Anda di halaman 1dari 13

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Pada saat ini hukum Islam sedang menghadapi tantangn yang amat serius seiring dengan banyaknya hal baru yang muncul dan berubah dalam setiap aspek kehidupan umat. Dengan keterbatasan bidang bahasan dan perbedaan latar belakang budaya, produk fiqh klasik menjadi terasa kurang memadai untuk menjawab berbagai masalah kontemporer, khususnya dalam konteks keIndonesiaan, yang semakin kompleks. Tuntutan penyegaran produk klasik atau pembuatan produk hukum baru pun menjadi tak terelakkan. Dari perspektif ini, pemahaman dan penguasaan terhadap ushul fiqh menjadi suatu keharusan bagi mereka yang ingin memahami hukum Islam untuk dapat mensintesa dalil-dalil hukum dari berbagai sumber utama hukum Islam, menjadi sebuah hukum aktif, aplikatif, dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah serta umat. Dari sini, pemakalah mencoba memaparkan sebagian kecil aspek dari ushul fiqh guna menambah pemahaman pembaca mengenai ushul fiqh. Sebagian aspek tersebut yaitu mengenai mantuq dan mafhum, meliputi pengertian serta pembagian-pembagiannya. B. Rumusan Masalah Dari pendahuluan di atas, kami akan mempersempit hal-hal yang akan kami bahas dalam rumusan masalah sebagai berikut. 1. Apa yang dimaksud dengan mantuq? 2. Mantuq dibagi menjadi berapa macam? 3. Apa yang dimaksud dengan mafhum? 4. Mafhum dibagi menjadi berapa macam?

BAB II PEMBAHASAN A. DILALAH MANTUQ 1. Pengertian Mantuq Mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh, mantuq berarti pengertian harfiah dari suatu lafal yang diucapkan.1 Dengan kata lain, mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (tersurat) 2 2. Pembagian Mantuq Mantuq terbagi menjadi dua: a. Mantuq Shorih Mantuq Shorih adalah makna eksplisit atau sesuatu yang diucapkan secara tegas, di mana pengambilan makna nashnya langsung dari kata-kata dan ungkapannya yang jelas dan tidak mungkin di- tawil lagi. Sebagaimana dikemukakan oleh Musthafa Said al-Khin sebagai berikut.


Artinya: makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu lafal, sesuai dengan penciptaannya baik secara penuh atau berupa bagiannya.3 Misalnya:

1 2

Satria Efendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 210 Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: Rajawali Press) hlm. 66 3 Ibid.

atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya . (Q.S. an-Nisaa:3) Dalam firman di atas dicantumkan boleh menikah lebih dari satu orang dengan syarat adil. Jika tidak, wajib membatasi seorang saja. Di kalangan Hanafiyah, mantuq shorih dikenal dengan nama ibaratun nash. Ciri-ciri mantuq shorih adalah bahwa nash tersebut membawa ketentuan definitive (hukum qathi) dan tidak memerlukan dalil pendukung. Tetapi jika nash itu dikemukakan dengan terma-terma umum, maka nash tersebut tidak menjadi dalil qathi, melainkan hanya menjadi dalil dzanni saja.4 b. Mantuq Ghoiru Shorih Mantuq ghoiru shorih yaitu pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal, tetapi sebagai konsekuensi dari suatu ucapan. Mantuq ghoiru shorih terbagi menjadi tiga bagian,5 yaitu: 1) Dalalat al-Ima, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena menyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau suatu peristiwa. Misalnya, Hadits riwayat Ahmad dan Tirmizi dari Said bin Zaid bahwa Rasulullah bersabda:

( )
Artinya: dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi SAW. Bersabda: Barangsiapa yang menghidupkan (mulai mengolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.(H.R. at-Tirmidzi)

M. Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 161 5 Satria Efendi dan M. Zein, op.cit., hlm. 211-214

Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima-nya, yaitu bahwa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illat bagi pemilikan tanah. 2) Dalalat al-Isyarat, yaitu suatu pengertian yang ditujukan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu. Misalnya, ayat 15 surat al-Ahqaaf menjelaskan:


Artinya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan Dan dalam ayat 14 surat Luqman dijelaskan pula:


Artinya: Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua tahun Mantuq pada ayat pertama tadi menjelaskan jumlah masa kandungan dan masa mnyusukan selama 30 bulan, dan pada ayat kedua dijelaskan masa menyusu selama 24 bulan. Hal ini menunjukkan (dalalat isyarat) bahwa sisanya, yaitu 6 bulan adalah masa minimal dalam kandungan. Kesimpulan bahwa masa minimal kandungan adalah 6 bulan bukanlah maksud turunnya ayat-ayat

tersebut, melainkan merupakan suatu kemestian dari ketegasan dari dua ayat tersebut. 3) Dalalat al-Iqtida, yaitu pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu. Misalnya sabda Rasulullah saw.

( )
Artinya: Rasulullah bersabda:Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan. (H.R. Ibnu Majah) Hadits di atas jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa, dan keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad. Pengertian tersebut tidak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga dengan demikian arti hadits menjadi: . Mengangkat dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, lupa, atau terpaksa. Di kalangan Hanafiyah, dalalat al-iqtida dikenal dengan sebutan iqtida al-nash. B. DILALAH MAFHUM 1. Pengertian Mafhum Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh, mafhum berarti pengertian tersirat dari suatu lafal atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan6. Dengan kata lain, mafhum adalah makna yang diperoleh dari pemahaman susunan lafadznya. 2. Pembagian Mafhum Mafhum terbagi menjadi dua: a. Mafhum Muwafaqoh
6

Satria Efendi dan M. Zein, op.cit., hlm. 214

Mafhum Muwafaqoh adalah hukum yang dipaham (mafhumnya) sama dengan mantuq-nya7, yakni: penunjukan hukum melalui motivasi tersirat atau alasan logis di mana rumusan hukum dalam mantuq dilandaskan. Misalnya, memukul adalah menyakitkan ibu/bapak, ucapan juga menyakitkan ibu/bapak. Jadi, memukul hukumnya sama dengan ucapan. Mafhum muwafaqoh terbagi lagi menjadi dua, yaitu: 1) , , , , adalah mafhum-nya lebih utama dari pada mantuqnya. Misalnya, memukul ibu/bapak lebih tidak boleh hukumnya dari pada hanya berkata , berdasarkan ayat:


Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.(Q.S. al-Isra:23) 2) , , , , adalah mantuq sama hukumnya dengan mafhum-nya. Misalnya membakar harta benda anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta bendanya, berdasarkan ayat:

Saiful Hadi, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam secara Komprehensif , (Yogyakarta: Sabda Media, 2009), hlm. 121


Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyalanyala (neraka).(Q.S. an-Nisaa: 10) Mafhum muwafaqoh dapat dijadikan hujjah. Sebagaimana kaidah yang berbunyi, .8 Validitas mengenai bentuk mafhum muwafaqoh ini diterima oleh ulama-ulama dari semua madzhab kecuali Zahiri, Ibn Hazm dan Ibn Taimiyah. b. Mafhum Mukholafah Mafhum Mukholafah adalah pengertian lafal kepada berlakunya arti (hukum) kepada sebaliknya (yang berlawanan) dari arti (hukum) yang disebutkan dalam nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam suatu lafal. Mafhum mukholafah disebut juga dalilul khitab.9 Kalangan hanafiyah menolak mafhum mukholafah sebagai landasan pembentukan hukum. Alasan mereka antara lain, bahwa dapat dibuktikan dalam Alquran di mana apabila mafhum mukholafah difungsikan, maka akan merusak pemahaman ayat hukum. Misalnya ayat 130 Surat Ali Imran:


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

8 9

Muchlis Usman, op.cit. Departemen Agama, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), hlm. 94

Mafhum mukholafah dari ayat di atas berarti halalnya riba yang tidak berlipat ganda, namun pemahaman seperti ini adalah keliru, karena riba yang tidak berlipat ganda pun haram hukumnya. Hal itu menunjukkan bahwa mafhum mukholafah tidak dapat difungsikan dalam Alquran.10 Mafhum mukholafah dapat dibedakan menjadi 6 macam11, yaitu: 1) Mafhum laqab, adalah menetapkan hukum sebaliknya dari hukum yang ditetapkan pada isim alam atau isim jenis dalam suatu nash. Misalnya sabna Rasulullah saw. :


Artinya: pada gandum dikenakan zakat. Dengan mafhum laqab, maka ditetapkan hukum zakat tidak dikenakan pada selain gandum. 2) Mafhum hasr, adalah menetapkan hukum sebaliknya dari hukum yang dibatasi dengan yang disebutkan oleh lafal dalam suatu nash. Misalnya sabda Rasulullah SAW.


Artinya: hanya saja syufah itu terdapat pada sesuatu (benda tetap) yang belum dibagi. Lafal hadits di atas menyebutkan bahwa hukum syufah terbatas pada benda tetap yang belum dibagi. Oleh karena itu, mafhum hasr-nya yaitu bahwa selain pada benda tetap yang belum dibagi tidak berlaku hukum syufah. 3) Mafhum shifat, adalah petunjuk lafal yang diberi sifat tertentu kepada berlakunya huk um sebaliknya (yang berlawanan) dari hukum yang disebutkan oleh lafal itu, pada sesuatu yang tidak didapati sifat yang disebutkan oleh lafal tersebut. Misalnya Firman Allah:
10 11

Satria Efendi dan M. Zein, op.cit., hlm. 215-216 Departemen Agama, op.cit., hlm. 94-99


Artinya: Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki (Q.S.an-Nisaa :25) Kebolehan mengawini budak yang disebutkan oleh lafal di atas adalah mengawini budak yang beriman. Beriman adalah sifat yang diberikan kepada budak yang boleh dikawini. Jadi, mafhum shifatnya ialah, haram mengawini budak yang tidak beriman. 4) Mafhum syarat, adalah petunjuk lafal yang memfaedahkan adanya hukum yang dihubungkan dengan atau syarat supaya dapat berlakunya hukum yang sebaliknya (yang berlawanan) pada sesuatu yang tidak memnuhi syarat yang disebutkan oleh lafal itu. Misalnya, dari Firman Allah:


Artinya: dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, (Q.S.at-Thalaaq:6) Hukum yang disebutkan pada lafal di atas yaitu wajib memberi nafkah kepada istri yang ditalak dalam keadaan hamil sampai ia melahirkan. Kehamilan seorang istri yang ditalak menjadi syarat bagi bekas suami untuk memberi nafkah kepadanya. Oleh karena itu, mafhum syarat-nya ialah tidak wajib bagi bekas suami memberi nafkah kepada istri yang ditalak ketika ia tidak dalam keadaan hamil. 5) Mafhum ghayah, adalah petunjuk lafal yang memfaedahkan sesuatu hukum sampai dengan batas yang telah ditentukan, apabila
9

telah melewati batas yang ditentukan itu, maka berlaku hukum sebaliknya. Seperti firman Allah:


Artinya: dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar (Q.S.alBaqarah:187) Hukum yang disebutkan oleh lafal pada ayat di atas adalah bahwa kebolehan makan dan minum diwaktu malam bulan Ramadhan dibatasi dampai dengan datangnya waktu fajar. Oleh karena itu, mafhum ghayah-nya yaitu haram (tidak boleh) makan dan minum setelah melampaui waktu malam yaitu di kala telah datang waktu fajar. 6) Mafhum adad, adalah petunjuk lafal yang memfaedahkan suatu pengertian yang dinyatakan oleh hukum yang dengan bilangan tertentu akan berlaku hukum sebaliknya (yang berlawanan) pada bilangan lain tertentu yang berbeda dengan bilangan yang disebutkan oleh lafal itu. Misalnya firman Allah:


Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera (Q.S.an-Nuur:2) Hukuman dera yang dikenakan kepada orang yang berbuat zina (ghairu muhsan) baik laki-laki maupun perempuan yang disebutkan oleh lafal pada ayat di atas yaitu seratus kali. Dengan demikian, mafhum adad-nya ialah tidak sesuai mendera orang yang berbuat zina (ghairu muhsan) selain seratus kali, yakni kurang dari seratus kali, dan juga tidak boleh lebih dari seratus kali.

10

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah disampaikan di atas, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil, di antaranya yaitu: 1. Mantuq berarti pengertian harfiah dari suatu lafal yang diucapkan. Dengan kata lain, mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan atau tersurat. 2. Mantuq terbagi menjadi dua, yaitu mantuq shorih dan mantuq ghoiru shorih. 3. Mafhum berarti pengertian tersirat dari suatu lafal atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan. Dengan kata lain, mafhum adalah makna yang diperoleh dari pemahaman susunan lafadznya. 4. Mafhum dibagi menjadi dua, yaitu mafhum muwafaqoh dan mafhum mukholafah. B. Saran

11

Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan, jika terdapat kesalahan mohon di ingatkan dan dibenarkan, sebagai perbaikan kami ke depan. Semoga apa yang tertera dalam makalah ini dapat membawa manfaat untuk kita semua dan bisa menambah wawasan kita semua.

DAFTAR PUSTAKA Departemen Agama. 1986. Ushul Fiqh II. Jakarta: Departemen Agama Efendi, Satria dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Hadi, Saiful. 2009. Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam secara Komprehensif. Yogyakarta: Sabda Media Kamali, M. Hashim. 1996. Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Rajawali Press

12

13

Anda mungkin juga menyukai