Anda di halaman 1dari 7

[H.Muh.

Nur Abdurrahman]
http://waii- hmna.blogspot. com/2010/ 05/921-mengapa- di-akhirat- koruptor-
harus.html

Ada dua aliran filsafat yang saling bertentangan. Di pihak yang satu berfaham bahwa
manusia itu sama sekali tidak mempunyai ikhtiar apa-apa, Tuhanlah Yang aktif.
Aliran ini menempatkan manusia dalam keadaan pasif sebenar-benarnya. Inilah
Jabariyah, Fatalisme. Sedangkan pada pihak yang lain, adalah faham Qadariyah.
Faham ini menganggap Tuhan dalam keadaan pasif, manusialah yang aktif dalam
berkeinginan dan berikhtiar. Jadi setingkat di bawah faham Deisme, yang
mengingkari adanya wahyu (komunikasi antara Tuhan dengan makhlukNya).

-- YHDY ALLH LNWRH MN YSyAa (S. ALNWR, 24:35), dibaca: yahdiLla-hu


linu-rihi- may yasya-u (tanda - dipanjangkan membacanya), artinya:
YHDY = memberi hidayah
ALLH = Allah
LNWRH = dengan CahayaNya
MN = siapa
YSyAa = yang mau
ALLH adalah mubtada' (subyek) sekaligus fa'il (Pelaku). YHDY adalah khabar
(predikat), LNWRH adalah keterangan, MN YSy adalah maf'ul (obyek) dalam wujud
anak kalimat (anak kalimat yang menjadi obyek). Kalau anak kalimat itu diuraikan
pula, maka MN (=siapa) adalah mubtada' sekaligus pula fa'il dan YSyAa (= yang
mau) adalah khabar (predikat). Maka ayat itu berarti:
-- Allah memberi hidayah dengan CahayaNya kepada siapa yang mau.

Menjelang akhir Ramadhan 1417 / Februari 1997 di Pesantren Putera Pendidikan


Quran IMMIM Tamalanrea. Al Ustadz Drs H.Saifullah (guru bahasa Arab, sekarang
sudah almarhum) dan Al Ustadz Drs H. Hasnawi Marjuni (hafiz, penghapal Al Quran)
dalam diskusi terbatas berpendapat pelaku Yasya-u adalah Allah, sedangkan menurut
pendapat saya pelaku Yasya-u adalah Man.

Maka perbedaan penafsiran itu harus diujicoba, dan rujukannya tentulah juga semata-
mata pada Ayat Qawliyah pula. Marilah kita rujukkan kedua penafsiran yang tidak
sama itu terhadap ayat-ayat di bawah ini:
-- AN ALLH LA YGhYR MA BQWM hTY YGhYRWA MA BANFSHM
(S.ALR'AD, 13:11), dibaca: innalla-la la- yughayyiru biqaumin hatta- yughayyiru- ma
bianfusihim, artinya:
-- Sesunggunya Allah tidak akan mengubah apa (yang ada) atas suatu kaum, hingga
mereka mengubah apa atas diri mereka.
(Kata mengubah ada yang menulis dengan merubah. Asal katanya ubah, mendapat
awalan me÷sengau ng menjadi mengubah, sedangkan rubah adalah binatang sejenis
keluarga anjing).

-- DzLK BAN ALLH LM YK MGhYRA N'AMt AN'AMHA 'ALY QWM hTY


YGhYRWA MA BANFSHM (S.ALANFAL, 8:53), dibaca: dza-lika biannalla-ha lam
yaku mughayyiran ni'matan an'amaha- 'ala- qaumin hatta- yughayyiru- ma-
bianfusihim, artinya:
-- Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang
dianugerahkanNya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa atas diri
mereka.

Ayat-ayat rujukan di atas itu berhubungan dengan makna ayat. Berikut ini
dikemukakan rujukan ayat mengenai pola redaksionalnya.
-- AN ALLH YDhL MN YSyAa WYHDY ALYH MN ANAB (S.ALR'AD, 13:27),
dibaca: innalla-ha yudhillu man yasya-u wayahdi- ilaihi man ana-ba, artinya:
-- Sesungguhnya disesatkan Allah orang yang menghendaki (kesesatan) dan memberi
petunjuk kepadaNya siapa yang tobat. Pola secara redaksional ini jelas. Man adalah
pelaku perbuatan Yasya-u dan Ana-ba.

Alhasil penafsiran yang dikukuhkan oleh hasil ujicoba di atas adalah Allah aktif dan
manusia aktif, yaitu pola pikir Ahlussunnah (bukan Jabariyah, bukan Qadariyah).

Allah aktif memancarkan CahayaNya berupa hidayah dan manusia harus pula aktif
membersihkan qalbu (hati nuraninya) dari kotoran yang menutup qalbunya akibat
perbuatan iblis. Dengan aktif membersihkan kotoran yang menutup qalbu maka
manusia itu dapatlah memperoleh Cahaya Allah yang menerangi hati nuraninya itu.

Dalam Al-Quran dibedakan Cahaya Allah yang menerangi dengan sinar yang
menerangi (dhiya). Cahaya Allah adalah berupa hidayah dalam hubungannya dengan
spiritualisme, sedangkan dhiya adalah sinar dari sumber panas seperti matahari, obor
yang berupa gelombang panas, yang menerangi benda-benda fisik.

Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih:


-- WQL ALhQ MN RBKM FMN SyAa FLYWaMN WMN SyAa FLYKFR (S.
ALKHF, 18:29), dibaca: wa qulil haqqu mir rabbikum faman sya-a falyu'min wa man
sya-a falyakfur (s. Al Kahfi), artinya:
-- dan katakanlah Kebenaran dari Maha Pengaturmu, siapa yang mau maka
berimanlah, siapa yang mau maka kafirlah.

Dengan kebebasan memilih itu manusia memikul tanggung jawab penuh atas hasil
pilihan dan perbuatannya. Janganlah pula koruptor itu mengatakan mengapa ia harus
dihukum, bukankah ia menjadi koruptor itu atas izin Allah? Memang kehendak Allah
memberikan izin kebebasan memilih, jadi menjadi koruptor itu adalah pilihan, Allah
tidak turut campur dalam pilihan itu, karena atas kemauan Allah sendiri telah
memberikan wewenang sepenuhnya kepada manusia untuk bebas memilih seperti
dinyatakan ayat (18:29). Jadi Allah aktif memberikan kebebasan memilih kepada
manusia dan manusia aktif menentukan pilihannya. Allah Maha Adil, Yang
menghukum manusia atas hasil pilihaan manusia itu sendiri. Manusia harus
mempertanggung- jawabkan hasil pilihannya itu kepada MLK YWM ALDYN,
Pemilik Hari Keadilan. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 2 Mei 2010


Assalamu'alaikum,
Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi'i Rahimahullah adalah ulama Ahlus Sunnah
Wal Jama'ah dan sungguh beliau berlepas diri dari klaimnya para Sufi wa Tasawwuf.

Wassalamu'alaikum,
Abdul Karim

Betapa
Dengkinya Ahlu Ahwa' wal Jahil terhadap Orang-orang yang
berpegang teguh kepada Manhaj Salaful Ummah, mereka yang paling kentara
saat ini adalah kaum tasawwuf dan Quburiyyun.

>>>>>>>>>>>> >>>>>>>>> >

Rabu, 03 Februari 2010 - 05:14:51, Penulis


: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal
Kategori : Tafsir
Tafsir Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Bukan Tafsir Sufi

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu merupakan salah seorang tokoh Ahlus Sunnah


yang dikenal memiliki keilmuan agama di berbagai bidang, termasuk pula dalam ilmu
tafsir. Beliau merupakan salah satu rujukan pada zamannya, yang menjadi tempat
bertanya kaum muslimin dalam penafsiran Al-Qur’an.

Kedudukan Al-Qur'an menurut Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullahu Al-Imam Asy-


Syafi’i rahimahullahu menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan pedoman, petunjuk,
dan pembimbing. Barangsiapa senantiasa menggali ilmunya maka dia akan memiliki
kedudukan yang tinggi, sesuai kadar ilmu Al-Qur’an yang dimilikinya.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Semua yang diturunkan Allah


Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya merupakan rahmat dan hujjah. Berilmu bagi
orang yang mengetahuinya dan jahil bagi yang tidak mengetahuinya. Tidak berilmu
orang yang jahil terhadapnya, dan tidak jahil orang yang mengilmuinya. Sedangkan
manusia bertingkat-tingkat dalam keilmuan. Kedudukan mereka dalam ilmu sesuai
tingkatan mereka dalam mengilmuinya (Al-Qur’an).”
(Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’i hal. 19)

Beliau rahimahullahu juga menjelaskan bahwa kebahagiaan serta kemenangan hidup


di dunia dan akhirat hanyalah diperoleh dengan memahami hukum-hukum yang telah
diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya. Beliau rahimahullahu
berkata: “Barangsiapa yang menjangkau ilmu tentang hukum-hukum Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya, baik secara nash maupun secara istinbath
(mengambil kesimpulan dari suatu dalil), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi
taufiq kepadanya untuk berkata serta mengamalkan apa yang telah diilmuinya, maka
dia akan meraih kemenangan dalam agama dan dunianya. Akan hilang darinya
berbagai keraguan. Cahaya hikmah akan senantiasa menerangi hatinya dan dia akan
mendapatkan kepemimpinan di dalam agama.” (Ar-Risalah hal 19)

Perbedaaan tafsir Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dengan tafsir kelompok


Shufiyah Sebagian orang menyangka bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
sejalan dengan pemikiran Shufiyah. Hal ini disebabkan karena banyaknya ahli
tasawwuf yang menisbahkan dirinya sebagai penganut madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i
serta mengikuti ajaran-ajaran beliau. Padahal tidak demikian keadaannya. Bahkan
prinsip-prinsip yang diajarkan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu senantiasa sejalan
dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah secara umum. Khususnya dalam bidang ilmu
tafsir, Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullahu sangat jauh dari berbagai prinsip Shufiyah
dalam penafsiran Al-Qur’an.

Dalam ushul tafsir, Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullahu menegaskan bahwa dalam


memahami Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan penjelasan
terhadap ayat-ayat-Nya dengan beberapa cara:

- Ada yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jelaskan secara nash, seperti beberapa perkara
wajib, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan atas mereka shalat,
menunaikan zakat, berhaji, berpuasa, dan mengharamkan atas mereka perbuatan keji,
yang nampak maupun yang tersembunyi, perbuatan zina, minum khamr, memakan
bangkai, darah, dan daging babi, serta menjelaskan kepada mereka kewajiban
berwudhu dan yang lainnya.

- Ada pula yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan kewajiban sesuatu melalui
kitab-Nya dan menjelaskan caranya melalui lisan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Seperti bilangan shalat, zakat, dan waktu-waktunya, serta yang lainnya.

- Apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa sesuatu
yang tidak disebutkan nash-nya dalam Al-Qur’an, di mana Allah l telah mewajibkan
dalam kitab-Nya untuk taat kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menetapkan hukumnya. Maka barangsiapa yang menerima hukum dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti dia menerima ketetapan Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

- Adapula yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepada hamba-hamba- Nya


untuk berijtihad dalam menemukan jawabannya dan menguji ketaatan hamba tersebut
dengan berijtihad, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji mereka dengan
apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan atas mereka. (Ar-Risalah, Al-
Imam Asy-Syafi’i, hal. 21-22)

Prinsip-prinsip yang disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu ini sangat


bertentangan dengan apa yang menjadi prinsip kaum Shufiyah. Di kalangan Shufiyah,
ilmu tidak diambil dengan cara mempelajari Al-Kitab dan As-Sunnah, karena mereka
menganggap bahwa mengambil ilmu secara langsung dari keduanya adalah
kekeliruan. Seperti apa yang diucapkan oleh Abul Fadhl Al-Ahmadi: “Jangan kalian
memastikan kebenaran dari apa yang kalian ketahui dari Al-Kitab dan As-Sunnah,
meskipun secara hakiki itu adalah kebenaran.” (Al-Mashadir Al-’Ammah lit Talaqqi
‘inda Ash-Shufiyah, karya Shadiq Salim, hal. 186)

Namun salah satu cara mereka dalam mengambil ilmu adalah dengan kasyaf shufi.
Yaitu kemampuan untuk dapat melihat berbagai hal dengan cara menembus alam
ghaib, sehingga seakan-akan dia melihatnya dengan mata kepalanya.
Ilmu kasyaf ini –menurut mereka– jauh lebih afdhal dari sekadar mempelajari
Al-Kitab dan As-Sunnah. Al-Ghazali menukil dari Al-Junaid bahwa dia berkata:
“Aku lebih suka bagi seorang murid pemula untuk tidak menyibukkan hatinya
dengan tiga hal: mencari nafkah, menuntut ilmu hadits, dan menikah. Aku lebih
suka bagi seorang shufi untuk tidak menulis dan membaca, karena cara itu lebih
fokus untuk mencapai harapannya.” (Ihya’ Ulumiddin, Al-Ghazali, 4/239)
Ad-Darani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits, atau menikah, atau mencari
nafkah, maka sungguh dia telah condong kepada dunia.” (Ihya’ Ulumiddin, 1/61)

Oleh karenanya, di kalangan Shufiyah, orang yang paling bodoh sekalipun bisa
menjadi seorang syaikh yang dihormati. Asy-Sya’rani tatkala menyebut salah seorang
gurunya berkata: “Di antara mereka adalah syaikh dan ustadz saya: Sidi Ali Al-
Khawwash Al-Baralsi –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai dan
merahmatinya–, beliau adalah seorang yang ummi, tidak bisa menulis dan membaca.
Dia berbicara tentang makna-makna Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah yang mulia,
dengan perkataan yang sangat berharga yang membuat para ulama tercengang1….”
(Thabaqat Asy-Sya’rani, 2/150, Al-Mashadir Al-’Ammah hal. 184)

Subhanallah! Kaum Shufiyah berusaha memalingkan kaum muslimin untuk


mempelajari agamanya. Padahal seorang muslim tidak mungkin dapat memahami
agamanya kecuali dengan cara belajar dan mendalami Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫إِنَّ َما ْال ِع ْل ُم بِالتَّ َعلُّ ِم َو ْال ِح ْل ُم بِالتَّ َحلُّ ِم‬


َّ ‫َو َم ْن يَتَ َح َّر ْال َخي َْر يُعْطه َو َم ْن يَتَ َو‬
‫ق ال َّش َر يُوقه‬
“Sesungguhnya ilmu diperoleh dengan belajar dan kesabaran diperoleh dengan belajar
sabar. Barangsiapa yang mencari kebaikan maka ia akan diberi dan barangsiapa yang
menjaga diri dari kejahatan maka ia akan dipelihara.” (HR. Al-Khathib dalam Tarikh-
nya 9/127, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, karya
Al-Albani, 1/342)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:

‫ُول هللاِ صلى هللا عليه‬ َ ‫ك َح ِد‬


ِ ‫يث َرس‬ َ ‫ض َّل َم ْن تَ َر‬ َ ‫لَقَ ْد‬
ُ‫وسلم لِقَ ْو ِل َم ْن بَ َع َده‬
“Sungguh telah sesat orang yang meninggalkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam karena ucapan orang setelahnya.” (Al-Faqih wal Mutafaqqih, Al-Khathib
Al-Baghdadi, 1/386)

Perbedaan yang sangat mencolok antara Al-Imam Asy-Syafi’i dengan kaum Shufiyah
inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Cara sufi menfsirkan Al Qur'an.

Kaum Shufiyah dalam menafsirkan ayat tidak bersandar kepada kaidah-kaidah yang
diterapkan para ulama dalam menafsirkan, juga tidak bersandar kepada kaidah-kaidah
ilmu musthalah hadits. Mereka selalu bersandar kepada apa yang disebut dengan ilmu
kasyaf tersebut, ilmu ladunni2, mimpi-mimpi, atau perasaan, yang dengannya
mereka mengaku –padahal mereka para pendusta– bahwa mereka mendapatkan
penafsiran langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa
perantara.

Asy-Sya’rani berkata tentang salah seorang syaikh sufi asal Mesir yang bernama
Ahmad Az-Zawawi: “Dia (Az-Zawawi) pernah berkata kepadaku:
‘Sesungguhnya cara kami adalah memperbanyak shalawat kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliau duduk bersama kami dalam keadaan
sadar (bukan mimpi). Kami menemaninya sama seperti para sahabat. Kami juga
bertanya kepadanya tentang urusan agama kami dan bertanya tentang hadits-hadits
yang dilemahkan oleh para hafizh. Lalu kami mengamalkan ucapan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam padanya’.” (Lawaqih Al-Anwar Al-Qudsiyyah,
lembaran 157, Al-Mashadir Al-’Ammah, hal. 236)

Dengan pengakuan dusta bahwa mereka dapat bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam keadaan sadar, mereka pun menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an
dengan cara “mendengar langsung” dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Disebutkan dalam Al-Ibriz bahwa Al-Lamthi bertanya kepada syaikhnya yang
bernama Ad-Dabbagh tentang makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ِ ‫ْال‬
ِ‫كتَاب‬ ‫ت َو ِع ْن َدهُ أُ ُّم‬
ُ ِ‫يَ ْمحُوا هللاُ َما يَ َشا ُء َوي ُْثب‬
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa
yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).”
(Ar-Ra’d: 39)
Maka Ad-Dabbagh menjawab: “Aku tidak menafsirkan ayat ini kepada kalian kecuali
dengan apa yang aku dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemarin beliau
menyebutkan tafsirnya kepada kami …. –lalu ia menyebutkan tafsirannya.” (Al-Ibriz
hal. 150, Al-Mashadir Al-’Ammah hal. 237)
Demikian pula Ash-Shayadi mengaku bahwa dia telah dibaiat di hadapan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa membaca surah Al-Ikhlas jika masuk
rumah. (Bawariqul Haqa’iq, hal. 307, Al-Mashadir Al-’Ammah hal. 238)
Ash-Shayadi Ar-Rifa’i juga mengaku bahwa Khadhir menafsirkan kepadanya firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:

َ ُ‫ق أَفَاَل يَ ْعقِل‬


‫ون‬ ِ ‫َو َم ْن نُ َع ِّمرْ هُ نُنَ ِّك ْسهُ فِي ْال َخ ْل‬

“Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia
kepada kejadian(nya) . Maka apakah mereka tidak memikirkan?” (Yasin: 68)
Khadhir berkata kepadanya: “Penafsiran ayat ini adalah, barangsiapa yang Kami
panjangkan umurnya dan Kami tinggikan kedudukannya di sisi Kami, Kami jadikan
dia di kalangan makhluk terbalik (amalannya).”(Bawariqul Haqaiq, hal. 147)

Adapun dalam periwayatan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, As-
Sahrawardi mengaku dalam kitabnya As-Sirr Al-Maktum bahwa Khadhir
telah memberitakan kepadanya 300 hadits yang dia dengar secara langsung dari
lisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Kasyful Khudr, lembaran 8,
Al-Mashadir Al-’Ammah hal. 261)

Dari sebagian kecil apa yang telah kami paparkan ini, nampaklah bahwa Thariqat
Shufiyah memiliki ajaran-ajaran yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip
Ahlus Sunnah wal Jamaah yang telah diajarkan oleh para ulamanya, termasuk di
antara mereka adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu.
Oleh karenanya, penisbahan sebagian kaum Shufi kepada Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu, baik dalam masalah fiqih maupun akidah, adalah penisbahan yang
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu sendiri berlepas diri dari mereka.

Wallahul muwaffiq.

Anda mungkin juga menyukai