seandainya mereka seperti binatang-binatang ternak yang

mendengar, mereka menjawab panggilan Nabi (saw) seperti ternak menyambut

panggilan pengembala, dan tergerak dengan halauan seperti terhalaunya ternak oleh

halauan si pengembala. Demikian ini berbeda dengan apa yang dimaksud, karena
yang dimaksud adalah bahwa mereka dengan bukti firman Allah: tuli, bisu dan

buta, tidak mendengar perkataan Nabi saw, tidak memahami kebenaran dan tidak

melihat ayat-ayat Allah, mereka berada di satu lembah dan Nabi (saw) di lembah yang

lain. Adakah binatang-binatang ternak yang berada di bawah kendali pengembala

dapat mendengar sehingga bisa berhenti karena larangannya?

Tamtsl 6

Artinya: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum

datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum

kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan

bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang yang beriman

bersamanya: Bilakah datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya

pertolongan Allah itu amat dekat. [al-Baqarah: 214]

Ayat ini turun tatkala kaum muslimin berada dalam keadaan terkepung dan

mulai dihinggapi rasa takut yang mencekam di perang al-Ahzab. Lalu turunlah ayat

ini untuk meneguhkan hati mereka dan menjanjikan kemenangan kepada mereka.

Diriwayatkan pula; Abdullah bin Ubay berkata kepada kaum muslimin ketika

mereka gagal dalam perang Uhud: Sampai kapan kalian mengalami peperangan.

Seandainya Muhammad seorang nabi, kalian tidak akan menghadapi tawanan dan

pembunuhan. Lalu turunlah ayat ini.

Tafsir Ayat

Lafadz am pada ayat adalah kata pemutus dari kalimat sebelumnya dan

mengandung makna istifhm (pertanyaan) yang maknanya; ...bal a hasibtum an

tadkhulu l-jannata... (baca: apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga)
Al-ba`s`, adalah malapetaka yang menimpa manusia dilihat dari sebelah luar

dirinya, seperti kerugian harta benda, kedudukan, dan keluarga.

Ad-dharr`, ialah bencana yang menimpa diri manusia, seperti luka dan

pembunuhan. Disebutkan bahwa: al-ba`s` adalah antonim an-nam`, dan adh-

dharr` adalah antonim as-sarr. Al-zalzalah adalah gerakan yang keras, al-zilzl

adalah karena kerasnya gerak, yang memiliki bentuk jamak zalzil, dan berakar dari

kata zalla as-sya`i an maknihi (baca: sesuatu yang menyimpang dari tempatnya).

Digandakan katanya dengan penggandaan makna, seperti kata shar dan sharshara,

shal dan shalshala. Jika guncangnya sedikit, maka maknanya adalah berulang-ulang

menggerakkan dari tempatnya.

Selain itu, ada ayat-ayat lain yang mempunyai kedekatan arti, di antaranya

firman Allah SWT: Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan

dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan

mereka itulah orang-orang yang bertakwa[al-Baqarah: 177].

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat

yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan)

kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan

tunduk merendahkan diri [al-Anam: 42].

Kami tidaklah mengutus seorang nabi pun kepada sebuah negeri, (lalu

penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya

kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk sambil merendahkan diri [al-

Araf: 94]. Ayat-ayat tersebut menunjukkan pemberian cobaan dan ujian secara terus-

menerus bagi seluruh umat, khususnya umat Islam.

Perlu diingat pula bahwa motif dari ujian bagi umat manusia salah satunya

adalah untuk penggalian ilmu dan kecakapan yang teruji. Dalam ujian itu Allah SWT
bermaksud mengeluarkan atau mewujudkan kesempurnaan yang masih berupa potensi

(bil-quwah) menjadi kesempurnaan aktual (filiyah). Satu contoh paripurna adalah

pada Nabi Ibrahim as, yang selalu merasa senang memberi yang dapat memfanakan

dirinya karena Allah. Nabi Ibrahim as selalu memberikan apa yang dimilikinya di

jalan Allah, namun pemberian itu belum tampak manfaat langsungnya secara faktual.

Ketika beliau masuk dalam arena ujian, maka tampak dan terasakanlah sifat rahman

(pemberi) itu secara aktual dan faktual setelah sebelumnya berupa bil quwah.

Sebagai tambahan dan penguat penjelasan dari petikan ayat-ayat di atas, perlu

disimak khotbah Imam Ali bin Abi Thalib as sebagai berikut:

Janganlah seorang di antara kalian mengatakan, Ya Allah, aku berlindung

kepada-Mu dari fitnah, karena tiada seorangpun yang tidak terkena fitnah; tetapi

barangsiapa yang memohon perlindungan, hendaklah ia memohon perlindungan

(kepada Allah) dari fitnah-fitnah yang menyesatkan. Karena Allah SWT berfirman:

Dan ketahuilah bahwa harta bendamu dan anak-anakmu merupakan fitnah, yang

maknanya ialah bahwa Allah SWT menguji manusia dengan harta benda dan anak-

anak supaya menjadi jelas orang yang tidak senang pada rezki (yang diberikan)-Nya

dengan orang yang ridha atas bagian (yang diberikan)-Nya, meskipun Allah SWT

Maha Mengetahui tentang diri mereka. Namun, Allah menyuruh manusia untuk

melakukan hal itu untuk menampakkan perbuatan-perbuatan yang layak diberi pahala

dan siksaan (Nahjul Balaghah: hikmah 93).

Demikianlah penjelasan makna kosa kata ayat dan sebab turun ayat, selain

keterangan dari ayat-ayat lain yang memperjelas tentang bagaimana kedudukan

seluruh umat. Jika telah memahami penjelasan tersebut, kita kembali pada tafsir ayat.
Allah SWT mengatakan, bahwa cobaan dengan al-ba`s` dan adh-dharr`

adalah sunnatullah yang berlaku pada seluruh umat, dan tidak dikhususkan hanya

pada umat Islam saja. Jadi penyaringan dan pemisahan orang mukmin yang sabar

dengan yang tidak sabar adalah tergantung pada bagaimana menghadapi cobaan itu.

Tidak akan pernah mengkristal keimanan seorang muslim melainkan apabila ia telah

menempuh perjalanan hidup yang penuh ujian hingga mampu menyelesaikan ujian

dengan baik dan menjadi orang suci. Dan tidak akan kokoh keimanan dalam hatinya

kecuali dengan melalui keteguhan dan ketetapan menghadapi begitu sarat dan

ganasnya badai-badai fitnah.

Seolah-olah, ayat ini menjadi penghibur Nabi saw dan para sahabatnya dari

apa yang mereka alami, berupa gangguan kaum musyrikin dan semacamnya. Jika

menyimak berita-berita umat terdahulu maka akan lebih memudahkan pembicaraan

dan penjelasan kepada umat. Dan bahwa cobaan tidak dikhususkan kepada mereka,

tetapi juga meliputi umat-umat lain selain mereka. Oleh karena itu dikatakan; am

hasibtum; atau apakah kalian pikir dan sangka wahai orang-orang yang beriman,

bahwa kalian akan masuk surga. Padahal belum datang kepadamu (cobaan)

sebagaimana halnya orang-orang terdahulu (juga mengalaminya) sebelum kamu?;

yakni, sedangkan kalian belum diuji dengan cobaan seperti cobaan dan ujian yang

telah dialami umat-umat terdahulu. Maka hendaklah kalian tabah dan sabar

sebagaimana umat-umat itu juga telah tabah dan sabar.

Dengan demikian, salah satu makna matsal adalah sifat pada manusia. Firman

Allah SWT yang berbunyi: padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana

halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan

kesengsaraan adalah, belum datang kepada kalian sifat orang-orang yang telah

berlalu sebelum kalian. Maka, mereka tidak akan masuk ke pagar iman yang
sempurna kecuali mereka mempunyai sifat seperti sifat orang-orang yang telah

menghadapi musibah-musibah dan fitnah-fitnah itu dengan sabar, tabah dan tegar.

Orang-orang mukmin terdahulu telah berhasil melewati berbagai kesusahan

dan goncangan-goncangan hidup. Kedudukan orang-orang mukmin itu disebutkan:

dan (mereka) digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang hebat [al-Ahzab:

11]. Dalam menunaikan ujian itu mereka menghabiskan segala daya upaya, dengan

terus mengharapkan turunnya rahmat melalui doa para rasul (salam atas mereka) dan

orang saleh dari kaum mukminin. Sebagaimana firman Allah SWT: sehingga

berkatalah Rasul dan orang yang beriman bersamanya: Bilakah datangnya

pertolongan Allah?. Seluruh kandungan kalimat ini tiada lain merupakan

permohonan untuk kemenangan yang telah Allah janjikan bagi para rasul-Nya dan

orang-orang beriman yang memohon kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya: Dan

sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul,

(yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan [ash-Shaffat:

171-172], dan: Allah telah menetapkan: Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang [al-

Mujadalah: 21].

Az-Zamakhsyari menyatakan: Maknanya adalah mencari dan berharap

dengan kesabaran selama berada dalam masa sulit hingga mencapai puncak kesulitan

dan panjangnya masalah dalam kesukaran. Apabila sudah tak tersisa lagi kesabaran

bagi para rasul hingga mereka menjerit, maka puncak kesulitan itu adalah keadaan

ketika tiada hasrat lagi di baliknya.

Lalu kepada mereka dikatakan; Tidakkah sesungguhnya pertolongan Allah

itu amat dekat. Yakni, inilah jawaban bagi mereka atas ketabahan dan permohonan

mereka akan pertolongan segera. (al-Kasyaf: 1/270, tentang tafsir ayat ini).
Di dalam ayat, bacaan yang dikenal adalah rafa; hatt yaquulu r-rasuul,

bukan yaquula. Sehingga jumlah kalimat menjadi sebuah hikayat tentang keadaan

umat-umat dahulu. Dan selain rafa, juga bisa dibaca nashab; yaquula, maka

jumlah kalimat menempati tujuan bagi sebelumnya, yaitu; masstahumu l-ba`s`u wa

dh-dharr`u dan zulziluu. Dan barangkali bacaan pertama, yaitu rafa, adalah yang

afdhal, karena jauhnya jumlah kalimat sebagai tujuan bagi massu l-ba`s`, adh-

dharr` dan zulziluu.

Sebagaimana jelas dinyatakan sebelumnya bahwa matsal bermakna

perumpamaan (tamtsil) dan penyerupaan (tasybih), maka penyerupaan keadaan umat

Islam dengan umat-umat terdahulu ialah keadaan malapetaka, kesengsaraan, dan serta

digoncangkan. Dan jika telah dekat penghabisan daya dan upaya serta ketegaran

mereka di dalam pertempuran dan peperangan, Rasulullah saw dan orang-orang

mukmin yang bersama beliau berdoa memohon kemenangan, kejayaan dan

keberhasilan bagi mereka.

Selain itu, sebagian mufasir menetapkan tiga ayat yang termasuk al-amtsal al-

Quraniyah dalam kitab-kitab karangan mereka, yaitu 55:

1- Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang

Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan

(kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan

mematikan. Orang itu berkata: Saya dapat menghidupkan dan mematikan.

Ibrahim berkata: Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka

terbitkanlah matahari itu dari barat:. Lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan

Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-rang yang zalim [al-Baqarah: 258].

55
DR Muhammad Husein Ali ash-Shaghir: ash-Shuratu al-Fanniyah fi al-Matsal al-Qurani:

144, dan DR Ismail Ismaili: Tafsir Amtsal al-Quran.


2- Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu

negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya? Dia berkata: Bagaimana

Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh?. Maka Allah mematikan

orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya:

Berapa lama engkau tinggal di sini?. Ia menjawab: Saya telah tinggal di sini

sehari atau setengah hari. Allah berfirman: Sebenarnya kamu telah tinggal di sini

selama seratus tahun; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum

berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang);

Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah

kepada tulang belulang keledai itu. Kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian

Kami menutupnya dengan daging. Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana

Allah telah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: Saya yakin bahwa Allah

Mahakuasa atas segala sesuatu [al-Baqarah: 259].

3-Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: Ya Tuhanku, perlihatkanlah

kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati. Allah berfirman:

Apakah kamu belum percaya?. Ibrahim menjawab: Saya telah percaya, tetapi

agar bertambah tetap hati saya. Allah berfirman: (Kalau demikian) ambillah

empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-burung itu untukmu, kemudian

letakkanlah tiap-tiap seekor daripadanya pada tiap-tiap bukit (itu). Setelah itu

panggillah dia, niscaya dia akan datang kepada kamu segera. Dan ketahuilah

bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana [al-Baqarah: 260].

Tidak samar lagi bahwa terdapat kelemahan dalam pandangan terhadap ayat-

ayat ini:

Sebagaimana diketahui, yang dimaksud tamtsil ialah penyerupaan (tasybih)

yang di dalamnya biasanya menggambarkan yang tidak terinderakan (ghairul


mahsuus) dengan yang terinderakan (al-mahsuus) dan mendekatkan makna ke dalam

pikiran lawan bicara. Pada ayat pertama di atas, penyerupaan (tasybih) yang diangkat

oleh pendebat (munzhir) Nabi Ibrahim as, bukanlah penyerupaan yang benar. Sebab,

ketika Ibrahim as menyifati Tuhan bahwa Dia menghidupkan dan mematikan, yang

dimaksud adalah Siapakah yang memberikan kehidupan bagi janin, dan mencabut

nyawanya ketika menjadi tua. Sedangkan ungkapan pendebatnya ditafsirkan dalam

bentuk umum melalui kalimat: aku juga menghidupkan dan mematikan. Kata

menghidupkan baginya ialah dengan membebaskan orang yang ditetapkan dibunuh

olehnya, atau membunuh orang yang ingin hidup. Karena itu, terdapat perbedaan yang

amat jauh antara menghidupkan dan mematikan dalam ucapan Ibrahim as dengan

ucapan munzhir. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa tidak ada penyerupaan

apapun kecuali permainan kata (mughlathah) yang jelas.

Kita juga mengetahui bahwa di dalam tamtsil disyaratkan adanya perbedaan

antara al-musyabbah (yang diserupakan) dan al-musyabbah bihi (yang dijadikan

perserupaan) secara spesies. Seperti taysbih seorang laki pemberani dengan singa.

Pada ayat kedua di atas, tidak ada penyerupaan di dalamnya. Ayat suci tersebut justru

mengadakan contoh bagi yang diserupakan. Seorang lelaki ketika melewati suatu

desa yang tiang-tiangnya telah runtuh, menyaksikan penduduknya binasa, dan melihat

tulang belulang di tanah sudah rusak. Ia berkata: Bagaimana Allah menghidupkan

tulang belulang setelah kematian ini? Lalu Allah mematikan orang itu selama seratus

tahun, kemudian menghidupkannya kembali, sebagaimana makna lahir ayat. Atas

uraian itu kemudian (Allah) mengadakan sebuah contoh (mitsl) bagi yang diserupakan

dengan satu spesies, yang perbedaannya hanyalah terletak pada sifat (ash-shinf).

Sementara yang kita ketahui bahwa keharusan dalam tamtsil ialah adanya perbedaan

dan kontradiksi spesies (tabyun naui) antara al-musyabbah dan al-musyabbah bihi.
Pada ayat ketiga, maknanya adalah bahwa Ibrahim as seorang yang

mengimani kekuasaan-Nya atas menghidupkan orang-orang mati. Tetapi ia meminta

menghidupkan supaya melihatnya sendiri dengan matanya. Karena melihat secara

nyata memiliki dampak besar dalam memantapkan dan mengukuhkan makrifat di

dalam hati. Ingin melihat ialah agar hatinya menjadi mantap dan keyakinan

bertambah. Lalu Allah SWT mengatakan kepadanya: (Kalau demikian) ambillah

empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-burung itu untukmu,, yakni

...kemudian letakkanlah tiap-tiap seekor daripadanya pada tiap-tiap bukit (itu).

Kalimat ini merupakan bukti bahwa Tuhan telah memerintahkan kepada Ibrahim as

untuk menyembelih dan memotong burung-burung itu. Dan kalimat selanjutnya

berbunyi, Sesudah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang kepada kamu

segera. Dan, tidak disebutkan di dalam ayat bagaimana sikap Nabi Ibrahim as

setelah itu.

Jadi, demikianlah pengertian ayat tersebut. Dan ayat-ayat ini bukanlah sebuah

perumpamaan (matsal), sebab tidak memenuhi syarat-syarat matsal.

Tamtsl 7

*
*

Artinya: Perumpamaan (yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkannya

di jalan Allah adalah serupa dengan butir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada

tiap-tiap butir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan (keuntungan) bagi siapa

yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (karuniaNya) lagi Maha mengetahui.

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak

mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebutnya dan dengan


tidak menyakiti (perasaan si penerima), (maka) mereka memperoleh pahala di sisi

Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka

bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang

diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya

lagi Mahapenyantun [al-Baqarah: 261-263].

Tafsir Ayat

Dalam banyak ayat al-Quran, dijelaskan mengenai janji yang berlipat ganda

dari Allah SWT kepada hambaNya. Seperti dalam surat al-Baqarah ayat 245 berikut

ini: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik

(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memlipatgandakan

pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak, dan Allah yang

menyempitkan dan melapangkan (rezki), dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.

Sebagai pendekatan terhadap pembahasan ini dibawakan tamtsil sebagai

berikut: Perumpamaan berinfak di jalan Allah ialah seperti menanam sebutir benih

yang menumbuhkan batang yang bercabang tujuh, setiap cabang keluar butir berisi

seratus butir, sehingga satu butir menjadi tujuh ratus butir. Jadi, satu butir kebaikan

yang ditanam itu dilipatgandakan oleh Allah SWT. Tamtsil yang menyebut bilangan

tujuh ini amat menyentuh batin. Ia mengisyaratkan tentang amal-amal saleh yang

dikaruniai Allah SWT sangat banyak seperti hasil yang diperoleh orang yang

menanam biji-bijian di tanah subur.

Pada lahiriyah ayat, yang diserupakan adalah penginfak, sedangkan yang

dijadikan serupa adalah butir yang berkembang menjadi tujuh ratus butir. Namun

demikian, penurunan ayat di atas pada realitasnya ialah salah satu dari dua hal berikut:

1- Penyerupaan (tasybih) penginfak dengan penanam butir.

2- Penyerupaan infak dengan butir yang ditanam.


Tamtsil yang dibawa al-Quran bukanlah perkara pahaman dan perumpamaan

imajiner, tetapi ia merupakan perkara nyata yang mungkin terjadi. Bahkan, bisa jadi,

satu butir itu tumbuh menjadi lebih dari jumlah bilangan yang disebutkan. Beberapa

petani menerangkan bahwa mereka memanen satu batang padi yang memiliki banyak

bulir berisi sekian ratus butir. Dengan demikian, kita meyakini sesungguhnya bahwa

Allah SWT adalah yang menyempitkan rizki (qbidh) dan yang melapangkan rizki

(basith).

Kemudian Allah SWT mengharuskan penginfak di jalan-Nya agar ridha dan

lapang dada atau memberi maaf, tanpa menyertakan yang diinfakkan itu dengan

menyebut-nyebut kembali sambil menyakiti perasaan si penerima.

Kata al-mann dalam ayat berarti si pemberi yang mengungkit-ungkit

pemberian kepada orang yang diberi, dengan mengatakan: bukankah aku telah

memberimu, atau bukankah aku telah berbuat baik padamu. Yang demikian ini

disebut mengungkit-ungkit atau memperpanjang masalah (istithlah). Adapun kata

al-adz berarti menyakiti perasaan yang menerima.

Mereka para penginfak yang disebut dalam ayat yang tidak menyertakan

infak mereka dengan al-mann dan al-adz, akan memperoleh pahala di sisi Tuhan

mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih

hati.

Lalu Allah SWT mengajarkan kepada orang-orang yang tak punya agar

berperilaku baik kepada kaum fakir yang meminta kepada mereka, yaitu dengan

bersikap: (1)- Mengeluarkan perkataan yang baik (qaul maruf), memperlembut

perkataan dalam menanggapi para peminta, menyatakan uzur atas ketak-sanggupan

memberi, dan mendoakan mereka. (2)- Memberikan maaf (maghfirah) atas desakan

para peminta dan mencemaskan mereka dalam meminta. Dengan mengamalkan dua
perilaku tersebut, akan lebih baik dari sedekah yang diiringi sesuatu yang

menyakitkan (perasaan si penerima).

Sesungguhnyalah, atas segala keadaan, yang maha kaya adalah Allah SWT,

sebagaimana firman-Nya: Allah Maha Kaya, yang dengan keluasan karunia-Nya

mencukupi kebutuhan si peminta. Tetapi sebagai maslahat dan kebaikan manusia di

dunia dan akhirat, Allah SWT seakan meminjam tangan manusia yang lain dalam

bentuk sedekah dan pemberian. Dan Allah Maha Penyantun, maka hendaklah

kalian wahai hamba-hamba Allah, santun dan pemaaf atas desakan si peminta.

Tamtsl 8

Artinya: Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)

sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),

seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia serta tidak

beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu

licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu

menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa

yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang

kafir [al-Baqarah: 264].

Tafsir Ayat

Ar-ri` (riya) berasal dari kata ar-ru`yah (melihat). Orang yang berbuat

sesuatu dengan tujuan agar orang lain melihatnya disebut mur`i.

Lafaz ash-shafwn mempunyai bentuk kesatuan shafwnah, seperti lafaz

sadn-sadnah dan marjn-marjnah, yang bermakna batu licin.


Al-wbil berarti hujan yang amat lebat.

Ash-shald artinya batu licin atau keras, dan dari tanah yang tidak

menumbuhkan sesutupun karena begitu kerasnya.

Telah disebutkan dalam tamtsil ke-7, bahwa melembutkan perkataan dalam

membalas perilaku para peminta dan menyatakan uzur kepadanya serta memberi maaf

atas desakan dan perbuatan mencemaskan darinya, adalah lebih utama ketimbang

infak seseorang yang disertai menyakiti perasaan si penerima.

Mengapa demikian? Allah SWT menjelaskan dalam tamtsil ini, bahwa al-

mann dan al-adz membatalkan infak tersebut. Sebab, syarat diterimanya pahala atas

infak adalah dengan meninggalkan al-mann (mengungkit-ungkit pemberian) dan al-

adz (menyakiti perasaan si penerima). Apabila seseorang mengiringi amal-infaknya

dengan salah satu dari dua hal tersebut, maka pemberian atau infaknya tidak

memenuhi syarat untuk memperoleh hak pahala.

Dengan ini, ayat di atas tidak menunjukkan apapun atas batalnya kebaikan

oleh keburukan. Karena makna habth (batal) adalah pembatalan pahala yang tertulis

oleh perbuatan buruk. Ayat ini tidak menunjukkan hal itu sebagaimana berlaku

kemungkinan pahala atas infak di awal pembahasan dengan syarat bahwa infak

yang dikeluarkan tersebut tidak disertai al-mann dan al-adz pada masa berikutnya.

Tapi jika seseorang menyertakan amal dengan salah satu dari keduanya, berarti ia

tidak melakukan kewajiban atau anjuran dalam bentuk yang diinginkan. Maka, tidak

ada pahala yang tertulis, atau pahala yang hendak diberikan itu dihapus oleh al-mann

dan al-adz.

Penggunaan kata ibthl (membatalkan) dalam ayat, menunjukkan adanya

sesuatu yang diperlukan (muqtadh) bagi terwujudnya pahala, yaitu infak. Meskipun
hal demikian bukan berarti pengharusan pewujudan pahala dan ketentuan-

ketentuannya atas Allah bagi hamba yang berinfak.

Sedangkan habth, yang bermakna keburukan menghapus kebaikan-kebaikan

serta pahala-pahala secara mutlak, padahal itu mengarah pada kezaliman, adalah batil

secara aqli dan syari. Secara aqli; ketika ditetapkan oleh akal bahwa hal itu

mengarah pada kezaliman, maka bagi orang yang berbuat buruk dan berbuat taat, jika

perbuatan buruknya lebih banyak, berdasarkan pandangan ihbth (pembatalan

pahala), akan menjadi orang yang tidak pernah berbuat baik. Sebaliknya, jika

perbuatan baiknya lebih banyak, maka ia menjadi orang yang tidak pernah berbuat

buruk. Dan jika sama, tidak ada yang lebih banyak antara perbuatan baik dan

buruknya, maka ia menjadi orang yang berbuat baik dan berbuat buruk (atau tidak

pernah berbuat baik dan tidak pernah berbuat buruk, penerj.) (Kasyfu al-Murd:

Maqshad ke-6, masalah ke-7).

Sedangkan penjelasan secara syari, ialah keterangan dalam al-Quran yang

menyebutkan: Barangsiapa yang berbuat kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia

akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang berbuat kejahatan seberat

dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya juga. [al-Zalzalah: 7-8].

Dalam hal ini Muhaqqiq ath-Thusi mengisyaratkan pada dua segi, dengan

mengatakan: Al-ihbt adalah batil, karena mengarah pada kezaliman. Juga karena

keterangan dari firman Allah SWT: Barangsiapa yang berbuat kebaikan seberat

dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (Kasyful Murad: Maqshad ke-6,

masalah ke-7).

Sementara itu bagi hamba, sebagai orang yang tidak memiliki sesuatupun

melainkan Allah SWT telah memberi dan mencukupinya; dia sebenarnya berinfak

dari perbendaharaan Allah SWT. Karena dia dan sesuatu yang ada di tangannya pada
hakikatnya adalah milik Allah. Dengan kata lain, dia adalah seorang hamba yang

tidak memiliki apapun kecuali Allah yang membuatnya memiliki sesuatu. Maka,

tuntutan dari kaidah tersebut ialah agar ia berinfak karena Allah dan di jalan Allah,

dan tidak mengiringi amalnya dengan al-mann dan al-adz. Artinya, hakikat

penghambaan (ubudiyah) adalah bergerak dan diam karena Allah SWT. Bagi seorang

abid adalah tidak mungkin ia membiarkan diri menyertakan amalnya dengan al-

mann dan al-adz.

Oleh karena itu Allah SWT berfirman: Hai orang-orang beriman, janganlah

kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti

(perasaan si penerima).

Allah SWT menyerupakan pelaku-pelaku al-mann dan al-adz dengan orang

yang riya (mur`i), yang tidak menghendaki amalnya demi keridhaan Allah, dan tidak

pula berniat karena-Nya. Pelaku al-mann dan al-adz pada awalnya beramal demi

keridhaan Allah, lalu ia serta-merta menyebut-nyebut pemberiannya dan menyakiti

perasaan si penerima. Perbuatan tersebut membatalkan dalam arti sebagaimana yang

dijelaskan sebelumnya (yakni membatalkan amal, bukan pahala, penerj.). Sedangkan

mur`i berarti beramal dengan tidak berniat karena Allah SWT, sehingga amalnya

batal sama sekali. Karena itu benarlah penyerupaan keduanya (pelaku al-mann dan al-

adz) dengan mur`i, seperti penyerupaan yang lemah dengan yang kuat.

Sedangkan penjelasan hakikat tamtsil ayat di atas adalah sebagai berikut:

Pertama, contoh dengan sebuah tanah bebatuan yang keras dan licin yang di atasnya

diberi tanah secukupnya. Sebut saja, pada awalnya tanah itu adalah tanah yang

bermanfaat dan cocok untuk tanam-tanaman. Kemudian tanah itu ditimpa hujan lebat

yang menghanyutkan tanah di permukaan batu itu, hingga menjadi bersih tidak

bertanah dan licin. Maka tempat itu tidak bisa ditanami apapun. Allah SWT
berfirman: seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa

hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai

sesuatupun dari apa yang mereka usahakan.

Jadi amal pelaku riya (mur`i) memiliki lahir yang indah dan batin yang mati.

Manusia yang tidak mengetahui hakikat niat simil (orang beramal) tentu mengira

bahwa amal itu akan menghasilkan sesuatu. Seperti seseorang melihat batu licin yang

diatasnya tanah cukup, ia berkhayal bahwa tanah itu cocok untuk ditanami tanaman.

Namun ketika hujan lebat menimpanya dan melenyapkan tanah di permukaan batu

itu, menjadi teranglah bahwa batu licin itu tidak cocok lagi untuk ditanami. Demikian

halnya dengan amal si mur`i, ketika tersingkap (di hadapannya) kenyataan-

kenyataan dan terangkat tirai-tirai penutup maka menjadi terang bahwa amal (yang

diperbuatnya itu) lenyap dan mandul, tidak menghasilkan apa-apa.

Selain itu, para pelaku al-mann dan pelaku al-adz setelah berinfak lebih

mirip dengan amal si mur`i.

Tamtsl 9

Artinya: Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena

mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, ialah seperti sebuah

kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu

menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan tidak menyiraminya, maka hujan

gerimis (pun memadai). Dan Allah maha melihat apa yang kamu perbuat [al-

Baqarah: 265].

Tafsir Ayat

Ar-rabwah; ialah dataran tinggi.


Ath-thall: ialah hujan ringan (gerimis), dikatakan; athallati s-sam` (langit

menurunkan hujan gerimis). Raudhatun thallatun nadiyah (taman yang elok dan

basah).

Dalam tamtsil yang lalu Allah SWT telah menyerupakan amal pelaku al-mann

dan al-adz setelah berinfak dan pelaku amal yang riya dengan tanah keras yang di

atasnya terdapat tanah lembut dan subur. Lalu tanah lembut subur itu ditimpa hujan

lebat yang menghanyutkannya, hingga tidak tampak lagi kecuali tinggal permukaan

batu karena teksturnya yang keras. Kebalikan dari tamtsil dalam ayat ini, dengan

menyerupakan amal penginfak yang mencari keridhaan Allah SWT dengan taman

yang hijau dan matang. Taman yang berada di atas dataran tinggi yang subur,

menyambut angin sepoi berseri dan hujan yang sarat manfaat. Ini merupakan kaitan

antara yang dijadikan penyerupa dengan kebun di dataran tinggi, mengingat dampak

matahari dan hawa yang sempurna. Jadilah pemandangan yang paling indah dan

buahnya paling bersih. Adapun tempat-tempat dataran rendah (atau tanah miring),

pada ghalibnya tidak terkena matahari kecuali hanya sedikit sehingga tidak sebagus

seperti kebun yang pertama.

Ar-Razi mengatakan: makna ar-rabwah adalah tanah yang rata-rata bagus,

yang semakin baik dengan turunnya hujan, sebagaimana firman Allah: ialah seperti

sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka

kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan tidak menyiraminya, maka

hujan gerimis (pun memadai). Proposisi ini diperkuat dengan pendapat bahwa matsal

ini merupakan kebalikan dari penjelasan tentang batu keras yang licin (shafwn) yang

tidak efektif ditanami dengan adanya hujan.

Yang dimaksud adalah, jenis tanah bagus itu jika ditimpa atau disiram oleh

hujan lebat, akan menghasilkan buahnya dua kali lipat. Buah seperti yang dihasilkan
kebun-kebun subur sebagaimana biasanya. Dan jika hujan tidak menyiraminya, maka

hujan gerimis pun cukup memberikan zat-zat yang menghasilkan buah yang bisa

diharapkan dari kebun itu.

Jadi orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah menyerupai

kebun tersebut, yang berpenghasilan melimpah, bermanfaat, dan memuaskan.

Selanjutnya, ayat yang berbunyi: karena mereka mencari keridhaan Allah

dan untuk keteguhan jiwa, menjelaskan tentang motivasi infak. Pertama, karena

mencari keridhaan Allah. Kedua, untuk menguatkan ruh keimanan dalam hati.

Mungkin rahasia di balik kata min pada kalimat min anfusihim yang

berkedudukan sebagai mafuul (atau obyek dalam nahwu) untuk kalimat tatsbiitan

(yang menjadi predikat), adalah untuk menjelaskan bahwa munfiq (yang berinfak)

menginfakkan hartanya berangkat dari dirinya sendiri yang ia latih dalam rangka

ketaatan. Ia mendermakan harta yang banyak karena Allah. Ia tetapkan niat dalam

infaknya, meneguhkan dirinya atas ketaatan kepada Allah SWT dan mencari

keridhaan-Nya di masa depan.

Tamtsl 10

Artinya: Apakah ada salah seorang di antara kamu yang ingin mempunyai kebun

kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam

kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu

sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin

keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-

ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya [al-Baqarah: 266]

Tafsir Ayat
Wadda syai` berarti mencintai sesuatu. Al-jannah berarti pohon-pohon

berjumlah banyak yang mengumpul rapat membentuk lingkungan seperti kebun.

Dinamakan demikian karena pohon-pohon itu menutupi tanah (tajunnu l-ardh) dan

menjaganya dari terik matahari dan yang semacamnya.

An-nakhiil merupakan bentuk jamak dari kata nakhl (pohon kurma)

Al-anb adalah bentuk jamak dari kata inab, yang berarti buah anggur. Dan

al-Quran menyebut buah anggur dengan buahnya, dan pohon kurma dengan pohonnya

bukan dengan buahnya.

Al-ishr; adalah angin topan yang berputar di tanah kemudian menjulur ke

langit berbentuk seperti tiang dengan membawa debu-debu dan material lainnya. Kata

ini memiliki bentuk jamak alshiir. Kata ini digunakan khusus dengan mengandung

makna api di dalamnya. Kalimat dalam ayat yang berbunyi: ishrun fiihi nr,

(angin keras yang mengandung api), mengandung beberapa pengertian:

1- Angin yang menyerap panas yang melewati sesuatu yang terbakar, lalu

membawa api itu ke tempat-tempat yang jauh.

2- Angin badai diiringi petir yang menimpa tanah dan mengubah tanah itu

menjadi abu.

3- Angin dingin yang menusuk, yang apabila menimpa sesuatu ia akan

merusaknya meskipun dengan mengeringkan bagian basahnya.

Pengertian yang diambil, dalam konteks ini, ialah pada yang pertama dan

kedua, tanpa mengikutkan yang ketiga. Sebab, jika kemungkinan pengertian ketiga

diikutkan, maka ayat tersebut akan berbunyi; kamatsali riihin sharr (seperti angin

yang amat dingin). Tentang sedekah dan nafkah (yang dikeluarkan) oleh orang-orang

kafir, Allah SWT berfirman: Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam

kehidupan ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang
sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin

itu merusaknya. Allah tidak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya

diri mereka sendiri. [Al Imran: 117].

Apabila kata ash-sharr ditafsirkan sebagai angin yang panas yang

mematikan (lihat, Majma al-Bayan: 1/491), maka dua ayat ini, yaitu al-Baqarah ayat

266 dan Al Imran ayat 117, mempunyai makna yang sama, dengan makna ayat di atas

adalah turunnya bala pada kebun-kebun sehingga berakibat pada kehancurannya

secara cepat.

Di tengah ayat tersebut disebutkan: sebuah kebun kurma dan anggur; yang

tampak pada kebun itu adalah dikelilingi oleh pohon kurma dan buah anggur. Dan

dinyatakan pula: dalam kebun itu (ada) segala macam buah-buahan. Karenanya,

bagaimana mungkin dua kalimat itu dapat berkumpul?

Yang tampak adalah, pohon-pohon kurma dan buah-buah anggur ketika

keduanya merupakan pohon yang terbaik dan terbanyak manfaatnya, tanaman itu

disebutkan secara khusus yang berarti kebun tersebut terdiri dari tanaman kurma dan

anggur. Yakni, meskipun kebun itu berisi semua pohon, namun keduanya (kurma dan

anggur) mendominasi tanaman yang lain. Sampai di sini selesailah tafsiran atas kosa

kata ayat.

Adapun tamtsil-nya, terdiri dari yang diserupakan dan yang dijadikan

penyerupa. Yang diserupakan adalah adalah orang yang beramal saleh tapi ditopang

dengan keburukan. Sebagaimana riwayat dari Ibn Abbas yang menyebutkan

pengertian ayat tersebut: orang yang berinfak lalu mengiringi amalnya dengan al-

mann dan al-adz.

Sedangkan Az-Zamakhsyari mengatakan: Ayat ini adalah perumpamaan bagi

orang kaya yang melakukan kebaikan-kebaikan, kemudian Allah mengutus setan


kepadanya lalu ia terjerembab mengikuti hasutan setan untuk berbuat maksiat,

sehingga hancur tenggelamlah semua amal-amalnya (Al-Kasysyaf: 1/299).

Adapun yang dijadikan penyerupa adalah seorang laki-laki yang lanjut usia. Ia

mempunyai anak yang masih kecil-kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa. Ia

mempunyai kebun yang dikelilingi pohon kurma dan buah anggur, di bawahnya

mengalir sungai-sungai dan kebun itu mempunyai segala macam buah-buahan. Si

laki-laki tua itu menggantungkan harapan-harapan besar dan tinggi atas keberadaan

kebun itu, tapi secara tiba-tiba datang angin badai panas berhembus lalu membakar

kebun itu dan membinasakannya tanpa tersisa.

Lalu, bagaimanakah keadaan orang itu? Ia dalam kesedihan, frustasi,

kekecewaan mendalam dan kesialan, setelah mendapati harapan-harapannya hancur

lebur. Maka, orang yang berinfak di jalan Allah, yang membekali dirinya dengan

pahala dan ganjaran akhirat dapat menggantungkan harapan-harapannya dengan janji

Allah SWT. Namun, jika ia mengiringi amalnya itu dengan kemaksiatan, maka amal-

amal baiknya itu tergulung angin badai yang membakar, yang membinasakan semua

gantungan dan harapan.

Tamtsl 11

Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan

seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.

Keadaan demikian itu disebabkan oleh perkataan mereka, sesungguhnya jual-beli itu

sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan

riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan itu, lalu
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu

(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. (sedangkan)

orang-orang yang mengulangi (terus mengambil riba), maka orang itu adalah

penghuni-penghuni neraka, (dan) mereka kekal di dalamnya [al-Baqarah: 275]

Tafsir Ayat

Ar-rib; ialah tambahan, seperti dikatakan: rab (yarbuu) sy-syai`u (yakni,

sesuatu yang bertambah). Riba adalah tambahan dalam modal, yakni: ketika si fulan

meminjamkan (nilai) sepuluh kepada seseorang dalam jangka waktu tertentu, lalu

pada akhir waktu itu si fulan mengambil lebih dari yang dipinjamkan, maka apabila

tambahan (lebihan) itu menjadi syarat dalam perjanjian, itu adalah riba.

At-takhabbuth; dan khabth adalah satu makna, yaitu berjalan secara tidak

stabil. Dikatakan khabatha l-bashiiru (tidak terarah jalannya) untuk orang yang

bertindak dalam satu perkara tanpa mendapatkan petunjuk. Ia berjalan dalam

kegelapan, yakni langkahnya tak terarah dan tak beraturan.

Jadi, yang dimaksudkan oleh kalimat dalam ayat; yatakhabbatu sy-syaithnu

(kemasukan setan), yakni karena setan memukulinya dengan keras, kemudian

membantingnya.

As-salaf; ialah yang lampau. Dikatakan salafa-yaslufu-suluufan (dalam ilmu

sharaf, artinya: yang mendahului). Kata ini juga bermakna: umat-umat dahulu.

Adapun kalimat mina l-mass (karena tekanan) dalam ayat, zharaf ()

berkaitan dengan kalimat yaquum, artinya: mereka tidak berdiri melainkan seperti

berdirinya orang yang terbanting karena tekanan.

Hasil makna ayat ini ialah pemakan riba tidak berdiri melainkan seperti

berdirinya orang yang dipukuli setan lalu dibanting. Sebagaimana orang yang tidak

stabil berdiri, maka begitulah pemakan riba.


Penyerupaan ini terjadi pada berdirinya pemakan riba dan orang terbanting

karena kemasukan setan. Dari sini muncul dua pertanyaan: Pertama, apa maksud dari

pemakan riba tidak berdiri kecuali berdirinya orang terbanting? Kedua, apa maksud

dari kejadian pembantingan oleh tekanan setan?

Untuk menjawab yang pertama, para mufasir mempunyai pandangan yang

berbeda: (1)- Mayoritas dari mereka berpendapat bahwa mereka berdiri pada hari

kiamat seperti orang-orang yang kerasukan. Para pemakan riba seolah dibangkitkan

dalam keadaan gila, dan gila itu sebagai tanda khusus bagi pemakan riba sehingga

diketahui bahwa ia adalah pemakan riba. Dengan demikian, ayatnya bermakna:

mereka berdiri dalam kegilaan seperti orang yang ditekan oleh setan.

(2)- Ketika dibangkitkan dari kubur-kubur, mereka keluar dengan cepat;

mereka keluar dari kuburan [al-Qamar: 7] kecuali pemakan riba. Pada hari kiamat,

pemakan riba berdiri lalu jatuh lagi, karena Allah menimpakan sesuatu dalam

perutnya sehingga memberatkannya untuk berdiri kokoh. Mereka berdiri lalu jatuh,

dan hendak buru-buru berdiri tegap tapi tidak pernah bisa.

Pandangan ini dikuatkan oleh riwayat dari Nabi Muhammad saw, yang

mengatakan: Di waktu Isr`ku ke langit, aku melihat sekumpulan laki-laki yang

perut-perut mereka seperti rumah, terlihat dari luar perut mereka di dalamnya terdapat

ular-ular. Aku bertanya: Siapa mereka hai Jibril? Jibril menjawab: Mereka adalah

pemakan riba.

3- Yang dimaksud al-mass bukanlah gila, meskipun kata ini juga bisa

digunakan pada makna (gila) ini. Kata al-mass di sini berarti orang yang mengikuti

setan dan menyambut seruannya. Seperti juga kata al-hl (keadaan) dalam ayat:

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan,

mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-
kesalahannya [al-Araf: 201]. Yang demikian itu ialah karena setan selalu mengajak

pada pencarian kesenangan, nafsu syahwat, dan kesibukan dengan selain Allah. Inilah

yang dimaksud massu sy-syaithn. Orang yang seperti ini selalu dirasuki setan dalam

urusan dunia. Kadang-kadang setan mendorongnya untuk mengikuti hawa nafsu, dan

terkadang fitrah mengajak (kembali) pada agama dan ketakwaan, sehingga

keadaannya terguncang dan dilanda kegelisahan.

Tak diragukan lagi bahwa si pemakan riba akan menjadi orang yang

berlebihan dalam cinta dunia dan ia akan hancur karenanya. Akibatnya, kehidupan

materinya menjadi kehidupan yang tak beraturan dan labil.

Selain pandangan-pandangan di atas, ada juga pandangan yang disampaikan

oleh Sayyid Husain Thabathaba`i, antara lain: Bahwa manusia yang tertekan atau gila,

yang telah rusak kekuatan pembedanya (akalnya) tidak dapat membedakan antara

yang baik dan yang buruk, yang bermanfaat dan yang merugikan, antara kebaikan dan

kejahatan. Demikian pula dengan keadaan periba dalam penerimaannya untuk riba.

Orang yang diseru fitrahnya supaya ber-muamalah dengan menukarkan harta yang

dimilikinya dengan rasa cukup mengambil harta sesuai yang dibutuhkan. Bagi mereka

yang memberi pinjaman harta dan menerima pengembalian senilai pemberian plus

tambahan (bunga), maka hal itu sama dengan menghancurkan kecenderungan fitrah

dan asas mata pencaharian. Oleh sebab itu, pemakan riba terseret pada penggelapan

harta dari tangan penghutang dan harta-harta pun tertimbun di tangan pemakan riba.

Harta seperti ini selalu berkembang dan bertambah, dan ia tidak berkembang kecuali

karena tambahan dari harta pinjaman itu. Di satu sisi ada harta yang berkurang dan

terpisah, dan di sisi lain ada harta yang bertambah dan terkumpul.

Di pihak peminjam riba, jelas akan memaksanya pada keadaan yang tertekan

seiring dengan bertambahnya pengeluaran, lewatnya waktu, sampai batas yang (boleh
jadi) tak terselesaikan seiring bertambahnya kebutuhan. Semakin banyak pengeluaran,

riba berkembang dan meningkat, maka kebutuhan semakin bertambah tanpa dapat

menutupi dan memperbaiki kekurangan. Dalam keadaan demikian, hancurlah

kehidupan si peminjam.

Jadi riba pada hakikatnya bertentangan dengan kestabilan sosial dan akan

merusak sistem yang berlaku di atas jalan lurus manusiawi yang ditunjukkan oleh

fitrah ilahiyiah.

Inilah al-khabth (kelabilan) yang menimpa para periba, seperti keadaan orang

gila. Riba mendorongnya untuk merusak asas muamalah dan penukaran (barang atau

uang), sehingga ia tidak dapat membedakan antara penjuaalan atau jual-beli (al-bai)

(penjualan) dan riba. Ketika ia diseru agar meninggalkan riba dan mengambil jual

beli, ia menjawab: bahwa al-bai seperti riba, tidak menambah keisitimewaan atas

riba, sehingga membuatnya mengambil riba dan meninggalkan jual beli. Karena itu,

Allah SWT berargumen atas labilnya para periba, dengan mengungkapkan perkataan

mereka; sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba (Al-Mizan: 2/411).

Dari kalimat itu timbul pertanyaan: Mengapa dikatakan bahwa jual-beli seperti

riba, bahkan mereka mengatakan: riba sama dengan jual-beli. Dan pembicaraannya

adalah mengenai riba, bukan jual-beli sehingga mereka harus menyerupakan riba

dengan jual-beli, bukan sebaliknya?

Jawab: Mereka menyamakan jual-beli dengan riba ialah sebagai mubalaghah

(hal yang dilebihkan), yakni mereka meletakkan riba sebagai bentuk asal dan jual-beli

sebagai cabangnya, sehingga mengatakan jual-beli seperti riba. Ini adalah perkara

pertama.

Perkara kedua ialah, menjadi gila karena setan telah merasukinya. Yang

tampak pada ayat, bahwa kegilaan merupakan akibat bertindak gila si orang gila.
Padahal ilmu pengetahuan (science) belakangan ini telah mengungkap sebab kegilaan,

yaitu karena terjadinya kerusakan pada saraf-saraf penjangkauan. Kalau begitu,

bagaimana bisa berkumpul antara makna ayat dengan apa yang disingkap oleh ilmu

pengetahuan. Ini termasuk silang pandangan dalil naql dan aql.

Sebagian mufasir menjawab seperti ini: Tasybih (penyerupaan) adalah

termasuk yang berlaku di tengah masyarakat yang memiliki keyakinan-keyakinan

yang tidak benar, di mana mereka yakin atas tindakan gila terhadap orang-orang gila.

Dalam hal ini tentu tidak masalah, karena sekedar penyerupaan yang kosong dari

penilaian, sampai menjadi sesuatu yang salah dan tidak sesuai dengan realitas.

Hakikat makna ayat ialah, keadaan para pemakan riba itu seperti keadaan

orang gila yang dirasuki setan. Sedangkan menjadi gila dengan bersandar pada

kemasukan setan adalah hal yang tidak mungkin. Sebab Allah SWT Maha Adil dari

menguasakan setan terhadap akal hamba-Nya, atau terhadap hamba-Nya yang

beriman (Al-Mizan: 2/413, Tafsir al-Manar: 3/95).

Sayyid Thabathabai menjawab permasalahan di atas sebagai berikut: Allah

SWT Maha Agung dari sandaran pada firman-Nya yang batil, dan penyimpangan

perkataan dengan bentuk sandaran apapun, kecuali penjelasan kebatilannya itu

dibawakan bersama pada si pembicara. Dan tentang sifat wahyu, Allah SWT

berfirman: Dan sesungguhnya al-Quran itu adalah kitab yang mulia, yang tidak

datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang

diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji [Fushshilat: 41-42].

Allah juga mengaskan: Sesungguhnya al-Quran itu benar-benar firman yang

memisahkan antara yang haq dan yang batil, dan sekali-kali dia bukanlah senda

gurau [ath-Thariq: 13-14].


Adapun menyandarkan gila pada tindakan setan dan hilangnya akal itu

bertentangan dengan keadilan-Nya. Bertentangan karena penyandaran hilangnya akal

mereka ialah pada faktor-faktor alami, dan bahwa menghilangnya akal tersebut pada

akhirnya bersandar kepada Allah SWT disebabkan faktor-faktor tersebut (Al-Mizan:

2/412).

Dari keterangan tersebut ada ungkapan lain dari Sayyid Thaba`thaba`i yang

mudah-mudahan bisa mengangkat kekaburan pengertian: Bahwa menyandarkan gila

pada setan adalah lemah dan tanpa alasan, tetapi gila karena faktor-faktor alami

seperti karena kerusakan saraf otak adalah faktor-faktor yang lebih mendekati

ketimbang karena setan. Sebagaimana macam-macam karomah yang menyandarkan

pada malaikat dengan merasuknya faktor-faktor alami ke dalam diri seseorang. Hal

serupa terungkap dalam ayat tentang kisah Nabi Ayub as sebagai berikut:

Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan [Shad: 41]; dan:

sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau Tuhan Yang Maha penyayang

di antara semua penyayang. Kata adh-dhurr dalam ayat ini adalah penyakit dan

memiliki faktor-faktor alami yang tampak di badan. Kemudian dikaitkanlah suatu

penyakit yang disandarkan pada sebab-sebab alami itu kepada setan (Al-Mizan:

2/413).

Surat Al Imran

Tamtsl 12

* *

Artinya: Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti

(penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman

kepadanya: Jadilah (seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami
ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah

kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu [Al Imran: 59-60].

Tafsir Ayat

Allah SWT menyebutkan bentuk kelahiran al-Masih dari ibunya, Maryam si

perawan. Allah memulai penjelasan-Nya dengan berfirman: Ketika Malaikat

berkata: Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan

kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) dari pada-

Nya, namanya al-Masih.., dan mengakhirinya dengan firman-Nya: Maryam

berkata: Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum

pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun. Allah berfirman (dengan perantara

Jibril): Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah

berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya:

Jadilah, lalu jadilah ia [Al Imran: 45-47].

Dengan demikian, tetaplah bahwa al-Masih adalah makhluk Allah SWT, yang

dilahirkan dari ibunya yang perawan dan tidak tersentuh oleh seorang laki-laki pun.

Dia (Isa) as adalah satu ayat (tanda kebesaran) dari ayat-ayat Allah SWT. Sementara

kaum Nasrani menuhankan al-Masih dan menetapkannya sebagai salah satu trinitas

ketuhanan; Tuhan, Putra dan Ruh Qudus. Kaum Nasrani meyakini bahwa dia adalah

anak Tuhan, karena dia putra Maryam tanpa ayah.

Ketika kaum Nasrani berhujjah di hadapan Nabi Muhammad saw, ayat di atas

turun kepada beliau sebagai jawaban atas kesalahan argumentasi mereka. Rasulullah

saw menyampaikan wahyu bahwa bentuk penciptaan al-Masih itu menyerupai bentuk

penciptaan Adam. Di mana Adam (as) diciptakan dari tanah tanpa ayah dan ibu. Jika

ini adalah perkara yang mumkin (tidak mustahil bagi Allah), maka perkara kelahiran

al-Masih dari seorang ibu tanpa ayah adalah serupa. Maka ini adalah perkara yang
lebih mudah kemungkinannya (bil imkn) dari yang sebelumnya (yakni penciptaan

Adam as).

Dengan ibarat lain; bahwa al-Masih seperti Adam pada satu segi (yakni tanpa

ayah), dan cukuplah dalam persamaan itu sebagai sifat. Dan pada hakikatnya ini

termasuk dari tasybiih al-ghariib bil aghrb (penyerupaan yang langka dengan yang

lebih langka), agar lebih meyakinkan bagi pendebat dan lebih memastikan bagi hal

yang meragukan (syubhat).

Salah satu pertanyaan yang mengejutkan ialah seputar firman Allah SWT:

kemudian Allah berfirman kepadanya: kun fa yakuun (jadilah, maka jadilah dia),

yang lebih sesuai seharusnya mengatakan; kun fa kn ( jadilah, maka telah jadi). Lalu

kenapa Allah berfirman: fa yakuun, sementara perintah pernyataan-Nya (amr bit

tahaqquq) adalah perkara yang menetapi pernyaatan sesuatu secara otomatis?

Jawab: Allah meletakkan mudhri (fiil yang mengandung masa sekarang dan

akan datang) di tempat mdhi (fiil mengandung masa lampau), dan itu dibolehkan.

Hal penting di dalamnya adalah soal penggambaran keadaan lampau; bahwa

penjadian Adam adalah perkara yang terjadi secara bertahap, bukan secara langsung.

Boleh dikatakan juga bahwa firman-Nya; kun (jadilah), walaupun

menunjukkan atas tiadanya tahapan, tetapi itu (berlaku) bagi Allah SWT. Adapun bagi

(tingkatan) makhluk maka hal itu terjadi atas dua bagian; yakni bagian yang tidak

bertahap seperti jiwa dan akal universal, dan bagian yang menjadi perkara yang

bertahap sebagai hasil bagi sebab-sebab yang bertahap. Jika memperhatikan sesuatu

pada Allah SWT (sebagai wajibul-wujud), tidak ada tahapan dan tidak pula ada

senggangan. Sebab dalam tingkatan rubuubi (ketuhanan) tiada masa dan gerakan.

Karena itu Allah berfirman: Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti

kejapan mata [al-Qamar: 50]. Sedangkan jika memperhatikan sesuatu bagi wujud
mumkin (makhluk, sebagai mumkinulwujud) dan sebab-sebabnya, maka realitas

perkaranya adalah bertahap. Dan jumlah kalimat; fa yakuun, menunjukkan keadaan

lampau (Al-Mizan: 3 3/212, Al-Manar: 3/319).

Sementara itu al-Balaghi, salah seorang muhaqqiq, menyebutkan segi lain

dalam menafsirkan ayat tersebut. Kalimat fa yakuun dalam ayat ini, kata al-Balaghi,

adalah pencabangan atas kalimat yaquulu. Ia bukanlah balasan (jaz`) bagi kalimat

kun (fiil amr). Karena kejadian (kaun) setelah huruf f adalah kejadian yang

diperintah melalui kun, bukan balasan bagi kun yang diurutkan atasnya, serta

disangka bahwa kejadian itu sebagai balasan bagi esensi permintaan jadilah!.

Sebab, jika benar demikian maka kalimat yakuunu pada akhir ayat harus nashab

(yakni dibaca yakuuna), sedangkan (kalimat yakuunu) adalah rafa (yakni dibaca

yakuunu). (l`u ar-Rahmn: 1/120).

Atas segala kemungkinan, al-Quran berargumen atas batilnya ketuhanan al-

Masih melalui berbagai segi, di antaranya ialah pentasybihan kelahiran al-Masih

dengan Adam. Dan tamtsil di atas hendak menjelaskan perkara ini juga. Selain itu,

sebenarnya ayat di atas mengarah pada dua dalil yang tiap satu dari keduanya

menetapkan penafian ketuhanan terhadap al-Masih:

1-Bahwa Isa adalah makhluk Allah, meskipun kelahirannya tak berayah. Dan

makhluk seperti itu adalah hamba, bukan Tuhan.

2-Bahwa kejadian Isa as tidak lebih di atas kejadian Adam as. Jika ini

menunjukkan asal penciptaannya untuk disebut tuhan dengan satu segi, maka

penciptaan Adam menunjukkan demikian pula, bahkan lebih pantas. Sementara

mereka jelas-jelas tidak pernah menyebut tuhan pada Adam as. Karena itu,

seharusnyalah mereka juga tidak mengatakan demikian pada Isa as, karena adanya

kemiripian.
Yang terang dari ayat di atas bahwa penciptaan Isa as adalah seperti

penciptaan Adam as yang terjadi secara natural, meskipun tidak biasa bagi

sunnatullah yang berlaku dalam keturunan umumnya; bahwa untuk lahir seorang anak

biasanya memerlukan seorang ayah (al-Mizan: 3/212).

Tamtsl 13

Artinya: Sesungguhnya orang-orang kafir baik harta mereka maupun anak-anak

mereka sekali-kali tidak dapat menolak azab Allah dari mereka sedikitpun. Dan

mereka adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Perumpamaan harta

yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, adalah seperti perumpamaan

angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum

yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menganiaya

mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (Al Imran 116-

117).

Tafsir Ayat

As-shirr atau angin dingin, seperti sharshar, angin kencang atau amat dingin.

Ath-Thabrasi menukil dari az-Zujaj yang berkata: Shirr adalah hembusan angin pada

api yang sedang melahap sesuatu. Dia menambahkan: boleh juga dikatakan bahwa

shirr adalah angin yang amat dingin.

Dari segala kemungkinan itu, makna yang dapat digunakan untuk shirr ialah

angin beracun yang merusak tanaman. Dan makna dari ayat; tanaman kaum yang

menganiaya diri sendiri, ialah orang-orang yang bercocok tanam di tempat yang

salah dan bukan pada waktu yang tepat. Kemudian angin kencang menerpa tanaman
itu, lalu lenyaplah tanaman itu tanpa bekas. Sebagaimana kita tahu bahwa waktu atau

cuaca dan tempat atau kondisi tanah sangat menentukan pertumbuhan tanaman.

Sedangkan angin sepoi-sepoi yang berhembus membalut tanaman yang ditanam pada

waktu yang tepat dan tanah yang subur, menjadi faktor positif dalam pertumbuhan

dan kesehatan tanaman.

Itulah al-musyabbah bihi (yang dijadikan penyerupa). Maka orang kafir ketika

menafkahkan hartanya di dunia dengan tujuan atau kepentingan materi (kedudukan,

harta dan semacamnya), maka ia tak ubahnya seperti orang yang menanam bukan

pada tempat dan waktu yang semestinya. Karena itu, ia tidak pernah memperoleh

manfaat apa-apa dari infaknya. Kekufuran dan kecenderungan hawa nafsu dapat

merusak setiap infaknya. Oleh sebab itu, Allah SWT memperingatkan anak Adam

sebagai berikut: Sesungguhnya orang-orang kafir baik harta mereka maupun anak-

anak mereka sekali-kali tidak dapat menolak azab Allah dari mereka sedikitpun.

Tamtsl 14

Artinya: Dan apakah orang yang sudah mati kemudian Kami hidupkan dan Kami

berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di

tengah-tengah masyarakat manusia serupa dengan orang yang keadaannya berada

dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah

Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan

[al-Anam: 122].

Tafsir Ayat

Ayat ini turun berkenaan dengan Hamzah bin Abdul Muthalib dan Abu Jahal

bin Hisyam. Ketika itu, Abu Jahal menyakiti Rasulullah saw, dan tindakan keterlaluan
Abu Jahal itu sampai kepada Hamzah. Hamzah (waktu itu) berada di pihak agama

kaumnya. Mendengar berita itu, Hamzah marah lalu bergegas mendatangi Abu Jahal

dengan membawa busur. Hamzah memukul Abu Jahal, dan Hamzah kemudian

termasuk orang beriman. Demikian riwayat dari Ibn Abbas.

Dalam riwayat lain dikatakan: Ayat ini turun berkenaan dengan Ammar bin

Yasir ketika telah beriman dan Abu Jahal. Ini diriwayatkan dari Abu Jafar.

Meskipun demikian, yang jelas bahwa ayat ini umumnya berkenaan dengan posisi

setiap orang mukmin dan orang kafir. Dan bersamaan dengan itu pula tidak menutup

kemungkinan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan dua pribadi tertentu.

Dalam ayat ini terdapat beberapa tamtsil dan tasybih, yang ditetapkan

termasuk dalam tasybih murakkab (penyerupaan yang tersusun). Selanjutnya akan

kami sebutkan secara berurut sebagai berikut:

1- Kalimat awal ayat menyatakan: Dan apakah orang yang sudah mati

kemudian Kami hidupkan; orang kafir diserupakan dengan orang mati atau al-mait

(y` tanpa tasydid) yang merupakan peringanan dari al-maiyit (y` bertasydid), dan

orang mukmin dengan orang hidup.

Ayat ini bukanlah satu-satunya yang mengungkapkan penyerupaan tersebut.

Ada juga ayat lain yang memperserupakan orang mukmin dengan orang hidup dan

orang kafir dengan orang mati, Allah SWT berfirman: Maka sesungguhnya kamu

tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar [ar-

Rum: 52], Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang

hidup (hatinya) [Yasin: 70] dan dan tidak sama orang-orang yang hidup dan

orang-orang yang mati [Fathir: 22].

2- Kalimat kedua ayat berbunyi: dan Kami berikan kepadanya cahaya yang

terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat
manusia; Allah menyerupakan al-Quran dengan nuur (cahaya), dan dengan cahaya

al-Quran itu orang mukmin dapat menelusuri jalan kebahagiaan. Allah SWT

mengingatkan: Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran

dari Tuhan, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu

cahaya yang terang benderang (al-Quran) [an-Nisa: 174]. Dan Allah SWT

berfirman: Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah al-Kitab (al-Quran) dan

tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Quran itu

cahaya [asy-Syura: 52]. Benarlah, al-Quran itu menerangi jalan orang-orang

mukmin.

3- Dan kalimat berikutnya menyatakan: serupa dengan orang yang

keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar

daripadanya. Maka, kata azh-zhulmah (kegelapan) dalam ayat bisa bermakna kufr

(kekafiran) atau jahl (kebodohan). Bila maknanya kekafiran, ini didukung oleh ayat;

Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari

kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman) [Al-Baqarah: 257].

Selain itu, Allah SWT juga menyerupakan orang kafir dengan orang yang

tinggal di kegelapan-kegelapan dan tidak mendapat petunjuk, sebagaimana firman-

Nya: ka man matsaluhu fi zh-zhulumt (serupa dengan orang yang keadaannya

berada dalam gelap gulita). Dan tidak mengatakan; ka man huwa fi zh-zhulumt

(orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita). Dalam ayat di atas disertakan

lafaz matsal di tengahnya, yakni: ka man matsaluhu fi zh-zhulumt. Barangkali

bentuk perumpamaan ini untuk menjelaskan bahwa orang yang dimaksud telah

sampai pada puncak kekafiran dan kebingungan. Demikianlah tafsir ayat secara rinci

(tafshil).
Sedangkan kesimpulan ayatnya adalah: perumpamaan bagi orang yang diberi

petunjuk oleh Allah SWT setelah berada dalam kesesatan, berarti ia diberi taufik

untuk yakin sehingga dapat membedakan antara yang membenarkan dan yang

membatilkan, memilah antara yang mendapat petunjuk dengan yang sesat.

Perumpamaannya adalah seperti orang yang tadinya mati lalu dihidupkan oleh Allah

SWT dan diberi cahaya yang menerangi jalannya sehingga dapat berjalan di tengah

masyarakat, dan dapat membedakan sebagian dari sebagian yang lain.

Itulah perumpamaan orang mukmin. Maka tidak benar mengkiaskan orang

mukmin seperti orang yang masih ada kekufuran padanya atau kekufuran tidak keluar

darinya, yang berjalan tanpa petunjuk dalam gelap gulita, yang kebingungan tidak

mendapat petunjuk ke jalan yang benar.

Pada hakikatnya ayat di atas mencakup dua bagian:

1- Penyerupaan (tasybiih) orang mukmin dengan orang mati yang dihidupkan

oleh cahaya (petunjuk) yang kemudian menyertai (memandu)nya.

2- Penyerupaan orang kafir dengan orang mati yang kehilangan cahaya, yang

masih dalam gelap gulita. Dan fokusnya, bahwa orang mukmin termasuk dalam

penyerupaan yang pertama, bukan yang kedua.

Surat al-Araf

Tamtsl 15

(58-57 * )

Artinya: Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira

sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa

awan yang mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan
hujan di daerah itu, maka dengan sebab hujan itu Kami keluarkan pelbagai macam

buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati,

mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Dan (pada) tanah yang baik, tanaman-

tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan (pada) tanah yang tidak subur,

tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-

tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur [al-Araf: 57-58].

Tafsir Ayat

Aqall, berasal dari kata al-iqll, berarti membawa sesuatu dengan amat mudah.

An-Nakid; ialah kesulitan yang menghalangi dari pemberian kebaikan. Jika

seseorang bakhil ketika dimintai sesuatu, ia dikatakan nakid.

Al-naladu ath-thayib berarti bumi yang bagus tanahnya. Pada tanah seperti itu

tumbuh tanaman yang bersih tanpa usaha keras penanamnya. Semua itu terjadi karena

izin Allah SWT.

Al-balad al-khabits adalah tanah berair (yang lembab dan asin), tanah yang

buruk, tidak produktif kecuali amat sedikit. Tanah seperti ini tidak memberi (hasil)

kecuali sangat sedikit, dan itupun dengan kesulitan-kesulitan. Dan ungkapan tashriifu

al-yt berarti mengulang-ulang tanda-tanda (kebesaran-Nya).

Pada ayat pertama Allah SWT menyebutkan bahwa Dia mengirim angin

sebagai pembawa berita gembira sebagai rahmat-Nya. Jika angin itu membawa

mendung tebal berisi air, lalu menuangkan air (menurunkan hujan) ke negeri yang

tandus, maka hiduplah bumi (negeri) itu dan mengeluarkan hasil-hasilnya.

Pada ayat kedua Allah SWT sekali lagi menjelaskan bahwa hujan yang turun

menyirami lahan-lahan tanah adalah bagian dari sesuatu yang sangat diperlukan untuk

keluarnya tumbuh-tumbuhan. Selain itu, ada syarat lain (yang harus dipenuhi) yakni
kondisi tanah yang harus subur jika digunakan untuk bercocok-tanam, bukan tanah

yang jelek. Inilah keadaan yang dijadikan penyerupa.

Adapun yang diserupakan, bahwa Allah menyerupakan orang mukmin dengan

tanah yang baik, lembut oleh bilasan air hujan dan menghasilkan tanaman bagus dan

tumbuh secara sangat produktif. Sebagaimana hati orang kafir diperumpamakan

dengan tanah yang berair (lumpur) tidak menumbuhkan tanaman apapun. Jadi, hati

orang mukmin seperti tanah yang bagus, sedangkan hati orang kafir seperti tanah yang

jelek.

Tamtsl 16

* *

Artinya: Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan

kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia

melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda),

maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki,

sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia

cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka

perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan

jika kamu membiarkannya dia julurkan lidahnya (juga). Demikian itulah

perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakan

(kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan

orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah

mereka berbuat zalim [al-Araf: 175-177].

Tafsir Ayat
Kata an-naba` berarti berita tentang perkara yang besar. Kata an-nubuwah

(kenabian) berasal dari akar kata an-naba ini. Istilah akhlada il l-ardhi bermakna

menetap atau condong ke dunia.

Kata as-salakh berarti mencabut, dan kalimat dalam ayat akhlada il l-arhdi

(dia cenderung kepada dunia) bermaknya melekat dengan dunia. Dan al-lahts berarti

(seperti anjing) menjulurkan lidahnya karena haus. Dan al-luhts berarti panas

kehausan.

Demikianlah tafsir dari kosa kata yang menjadi perhatian dalam ayat.

Kandungan ayatnya ialah: Ayat ini merupakan tamtsil yang mengandung musyabbah

(yang diserupakan) dan musyabbah bihi (yang dijadikan penyerupa). Para mufasir

memberikan berbagai pandangan tentang yang diserupakan. Mayoritas dari mereka

mengatakan bahwa yang diserupakan itu adalah Balam bin Baaur`, konon seorang

alim dari Bani Israil yang berasal dari bangsa al-Kanniyun. Ia dianugerahi ilmu

pengetahuan dari sebagian Kitabullah, tetapi dia menolak petunjuk dan

mengesampingkan Kitabullah di belakang punggungnya. Maka setan pun mengikuti

dan menjadi kawan baginya, sehingga masuklah ia ke dalam golongan orang-orang

sesat lagi kafir.

Pendalaman ayat ini menerangkan tentang sampainya seorang lelaki

berkedudukan tinggi dalam ilmu dan diryah (pengetahuan), yang terjatuh ke dalam

jurang yang dalam. Hal yang menunjukkan hal tersebut dalam ayat sebagai berikut:

1- Kata an-naba`; mengambarkan bahwa hal itu merupakan berita besar,

bukan kabar yang sepele.

2- Ayat; orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami

(pengetahuan tentang isi al-Kitab); menceritakan tentang penguasaan orang itu

dalam rumus, dalil dan penjelasan-penjelasan , serta mengetahui kitab-kitab samawi.


3- Potongan ayat selanjutnya; kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu

menunjukkan bahwa ayat-ayat dan ilmu pengetahuan ilahiyah telah meliputinya

seperti kulit menyelimuti (sekujur) badan, tetapi ia keluar darinya. Penafsiran seperti

ini didukung oleh keterangan ayat lain yang menggambar takwa dengan pakaian,

antara lain ayat: dan pakaian takwa itulah yang paling baik [al-Araf: 26].

4- Potongan ayat berikutnya lagi: lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda),

menunjukkan bahwa setan (telah) putus asa menyeret orang itu pada kekafiran dan

memutuskan hubungan dengannya. Namun ketika dia melepaskan diri dari pada ayat-

ayat Ilahi, maka setan pun (kembali) mengejarnya, mengikuti dan mewas-wasinya

setiap hari hingga berhasil membelenggu dan menyeretnya ke dalam golongan orang-

orang yang sesat.

Begitulah tafsiran terhadap ayat pertama. Ayat kedua memuat hakikat

qur`niyah yang menegaskan bahwa Allah SWT Mahakuasa mengangkat derajat,

mensucikan dan mendekatkan seorang hamba kepada-Nya. Tetapi Allah tidak

menghendaki, karena kehendak (masyi`ah)-Nya berlawanan dengan hidayah untuk

orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berpaling dari-Nya. Bagaimana mungkin

kehendak Allah SWT berhubungan dengan hidayah orang yang berpaling dari-Nya

dan mendustakan ayat-ayat-Nya?

Oleh sebab itu Allah SWT berfirman: Dan kalau Kami menghendaki,

sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Kami tidak

menghendaki, dan demikian itu bukan berarti kebakhilan dari-Nya, Sang Maha

Pemurah. Tetapi karena tiadanya wadah (ardhiyah) yang patut pada orang tersebut,

karena dia telah cenderung kepada dunia dan melekatkan diri dengannya. Ini seolah

menjadi kiasan atas kecenderungan kepada bersenang-senang dengan kenikmatan-


kenikmatan duniawi. Bagi yang memilih terikat kesenangan duniawi itu, bagaimana

bisa mereka diliputi oleh inyah Ilahi.

Selanjutnya, Allah SWT mengisyaratkan pada sisi lain tentang tiadanya

hubungan kehendak-Nya dengan hidayah ini; yaitu, bahwa manusia yang tersesat itu

telah menjadikan kekafiran sebagai perangai dan tabiat baginya. Suatu tingkatan atau

keadaan di mana ruh, jiwa, dan fitrahnya telah bercampur penolakan terhadap ayat-

ayat Allah SWT. Sehingga ia mendustakan dan membelakangi ayat-ayat yang sampai

kepadanya. Oleh karena itu, nasihat dan siraman kebaikan dari orang yang menasihati

tidak berpengaruh lagi baginya.

Untuk pendekatan perkara ini, kami bawakan sebuah tamtsil dalam tamtsil:

Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya

dan jika kamu membiarkan dia menjulurkan lidahnya (juga). Perumpamaan ini

digunakan karena penjuluran lidah (lahts) adalah dampak alami bagi perangai anjing,

maka tidak mungkin ia melepaskan diri dari perangai itu.

Itulah yang dijadikan serupa yang menjelaskan bahwa hidayah dan kesesatan

(dhall) itu ada di tangan Allah SWT. Dan kehendak-Nya berhubungan dengan

hidayah manusia dengan syarat di dalamnya terpenuhi wadah atau lahan (ardhiyah)

yang subur yang bisa menerima hubungan kehendak Allah SWT dengannya. Jadi

orang yang cenderung pada dunia dan melekatkan diri dengannya, yakni cenderung

pada materi dan material, maka hidayah Ilahi tidak akan mendekatinya. Bahkan dia

pun berpredikat sesat yaitu kesesatan secara ikhtiyari atau kesesatan yang dipilihnya

secara sadar, bukan karena keterpaksaan. Begitulah keadaan yang dijadikan

penyerupa, dan kita telah mengetahui sebelumnya bahwa tamtsil bisa mengandung

tamtsil yang lain.


Sedangkan untuk yang diserupakan, para mufasir mengajukan berbagai

pandangan. Di antara yang dimaksud itu adalah seorang penyair, Umayah bin Abu

ash-Shalt ats-Tsaqafi. Alkisah, bahwa Umayah telah membaca kitab-kitab dan

mengetahui bahwa Allah SWT mengutus rasul-rasul, dia berharap bahwa waktu itu

dialah yang diangkat menjadi seorang rasul. Namun ketika Allah mengutus

Muhammad (sebagai Rasul-Nya), dia merasa iri, dengki, dan hasut kepada Nabi

Muhammad. Suatu ketika, Umayah melewati peperangan Badar, lalu ia menanyakan

tentang keadaan pengikut Muhammad saw. Dikatakan; Mereka membunuh dalam

perang mereka bersama Nabi. Umayah berkata: Kalau memang ia (Muhammad)

seorang nabi, maka tentulah para kerabatnya tidak membunuhnya.

Umayah pergi ke Thaif dan mati di sana. Lalu saudarinya, al-Friah, datang

kepada Rasulullah saw yang lalu menanyakan tentang kematian Umayah kepadanya.

Lalu al-Friah menyebutkan keadaan saudaranya (Umayah) menjelang kematiannya

yang melantunkan syair:

Segenap hidup meski lama waktunya

Cuma sekali hidup lalu mati

Sekiranya dulu sebelum kini telah jelas bagiku

Di puncak pegunungan, aku gembalakan kambing hutan

Hari perhitungan adalah hari besar

Maka cepat berubanlah yang muda karena hari yang berat (itu)

Kemudian Rasulullah saw berkata kepada perempuan itu: Bacakanlah sedikit

syair dari saudaramu itu.

Maka ia membaca:

Segala puji, nikmat dan karunia bagi-Mu, Tuhan kami

Tiada yang lebih tinggi dan lebih mulia dari-Mu


Engkau Raja Penguasa arasy langit

Di hadapan izzah-Nya tunduk dan sujudlah seluruh wajah

Lalu perempuan itu melantunkan syair Umayah:

Kepada Pemilik arasy lah kalian kan menghadap

Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi

Di hari Rahmn akan datang sedang Dia Maha penyayang

Dia pasti tepati janji-Nya

Tuhanku, bila Engkau maafkan daku, ku yakin Engkau melindungiku

Dan bila Engkau siksa aku, maka Engkau takkan menyiksa manusia

Lalu Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya saudaramu beriman lahirnya,

tapi kafir hatinya. Maka turunlah ayat ini. (Majma al-Bayan: 2/499-500).

Pandangan lain menyatakan bahwa orang (dalam ayat) itu adalah Abu Amir

bin an-Numan bin Shaifi, seorang rahib yang disebut fasik oleh Nabi. Ia adalah rahib

di masa jahiliyah dan mengubah gaya pakaiannya, lalu datang ke Madinah. Ia berkata

kepada Nabi saw: Apa ini yang Anda datang dengannya?.

Aku datang dengan agama yang lurus, agama Ibrahim, jawab Nabi.

Ia berkata: Akulah di atas agama ini.

Anda tidak di atasnya, tetapi Anda telah memasukkan ke dalamnya sesuatu

yang bukan darinya, kata Nabi.

Abu Amir berkata: Semoga Allah mematikan si pendusta dari kami dengan

terusir dalam kesendirian. Kemudian Abu Amir pergi menemui penduduk Syam dan

mengirim (surat) kepada kaum munafik agar mereka menyiapkan senjata. Lalu Kaisar

datang dengan tentaranya untuk mengusir Nabi saw dari Madinah. Dan Abu amir

mati di syam dalam keadaan terusir kesendirian.


Yang tampak bahwa yang diserupakan bukanlah khusus pada dua orang laki-

laki ini (Umayah si penyair dan Abu Amir si rahib), tetapi sebagaimana yang

disabdakan Imam Baqir as: Aslinya berkenaan dengan Balam, kemudian Allah

menjadikan ia sebagai perumpamaan bagi setiap orang dari ahli Kiblat 56 yang

memilih mengikuti hawa nafsunya ketimbang berjalan di bawah naungan hidayah

Allah (Majma al-Bayan: 2/500).

Di dalam ayat terdapat sebuah petunjuk yang jelas bahwa ibrah dalam

mengetahui akibat manusia adalah ke-ukhrawiyah-an hidupnya. Boleh jadi manusia,

menjadi seorang mukmin di masa mudanya dan murtad dari agama (Islam) di masa

tuanya. Maka kesalehan manusia dan keberhasilannya di masa awal dewasa, bukanlah

dalil atas kesalehan dan keberhasilan di akhir usianya.

Oleh karena itu, yang dapat dimengerti bahwa tuntutan ridha al-Quran dari

kaum Muhajirin dan Anshar ialah dalam firman Allah SWT: Sesungguhnya Allah

telah ridha terhadap mereka orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia

kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka

lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka

dengan kemenangan yang dekat (waktunya) [al-Fath: 18].

Tambahan pula, seperti yang telah kami sebutkan bahwa Allah SWT

menentukan zharaf atau syarat ridha dengan firman-Nya: ketika mereka berjanji

setia kepadamu, dan itu bukan menjadi dalil atas ridha-Nya untuk sepanjang hidup

mereka. Kalaupun satu dalil menunjukkan ketergelinciran salah seorang dari mereka,

maka dalil kedua yang diambil (ini) telah menjamak di antara dua dalil.

Dan sungguh jelas firman Allah SWT: Orang-orang yang terdahulu lagi

yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan

56
Ialah Bani Israil. Penj
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan

mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga

yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-

lamanya. Itulah kemenangan yang besar [at-Taubah: 100].

Bahwa ayat ke 100 surat at-Taubah ini menunjukkan pencakupan ridha Allah

bagi mereka, dan ayat ini dipilih selama tidak ada dalil pasti yang menunjukkan atas

kebalikannya. Seandainya terbukti dengan dalil mutawtir atau dengan khabar yang

ditengahi dengan qarinah (pasangan kalimat) tentang murtadnya seorang dari mereka,

atau karena perbuatan dosa besar atau kecil yang dilakukannya, maka dalil kedua (ini)

yang diambil. Dan di antara dua dalil itu tidak saling bertentangan, dan bukan maqam

sahabat dan tabiin lebih tinggi dari maqam apa yang terkait dalam ayat itu. Maksud

penjelasan ini ialah menerangkan tentang keberadaan seseorang yang dikaruniai ayat-

ayat oleh Allah dan ia menjadi ulama ruhani (pada mulanya), tetapi (kemudian)

mengikuti hawa nafsunya lalu dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat kebenaran itu.

Barangkali, yang dapat kita perhatikan ialah persoalan ijmak beberapa mufasir

melalui ayat-ayat ini atas keadilan (adlah) semua sahabat Nabi, yang seakan-akan

melupakan makna keseluruhan ayat dan tidak menyelami apa yang dilakukan

beberapa sahabat berupa kesalahan dan kemaksiatan. Padahal, Allah SWT maha

mengetahui.

Tamtsl 17

*
Artinya: Dan di antara orang-orang munafik itu ada orang-orang yang mendirikan

masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin) dan karena

kekafiran(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta

menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak

dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: kami tidak menghendaki selain

kebaikan. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah

pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu

selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid

Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di

dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai

orang-orang yang bersih. Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya

atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-

orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya

itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak

memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim [at-Taubah: 107-109].

Tafsir Ayat

Adh-dhirr berarti mengadakan madharat atas penentangan. Sedangkan al-

irshd artinya persiapan. Al-bunyn (bangunan), berasal dari kata ban (membangun).

Dan at-taqw berarti bagian dari taat, dengan takwa terjaga dari hukuman. Huruf wau

pada kata taqw sebagai ganti dari huruf y`, karena ia dari kata waqayat.

Kata syaf (contoh), dalam syaf l-bi`ri artinya tepi sumur. Dan matsal yang

dibuat untuk menggambarkan dekatnya dengan kehancuran. Dan kata juruf (contoh),

dalam jurfu al-wdi artinya samping lembah yang asalnya berlubang oleh air, hanyut

oleh banjir hingga menjadi lemah.


Ar-Raghib menerangkan makan kata itu begini: Digunakan untuk tempat

yang dimakan banjir dan menghanyutkannya, yakni lenyap oleh banjir.

Hra al-bin` wa tahawar adalah bangunan runtuh.

Para mufasir menyebutkan bahwa Bani Amr bin Auf mendirikan masjid

Quba. Mereka mengundang Rasulullah saw agar datang kepada mereka. Lalu beliau

datang dan melakukan salat di dalam masjid itu. Sekelompok orang munafik dari Bani

Ghanam bin Auf yang hasud kepada Bani Amr mengatakan: Kami membangun

sebuah masjid dan salat di dalamnya dan tidak hadir pada jemaah Muhammad.

Mereka ada 12 (atau) dikatakan 15 orang laki-laki: Tsalabah bin Hathib, Mutab bin

Qusyair dan Nabtal bin al-Harts. Mereka mendirikan sebuah masjid di samping

masjid Quba, setelah rampung mereka datang kepada Rasulullah saw yang sedang

bersiap-siap ke Tabuk.

Mereka berkata: Ya Rasulullah, kami telah membangun masjid bagi yang

berkepentingan, membutuhkan, yang bermalam lepas dan bermalam dingin. Kami

ingin Anda datang kepada kami dan Anda salat di dalamnya untuk kami dan berdoa

dengan keberkahan.

Rasulullah saw bersabda: Aku sudah hendak pergi safar, kalau kami kembali,

kami akan datang kepada kalian insya Allah, kami akan salat untuk kalian di

dalamnya. Ketika Rasulullah saw pergi menuju Tabuk, turunlah ayat ini berkenaan

dengan kedudukan masjid tersebut.

Ayat di atas mengisyaratkan pada perbedaan yang terang antara orang yang

membangun bangunan di atas dasar yang kokoh dengan orang yang membangun di

atas tepi jurang yang runtuh. Pembangun (atau bangunan) pertama itulah yang

langgeng di sepanjang zaman dan terpelihara dengan sepenuhnya di tengah peristiwa-


peristiwa yang membinasakan. Sebaliknya, yang kedua, akan hancur karena runtuh

tidak kuat menahan hantaman angin.

Dengan demikian, orang mukmin yang mengikat imannya di atas pondasi

yang kuat dan kokoh, maka itulah al-haqq, berupa ketakwaan dan keridhaan kepada

Allah SWT. Sedangkan orang munafik, ia membangun imannya di atas pondasi yang

amat lemah, dan amat lembek bangunannya, maka itulah al-bathil. Dengan kata lain,

iman dan agama seorang mukmin merupakan ekstensi dari firman Allah SWT: Maka

apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah

dan keridhaan (Nya). Sedangkan iman dan agama orang munafik digambarkan

seperti: orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, maka

sangat mungkin bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka

jahannam.

Surat Yunus

Tamtsl 18

* *

Artinya: Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air

(hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuh suburlah karena air itu tanam-

tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga

apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya,

dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba

datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan

(tanaman-tanamannya) laksana tanaman yang sudah disabit. Seakan-akan belum

pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan


(Kami) kepada orang-orang yang berpikir. Allah menyeru (manusia) ke Darussalam

(surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus

(Islam) [Yunus: 24-25].

Tafsir Ayat

Firman Allah: fakhtalatha bihi nabtu l-ardhi, kalau kita katakan huruf b`

dalam ayat ini untuk penyertaan (mushhabah), maka maknanya menjadi bersama

air itu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi. Karena hujan menyerap di sela-sela

tumbuh-tumbuhan. Dan jika huruf b untuk penyebaban (sababiyah) maka maknanya

adalah disebabkan air itu bercampurlah tanaman satu dengan yang lain, di mana air

menjadi sebab bagi perkembangan tumbuhan dan kecenderungan tanaman satu

dengan yang lain.

Izzayanat (memakai perhiasan) berasal dari kata tazayyanat, di mana huruf

t` di-idghom-kan dengan zai dan zai di-sukun-kan, dan diletakkan pada ta`

(yang sukun) sebelumnya alif washal.

Kalimat dalam ayat yang berbunyi; bumi itu telah sempurna keindahannya,

dan memakai (pula) perhiasannya, adalah ungkapan indah di mana bumi berlaku

menampilkan keindahannya, seumpama pengantin ketika memakai baju-baju mewah

dari berbagai warna, ia mengenakannya dan berhias dengan aneka warna yang indah

(untuk dilihat orang lain).

Sedangkan ayat: mereka pasti menguasainya ialah, mereka mampu

mengambil hasil dan manfaat sesuai dengan aturan yang berlaku di bumi. Dan

potongan ayat berikutnya: atha amrun (tiba-tiba datanglah perkara Kami

kepadanya) adalah kiasan dari turunnya hama-hama (bala) atas kebun-kebun dan

ladang-ladang yang berisi tanaman-tanaman mereka hashiidan laksana tanaman-

tanaman yang sudah disabit.


Lalu, kalimat ka an lam taghna, menduduki kalimat ka an lam yanbut

zaruh, artinya seakan-akan tidak pernah tumbuh tanamannya. Dan kalimat

darussalam menunjukkan tentang salah sifat surga, sebab penghuni surga selamat

dari segala hal yang tak disukai. Sedangkan lawan dari darussalam adalah drul

bal` (neraka). Demikianlah tafsir terhadap kosa kata dalam ayat di atas.

Selanjutnya, kita mengandaikan seperti ini: Ada sebidang tanah yang subur

dan bagus serta cocok untuk ditanami berbagai jenis tumbuhan. Si pemilik tanah ingin

memetik hasil dari semua tanaman yang ditanamnya, dan tanaman itu terus

dipeliharanya dan memperoleh siraman hujan yang cukup. Tak lama kemudian

sebidang tanah dengan tanaman-tanaman itu menjadi sebuah taman yang lebat penuh

dengan pepohonan dan aneka tumbuhan lainnya. Tampak areal tanah itu seolah

menjadi pengantin yang memakai perhiasan dan menampilkan keindahannya pada

yang lain.

Melihat itu, para pemilik merasa bangga dengannya (sombong). Mereka

mengira bahwa karena usahanyalah tanah-tanah menjadi berkilauan, dan dengan

kehendaknya pula lahan-lahan bumi berhias. Mereka menganggap diri mereka sebagai

ahli dalam urusan itu yang tiada siapa dan apapun yang menandinginya. Lalu mereka

tetapkan harapan-harapan panjang pada lahan-lahannya. Akan tetapi, dalam kebesaran

harapan-harapan itu tiba-tiba datanglah perkara Allah SWT di malam atau siang hari

yang menjadikan kebun, sawah, dan lahan-lahan mereka melemah dan kering, seolah-

olah di sana belum pernah ada satu kebun dan tamanpun.

Demikianlah keadaan yang dijadikan penyerupa. Allah SWT

memperumpamakan dunia dengan perumpamaan seperti itu. Sesungguhnya manusia

kerap kali tertipu oleh dunia, dan berlebihan dalam mengharap dan
mengangankannya, padahal dunia amat cepat hilang dan lenyap, dan dunia tidak

memiliki ketetapan dan kekekalan.

Muayiduddin al-Isfahani mengatakan:

Kau berharap kekal dunia yang tiada ketetapan

Pernahkah kau dengar bayangan yang tak pindah

Allah SWT menyebut kekayaan di bumi sebagai kesenangan kehidupan dunia,

dan membedakan dengan (kesenangan) kehidupan akhirat yang Dia namakan dengan

darussalam dalam firman-Nya; Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga).

Selain itu, yang tampak dari ungkapan ath-Thabrasi bahwa tamtsil ini

termasuk proporsi tunggal (tamtsil mufrad). Ath-Thabrasi menyebutkan beberapa

pandangan sebagai berikut:

1-Bahwa Allah SWT memperserupakan kehidupan dunia dengan air, karena

air dapat diambil manfaatnya kemudian berhenti.

2-Bahwa Allah SWT memperserupakan kehidupan dunia dengan tumbuh-

tumbuhan yang sifatnya menipu, yang berakhir pada kelenyapan. (dari al-Juba`i dan

Abu Muslim).

3-Bahwa Allah SWT memperserupakan kehidupan dunia dengan kehidupan

yang ditetapkan sesuai dengan sifat-sifat yang dimilikinya. (Majma al-Bayan: 3/102).

Yang benar ialah, bahwa tamtsil ini termasuk kategori perumpamaan

proporsional (istirah tamtsiliyah), di mana dunia diibaratkan dengan tiadanya

ketetapan dan ketenangan, sebagaimana yang ada dalam matsal di atas. Dan yang

patut menjadi tempat sandaran keinginan adalah darussalam yang memiliki sifat

keselamatan atau kesejahteraan (salam)secara mutlak, yang di dalamnya tidak

mengandung kejelekan dan keburukan.


Allah SWT mengaitkan darussalam dalam ayat di atas dengan ungkapan:

inda rabbihim (di sisi Tuhan mereka), sebagai petunjuk atas dekatnya kehadirannya

dan tiadanya kelalaian dari Allah SWT di sana.

Matsal ini dekat dengan ayat 45 surat al-Kahfi yang berbunyi: Dan berilah

perumpamaan kepada mereka (manusia), (bahwa) kehidupan dunia adalah sebagai

air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-

tumbuhan di muka bumi ini, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang

diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Begitu pula dalam surat al-Hadid ayat 20: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya

kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan

dan bermegah-megah antara kamu, serta berbangga-banggaan tentang banyaknya

harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani;

kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian

menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah

serta keridhaan-Nya, dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang

menipu.

Surat Hud

Tamtsl 19

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal

saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-

penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. Perbandingan kedua golongan itu

(orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan

orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama
keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (dari pada

perbandingan itu)?

Tafsir Ayat

Allah SWT menggambarkan orang kafir seperti orang buta dan tuli, dan

menyebutkan orang mukmin seperti yang dapat melihat dan mendengar, lalu

menafikan kesamaan antara keduanya sebagaimana jelas dipahami. Tamtsil dalam

ayat menyajikan sifat yang diberikan oleh Allah terhadap dua golongan yang memiliki

sifat-sifat khas.

Tentang orang-orang kafir dikatakan: Mereka selalu tidak dapat mendengar

(kebenaran) dan mereka selalu tidak dapat melihat(nya) [Hud: 20]. Maknanya:

mereka memiliki telinga dan mata, tetapi mereka tidak menggunakannya untuk

mendengar dan melihat ayat-ayat Ilahi dan hakikat-hakikat. Penafian dengan sebutan

tidak mendengar adalah kiasan dari tidak menggunakan pendengaran,

sebagaimana sebutan tidak melihat adalah kiasan untuk tidak menggunakan

penglihatan.

Selanjutnya Allah SWT menyifati orang mukmin dengan tiga sifat, yaitu: (1)

beriman kepada Allah; (2) beramal saleh; dan (3) tunduk kepada Allah, ketika

mengatakan: dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka. Jadi, orang mukmin

yang saleh adalah buah dari pohon keimanan, sebagaimana tunduk dan pasrah

(tasliim) serta yakin akan janji Allah juga termasuk buah dari keimanan. Orang

mukmin selalu mau mendengar dan melihat ayat-ayat-Nya di jalan pengukuhan iman

di dalam hati dan perolehan buahnya dengan amal.

Kemudian Allah SWT memperumpamakan orang kafir dan orang mukmin

dengan tamtsil berikut: Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan

orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat
dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka

tidakkah kamu mengambil pelajaran (dari pada perbandingan itu)?.

Artinya, perumpamaan golongan mukmin seperti orang yang melihat dan

mendengar, dan perumpamaan golongan kafir seperti orang yang buta dan tuli.

Karena orang beriman memanfaatkan panca inderanya dalam mengenal Sang pemberi

nikmat, sifat-Nya dan afl-Nya. Sedangkan orang-orang kafir hanya menyia-

nyiakannya, sehingga jadilah mereka sebagai orang-orang yang tidak melihat dan

tidak mendengar.

Di tengah peletakan antara yang buta dan yang tuli sebagaimana di tengah

peletakan antara yang melihat dan yang mendengar, adalah untuk memberikan

banyaknya penyerupaan yang berarti:

Keadaan orang kafir seperti keadaan orang buta dan orang tuli. Sedangkan

keadaan orang mukmin seperti orang yang melihat dan mendengar. Kesimpulannya

adalah: tidak sama orang yang dapat melihat dan dapat mendengar dengan orang yang

buta dan tuli. Maka, orang mukmin dan kafir juga tidak sama.

Surat ar-Rad

Tamtsl 20

Artinya: Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-

berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun

bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke

dalam air supaya air sampai ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke

mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka [ar-

Rad: 14].
Tafsir Ayat

Kalimat lahu dawatu l-haqq (bagi-Nyalah hak menerima seruan yang

benar), dhorf lm didahulukan untuk memberikan makna hashr (hanya), yang

dikuatkan oleh kalimat berikutnya yang menafikan seruan dari selain yang benar.

Sebagaimana penyandaran (idhfah) kata ad-dawah pada kata al-haqq

merupakan idhfah yang disifati (mausuuf) pada sifatnya; yakni ad-dawatu l-haqqu

lahu (seruan/doa yang benar bagi-Nya). Karena seruan atau doa (ad-dawah) itu

adalah pengarahan (atau pencarian) perhatian Yang diseru (al-maduu) pada yang

menyeru (ad-dii). Sedangkan pengabulan (al-ijbah) adalah menghadapnya (iqbl)

al-maduu pada ad-dii. Kedua hal ini khusus bagi Allah Yang Maha Agung nama-

Nya. Adapun selain-Nya, tidak dapat memberi madharrat dan manfaat, tidak dapat

memberi hidup dan mati, dan tidak punya hari kiamat, maka bagaimana mungkin ia

menjawab doa si penyeru.

Kesimpulannya adalah, seruan yang benar yang dapat menghasilkan

pengabulan hanyalah seruan yang ditujukan kepada Allah SWT, Yang Mahahidup,

Mahaberkehendak yang tidak dipaksa, Maha Kuasa atas segala sesuatu dan Maha

Kaya.

Dengan demikian, seruan atau doa itu ada dua macam: (1) seruan yang benar

(dawah haqqah), dan (2) seruan yang batil (dawah bthilah). Seruan yang benar

adalah bagi Allah. Dan seruan selain kepada-Nya adalah seruan yang batil. Sebab

selain-Nya tidak mendengar dan tidak berkehendak, tidak melihat dan tidak kuasa.

Indikasi pada seruan yang batil ini terlihat dalam ayat: Dan berhala-berhala yang

mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka.

Jadi, telah diketahui bersama tentang wajah tiadanya pengabulan (istijabah) itu.
Allah SWT mengecualikan satu gambaran dari tiadanya pengabulan, dengan

pengecualian konseptual (istitsn` shuri) dalam ayat: melainkan seperti orang yang

membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya air sampai ke mulutnya,

padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Jadi, menyeru patung-patung

berhala dan meminta hajat kepada mereka, itu lebih mirip dengan keadaan orang

dahaga yang jauh dari air, seperti yang orang duduk di atas bibir sumur lalu ia

membuka kedua telapak tangannya ke dalam sumur supaya air sampai ke mulutnya,

sementara jarak antara ia dan air itu jauh sekali.

Ath-Thabrasi berkata: Ini adalah matsal yang dibuat Allah bagi setiap orang

yang menyembah dan berdoa kepada selain-Nya, yang berharap dapat memberi

manfaat kepadanya. Perumpamaannya seperti orang yang membuka kedua telapak

tangannya ke air dari jarak yang jauh, untuk diminumnya dan melepaskan dahaganya.

Dan air tersebut tidak sampai ke mulutnya lantaran jauhnya jarak antara keduanya.

Demikian halnya orang-orang musyrik yang menyembah berhala-berhala, yang tidak

memberi manfaat kepada mereka dan tidak dapat mengabulkan doa mereka (Majma

al-Bayan: 3/287).

Mungkin saja ayat di atas ditafsirkan dengan bentuk lain. Misalnya seperti ini:

Berhala itu tidak mengabulkan sebagaimana pengabulan air bagi orang dahaga yang

membuka kedua telapak tangan kepadanya, yang berharap agar air itu bergerak ke

mulut orang yang meminta atau mendekatkan mulut ke air. Padahal air adalah benda

mati yang tidak merasakan pembukaan kedua telapak tangan orang itu, kehausan dan

kebutuhannya, dan air itu pun tidak mampu mengabulkan doa dan menyampaikan

mulutnya. Demikian pula halnya dengan apa yang mereka seru adalah benda mati

yang tidak merasakan doa mereka, tidak mampu mengabulkan apapun dan tidak pula

memberi manfaat (al-Kasysyaf: 2/ 162).


Yang tampak lebih jelas dan kuat adalah tafsir yang pertama. Sebab tuhan-

tuhan, baik benda mati yang tidak berperasa, atau malaikat, atau jin, arwah, yang

meskipun berperasa, mereka tidak memiliki kekuatan apapun untuk mengabulkan.

Pandangan dari tafsir untuk ayat ini tertuju khusus pada tuhan-tuhan yang merupakan

benda mati, bukan selainnya.

Pada kalimat selanjutnya: Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah

sia-sia belaka (dhall), menunjukkan bahwa dhall berarti keluar dari jalan dan/atau

perjalanan yang tidak menyampaikan seseorang pada tujuan. Doa kepada selain-Nya

adalah keluar dari jalan yang mengantar kepada tujuan. Sebab, tujuan dari berdoa

adalah penghadapan (tawajjuh) dan kemudian pengabulan (ijabah). Jadi tuhan-tuhan

palsu itu sama saja, mereka itu hampa dari penghadapan dan juga tidak mampu

mengabulkan. Maka, kesia-siaan (dhall) manakah yang lebih jelas dari ini.

Tamtsl 21

Artinya: Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di

lembah-lembah menurut ukurannya, dan arusnya membawa buih yang mengembang.

Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau

alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat

perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang

sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada

manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-

perumpamaan [ar-Rad: 17].

Tafsir Ayat
Al-wdi adalah kaki bukit besar, yang merendah yang menghimpun dan

menyimpan air hujan di dalamnya. Barangkali, kata al-wdi berasal dari kata ad-diyah

(diyat), karena diyat adalah pengumpulan harta dalam jumlah besar yang ditunaikan

karena pembunuhan.

Al-qadar berarti bersambungnya sesuatu dengan yang lain tanpa penambahan

dan pengurangan. Jika keduanya sama maka itulah al-qadar, dan qadr dan qadar

adalah dua kata seperti syibr dan syabar.

Al-ihtiml berarti mengangkat sesuatu di atas punggung dengan kekuatan si

pembawa. Dan az-zabad berarti kotoran yang meluap, di antaranya kotoran buih dan

kotoran banjir.

Al-juf` seperti dalam kalimat ajfa`ata l-qidra bi zabadih, artinya

melemparkan buihnya. Al-iiqd sama dengan menaruh kayu bakar dalam api. Al-

mat adalah sesuatu yang disenangi.

Al-haqq dalam etimologi berarti perkara yang tetap, yang berlawanan kata

dengan al-bathil. Mafhum al-haqq sangat luas meliputi segala maujud dan ajaran

yang tetap dan tidak berubah, termasuk kaidah-kaidah matematika, arsitek dan banyak

lagi di antara pengetahuan-pengetahuan tabiat. Jika suatu ketetapan sudah sampai

pada tingkatan tinggi maka itulah al-haqq yang tiada cacat baginya. Dan al-makts

berarti keberadaan di tempat sepanjang zaman.

Jika arti kata-kata di atas telah dimengerti, maka ketahuilah bahwa ayat ini

memperumpamakan haq dan batil dalam sebuah perumpamaan yang mengandung

beberapa tamtsil berikut:

Pertama, bahwa air bah yang turun deras dari ketinggian bukit atau gunung,

yang mengalir di lembah-lembah itu juga membawa buih yang mengembang ikut
bersamanya. Al-haqq seperti air banjir, dan al-bathil seperti buih atau kotoran (zabad)

yang meluap di atasnya.

Kedua, bahwa barang tambang atau logam yang dicairkan dengan api yang

menyala dalam wadah atau tungku itu mencair dan luapan di atasnya ada berupa

kotoran. Tujuan mencairkan adalah untuk memisahkan logam yang bernilai dari

kotoran dan buihnya. Artinya, al-haqq seperti logam mulis, emas, perak dan tambang-

tambang berharga lainnya. Sedangkan al-bthil seperti kotoran dan buihnya yang

kotor.

Ketiga, bahwa yang memiliki kelanggengan, keabadian, ketetapan dan

bermanfaat bagi manusia seperti air dan sesuatu yang diambil untuk perhiasan dan

kesenangan menyerupai al-haqq. Dan sesuatu yang bukan demikian, seperti buih

banjir dan kotoran periuk yang hilang dibuang, menyerupai al-bthil.

Penjelasan detailnya diuraikan melalui keterangan berikut: Allah telah

menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah, yang

terjadi di lahan atau daerah hujan yang berlainan pada yang luas maupun sempit, pada

yang besar maupun yang kecil; menurut ukurannya, yakni semua teraliri dan

mengambil atau menyerap dengan kemampuan masing-masing. Jadi limpahan karunia

Allah SWT bersifat umum tanpa dibatasi apapun. Pembatasan terletak pada yang

menerima, masing-masing mengambil menurut potensinya sendiri. Potensi tumbuh-

tumbuhan berbeda dengan potensi binatang dan manusia. Tiap maujud dilimpahi

sesuai dengan potensinya. Sebagaimana banjir yang mengalir deras dari ketinggian

bukit adalah mutlak tanpa memilih, namun setiap lekukan lereng dan lembah

mengambil air menurut potensi dan muatannya.

Maka arus itu membawa buih yang mengembang, yakni yang mengapung di

atas air. Begitulah keterangan untuk tamtsil pertama.


Kata zabad pengertiannya tidak terbatas hanya pada banjir yang

menghanyutkan saja, tetapi juga berarti buih yang mengapung di atas permukaan

berbagai logam dan tambang yang dicairkan, tempat dicelupkan antara lain permata

untuk perhiasan dan kesenangan. Begitu yang dapat diambil dari kalimat: Dan dari

apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat,

ada (pula) buihnya seperti buih arus itu.

Demikian keterangan untuk tamtsil kedua, sebagaimana firman Allah SWT,

Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan, yakni demikianlah al-

haqq dan al-bthil disifati untuk dapat diambil (dipilih) jalannya di antara manusia.

Selanjutnya, ayat memberi isyarat pada tamtsil ketiga, bahwa di antara tanda-

tanda al-haqq ialah kelanggengan dan manfaatnya bagi manusia. Namun sebaliknya,

Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, yakni buih

air bah dan buih sesuatu yang mereka nyalakan, akan lenyap dalam waktu sekejap.

Seakan-akan tidak pernah disebut-sebut sebelumnya, hilang sia-sia, batil, dan musnah.

Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi, yakni air

yang bersih atau tambang yang murni, yang dimanfaatkan oleh manusia akan tetap

berada di bumi.

Kemudian Allah menutup ayat ini dengan kalimat; Demikianlah Allah

membuat perumpamaan-perumpamaan. Sebagaimana telah disinggung dalam

mukadimah tentang makna dharbu l-matsal (membuat perumpamaan, peribahasa),

dan telah disebutkan bahwa yang dimaksud dharbu l-matsal adalah menggambarkan

dan menjelaskan keadaan yang diserupakan).

Demikianlah mengenai tafsir makna lahiriyah ayat. Dan ayat ini termasuk

salah satu permulaan ayat-ayat Qur`niyah yang membahas tentang karakter al-haqq
dan al-bathil, tentang geraknya, bentuk kemunculannya, dan dampak-dampak yang

akan berlaku atasnya. Tak salah apabila kita merujuk pada ayat:

1- Bahwa keimanan dan kekufuran adalah salah satu mishdaq paling jelas bagi

kebenaran dan kebatilan. Di bawah naungan iman kepada Allah SWT terdapat

kehidupan bagi masyarakat, keadilan dan solidaritas kemanusiaan. Jadi suatu umat

yang tidak memiliki keimanan akan terjerambab dalam kezaliman, keegoisan dan

terlepas dari ikatan kemanusian yang akan segera menerbangkan masyarakat ke udara

dan kemudian lenyap.

2- Bahwa buih sangat mirip dengan hijab yang menutupi wajah al-haqq dalam waktu

sekejap. Ketika lenyap dengan cepat, muncul wajah hakikat, ialah air dan logam-

logam yang bermanfaat.

Demikianlah karakter al-bthil. Kebatilan bisa menutupi wajah kebenaran

melalui propaganda-propaganda yang menjenuhkan, namun kemunculannya tidak

akan lama dan akan segera hilang bagai buih yang cepat menghilang. Allah SWT

berfirman: Dan katakanlah: Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.

Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap [al-Isra: 81].

Dan firman-Nya: Dan Allah menghapuskan yang batil dan membenarkan yang haq

dengan kalinat-kalimat-Nya [asy-Syura: 24].

3- Bahwa air dan logam-logam adalah sumber keberkahan dan kebaikan bagi

manusia, sedangkan buih adalah kotoran yang tidak bermanfaat. Demikian pula yang

benar dan yang batil. Yang benar itu seperti keimanan dan keadilan, yang bermanfaat

bagi manusia. Sedangkan yang batil itu seperti kufur dan kezaliman, yang tidak

bermanfaat.

4- Bahwa air adalah karunia material yang Allah limpahkan dari langit ke atas

lembah-lembah dan padang sahara. Masing-masing mendapatkan bagiannya sesuai


ukuran luasnya. Lembah besar menampung air banyak, lembah kecil menampung air

lebih sedikit. Demikian pula keadaan dalam ruh dan jiwa. Setiap jiwa memperoleh

bagian dari pengetahuan-pengetahuan ilahiyah sesuai potensinya. Ada jiwa yang

seperti Arsy ar-Rahman, dan ada jiwa yang sempit penampungannya. Allah SWT

berfirman: Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa

tingkatan kejadian [Nuh: 14].

Rasulullah saw bersabda: Manusia-manusia adalah tambang-tambang seperti

tambang-tambang emas dan perak (Bihar al-Anwar: 4/405). Imam Ali bin Abi

Thalib as berkata kepada Kumail: Sesungguhnya kalbu-kalbu ini adalah wadah-

wadah, dan kalbu yang terbaik adalah yang lebih luas (muatannya) (Nahjul

Balaghah, al-Hikam No. 127). Jadi pengetahuan-pengetahuan ilahiyah seperti bah

yang deras, dan kalbu-kalbu seperti lembah-lembah dengan berbagai macam bentuk

dan ukurannya).

Barangkali pula, kalimat bi qadrih pada bagian ayat adalah indikasi pada

maksud lainnya, yaitu bahwa air yang deras adalah air kehidupan yang menumbuhkan

tanaman-tanaman yang berbuah di tanah-tanah yang subur, bukan di tanah-tanah

tandus yang tidak tumbuh padanya melainkan duri-duri.

5- Bahwa air berada di dalam perut bumi, menyerap dan menetap di sana sepanjang

kurun waktu yang lama, sehingga manusia dapat mengambil manfaat darinya dengan

mengeluarkannya. Begitu pula dengan al-haqq, ia tetap dan tidak lenyap. Al-haq

bersifat langgeng, tidak musnah, yang berlawanan dengan al-bthil. Jadi yang benar

berwilayah sedangkan yang batil berdebu dan beterbangan tak menentu dan lalu

lenyap.

6- Kebatilan tampak dalam berbagai macam bentuk, sebagaimana buih yang

mengapung di atas air dan di atas cairan-cairan tambang pada sisi-sisi yang berlainan.
Tetapi kebenaran adalah satu dan berwajah satu. Adapun yang batil beraneka ragam

wajah..

7- Kebatilan bergantung pada keberadaan haq. Ibarat tanpa keberadaan air, maka

tiadalah buih. Maka pandangan-pandangan dan kepercayaan-kepercayaan yang batil

terbangun bahan-bahannya menumpang pada keyakinan-keyakinan yang haq.

Kebatilan muncul melalui perwujudan tahrif (perubahan) dalam rukun-rukun dan

peniruan-peniruannya terhadap kebenaran. Seandainya kebenaran tidak memiliki

wilayah, maka kebatilan tidak memiliki perjalanan sama sekali. Allah SWT

berfirman: maka arus itu membawa buih yang mengembang.

8- Penyerupaan al-haqq dengan air dan al-bthil dengan buih adalah sebuah petunjuk

yang halus, bahwa al-bthil seperti buih, sebagaimana ia berjalan di air deras yang

bergelombang dan mengalir tidak tenang. Begitulah kebatilan, ia muncul dalam

kondisi-kondisi yang terombang-ambing tak beraturan dan tiada ketetapan.

9- Gerak al-bthil meski sementara waktu, ia berada dalam sepanjang gerak al-haqq

dan menembus dalam hati. Al-bthil menunggangi gelombang al-haqq untuk sampai

tujuan-tujuannya. Ia laksana buih menaiki gelombang air untuk mempertahankan

keberadaannya.

10- Kebatilan di samping tidak memiliki tempat dalam hakikat, bilamana terlepas dari

hakikat, ia tidak akan berdaya untuk tampil diri meskipun dalam sekilas waktu.

Kebatilan mencari jati diri dengan berbaur dengan al-haqq sehingga ia bisa muncul di

tengah masyarakat. Buih terbentuk dari bagian-bagian yang berair, dan karena itu jika

terlepas sebagian darinya, niscaya ia binasa. Begitu pula kebathilan dalam pandangan

dan keyakinan.

Imam Ali bin Abi Thalib as berkata: Apabila kebatilan murni dan tidak

bercampur dengan haq, (maka) ia tidak sembunyi dari orang-orang yang mencarinya.
Dan apabila yang haq murni dan tidak bercampur dengan yang batil, orang-orang

yang menaruh kebencian kepadanya akan dibungkamkan. Namun, yang kerap terjadi

ialah sesuatu yang diambil dari sana, dan keduanya bercampur. Pada tahap ini iblis

menaklukkan teman-temannya, dan yang melepaskan diri hanyalah mereka yang

sebelumnya telah diberi kebajikan oleh Allah SWT (Nahjul Balaghah: 49).

***

Sebagian kitab-kitab tentang amtsl al-Quran, memasukkan ayat berikut ini

dalam al-amtsl:

Artinya: Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa

ialah (seperti taman) yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; tak henti-henti

berbuah sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-

orang yang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah

neraka [ar-Rad: 35].

Namun demikian, yang tampak dalam ayat ini bukanlah dalam kategori

tamtsil, karena ia merupakan cabang adanya musyabbah (yang diserupakan) dan

musyabbah bihi (yang dijadikan penyerupa). Sementara ayat ini dalam menerangkan

balasan orang-orang yang takwa dan orang-orang kafir, dengan mengatakan: Balasan

orang-orang yang takwa adalah bahwa mereka menempati surga yang di bawahnya

mengalir sungai-sungai, tak henti-henti berbuah dan naungannya demikian juga

(menaungi) .

Hal ini berbeda (keadaanya) dengan orang-orang kafir, yakni balasan mereka

adalah siksaan neraka. Dan di sini tidak ada empat perkara, tetapi hanya dua perkara.
Karena itu, matsal dalam ayat ini bermakna sifat, yakni beginilah keadaan surga dan

sifatnya yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa.

Memang, ath-Thabarsi pernah menyebutkan satu noktah menunjukkan bahwa

barangkali ayat ini merupakan sebuah matsal, karena itu perhatikanlah! (Majma al-

Bayan: 3/296).

Surat Ibrahim

Tamtsl 22

Artinya: Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah

seperti abu (atau debu) yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang

berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang

telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh

[Ibrahim: 18].

Tafsir Ayat

Al-ashf adalah angin kencang, dan yaumun ashif ialah hari ketika banyak

angin ribut. Penggunaan kata al-ashf digunakan untuk memberi sifat pada hari, yang

dengan begitu dalam bahasa berarti mublaghah. Seolah kedudukan hembusan

angin kencang itu membuat hari berangin kencang, sebagaimana dikatakan; lailun

ghimun wa yaumun mthirun (malam mendung dan hari hujan).

Sesungguhnya Allah SWT memperserupakan amal orang-orang kafir yang sia-

sia itu dengan abu dalam tiupan angin kencang. Sebagaimana halnya tiada seorang

pun yang mampu mengumpulkan abu yang berterbangan dihempas angin kencang,

maka begitu pula dengan upaya-upaya orang-orang kafir. Mereka tidak kuasa dari apa
yang telah mereka peroleh, sehingga amal-amal mereka tidak membawa manfaat

apapun.

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman: Dan Kami hadapi segala amal yang

mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan

[al-Furqan: 23].

Yang dimaksud amal-amal mereka adalah bentuk amal saleh dalam pandangan

umum, seperti melakukan silaturahim, membebaskan budak, menebus tawanan dan

menolong orang-orang teraniaya (dan lain-lain). Ini terjadi sebagai konsekuensi dari

amal-amal mereka yang dibangun di atas pondasi selain keimanan kepada Allah

SWT. Tanpa beriman kepada Allah SWT maka mereka tidak mendapatkan hak apa-

apa atas amal-amal mereka.

Sedangkan untuk perbuatan-perbuatan berupa maksiat adalah keluar dari

konteks dan kandungan ayat, mengingat begitu jelasnya maksud kandungannya. Dan

ayat di atas merupakan dalil atas orang kafir yang tidak mendapatkan pahala atas

amal-amal salehnya pada hari kiamat, disebabkan amal yang bukan karena Allah

SWT.

Tentu saja, seandainya mereka melakukan amal-amal itu demi mengharap

ridha dan keridhaan-Nya, maka mereka pasti dibalas dengan kebaikan pula dan akan

menjadi perantara untuk meringankan penderitaan dari azab Allah SWT.

Tamtsl 23

Artinya: Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan

kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya

(menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada tiap musim dengan seizin
Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya

mereka selalu ingat [Ibrahim: 24-25].

Tafsir Ayat

Allah SWT memperumpamakan al-haqq dan al-bthil, atau kufur dan iman

dengan tamtsil-tamtsil yang bermacam-macam. Dalam ayat ini terdapat tamtsil yang

memperumpamakan iman seperti pohon yang memiliki sifat-sifat berikut ini:

1- Thayyibah; pohon yang suci dan bersih, yang berbeda dengan pohon

khabiitsah. Pohon ada dua macam: pertama, pohon yang berbuah pilihan, seperti buah

tin, kurma, zaitun dan lain-lain. Kedua, pohon berbuah buruk, seperti jenis labu (yang

pahit rasanya).

2- Ashluh tsbit; pohon yang mempunyai akar-akar kuat menancap di

dalam perut bumi, tak tergoyahkan oleh angin topan, dan tidak pula goyah oleh

ombak-ombak besar.

3- Farh fi s-sam`; pohon yang memiliki dahan dan ranting yang

menjulang ke langit yang menyerap cahaya, udara, dan air. Juga memiliki akar-akar

yang kokoh bertahan dan menyerap air dan makanan dari tanah. Banyaknya cabang-

cabang atau ranting-ranting ini tidak mengganggu satu sama lain, sebagaimana ia juga

tidak tercemari oleh apa yang ada di permukaan bumi.

4- Tuthii ukulah kulla hiin (Pohon itu memberikan buahnya pada tiap

musim); pada setiap musim dan masa bukan berarti setiap hari dan setiap bulan ia

berbuah. Sampai dikatakan bahwa bukanlah sesederhana yang dibayangkan sebagai

jenis pohon berbuah.

Dengan ibarat lain; bahwa pohon semacam ini tidak berkurang dengan

memberikan (buahnya). Tetapi selalu berbuah dalam setiap saat yang Allah tentukan
waktunya dan buah-buahnya untuk berbuah. Begitulah keadaan yang dijadikan

penyerupa.

Sementara tentang keadaan yang diserupakan, muncul berbagai pendapat dan

ungkapan tetapi kurang dikuatkan oleh dalil. Yang tampak adalah bahwa yang

diserupakan adalah keyakinan akan al-haqq yang kokoh; yaitu Tauhid, Keadilan (al-

adl), dan konsekuensi dari keduanya yang disebut dengan al-mad (hari

kebangkitan).

Inilah aqidah yang kokoh lagi thayyibah, yang bersih dari setiap kesyirikan

dan kesesatan. Yakni aqidah yang mempunyai buah-buah (hasil) pada dua kehidupan

(dunia dan akhirat).

Yang menunjukkan atas hal demikian ialah firman Allah SWT pada ayat

setelahnya; Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan

yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.. [Ibrahim: 27]. Pernyataan

yang teguh bermakna aqidah yang lurus, yang mengejawantahkan kalimat tauhid

sebenarnya dan syahadat (kesaksian) akan al-mad dan lainnya. Allamah Sayyid

Husain Thabathaba`i mengatakan: Pernyataan keesaan (Allah) dan konsisten atasnya,

adalah kebenaran pernyataan yang memiliki akar yang kuat terpelihara dari segala

perubahan, kemusnahan dan kebatilan. Yakni, Allah Yang Agung nama-Nya dan

wilayah hakikat-hakikat. Dan, (pernyataan yang haq itu) memiliki cabang-cabang

yang tumbuh tanpa rintangan yang menghalangi, berupa keyakinan-keyakinan yang

haq, akhlak yang mulia, dan amal-amal saleh, yang dengannya orang mukmin

menghidupkan kehidupan thayyibah dan membangun alam insani dengan sebenar-

benarnya. Cabang-cabang itu selaras dengan perjalanan sistem penciptaan yang

mengantarkan pada keberadaan manusia yang tampak dengan keyakinan yang haq

dan amal salehnya. (al-Mizan: 12/52).


Kemudian Allah SWT menutup ayat ini dengan menegaskan: Allah membuat

perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat, yakni

agar mereka kembali pada fitrah mereka. Sehingga mereka dapat meyakinkan bahwa

kebahagiaan itu tergantung pada keyakinan yang benar yang memberi buah sehat bagi

manusia di dua kehidupan (dunia dan akhirat).

Dengan demikian, dapat dimaklumi dari apa yang dikatakan oleh sebagian

mufasir, bahwa yang dimaksud kalimat tauhid oleh mereka tidak bertentangan dengan

apa yang telah kami katakan. Karena yang dimaksud di sini adalah tamtstsul

(pengamalan) kalimat tauhid, bukan sekedar ucapan lisan saja. Sebab Allah SWT

berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah Allah,

kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka

dan mereka tiada (pula) berduka cita. [al-Ahqaf: 13]. Maksud firman ini adalah pada

perwujudannya (tahaqquq); bahwa pernyataan rabbun Allh bukanlah sekadar

pengucapan lisan semata. Dan Allah SWT telah memberikan indikasi pada aqidah

yang benar, seperti dalam firman-Nya: Siapa saja yang menghendaki kemuliaan,

maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya naik perkataan-perkataan

yang baik, dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang

merencanakan kejahatan, bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka

akan hancur. [Faathir: 10].

Ibarat dari kalimat al-kalimu th-thayyib adalah aqidah, dan amal saleh

mengangkat aqidah tersebut.

Dan telah dimaklumi bahwa segenap aqidah yang benar pastilah memiliki

akar-akar kuat dalam hati. Ia juga memiliki cabang-cabang dan ranting-ranting dalam

kehidupan. Cabang-cabang itu mempunyai daun dan buah-buahan, maka keyakinan

kepada al-Wjib (Allah) Yang Mahaadil lagi Mahabijaksana yang membangkitkan


manusia setelah kematian pastilah akan melahirkan ketetapan dalam hidup serta

menjauhkan dari kezaliman, kesia-siaan dan kebinasaan. Dan selanjutnya, pondasi

keyakinan ini memiliki cabang, yaitu keyakinan-keyakinan lainnya yang lurus.

Sampai di sini, selesailah uraian mastal pertama bagi orang mukmin dan orang

kafir, atau bagi keimanan dan kekufuran.

Dalam ibarat lain, dikatakan pula bahwa tokoh-tokoh mulia dari orang-orang

mukmin adalah perwujudan konkret dari kalimatullah yang thayyibah. Kehidupan

mereka adalah akar keberkahan, seruan mereka mengundang gerakan. Karya, tulisan,

ungkapan, murid-murid dan sejarah mereka, bahkan kuburan mereka, semuanya

mengilhamkan, menghidupkan dan membimbing masyarakat (ke jalan yang benar).

Cuma saja, dalam permasalahan ini, konotasi ayat kurang mendukung,

mengingat Allah SWT menafsirkan al-kalimah ath-thayyibah (kalimat yang baik)

sebagaimana telah diketahui, dengan firman-Nya: Allah meneguhkan (iman) orang-

orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di

akhirat.... Yang dimaksud dengan al-qaul ats-tsbit (perkataan yang tetap) pada

ayat ini adalah al-kalimah ath-thayyibah. Sedangkan kalbu orang mukmin adalah

al-ardhu at-thayyibah (tanah yang baik), tempat akar-akar pohon tersebut melekat

kuat di dalamnya.

Tamtsl 24

Artinya: Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang

telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak)

sedikitpun [Ibrahim: 26].

Tafsir Ayat
Allah SWT memperumpamakan aqidah yang lurus dengan matsal yang telah

lalu, dan memperumpamakan aqidah yang batil dengan kontradiksi matsal

sebelumnya (tamtsil ke 23). Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Kekufuran laksana pohon yang mempunyai sifat-sifat berikut:

1- Khabiitsah; lawan dari thayibah. Khabiitsah adalah tidak baik buahnya,

atau pohon yang berbuah pahit rasanya.

2- Ijtatstsat min fauqi l-ardh (yang telah dicabut akar-akarnya dari

permukaan bumi) berlawanan dengan bagian ayat 24 ashluh tsabitun (yang

teguh akarnya). Kata ijtitsts bermakna melepaskan sesuatu dari akarnya, yakni

mengambil, mencabut ,dan melepaskan akar-akarnya dari tanah.

3- M lah min qarr (tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun); yakni pohon

itu tidak mempunyai ketetapan, sehingga sangat mudah dirobohkan dan diterbangkan

angin. Pohon itu juga tidak memiliki cabang-cabang dan ranting-ranting atau buah-

buahan.

Itulah keadaan yang dijadikan penyerupa. Adapun yang diserupakan ialah

berupa aqidah yang sesat dan kufur, yang tidak bersandar pada argumentasi dan dalil,

yang selalu diguncang kekaburan dan keraguan.

Maka sesuailah awal ayat ke-27 surat Ibrahim berikut ini dengan tamtsil

pertama (tamtsil ke-23); Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman

dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat...

Sedangkan akhir ayat ke-27 surat Ibrahim yang berbunyi; Dan Allah

menyesatkan orang-orang yang zalim dan berbuat apa yang Dia kehendaki sesuai

dengan tamtsil kedua ini (tamtsil ke-24). Yakni, Allah SWT menyesatkan Ahlulkitab

karena berpaling dari hidayah-Nya. Hal itu disebabkan oleh sikap dan perbuatan
mereka sendiri yang membatasi diri untuk tidak memanfaatkan petunjuk umum yang

diberikan kepada setiap manusia, yakni petunjuk fitrah dan seruan para nabi.

Dan pada akhir ayat 27 ini, yafalu man yasy` (berbuat apa yang Dia

kehendaki) bermakna bahwa kehendak Allah SWT berhubungan dengan menetapkan

dan menolong orang-orang mukmin, dan menyesatkan dan menghinakan orang-orang

yang zalim sesuai yang mereka lakukan. Dan kehendak Allah tidak pernah hampa

kecuali muncul dari hikmah yang tinggi.

Tamtsl 25

* *

Artinya: Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada

waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zalim:

Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun

dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan

mengikuti rasul-rasul. (Kepada mereka dikatakan): Bukankah kamu telah

bersumpah dahulu (di dunia) bahwa, sekali-kali kamu tidak akan binasa?, dan kamu

telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka

sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami berbuat terhadap mereka, dan

Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan. Dan sesungguhnya mereka telah

berbuat makar yang besar, padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan

sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap

karenanya [Ibrahim: 44-46].

Tafsir Ayat
Sesungguhnya ayat memperumpamakan keadaan kaum yang telah

menyaksikan bagaimana turunnya bagian dari azab dan bala. Mereka mengaku

menyesal atas perbuatan-perbuatan yang dibenci dan memohon penangguhan,

sehingga mereka dapat memperbaiki apa-apa yang telah mereka sia-siakan, berupa

keimanan dan amal saleh. Allah SWT berfirman: Dan berikanlah peringatan kepada

manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, yakni

menyaksikan turunnya azab di dunia dengan bukti permohonan tangguh mereka,

seperti dalam kalimat: maka berkatalah orang-orang yang zalim: Ya Tuhan kami,

beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang

sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul.

Namun Allah menolak seruan mereka, karena permohonan itu bukanlah

permohonan yang tulus. mereka dikembalikan kepada-Nya dengan melihat azab.

Lalu Allah SWT menyeru mereka: (Kepada mereka dikatakan): Bukankah

kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa, sekali-kali kamu tidak akan

binasa?.

Dengan demikian, makna ayat menjadi: Kalian telah bersumpah sebelum azab

turun, bahwa kalian tidak akan binasa dalam kesenangan sampai diazab. Dan kalian

menyangka bahwa kalian dengan memiliki daya dan upaya adalah umat yang kekal

lagi menguasai kendali semua urusan, lalu kenapa (sekarang) memohon

penangguhan? Juga dikatakan kepada mereka, dengan bentuk jawaban yang lain; dan

kamu telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri

mereka sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap

mereka dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan. Yakni kalian

telah mendiami tempat-tempat orang-orang yang mendustakan para rasul, di mana

Allah membinasakan mereka. Dan kalian mengetahui apa yang telah turun kepada
mereka berupa bala, kehancuran dan azab seperti kaum Ad dan Tsamud. Dan Kami

(Allah) telah membuat perumpamaan-perumpamaan untuk kalian, dan telah pula

memberitahu kalian tentang keadaan orang-orang terdahulu agar kalian dapat

merenunginya. Namun kalian tidak mau dinasihati.

Dari keterangan di atas, maka al-musyabbah bihi adalah keadaan umat-umat

yang binasa disebabkan perbuatan-perbuatan mereka yang lalim. Sedangkan al-

musyabbah adalah umat-umat setelah mereka, yang telah menyaksikan azab dan

memohon penangguhan untuk tidak dimatikan, sambil menyesal. Padahal, pada saat

itu sudah bukan saatnya untuk lari melepaskan diri.

Surat an-Nahl

Tamtsl 26

* *

Artinya: Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka tiada mengetahui

(kekuasaannya), satu bahagian dari rezki yang telah Kami berikan kepada mereka.

Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang telah kamu ada-

adakan. Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan). Maha suci

Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu

anak laki-laki). Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)

anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia

menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang

disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung

kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah


akhirat, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. Orang-orang yang tidak

beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah

mempunyai sifat yang maha tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana [an-Nahl: 56-60]

Tafsir Ayat

Sesungguhnya Allah SWT adalah Maha Wajib lagi Maha Kaya dari segala

sesuatu. Allah berfirman: Hai orang-orang, kalian adalah fakir kepada Allah, dan

Allahlah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji [Fathir: 15]. Allah tidak menyifati diri-

Nya dengan sesuatu yang berbau kefakiran dan kebutuhan. Tetapi kaum musyrikin

yang tidak mengenal Allah telah menyifati-Nya dengan sifat-sifat yang berkesan

kefakiran dan kebutuhan. Allah SWT menceritakan tentang ini di dalam beberapa

ayat, antara lain; Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari

tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata: Ini untuk

Allah dan ini untuk berhala-berhala kami. Maka sajian-sajian yang diperuntukkan

bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan sajian-sajian yang

diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka.

Amat buruklah ketetapan mereka itu [al-Anam: 136].

Orang-orang kafir itu salah dalam dua perkara:

1- Tanah rendah antara dua anak bukit adalah bagian milik Allah, yang

berisikan tanaman dan ternak. Orang-orang ingkar menganggap seolah Allah fakir,

lalu mereka menyisihkan bagian untuk-Nya dari tanaman yang mereka tanam dan

ternak yang mereka pelihara.

2- Ketidak-adilan dalam membagi dan menentukan. Mereka memberikan apa

yang sesungguhnya milik Allah kepada sekutu-sekutu (berhala-berhala) dan tidak


sebaliknya. Ini tiada lain melainkan kebodohan mereka akan kedudukan Allah SWT,

asma, dan sifat-Nya.

Secara detail telah diisyaratkan surat al-Anam dalam bentuk yang ringkas:

Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka tiada mengetahui

(kekuasaannya), satu bahagian dari rezki yang telah kami berikan kepada mereka.

Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang telah kamu ada-

adakan....

Seperti dikatakan sebelumnya bahwa mereka membenci anak perempuan dan

menentapkannya bagi Allah, dan mereka menyenangi anak laki-laki dan

menetapkannya untuk diri mereka. Hal ini disebutkan dalam ayat: Dan mereka

menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha suci Allah, sedang untuk mereka

sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak laki-laki). Dan yang

dimaksud makna al-maushul (sebagai kata sambung dalam nahwu) dalam potongan

ayat m yasytahuun (apa yang mereka sukai), ialah anak laki-laki.

Dengan demikian makna ayat: Orang-orang yang tidak beriman kepada

kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk, adalah kaum musyrikin yang

mengingkari hari akhirat, menyifati Allah dengan sifat-sifat yang buruk yang dicela

dan dihinakan oleh akal (sehat). Persis seperti bentuk penyifatan mereka terhadap

Allah dengan kefakiran, butuh, kekurangan, dan imkn (mungkin). Padahal Allah

SWT adalah Maha Kaya Mutlak, Dia Maha Tinggi dari disifati dengan sifat-sifat

buruk.

Sebaliknya, seorang muwahhid (yang bertauhid kepada Allah) menyifati-Nya

dengan kesempurnaan (sifat al-Kaml), antara lain: hidup, ilmu, qudrat, mulia, agung

dan perkasa. Dan Allah SWT dalam pandangan orang-orang mukmin adalah: Dialah

Allah Yang tiada tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha suci. Yang Maha sejahtera,
Yang Maha mengaruniakan keamanan, Yang Maha memelihara, Yang maha perkasa,

Yang Maha kuasa, yang memiliki segala keagungan, Maha suci Allah dari apa yang

mereka persekutukan. Dialah Allah Yang menciptakan, Yang mengadakan, Yang

membentuk rupa, Yang mempunyai al-asm`ul-husn [al-Hasyr: 23-24], Dan bagi-

Nyalah sifat yang Maha tinggi di langit dan di bumi [ar-Rum: 27] dan Dia

mempunyai al-asm`ul-husn [Thaha: 8].

Dari penjelasan di atas, muncul jawab soal yang telah dilontarkan ath-Thabarsi

dalam kitab tafsir Majma al-Bayn. Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin

bergabung antara ayat; Dan bagi-Nyalah sifat (al-matsal) yang Maha tinggi dengan

ayat; Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu (al-amtsl) bagi Allah.

Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui [an-Nahl: 74]?

Jawabannya: Yang dimaksud dharbu l-amtsl (membuat perumpamaan-

perumpamaan) di sini adalah menyifati-Nya dengan sesuatu yang menunjukkan

kefakiran dan butuh, atau menyerupakan-Nya dengan perkara-perkara material. Dan

telah disebutkan di atas bahwa kaum musyrikin telah menetapkan bagi Allah bagian

tanaman dan ternak, sebagaimana mereka juga menetapkan malaikat sebagai anak-

anak perempuan bagi-Nya; Dan mereka menjadikan malaikat-kalaikat yang mereka

itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha pemurah, sebagai orang-orang

perempuan [az-Zukhruf: 19], dan; Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara

Allah dan antara jin [ash-Shaffat: 158], serta sifat-sifat lain. Maha Suci Allah dari

semua itu. Tamstil semacam ini adalah perkara terlarang, dan inilah yang dimaksud

dalam kalimat ayat: Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu (al-amtsl)

Adapun penyifatan bagi Allah SWT dengan sesuatu yang patut seperti

keagungan, kebesaran, ilmu, qudrat dan lain sebagainya, al-Quran telah menjawab

atas itu dan tidak ada larangan di dalamnya. Dengan bukti bahwa setelah melarang
perumpamaan penyerupaan terhadap-Nya, melontarkan dua perumpamaan bagi diri-

Nya, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam tamtsil berikutnya.

Dalam jawaban disebutkan bahwa kata al-amtsl pada ayat di atas adalah

bentuk jamak dari kata al-mitsl, yang bermakna an-nidd (sepadan). Jadi ukuran

(wazn) ayat; l tadhribuu lllha l-amtsl seperti wazn ayat; l tajaluu li llhi

anddan (maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah) dalam al-

Baqarah ayat-22. Tetapi, ini makna yang jauh. Sebab kata al-matsal digunakan

bersama kata adh-dharb (menjadi kalimat dharbu l-matsl. Penerj.), bukan al-mitsl

yang bermakna sepadan, yang kata adh-dharb tidak pernah terlihat bersamanya.

Dan apa yang telah dijelaskan dalam keterangan buku ini tidak jauh dengan

ungkapan Syeikh ath-Thabarsi ketika mengatakan: Bahwa yang dimaksud al-amtsl

adalah al-asybh (keserupaan-keserupaan), yakni; janganlah memperserupakan Allah

dengan sesuatu. Dan yang dimaksud dengan al-matsalu l-al ialah al-wasfu l-

al (sifat yang tinggi), yang mana Dia Maha dahulu, Maha kuasa, Maha mengetahui

lagi Maha hidup, tiada serupa sesuatupun dengan-Nya.

Dikatakan bahwa, yang dimaksud al-matsalu l-al adalah al-matsalu l-

madhrub bi l-haqq (perumpamaan yang dibuat dengan kebenaran), dan kalimat dari

bagian ayat: l tadhribu llha bi l-amtsl ialah perumpamaan-perumpamaan yang

dibuat dengan kebatilan (Majma al-Bayan: 3/367).

Di akhir pembahasan ini, disinggung pula satu hal, bahwa firman Allah SWT:

Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang

buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha

Perkasa lagi Maha Bijaksana yang dimasukkan dalam kategori al-amtsl al-

qur`niyah belum diterima kebenarannya. Sebab, ayat ini menjelaskan penafian


penyifatan-Nya dengan sifat-sifat yang cela dan buruk, dan menetapkan penyifatan

dengan sifat-sifat yang agung. Karena itu, manakah tamtsil(nya)?

Tetapi dikatakan, bahwa penyerupaan diangkat dari kumpulan sifat yang

dilontarkan oleh kaum musyrikin. Di mana mereka menyerupakan Allah dengan

manusia yang amat butuh pada tanaman dan ternak, punya anak perempuan dan

berhubungan dengan jin dan sifat-sifat buruk lainnya. Karena itu ayat ini tidak

tergolong tamtsil yang diistilahkan. Atau, dapat dikatakan, pada hakikatnya adalah

menolak tamtsil, atau mengarahkan orang mukmin pada penyifatan-Nya dengan

Asm`u l-husn dan ash-shiftu l-uly (sifat-sifat agung).

Tamtsl 27

Artinya: Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat

memberikan rezki kepada mereka sedikitpun dari langit dan bumi, dan tidak berkuasa

(sedikit juapun). Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah.

Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Allah membuat

perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat

bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari

kamu, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara

terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi

kebanyakan mereka tidak mengetahui [an-Nahl: 73-75].

Tafsir Ayat

Allah SWT mengungkap keburukan perbuatan kaum musyrikin, yaitu

menyembah selain Allah Yang Maha Esa. Sembahan-sembahan mereka tidak


memberi rezki, manfaat dan madharrat kepada mereka. Bagaimana mereka

menyembahnya sedangkan (berhala-berhala) itu tak ubahnya benda mati yang tidak

dapat diharapkan kebaikan dan keburukan darinya; sungguh, betapa bodohnya

mereka. Sesungguhnya, setiap ibadah hanyalah hak Tuhan, Sang pemberi rezki dan

penjawab doa!?

Allah SWT juga memperumpamakan sembahan-sembahan orang-orang

musyrik dan al-Haqq yang patut disembah dengan tamtsil berikut ini:

Misalkan, yang termiliki (mamluuk) yang tidak kuasa atas segala sesuatu dan

tidak memiliki sesuatu bahkan dirinya adalah seutuhnya sebagai manifestasi kefakiran

dan kebutuhan. Sedangkan pemilik (mlik) ialah memiliki rezki dan kuasa atas

menggunakan seluruh miliknya, sehingga ia (si pemilik) dapat memanfaatkan dan

memberikan miliknya sekehendaknya. Nah, apakah dua karakter ini sama? Tentu saja,

tidak!

Dengan misal itu, tuhan-tuhan palsu mereka diumpamakan seperti seorang

budak sahaya yang dimiliki, bukan pemilik apapun. Dan mengumpamakan Allah

seperti pemilik kekayaan (kenikmatan), yang kuasa mendermakan dan menggunakan

kekayaan itu sekehendaknya.

Yang demikian ini ialah karena sifat al-wujud al-imkni (yakni selain Allah)

adalah kefakiran dan kebutuhan seutuhnya, yang tidak memiliki sesuatu dan tidak

kuasa atas sesuatu pun.

Sedangkan Allah SWT, Dialah Yang Terpuji dengan segala puji, dan Pemberi

Nikmat kepada segala sesuatu. Dialah al-Mlik, Sang Pemilik ciptaan, rezki, rahmat,

ampunan, ihsn dan kenikmatan. Bagi-Nya segala pujian yang indah. Dialah Tuhan

Yang Memelihara (ar-Rabb). Yang selain-Nya adalah hamba yang dipelihara (al-

marbuub). Lalu, dari keduanya, manakah yang patut disembah dan ditunduki?
Allah SWT membatasi pujian hanya untuk-Nya; segala puji bagi Allah, yakni

bukan bagi selain-Nya. Jadi, pujian hanyalah milik Allah SWT. Bersamaan dengan itu

kita dapat dibenarkan memuji kepada yang lain atas perbuatan-perbuatan ikhtiyri

yang terpuji. Kita memuji si pemberi atas pemberian-Nya, memuji si pengajar karena

pengajarannya, memuji si ayah atas didikan dan bimbingan terhadap anak-anaknya.

Bentuk keseluruhan pujian mereka itu adalah pujian majazi. Sebab, apapun

upaya si pemberi atau si pengajar atau si ayah tidak pernah sebagai pemilik pujian.

Sesungguhnya pujian hanyalah milik Allah SWT, Yang Maha Kuasa atas perbuatan-

perbuatan terpuji mereka. Maka pujian atas mereka kembali ke pujian-Nya. Karena

itulah benar ketika kita mengatakan, bahwa pujian hanyalah kepada Allah, bukan

kepada selain-Nya. Sehingga benarlah firman Allah dalam ayat di atas: Segala puji

hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui, yakni syukur bagi

Allah atas segala nikmat-Nya. Ath-Thabarsi berkata: Di dalamnya terdapat indikasi

bahwa dari-Nya lah segala kenikmatan (Majm al-Bayan: 3/375).

Tamtsl 28

Artinya: Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang

bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke

mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu

kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan,

dan dia berada pula di atas jalan yang lurus? [an-Nahl: 76].

Tafsir Ayat

Tamtsil yang lalu menjelaskan kedudukan tuhan-tuhan palsu berkaitan dengan

ibadah dan ketundukan, dan kedudukan Allah SWT atas segala sesuatu. Pada tamtsil
ayat ini menjelaskan tentang tindakan penyembah patung-patung berhala dan tindakan

orang-orang mukmin dan mereka yang tulus. Tindakan golongan pertama (kaum

musyrik) diserupakan dengan hamba sahaya yang bisu, yang tidak kuasa atas

sesuatupun. Dan tindakan golongan kedua (kaum mukmin) dan orang merdeka yang

menyerukan keadilan dan berada di atas jalan yang lurus.

Rincian sifat-sifat seorang hamba sahaya itu sebagai berikut ini:

1- Bisu, tidak bisa bicara dan sudah tentu tidak bisa mendengar, sebagaimana

kelaziman antara bisu dan tidak mendengar; bahkan bisu adalah akibat tuli. Bilamana

alat pendengaran tidak berfungsi maka alat bicara juga tidak berfungsi. Jika seseorang

hilang pendengaran maka ia tidak mampu belajar bahasa.

2- Lemah, tidak kuasa atas sesuatupun. Dengan adanya sifat ini, boleh

dikatakan, dia juga tidak dapat melihat. Sebab, kalau dia melihat maka tidak dapat

disebut tidak kuasa atas sesuatupun.

3- Kalimat kallun al maulhu (beban atas penanggungnya), bermakna

begitu berat dan susah atas si tuan yang mengatur urusannya.

4- Kalimat ainm yuwajjihuhu l ya`ti bi khairin (ke mana saja dia disuruh

oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun), karena

tiadanya kemampuan untuk membawa kebaikan. Maka ia tidak memberi manfaat

kepada tuannya, seandainya dia diutus pada sebuah perkara, ia tidak bisa kembali

dengan kebaikan.

Dan berikut ini dua sifat bagi orang yang merdeka: (1)- Menyeru keadilan.

Dan (2)- berada di atas jalan yang lurus.

Yang pertama, ia (insan merdeka) mengungkapkan hakikat dirinya sebagai

yang dapat berbicara, berkeinginan kuat, dan pejuang gigih yang ingin memperbaiki

masyarakat. Ini semua merupakan kumpulan sifat-sifat mulia. Maka, ia tidak bisu,
tidak pengecut, tidak lemah, dan tidak mudah putus asa untuk memperbaiki umat dan

masyarakat. Jika ia menyeru keadilan, ia memahami keadilan (pengamal keadilan),

sehingga ia menjadi seorang yang stabil dalam hidupnya, ibadah dan pergaulannya,

dan menjadikan keadilan sebagai rumus kehidupan.

Yang kedua, ia berada di atas jalan yang lurus, yakni berperilaku hidup dengan

laku saleh dan meniti di atas agama yang lurus.

Matsal ini menjelaskan tentang sikap orang mukmin dan sikap orang kafir

terhadap hidayah Ilahiyah. Allah SWT memberi isyarat pada inti tamtsil ini dalam

ayat lain: maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih

berhak diikuti atau orang-orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila)

diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu

mengambil keputusan [Yunus: 35].

Tafsir ini berdasar pada suatu pandangan bahwa perumpamaan ini hendak

menjelaskan sikap orang mukmin dan sikap orang kafir, sementara di dalamnya

terdapat kemungkinan lain; bahwa tamtsil ini adalah penekanan terhadap tamtsil yang

lalu, yang menjelaskan kedudukan tuhan-tuhan palsu dan kedudukan Tuhan yang

sesungguhnya.

Tamtsl 29

Artinya: Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan

janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannnya,

sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).

Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu
seperti seorang perempuan yang menguraikan benang yang sudah dipintalnya

dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu

sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih

banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu

dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa

yang dahulu kamu perselisihkan itu [an-Nahl: 91-92].

Tafsir Ayat

At-taukiid ialah at-tasydiid atau penekanan. Dikatakan aukadah aqduka

{perjanjianmu menguatkannya (syaddahu)} ialah bahasa penduduk Hijaz. Al-Inkts

adalah al-inqdh atau pembatalan-pembatalan, penggagalan-penggagalan; dan tiap

sesuatu yang menggagalkan setelah pembukaan. Atau mengurai (kembali) tali atau

benang.

Ad-dakhl berarti yang dimasukkan dalam sesuatu untuk kerusakan. Mungkin

kata ad-dakhl digunakan untuk penipuan. Sebenarnya kata ini digunakan untuk

pembatalan perjanjian, karena ia berarti masuk ke dalam untuk meninggalkan

kelanggengan. Menurut Abu Ubaidah, tiap perkara yang tidak pernah benar itulah ad-

dakhl. Dan setiap sesuatu yang dimasuki aib, disebut madkhuul (yang dirasuki).

Demikian tafsir kata dan kalimat dalam ayat.

Adapun mengenai turunnya ayat, dinukil dari al-Kalbi bahwa: seorang

perempuan pandir dari Quraisy memintal benang bersama beberapa tetangga

perempuannya hingga tengah hari. Kemudian ia menyuruh teman-temannya untuk

membatalkan pemintalan mereka, dan begitulah kebiasaan yang dilakukannya.

Namanya Raithah binti Amr bin Kab bin Sad bin Tamim bin Murrah, dan ia

dijuluki Farq` Makkah (al-Mizan: 12/335).


Sesungguhnya keharusan melaksanakan perjanjian adalah termasuk perkara

fithriyah yang atasnya manusia diciptakan. Karena itu, kita bisa melihat seorang ayah

yang menjanjikan sesuatu kepada anaknya lalu ia tidak menepatinya, maka si anak

(bisa-bisa) akan menentang ayahnya. Ini menyingkapkan bahwa kewajiban

melaksanakan akad dan perjanjian merupakan perkara fitrah yang atasnya manusia

diciptakan. Oleh karena itu, kewajiban melaksanakannya menjadi salah satu perbuatan

bijak dan berakhlak, yang disepakati oleh semua yang berakal.

Tidak sedikit ayat yang mendukung kewajiban melaksanakan perjanjian,

khususnya jika perjanjian itu dilakukan kepada Allah. Allah SWT berfirman: Dan

penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya [al-

Isra: 34].

Juga, Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya)

dan janji-janjinya [al-Mu`minun: 8].

Dan, Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku

kepadamu [al-Baqarah: 40].

Sedangkan perintah dan larangan melaksanakan sesuatu, Allah SWT

menyatakannya sebagai berikut:

1- Allah berfirman: Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu

berjanji. Perintah menepati perjanjian dengan Allah, yakni perjanjian-perjanjian

yang diputuskan oleh manusia bersama Allah. Misalnya, perjanjian yang disepakati

bersama Nabi saw dan para Imam as. Semua itu adalah perjanjian-perjanjian ilahiyah

dan baiat di jalan ketaatan kepada Allah SWT.

2- Allah juga berfirman: dan janganlah kamu membatalkan sumpah-

sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannnya. Kata aimn (sumpah-sumpah) dalam

ayat ini adalah bentuk jamak dari kata yamiin.


Ada perbedaan di dalam ayat yang sedang kita bahas ini. Yang tampak pada

ayat pertama ialah pengkhususan perjanjian yang dipastikannya (yakni uhuud)

bersama Allah, seperti dikatakan: Telah kubuat perjanjian dengan Allah supaya aku

melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Atau, telah kubuat perjanjian dengan

Allah agar aku tidak melakukannya.

Sedangkan yang tampak pada ayat kedua, bahwa yang dimaksud sumpah ialah

yang dilakukan dalam bermuamalah dengan hamba-hamba Allah.

Dengan memperhatikan dua kalimat ayat di atas dapat dimaklumi bahwa Allah

SWT menekankan pengamalan semua perjanjian yang ditetapkan atas nama Allah

SWT, baik kepada Allah maupun kepada makhluk-Nya (manusia).

Kemudian Allah mengaitkan sumpah-sumpah (al-aimn) dengan mengatakan:

bada taukiidih (setelah mengokohkan sumpah-sumpah). Ini disebabkan

keberadaan sumpah-sumpah itu ada dua macam: Pertama, bersumpah dengan tanpa

niat sungguh-sungguh dalam hati dan penekanan, seperti biasanya sumpah seseorang

dengan mengatakan; tallhi, wallhi.

Kedua, adalah sumpah yang ditegaskan. Yakni penekanan sumpah dengan niat

sungguh-sungguh dan berjanji atas sumpah itu. Dalam surat al-Maidah ayat-89

ditegaskan: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak

dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-

sumpah yang kamu sengaja.

Lalu Allah SWT menerangkan sebab pengharaman membatalkan perjanjian,

dalam firman-Nya: sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap

sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Maksudnya, kalian telah menetapkan Allah sebagai penanggung penepatan janji,


maka bagi siapa saja yang bersumpah dengan atau atas nama Allah, maka seolah dia

membebaskan Allah atas tanggungan menepati janji.

Orang yang bersumpah ketika mengatakan: Demi Allah, sungguh aku akan

melakukan demikian atau akan meninggalkan demikian, maka ia telah menegaskan

apa yang telah ia sumpahkan semacam penegasan kepada Allah, bahwa ia telah

menjadikan (dirinya) sebagai penjaminan atasnya dalam menepati sumpah yang telah

ia ikatkan. Jika sumpah itu dilanggar dan tidak ditepati, maka si penanggung janji

harus menunaikan perjanjiannya. Dan setiap pelanggaran sumpah itu berarti

penghinaan dan peremehan di hadapan kemuliaan.

Di dalam ayat, Allah SWT melukiskan perbuatan melanggar janji itu seperti

seorang perempuan yang mengurai benang setelah ia memintalnya dengan kuat, lalu

benang cerai berai. Seperti yang disebutkan: ....dan janganlah kamu seperti seorang

perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi

cerai berai kembali, mengisyaratkan pada seorang perempuan yang telah diceritakan

di atas dan menerangkan apa yang diperbuatnya, yaitu ketika wol dan benang telah

dipintal lalu ia uraikan (kembali) apa yang telah ia pintal itu. Sedangkan ungkapan

hamq` (orang-orang pandir) menunjukkan keadaan orang yang telah memastikan

perjanjian dengan Allah atas nama-Nya, lalu ia melanggarnya. Maka perbuatan itu

seperti perbuatan perempuan tersebut, bahkan lebih buruk lagi ketika menunjukkan

atas jatuhnya kepribadian dan martabatnya.

Allah SWT juga menjelaskan batasan bagi pelanggaran sumpah. Allah

menyatakan: pertama, si pelanggar mengambil sumpah sebagai alat untuk

muslihatnya. Dan kedua, di balik pelanggaran janji dan sumpahnya ia menginginkan

manfaat lebih besar buat dirinya dan demi kepentingannya atas perjanjian itu. Allah

SWT berfirman: kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di


antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari

golongan yang lain.

Kata arb dalam ayat ini berasal dari kata rib yang berarti tambah. Jadi, si

pelanggar mengambil sumpahnya untuk suatu muslihat. Ia mengambil keuntungan

tertentu dengan jalan melanggar perjanjian dan dengan tidak melaksanakan apa yang

telah dijanjikan. Sebenarnya, si pelanggar (janji atau sumpah) telah melalaikan ujian

Allah, sebagaimana firman-Nya; Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan

hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang

dahulu kamu perselisihkan itu.

Artinya: demikian itu adalah ujian ilahi yang Allah ujikan kepada kalian. Dan

sungguh Dia akan menjelaskan pada hari kiamat kepada kalian apa yang telah kalian

perselisihkan. Ketika itu, kalian akan mengetahui hakikat atau kebenaran yang kalian

perbuat di hari itu, yaitu tamak atas dunia dan menempuh jalan kebatilan untuk

menjauhi dan membantah kebenaran. Lalu, menjadi jelas bagi kalian pada hari itu,

siapa yang sesat dan siapa yang mendapat petunjuk (al-Mizan: 12/336).

Tamtsl 30

Artinya: Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri

yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari

segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu

Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa

yang selalu mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang

rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka
dimusnahkan oleh azab, dan mereka adalah orang-orang yang zalim [an-Nahl: 112-

113].

Tafsir Ayat

Kata raghad, yang dikatakan dalam aisy raghad dan raghiid bermakna hidup

yang baik dan lapang. Kalimat dalam ayat, ...wa kul minh raghadan... berarti

...dan makanlah makan-makanannya yang banyak lagi baik... [al-Baqarah: 35].

Allah SWT menerangkan sebuah negeri yang maju dengan tiga sifat:

1- minah; yakni negeri yang aman. Negeri yang memberikan rasa aman bagi

penghuninya, tidak meresahkan mereka dan tidak mengajak mereka membunuh

nyawa, menculik anak-anak dan merampas harta. Juga, negeri yang aman dari

bencana-bencana alam (karena ulah manusia, peny.), seperti banjir, longsor, dan lain-

lain.

2- Muthmainnah; yakni negeri yang nyaman dan tenteram bagi penghuninya. Mereka

tidak perlu berpindah dari negerinya karena rasa takut dan kesulitan. Sebenarnya,

masalah migrasi merupakan akibat tiadanya ketetapan. Orang meninggalkan

kampungnya, menempuh sahara, mengarungi samudera dan memikul beban yang

berat adalah karena tiadanya kepercayaan akan hidup yang baik dan lapang di

negerinya, dan ketenangan merupakan salah satu jaminan ketetapan dan rasa aman.

3- Rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat. Kata ganti

(dhamir) ya`tiih pada kalimat kembali pada negeri dalam ayat bermakna

kehadiran apa-apa yang berada di sekitar negeri. Dalil atas makna ini adalah kisah

tentang putra Yaqub; Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ,

dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-

orang yang benar [Yusuf: 82]. Dan yang dimaksud negeri di sini adalah Mesir,

negeri yang besar dan maju waktu itu.


Jadi, negeri (qaryah) dalam ayat di atas ialah yang ketika itu hadir apa-apa

yang berada di sekitarnya distrik-distrik, seperti berbagai komoditas yang ditanam dan

dipanen, yang datang ke negeri itu untuk diniagakan. Itu berarti, tiga sifat tersebut

mencerminkan kenikmatan-kenikmatan materi yang melimpah, yang dikaruniakan

Allah bagi negeri itu.

Kemudian Allah SWT mengisyaratkan pada kenikmatan lain atas negeri itu

berupa kenikmatan spiritual. Yaitu dengan kehadiran seorang rasul pada mereka;

sebagaimana diisyaratkan dalam ayat kedua; Dan sesungguhnya telah datang kepada

mereka seorang rasul dari mereka sendiri.

Tetapi, di hadapan kenikmatan-kenikmatan lahir dan batin ini, mereka

mengganti syukur dengan kufur kepada Allah. Kenikmatan batin atau nikmat

spiritual yang mereka dustakan, adalah seorang rasul sebagaimana ketegasan ayat

kedua. Sedangkan kenikmatan lahir atau material tidak tampak dibicarakan dalam

ayat. Dan banyak riwayat yang mengungkapkan bentuk pengkufuran nikmat tersebut.

Al-Ayyasyi meriwayatkan dari Hafsh bin Salim; bahwa Imam Shadiq as

berkata: Ada satu kaum di Bani Israil; didatangkan kepada mereka makanan sampai

mereka menjadikan darinya (makanan itu) patung-patung di kota-kota yang berada di

negeri mereka. Mereka benar-benar menikmatinya. Lalu Allah membiarkan keadaan

itu hingga mereka merasa perlu pada patung-patung itu. mereka pun menjualnya dan

memakannya, inilah firman Allah: Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan

(dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datang

kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari

nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan

dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat (Tafsir Nur ats-

Tsaqalain: 3/91, hadis 247).


Allah SWT memberi hukuman kepada orang-orang yang mengingkari nikmat-

nikmat material dan spiritual; seperti diisyaratkan-Nya dalam dua ayat ini. Pertama:

Karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan,

disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan kedua: Karena itu mereka

dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim.

Pada ayat pertama, mereka dibalas dengan rasa lapar dan ketakutan karena

tidak mensyukuri nikmat. Di sini muncul sebuah pertanyaan yang kerap diajukan

sejak dahulu; yaitu, pada ayat pertama Allah SWT menggabung antara kata dzauq

(rasa) dan libs (pakaian): karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian

kelaparan. Padahal penggunaan yang cocok bagi kata dzauq adalah kata tham

dengan mengatakan; fa adzqah llh thama l-juu (maka Allah membuatnya

merasakan rasa kelaparan). Sementara itu, kata libs digunakan dalam kalimat; fa

kashumu llh libs l-juu (maka Allah memakaikan mereka pakaian kelaparan).

Lalu, mengapa berpindah dari dua kalimat ayat tersebut ke ayat ketiga, yang tiada

hubungannya menurut kaca mata lahir yaitu menggabungkan dua kata tersebut

(dzauq dan libs)?

Jawabannya adalah, untuk membuat arah yang jelas dari dua kata tersebut.

Penggunaan kata libs adalah untuk menjelaskan cakupan rasa lapar dan takut bagi

segenap sisi-sisi kehidupan mereka. Seolah lapar dan takut menguasai mereka dari

segala sisi seperti pakaian yang meliputi atau menutupi tubuh. Karena itu ada ayat

menyatakan: libsa l-juui wa l-khauf (pakaian kelaparan dan ketakutan), bukan

mengatakan: al-juu wa l-khauf, dikarenakan hilang maknanya ketika lepas dari

kata libs.

Sedangkan penggunaan kata dzauq ialah untuk menjelaskan keadaan rasa lapar

yang sangat. Manusia sangat dekat dengan perasaan terhadap makanan. Dan kata
dzauq (merasa) lapar digunakan ketika seseorang telah sampai pada kelaparan dan

kehausan serta ketakutan yang dirasakannya dari dalam dirinya. Oleh karena itu

dikatakan: fa adzqah llh libs l-juu wa l-khauf (maka Allah merasakan kepada

mereka pakaian kelaparan dan ketakutan).

Demikianlah tafsiran untuk ayat di atas. Adapun makna negeri dengan tiga

sifat tersebut, kita telah mengetahui kekhususannya melalui riwayat dan hadis.

Mungkin saja, yang dimaksud negari adalah penduduk Mekah, karena waktu

itu mereka berada dalam keadaan aman, tenteram dan penuh kemewahan. Kemudian

Allah memberi nikmat kepada mereka dengan nikmat yang agung, yaitu Muhammad

saw. Lalu mereka tidak mengimaninya dan (bahkan) menyakitinya. Maka, kemudian

mereka akan ditimpa bala.

Para mufasir berkata: Allah memberi azab kepada mereka dengan kelaparan

(al-juu) selama tujuh tahun, sampai mereka memakan bangkai dan tulang. Sedangkan

ketakutan (al-khauf), ialah ketika Nabi Muhammad saw mengutus pasukan perang

kepada mereka, tiba-tiba mereka dalam ketakutan.

Kemungkinan-kemungkinan ini didukung oleh ayat tentang tanah Mekkah,

yang berbunyi: Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam

daerah haram yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala

macam (tumbuahn-tumbuhan) [al-Qashash: 57].

Surat al-Isra

Tamtsl 31

* :

Artinya: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan

janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan
menyesal. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia

kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha

Melihat akan hamba-hamba-Nya [al-Isra: 29-30].

Tafsir Ayat

Al-ghull artinya belenggu (di tangan atau di leher). Kata jamaknya adalah

aghll. Dan makna ayat maghluulatan il unuqika ialah (lehermu) terikat olehnya.

Al-hasrah adalah sedih karena kehilangan sesuatu dan menyesal atasnya.

Menjadi mahsuuran (menyesal) adalah athaf tafsir bagi kata maluuman

(tercela). Akan tetapi kata hasrah, dalam bahasa, berarti menyingkap (perkara) yang

tertutup atau tidak jelas oleh sesuatu. Karena itu kata hasrah bermakna yang terbuka.

Ayat ini memuat tamtsil bagi pelitnya orang kikir dan royalnya orang boros,

dan ada kesederhanaan yang letaknya di antara pemborosan dan terlampau hemat.

Pelitnya orang bakhil serupa dengan orang yang tangannya terbelenggu pada

lehernya, tidak kuasa memberi dan menyumbang. Ini adalah sebuah penyerupaan

untuk puncak mublaghah dalam pelarangan akan pemborosan dan pengetatan

(harta). Demikian pula dengan pengeluaran orang boros (musrif) atas segala miliknya

yang serupa dengan orang yang mengobral tangannya sampai tak tersisa sesuatu

sedikitpun di tangannya. Inilah kiasan bagi pemborosan.

Kemudian yang ketiga, berupa kandungan lain dalam ayat meskipun tidak

eksplisit termaktub; yakni penghematan di dalam pengeluaran. Hal ini diisyaratkan

dalam ayat lain; Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka

tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di

tengah-tengah antara demikian [al-Furqan: 67].

Di dalam sebab turunnya (sabab nuzul) ayat terdapat penjelasan tentang

makna. Ath-Thabari meriwayatkan; tentang seorang perempuan yang mengirim


anaknya kepada Rasulullah saw. Ia mengatakan: Katakan kepadanya bahwa ibuku

meminta sebuah baju besi kepada Anda! Jika dia mengatakan: (Tunggulah) sampai

datang sesuatu kepada kami, maka katakan kepadanya: Bahwa dia (ibuku) meminta

pakaian kemeja Anda.

Lalu datanglah ia (anak itu) dan mengatakan apa yang telah dikatakan (ibunya)

kepada Rasulullah saw. Maka Rasul pun melepaskan kemeja beliau lalu memberikan

kepadanya. Dan turunlah ayat di atas.

Sebagaimana pernah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw tinggal di suatu

rumah yang tidak ada satu pakaianpun yang dapat beliau pakai, dan beliau tidak dapat

keluar rumah untuk salat, hingga orang-orang kafir pun mencela beliau. Dan mereka

berkata: Muhammad (kini) sibuk dengan tidur dan lalai dari salat.

( Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia

kehendaki dan menyempitkannya); yakni sesekali memperluas dan sesekali

mempersempit, menurut maslahatnya bersama keluasan khazanah kekayaan-Nya

(Majm al-Bayan: 3/412).

Al-Kulaini meriwayatkan dari Abdul Malik bin Amr al-Ahul, bahwa Abu

Abdillah (Imam Jafar ash-Shadiq as) melantunkan ayat ini: Dan orang-orang yang

apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir,

dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian.

Abu Abdillah mengambil kerikil dan menggenggamnya dengan erat di tangan

sambil berkata: Inilah kekikiran (iqtr) yang disebut Allah dalam kitab-Nya.

Kemudian beliau menggenggam segenggam pasir yang lain, lalu melepaskan telapak

tangannya selebar-lebarnya. Dan berkata: Inilah pemborosan (isrf). Kemudian

beliau menggenggam segenggam lagi dan melepaskan sebagiannya, seraya berkata:

inilah qawm (tengah-tengah) (al-Burhan fi Tafsir al-Quran: 3/173).


Demikianlah keterangan masalah ini dengan merujuk pada penafsiran ayat.

Dastur Ilahi diambil melalui sunnatullah di alam ciptaan, sedangkan sunnatullah

berlaku atas adanya saling hubungan antara anggota atau bagian alam. Dan setiap

komponen di alam ini mengeluarkan apa yang lebih dari yang dibutuhkan kepada

anggota alam lain yang membutuhkannya. Matahari mengirim 450 juta ton dari

jisimnya dalam bentuk sinar panas (yang mengandung ultra violet) ke sekitar penjuru

tata surya, dan bumi memperoleh darinya saham yang terbatas sehingga sinar dan

panasnya berubah menjadi materi-materi makanan yang diserap oleh tumbuh-

tumbuhan, binatang dan seluruh isi bumi. Dengan itu, pepohonan dan bunga-bunga

dapat tumbuh dengan baik.

Sesungguhnya lebah menyerap sari-sari bunga, mengambil manfaat darinya

menurut kadar kebutuhannya, dan mengeluarkan yang selebihnya berupa madu.

Demikianlah, semua itu menunjukkan adanya hubungan saling membantu, atau

menyumbangkan, sisa yang lebih dari kebutuhannya. Ini merupakan sunnatullah yang

dengannya tegaklah kehidupan insani.

Islam menentukan infak dan menghinakan ifrth dan tafrith (berlebih-lebihan

dan melampaui batas), melarang kekikiran sebagaimana (pula) melarang pemborosan

dalam pengeluaran.

Sunnah seperti ini tampaknya tidak hanya dalam urusan pengeluaran

kekayaan, tetapi juga dalam urusan kehidupan manusia lainnya. Allah SWT

mengabarkan bagaimana Luqman al-Hakim menasihati putranya: Dan

sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya

seburuk-buruknya suara ialah suara keledai [Luqman: 19].

Bahkan, sifat dan sikap sederhana merupakan fitrah yang tampak dalam

perasaan manusia. Rasulullah saw menegaskan bahwa alamat lahiriyah orang mukmin
adalah cinta (kepada) Ali bin Abi Thalib as (lihat, Hilyatu al-Auliya: 1/86). Dan Imam

Ali bin Abi Thalib as berkata: Hancurlah karenaku dua (orang): Pertama, pecinta

yang gila dan kedua, pembenci yang anti (Bihar al-Anwar: 34/307).

Makna-makna mendalam yang disebutkan dalam ayat dan riwayat di atas

menunjukkan dengan jelas bahwa dalam ajaran Islam, kesederhanaan dalam hidup

merupakan pondasi yang utama. Itulah sebabnya mengapa umat Islam juga disebut

dengan al-ummat al-wasath, dalam firman Allah: Dan demikian (pula) Kami telah

menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil agar kamu menjadi saksi atas

(perbuatan) manusia [al-Baqarah: 143].

Berikut ini ungkapan Imam Ali as tentang itidl (kesederhaan, tengah-

tengah): Imam datang mengunjungi seorang sahabatnya (ke rumahnya), al-Al` bin

Ziyad al-Haritsi. Ketika melihat besar rumah bin Ziyad beliau berkata: Apa yang

telah engkau perbuat dengan rumah ini di dunia, padahal engkau lebih

memerlukannya di akhirat? Apabila hendak membawanya ke akhirat, maka kamu

dapat menerima (menyambut) tamu sebaik-baiknya, menyambung tali persaudaraan,

dan menjalankan semua kewajiban sesuai nilai besarnya. Dengan jalan itu kamu dapat

membawanya ke akhirat.

Al-Al` berkata: Wahai Amirul mukminin, saya mengadu kepada Anda

tentang saudaraku Ashim bin Ziyad.

Ada apa dengannya?, tanya Imam.

Ia memakai baju kasar dan menjauhi dunia jawabnya.

Imam berkata: Hadapkan dia kepadaku.

Ketika ia (Ashim) datang, Imam berkata: Hai musuh dirimu sendiri, Iblis

telah menyesatkanmu! Apakah kamu tidak merasa kasihan kepada istri dan anakmu?

Apakah kamu percaya bahwa apabila kamu mengenakan pakaian yang dihalalkan
Allah bagimu maka Dia lalu membencimu? Kamu terlalu tidak penting bagi Allah

untuk hal itu. Ia berkata: Wahai Amirul mukminin, Anda pun mengenakan pakaian

kasar dan makan makanan kasar dan kering!.

Imam berkata: Celakalah engkau, aku tidak sepertimu! Sesungguhnya Allah

SWT telah mewajibkan pada setiap pemimpin yang sesungguhnya agar mereka

memelihara dan mengukur dirinya pada rakyat yang rendah, sehingga orang miskin

tidak menangis karena kemiskinannya (Nahjul Balaghah: 209).

Surat al-Kahfi

Tamtsl 32

* :


*

*

* *

* *

Artinya: Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki,

Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur

yang Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma, dan di antara kedua

kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buah, dan kebun

itu tiada kurang buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua

kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan besar. Maka ia berkata kepada kawannya

(yang mukmin) ketika sedang bertemu: Hartaku lebih banyak daripada hartamu,
dan pengikut-pengikutku lebih kuat. Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim

terhadap dirinya sendiri; ia berkata: Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-

lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku

dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih

baik daripada kebun-kebun ini. Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya:

Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian

dari setetes air mani lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?

Tetapi aku percaya bahwa Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan

seorangpun dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu

memasuki kebunmu (dengan berkata) masya Allah tidak ada kekuatan kecuali dengan

(pertolongan) Allah? Jika kamu anggap aku lebih kurang daripada kamu dalam hal

harta dan anak, maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun)

yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan

ketentuan (petir) dari langit kepada kebun-kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi

tanah yang licin; atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu

tidak dapat menemukannya lagi. Dan, harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia

membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah

belanjakan untuk itu (selama ini), sedang pohon-pohon anggur itu roboh bersama

para-paranya dan dia berkata: Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan

seorangpun dengan Tuhanku. Dan tidak ada bagi dia segolonganpun yang akan

menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya [al-Kahfi:

32-43].

Tafsir Ayat

Kata al-haff; dalam haffa l-qaumu bi sy-syai` (kaum mengelilingi sesuatu) dan

haffu sy-syai` (sisi sesuatu) berarti (pada) dua sisinya, seolah keduanya mengelilingi
sesuatu. Maka ayat; wa hafafnhum, bermakna Kami jadikan pohon kurma

mengelilingi keduanya, dan dalam ayat; m azhunnu an tabiidah; kata bda (-

yabiidu-baydan) sy-syai` berarti terpisah-pisah di padang sahara.

Kata husbnan, makna asli kata husbn, artinya: panah yang dilemparkan.

Husbn adalah sesuatu yang diperhitungkan (atau siksaan), atau dibalas sesuai

dengannya. Api dan angin menjadi salah satu siksaan itu. Dalam hadis tentang angin

Nabi Muhammad saw bersabda: Ya Allah, janganlah Engkau jadikan angin sebagai

suatu azab dan siksaan (husbnan).

Kata Ash-shaiid, dipakai untuk arti permukaan tanah. Kata zalaqan berarti

licin, lahan yang tidak ada tumbuhan di situ. Kata ini bersinonim dengan kata shald

(yang licin) seperti dalam ayat: fa tarakahu shaldan (lalu menjadilah ia bersedih

(tidak bertanah) [al-Baqarah: 264].

Demikianlah uraian dengan merujuk pada kosa kata ayat.

Adapun penjelasan tafsir ayatnya adalah: Ayat ini merupakan sebuah tamtsil

bagi orang mukmin dan orang kafir yang mengingkari kehidupan akhirat. Yang

mukmin bersandar pada keluasan rahmat-Nya, dan yang kafir berpegang pada dunia

dan merasa nyaman dengannya. Tamtsil berikut akan lebih memperjelasnya:

Sebagian orang kafir membanggakan harta dan para pendukungnya atas kaum

fakir dan miskin dari muslimin. Allah SWT membuat perumpamaan, untuk

menjelaskan apa yang mereka banggakan itu, bahwa kekayaan sementara waktu tiada

berharga, dan itu akan lenyap dengan sia-sia. Yang harus dibanggakan ialah

penyerahan diri manusia dan ketaatannya kepada Allah SWT.

Hakikat tamtsil tersebut, bahwa dua orang lelaki bersaudara, yang ayah

mereka meninggal dunia dan meninggalkan harta yang melimpah. Lalu salah satu dari

mereka berdua mengambil hak (waris) dari ayahnya, ia seorang mukmin yang
mendekatkan diri kepada Allah dengan berbuat ihsn dan shadaqah. Sementara orang

kedua yang juga mengambil haknya, dengan warisan itu hidup dalam limpahan harta

di antara dua taman. Lalu saudara yang kaya itu membanggakan diri terhadap

saudaranya yang fakir dengan mengatakan: Hartaku lebih banyak daripada hartamu

dan pengikut-pengikutku lebih kuat. Dia memiliki dua kebun anggur dan pohon

kurma yang mengelilingi kedua kebun itu, dan di antara dua kebun itu terdapat

banyak tanaman. Hasratnya terpaut dengan dua kebun yang menghasilkan buah-

buahan yang bagus dan tidak berkurang sedikitpun itu. Di celah-celah kebun terdapat

sungai yang airnya meluap, dan pemilik dua kebun itu merasa senang dan bangga

akan banyaknya air dan dukungan.

Setiap kali memasuki kebunnya, ia berkata: Aku tidak pernah percaya bahwa

kebunku dan buah-buahan ini akan binasa milikku ini akan kekal selamanya. Dan ia

mendustakan hari kiamat dengan mengatakan: Tidak pernah kukira kiamat akan

datang. Seandainya benar apa yang dikatakan oleh orang-orang yang bertauhid

tentang adanya kiamat, maka ketika aku dibangkitkan pada hari itu pun niscaya

Tuhanku akan memberiku taman yang lebih baik dari taman (dunia) ini, dengan

kesaksian bahwa aku memberi taman di dunia ini di hadapan kalian. Dan ini adalah

bukti atas kemuliaanku atasnya.

Inilah ucapan yang dilontarkannya dan dia berjalan di kebun dan tamannya

dengan sombong. Di saat itu saudaranya (yang mukmin) menuturkan kata hikmah dan

memberi nasihat yang baik, dengan perkataan: Bagaimana kamu kafir kepada Allah

SWT padahal kamu dulu adalah tanah lalu menjadi nuthfah kemudian menjadi

seorang laki-laki yang tegap. Lalu siapakah yang memindahkanmu dari satu keadaan

ke keadaan yang lain, dan menjadikanmu berpostur tegap dan kokoh ini?
Sesungguhnya, saudara yang kafir itu tidak secara langsung mengingkari Sang

Khalik dalam ungkapannya. Ia mengingkari al-Mad (hari kebangkitan). Dan dengan

menolak hari kebangkitan ia pun harus mengingkari Tuhan.

Kata si mukmin: Jika kamu membanggakan harta, maka aku membanggakan

bahwa aku adalah seorang hamba Allah, aku tidak mempersekutukan seorangpun

dengan Tuhanku. Dan dia (si mukmin) mengingatkan saudaranya akan akibat buruk

yang akan menimpanya dengan ucapan: Mengapa kamu ketika memasuki kebunmu

tidak mengucapkan msy Allah? Bahwasannya dua kebun itu adalah salah satu

nikmat Allah SWT, walaupun kamu berupaya keras dalam membangunnya, maka

sesungguhnya itu semua adalah karena kekuasaan Allah SWT, Yang Maha Kuasa dan

Bijaksana.

Kemudian ia mengisyaratkan kepada dirinya sendiri; meskipun harta dan

anakku lebih sedikit darimu, tetapi aku berharap Tuhanku memberiku pahala yang

lebih baik di akhirat ketimbang kebun duniamu ini. Aku pun berharap Allah

mengirim azab dari langit menimpa kebunmu, sehingga menjadilah (kebunmu itu)

tanah yang tandus tidak tumbuh sesuatupun. Atau menjadikan airnya lenyap ke bawah

tanah, lahanmu kering tidak dapat menghasilkan air.

Si mukmin mengungkapkan cela saudaranya yang kafir, memperingatkan akan

akibat kekufuran dan kesesatan yang terus menerus, dan menyampaikan kepadanya

masa datang yang gelap. Maka ketika datang azab sebagai akibat kesombongannya, di

saat itu si kafir tergugah dari kelelapannya. Ia menyesal dan bersedih hati setelah

mengeluarkan harta untuk membangun dua tamannya, menyesali diri karena telah

mempersekutukan Allah SWT; Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan

Tuhanku. Akan tetapi penyesalan seperti itu tiada berguna, karena tidak menjadi

penghalang dari azab Allah, dan tidak ada seorangpun yang menjadi penolongnya.
Inilah kesimpulan tamtsil, dan Allah SWT menjelaskannya secara ringkas

dalam ayat: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-

amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih

baik untuk menjadi harapan (al-Kahfi 46).

Para mufasir meriwayatkan bahwa Allah SWT mengisyaratkan untuk tamtsil

ini dalam surat ash-Shaffat; Berkatalah salah seorang di antara mereka:

Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) mempunyai seorang teman, yang berkata:

Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang membenarkan (hari

berbangkit)? Apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang

belulang, lalu sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi

pembalasan? Berkata pulalah ia: Maukah kamu menngunjungi (temanku itu)?

Maka ia mengunjunginya, lalu ia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka

menyala-nyala (ayat 51-55).

Sampai di sini, jelaslah perngertian dan maksud tamtsil. Kita juga dapat

mendalami tafsiran kalimat dan kosa kata ayat seperti diuraikan di atas, yang cukup

jelas dan tampaknya tidak memerlukan pada tafsir ayat lagi. Namun, di bawah ini

akan diuraikan secara ringkas:

Wa dhrib lahum artinya dan berikanlah kepada orang-orang kafir dengan

orang-orang mukmin. Yaitu mastalan rajulaini jaaln li ahadihima atau sebuah

perumpamaan dua orang laki, (yang) Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya

yakni yang kafir: jannatain (dua kebun). Kebun itu adalah min anbin wa

hafaffnhuma (kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-

pohon kurma). Lalu, wa jaaln bainahum zar (dan Kami buatkan di antara

kedua kebun itu tanaman yang dapat dikonsumsi). Dan kilt l-jannataini tat

ukulah (kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya), yang lam tazhlim minhu
syai`an (tiada berkurang sedikitpun darinya) wa fajjarn khillahum (dan

Kami alirkan di celah-celah kedua kebun itu sebuah sungai yang mengalir di antara

keduannya). Wa kna lahu (dan dengan dua kebun itu dia mempunyai),

tsamarun fa qla lishhibihi (kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya

yang mukmin), wa huwa yuhwiruhi (ketika ia bercakap-cakap sambil

membangga-banggakan diri di hadapan temannya), ia berkata: an aktsaru minka

mlan wa aazzu nafaran (hartaku lebih banyak dari hartamu dan orang-orang

dekatku lebih kuat). Wa dakhala jannatahu (dan dia memasuki kebunnya dengan

kawannya itu sambil mengelilingi kebun dan memperlihatkan buah-buahannya), wa

huwa zhlimun li nafsihi (sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri karena

kekufuran). Qla m azhunnu an tabiida (ia berkata: Aku kira kebun ini tidak

akan binasa). ...hdzihi abadan wa m azhunnu s-sata q`imatun wa lain rudidtu

il rabbii) (.....selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang,

dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku (di akhirat atas dalihmu),

maka la ajidanna khairan minh muqalaban (pastilah aku akan mendapat tempat

kembali yang lebih baik dari kebun itu). Qla lahu shhibuhu wa huwa

yuhwiruhu (Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-

cakap (yakni berdebat) dengannya). A kafarta bi l-ladzii khalaqaka min turbin

(apakah kamu kafir kepada Tuhan yang menciptakanmu dari tanah (sebab Adam

diciptakan darinya)); tsumma min nuthfatin tsumma sawwka (kemudian dari

setetes air mani, lalu Dia (meluruskan dan) menjadikanmu), rajulan (seorang laki-

laki). Adapun aku, kukatakan; lkinn huwa llahu rabbi l usyriku bi rabbii ahadan

wa laul izd dakhalta jannataka qulta (tetapi aku (percaya bahwa) Dia lah Allah,

Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku. Dan

mengapa ketika memasuki kebunmu kamu tidak mengatakan begini ketika


mengaguminya: M sy`a llh l quwwata ill bi llh (masya Allah! tidak ada

kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah). Dan in tarani ana aqalla minka

mlan wa waladan fa s rabbii an yu`tiyani khairan min jannatika wa yursila

alaih husbnan (jika kamu anggap aku lebih kurang daripada kamu dalam hal

harta dan anak maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun)

yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan

ketentuan (petir) kepadamu), mina s-sam`i fa tushbiha shaiidan zalaqan (dari

langit kepada kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; tanah yang tidak

lagi memiliki tumbuh-tumbuhan, yang tidak dapat dipijaki kaki, au yushbiha m`uh

ghauran (atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, kering). Fa lan tastathiia

lahu thalaban (maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi, siasat untuk

mendapatkan air. Wa uhiitha bi tsamarihi (Dan harta kekayaannya pun

dibinasakan, hancur bersamaan dengan kebunnya hancur). Fa asshbaha yuqallibu

kaffaihi (lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal); menyesali

diri dan bersedih hati), al m anfaqa fiih (terhadap apa yang ia telah

belanjakan untuk itu; dalam pembangunan kebunnya), wa hiya khwiyatun

(sedang pohon anggur itu roboh), al uruusyih (bersama para-paranya dan

tiang-tiang untuk pohon anggur, ketika bangunan kebun itu runtuh lalu pada

gilirannya pohon anggurnya pun runtuh). Wa yaquulu y laitanii (Dan dia

berkata: Aduhai kiranya dulu aku....; seolah ia mengingat nasihat saudaranya). Lam

usyrika bi rabbii ahadan wa lam takun lahu fi`atun (tidak mempersekutukan

seorangpun dengan Tuhanku. Dan tidak ada bagi dia segolong pun), yansuruunahu

min duuni llh (yang akan menolongnya selain Allah; di saat kebun hancur.), m

kna muntashiran (dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya; ketika kebun itu
binasa dengan sendirinya), hunlika (di sana, yakni hari kiamat). Al-wilyatu;

(kerajaan, milik). Li llhi l-haqq (hanya dari Allah Yang haq).

(as-Suyuthi: Tafsir al-Jallain, tafsir Surat al-Kahfi).

Tamtsl 33

Artinya: Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), bahwa kehidupan

dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur

karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi ini, kemudian tumbuh-tumbuhan itu

menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha kuasa atas

segala sesuatu [al-Kahfi: 45].

Tafsir Ayat

Al-hasyiim berarti sesuatu yang memecah pada keringnya tetumbuhan. Adz-

dzurr dan at-tazdriyah ialah angin yang menerbangkan segala sesuatu yang ringan ke

setiap arah.

Tamtsil yang lalu membicarakan tentang tiadanya kesinambungan

kenikmatan-kenikmatan dunia yang biasanya menjadi sandaran orang kafir. Sebagai

penekanan atas pandangan tersebut, al-Quran menampilkan tamtsil lain yang di

dalamnya menggambarkan keadaan kehidupan duniawi yang tidak memiliki ketetapan

melalui tamtsil indah yang memuat turunnya rintik hujan di tanah-tanah yang subur

yang berpotensi menumbuhkan biji-bijian yang tertanam di dalamnya. Biji-bijian

mula-mula bergerak dengan membelah tanah, tumbuh, dan dengan menyerap matahari

biji-bijian itu sampai pada bentuk seikat bunga yang indah.

Manusia kadangkala mengkhayalkan kelanggengannya. Padahal, ketika tiba-

tiba angin kencang atau topan datang menerjangnya, jadilah bunga-bunga itu patah,
layu lalu mengering seperti rumput kering, dan rusaklah semuanya seakan-akan tak

pernah ada sebelumnya. Lalu hembusan angin menebarkan abunya ke segenap sisi.

Kehidupan dan kematian semacam ini berulang-ulang sepanjang tahun, dan manusia

menyaksikan dengan mata kepalanya tanpa mempedulikan isyaratnya. Untuk inilah

tamtsil dibuat.

Allah SWT berfirman: Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia),

bahwa kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit,

maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi ini dalam bentuk

berselubung satu sama lain, keadaannya mencengangkan manusia. Tumbuhan itu

terus berubah dalam keadaan sedemikian sampai kita temukan hikmahnya. Inilah

yang diungkap al-Quran dengan kalimat; fa ashbaha hasyiiman (kemudian

tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering) yakni, banyak tumbuhan yang hancur diterpa

angin, lalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Begitulah ibarat perubahan

dunia, seperti perubahan tumbuh-tumbuhan ini; Dan adalah Allah Maha kuasa atas

segala sesuatu.

Kemudian Allah SWT memperserupakan harta dan anak seperti bunga atau

kembang yang tumbuh mekar pada tanaman-tanaman. Bentuk keserupaannya adalah

bahwa tanpa diduga bunga itu dapat lenyap dengan cepat. Begitu pula harta dan anak-

anak.

Ya, sesungguhnya itu semua hanyalah perhiasan bagi kehidupan di dunia, dan

jika hakikatnya adalah sementara waktu dan segera lenyap, maka apa sangkaan kita

terhadap perhiasan tersebut? Tidak akan ditetapkan kekekalan bagi sesuatu yang

kembali pada dunia. Artinya, tidak benarlah secara akal, jika kita bersandar pada

sesuatu yang segera hilang. Ayat al-Quran mengungkapkan: Harta dan anak-anak

adalah perhiasan kehidupan dunia.


Sebaik-baik kekal adalah bagi amal saleh yang memiliki akibat-akibat yang

bersinar di kehidupan ukhrawi. Firman Allah menegaskan: Dan amal-amal saleh

yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya

(Maryam 76).

Selanjtunya, Allah SWT menekankan atas kelenyapan dan ketidak-abadian

dunia dengan membuat perumpamaan-perumpamaan. Dan ruh atau isi kandungan

tamtsil ini telah disebutkan sebelumnya dalam surat Yunus (lihat: tamtsil ke 14 (surat

Yunus ayat-25). Begitu pula seperti kandungan yang disebutkan dalam tamtsil surat

al-Hadid ayat-20.

Perlu Diperhatikan

Barangkali ayat berikut ini juga termasuk dari amtsl al-Quran;

Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang bagi manusia dalam al-

Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang

paling banyak membantah [al-Kahfi: 54].

Tetapi, sebetulnya, ayat ini bukanlah tamtsil yang mandiri. Ayat di atas lebih

menekankan penyebutan contoh-contoh amtsl, khususnya dalam hal-hal yang

kembali pada kehidupan masa lampau yang ternyata mengandung banyak ibrah.

Dalam kalimat wa laqad sharrafn (telah Kami jelaskan di dalam al-Quran

ini kepada manusia dengan segala perumpamaan), kandungan makna tabyiin

(pengungkapan yang menjelaskan) dengan kata tashrif (dalam ayat) adalah sebagai

isyarat pada bentuk perumpamaan yang bermacam-macam. Yakni agar manusia

berpikir dari sisi-sisi yang berlainan. Kalimat terakhir ayat, Dan manusia adalah

makhluk yang paling banyak membantah; menunjukkan bahwa kebanyakan manusia


lebih memilih perselisihan dan perdebatan tanpa bertujuan mengambil hidayah dari

apa yang dilihat atau dirasakannya guna menuju hakikat.

Surat al-Hajj

Tamtsl 34

*
*

Artinya: Hai manusia, telah dibuat perumpamaan-perumpamaan, maka

dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain

Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu

untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah

mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah

dan amat lemah (pulalah) yang disembah. Mereka tidak mengenal Allah dengan

sebenar-benarnya. Sesunggunya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa

[al-Hajj: 73-74].

Tafsir Ayat

Pada masa Jahiliyah, bangsa Arab dapat dikatakan sudah bertauhid dalam

khliqiyah (Allah adalah Sang Maha Pencipta). Mereka mengungkapkan keyakinan

mereka itu dengan mengatakan bahwa tiada pencipta di alam semesta ini melainkan

Allah. Dan Allah SWT mengabarkan tentang hal itu dalam al-Quran, antara lain; dan

sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: Siapakah yang menciptakan langit dan

bumi?, niscaya mereka akan menjawab: Semuanya diciptakan oleh Yang Maha

Perkasa lagi Maha Mengetahui [az-Zukhruf: 9].

Tetapi, mereka syirik dalam tauhid ar-rububiyah (pemeliharaan). Mereka

menyatakan bahwa Allah SWT menciptakan langit dan bumi, dan (lalu) menyerahkan

(urusan) pemeliharaan ciptaannya kepada tuhan-tuhan yang mereka sebut-sebut itu.


Hal ini terungkap melalui sebutan kaum musyrikin tentang kata al-arbb (tuhan-

tuhan) yang mereka cantumkan dalam semua perjanjian, yaitu atas (nama) tuhan-

tuhan yang mereka panggil. Allah SWT berfirman: manakah yang baik, tuhan-tuhan

yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa

[Yusuf: 39]. Meskipun ayat ini menjelaskan tentang keyakinan kaum musyrikin di

masa Nabi Yusuf as, namun keadaan serupa juga terjadi pada kaum musyrik di Mekah

pada masa Nabi Muhammad saw. Ayat ini turun sebagai bukti yang mengungkap cela

dan merendahkan aqidah mereka yang batil.

Ada juga ayat-ayat al-Quran lain yang menyingkap kesyirikan mereka dalam

tauhid rububiyah, antara lain:

Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah agar mereka mendapat

pertolongan [Yasin: 74], yakni, mereka menyembah tuhan-tuhan mereka supaya

mereka menang di medan-medan peperangan. Dan, .....Dan mereka telah mengambil

sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung

mereka [Maryam: 81].

Motif dari ketundukan di hadapan tuhan palsu itu adalah memohon kekuatan

dalam menghadapi berbagai masalah dari tuhan-tuhan itu. Di dalam beberapa ayat

lain juga ditunjukkan bahwa orang-orang musyrik di masa Rasulullah saw tidak

bertauhid dalam al-rububiyah, dan demikian pula halnya dalam al-khliqiyah.

Tidak sedikit ayat yang menjelaskan tentang keadaan patung-patung berhala

yang tidak mampu mengangkat madharat dan tidak mempunyai manfaat apapun. Dan

mereka tidak memberi kemenangan dalam perang, tidak pula kekuatan dalam hidup.

Keterangan itu menunjukkan bahwa kaum musyrik meyakini bahwa tuhan-tuhan

mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan yang dapat melepaskan madharat dan

memberi manfaat bagi mereka.


Berikut ini ibarat lain tentang sangkaan terhadap pemeliharaan (tadbiir) tuhan-

tuhan itu untuk kehidupan manusia, Allah SWT berfirman: Katakanlah: Panggillah

mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai

kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula

memindahkannya [al-Isra: 56]. Juga: Dan janganlah kamu menyembah apa-apa

yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain

Allah [Yunus: 106].

Serta ayat: Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu..

[Fathir: 14]. Dan ayat-ayat lain yang membatilkan tadbiir tuhan-tuhan palsu kaum

musyrik.

Dengan memahami penjelasan di atas, maka ketahuilah bahwa dalam maqm

ini Allah SWT membuat perumpamaan-perumpamaan yang membatilkan rububiyah

patung-patung berhala, dengan penjelasan yang begitu kontras berikut ini:

Orang-orang musyrik itu menganggap bahwa lalat adalah binatang terlemah.

Tetapi, ternyata tuhan-tuhan mereka tidak mampu menciptakan lalat. Bahkan, apabila

lalat-lalat merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak dapat merebutnya kembali.

Diriwayatkan, dahulu bangsa Arab selalu memolesi badan patung-patung

berhala mereka dengan zafaron dan memolesi bagian kepalanya dengan madu,

sementara mereka menutup pintu-pintu di hadapan patung-patung itu. Lalu beberapa

ekor lalat masuk dari lubang dan celah-celah yang luput dari tutup mereka dan

kemudian memakannya. Dalam al-Quran diungkapkan: Hai manusia, telah dibuat

perumpamaan-perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.

Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah.......; yakni mereka

menyembahnya. Dan kata ad-du (menyeru) pada ayat di atas bermakna

ibdah, sebagaimana disebutkan dalam ayat: Dan Tuhanmu berfirman:


Berdoalah kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan untukmu. Sesungguhnya orang-

orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam

dalam keadaan hina dina [Ghafir: 60]. Maka, kata du` (menyeru) kepada Allah

SWT adalah beribadah kepada-Nya, sebagaimana menyeru kepada tuhan-tuhan

palsu sebagai tuhan-tuhan orang musyrik juga adalah ibdah atau menyembah

kepada mereka.

Lanjutan kalimat dalam ungkapan al-Quran di atas berbunyi: ...... Sekali-kali

tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk

menciptakannya meskipun lalat itu begitu kecil dan lemah dan jika lalat itu

merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat

itu. Dalam riwayat di atas, dapat diketahui bahwa lalat-lalat itu boleh jadi memakan

madu yang ada di kepala-kepala patung berhala.

Kalimat dhaufa ath-thlib wa l-mathluub (lemahlah yang menyembah dan

lemah pula yang disembah) dalam ayat ini memiliki beberapa kemungkinan

penjelasan sebagai berikut:

Pertama, bahwa yang dimaksud ath-thlib wa l-mathlub adalah penyembah

dan yang disembah. Ath-thlib atau manusia itu lemah, sebagaimana penjelasan

dalam ayat lain: Dan manusia dijadikan bersifat lemah [an-Nisa: 28]. Sedangkan

al-mathlub atau patung (seperti ath-thlib), karena ia benda mati yang tidak kuasa

atas sesuatupun.

Kedua, bahwa yang dimaksud ath-thlib adalah lalat yang mencari sesuatu

yang dioleskan pada patung. Dan al-mathlub adalah patung yang menuntut bebas dari

sesuatu yang merampas darinya. Dan ketiga, yang dimaksud ath-thlib adalah tuhan-

tuhan yang mereka tuntut untuk penciptaan lalat, namun tidak mampu menyelamatkan
sesuatu yang terampas dari mereka. Dan al-mathlub adalah lalat yang dituntut untuk

membebaskan mereka dari serangannya.

Tujuan tamtsil ini adalah menjelaskan kelemahan tuhan-tuhan itu dan untuk

merendahkannya pada kedudukan paling rendah dari binatang dalam perasaan dan

kemampuan.

Kemudian Allah SWT kembali menjelaskan faktor penolakan kaum musyrik

dan kafir dari menyembah Allah itu sebagai berikut; mereka tidak mengenal Allah

dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha

Perkasa. Artinya, sebenarnya mereka tidak menempatkan Allah pada posisi yang

seharusnya dan mereka tidak memperlakukan-Nya sebagaimana mestinya. Karena itu,

mereka lalu berpaling dari menyembah Sang Khalik, dan berpihak serta menyembah

pada makhluk yang tiada memberi manfaat dan madharat secuilpun. Sekiranya

mereka mengenal Allah SWT dan asmul husn serta sifat-sifat agung-Nya, niscaya

mereka mengakui bahwa tiada pencipta dan tiada tuhan (pemelihara) selain Dia. Atas

dasar itulah keyakinan bahwa tiada yang disembah melainkan Dia. Sayangnya,

mereka justru tidak memandang Allah SWT sebagaimana mestinya. Mereka memilih

menyekutukan-Nya dengan makhluk yang terlemah dan terhina. Padahal yang

sesungguhnya, Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa, yang berbeda dengan tuhan-

tuhan mereka yang lemah dan hina dina.

Surat an-Nur

Tamtsl 35


Artinya: Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya

Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita

besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)

seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,

(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di

sebelah barat(nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak

disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada

cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuatkan perumpamaan-

perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Tafsir Ayat

Al-misykt adalah sebuah lubang yang tak tembus. Dalam tradisi masyarakat

tertentu lubang ini dibuat pada dinding rumah tempat sebagian perabotan diletakkan,

antara lain pelita. Dari lubang itu pemilik rumah bisa mengawasi halamannya dan ia

dapat menutupi lubang itu dengan kaca untuk menjaga pelita dari angin sekaligus

untuk menerangi halaman dan kamar.

Penjaga pelita (semacam semprong) dibuat dalam bentuk kerucut terbuat dari

kaca yang diletakkan melingkupi pelita agar terjaga dari angin dan di atasnya diberi

sebuah lubang tempat keluarnya asap.

Al-mishbh adalah pelita atau lampu (minyak). Al-mishbh merupakan alat

yang terdiri dari empat bahan: 1) wadah minyak; 2) sumbu lampu yang menyala

dengan minyak; 3) kaca yang mengitari nyala sumbu; dan 4) alat pengapit sumbu.

Jenis minyak yang paling bagus untuk nyala api diambil dari pohon zaitun

yang ditanam di tempat di mana cahaya matahari dapat menyinari pohon itu dari

segala sisi, sehingga (minyak dari pohon ini) menjadi minyak paling jernih dan cepat

menyala. Ini berbeda dengan kondisi pohon yang ditanam di sebelah timur atau di
sebelah barat, sebab posisi seperti ini tidak menerima sinar matahari melainkan hanya

pada waktu tertentu saja.

Allamah Sayyid Husain Thabathaba`i berkata:

Yang dimaksud dengan pohon yang tumbuh tidak di timur dan tidak di barat

ialah bahwa pohon itu tidak tumbuh di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat,

sehingga sinar matahari hanya mengenainya pada salah satu sisi (dari dua sisi) siang,

dan sisi lain cuma memperoleh bayangan. Keadaan seperti itu menjadikan pohon

tidak memberikan buah yang matang benar, minyak yang diambil tidak jernih dan

tidak memberikan penerangan (al-Mizan: 15/124).

Demikian penjelasan ayat dari sisi kosa-katanya. Dengan demikian, al-

musyabbah adalah misykt yang terdiri dari; api atau lampu di bagian dalamnya dan

kaca yang mengelilingi api atau lampu di sebelah luarnya.

Al-musyabbah bihi adalah cahaya yang bersinar dari kaca yang menjaga

pelita, menyala dari minyak terpilih yang jernih yang ditaruh pada wadah misykt.

Cahaya pelita ditampung oleh misykt dan dipantulkannya, sehingga semakin

bersinar.

Adapun kalimat dalam ayat yang berbunyi nuur al nuur, atau cahaya yang

berlapis-lapis yang tersusun dari inti hingga bagian sinar terluar, dalam struktur

kalimat ayat ini ialah sinar atau cahaya dari kaca yang berasal dari cahaya lampu.

Allamah Thaba`thaba`i berkata:

Misykt diangkat sebagai perumpamaan ialah untuk menunjukkan adanya

perhimpunan cahaya di pusat inti api misykt dan pemantulannya ke seluruh ruangan

rumah. Dan pengibaratan minyak dari pohon zaitun yang l syarqiyah wa l

gharbiyah, untuk menunjukkan atas nyala cahaya dari minyak jernih dan bagus yang

mengesankan dilihat dari kejernihan dan kecemerlangan cahayanya yang bersinar.


Kecemerlangan cahaya yang menyinari setiap sesuatu itu disebabkan oleh

keberadaan minyaknya yang hampir menyinari walau tidak tersentuh api. Sedangkan

pengungkapan cahaya di atas cahaya ialah untuk menunjukkan berlipatnya cahaya,

yaitu kenyataan adanya cahaya kaca sebagai hasil dari cahaya lampu. (al-Mizan:

15/125).

Demikianlah keadaan yang dijadikan penyerupa, hal mana pembicaraan

sebenarnya mengenai yang diserupakan dan setiap kelompok matsal tersebut sesuai

dengan apa yang diinginkan. Berikut ini ada beberapa perkataan (qaul) atau

penjelasan sebagai tambahan keterangan:

Qaul pertama, al-musyabbah bihi adalah hidayah Allah. Ketika telah sampai

dalam kemunculan dan kejelasan(nya) pada puncak tujuan dan telah menjadi seperti

misykt yang berkaca bening dan di dalam kaca terdapat pelita yang menyala dengan

minyak yang paling jernih.

Sedangkan tiadanya keserupaan misykt dengan sinar matahari yang memiliki

sinar sangat dominan pada bumi, namun yang dimaksud dalam konteks perumpamaan

ini ialah sifat cahaya yang sempurna di tengah kegelapan. Sebab, yang umum dalam

imajinasi makhluk hidup (khususnya manusia) adalah keraguan (syubht) dan

kekaburan yang bagaikan kegelapan, dan hidayah Allah SWT di tengah kondisi

demikian seperti sinar yang sempurna yang terang dan menerangi di tengah

kegelapan.

Qaul kedua, an-nuur yang dimaksud adalah al-Quran. Allah SWT

berfirman: Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang

menerangkan [al-Maidah: 15].

Qaul ketiga, yang dimaksud adalah Rasulullah saw. Sebab, beliau adalah

seorang mursyid. Allah SWT berfirman tentang beliau: ....dan untuk menjadi cahaya
yang menerangi [al-Ahzab: 46]. Dan barangkali marja (sumber) dua qaul yang

akhir ini (kedua dan ketiga) adalah qaul yang pertama, karena al-Quran dan

Rasulullah saw termasuk bentuk hidayah Allah SWT.

Qaul keempat, yang dimaksud adalah marifat agama di dalam kalbu orang-

orang mukmin. Di dalam al-Quran, Allah SWT menyifati keimanan (al-iimn) adalah

cahaya dan kekafiran (al-kufr) adalah kegelapan, yakni: ....Maka apakah orang-

orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat

cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya).......? [az-

Zumar: 22].

Dalam surat Ibrahim ayat 1 dinyatakan: supaya kamu mengeluarkan manusia

dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang. Dan kesimpulannya, bahwa

keimanan seorang mukmin ialah yang telah mencapai batas cahaya pelita yang jernih

dari syubht dan terpisah dari kegelapan kesesatan.

Dengan demikian, tamtsil dalam bentuk tunggal (mufrad), adalah penyerupaan

hidayah dengan sesuatu yang mendekatinya, yakni cahaya pelita. Dan ia tidak harus

menjadi pembeda semua perkara yang dimiliki musyabbah bihi itu ada di dalam

musyabbah. Hal ini berbeda dengan qaul berikut ini.

Qaul kelima, bahwa yang dimaksud adalah kekuatan-kekuatan yang

menjangkau dengan lima tingkatannya, yaitu kekuatan indera, kekuatan khayliyah

(imajinasi), kekuatan aqliyah (rasional), kekuatan fikriyah (berpikir), dan kekuatan

qudsiyah (kesucian).

Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh dalam ayat suci al-Quran: Dan

demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Quran) dengan perintah Kami.

Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-kitab (al-Quran) dan tidak pula

mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Quran itu cahaya, yang
Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami

[asy-Syura: 52].

Dengan mengetahui kekuatan-kekuatan tersebut maka semua itu dapat disebut

cahaya-cahaya, hal mana dengan kekuatan itu menjadi tampak bermacam-macam

karakter maujud. Lima tingkatan tersebut barangkali menyerupai lima perkara yang

disebutkan dalam ayat, yaitu: al-misykt, az-zujjah, al-mishbh, asy-syajarah dan az-

zait.

Atas penjelasan ini maka tamtsil dalam bentuk tersusun (murakkab) ialah

seperti qaul berikut ini:

Qaul keenam, bahwa diri insani menerima makrifat dan pengetahuan non-

materi. Pada tahap pertama ia bersih dari segala pengetahuan, ini dinamakan akal

hayulni, yaitu al-misykt. Pada tahap kedua, ia memperoleh pengetahuan-

pengetahuan aksiomatis, yang dengan menyusun pengetahuan ini dapat sampai pada

pengetahuan-pengetahuan teoritis. Lalu, jika perpindahan (dari pengetahuan

aksiomatis ke teoritis) memungkinkan padanya, bentuk perpindahan yang lemah maka

itulah asy-syajarah (pohon), tapi bila lebih kuat maka itulah az-zait (minyak), bila

lebih besar kekuatannya maka itu adalah az-zujjah (kaca) yang laksana bintang

kejora, dan apabila berada dalam puncak tertinggi maka itulah an-nafsu al-qudsiyah

atau diri yang suci yang khusus bagi para nabi; itulah makna kalimat yang

minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.

Pada tahap ketiga, ia memperoleh pengetahuan teoritis (nazhariyt) dari

pengetahuan aksiomatis. Pada tahap ini, tidak akan muncul secara aktual (bil fil),

kecuali ketika pemilik tahap ini menginginkan kehadirannya sesuai kemampuan, dan

inilah yang dinamakan akal bil fil, yaitu pelita.


Pada tahap keempat, pengetahuan-pengetahuan (nazhari) tersebut muncul

secara aktual. Inilah yang dinamakan akal mutafdan (yang diperoleh). Dan begitulah

nuur al nuur (cahaya di atas cahaya). Sebab, al-hikmah adalah tabiat (malakah)

cahaya dan munculnya sesuatu di atas cahaya sebagai suatu tabiat adalah cahaya lain.

Pengetahuan-pengetahuan ini muncul dalam ruh-ruh manusia, yang kemunculan itu

sebenarnya berasal dari subtansi ruhani, yang dinamakan akal yang efektif.

Qaul ketujuh, Allah SWT menyerupakan dada dengan misykt, hati dengan

zujjah dan makrifat dengan mishbh. Dan mishbh (pelita) ini akan menyala dari

syajarah mubrakah (pohon yang banyak berkah), yakni dari ilham-ilham malakuti.

Dia menyerupakan malaikat dengan syajarah mubrakah dikarenakan banyaknya

manfaat mereka. Tetapi Allah menyifati syajarah ini tidak di sebelah timur sesuatu

dan tidak juga di sebelah baratnya, karena ia adalah ruhaniyah. Allah menyifati

mereka (malaikat) dengan firman-Nya; yang minyaknya saja hampir-hampir

menerangi, walaupun tidak disentuh api dikarenakan melimpahnya ilmu

pengetahuan mereka akan rahasia-rahasia malakut Allah SWT.

Qaul kedelapan, bahwa yang dimaksud matsalu nuurihi (perumpamaan

cahaya-Nya) ialah perumpamaan cahaya keimanan di hati Muhammad saw seperti

misykt (lampu minyak) yang di dalamnya sebuah pelita. Al-misykt seperti sulbi

Abdullah (ayahanda Nabi), zujjah (kaca) adalah jasad Muhammad saw dan al-

mishbh seperti keimanan dalam hati Muhammad saw atau seperti kenabian di dalam

hati beliau.

Qaul kesembilan, bahwa al-misykt seperti Ibrahim as, az-zujjah seperti

Ismail as, al-mishbah seperti jasad Muhammad saw dan asy-syajarah seperti kenabian

dan risalah.
Qaul kesepuluh, bahwa kalimat matsalu nuurihi(perumpamaan cahaya-Nya)

adalah kembali pada orang mukmin. (Lihat, Tafsir al-Fakhru ar-Razi: 23/231-235).

Sesungguhnya, al-musyabbah adalah cahaya Allah yang menyinari kalbu

orang-orang mukmin. Sedangkan al-musyabbah bihi adalah cahaya yang memancar

dari kaca. Sementara kalimat yahdi llhu li nuurihi man yasy` (Allah

membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki) adalah suatu keadaan

permulaan yang didominasi secara khusus oleh orang-orang mukmin dengan cahaya

keimanan dan makrifat yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Hal ini telah

dimaklumi sebelumnya bahwa yang dimaksud dalam kalimat man yasy` adalah

orang-orang yang disebut oleh Allah setelah ayat; laki-laki yang tidak dilalaikan oleh

perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah [an-Nur: 37]. Jadi

yang dimaksud dengan man yasy` ialah orang-orang mukmin dengan sifat

keimanan sempurna. Artinya, bahwa Allah SWT menunjuki orang-orang yang

melebur dengan kesempurnaan keimanan ke dalam cahaya-Nya, dan ini tidak berlaku

bagi orang-orang yang melebur dengan kekufuran (al-Mizan: 18/125-126).

Kalimat akhir dalam ayat yang kita bahas di atas: ..... dan Allah membuat

perumpamaan-perumpamaan bagi manusia... mengisyaratkan bahwa perumpamaan

yang dibuat setelah itu adalah sebuah tingkatan ilmu. Sebenarnya, dipilihnya

perumpamaan adalah karena ia merupakan jalan termudah untuk menjelaskan

hakikat dan rahasia kepada manusia. Di dalamnya berlaku baik bagi orang alim

maupun orang awam, sehingga seluruh manusia dapat menerima maksud

perumpamaan itu. Allah SWT berfirman: Dan perumpamaan-perumpamaan ini

Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang

yang berilmu [al-Ankabut: 43].

Tamtsl 36

Artinya: Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka adalah laksana

fatamorgana di atas tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang

dahaga, tetapi bila didatangi air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan

didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya

perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-

Nya [an-Nur: 39].

Tafsir Ayat

Kata as-sarb atau fatamorgana ialah sesuatu yang terlihat di tengah padang

sahara akibat sinar kuat matahari di siang hari, yang membentuk semacam aliran air di

atas permukaan tanah. Dari kejauhan tampaklah ia seperti air yang mengalir.

Sedangkan kata al-qiiah yang bermakna al-q (lembah) atau bentuk jamaknya q,

ialah tanah yang terbentang datar. Dan kata azh-zham`n berarti orang-orang yang

dahaga.

Dalam ayat ini Allah SWT menyerupakan amal-amal orang kafir dengan

fatamorgana, sebagaimana pada tamtsil yang akan datang. Dan barangkali, yang

diserupakan pada yang pertama adalah kebaikan-kebaikan mereka, dan pada yang

kedua adalah keburukan-keburukan perbuatan mereka.

Tamtsil yang diuraikan dalam ayat ini adalah sebagai berikut:

Kalimat wa l-ladziina kafaruu amluhum; yakni apa yang mereka perbuat

berupa ketaatan-ketaatan, berkurban dan bacaan-bacaan untuk mendekatkan diri pada

tuhan-tuhan mereka, perumpamaannya adalah laksana fatamorgana di atas tanah

yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga.


Orang-orang yang dahaga disifati dengan beberapa sifat: Pertama, menduga

fatamorgana adalah air; laksana fatamorgana di atas tanah yang datar, yang

disangka air oleh orang-orang yang dahaga. Kedua, ketika orang dahaga itu sampai

di fatamorgana ia tidak mendapati sesuatu yang bermanfaat; tetapi bila didatanginya

air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Yang terjadi pada orang-orang

dahaga itu ialah fatamorgana itu terlihat seperti air setiap kali mereka memandangnya.

Keadaan yang dimaksud di sini adalah datangnya si pemandang fatmorgana, dan tidak

didatangi fatamorgana itu kecuali agar orang-orang dahaga dapat meminum air dan

melepaskan dahaganya. Ketiga, ketika mendekati fatamorgana, ternyata tidak ada air

sedikitpun. Yang diperoleh hanyalah ketetapan Allah SWT di hadapannya; dan

didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya...

Inilah berita kepada dan tentang orang-orang dahaga (azh-zham`n), namun

yang dimaksud dalam konteks kalimat ini adalah orang-orang kafir, dan maknanya

adalah mereka mendapati ketetapan dan balasan Allah SWT. Hal tersebut rapat sekali

ketika ia memasuki kematian dan kedekatannya kepada akhirat.

Orang-orang kafir berpikir bahwa setiap yang ia sajikan, berupa kurban-

kurban dan bacaan-bacaan, akan memberikan manfaat baginya ketika mati dan setelah

kematiannya, dan tuhan-tuhan mereka akan memberikan syafaat. Namun yang tampak

oleh mereka itu adalah lain dari yang sebenarnya, dan bahwa ketentuan sesungguhnya

adalah ketentuan Allah SWT, bukan ketentuan selain-Nya. Nyatalah, bahwa mereka

tidak memperoleh keuntungan dari ketuhanan tuhan-tuhan mereka.

Seketika itu, mereka mendapati balasan atas perbuatan-perbuatan mereka;

lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup. Dan

Allah SWT menyifati diri-Nya dengan berfirman: dan Allah adalah sangat cepat

perhitungan-Nya.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa ayat ini menerangkan tentang keadaan

orang-orang dahaga yang sebenarnya (hakiki). Kalimat: dia tidak mendapatinya

sesuatu apapun, dan kalimat: dan didapatinya.. adalah pada azh-zham`n namun

bermakna majzi.

Hasil dari perumpamaan yang dibuat ini adalah bahwa ketaatan, ibadah dan

taqarrub semua makhluk adalah karena Allah SWT. Oleh karena itu, bagi siapa saja

yang melaksanakannya kepada Allah dan karena Allah, maka ia telah menanam benih

dalam tanah yang subur yang dengan demikian kelak akan bermanfaat ketika

menemui-Nya.

Adapun orang yang menyembah selain-Nya, yang mempersembahkan

taqarrub kepadanya dengan berharap manfaat, maka harapannya tak beda dengan

harapan orang-orang kehausan terhadap fatamorgana yang mengira bahwa

fatamorgana adalah air, sehingga ia mendatanginya. Namun, bukan mendapatkan apa

yang diharapkan, justru ia kekecewaan yang diperolehnya.

Demikianlah persamaan antara orang haus dengan orang kafir, yakni yang

menyerupakan dan yang diserupakan. Tetapi yang diserupakan, yakni orang kafir

yang menyerupai orang dahaga adalah khusus pada beberapa perkara lain: Pertama,

pada kedatangannya ke tempat yang diinginkan dengan amal perbuatannya. Ia

mendapati Allah, tiada lain sebagai sesuatu yang majazi. Kedua, bahwa Allah

membalas perbuatan-perbuatannya. Ketiga, lalu Allah memberikan perhitungannya

kepadanya.

Dengan keterangan yang telah disebutkan di atas, maka yang dimaksud

dengan kata yang tampak, azh-zham`n, adalah azh-zham`n yang sebenarnya

(hakiki). Dan yang dimaksud tiga dhair dalam kalimat wajada, waffhu dan hisbuhu

adalah azh-zham`n yang majazi, yakni orang kafir yang kecewa.


Tamtsl 37

Artinya: Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi ombak, yang

di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih,

apabila dia mengeluarkan tangannya, dia tidak dapat melihatnya, (dan) barangsiapa

yang tidak diberi cahaya (petunjuk) Allah (maka) tiadalah ia mempunyai cahaya

sedikitpun [an-Nur: 40].

Tafsir Ayat

Kata al-lujjiy dinisbatkan pada kata al-lujjah, yang dalam bahasa diartikan

sebagai laut yang luas dan dalam. Tapi kata ini biasanya digunakan pada makna

ombak lautan yang bergerak berbolak-balik. Keadaan laut, semakin dalam dan luas

maka ia semakin besar ombaknya. Maksud kalimat bahrin lujjiyin dalam ayat di

atas adalah laut yang berbenturan.

Kata as-sahb berarti al-qhuyuum (awan yang mengandung hujan), berbeda

dengan kata al-ghaim (awan) yang memiliki makna lebih umum. Penggunaan kata as-

sahb dalam ayat adalah untuk menjadi sebab bagi bertambahnya kegelapan.

Pada ayat sebelumnya Allah SWT menyerupakan amal-amal orang-orang

kafir dengan fatamorgana yang disangka air oleh orang-orang dahaga, untuk

menunjukkan bahwa amal-amal itu tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi

mereka. Dalam ayat ini Allah menyerupakan amal-amal mereka dengan kegelapan

dan kekosongan dari cahaya kebenaran di laut yang amat dalam, di atasnya awan

berhujan yang gelap dan di atas airnya ada ombak di atas ombak. Orang yang berada

di laut seperti ini diliputi oleh kegelapan yang dahsyat. Ia tidak melihat sesuatu pun di
hadapannya, sehingga kalapun mengeluarkan tangannya ia tidak dapat melihatnya

meskipun teramat dekat.

Begitulah yang dijadikan penyerupa. Sedangkan yang diserupakan ialah

bahwa amal-amal yang dilakukan oleh orang kafir adalah batil sepenuhnya, yang tiada

di dalamnya kebenaran sedikitpun, seperti laut yang dalam nan luas yang diliputi

gelapnya kegelapan yang tiada cahaya setitikpun.

Ayat di atas juga memberi isyarat melalui tiga kegelapan: Pertama, kegelapan

laut yang terhalang dari cahay; kedua, kegelapan ombak yang berbenturan; ketiga,

awan hitam yang berhujan. Bertumpuk-tumpuknya tiga kegelapan ini menghijab

semua cahaya untuk menembusnya. Beginilah keadaan yang dialami orang-orang

kafir atas amal-amalnya. Dan tiga isyarat kegelapan di atas mungkin juga dapat

dijelaskan dari sudut pandang lain sebagai berikut: Pertama: gelapnya keyakinan,

gelapnya perkataan dan gelapnya perbuatan. Kedua: kegelapan hati, gelapnya

penglihatan dan gelapnya pendengaran. Dan ketiga: gelapnya kebodohan, gelapnya

kebodohan dengan kebodohan, dan gelapnya konsepsi kebodohan akan pengetahuan.

(lihat: Tafsir al-Fakhru ar-Razi: 24/8-9).

Barangkali kegelapan-kegelapan yang bertumpuk-tumpuk ini mengisyaratkan

pada perkara lain, yaitu ketetapan bagi orang kafir yang berlipat-lipat atas

kekufurannya dan keburukan amal perbuatannya.

Karena itu Allah SWT menyifati orang kafir dengan; (dan) barangsiapa yang

tiada diberi cahaya (petunjuk) Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.

Perlu Diperhatikan

Mengenai amtsl al-Quran, sebagian para penulis menyebut ayat berikut ini

termasuk salah satu dari al-amtsl al-Quran:


Dan mereka berkata: Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-

pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu

memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?, atau (mengapa tidak)

diturunkan kepadanya perbendaharaan, atau (mengapa tidak) ada kebun baginya,

yang dia dapat makan dari (hasil)nya?. Dan orang-orang yang zalim itu berkata:

Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang yang kena sihir.

Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang

kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk

menentang kerasulanmu). [al-Furqan: 7-9].

Memang, di dalam ayat ini terdapat kata al-amtsl, namun ia bukan

termasuk tamtsil. Sesungguhnya ayat ini memberitahukan tentang apa yang dikatakan

orang-orang kafir ketika menyifati Nabi Muhammad saw, bahwa dia makan makanan

dan berjalan di pasar, sehingga menurut orang-orang kafir itu dia tidak patut

membawa risalah.

Mereka lalu mencela Nabi Muhammad saw dengan kata-kata tak berdasar

semacam: kami terima kalau dia seorang rasul, tetapi kenapa tidak turun kepadanya

seorang malaikat lalu dia menjadi seorang pemberi peringatan bersamanya, agar

peringatannya itu bersambung dengan yang ghaib melalui malaikat?

Kemudian orang-orang kafir juga mencela dengan perkataan: mengapa tidak

turun kepadanya harta dari langit, sehingga dia dapat menggunakannya dalam

kebutuhan-kebutuhan materialnya? Atau mengapa tidak ada baginya surga yang dapat

ia makan darinya? Lalu pada bagian akhir ayat, mereka menyifati Nabi saw sebagai

orang yang tersihir.

Tetapi Allah SWT menolak perkataan mereka dan mengungkapkan aib mereka

yang telah keliru menyifati Nabi Muhammad saw: Perhatikanlah, bagaimana,


mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka,

mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu). Yakni

lihatlah bagaimana mereka menyifati Muhammad saw yang: 1) makan dan berjalan di

pasar; 2) tiadanya malaikat yang menyertai; 3) miskin; dan 4) tersihir, sambil

mengkhayal bahwa dia (Muhammad saw) adalah seorang rasul yang didatangi

malaikat wahyu dengan risalah dan al-kitab.

Di sini tidak ada musyabbah, tidak ada musyabbah bihi, dan tidak ada pula

tamtsil untuk menjelaskan sikap Nabi Muhammad saw. Dan untuk itu telah kami

jelaskan di dalam mukadimah bahwa bentuk seperti ini bukanlah merupakan amtsl

al-Quran.

Surat al-Ankabut

Tamtsl 38

*
*

Artinya: Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain

Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang

paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya Allah

mengetahui apa saja yang mereka seru selain Allah dan Dia Maha perkasa lagi Maha

bijaksana. Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan

tiada yang memahaminya kecuali orang yang berilmu [al-Ankabut: 41-43].

Tafsir Ayat

Di satu tempat, Allah SWT membuat perumpamaan untuk tuhan-tuhan kaum

musyrikin dengan lalat, di tempat lain dengan rumah laba-laba. Untuk perumpamaan

yang pertama telah dibahas sebelumnya. Sedangkan yang kedua ialah mengenai
penyerupaan tuhan-tuhan kaum musyrikin dan sesembahan-sesembahan buatan

mereka dengan rumah yang paling lemah, yakni rumah laba-laba.

Dalam penjelasan yang lalu dikatakan bahwa penyerupaan (tasybih) memberi

kesan mendalam pada jiwa manusia, seperti pengaruh dalil dan argumentasi. Seperti

tentang ghibah, yang disebutkan: Janganlah mengumpat! Sesungguhnya mengumpat

itu mendatangkan azab dan meninggalkan siksaan. Atau mengumpamakan perbuatan

ghibah dengan: bahwa perumpamaan orang yang mengumpat itu seperti orang yang

memakan daging mayit, karena kamu telah mencaci orang ini dalam keadaan tidak

hadir, dan tidak mengetahui dan mendengar apa-apa yang kamu katakan sampai ia

membalas(mu). Celaanmu kepadanya seperti perbuatan orang yang makan daging

mayit yang tidak mengetahui apa yang diperbuatnya (si pemakan) dan tidak dapat

menghindar.

Selain itu, tujuan dari penyerupaan tuhan-tuhan bikinan dengan singa dan

serangga-serangga tanah seperti nyamuk, lalat dan laba-laba, adalah untuk

merendahkan kedudukannya dan menghinakannya.

Sesungguhnya, laba-laba adalah sejenis serangga yang dikenal. Dalam Biologi

dikatakan, bentuk fisik laba-laba jantan lebih kecil dari yang betina. Laba-laba

termasuk hewan pemakan serangga yang terperangkap di sarang atau jala yang

dibuatnya membentang pada dinding-dinding rumah atau pohon-pohon. Sarangnya

terbuat dari bahan yang disaring dari bagian di dalam perutnya, mengandung cairan

lengket yang dikeluarkan dari lubang kecil tubuhnya. Bahan itu berubah sifat setelah

terkena udara dan berubah menjadi semacam benang dalam bentuk pintalan dengan

ketelitian tinggi. Mangsa akan terjerat di sarang itu sampai laba-laba dapat

menyerangnya dan meletupkan racun yang menghentikan gerakan-gerakan mangsa,

sehingga mangsa tidak dapat menghindar darinya.


Meskipun demikian, kenyataan lain menunjukkan bahwa rumah rajutan laba-

laba itu adalah rumah yang paling lemah, bahkan tidak layak untuk sebutan rumah,

yang terdiri dari tembok besar, atap tinggi, pintu dan jendela. Rumah laba-laba bukan

hanya tidak mempunyai kelengkapan seperti itu, bahkan rumah laba-laba akan lenyap

hanya dengan sedikit terpaan angin dalam siklus fenomena alami. Sebuah hembusan

angin ringan yang menerpanya sudah dapat mengoyak rajutan atau sarang laba-laba

itu. Bisa juga, dengan setetes air yang jatuh tepat kepadanya jala-jala itu akan koyak.

Jala-jala atau sarang itu juga mudah terbakar bila dekat api, dan mudah tercabik bila

terkena terbaran debu.

Inilah keadaan yang dijadikan penyerupa (yakni sarang laba-laba). Dan al-

Quran memperumpamakan keadaan tuhan-tuhan buatan orang-orang kafir itu dengan

perumpamaan yang memukau ini; bahwa tuhan-tuhan itu tidak bermanfaat, tidak

menciptakan, tidak memberi rezki, dan tidak mampu mengabulkan permintaan apa

pun.

Bahkan keadaan tuhan-tuhan palsu dan dusta itu lebih buruk dari rumah-

rumah laba-laba. Laba-laba merajut rumahnya untuk dapat memangsa serangga dan

tanpa melakukan itu ia akan mati kelaparan. Sedangkan patung-patung berhala tidak

memberikan sesuatupun pada orang kafir. Dengan demikian, dapatlah dipahami

kebesaran tamtsil ini dalam firman-Nya: Dan sesungguhnya rumah yang paling

lemah adalah rumah laba-laba....

Selanjutnya, yakni ayat kalau mereka mengetahui, bukanlah sebagai syarat

terhadap ayat; Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-

laba.... Sebab, sudah jelas sekali tentang rumah laba-laba sebagai puncak kelemahan

(sebagai rumah). Kalimat ayat ini merupakan penyempurna bagi kalimat;

ittakhadzuu (mereka telah menjadikan). Yakni, kalau mereka mengetahui bahwa


menyembah tuhan-tuhan itu seperti laba-laba yang menjadikan (membuat) sebuah

rumah yang lemah, maka dengan begitu barangkali mereka dapat berpaling dari

(menyembah)nya.

Kemudian Allah SWT mengikutkan perumpamaan dengan ayat berikutnya:

Sesungguhnya Allah mngetahui apa saja yang mereka seru selain Allah dan Dia

Maha perkasa lagi Maha bijaksana. Yang tampak dalam kalimat ini, bahwa huruf

m dalam ayat m taduuna adalah maushuulah (bermakna yang), yakni bahwa

Allah SWT mengetahui apa yang disembah orang-orang kafir dan apa yang mereka

jadikan pelindung-pelindung selain-Nya. Tetapi pengetahuan mereka itu (atau

seandainya pun mereka tahu keadaan ini) tidak berpengaruh karena Dia Maha perkasa

yang tidak terkalahkan, dan Dia Maha Bijaksana dalam segala perbuatan-Nya.

Kemudian ayat di atas diakhiri dengan kalimat: Dan perumpamaan-

perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya

kecuali orang yang berilmu. Yakni, disebutkan al-amtsal tersebut, dan tidak

dipahami melainkan oleh orang-orang yang berilmu.

Surat ar-Rum

Tamtsl 39

Artinya: Dan kepunyaan-Nya lah siapa saja yang ada di langit dan di bumi.

Semuanya hanya tunduk kepada-Nya. Dan Dia adalah yang menciptakan (manusia)

dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan

menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nya lah sifat

Yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada

di antara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam

(memiliki) rezki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama dengan

mereka dalam (hak mempergunakan) rezki itu, kamu takut kepada mereka

sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri. Demikianlah kami jelaskan ayat-ayat

bagi kaum yang berakal [ar-Rum: 26-28].

Tafsir Ayat

Kata al-qnit berarti yang tunduk, yang taat. Dalam Kalimat kullun lahu

qnituun; kata qnituun bermakna tunduk dan taat kepada-Nya dalam hidup, mati

dan kebangkitan. Artinya, semua yang ada di alam ciptaan tunduk kepada Allah SWT.

Sesungguhnya ayat di atas memuat sebuah dalil atas adanya hari kebangkitan

(al-mad) dan sebuah tamtsil atas kebatilan syirik dalam ibadah. Adapun muatan

dalil dalam kalimat: Dan kepunyaan-Nya lah siapa saja yang ada di langit dan di

bumi. Semuanya hanya tunduk kepada-Nya; huruf lm dalam kata lahu adalah

untuk kepemilikan (milkiyah), yakni kepemilikan secara penciptaan atau alami

(takwini), sebagaimana ketundukan mereka pun secara takwini. Makna ayatnya adalah

bahwa tali kendali di alam ciptaan ini berada di tangan Allah, dan semuanya pasrah

kepada kehendak-Nya, baik orang-orang saleh maupun orang-orang thlih (yang keji).

Demikian itu karena Allah SWT adalah Pencipta yang mengurus alam ini sesuai

kehendak-Nya. Dan hamba yang dipelihara (al-marbuub) berpasrah diri kepada

Tuhan yang memeliharanya (ar-Rabb).

Setelah itu Allah menyinggung masalah hari kebangkitan (al-mad), dengan

berfirman: Dan Dia lah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian

mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah

lebih mudah bagi-Nya.


Hasil argumentasinya, bahwa Allah maha kuasa menciptakan dari ketiadaan

sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat dan Dia maha kuasa untuk

mengembalikannya (setelah manusia dimatikan oleh-Nya). Hal demikian bukan

berarti pengembalian dari ketiadaan, tetapi pengembalian bagi bentuk bagian-bagian

yang saling berkaitan dan menyusun kembali yang terpisah. Artinya, mencipta sesuatu

dari yang sebelumnya tiada lebih unggul daripada mencipta dari sesuatu yang pernah

ada sebelumnya.

Sifat keunggulan ini menurut pandangan dan pemikiran kita, atau perkara-

perkara yang bersifat mungkin bagi kehendak-Nya tidak memiliki perbedaan. Imam

Ali bin Abil Thalib as berkata: Dan tiada yang besar dan yang halus, yang berat dan

yang ringan, yang kuat dan yang lemah dalam ciptaan-Nya melainkan sama saja

(bagi-Nya) (Nahjul Balaghah, khutbah 185).

Untuk menjelaskan makna ini, Allah SWT berfirman: Dan bagi-Nya lah sifat

Yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana. Kata al-matsal dalam ayat ini bermakna sifat, dan yang dimaksud al-

matsal al-al adalah sifat yang paling tinggi dan paling sempurna. Dialah Allah SWT

yang adalah ilmu seluruhnya, qudrah seluruhnya dan hidup seluruhnya. Tiada batas

bagi sifat-sifat-Nya.

Demikianlah yang diargumentasikan al-Quran (yakni perkara pertama)

mengenai adanya kebangkitan (al-mad). Selanjutnya tentang perkara kedua, yaitu

pencelaan terhadap syirik dalam ibadah, melalui tamtsil berikut.

Allah SWT memberikan perumpamaan dalam bentuk pertanyaan yang bersifat

pengingkaran (istifhm inkri), dan kesimpulannya, seperti ini: Apakah kalian rela

pada diri kalian sendiri bahwa budak-budak kalian itu menjadi serikat bagi kalian

(turut campur) dalam harta yang telah diberikan kepada kalian? Atau dalam arti kalian
takut menggunakan harta milik kalian itu tanpa seizin budak-budak itu dan kalian

ridha kepada mereka, sebagaimana kalian takut kepada para serikat yang merdeka.

Jawabnya, tentu saja tidak! Tidaklah mungkin menjadi demikian selamanya.

Sebab, tidak mungkin yang termiliki atau budak menjadi serikat bagi tuannya di

dalam harta (milik tuannya). Maka, kalau demikian faktanya: (lalu) bagaimana kalian

membolehkan hal itu terhadap Allah, dan menjadikan sebagian dari hamba-hamba-

Nya seperti malaikat dan jin menjadi sekutu bagi-Nya, baik dalam mencipta,

memelihara, dan dalam ibadah.

Alhasil, dalam perumpamaan ini hamba yang dimiliki secara peletakan tidak

benar memiliki hak tuannya dan berserikat dengannya dalam harta. Demikian pula

dengan hamba yang dimiliki secara penciptaan, tidak mungkin memiliki derajat

Pencipta dan Pemelihara, sehingga ia bisa bersekutu dengan-Nya dalam perbuatan.

Seolah ia menjadi Pencipta (Khliq) dan Pemelihara (Mudabbir), atau memiliki sifat

tertentu seolah ia menjadi yang disembah.

Jadi, sesuatu yang tidak kalian ridhai untuk diri kalian sendiri, bagaimana

mungkin kalian meridhainya untuk Allah SWT, sementara Dia adalah Tuhan semesta

alam. Matsal atau perumpamaan demikian ini diisyaratkan dalam ayat: Dia membuat

perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri; yakni Allah SWT membuat bagi

kalian perumpamaan yang diambil diri kalian, dan diangkat dari keadaan-keadaan

kalian, seperti: Apakah ada di antara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan

kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezki yang telah Kami berikan kepadamu.

Kalimat hal lakum (apakah bagi kalian) merupakan permulaan pada perumpamaan

yang dibuat, dan pertanyaan itu adalah untuk pengingkaran. Huruf m dalam ayat

mimm malakat adalah mengisyaratkan pada suatu golongan (an-nau), yakni salah

satu golongan yang dimiliki oleh tangan kanan kalian berupa budak sahaya.
Kalimat dalam ayat: sekutu bagimu dalam (memiliki) rezki yang telah Kami

berikan kepadamu; maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan)

rezki itu adalah penjelas bagi persekutuan yang dimaksud. Kata syurak` pada ayat

ialah sebagai mubtada`, dan kata setelahnya, zharaf, sebagai khabar-nya. Yakni

sekutu di dalam apa yang telah Kami berikan, dalam arti bahwa kalian adalah sama.

Atas itu orang yang ada di dalam syurak` adalah sebagai tambahan.

Sedangkan kalimat: kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut

kepada dirimu sendiri adalah keterangan (bayn) bagi persekutuan, yakni budak

sahaya menjadi seperti para sekutu yang merdeka. Sebagaimana seorang sekutu takut

kepada para sekutu (lain)nya yang merdeka, demikian pula ia takut kepada hambanya

yang diketahui bahwa ia adalah sekutu seperti semua sekutu lainnya.

Kemudian ayat tersebut diakhiri dengan kalimat: Demikianlah kami jelaskan

ayat-ayat ini bagi kaum yang berakal. Atas penjelasan demikian maka al-musyabbah

adalah memposisikan makhluk pada derajat khalik. Sedangkan al-musyabbah bihi

adalah menempatkan yang termiliki sebagai sekutu bagi si pemilik.

Surat Fathir

Tamtsl 40

Artinya: Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum

dan yang lain asin lagi pahit. Dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan

daging yang segar dan dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya,

dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut agar

kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur [Fathir: 12]

Tafsir Ayat
Kata al-furt berarti air tawar, yang digunakan untuk kata tunggal dan jamak.

Dalam kalimat: wa asqainkum m`an furtan (dan Kami beri minum kamu

dengan air yang tawar), kata tawar menjadi syarat yang bersifat menjelaskan (qaid

taudhihi).

Kata al-ujj berarti sangat asin dan amat panas, sebagaimana perkataan orang-

orang, ajiiju n-nr yang berarti kerasnya panas api. Sedangkan kata mawkhir, dari

kata makhr, terdapat dalam kalimat makharati s-safiinatu makhran (kapal itu

berjalan membelah air, kapal itu membelah air dengan halauan di hadapannya.

Ayat di atas membuat perumpamaan tentang hak (atau akibat) kekufuran dan

keimanan, atau tentang keadaan orang kafir dan orang mukmin. Mereka tidak sama

dalam hal kebaikan dan manfaat, seperti dijelaskan dalam ayat: Dan tiada sama

(antara) dua laut; yang ini tawar, segar, dan sedap diminum, dan yang lain asin lagi

pahit. Orang kafir berada dalam keadaan paling buruk ketimbang air laut yang amat

asin, dan laut asin ini berbagi dengan laut yang tawar dalam dua hal: Pertama, keluar

dari keduanya daging segar yang dimakan manusia, sebagaimana ayat: Dari masing-

masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar. Dan kedua, keluar dari

keduanya suatu karunia (permata) yang muncul dari laut dengan cara menyelam, yang

dengan itu manusia memakainya atau menjadikannya perhiasan. Sampai di sini

selesailah tamtsil ayat.

Kemudian Allah SWT menjelaskan nikmat-nikmat-Nya: ...dan pada masing-

masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu kamu dapat

mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur. Sedangkan untuk dalil bahwa

bagian ayat ini bukan termasuk dari matsal adalah berubahnya isi perkataan. Matsal

ini dimulai dalam bentuk lampau; wa m yastawi l-bahrn (dan tiada sama

(antara) dua laut). Namun kalimat berikutnya dalam bentuk lawan bicara
(mukhthab), wa tar l-fulka (kamu lihat kapal-kapal). Dan inilah dalil bahwa

bagian ini bukan termasuk bagian dari matsal atau perumpamaan.

Bersandar pada kandungan maksud ayat di atas terdapat penjelasan yang

berhubungan, seperti dalam surat an-Nahl: Dan Dialah, Allah yang menundukkan

lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan),

dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu

melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari

karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur [an-Nahl: 14].

Dengan keterangan demikian tampak bahwa muatan ayat tersebut seperti

muatan pada ayat; Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan

lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-

sungai dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah

mata air dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena

takut kepada Allah. Dan sekali-kali Dia tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan

[al-Baqarah: 74]

Sebagaimana batu itu lebih lunak dari hati mereka, maka begitu pula dengan

garam yang amat asin masih lebih afdhal dari orang kafir, mengingat garam itu

bermanfaat.

Tamtsl 41

Wa m yastawi l-am wa l-bashir. Wa l zh-zhulumt wa l n-nur. Wa l zh-zhillu

wa l l-harur. Wa m yastawi l-ahy`u wa l l-amwtu inna l-llha yusmiu man

yasy`u wa m anta bi musmiin man fi l-qubur

Artinya: Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat.

Dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya. Dan tidak (pula) sama yang teduh

dengan yang panas. Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang
yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang

dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di

dalam kubur dapat mendengar. [Fathir: 19-22]

Tafsir Ayat

Kata al-harur yang berarti kerasnya panas matahari, mempunyai makna lain

yaitu samum atau angin panas, sebagaimana yang dikatakan ar-Raghib.

Inilah tamtsil bagi orang kafir dan orang mukmin. Orang kafir menyerupakan sifat-

sifatnya seperti berikut ini: 1- Al-am (yang buta). 2- Azh-zhulumt (gelap gulita). 3-

Al-harur (yang sangat panas). 4- Al-amwt (orang-orang yang mati).

Sedangkan orang mukmin menyerupakan kebalikan dari sifat-sifat tersebut,

yaitu: 1- Al-bashir (yang melihat). 2- An-nur (cahaya). 3- Azh-zhill (yang teduh). 4-Al-

ahy (orang-orang yang hidup).

Karena orang kafir tidak memiliki keimanan kepada Allah, sifat-Nya dan

perbuatan-Nya maka ia buta, penglihatannya diliputi kegelap-gulitaan dan tidak dapat

melihat sesuatupun di balik dunia, dan dikelilingi api (neraka). Keadaan seperti ini

juga dijelaskan dalam ayat lain, seperti: Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-

benar meliputi orang-orang kafir [at-Taubah: 49]. Yang tampak pada ayat, bahwa

api meliputi mereka di dunia ini meskipun mereka tidak merasakannya, sebagaimana

orang mati tidak mendengar seruan para nabi. Berbeda dengan orang mukmin; yang

melihat sesuatu dengan cahaya Allah, dan jalannya diliputi cahaya yang bersinar.

Orang mukmin melihat pada keabadian hidup setelah kematian. Ia berada di bawah

naungan rahmat-Nya yang teduh dan selalu mendengarkan seruan para nabi dan

mengimaninya.
Pendek kata, bahwa orang-orang kafir menjadi petarung dan penentang

(kebenaran), sedangkan orang-orang mukmin adalah mereka yang berkesadaran dan

merenungkan ayat-ayat Tuhan.

Surat Yasin

Tamtsl 42

Wa dhrib lahum matsalan ashhbu l-qaryati idz j`a h l-mursalun* idz arsaln

ilahimu tsnaini fa kadzdzabu hum faazzazn bi tslitsin fa qlu inn ilaikum

mursalun* qlu m antum ill basyarun mitslun wa m anzaln r-rahmnu min

syai`in in antum ill takdzibun* qlu rabbun yalamu inn ilaikum lamur salun* wa

m alain ill l-balghu l-mubin* qlu inn tathayyarn bikum lain lam tantahu

lanarjumannakum wa layamassannkum minn adzbun alim* qlu thirukum

maakum ain dzukkirtum bal antum qaumun musrifun* wa j`a min aqsh l-madinati

rajulun yas qla y qaumi ttabiu l-mursalin* ittabiu man l yas`alukum ajran wa

hum muhtadun* wa m liya l abudu l-ladzi fatharani wa ilaihi turjaun* a attakhidzu

min dunihi lihatan in yuridni r-rahmnu bi dhurrin l tughni anni syafatuhum

syai`an wa lyunqidzun* inni idzan lafi dhallin mubin* inni mantu bi rabbikum fa

smaun* qila dkhuli l-jannata qla y laitani qaumi yalamun* bi m ghafara li rabbi

wa jaalani mina lmukramin* wa m anzaln al qaumihi min badihi min jundin

mina s-sam`I wa m kunn munzalin* in knat ill shaihatan whidatan fa idz hum

khmidun* y hasratan al l-ibdi m ya`tihim min rasulin ill knu bihi

yastahzi`un*

Artinya: Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk

suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka; (yaitu) ketika Kami

mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya;

kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata:
Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu. Mereka menjawab:

Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah

tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka. Mereka

berkata: Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang

diutus kepada kamu. dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan

(perintah Allah) dengan jelas. Mereka menjawab: Sesungguhnya kami bernasib

malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami),

niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih

dari kami. Utusan-utusan itu berkata: kemalangan kamu adalah karena kamu

sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya

kamu adalah kaum yang melampaui batas. Dan datanglah dari ujung kota, seorang

laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu,

ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang

yang mendapat petunjuk. Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah

menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya kamu (semua) akan dikembalikan?

Mengapa aku menyembah tuhan-tuhan selain-Nya jika (Allah) Yang Maha Pemurah

menghendaki kemudaratan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi

manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?

Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata.

Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan

keimanan)ku. Dikatakan (kepadanya): Masuklah ke surga, Ia berkata: Alangkah

baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi

ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan. Dan

Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukanpun

dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya. Tidak ada siksaan atas mereka
melainkan satu teriakan saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati. Alangkah

besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasulpun

kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya [Yasin: 13-30]

Tafsir Ayat

Kata at-taziz berarti kemenangan disertai pemuliaan, sebagaimana Allah

SWT mengabarkan tentang sifat Nabi Muhammad saw; Maka orang-orang yang

beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya.... [al-Araf: 157].

Kata thayyara berarti fulan meramalkan tidak baik. Makna asalnya adalah

optimis akan datangnya keburukan. Kemudian kata ini digunakan pada setiap

ungkapan meramalkan hal yang tidak baik. Jadi, kalimat ayat: inn tathayyarn

bikum, bermakna tasyamn, yakni kami meramalkan datangnya keburukan

(terjemahan ayatnya: Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu).

Dengan demikian, makna ayat tersebut berbunyi: innam th`irukum

maakum atau kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri, yaitu sesungguhnya

yang harus kalian malangkan adalah nasib kalian. Maksudnya adalah keadaan kalian

yang berpaling dari kebenaran (Tauhid), dan pilihan kalian menetap atas kebatilan.

Kata ar-rajm berarti melempar dengan batu. Dan kata ash-shaihah artinya

mengangkat suara (teriakan).

Perumpamaan ini bersifat pemberitaan (tamtsil ikhbri). Ia memberitakan

keadaan kaum tempat para rasul diutus Allah untuk menyeru mereka. Lalu mereka

mendustakan para rasul-Nya sambil mendebat dengan dalil-dalil yang amat lemah.

Kemudian seorang laki-laki datang kepada mereka dari ujung kota, yang

menyeru kepada mereka agar mengikuti para rasul itu dengan hujjah bahwa risalah

utusan Allah adalah risalah yang haq. Tetapi kaum itu menyia-nyiakannya dan bahkan
membunuhnya. Pada saat itu suara keras (teriakan) melingkupi para pendusta dan

sekejap kemudian membinasakan mereka seketika.

Begitulah kisah garis besarnya. Adapun cerita detailnya adalah sebagai

berikut:

Para mufasir menyebutkan bahwa al-Masih (Nabi Isa as) mengutus dari al-

Hawariyun dua orang utusan bernama Syamun dan Yohanna ke wilayah Anthakiyah.

Mereka berdua menyeru penduduk Anthakiyah pada keesaan Tuhan dan mencela

keberhalaan, sementara kaum dan raja mereka hanyut dalam keberhalaan. Mereka

berdua memanggil penduduk dan menjelaskan kedudukannya sebagai utusan. Namun

mereka berdua didustakan dan dipukuli oleh sebagian penduduk. Lalu Allah

menguatkan kedua utusan itu dengan utusan ketiga. Para mufasir berselisih mengenai

nama utusan yang ketiga, dan bagi kami tidak (terlalu) penting menentukan siapa

namanya. Beberapa mufasir mengatakan utusan yang ketiga itu bernama Bulis. Ketika

itu, kaum Anthakiyah mengambil sikap menantang, menentang, dan congkak, sambil

berhujjah dengan dalil-dalil yang lemah. Dalil yang mereka lontarkan antara lain:

a.) Bahwa kalian (hai para rasul) adalah manusia biasa seperti kami dan tiada

keistimewaan kalian atas kami. Dan risalah Tuhan yang kalian serukan itu adalah

dakwahan dusta. Para rasul menjawab dan berusaha meyakinkan penduduk, bahwa

Allah SWT mengetahui keberadaan mereka yang diutus kepada seluruh penduduk.

Dan rasul hanyalah menyampaikan sebagaimana haknya sebagai rasul Tuhan.

b.) Bahwa kami bernasib malang karena kalian. Berhujjah seperti ini adalah

hujjah orang lemah yang tidak mampu berdalil dengan sesuatupun, sehingga

bersandar pada tuduhan kepada para rasul dengan ramalan nasib buruk yang akan

dialaminya.
c.) Bahwa ancaman rajam bagi para utusan itu jika mereka tetap terus

menyampaikan risalah dan mengajak penduduk pada tauhid dan melarang

menyembah berhala.

Para rasul itu menjawab dengan dua jawaban: Pertama; bernasib malang

adalah karena kalian sendiri. Yakni, sebagai akibat dari amal perbuatan dan sikap

kalian menjauh dari kebenaran, dan memilih menetap dengan kebatilan yang

menjerumuskan kalian pada celaka dan petaka. Kedua, sesungguhnya kalian adalah

kaum yang melampaui batas.

Para rasul berhujjah menggunakan dalil yang terang dan membantah alasan-

alasan lemah para penentang dengan jawaban-jawaban di atas. Di tengah keadaan

seperti itu datanglah seorang laki-laki dari ujung kota yang akan menolong dan

menguatkan perkataan dua utusan dan dakwah mereka dengan berhujjah bahwa

mereka adalah utusan yang benar. Hal demikian karena beberapa perkara sebagai

berikut (seperti diucapkan utusan ketiga):

Pertama, dakwah mereka bukanlah untuk mencari harta, kedudukan dan

jabatan. Ini adalah bukti keikhlasan mereka dalam berdakwah, dan mereka sungguh

telah menanggung beban perjalanan yang jauh dan tidak meminta sesuatu sedikitpun.

Kedua, sesungguhnya yang patut disembah adalah yang mencipta dan memelihara

alam (ciptaan-Nya). Di tangan-Nya ditentukan nasib makhluk di dunia dan akhirat,

Dia-lah Allah SWT yang memberiku manfaat. Maka bagaimana mungkin aku

tinggalkan menyembah Sang Khalik yang di tangan-Nya segala sesuatu, dan berpaling

pada menyembah makhluk (tuhan palsu) yang tidak mampu melindungiku dari

marabahaya dan syafaatnya tidak memberiku manfaat? Seandainya aku berpegang

pada tuhan selain-Nya niscaya aku dalam kesesatan yang nyata.


Ketika telah sempurna hujjah terhadap kaum penentang dan mengokohkan

para rasul sebelumnya serta menjelaskan burhn keharusan mereka untuk taat, maka

ia memberitahu kepada seluruh penduduk; Sesungguhnya aku telah beriman kepada

Tuhanmu, maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)ku.

Dari hubungan pasangan kata dan kalimat dalam ayat tampak bahwa kaum

pembangkang itu menyerang dan membunuh utusan tersebut. Allah SWT membalas

amalnya dan memasukkannya ke surga. Ia berbahagia dan senang andai kata kaumnya

mengetahui nasib baiknya di sisi Allah SWT.

Ketika telah jelas penentangan penduduk yang diseru, yang membunuh orang

yang menyampaikan hujjah kuat kepada mereka, maka turunlah azab Allah. Para

penentang itu dikalahkan oleh satu teriakan yang mematikan dan mereka menjadi

seperti benda mati.

Ketika manusia memilih kesesatan di atas petunjuk, dan mengambil kebatilan

di atas kebenaran, maka tepatlah firman Allah SWT: Alangkah besarnya penyesalan

terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasulpun kepada mereka melainkan

mereka selalu memperolok-olokkannya. Inilah hakikat kisah itu, yang terungkapkan

setelah pendalaman ayat-ayat di atas. Sebagian mufasir berlebihan dalam mengutip

kisah-kisah dengan mengambil cerita dari kepercayaan Ahlulkitab yang telah

menyebarkan cerita-cerita yang tidak ada sumbernya di tengah kaum muslimin,

sehingga apa yang dibawa ahlulkitab itu tidak dapat dijadikan sandaran.

Dari Ayat-ayat di atas terdapat beberapa poin yang layak untuk ditelaah:

Pertama, sebagian mufasir menyebutkan bahwa dua utusan bukanlah dua

utusan dari Allah secara langsung. Akan tetapi mereka berdua diutus oleh al-Masih,

seperti juga utusan yang ketiga. Ketika al-Masih mengutus atas perintah Allah, maka
tindakan al-Masih dinisbatkan kepada Allah SWT; ketika Kami mengutus kepada

mereka dua orang utusan.

Kedua, kita memahami bahwa kaum bersikap membantah dan menentang.

Mereka mengatakan: Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami, dan dari

kalimat itu kemungkinan muncul beberapa segi: 1) kalian hai para rasul adalah

manusia, sedangkan manusia bukanlah seorang rasul dari Allah. Karenanya tidaklah

diterima risalah-risalah mereka sebab para pembawanya adalah manusia;

2) penolakan dakwah risalah ialah karena tiadanya keistimewaan yang lebih

pada diri para rasul itu yang mereka lihat sehingga harus mengutamakan para rasul

itu dari umat. Demikian yang tampak dari kata mitslun (seperti kami). Atau

paling tidak, seandainya para rasul itu dibekali sesuatu yang lain, barangkali tidak

benar juga menjadikan persamaan antarmereka untuk beralasan kepada Tuhan.

3) kisah itu menerangkan bahwa logika kekuatan adalah logika perlawanan.

Ketika kaum itu lemah dalam membalas burhn (para rasul), mereka lantas bersandar

pada logika kekuatan dengan membunuh para penyeru dan penegak kebenaran;

sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam

kamu.

4) meramalkan nasib buruk adalah senjata (alasan) para penentang dan

penantang. Senjata itu di tangan para pembangkang kebenaran, yang meramalkan

nasib buruk mereka lantaran seorang hamba (penyembah Allah) dan yang lainnya.

5) yang tampak di permulaan ayat bahwa para rasul itu diutus ke suatu wilayah

atau desa. Dan kalimat seperti itu biasanya digunakan pada lingkup masyarakat yang

besar atau kecil, tetapi kalimat: Dan datanglah dari ujung kota seorang laki-laki...

menunjukkan bahwa wilayah itu adalah sebuah kota dan masyarakat besar atau kecil.
6) Allah menyifati seseorang yang datang kemudian dan bangkit mendukung

sikap para rasul, sebagai orang yang datang dari ujung kota. Hal ini menekankan

bahwa tidak ada hubungan antara ia dengan para rasul. Karena itu kata yang

terungkap; aqsh l-madinah (ujung kota) kepada si pelaku yang seorang laki-laki,

dalam kalimat Dan datanglah dari ujung kota seorang laki-laki...

7) Ungkapan dalam ayat: Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah

menciptakanku... merupakan bukti bahwa ibadah adalah ketundukan yang lahir dari

keyakinan akan Dzat yang disembah yang mencipta dan memelihara (alam semesta),

sebagai sifat-sifat yang dekat dalam penglihatan hamba. Artinya, dengan keimanan

dan ketauhidanlah ia menyembah Allah SWT; Mengapa aku tidak menyembah

(Tuhan) yang telah menciptakanku.... Dan dengan itu pula ia membatasi ibadahnya

(hanya) kepada Allah SWT dan menolak menyembah selain-Nya, karena yang selain-

Nya adalah lemah dan tidak memiliki syafaat apapun.

8) Pasangan-pasangan kata dalam ayat membuktikan bahwa orang yang

bangkit berdakwah di jalan para rasul itu terbunuh dalam dakwahnya, dan Allah

membalasnya dengan surga. Yang dimaksud surga dalam ayat itu adalah

kebahagiaan di alam barzakh, bukan surga abadi di mana manusia tidak akan

memasukinya sebelum tiba hari kiamat.

9) Dalam pesan yang disampaikan oleh orang laki-laki yang terbunuh itu;

Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku

memberi ampun kepadaku terkandung sebuah dalil atas adanya hubungan antara

kehidupan barzakh dan materi (dunia). Ia berharap agar kaumnya mengetahui apa

yang Allah berikan kepadanya berupa kenikmatan setelah kematian. Allah SWT

berfirman: Dikatakan (kepadanya): Masuklah ke surga Ia berkata: Alangkah

baiknya sekiranya kaumku mengetahui.


Tamtsl 43

A wa lam yara l-insnu ann khalaqnhu min nuthfatin fa idz huwa khashimun

mubin* wa dharaba lan matslan wa nasiya khalqahu wa qla man yuhyi l-izhma wa

hiya ramim* qul yuhyih l-ladzi ansya`ah awwala marratin wa huwa bi kulli khalqin

alim*

Artinya: Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami

menciptakannya dari air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!

Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia

berkata: Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur

luluh. Katakanlah: Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama

kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk [Yasin: 77-79].

Tafsir Ayat

Para mufasir meriwayatkan: Ubay bin Khalaf atau al-Ash bin Wail menemui

Rasulullah saw dengan membawa tulang yang remuk dan rusak sambil berkata: Hai

Muhammad! Apakah kamu punya dalil bahwa Allah akan membangkitkan ini?.

Rasulullah saw menjawab: Ya!. Lalu turunlah ayat di atas: Dan apakah manusia

tidak memperhatikan...

Orang-orang kafir membuat perumpamaan dengan ucapan: Bagaimana Allah

menghidupkan tulang-belulang yang hancur lebur? Dan Allah SWT membuat

perumpamaan lain dengan kalimat: bahwa yang menghidupkannya adalah yang

menciptakannya pertama kali. Yang mampu menciptakannya pertama kali akan

mampu mengembalikannya, dan mengembalikan itu lebih mudah dari menciptakan

dan mengawalinya. Ungkapan lebih mudah hanyalah dilihat dari kaca mata

manusia. Sedangkan bagi Allah Azza wa Jalla segala sesuatu adalah sama di hadapan-

Nya.
Allah SWT berfirman: Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami, yakni

orang kafir itu membuat perumpamaan dalam mengingkari pembangkitan tulang

belulang yang hancur lebur. Ia seolah terheran-heran dengan mengatakan, apakah

mungkin Allah menghidupkan kembali tulang belulang yang sudah hancur luluh itu,

dan ia telah lupa pada kejadiannya sendiri: Siapakah yang dapat menghidupkan

tulang-belulang, yang telah hancur luluh.

Tapi Allah SWT membalasnya dengan ungkapan yang begitu indah dan kuat:

Katakanlah: Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama kali.

Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk Tuhan mengetahui,

menciptakan, dan membangkitkannya. Perumpamaan ini telah diungkapkan

sebelumnya dengan kalimat yang lain: Dan Dia lah yang menciptakan (manusia)

dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan

menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya [ar-Rum: 27].

Surat az-Zumar

Tamtsl 44

Wa laqad dharabn fi hdza l-qur`ni min kulli matsalin laalahum yatadzkkarun*

qur`nan arabiyya ghaira dzi iwajin laallahum yattaqun* dharaba l-llhu matsalan

rajulan fihi syurak`u mutasykisun wa rajulan salaman li rajulin hal yastawiyni

matsalan al-hamdu li l-llhi bal aktsarahum l yalamun*

Artinya: Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Quran ini

setiap macam perumpamaan supaya mereka mendapat pelajaran. (Yakni) al-Quran

dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka

bertakwa. Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang

dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang sedang berselisih dan seorang

budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak
itu sama keadaannya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak

mengetahui. [Az-Zumar: 27-29]

Tafsir Ayat

Kata asy-syakis berarti yang jelek akhlaknya. Kalimat: syurak`u

mutasykisun, berarti orang-orang yang berserikat yang berselisih karena buruknya

akhlak mereka. Sedangkan kata salaman artinya (budak itu) murni hanya dimiliki

seorang saja dan ia hanya mengabdi kepada (tuan)nya.

Ayat di atas memisalkan keadaan orang kafir dan orang mukmin. Jadi, ada

yang diserupakan dan ada yang diserupai.

Yang diserupakan adalah seorang budak yang mempunyai beberapa orang

berserikat yang berakhlak buruk dan saling bertengkar. Yang satu memerintahkannya

dan yang lain melarangnya. Setiap dari mereka menginginkan budak itu hanya

berkhidmat padanya. Sebaliknya adalah keberadaan seorang budak bagi seorang laki-

laki. Si budak patuh dan mengabdi hanya padanya, dan si budak tidak menyekutukan

(orang laki-laki itu) dengan orang lain. Maka jelaslah, keadaan dua orang yang

termiliki itu tidak sama.

Sedangkan yang diserupai ialah keadaan orang kafir. Keadaannya seperti

budak yang dimiliki oleh orang-orang yang berserikat yang sedang berselisih. Ia

menyembah tuhan-tuhan dengan bermacam-macam perintah, larangan, dan

pengabdiannya. Adalah mustahil baginya untuk menggabungkan pandangan dan

keinginan yang bermacam-macam itu. Hal ini berbeda dengan kondisi orang mukmin,

yang hanya mengerjakan perintah Sang Khalik saja, Sang Maha Bijaksana, Maha

Kuasa, dan Maha pemurah.

Meskipun perumpamaan ini merupakan perumpamaan yang jelas, sederhana,

dan mudah dipahami oleh semua lapisan manusia, tetapi di dalamnya terdapat rahasia
(makna batin) yang tidak diketahui melainkan hanya oleh mereka yang ber-tadabbur

tentang al-Quran. Allah SWT memberi argumentasi atas Tauhid seperti ini:

Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah dua-duanya

telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai Arsy dari pada apa

yang mereka sifatkan. [al-Anbiya: 22]. Juga dengan ungkapan pertanyaan:

Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang

Maha Esa lagi Maha Perkasa? [Yusuf: 39].

Surat az-Zukhruf

Tamtsl 45

wa kam arsaln min nabiyyin fi l-awwalin* wa m ya`tihim min nabiyyin ill knu

bihi yastahzi`un* fa ahlakn asyadda minhum bathsyan wa madh matsalu l-

awwalin.

Artinya: Berapa banyaknya nabi-nabi yang telah Kami utus kepada umat-

umat yang terdahulu. Dan tiada seorang nabipun yang datang kepada kecuali mereka

selalu memperolok-olokkannya. Maka telah Kami binasakan orang-orang yang

memiliki kekuatan lebih besar dari mereka itu (musyikin Mekkah) dan telah terdahulu

(tersebut dalam Al-Quran ) perumpamaan umat-umat masa dahulu. [Az-Zukhruf: 6-

8]

Tafsir Ayat

Kata al-bathsy ialah sesuatu telah berkuasa, yang dan barangkali bermakna

kekuatan dan pertahanan. Dalam ayat ini disebutkan tentang umat-umat dahulu yang

telah diutus para rasul Allah kepada mereka. Tetapi dengan kejahilan dan kebodohan

mereka yang berlebihan, mereka meningkari dan mencemooh para utusan Allah

tersebut. Maka, akibat perbuatan itu, Allah membinasakan mereka dengan bermacam-

macam azab meskipun mereka mempunyai kekuatan dan keberanian.


Inilah keadaan yang dipersamakan, yaitu umat-umat dahulu. Sedangkan yang

diserupai, ialah kaum musyrikin di masa risalah Muhammad saw diturunkan. Mereka,

kaum kafir dan musyrik Mekah memperolok-olok Nabi Muhammad saw. Maka Allah

SWT mengancam mereka dengan sesuatu yang pernah dialami umat-umat dahulu,

yang hancur binasa meskipun mempunyai kekuatan jauh lebih besar ketimbang yang

(kekuatan) dimiliki orang-orang Quraisy dan para pengikut mereka. Maka hendaklah

mereka mempertimbangkan keadaan mereka.

Allah SWT berfirman: Berapa banyaknya nabi-nabi yang telah Kami utus

kepada umat-umat yang terdahulu. Dan tiada seorang nabipun datang kepada

mereka selalu memperolok-olokkannya. Begitulah yang terjadi pada umat-umat

dahulu dalam sejarah, dan Allah, Yang Maha Bijaksana, tidak berpaling dari mereka.

Allah SWT memberikan hukuman kepada mereka; Maka telah Kami binasakan

orang-orang yang lebih besar kekuatannya dari mereka itu (musyikin Mekkah) dan

telah terdahulu (tersebut dalam Al-Quran) perumpamaan umat-umat masa dahulu.

Allah mengabarkan keadaan kaum penentang risalah yang sangat mengherankan itu

sehingga layak untuk diperumpamakan dengan umat-umat terdahulu.

Dengan kata lain, orang-orang kafir Mekah telah melangkah dalam pendustaan

dan kekufuran, seperti langkah orang-orang zalim sebelum mereka. Oleh karena itu,

Allah SWT memperingatkan agar mereka waspada terhadap turunnya bencana seperti

telah dialami umat-umat sebelumnya. Perumpamaan serupa disebutkan dalam surat

al-Furqan ayat-39: Dan Kami jadikan masing-masing mereka tamtsil ibarat.

Perlu Diperhatikan

Barangkali ayat berikut ini dianggap sebagai matsal al-Quran: Padahal

apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang
dijadikan misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat

sedang dia amat sangat (dalam) menahan sedih. [az-Zukhruf: 17].

Orang-orang musyrik di zaman Jahiliyah menduga bahwa malaikat adalah

para perempuan dan sebagai putri-putri Tuhan, seperti disebutkan dalam ayat

berikutnya (ayat-19); Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat hamba Allah Yang

Maha pemurah itu sebagai orang-orang perempuan. Atas pernyataan mereka itu

Allah SWT menjelaskan: Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-

malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai

pertanggung-jawaban.

Begitu pula dengan firman-Nya: Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-

anak perempuan. Maha suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan)

apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki) [an-Nahl: 57]. Ayat-ayat ini

mengungkap pandangan kaum musyrikin yang menganggap malaikat sebagai anak-

anak perempuan Allah Yang Maha Suci.

Di samping itu, dalam ayat ke-17 Surat az-Zukhruf di atas juga menceritakan

tentang ciri khas kaum musyrikin, bahwa jika mereka dikaruniai anak-anak

perempuan, muka-muka mereka menjadi suram karena diliputi kemarahan dan

menahan kepedihan. Allah SWT berfirman: Padahal apabila salah seorang di

antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang mereka jadikan misal pada

Allah Yang Maha pemurah......., karena mereka menyatakan bahwa Allah memiliki

malaikat sebagai anak-anak perempuan-Nya. .......jadilah mukanya hitam pekat

sedang dia amat menahan sedih.

Ayat ini termasuk perumpamaan bersifat pemberitahuan (matsal ikhbri) dan

bukan bersifat pengarangan (matsal insy`i). Sesungguhnya ayat ini bermakna sifat,

yakni mereka telah menyifati Allah bahwa Dia mempunyai anak-anak perempuan.
Dan mereka adalah para pembohong dalam sifat tersebut. Oleh sebab itu, maka tidak

benar bila ayat ini termasuk dalam ayat-ayat perumpamaan (matsal).

Tamtsl 46

Fa stakhaffa qaumahu fa athahu innahum knu qauman fsiqin* fa lamma safun

ntaqamn minhum fa aghraqnhum ajmain* fa jaalnhum salafan wa matsalan li

lkhirin*

Artinya: Maka Firaun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu

mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.

Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka, lalu Kami

tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka sebagai

pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian. [az-Zukhruf: 54-56].

Tafsir Ayat

Kata safun diambil dari kata asafa - asafan (amat sedih), suasana ketika

kemarahan bertambah.

Ar-Raghib mengatakan: al-sif ialah sedih sekaligus marah. Juga dikatakan

kata ini maknanya sedih saja atau marah saja. Pada ayat ini al-sif bermakna marah.

Sedangkan as-salaf artinya yang dahulu.

Dengan demikian Allah SWT memberitahukan tentang murka-Nya terhadap

Firaun dan pengikutnya; fa lamm safun, artinya Maka tatkala mereka

membuat Kami murka. Murka itu terjadi disebabkan oleh perbuatan mereka yang

berlebihan dalam kemaksiatan (melampaui batas), sehingga mereka dibalas dengan

azab; sebagaimana firman Allah SWT: intaqamn minhum (Kami menghukum

mereka). Kemudian Dia menjelaskan bentuk murka-Nya; fa aghraqnhum ajmain

(Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut)). Maka tiada seorangpun dari

mereka yang selamat; fa jaalnhum salafan wa matsalan li lkhirin (dan Kami


jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian);

yakni Kami jadikan mereka sebuah ibrah dan peringatan bagi orang yang datang

kemudian supaya dapat mengambil pelajaran dari kaum terdahulu.

Jadi yang dipersamakan adalah kaum Firaun dan kebinasaan mereka,

sedangkan yang diserupai adalah orang-orang musyrik dan kafir Mekah. Maka,

hendaklah mereka menjadikan keadaan kaum dahulu sebagai contoh (gambaran)

lampau bagi nasib mereka.

Tamtsl 47

Wa lammaa dhuriba bnu maryam matsalan idzaa qaumuka minhu yashudduun* wa

qaalu aalihatunaa khairun am huwa maa dahrabuuhu laka illaa jadalan bal hum

qaumun khashimuun* in huwa illaa abdun anamnaa alaihi wa jaalnaahu matsalan

libanii israa`iil* wa lau nasyaa`u lajaalnaa minkum malaa`ikatan fii l-ardhi

yakhlufuun* wa innahu lailmun li ssaaati fa laa tamtarunna bihaa wa ttabiuuni

haadzaa shiraathun mustaqiim*

Artinya: Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba

kaummu (Quraiys) bersorak karenanya. Dan mereka berkata: Manakah yang lebih

baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu

kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah

kaum yang suka bertengkar. Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami

berikan kepadanya (nikmat (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti

(kekuasaan Allah) untuk Bani Israil. Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami

jadikan sebagai gantimu di muka bumi malaikat-malaikat yang turun temurun. Dan

sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat.

Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku, inilah

jalan yang lurus. [az-Zukhruf: 57-61]


Tafsir Ayat

Kata ash-shad bermakna berpaling dari sesuatu, dan kalimat yashudduuna

anka shuduudan berarti menghalangi dengan sekuat-kuatnya darimu. Tetapi yang

dimaksud dalam ayat di atas adalah teriakan seorang pembantah ketika merasakan

kemenangan. Dan kata tamtarunna dari kata miryah (atau muryah), yakni ragu-ragu

akan suatu perkara.

Para mufasir menyebutkan sebab turun ayat di atas, bahwa Rasulullah saw

ketika melantunkan ayat 98-100 surat al-Anbiya yang artinya: Sesungguhnya kamu

dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk

ke dalamnya. Andai kata berhala-berhala itu tuhan, tentulah mereka tidak masuk

neraka. Dan semuanya akan kekal di dalamnya. Mereka merintih di dalam api dan di

dalamnya tidak bisa mendengar, kaum Quraisy menjadi marah besar.

Abdullah bin az-Zibira, seorang pemuka Quraisy berkata: Hai Muhammad,

apakah itu khusus bagi kami dan tuhan-tuhan kami, atau bagi semua umat?

Rasulullah saw menjawab: Itu adalah bagi kalian dan tuhan-tuhan kalian serta untuk

semua umat.

Ibn az-Zibira berkata lagi: Demi Tuhan Kabah, aku memusuhi engkau!

Bukankah engkau menyatakan bahwa Isa putra maryam adalah seorang nabi dan

engkau memuji Isa dan ibunya. Sementara engkau tahu bahwa kaum Nashrani tetap

menyembah mereka berdua, menyembah Uzair, dan juga menyembah malaikat-

malaikat, meskipun mereka berada di neraka. Kami sungguh rela, diri kami dan tuhan-

tuhan kami tinggal bersama mereka (kaum Nashrani). Lalu mereka gembira dan

tertawa. (al-Kasysyf: 3/100, lihat juga, Sirah Ibn Hisyam: 1/385).

Pada kegembiraan dan teriakan mereka, Allah SWT mengisyaratkan dengan

firman-Nya: idzaa qaumuka minhu yashudduun (tiba-tiba kaummu (Quraiys)


bersorak karenanya). Ketika mereka menyatakan bahwa mereka mendapati perisai

untuk menolak Nabi Muhammad saw dan membatilkan dakwah beliau, maka turunlah

ayat di atas sebagai jawaban atas bantahan mereka yang lemah itu. Allah SWT

berfirman: Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan, yakni ketika

kaum musyrikin menyodorkan putra Maryam (Isa as) sebagai sebuah perumpamaan

dan kesamaan bagi tuhan-tuhan mereka; tiba-tiba kaummu (Quraiys) bersorak

karenanya. Artinya, tamtsil menunjukkan bahwa kaum pengingkar merasa gembira

sekali dan tertawa ketika mereka berusaha membuat Nabi Muhammad saw diam atas

bantahan mereka. Mereka mendebat Nabi saw dengan mengatakan: Manakah yang

lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?. Maksud pertanyaan mereka bahwa

tuhan-tuhan kami menurutmu tidak lebih baik dari Isa, dan apabila Isa merupakan

umpan neraka maka tuhan-tuhan kami adalah hina dan lemah.

Karena itu lalu diketahui, bahwa kaum musyrikin adalah orang-orang yang

membuat perumpamaan di mana mereka menjadikan al-Masih sebagai perumpamaan

dan penyerupaan dengan tuhan-tuhan mereka. Dan mereka rela bila tuhan-tuhan

mereka (harus) berada di neraka. Apabila al-Masih juga demikian keadaannya maka

bertambahlah kegembiraan kaum musyrikin. Mereka menyangka telah berlindung

pada sandaran kuat di hadapan logika Nabi saw.

Allah SWT mengisyaratkan dalam ayat-ayat sebelumnya pada kisah di atas

secara global, dan menjawab argumentasi Ibn az-Zibira;

Pertama, sebenarnya mereka hanya ingin mendebat dan membantah dengan

tamtsil ini dan tidak bertujuan mencari kebenaran. Itu dikarenakan watak mereka yang

suka menantang dan menentang. Allah SWT berfirman: Mereka tidak memberikan

perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja.


Kedua, mereka berpegang pada perumpamaan ini untuk membantah, padahal

mereka mengetahui kebatilan argumen mereka; karena tidak semua yang disembah

adalah umpan Jahannam. Akan tetapi yang disembah seperti Firaun yang mengajak

orang-orang untuk menyembahnya, bukan seperti al-Masih yang adalah seorang

hamba Allah yang menentang kesyirikan. Jadi argumentasi mereka bersandar pada

membantah dan mengingkari kebenaran. Inilah yang dimaksud dalam ayat; Mereka

tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud

membantah saja.

Karena itu, Allah memulai penjelasannya tentang sikap al-Masih, ibadah dan

ketakwaannya kepada Allah, dan bahwa ia adalah salah satu ayat Allah SWT: Isa

tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya (nikmat (kenabian)

dan Kami jadikan dia sebuah matsal untuk Bani Israil; yakni sebagai ayat (tanda

bukti kekuasaan) Allah untuk Bani Israil. Maka kelahirannya adalah mukjizat,

perkataannya di masa bayi adalah mukjizat kedua dan ia mampu menghidupkan orang

mati sebagai mukjizat ketiga. Ia sama sekali tidak pernah menyeru siapa pun agar

menyembah dirinya.

Kemudian, untuk mengangkat kekaburan bahwa Allah butuh pada ibadah

manusia, Dia berfirman: Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan

sebagai gantimu di muka bumi malaikat-malaikat yang turun temurun; yang mereka

itu taat dan selalu menyembah Allah. Jadi tidaklah Allah menekankan ibadah dan

ketauhidan manusia itu kecuali untuk kebahagiaan mereka, dan bukanlah manusia

beribadah (kepada-Nya) untuk memenuhi kebutuhan Allah. Jika manusia tidak

beribadah kepada-Nya, maka dengan kekuasaan-Nya yang luas Dia kuasa

menciptakan malaikat-malaikat yang tunduk pada perintah-Nya (apabila Dia

menghendakinya).
Kemudian Allah mengisyaratkan pada kekhususan al-Masih, yaitu bahwa

turunnya Isa al-Masih as dari langit pada akhir zaman sebagai sebuah ayat (tanda)

dekatnya as-sah (hari kiamat).

Sampai di sini selesailah penafsiran atas ayat. Sedangkan perumpamaannya

telah dijelaskan sebelumnya tatkala mereka menyamakan tuhan-tuhan mereka dengan

al-Masih, dan mereka rela jika tuhan-tuhan itu bersama al-Masih berada di satu

tempat walaupun tempat itu adalah neraka. Yang cocok sebagai perumpamaan ialah

pada ayat; Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan, dan Anda

mengetahui bahwa yang membuat perumpamaan dalam ayat adalah Ibn az-Zibira.

Adapun firman Allah; dan Kami jadikan dia sebuah matsal untuk Bani Israil, kata

matsal pada ayat ini bermakna ayat (tanda kekuasaan Allah).

Perlu Diperhatikan

Barangkali ayat berikut ini terhitung sebagai matsal qur`ni; Dan orang-

orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-amal yang saleh serta

beriman (pula) kepada apa yang di turunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak

dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan

memperbaiki keadaan mereka. Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-

orang kafir mengikuti yang batil dan orang-orang yang beriman mengikuti yang hak

dari Tuhan mereka. Demikian Allah membuat untuk manusia perbandingan-

perbandingan bagi mereka. [Muhammad: 2-3]. Yang tampak bahwa matsal pada

ayat ini bermakna sifat, bukan bermakna tamtsil yang diistilahkan (yakni

menyerupakan sesuatu dengan sesuatu). Ini diketahui melalui penafsiran ayat.

Tafsir Ayat

Kata baal berarti haal atau (keadaan) yang diperhatikan. Karena itu dalam

ungkapan disebutkan: m balaitu bi kadz blatan, artinya tidak aku perhatikan


(keadaan) itu. Kalimat dalam ayat: kaffara anhum sayyi`tihim wa ashlaha

blahum yang artinya Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan

memperbaiki keadaan mereka, dan ayat lain: fa m blu l-qutuunn l-uul yang

berarti: Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu..? [Thaha: 51];

adalah keterangan tentang keadaan dan kabar mereka. Dan kata al-bl diibaratkan

sebagai keadaan yang terpusat pada manusia, maka dikatakan; khathara kadza bi bli

yang artinya terlintas demikian ini dalam benakku. (Mufradt ar-Raghib; 67, materi

Bl).

Ayat ke 2-3 dalam Surat Muhammad ini, dengan melihat pada ayat

sebelumnya, menjelaskan tentang keadaan orang-orang kafir Quraisy dan orang-orang

musyrik Mekah yang menyulutkan sumbu peperangan; Orang-orang kafir dan

menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah..; yakni mereka merintangi setiap

anggota masyarakat dari mendapatkan petunjuk dan hidayah Islam. Karena itu, Allah

merusak amal-amal mereka. Maksudnya, menjadikan amal-amal mereka sia-sia,

bagaikan debu berterbangan. Maka ketidak-bergunaan amal-amal sedekah dan

pemberian mereka itu mengisyaratkan bahwa malapetaka (yang dialami) kaum

Quraisy yang telah mengorbankan onta pada hari Badr itu bukan terjadi sekali saja,

tapi sudah mereka rasakan sebelumnya.

Kebalikan dengan keadaan mereka adalah kaum mukmin, sebagimana firman

Allah SWT: Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-

amal saleh serta beriman (pula) kepada apa yang di turunkan kepada Muhammad

dan itulah yang hak dari Tuhan mereka......

Di satu sisi, Allah SWT melenyapkan amal-amal kaum kafir dan menjadikan

sedekah-sedekah mereka sia-sia. Tapi di sisi lain, Dia menjadikan amal-amal saleh
orang-orang mukmin sebagai penghapus keburukan-keburukan mereka dan

menjadikan amal itu perbaikan bagi keadaan mereka.

Jadi, perbedaan yang jauh antara keadaan orang kafir dan yang berpaling dari

jalan Allah, yang amalnya disia-siakan, dengan orang mukmin billh dan mengimani

apa yang telah diturunkan kepada Muhammad saw, yang keburukannya dihapus dan

diperbaiki amal-amalnya.

Dengan kontradiksi tersebut, maka dapat dimaklumi kedudukan orang kafir

dan orang mukmin, sebagaimana juga dimaklumi akibat-akibat dari amal perbuatan

mereka. Argumentasinya adalah bahwa orang-orang kafir telah mengikuti jejak

kebatilan, sehingga lenyaplah amal perbuatan mereka. Sedangkan orang-orang

mukmin mengikuti kebenaran, sehingga amal perbuatan mereka membawa manfaat.

Allah SWT menegaskan: Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang

kafir mengikuti yang batil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti

yang hak dari tuhan mereka.

Dan pada akhir ayat kedua di atas Allah berfirman: Demikian Allah membuat

untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka..., yakni demikianlah Allah

menjelaskan keadaan orang mukmin dan orang kafir serta akibat-akibat dari amal

perbuatan dua golongan ini.

Atas dasar itulah, ayat di atas tidak dapat dimasukkan dalam kelompok tamtsil

al-Quran. Tetapi ayat itu bermakna sifat, yakni: demikian itu Allah menyifati

(menerangkan) kepada umat manusia perihal keadaan orang kafir dan orang mukmin

berikut akibat dari (kekufuran atau keimanan) mereka. Jadi, tidak ada penyerupaan

dalam ayat dimaksud. Tapi, tiga ayat ini terkonotasi untuk menjelaskan hakikat. Ayat

pertama, mengisyaratkan pada orang kafir dan akibat dari amal perbuatannya. Ayat

kedua, mengisyaratkan pada orang mukmin dan dampak dari amal perbuatannya. Dan
ayat ketiga, bahwa orang kafir menyerap air yang keruh ketika mengikuti kebatilan,

sedang orang mukmin meminum air tawar (yang jernih dan segar), maka ia mengikuti

kebenaran.

Surat Muhammad

Tamtsl 48

Matsalu l-jannati llatii wuida l-muttaquun fiihaa anhaarun min m`in ghairi aasinin

wa anhaarun min labanin lam yataghayyar tahmuhu min khamrin ladzdzatin li sy-

syaaribin wa anhaarun min asalin mushfan wa lahum fiihaa min kulli ts-tsamaraati

wa maghfiratun min rabbihim kaman huwa khaalidun fi n-naari wa suquu maa`an

hamiiman fa qaththaa amaa`ahum.

Artinya: perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang

bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan

baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari

khamar yang lezat rasanya bagi para peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang

disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan

ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka, dan

diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya.

[Muhammad: 15]

Tafsir Ayat

Kata sin dalam ungkapan asina l-m`a berarti air telah berubah (rasa, bau dan

warnanya), dan pada kalimat m`u ghairu sin artinya air yang tidak bau.

Kata al-hamiim ialah air yang sangat panas.

Matsalu l-jannah menunjukkan sifat dan keadaan surga, yang dalam ilmu

nahwu berperan sebagai mubtad`. Sementara mahdzuf (terhapus) sebagai khabar-

nya, yang artinya: surga yang di dalamnya (mengalir) sungai-sungai. Jika kami
ingin menjadikan ayat ini termasuk dalam ayat-ayat tamtsil, maka ia harusl

menggambarkan tentang yang diserupakan (musyabbah), yakni surga yang dijanjikan;

dan yang diserupai (musyabbah bihi), yakni surga dunia dengan ciri-ciri khususnya.

Sementara yang tampak ialah bahwa ayat ini terbentuk untuk menjelaskan

keadaan surga, sifat-sifat dan tanda-tandanya, yang dapat dipilah sebagai berikut:

1- Di dalamnya ada empat sungai, yaitu:

1) ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya dan warnanya,

karena kekekalannya yang panjang.

2) sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya; yakni tidak akan rusak

dengan berlalunya zaman.

3) sungai-sungai dari khamar yang terasa lezat bagi para peminumnya, (kata

khamar yang lezat bagi para peminumnya ialah untuk membedakan dari khamar

dunia. Dalam ayat lain Allah SWT menyebut khamar surga sebagai berikut;

Diedarkan kepada mereka gelas yang berisi khamar dari sungai yang mengalir.

(Warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum. Tidak ada

dalam khamar itu alkohol dan mereka tiada mabuk karenanya [ash-Shaffat: 45-47].

Jadi kalimat: lezat terasa bagi para peminumnya; bermakna di dalamnya tiada

khamar dunia yang berasa pahit dan tidak disukai. Dan kalimat: tiada dalam khamar

itu alkohol, yakni minuman itu tidak merampas kesadaran dan menghilangkan akal;

dan mereka tiada mabuk karenanya. Oleh karena itu, khamar akhirat jauh berbeda

dengan khamar dunia.

4) Sungai-sungai dari madu yang disaring, yang steril dan asli.

Empat sungai tersebut mempunyai manfaat dan tujuan masing-masing, yaitu;

Pertama, air untuk diminum sepuasnya. Kedua, untuk dikonsumsi. Ketiga, untuk

membangkitkan semangat dan ruh. Dan keempat, untuk mewujudkan kekuatan.


2- Di dalamnya terdapat buah-buahan, sebagaimana dikabarkan melalui

firman-Nya: mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan, yang

mudah diambil oleh tangan-tangan para penghuninya, yang belum pernah tergambar

oleh mata, belum terdengar telinga dan belum terlintas dalam benak manusia

sebelumnya.

3- Di dalamnya terdapat kenikmatan-kenikmatan spiritual; sebagaimana

ditegaskan dalam al-Quran: ampunan dari Tuhan mereka.

Setelah penjelasan tentang sifat surga dan keadaan orang-orang yang bertakwa

di dalamnya, pada bagian akhir ayat di atas dijelaskan tentang keadaan penghuni

neraka (al-Jahim); ....sama dengan orang yang kekal dalam neraka.... Inilah sifat

ahli neraka. Mereka meminum air yang amat panas, dan meminumnya bukan atas

kemauan diri mereka sendiri melainkan dituangkan kepada mereka; diberi minuman

dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya.

Jadi, sekiranya kami mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan penyerupaan

surga akhirat dengan surga dunia yang di dalamnya demikian dan demikian, itu

termasuk tamtsil. Tapi jika bukan, maka ayat di atas dibentuk untuk menjelaskan sifat

surga akhirat; bahwa di dalamnya terdapat sungai-sungai, buah-buahan dan ampunan.

Dan yang tampak sebenarnya adalah keterangan yang kedua, yakni tentang sifat

surga, bukan tamtsil. Sedangkan keterangan pertama tidak terhitung amtsal

qur`niyah. Demikianlah, karena kami mengutipnya mengikuti (ayat-ayat tamtsil)

lainnya.

Surat al-Fath

Tamtsl 49

Huwa l-ladzii arsala rasuulahu bi l-hudaa wa diini l-haqqi li yuzhhirahu alaa d-diini

kullihi wa kafaa bi l-laahi syahiidan* muhammadun rasuulu llaahi wa l-ladziina


maahu asyiddaa`u ala l-kuffaari ruhamaa`u bainahum taraahum rukkaan sujjadan

yabtaghuuna fadhlan mina llaahi wa ridhwaanan siimaahum fi wujuhihim min atsari

s-sujuud dzaalika matsaluhum fi t-tauraati wa matsaluhum fi l-injiili ka zarin ahkraja

syath`ahu fa aazarahu fa staghlazha fa stawaa alaa suuqihi yujibu z-zurraaa li

yaghiizha bihimu l-kuffaara waada llaahu l-ladziina aamanuu wa amiluu sh-

shaalihaati minhum maghfiratan wa ajran azhiima*

Artinya: Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan

agama yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah

sebagai saksi. Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama

dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka:

kamu lihat mereka ruku dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-

tanda mereka tampak pada muka mereka bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka

dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang

mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman kuat lalu menjadi

besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati

penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir

(dengan kekuatan orang-orang mukmin): Allah menjanjikan kepada orang-orang

yang beriman dan mengerjakan amal saleh di antara mereka ampunan dan pahala

yang besar [al-Fath: 28-29].

Tafsir Ayat

Kata siimaa` berarti tanda. Kalimat dalam ayat siimaahum fi wujuhihim

(tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka), bermakna tanda keimanan

mereka terlihat pada wajah mereka.


Istilah syath`u z-zar bermakna tunas tanaman, yakni yang keluar darinya

sesuatu dan bercabang di dua sisinya. Kata isyth` adalah bentuk jamak kata syath`,

yang diibaratkan dengan bunga-bunga.

Kata azr berarti kekuatan yang besar. Istilah zarahu bermakna membantu dan

menguatkannya. Kata ghilzhah (tebal, kasar) adalah lawan dari kata riqqah (tipis,

halus). Kata suuq disebut sebagai bentuk jamak dari sq ( tonggak).

Dalam dua ayat ini, al-Quran berbicara tentang Nabi Muhammad saw dan para

sahabat beliau:

Ayat di atas menerangkan bahwa: Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan

membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua

agama, kata ganti (dhamir) dari kata li yuzhhirahu kembali kepada agama yang

haq, bukan kepada Rasulullah saw. Sebab maksud kata ini adalah keunggulah

(dhuhur) suatu agama atas agama yang lain, bukan keunggulan seseorang atas agama.

Dhuhur yang dimaksud adalah kemenangan dalam pembuktian (argumentasi) dan

penyebaran. Dan Allah SWT memberikan karunia dengan mewujudkan hal itu dan

kelak wilayah penyebaran Islam akan meluas, sehingga Islam tetap kokoh di segala

penjuru. Khususnya ketika bangkitnya Imam Mahdi (as) yang dinanti-nanti.

Allah SWT berfirman: Muhammad adalah utusan Allah, yakni Rasulullah

saw yang akan memenangkan agama Islam atas semua agama. Pada ayat (kedua) ini

Allah menyebut nama-Nya secara jelas (rasulullh), sedangkan pada ayat pertama

tidak (secara jelas) atau ijml; arsala rasuulahu.

Demikian penjelasan sifat-sifat Nabi Muhammad saw ada tanda-tandanya.

Adapun sifat-sifat para sahabat, telah disebutkan tentang mereka di dalam Taurat dan

Injil.

Taurat menyebutkan sifat-sifat mereka sebagai berikut:


1- Dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir;

orang-orang kafir yang tidak mengerti kecuali logika pemaksaan dengan kekuatan.

Karena itu para sahabat menjadi keras terhadap mereka.

2- Tetapi berkasih sayang sesama mereka; Rasulullah saw bersabda:

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam mencintai dan mengasihi satu sama lain

laksana satu badan, jika mengeluh satu anggota darinya maka seluruhnya saling

mengundang tidak tidur dan sakit (Musnad Ahmad bin Hambal: 4; 268, 270, dan

274).

3- Kamu lihat mereka ruku dan sujud, sifat ini meleburkan keadaan lahir mereka

dan bahwa mereka sangat tekun dalam beribadah. Karena itu ayat menyebutkan:

kamu lihat mereka ruku dan sujud, yakni, kamu melihat mereka dalam beribadah,

yang merupakan tanda sikap pasrah dan patuh kepada perintah Allah SWT.

Di samping itu, mereka tidak menginginkan upah dalam ibadah, tetapi

mengharap karunia Allah, yaitu; mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya.

Mungkin saja, pasangan kata (qaid) pada bagian akhir kalimat mengisyaratkan bahwa

tujuan bagi amal perbuatan mereka adalah mencari ridha Allah.

Tanda-tanda mereka yang lain adalah, terdapat bekas sujud di dahi-dahi

mereka, yaitu; tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka bekas sujud. Jadi

mereka dikenali sebagai orang yang banyak ibadah dari wajah-wajah mereka, karena

mereka banyak ruku dan sujud kepada Allah SWT. Inilah sifat-sifat mereka yang

disebutkan di dalam Injil.

Sesungguhnya para sahabat Nabi Muhammad saw senantiasa bertambah

konsisten dalam potensi dan kekuatan, yang dengan itu mampu menjengkelkan orang-

orang kafir. Mereka bagaikan tanaman yang kuat, besar dan tegak di atas akar dan

batangnya, yang menyenangkan hati para penanamnya dengan perkembangan yang


baik. Mereka senantiasa aktif dan tekun, di satu sisi mereka menyembah Allah dengan

mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya tanpa riy` dan sumah (pencarian reputasi). Dan

di sisi lain mereka berjihad di jalan Allah dengan berharap tersebarnya Islam, dengan

meninggikan panji Tauhid di segenap penjuru dunia.

Sikap mereka menjengkelkan orang-orang kafir dan menyenangkan orang-

orang mukmin; sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang

mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman kuat lalu menjadi

besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati

penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.

Jadi, masyarakat Islami ialah yang dengan keimanan, amal, jihad, dan gerak yang

sungguh-sungguh menuju kesempurnaan itu melahirkan kekaguman kawan dan

kejengkelan lawan.

Tak hanya itu, Allah SWT pun menjanjikan ampunan dan pahala besar bagi

sekelompok khusus dari sahabat Rasulullah saw, mengingat orang-orang munafik

juga menyelinap di tengah barisan para sahabat secara umum. Maka, tidak benar jika

dikatakan bahwa Allah SWT menjanjikan ampunan bagi setiap atau semua sahabat

Nabi saw sementara hatinya kosong dari keimanan; (di mana sahabat di sini

didefinisikan sebagai orang yang telah melihat dan hidup bersama Nabi saw).

Oleh sebab itu, Allah SWT berfirman: Allah menjanjikan kepada orang-

orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan

dan pahala yang besar... Kata minhum pada ayat ini menerangkan tentang

ampunan yang tidak meliputi semua sahabat, tetapi dikhususkan pada kelompok

tertentu yang memang sungguh-sungguh dalam keimanan dan amal salehnya.

Apabila dikatakan bahwa kata min pada ayat di atas merupakan kata

bersifat penjelasan (bayniyah) dan bukan menunjukkan sebagian (tabidhiyah),


maka argumennya tidak sempurna. Sebab, yang termasuk kata bayniyah tidak masuk

ke dalam kata ganti (dhamir). Argumen ini didukung oleh kabar yang jelas dalam al-

Quran: wa min ahli l-madiinati maraduu alaa n-nifaaq laa talamuhum nahnu

nalamuhum (dan di antara penduduk Madinah, mereka keterlaluan dalam

kemunafikan. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang

mengetahui mereka. [at-Taubat: 101].

Yang mudah dipahami ialah bahwa tidak mungkin ampunan dan pahala yang

besar dapat dikatakan meliputi seluruh sahabat Nabi (saw) tanpa kecuali, sementara

pada diri mereka terdapat bermacam-macam karakter, sifat dan amalan. Mereka itu

antara lain; pertama, ada orang munafik yang diketahui, sebagaimana firman Allah

SWT: Apabila orang-orang munafik datang kepadamu.. [al-Munafiqun: 1].

Kedua, orang munafik lain yang tidak beliau ketahui; dan di antara penduduk

Madinah, mereka keterlaluan dalam kemunafikan. Kamu (Muhammad) tidak

mengetahui mereka, (tetapi) Kami lah yang mengetahui mereka [at-Taubah: 101].

Ketiga, Allah menyifati mereka sebagai orang yang hatinya berpenyakit; Dan

ingatlah ketika orang-orang yang munafik dalam hatinya berkata: Allah dan rasul-

Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya [al-Ahzab: 12].

Keempat, istilah sammuun berarti orang-orang yang suka mendengarkan

suara apa saja setiap kali berbunyi. Dan mereka itu seperti bulu dalam hembusan

angin, yang kadangkala condong pada muslimin dan kadang-kadang condong pada

orang-orang kafir. Allah SWT menyifati mereka seperti ini: Jika mereka berangkat

bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan

belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah

barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu ada


orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah

mengetahui orang-orang yang zalim [at-Taubah: 47].

Kelima, mencampurkan amal saleh dengan keburukan, yakni: Dan (ada pula)

orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mencampur-baurkan pekerjaan

yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk [at-Taubah: 102].

Keenam, mereka dalam kemurtadan, seperti dalam ayat: sedang segolongan

lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar

terhadap Allah seperti sangkaan Jahiliyah. Mereka berkata: Apakah ada bagi kita

barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?. Katakanlah: Sesungguhnya

urusan itu seluruhnya di tangan Allah. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka

apa-apa yang tidak mereka terangkan kepadamu. [Al Imran: 154].

Ketujuh, al-Quran menyebut tentang orang fasik, yaitu: hai orang-orang yang

beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah

dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa

mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

[al-Hujurat: 6]. Dalam konteks asbabun nuzul ayat ini, orang yang dimaksud adalah

al-Walid bin Uqbah, seorang sahabat yang disebut fasik. Selain itu, Allah SWT juga

menegaskan posisi orang fasik di hadapan-Nya; Sesungguhnya Allah tidak ridha

kepada orang-orang yang fasik [at-Taubah: 96].

Kedelapan, al-Quran menyebut mereka muslim, bukan mukmin, dan

menegaskan perihal tiadanya iman dalam hati mereka, seperti ini: Orang-orang

badui itu berkata: Kami telah beriman!. Katakanlah (kepada mereka): Kamu belum

beriman, tetapi katakanlah kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke

dalam hatimu.... [al-Hujurat: 14].


Kesembilan, mereka mengaku Islam hanya untuk memperoleh sedekah

(zakat). Mereka disebut dengan orang yang terbujuk hatinya; Sesungguhnya zakat-

zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus

zakat, para muallaf yang terbujuk hatinya.. [at-Taubah: 60].

Kesepuluh, mereka yang lari dari pasukan musuh sebagaimana larinya

kambing menjauhi srigala. Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman,

apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka

janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi

mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak

menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu

kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka

Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya [al-Anfal: 15-16].

Fakta sejarah menyebutkan, tidak sedikit jumlah sahabat yang lari dari medan-

medan peperangan. Tentang perang Uhud, Allah SWT berfirman: Ketika kamu lari

dan tidak menoleh kepada seorangpun, sedang rasul yang berada di antara kawan-

kawanmu yang lain memanggil kamu [Al-Imran: 153]. Kata farrr (yang lari dari

perang) tidak hanya terjadi pada perang Uhud, tapi juga disebutkan terjadi di perang

Hunain, seperti diungkapkan al-Quran: Sesungguhnya Allah telah menolong kamu

(hai orang-orang mukmin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah)

peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya

jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu

sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke

belakang dengan cerai-berai [at-Taubah: 25].

Begitulah sekelumit gambaran tentang macam-macam sifat para sahabat Nabi

saw yang dijelaskan al-Quran. Jika demikian, mungkinkah Allah SWT, Yang Maha
Bijaksana, menjanjikan ampunan bagi seluruh sahabat yang bermacam-macam sifat

itu tanpa terkecuali? Belum lagi penjelasan ayat-ayat al-Quran yang lain tentang amal

perbuatan mereka.

Tentu saja, di antara mereka tidak sedikit orang-orang yang ikhlas. Allah SWT

menunjukkan dengan tegas tentang kedudukan mereka di dalam al-Quran dengan

keterangan yang tak dapat dipungkiri. Kesimpulannya, bahwa Allah SWT

menjanjikan ampunan bagi kelompok tertentu dari mereka, tapi bukan untuk seluruh

mereka. Sebagaimana sifat adil mereka pun demikian, yakni, tidak semua sahabat itu

adil.

Surat al-Hadid

Tamtsl 50

Ilamuu annamaa l-hayaatu d-dunyaa labun wa lahwun wa ziinatun wa tafaakhurun

bainakum wa takaatsurun fi l-amwaali wa l-aulaadi kamatsali ghaitsin ajaba l-

kuffaara nabaatuhu tsumma yahiiju fa taraahu mushfarran tsumma yakuunu

huthaaman wa fi l-aakhirati adzaabun syadiidun wa maghfiratun mina llaahi wa

ridhwaanun wa maa l-hayaatu d-dunyaa illaa mataau l-ghuruur

Artinya: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah

permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu

serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang

tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering

dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti)

ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya, dan kehidupan

dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu (al-Hadid 20)

Tafsir Ayat
Kata al-kuffr; jamak dari al-kfir, berarti menutupi. Makna yang dimaksud

dalam konteks ayat ini ialah az-zri (yang menanam). Seorang disebut al-kfir billh

(yang tidak beriman kepada Allah) ialah karena ia menutupi kebenaran. Penggunaan

kata az-zri bermakna ia menutupi cintanya di bawah tanah. Kata ini terdapat dalam

ayat ka zarin (seperti tanaman) dan yujib z-zurra (yang menyenangkan

hati para penanamnya).

Kata haij; seperti dikatakan dalam hja (-yahiiju) al-baqalu berarti sayur itu

layu. Kalimat tsumma yahiiju dalam ayat ini berarti kemudian menjadi kering,

dan kalimat fa tarhu mushfarran artinya kamu melihatnya menguning.

Kata al-huthm bermakna pecahnya sesuatu atau hancur. Dalam ayat lain

dikatakan la yahthimannakum sulaimnu wa junuuduhu, artinya agar kamu tidak

diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari [an-

Naml: 18].

Alhasil, dua ayat di atas memuat dua perkara; Pertama: penggambaran

kehidupan dunia dan beberapa macam tingkatan yang akan dilalui manusia; 1)

permainan; 2) hiburan; 3) perhiasan; 4) bermegah-megah; 5) berbangga-banggaan

tentang banyaknya harta dan anak. Kedua: penyerupaan awal-akhir dunia dengan

tanaman yang menyenangkan hati para penanamnya atas berkembang dan

kehijauannya, yang dengan cepat berubah menjadi rumput kering yang dihamburkan

angin.

Yang dapat diambil dari tamtsil ini, bahwa: kehidupan dunia ialah kesenangan

yang menipu. Dunia hanyalah sebuah perantara bagi tipuan dan kesenangan. Para

penghuni dunia seringkali tertipu, sebab mereka membayangkan dunia juga sebagai

akhir dan tujuan kehidupan. Berbeda dengan sebagian orang mukmin, yang

menganggap dunia hanya sebagai sebuah jembatan untuk menuju kehidupan yang
lain. Karena itulah mereka tidak tertipu oleh dunia. Mereka bahkan mengambil (atau

mengumpulkan) bekal dari dunia untuk kehidupan ukhrawi-nya.

Inilah gambaran global dalam memahami ayat di atas. Sedangkan untuk

tamtsil yang ada pada bagian kedua, kita kembali melihat pada penafsiran dari setiap

dua perkara tersebut.

Perkara pertama: Kehidupan manusia mulai dari lahir hingga akhir hayatnya

terbentuk dari lima tingkatan: pertama; ialah laibun (permainan). Bermain adalah

tempat yang diatur untuk obyek fantasi (khayal) seperti permainan anak-anak.

Tingkatan ini menyertai kehidupan manusia sejak kanak-kanak dan masa belianya.

Permainan itu beraneka ragam bentuk sesuai tingkat usia. Dan permainan merupakan

perkara yang sensitif bagi anak-anak kecil.

Kedua; lahwun (hiburan). Hiburan adalah sesuatu yang menyibukkan (atau

melalaikan) manusia. Tingkatan ini berawal ketika manusia menginjak usai baligh

dan mulai tumbuh dewasa, yang dalam dirinya terdapat kecenderungan pada tempat-

tempat hiburan dan hal-hal yang melalaikan. Ketiga: Hubbuz ziinah (senang pada

perhiasan). Perhiasan seperti pakaian mahal, kendaraan mewah, rumah megah, dan

kecenderungan pada segala keindahan dan kemewahan yang lain.

Keempat: tafkhur (bermegah-megah). Ketika manusia mempunyai sarana

perhiasan dan kekayaan, ia menjadikannya untuk membangga-bangga diri. Dan

kelima: Taktsur (bersaing atau berbangga-banggaan) tentang banyaknya harta dan

anak. Pada tingkatan ini, manusia sampai pada usia memikirkan tentang banyak harta

dan banyak anak, sampai pada usia tua (beruban).

Pembagian tingkatan kehidupan yang dilalui manusia menjadi lima itu bukan

berarti bahwa semua manusia harus melewati semua tingkatan itu tanpa terkecuali.
Maksudnya adalah bahwa manusia secara garis besar akan mengalami lima tingkatan

tersebut.

Namun demikian, untuk sebagian manusia, bisa saja kepribadian mereka dari

awal sampai akhir hayatnya terbatas pada dua tingkatan yang pertama (yakni

tingkatan pertama dan kedua). Mereka, misalnya, menganggap bermain dan hiburan

adalah hal yang terpenting dalam kehidupan mereka. Sebagaimana ada sebagian lain

yang terbatas pada tingkat ketiga dan keempat saja. Mereka senang mengenakan

pakaian-pakaian mahal dan berbangga-bangga atas kekayaan yang dimilikinya.

Di riwayatkan dari Syeikh al-Baha`i bahwa lima perkara yang disebut dalam

ayat tersebut merupakan tahapan menurut tingkatan usia manusia dan tingkat-tingkat

kehidupannya. Manusia pertama menyukai bermain; ia sebagai anak kecil atau ketika

berusia hendak memasuki baligh. Selanjutnya, ketika sudah baligh dan tumbuh

remaja ia menyenangi hiburan dan tempat-tempat hiburan. Lalu, ketika dewasa, ia

sibuk dengan perhiasan berupa pakaian mahal, kendaraan mewah dan rumah yang

megah, atau menyenangi keindahan dan kemewahan. Kemudian, ketika menginjak

usia 30-50an, ia berbangga-bangga dengan kekayaan dan keturunan. Setelah itu

menginjak masa tua (beruban), ia berusaha memperbanyak harta dan anak. (al-Mizan:

9/164).

Perkara kedua; ialah tamtsil yang menggambarkan keadaan dunia yang

menyerupai tanah subur yang ditimpa hujan lebat. Lalu tanamannya tumbuh, mekar

dan berkembang, yang keadaannya memuaskan hati para penanamnya. Tetapi

kesegaran dan perkembangannya ternyata berubah sangat cepat; karena tanaman-

tanaman itu menjadi kuning dan mengering, yang di setiap sisinya mudah

dihamburkan angin. Tanaman-tanaman yang rusak itu pun tak lagi berbentuk
sebagaimana sebelumnya. Pada saat itu tampaklah hakikat di hadapan manusia,

bahwa ia tertipu oleh kesegaran taman-taman yang dipeliharanya selama ini.

Demikianlah keadaan dunia! Manusia tertipu olehnya karena ia merasa akan

hidup kekal di dalamnya. Padahal kehidupan dunia berlalu sangat cepat, wajah

hakikat pun tersingkap dalam waktu yang tak lama. Pendeknya, ayat di atas bertujuan

mencela (keterikatan pada) dunia dan memuliakan (kecenderungan pada) akhirat.

Surat al-Hasyr

Tamtsl 51

L yuqtilunakum jamian ill fi quran muhashshanatin au min war`i judurin

ba`suhum bainahum syadidun tahsabuhum jamian wa qulubuhum syatt dzlika bi

annahum qaumun l yaqilun. Ka matali l-ladzina min qablihim qariban dzqu wabla

amrihim wa lahum adzbun alim.

Artinya; Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu,

kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan

antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka iu bersatu sementara

hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah

kaum yang tiada mengerti. (Mereka adalah) seperti orang-orang yang belum lama

sebelum mereka telah merasai akibat buruk dari perbuatan mereka, dan bagi mereka

azab yang pedih . al-Hasyr 14-15)

Tafsir Ayat

Kata al-hishn (benteng) berbentuk jamak hushun. Kalimat al-qur al-

muhashshanah (kampung-kampung yang berbenteng) maksudnya yang diliputi oleh

benteng-benteng yang kuat yang menghalangi masuknya musuh-musuh.

Kata al-ba`s dan al-ba`s` berarti bencana. Kata al-wabl artinya adalah

perkara yang ditakuti bahayanya.


Ayat ini menerangkan tentang keadaan Bani an-Nadhir, kaum Yahudi yang

telah diusir Rasulullah (saw), dan mereka berkomplot untuk membunuh beliau.

Bentuk komplotan mereka disebutkan dalam buku-buku sejarah. Nabi Muhammad

saw memerintahkan kepada Bani Nadhir agar berpindah dan meninggalkan harta

benda mereka. Namun mereka tidak mematuhi perintah tersebut. Sementara itu, kaum

munafik yang mendukung bani Nadhir tidak berpindah dan membantu mengobarkan

semangat peperangan di tengah mereka guna melawan kaum muslimin. Kemudian

Bani an-Nadhir tinggal beberapa hari di dalam benteng-benteng mereka dan sengaja

tidak keluar sambil mengharap datangnya bala bantuan yang dapat memperkokoh

kekuatan mereka.

Ayat ini menguraikan keadaan mereka secara mendalam dan mengabarkan

bahwa Mereka tidak akan memerangi kalian wahai orang-orang mukmin! Kecuali

(mereka berada) dalam kampung-kampung yang berbenteng; yakni mereka tidak

akan menampakkan diri dalam memerangi kalian (mukminin) karena takut kepada

kalian. Mereka akan memerangi kalian dengan memakai baju besi di benteng-benteng

mereka, atau di balik tembok pertahanan mereka. Yakni, mereka akan menyerang

kalian (mukminin) dari balik tembok dengan anak panah dan batu.

Ungkapan dalam ayat: Ba`suhum bainahum syadidun; kata al-ba`s berarti

permusuhan; yakni permusuhan antara sesama mereka sebenarnya sangat hebat.

Sesungguhnya mereka tidak sehati. Karena itu ayat berikutnya mengatakan; wa

qulubuhum syatt (sedang hati mereka berpecah belah). Hal yang demikian itu

disebabkan oleh ketidak-mengertian mereka; dzlika bi annahum qaumun l

yaqilun (yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada

mengerti).
Kemudian mereka diumpamakan dengan: Sesungguhnya perumpamaan bagi

mereka ialah tipuan mereka akan jumlah, potensi, dan kekuatan mereka. Kalimat ka

matsali l-ladzina min qablihim [(Mereka adalah) seperti orang-orang yang belum

lama sebelum mereka]; yaitu mereka adalah orang-orang musyrik Quraisy yang telah

berperang di Badr enam bulan sebelum pengusiran Bani an-Nadhir. Kemungkinan

lain yang dimaksud dengan mereka di sini adalah kabilah Bani Qainuq yang diusir

oleh Rasulullah saw sepulang dari perang Badr, karena mereka telah melanggar

perjanjian.

Mereka adalah orang-orang yang dzqu wabla amrihim (telah merasai

akibat buruk dari perbuatan mereka); yakni akibat kekufuran mereka; dan balasan

yang sesuai bagi mereka ialah azab yang pedih.

Tamtsl 52

Kamatsali sy-syaithni izd qla li l-insni kfur fa lamm kafara qla inni bari`un

minka inni akhfu llha rabba l-lamin

Artinya: (Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan

ketika dia berkata kepada manusia: kafirlah kamu, maka tatkala manusia itu telah

kafir ia berkata: Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya

aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam). [al-Hasyr: 16]

Tafsir Ayat

Ayat ini juga menceritakan tentang keadaan Bani an-Nadhir yang

bersekongkol melawan Nabi Muhammad saw karena Nabi saw memerintahkan

mereka agar keluar dari Madinah. Tetapi kaum munafik menjanjikan pertolongan

kepada mereka dengan mengatakan; Jika kalian diusir maka kamipun akan keluar

bersama kalian; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk
(menyusahkan) kalian, dan jika kalian memerangi (yang mengusir kalian) pasti kami

akan membantu kalian.. [al-Hasyr: 11].

Tetapi janji itu adalah bohong, dan Allah SWT menegaskan: ..Dan Allah

menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. Sesungguhnya jika

mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka, dan

sesungguhnya jika mereka berperang, niscaya orang-orang munafik itu tidak akan

menolong mereka; sesungguhnya jika orang-orang munafik (hendak) menolong

niscaya akan berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tiada akan mendapat

pertolongan (lagi) [al-Hasyr: 12].

Sungguh pengalaman telah membenarkan berita itu. Maka Rasulullah saw

mengusir mereka (Bani an-Nadhir) dengan kuat dan keras. Dan ternyata tidak ada

pertolongan, bantuan, dan dukungan apapun dari kaum munafik. Janji mereka (kaum

munafik) dusta seperti janji setan, yang mengatakan kepada manusia kafirlah!. Lalu

setelah manusia kafir maka setan berkata; sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu,

karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam. Artinya, setan

menyuruh manusia untuk kafir, tetapi pada akhirnya ia akan berlepas diri dari manusia

yang telah kafir itu.

Apakah mukhthab (yang diajak bicara) melalui kalimat kafirlah kamu! itu

adalah ditujukan kepada seluruh manusia yang tertipu oleh bujukan setan dan janji-

janji palsunya, yang kemudian setan akan meninggalkan dan berlepas diri dari

manusia (yang tertipu). Ataukah (mukhthab)nya tertuju kepada pribadi-pribadi

tertentu? Di sini memang dapat dilihat dari dua segi.

Jika kami katakan yang kedua, maka sesungguhnya setan telah menjanjikan

kemenangan bagi Quraisy di perang Badr. Sebagaimana yang terungkap dalam firman

Allah SWT: Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan
mereka dan mengatakan: Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang

terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya kami ini adalah pelindungmu.

Maka tatakala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan pun

berbalik ke belakang sambil berkata: Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian;

sesungguhnya kami dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat;

sesungguhnya kami takut kepada Allah. Dan (sesungguhnya) Allah sangat keras

siksa-Nya. [al-Anfal: 48].

Selain itu, di sini masih ada pendapat ketiga. Yaitu, setan memberi janji

kepada seorang hamba ahli ibadah dari Bani Israil bernama Barshish, yang akhirnya

terpedaya oleh tipu daya setan dan menjadi kafir. Dan pada saat-saat yang

menentukan, setan berlepas dari dirinya. Para mufasir menyebutkan bahwa Barshish

menyembah Allah SWT di sepanjang hidupnya, sehingga ia (mendapatkan kemuliaan

dari Allah SWT, penj.) bisa menyembuhkan orang-orang gila yang datang kepadanya

hanya dengan doanya. Suatu hari ia kedatangan seorang perempuan terhormat yang

terjangkit gila. Perempuan itu diantar oleh saudara-saudaranya dan ditinggalkan di

tempat Barshisha (untuk diobati). Ketika itulah, setan selalu membujuk Barshisha

sampai akhirnya Barshisha menzinahi perempuan itu, hingga kemudian hamil. Ketika

kehamilan perempuan itu tampak, Barshisha membunuh si perempuan dan

menguburnya. Setelah melakukan semua itu, setan pun pergi dan menemui salah

seorang saudara si perempuan. Setan menceritakan apa yang telah diperbuat si rahib

bernama Barshisha itu dan bahwa ia telah menguburnya di satu tempat. Kemudian

setan mendatangi saudara laki-lakinya yang lain satu persatu dan menceritakan hal

yang dialami saudara perempuan mereka. Sampai suatu ketika, seorang saudara laki-

laki dari mereka menemui saudaranya yang lain, dan mengatakan: Demi Allah, telah

datang orang asing kepadaku sambil mengatakan suatu hal yang sangat
mengejutkanku. Setiap dari mereka pun satu sama lain menyebutkan hal yang sama,

hingga masalah ini sampai di telinga raja mereka. Maka bangkitlah raja dan orang-

orang mendatangi Barshisha untuk menghukumnya. Raja memerintahkan

mensalibnya. Ketika Barshisha telah berada di atas kayu salibnya, setan menjelmakan

diri di hadapannya dan berkata: Akulah yang telah menjerumuskan kamu dalam hal

ini! Apakah kamu mentaatiku terhadap apa yang akan kukatakan kepadamu, lalu aku

akan menyelamatkanmu dari apa yang kamu alami ini?.

Ya, jawab Barshisha.

Setan berkata: Bersujudlah kepadaku sekali sujud!.

Ia berkata: Bagaimana aku (bisa) bersujud padamu sementara aku dalam

keadaan seperti ini!?.

Setan berkata: Cukup bagiku kamu menjadi hambaku. Kemudian ia

diperintahkan untuk bersujud dan mau mengikuti perintah setan. Lalu, ia pun kafir

kepada Allah, dan dibunuh. [Majm al-Bayan: 5/265].

Tamtsl 53

Lau anzaln hdza l-qur`na al jabalin laraitahu khsyian mutashaddian min

khasyyati l-llh wa tilka l-amtslu nadhribuh li n-nsi laallahum yatafakkarun.

Artinya: Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Quran ini kepada sebuah

gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada

Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka

mau berpikir. [al-Hasyr: 21].

Tafsir Ayat

Kata al-khuyu pada ayat di atas bermakna adh-dharah atau permohonan

yang sangat dengan merendahkan diri (tadharru). Al-khusyu lebih banyak digunakan
pada hal-hal yang bersifat lahiriyah (jawrih), sedangkan adh-dharah lebih banyak

dihubungkan dengan perkara hati.

Diriwayatkan bahwa kalimat: idz dharaa l-qalbu khaysati l-jawrih,

berarti jika hati merendah maka tunduklah anggota-anggota badan. Hal ini

dikuatkan oleh pernyataan bahwa Allah SWT menyebutkan al-khusyu pada suara dan

penglihatan. Seperti dalam firman-Nya: khasyaati l-ashwt, khsyiatun

abshruhum dan abshruhum khsyiah.

Sebetulnya, al-khusyu adalah ketenangan yang menguasai anggota badan

(jawrih), disebabkan oleh perhatian yang sungguh-sungguh dalam meresapi ayat-

ayat Ilahiah dan menghayati keagungan Sang Khalik.

Kata at-tashadduq pada ayat di atas berarti terpecah belah sesudah keadaan

stabil.

Dalam tafsir ayat ini para mufasir mempunyai dua pandangan: Pertama,

seandainya al-Quran diturunkan kepada sebuah gunung, yang amat keras, besar,

kokoh, dan tak tergoyahkan oleh bencana alam, niscaya gunung itu akan tergetar dan

terpecah belah karena takut kepada Allah. Jika demikian keadaan gunung, maka

semestinyalah manusia lebih patut tunduk kepada Allah SWT ketika melantunkan

ayat-ayat-Nya. Maka, betapa kerasnya hati mereka yang kafir dan betapa kerasnya

watak mereka yang tidak terpengaruh ketika mendengarkan, menyimak dan membaca

al-Quran.

Kedua, segala wujud (ciptaan) mempunyai pengetahuan dan perasaan, yang

salah satu di antaranya adalah gunung. Gunung pun mempunyai pengetahuan,

sebagaimana firman Allah SWT: Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang

mengalir sungai-sungai dari padanya dan di antaranya ada yang terbelah lalu
keluarlah mata air dari padanya dan di antaranya ada yang meluncur jatuh, karena

takut kepada Allah. [al-Baqarah: 74].

Jadi, ayat di atas yang menyatakan bahwa sekiranya al-Quran turun kepada

sebuah gunung niscaya akan hancur lebur dan merendah diri karena takut kepada

Allah. Hanya saja al-Quran tidak diturunkan kepada gunung.

Atas dua makna tersebut, maka ayat ini bukanlah termasuk tamtsil

(penyerupaan sesuatu dengan sesuatu), tetapi ini merupakan salah satu penyebutan

sifat al-Quran dan menerangkan keagungannya yang memuat pondasi-pondasi dan

hakikat. Ayat di atas menunjukkan sifat berikut: Kalau sekiranya Kami menurunkan

al-Quran kepada sebuah gunung, pasti akan menjadi demikian dan demikian.

Mungkin dapat dikatakan sebagai lzimnya makna ayat seperti penyerupaan

(tasybih), bahwa Allah SWT menyerupakan hati orang kafir dan shi (pelaku maksiat)

dengan gunung dan batu, yang tidak terpengaruh oleh sentuhan al-Quran. Dan,

kalaupun tidak begitu keras, hati mereka laksana batu. kenyataannya bahwa batu pun

bisa dipecahkan oleh (air) sungai atau dia terjatuh karena takut kepada Allah. Oleh

karena itu, ayat di atas dapat dikategorikan sebagai tamtsil jika dilihat dari adanya

makna konsekuensitas (iltizmi) di dalam ayat.

Surat al-Jumuah

Tamtsl 54

Matsalu l-ladzina hummilu t-taurta tsumma lam yahmiluha kamatslai l-himri

yahmilu asfran bi`sa matsalu l-qaumi l-ladzina kadzdzabu bi yti l-llhi wa l-llhu

l yahdi l-qauma zh-zhlimin.


Artinya: Perumpamaan bagi orang-orang yang dipikulkan kepadanya

Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa

kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan

ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. [al-

Jumah: 5]

Tafsir Ayat

Kata al-asfr dari kata tunggal as-safar yang bermakna membuka tutup,

digunakan khusus untuk makna kepala, seperti pada kalimat: safara al-immatu

anir-ra`si, artinya, membuka serban dari kepala). Juga kalimat: wa l-khimr mina l-

wajhi, artinya, dan tudung dari wajah. Sedangkan kata as-sifr, berbentuk jamak asfr,

bermakna kitab yang ditalamnya ditulis tentang hakikat.

Para mufasir menyebutkan, ketika Allah SWT berfirman bahwa Dia mengutus

Muhammad saw kepada al-umiyyin (orang-orang buta huruf), orang-orang Yahudi

menjadikan ayat ini sebagai dalih pengingkar atas keluasan risalah Rasulullah saw.

Mereka mengatakan; Sesungguhnya Muhammad diutus khusus kepada Arab dan tidak

kepada mereka. Ketika itulah turun ayat ini, dan menyerupakan mereka seperti keledai

yang membawa kitab-kitab tetapi tidak pernah mengambil manfaat darinya. Sebab, di

dalam Taurat disebutkan tentang Muhammad saw dan memberi kabar gembira akan

kedatangannya dan mengajak mereka untuk memasuki agama Rasulullah saw

tersebut.

Selain itu, perumpamaan ayat tersebut tertuju kepada keadaan orang yang

memahami makna al-Quran tetapi tidak mengamalkannya, dan justru berpaling

darinya dengan tidak membutuhkannya. Yang dimaksud hummilu ialah dibebankan

untuk mengamalkannya (Taurat). Disebutkan dalam riwayat bahwa kata ini bukanlah

berasal dari kata al-haml (membawa) di atas punggung, tetapi dari kata al-
hamlah yang bermakna al-kaflah wa adh-dhamn (jaminan, tanggungan). Oleh

sebab itu, al-kafil dikatakan bermakna al-hamil (yang menjamin, menanggung). Atau

bermakna orang-orang yang menjamin hukum-hukum Taurat kemudian mereka

lam yahmiluha (tidak memikulnya), yakni tidak menunaikan haknya dan tidak

membawa yang diamanatkan dengan sebenar-benarnya. Maka, mereka tidak ubahnya

seperti keledai, sebagaimana firman Allah SWT: seperti keledai yang membawa

kitab-kitab yang tebal.

Dipilih keledai di antara semua binatang karena keledai mempunyai sifat

rendah dan hina yang tidak dimiliki binatang lainnya, yang bodoh dan pandir, di

samping karena adanya kesesuaian kata antara kata al-asfr (kitab-kitab) dan al-himr

(keledai).

Jadi, ayat di atas mengungkapkan cela kaum Yahudi, dan pada saat yang sama

memperingatkan kepada seluruh kaum muslimin agar mereka tidak jatuh ke dalam

keadaan seperti yang terjadi pada kaum Yahudi. Sebuah keadaan merugi, disebabkan

tidak mau mengambil manfaat dari Al-Kitab yang diturunkan (al-Quran), yang di

dalamnya terdapat obat segala penyakit dan penyembuh setiap luka di dalam dada.

Sungguh sangat disayangkan, apabila al-Quran yang berada di tengah kaum

muslimin lalu ditinggalkan, dan hanya dijadikan pelengkap atau alat mencari berkah

di dalam pesta-pesta perkawinan, atau menjadi jimat-jimat bagi anak-anak kecil, atau

penghias rak-rak perpustakaan, atau dibaca di kuburan-kuburan, dan sebagainya.

Sungguh, kerugian besar apabila mereka memandang al-Quran tidak dengan cara pikir

ber-tadabbur (merenungi kandungannya).

Kemudian Allah SWT menyifati kaum Yahudi sebagai kaum yang

mendustakan al-Quran dan ayat-ayatnya, sebagaimana terungkap pada bagian akhir

ayat ke-5 surat al-Jumuah di atas: .........Amatlah buruknya perumpamaan kaum


yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada

kaum yang zalim.

Surat at-Tahrim

Tamtsl 55

Dharaba l-llhu matsalan lilladzina kafaru mra`ata nuhin wa mra`ata luthin knat

tahta abdaini min ibdin shlihin fa khnathum fa lam yughniy anhum mina l-

llhi syai`an wa qila d-khul n-nra maa d-dkhilin

Artinya: Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orng-

orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di

antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya,

maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah;

dan dikatakan (kepada keduanya); Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang

masuk (neraka). [at-Tahrim: 10]

Tafsir Ayat

Salah satu metode pendidikan ialah dengan menampilkan contoh nyata dari

keberadaan orang yang telah mencapai puncak kemuliaan akhlak, atau orang yang

telah jatuh dalam titik rendah keburukan. Pada ayat ini al-Quran menampilkan dua

istri nabi (Nuh dan Luth salam atas mereka) yang telah berbuat munafik dan

melakukan pengkhianatan. Dan upaya untuk mendekati mereka tidak akan pernah

memberikan manfaat apapun.

Motivasi dari tamtsil ini adalah mengungkapkan aib dua istri Rasulullah saw,

yang telah bersekutu dalam menyebar-luaskan rahasia beliau. Tujuannya adalah

memberitahukan bahwa kedudukan mereka sebagai istri-istri Rasul sama sekali tidak

menjamin keselamatan mereka dari azab. Sebagaimana istri Nabi Nuh as dan Nabi
Luth as yang tidak memperoleh manfaat atas statusnya sebagai istri seorang nabi, dan

para isteri itu menerima azab yang pedih.

Allah SWT menyebutkan kisah penyebaran rahasia Rasulullah saw melalui

sebagian istri beliau; Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia

kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala

(Hafsah) menceritakan peristiwa itu kepada (Aisyah) dan Allah memberitahukan hal

itu (semua pembicaraan antara Hafsah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu

Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan

menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad)

memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu Hafsah bertanya:

Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu? Nabi menjawab: Telah

diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha mengetahui lagi Maha mengenal.

[at-Tahrim: 3].

Ayat ini secara ringkas mencakup beberapa masalah berikut ini:

Pertama, Nabi Muhammad saw merahasiakan sebuah perkataan kepada

sebagian istri beliau, sebagaimana firman Allah: Dan ketika Nabi membicarakan

secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafsah) suatu peristiwa.

Adapun rahasia yang telah beliau bicarakan secara rahasia kepadanya tidaklah jelas,

sehingga kita tidak dapat begitu saja berpegang pada apa yang disebutkan di dalam

tafsir-tafsir mengenai pengharaman madu atas diri beliau dan orang lain.

Kedua, Nabi saw berbicara kepada istrinya secara rahasia tetapi dia tidak

memegang rahasia suaminya, bahkan menyebarkannya. Ia bicarakan (rahasia itu)

kepada istri Nabi saw yang lain, seperti disebutkan dalam ayat: Maka tatkala ia

menceritakan peristiwa itu. Para mufasir sepakat bahwa dua perempuan itu, yang
pertama adalah Hafshah, dan yang kedua adalah Aisyah. Ia telah berbicara buruk dan

telah menyebarkan rahasia Rasulullah saw, padahal ia wajib menutupi rahasia itu.

Ketiga, Allah SWT memberitahukan (pembicaraan itu) kepada Nabi saw,

yakni: dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafsah

dengan Aisyah) kepada Muhammad.

Keempat, Nabi saw memberitahukan kepada Hafshah (hanya) sebagian apa

yang telah ia sebut, dan beliau enggan menyebutkan semua (rahasia) yang telah ia

sebarkan. Nabi saw mengetahui semua percakapan itu namun beliau berpegang pada

kemuliaan akhlak, sehingga tidak mau menyebutkan kepadanya semua isi

pembicaraan. Dan, melupakan kesalahan orang termasuk akhlak yang mulia. Dalam

matsal (pepatah) disebutkan: m istaqsh karimun qaththu, artinya: seorang pemurah

tidak pernah ingin tahu mendalam (urusan orang lain).

Kelima, Ketika Rasulullah memberitahukan apa yang diperolehnya dari Allah,

Hafshah bertanya: Siapakah yang telah memberitahumu akan hal ini?. Rasulullah

saw menjawab: Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengerti yang telah

memberitahuku: Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara

Hafsah dan Aisyah) lalu Hafsah bertanya: Siapakah yang telah memberitahukan hal

ini kepadamu? Nabi menjawab: Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang

Maha mengetahui lagi Maha mengenal.

Dalam hal ini, si pendengar rahasia juga berdosa seperti si penyebar. Lalu

Allah SWT mengungkapkan cela mereka dan memerintahkan agar mereka bertaubat

karena hati mereka telah menyimpan dosa. Dan seandainya mereka tidak berhenti

menyakiti Rasulullah saw, maka mereka memaklumi bahwa Allah adalah penjaga dan

penolongnya; amin al-wahy (Jibril as) juga penolong Nabi saw; dan orang-orang saleh

dari kaum mukminin, serta orang-orang pilihan, pasti akan membela beliau. Dan
setelah mereka lalu para malaikat Allah yang menolong beliau. Seperti disebutkan

dalam kelanjutan ayat di atas (at-Tahrim ayat 4): ....hendaknya kalian berdua

bertaubat kepada Allah, setelah hati kamu berdua condong (pada dosa). Dalam

terjemahan al-Quran yang dikeluarkan Depag tertulis .....condong (untuk menerima

kebaikan). Dan jika mereka bekerja sama untuk menyakiti Nabi saw, maka

sesungguhnya Allah SWT adalah pelindungnya, juga Jibril, orang saleh dari kaum

mukminin, dan para malaikat akan menolong Nabi saw, [at-Tahrim:4].

Dua ayat al-Quran [at-Tahrim: 3-4] ini memberitahukan tentang dua istri

(yang seharusnya) menunaikan tugas dan kewajiban sebagai istri, yakni menjaga

amanat suaminya tapi justru menyebarkannya. Ayat ke-4 surat at-Tahrim

mengemukakan posisi mereka berdua di hadapan Allah, dengan memberikan pilihan

kepada mereka: Bertaubat dari dosa, atau tidak berhenti dalam kesesatan mereka. Jika

mereka tetap condong kepada dosa, maka akan sia-sia saja segala yang mereka

niatkan terhadap Nabi. Sebab, Nabi saw mempunyai pelindung dan penolong; yaitu

Allah SWT, para malaikat, dan orang saleh dari kaum mukmin.

Surat ini (at-Tahrim) menjelaskan bahwa Allah menyebutkan perumpamaan

keadaan mereka berdua seperti dua istri nabi sebelumnya (Nuh dan Luth salam atas

mereka) yang telah menyebarkan rahasia dan mengkhianati suami. Di mana

pengkhinatan mereka bukanlah pengkhianatan fujur (berbuat mesum), sebagaimana

disebutkan dalam beberapa riwayat. Sebab, istri seorang nabi sama sekali tidak akan

berbuat zina. Pengkhianatan mereka sebenarnya adalah pengkhianatan dalam agama.

Ibn Abbas berkata: Istri Nuh adalah kafir yang telah mengatakan kepada

orang-orang bahwa ia (Nuh) adalah orang gila. Dan apabila ada seseorang beriman

kepadanya, maka ia (istri Nuh) memberitahu kepada penguasa bahwa orang itu adalah
kaum Nuh. Sebagaimana istri Luth yang memberitahukan siapa orang-orang yang

telah mengunjungi Luth.

Ala kullihal, keempat perempuan tersebut adalah sama di dalam menyebarkan

rahasia suami-suami mereka. Karena itu, mereka telah menjadi contoh yang jelas

dalam pengkhianatan.

Mereka mengira bahwa kedekatan dengan para rasul bisa menjauhkan mereka

dari azab Allah. Mereka tidak menyadari bahwa sekedar kedekatan tidaklah cukup

untuk memberikan manfaat, tanpa adanya keimanan dan amal saleh. Allah SWT

berfirman: Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di

antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya [al-

Mu`minun: 101]. Allah SWT berfirman kepada anak keturunan Adam: Hai anak-

anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan

kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan

perbaikan, tidak akan ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka

bersedih hati. [al-Araf: 35].

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kedekatan dengan Rasulullah saw tidak

akan bermanfaat bila tidak disertai keimanan yang tulus dan amal saleh. Menjadi

teman bergaul seorang Rasul bukanlah bukti satu-satunya bukan pula menjamin

bahwa ia seorang yang adil dan selamat. Di mata Allah, para sahabat Nabi saw tidak

beda dengan tbiin. Dia akan menghukum mereka sebagaimana menghukum tbiin,

sebagaimana golongan kedua (tbiin) di antara mereka ada yang saleh dan ada yang

thleh (yang keji). Para sahabat Nabi saw pun sebagian ada yang saleh dan sebagian

lain ada yang thleh.

Tamtsl 56
Wa dharaba l-llhu matsalan li l-ladzina manu mra`ata firauna idz qlat rabbi bni li

indaka batan fi l-jannah wa najjini min firauna wa amalihi wa najjini mina l-qaumi

zh-zhlimin. Wa maryama bnata imrna l-lati ahshanat farjah fa nafakhn fihi min

ruhin wa shadaqat bi kalimti rabbih wa kutubihi wa knat mina l-qnitin

Artinya: Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang

yang beriman, ketika ia berkata: Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah

di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan

selamatkanlah aku dari kaum yang zalim. Dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang

memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari

ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya,

dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat. [at-Tahrim: 11-12]

Tafsir Ayat

Kata hishn yang berbentuk jamak hushun berarti benteng. Kata ini

digunakan untuk perempuan afifah (yang menjauhi barang syubhat). Karena, ia

menjaga dirinya dengan cara menjauhi perbuatan hina (aff) , atau dengan menikah.

Sedangkan qunuth ialah keharusan taat yang disertai ketundukan. Makna kata

qnitun ialah khdhiun, yaitu orang-orang yang tunduk.

Setelah al-Quran memberikan perumpamaan dengan contoh-contoh nyata

tentang kekejian sebagian perempuan, dalam ayat ini al-Quran menyebutkan contoh

lain, yaitu tentang ketakwaan dan keafifahan sebagian perempuan yang lain.

Ketakwaan dan keimanan mereka mencapai kedudukan yang agung. Mereka

tinggalkan kehidupan duniawi dan kesenangannya demi menjaga keimanan mereka.

Al-Quran menampilkan Asiyah binti Muzahim, istri Firaun, sebagai perempuan yang

telah mencapai keimanan dan ketakwaan tinggi. Asiyah memohon kepada Allah SWT

untuk dibangunkan sebuah rumah di surga. Ia mengimani Musa as tatkala


menyaksikan mukjizat-mukjizatnya yang memukau dan dalil-dalilnya yang terang. Ia

tidak menyembunyikan keimanannya tanpa merasa takut akan kekerasan Firaun.

Diriwayatkan bahwa Firaun menancapkan empat pasak pada tubuh Asiyah dan

menjemurnya di bawah terik matahari.

Inilah perempuan sempurna yang telah berkorban (di jalan Allah) demi

mempertahankan aqidahnya. Ia menyambut syahadah dengan lapang dada dan

sedikitpun tidak pernah menginginkan dunia dan segala kemilaunya. Tatkala kematian

menjemputnya, ia meneriakkan: Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di

sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya, dan

selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.

Kata indaka (di sisi-Mu) yang diucapkan Asiyah mengarah pada dekatnya ia

dengan rahmat Allah, dan kata fi l-jannah (di surga) menjelaskan kedudukan qurb

(dekat) dengan-Nya.

Ia telah memilih berdekatan dan qurb dengan Allah SWT, dan lebih

mengutamakan sebuah rumah yang dibangun-Nya ketimbang istana Firaun yang

menggiurkan. Keindahan kehidupan dunia baginya adalah kenikmatan yang fana,

yang tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan abadi (di sisi Allah SWT).

Selanjutnya, Allah SWT membuat perumpamaan lain bagi kaum mukminat,

yaitu Maryam binti Imran; Dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang memelihara

kehormatannya, maka Kami titipkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan)

Kami, dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya, dan adalah dia

termasuk orang-orang yang taat.

Dalam ayat ini, Allah SWT menyifati Maryam dengan sifat-sifat berikut:

Pertama, ahshanat farjah (ia telah memelihara kehormatannya). Ia

menjadi seorang perempuan yang afifah dan mulia. Sifat ini melawan kebohongan
yang dibuat-buat kaum Yahudi terhadapnya, sebagaimana diungkapkan dalam firman

Allah: ..dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar [an-Nisa:

156]. Dan: .....Dan (Maryam) yang telah memelihara kehormantannya, lalu Kami

tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami.. [al-Anbiya: 91].

Kedua, Fa nafakhn fihi min ruhin (maka Kami titipkan ke dalam

rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami); yakni keadaannya (Maryam) adalah

afifah dan terpelihara kesuciannya, ia patut dipuji dan dibalas kebaikan. Maka Allah

pun mengamanatkan ruh al-Masih kepadanya, hal mana menyandarkan ruh kepada

Allah berarti penyandaran pengagungan. Dia (Maryam) adalah perempuan yang tak

bersuami (tapi) beranak dan anaknya menjadi seorang nabi Allah yang agung.

Dua sifat ini telah disinggung dalam surat al-Anbiya: Dan (Maryam) yang

telah memelihara kehormantannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari

Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya sebagai tanda (kekuasaan Allah) yang besar

bagi semesta alam.

Di dalam dua ayat di atas terdapat perbedaan kata ganti nama (dhamir):

pertama, dalam surat al-Anbiya ayat 91 ber-dhamir perempuan (muannats); Fa

nafakhn fih min ruhin. Dan dalam surat at-Tahrim ayat 12 ber-dhamir laki-laki

(mudzakkar); fa nafakhn fihi min ruhin.

Berikut ini disebutkan bahwa dhamir pada ayat 91 surat al-Anbiya kembali

kepada Maryam, namun kedudukannya kembali pada Isa (as). Dan disebutkan (pula)

kata fih (dhamir muannats) kembali pada nafs (diri) Isa. Dan kata nafs (dalam

bahasa Arab) termasuk kategori muannats.

Menurut penulis, hal ini tidak sesuai dengan lahiriyah ayat. Sebab (dalam ayat

itu) Allah SWT hendak menerangkan balasan bagi Maryam karena ia telah

memelihara kehormatannya. Sedangkan kata nafkh (meniupkan ruh) pada ayat adalah
tentang Isa (al-Masih) yang merupakan pemuliaan baginya, bukan tentang balasan

bagi Maryam.

Ketiga, Wa shadaqat bi kalimti rabbih wa kutubihi (dan dia

membenarkan kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya). Kata yang dimaksud al-

kalimt dalam ayat ini barangkali adalah syariat di masa lampau. Dan al-kutub

ialah kitab-kitab yang turun, yang kemungkinannya adalah wahyu yang tidak

berbentuk kitab.

Keempat, wa knat mina l-qnitin; ia (Maryam) adalah perempuan yang taat

kepada Allah dan dia termasuk orang-orang yang taat, tunduk dan konsisten dalam

kepatuhan kepada-Nya. Sebagian besar dari mufasir menerangkan, bahwa ia

dimasukkan dalam bentuk mudzakkar (seperti mina l-qanitin dan bukan mina l-

qnitt yang merupakan bentuk muannats, penj.). Sebagaimana firman Allah: y

maryamu qnuti li rabbika wa sjudi wa rakai maa rliin [Al Imran: 43], dan bukan

mengatakan; maa rkit yang merupakan bentuk muannats.

Pembahasan ini kami akhiri dengan menyebutkan tiga riwayat sebagai berikut:

1- Ath-Thabari meriwayatkan dari Abu Musa bahwa Rasulullah saw bersabda:

Banyak yang sempurna dari kaum laki-laki, dan tiada yang sempurna dari kaum

perempuan melainkan empat orang: Asiyah binti Muzahim istri Firaun, Maryam binti

Imran, Khadijah binti Khuwailid dan Fatimah binti Muhammad (saw) [Majm al-

Bayan: 5/320].

2- Al-Hakim meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:

Kaum perempuan penghuni surga yang paling utama ialah: Khadijah binti

Khuwailid, Fatimah binti Muhammad (saw), Maryam binti Imran dan Asiyah binti

Muzahim istri Firaun, sebagaimana Allah mengisahkan kepada kita tentang mereka;
Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga. [Ad-Durr

al-Mantsur: 8/229].

3- Ath-Thabrani meriwayatkan dari Sad bin Janadah bahwa Rasulullah saw

bersabda: Sesungguhnya Allah menikahkan aku di surga: Maryam binti Imran,

perempuan Firaun (Asiyah binti Muzahim) dan saudari Musa [Ad-Durr al-Mantsur:

8/229].

Surat al-Mulk

Tamtsl 57

Amman hdz l-ladzi yarzuqukum in amsaka rizqahu bal lajju fi utuwwin wa nufur.

A fa man yamsyi mukibban al wajhihi ahd amman yamsyi sawiyyan al shiratin

mustaqim.

Artinya: Atau siapakah dia ini yang memberi kamu rezki jika Allah menahan

rizki-Nya? Sebenarnya mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan

diri? Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak

mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?.

[QS. al-Mulk: 21-22]

Tafsir Ayat

Kata lajj diangkat dari kata lajj, bermakna terus menerus menentang di dalam

mengambil tindakan yang dihalangi. Kata utuww berarti durhaka, congkak; dan kata

nufur bermakna menjauhi kebenaran.

Kata mukibb bermakna kabw (jatuh tersungkur), yaitu menjatuhkan sesuatu

pada wajahnya. Seperti dalam ayat: fa kubbat wujuhuhum fi n-nr, artinya: maka

disungkurkanlah muka mereka ke dalam neraka. [QS. an-Naml: 90].

Ungkapan menyebutkan: inna l-jawd qad yaqbu; yakni yasquth, artinya:

kuda balap terkadang jatuh. Dan yang dimaksud dengan qarinah (pasangan) di sini
ialah lawan kata dari muqibban; yamsyi sawiyyan, yakni yang berjalan dan

mukanya (tunduk) ke tanah, bukan yang jatuh (ke tanah). Ath-Thabarsi mengatakan:

Menundukkan kepalanya ke tanah, dan ia tidak melihat jalan, atau bukan menghadap

ke jalan.

Sedangkan ayat yang berbentuk pertanyaan kepada orang-orang sesat yang

terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri dari kebenaran serta masih

berpegang pada patung-patung berhala, dan kepada orang-orang yang mendapat

petunjuk yang berjalan di jalan lebar tauhid dan tidak menyembah apapun kecuali

Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, memberikan sebuah perumpamaan yang

khas.

Perumpamaan mereka (yang sesat dan tidak mendapat petunjuk) ialah seperti

orang yang berjalan di atas tanah yang berliku-liku dan tidak lurus yang sarat dengan

kesukaran-kesukaran. Yang sesat ibarat ia jatuh terjungkal dan mukanya terjerembab

ke tanah. Sedangkan yang mendapat petunjuk seperti orang yang berjalan di atas

tanah lebar yang benar dan lurus tanpa mengalami halangan dan kesukaran, sehingga

dengan mudah sampai pada tujuan.

Perbedaan antara dua golongan ini bukanlah pada cara berjalannya, tetapi pada

jalan yang mereka pilih; jalan orang-orang kafir itu berliku-liku dan banyak kesulitan,

sementara jalan orang-orang yang mendapat petunjuk lurus dan lapang. Akibatnya, ia

yang melewati jalan yang pertama akan tergelincir dan terjerembab di atas tanah,

sedangkan ia yang melalui jalan kedua sampai pada tujuan dengan aman dan selamat.

Jadi, ta`wil ayatnya ialah; Maka apakah orang yang berjalan di jalan yang tidak lurus

bahkan berliku-liku dan terjungkal di atas mukanya (terbalik) itu lebih banyak

mendapat petunjuk, ataukah orang yang berjalan tegap dan lurus di atas jalan yang

lapang dan lurus?.


Allamah Husain Thabathaba`i berkata: Maksudnya adalah mereka terus-

menerus berada dalam kecongkakan, kesombongan dan menjauh dari kebenaran.

Seperti orang yang berjalan di sebuah jalan dalam keadaan wajahnya jatuh terjungkal,

yang tidak melihat ketinggian, kerendahan, kelicinan dan kesulitan jalan itu. Maka

yang berjalan ini bukanlah seperti orang yang berjalan secara tegap di jalan yang

lapang dan lurus, sehingga ia dapat melihat langkah kakinya dan jalan yang

dihadapinya dengan tertib serta dapat melihat tujuan yang ditempuh secara jelas.

Mereka yang kafir menempuh jalan kehidupan sambil menentang kebenaran

yang mereka ketahui, sehingga mereka gelap dari pengetahuan kebenaran yang harus

diketahui dan jauh dari amal yang harus diamalkan. Mereka tidak tunduk pada

kebenaran meskipun mereka mengetahui perkara dengan jelas. Maka, mereka pun

percaya (dan memilih) kehancuran. [al-Mizan: 19/360-1]. []

Anda mungkin juga menyukai