Tauhid asma’ wa shifat adalah menetapkan nama dan sifat yang telah
ditetapkan sendiri oleh Allah bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi diri-Nya tanpa disertai dengan
tahrif (penyelewengan makna), ta’wil (penafsiran yang menyimpang),
ta’thil (menolak makna atau teksnya), takyif (menegaskan bentuk
tertentu dari sifat Allah), tasybih (menyerupakan secara parsial) ataupun
tamtsil (menyerupakan secara total). Hal ini sebagaimana ditegaskan di
1
dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Tiada sesuatupun yang serupa
dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy
Syura : 11). Sesungguhnya ayat yang mulia ini merupakan dalil yang
sangat jelas tentang kebenaran madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah
dalam mengimani sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla yaitu dengan
menetapkan sifat serta menyucikan-Nya. Di dalam firman-Nya ‘azza wa
jalla, “Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” terdapat
penetapan dua buah nama Allah yaitu As Sami’ (Maha Mendengar) dan
Al Bashir (Maha Melihat). Kedua nama ini menunjukkan keberadaan
dua sifat Allah yaitu As Sam’u (mendengar) dan Al Bashar (melihat).
Sedangkan di dalam firman-Nya ta’ala, “Tiada sesuatupun yang serupa
dengan-Nya.” terdapat penyucian Allah ta’ala dari keserupaan diri-Nya
dengan makhluk dalam sifat-sifat mereka. Allah subhanahu wa ta’ala
mendengar tetapi tidak sebagaimana pendengaran makhluk. Dia juga
melihat namun tidak sama seperti penglihatan mereka.
Bahkan ayat pertama yang terdapat dalam surat yang agung ini sudah
mencakup ketiga macam tauhid tersebut. Tauhid uluhiyah sudah
ditunjukkan keberadaannya dengan firman-Nya, “Alhamdulillah”
(Segala puji bagi Allah). Hal itu dikarenakan penyandaran pujian oleh
para hamba terhadap Rabb mereka merupakan sebuah bentuk ibadah
dan sanjungan kepada-Nya, dan itu merupakan bagian dari perbuatan
mereka.
2
Sedangkan tauhid asma’ wa shifat, maka sesungguhnya ayat pertama itu
pun telah menyebutkan dua buah nama Allah. Kedua nama itu adalah
lafzhul jalalah ‘Allah’ dan Rabb sebagaimana di dalam firman-Nya
“Rabbil ‘alamin”. Pada ayat ini kata ‘rabb’ disebutkan dalam bentuk
mudhaf (dipadukan dengan kata lain, pen). Sedangkan pada ayat lainnya
yang tercantum dalam surat Yasin ia disebutkan secara bersendirian
tanpa perpaduan, yaitu dalam firman-Nya, “Salamun qaulan min rabbir
rahim” (Semoga keselamatan tercurah dari rabb yang maha penyayang)
(QS. Yasin : 58).
3
‘Maliki yaumid din’ menunjukkan kepada tauhid rububiyah. Allah
subhanahu wa ta’ala adalah rabb segala sesuatu dan penguasanya.
Seluruh kerajaan langit dan bumi serta apa pun yang berada di antara
keduanya adalah milik-Nya. Dia lah Raja yang menguasai dunia dan
akhirat. Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Milik Allah kerajaan langit dan
bumi serta segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan Dia Maha
menguasai segala sesuatu.” (QS. Al Ma’idah : 120). Allah juga
berfirman, “Maha Suci Allah yang di tangan-Nya kerajaan dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Mulk : 1). Allah berfirman,
“Katakanlah; Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas
segala sesuatu, Dia yang melindungi dan tiada yang dapat terlindungi
dari siksa-Nya, jika kalian benar-benar mengetahui? Maka mereka akan
menjawab, ‘Allah’. Katakanlah; Lantas dari sisi manakah kalian
tertipu.” (QS. Al Mu’minun : 88-89).
4
‘alaihi wa sallam. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa
hendaknya seorang muslim tidak meminta pertolongan dalam mengatasi
segala urusan agama dan dunianya kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla.
Petunjuk menuju jalan yang lurus itu akan menuntun kepada jalan
orang-orang yang diberikan kenikmatan yaitu para nabi, orang-orang
shiddiq, para syuhada’, dan orang-orang salih. Mereka itu adalah orang-
orang yang memadukan ilmu dengan amal. Maka seorang hamba
memohon kepada Rabbnya untuk melimpahkan hidayah menuju jalan
lurus ini yang merupakan sebuah pemuliaan dari Allah kepada para
rasul-Nya dan wali-wali-Nya. Dia memohon agar Allah menjauhkan
5
dirinya dari jalan musuh-musuh-Nya yaitu orang-orang yang memiliki
ilmu akan tetapi tidak mengamalkannya. Mereka itulah golongan
Yahudi yang dimurkai. Demikian juga dia memohon agar Allah
menjauhkan dirinya dari jalan orang-orang yang beribadah kepada Allah
di atas kebodohan dan kesesatan. Mereka itulah golongan Nasrani yang
sesat. Hadits yang menerangkan bahwa orang-orang yang dimurkai itu
adalah Yahudi dan orang-orang sesat itu adalah Nasrani dikeluarkan
oleh At Tirmidzi (hadits nomor 2954) dan ahli hadits lainnya, silakan
lihat takhrij hadits ini di buku Silsilah Ash Shahihah karya Al Albani
(hadits nomor 3263), di dalam buku itu disebutkan nama-nama para
ulama yang menyatakan keabsahan hadits tersebut.
6
maukah aku kabarkan kepada kalian tentang golongan orang yang
balasannya lebih jelek di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dilaknati
Allah dan dimurkai oleh-Nya.” (QS. Al Ma’idah : 60). Begitu pula
firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan patung sapi
itu sebagai sesembahan niscaya akan mendapatkan kemurkaan.” (QS.
Al A’raaf : 152). Sedangkan golongan ‘adh dhaalliin’ telah Allah
jelaskan bahwa mereka itu adalah kaum Nasrani melalui firman-Nya
ta’ala, “Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu suatu kaum yang
telah tersesat, dan mereka pun menyesatkan banyak orang, sungguh
mereka telah tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al Ma’idah : 77). ”
7
bainana wa bainakum, awal surat Tanzilul Kitab dan bagian akhirnya,
awal surat Yunus, pertengahan, dan bagian akhirnya, awal surat Al
A’raaf dan bagian akhirnya, dan surat Al An’aam secara keseluruhan.
Mayoritas surat-surat Al Qur’an mengandung dua macam tauhid
tersebut, bahkan setiap surat dalam Al Qur’an demikian halnya; sebab
Al Qur’an itu meliputi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya,
sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya, inilah yang disebut
dengan tauhid ilmi khabari. Ia juga berisi tentang dakwah yang
mengajak untuk beribadah kepada Allah semata dan tiada sekutu bagi-
Nya serta menanggalkan segala bentuk sesembahan selain-Nya, inilah
yang disebut tauhid iradi thalabi. Ia juga berisi tentang perintah dan
larangan serta kewajiban untuk menaati-Nya, ini merupakan hak-hak
tauhid dan penyempurna baginya. Ia juga mengandung berita mengenai
pemuliaan yang diberikan bagi orang-orang yang bertauhid, kebaikan
yang Allah limpahkan kepada mereka di dunia dan kemuliaan yang
akan mereka terima di akhirat, maka itu semua merupakan balasan bagi
ketauhidannya. Ia juga berisi berita mengenai para pelaku kesyirikan,
siksa yang Allah timpakan kepada mereka sewaktu di dunia dan azab
yang harus mereka rasakan di akhirat, maka itu merupakan balasan bagi
orang-orang yang meninggalkan tauhid. Dengan demikian seluruh
bagian dari Al Qur’an berisi tentang tauhid, hak-haknya, dan
balasannya, serta menjelaskan tentang syirik, pelakunya, dan balasan
(hukuman) yang diberikan kepada mereka. Maka alhamdulillahi Rabbil
‘alamin adalah tauhid. Ar rahmanir rahim adalah tauhid. Maliki yaumid
din adalah tauhid. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah tauhid.
Ihdinash shirathal mustaqim adalah tauhid yang mengandung
permohonan petunjuk untuk bisa meniti jalan ahli tauhid yang telah
mendapatkan anugerah kenikmatan dari Allah, bukan jalan orang-orang
yang dimurkai dan juga bukan jalan orang-orang yang sesat; yaitu
orang-orang yang memisahkan diri dari tauhid.”
8
muslim terhadap petunjuk itu jauh berada di atas kebutuhannya terhadap
apapun dan lebih mendesak, maka surat ini pun disyari’atkan untuk
dibaca di setiap raka’at shalat. Di dalam Sahih Bukhari (756) dan
Muslim (393) dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang
yang tidak membaca Fatihatul Kitab.” Di dalam Sahih Muslim (878)
dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa mengerjakan shalat yang tidak
membaca Ummul Qur’an di dalamnya maka shalatnya pincang -tiga
kali- yaitu tidak sempurna.” Maka ditanyakan kepada Abu Hurairah,
“Kalau kami sedang berada di belakang imam, bagaimana?” Beliau
menjawab, “Bacalah untuk diri kalian sendiri, karena sesungguhnya aku
mendengar Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah
ta’ala berfirman : ‘Aku membagi shalat (Al Fatihah) antara Aku dengan
hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan hamba-Ku akan mendapatkan apa
yang dia minta.’ Kalau hamba itu membaca, ‘Alhamdulillahi Rabbil
‘alamin’, maka Allah ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’.
Kalau dia membaca, ‘Ar Rahmanirrahim’ maka Allah ta’ala menjawab,
‘Hamba-Ku menyanjung-Ku’. Kalau ia membaca, ‘Maliki yaumid din’
maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku mengagungkan Aku’. Kemudian
Allah mengatakan, ‘Hamba-Ku telah pasrah kepada-Ku’. Kalau ia
membaca, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ maka Allah menjawab,
‘Inilah bagian untuk-Ku dan bagian untuk hamba-Ku. Dan hamba-Ku
pasti akan mendapatkan permintaannya.’. dan kalau dia membaca,
‘Ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil
maghdhubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin” maka Allah berfirman, ‘Inilah
hak hamba-Ku dan dia akan mendapatkan apa yang dimintanya.’.”
Makna dari firman Allah di dalam hadits qudsi ini, “Kalau ia membaca,
‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ maka Allah menjawab, ‘Inilah
bagian untuk-Ku dan bagian untuk hamba-Ku. Dan hamba-Ku pasti
akan mendapatkan permintaannya.” ialah : kalimat yang pertama yaitu
‘Iyyaka na’budu’ mencakup ibadah, dan itu merupakan hak Allah.
sedangkan kalimat yang kedua (yaitu wa iyyaka nasta’in, pen)
mengandung permintaan hamba untuk memperoleh pertolongan dari
9
Allah dan menunjukkan bahwa Allah berkenan memberikan kemuliaan
baginya dengan mengabulkan permintaannya.
10
Surah Al-Fatihah dalam Hermeneutika, Ilmu Balaghah dan
Qowaidah Bahasa
Oleh Muhyi
11
Taurat, Injil, maupun Zabur dan al-Quran suatu surah seperti as-sab’ul-
Matsani”.
Dari segi bahasa, kata as-Sab’u berarti tujuh. Ini karena surah tersebut
terdiri dari tujuh ayat, sedang kata Matsani merupakan bentuk jamak
dari kata Mutsanna atau Matsna yang secara harfiahnya berarti “dua-
dua”. Yang dimaksud dengan “dua-dua” adalah bahwa ia dibaca dua
kali setiap rakaat shalat. Jika makna ini yang dimaksud, maka penamaan
tersebut lahir pada awal masa Islam, ketika setiap shalat baru terdiri dari
dua rakaat; atau karena surah ini turun dua kali, sekali di mekkah dan
sekali di madinah.
Kemudian penamaannya dengan Ummul Kitab/Ummul Quran juga
bersumber dari sabda Nabi SAW. Yang bersabda: “siapa yang shalat
tanpa membaca Ummu al-Quran maka shalatnya ( )خداجkhidaj
(kurang/tidak sah). Boleh jadi juga penamaannya sebagai umum/induk
karena kandungan ayat-ayat dalam al-Fatihah mencakup kandungan
tema-tema pokok semua ayat-ayat al-Quran.
1. Sebab-Sebab Turunnya Surah al-Fatihah ()أسباب النزول
Tidak ada riwayat atau pendapat ulama yang menyebutkan tentang
sebab turunnya surah al-Fatihah. Surah Al Fatihah merupakan surat
makkiyah yaitu surat-surat yang diturunkan di Makkah Al Mukarromah.
Karakteristik umum dari surat makkiayah adalah; ayat-ayatnya pendek
dan menggandung 'ijaz (untuk melemahkan), kandungan surat pada
umumya berisi tentang tauhidullah. Latar belakang seperti ini tentu
terkandung maksud yang disesuaikan oleh sang Pembuatnya Allah
SWT.
Ada empat pendapat yang dikemukakan oleh para ulama tentang
dimanakah turunnya surat ini, diantaranya :
1) Pendapat pertama menyatakan bahwa surat Al-Fatihah turun di
Mekkah, ini adalah pendapat Ibnu Abbas rhadiyallahuanhuma,
Mujahid, dan Abu Aliyah.
12
2) Pendapat kedua menyatakan bahwa surat ini turun di Madinah, ini
adalah pendapat Abu Hurairah, Mujahid, Atha, Az-Zuhry.
3) Pendapat ketiga menyatakan bahwa surat ini turun dua kali di
Mekkah dan di Madinah.
4) Pendapat yang ke empat menyatakan bahwa surat ini sebagian
ayatnya turun di Mekkah dan sebagian lagi turun di Madinah. Akan
tetapi pendapat ini adalah pendapat yang aneh sebagaimana
dikatakan oleh Imam Al-Qurtubi.
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang pertama karena
Rasulullah shalallahualaihiwasalam mengatakan bahwa al-fatihah
adalah tujuh ayat yang diulang-ulang (yakni diulang-ulang dalam
shalat).
13
(Bukti-Bukti Wujud-Nya) dan Dia pula yang Tersemunyi (terhadap
siapapun Hakikat-Nya).
Dalam segi kaidah ilmu nahwu bahwa kalimat Basmalah itu terdiri dari
Ba’ adalah salah satu dari huruf jar ( )حروف الجرyang berfungsi men-jer-
kan kalimat ism. Sehingga kalimat yang dimasuki huruf jar maka akan
di baca kasroh, kecuali pada kalimat-kalimat tertentu. Disini kalimat ism
dimasuki huruf jar berupa Ba’, maka dibaca Bismi. Maka pada ilmu
nahwu, kalimat tersebut adalah susunan jar wa majrur.
Kemudian kata Allahi, majrur karena mudhof ilaihi kepada kata ismi.
Dan kata Ar-rahmani dan Ar-rahimi, majrur karena mereka adalah sifat
dari Allahi. Dalam kaidah bahasa nahwu bahwasanya mudhof ilaihi
harus dibaca majrur, begitu juga dengan sifat atau dalam ilmu nahwu
dikenal dengan ( )النعتyaitu harus mengikuti apa yang disifati ()منعوت.
Maka kata Allahi dibaca majrur karena mudhof ilaihi dan kata Ar-
rahmani dan Ar-rahimi dibaca majrur karena menjadi sifat dari Allahi.
Kemudian pada pembahasan arti dari kata Basmalah, Awalnya makna
ba’ yang dibaca bi pada Bismillah. Ba’ atau yang dibaca Bi yang
diterjemahkan dengan kata “dengan” mengandung satu kata/kalimat
yang tidak terucapkan tetapi harus terlintas didalam benak ketika
mengucapkan Basmalah, yaitu kata “memulai”. Sehingga Bismillah
berarti “ saya atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini – dalam
konteks surah ini adalah membaca ayat-ayat al-Quran – dengan nama
Allah”. Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi semacam doa atau
pernyataan dari pengucap bahwa ia memulai pekerjaannya atas nama
Allah. Atau dapat juga diartikan perintah dari Allah (walaupun kalimat
tersebut tidak berbentuk perintah) yang menyatakan, “mulailah
pekerjaanmu dengan nama Allah”. Kedua pendapat yang menyisipkan
dalam benak kata “memulai” pada Basmalah ini memiliki semangat
yang sama, yakni menjadikan (nama) Allah sebagai pangkalan tempat
bertolak.
Kemudian kata ( )اسمism terambil dari kata ( )السموas-sumuw yang
berarti “tinggi”, atau ( )السمةas-simah yang berarti “tanda” memang
nama menjadi tanda bagi sesuatu serta harus dijunjung tinggi. Menurut
14
sebagian ulama berpendapat bahwa kata ism menggambarkan subtansi
sesuatu, sehingga kalau disini kata Bismillah berarti “Dengan nama
Allah” yang maksudnya adalah Dengan Allah. Kata ism menurut
mereka digunakan sebagai penguat. Dengan demikian, makna harfiah
dari kata tersebut tidak dimaksudkan disini. Memang dikenal dalam
syair-syair lama penyisipan kata ism untuk tujuan penguataan.
Az-Zamakhsyari dan banyak ulama mengemukakan bahwa orang-
orang Arab, sebelum kehadiran Islam, memulai pekerjaan-pekerjaan
mereka dengan menyebut nama tuhan mereka, misalnya ()باسم الالت
bismi-lata atau ( )باسم العزىbismil-uzza (keduanya nama berhala).
Penulisan kata ( )بسمbismi dalam Basmalah tanpa menggunakan
huruf alif berbeda dengan kata yang sama pada awal surah Iqra’, yang
tertulis dengan tata cara penulisan baku, yakni menggunakan huruf Alif
()باسم. Pakar tafsir al-Qurthubi (w. 671 H) berpendapat bahwa penulisan
tanpa huruf alif pada Basmalah adalah karena pertimbangan praktis
semata-mata. Kalimat itu sering di tulis dan diucapkan, sehingga untuk
mempersingkat tulisan ia ditulis tanpa alif. Sedangkan Az-Zarkasyi (w.
794 H) menguraikan dalam kitabnya “al-Burhan” bahwa kaidah intinya
adalah bahwa penanggalan huruf alif itu mengisyaratkan ada sesuatu
dalam rangkaian katanya yang tidak terjangkau oleh panca indera. Kata
Allah, demikian juga Ar-rahman pada Basmalah tidak dapat terjangkau
hakikatnya.
Ada juga ulama yang memahami kata ar-Rahman sebagai sifat Allah
SWT. Yang mencurahkan rahmat hanya bersifat sementara di dunia ini,
15
sedang ar-Rahim adalah rahmat-Nya yang bersifat kekal. Rahmat-Nya
di dunia yang sementara itu meliputi seluruh makhluk tanpa kecuali dan
tanpa membedakan antara mukmin dan kafir. Sedangkan rahmat yang
kekal adalah rahmat-Nya di akhirat, tempat kehidupan yang kekal, yang
hanya akan dinikmati oleh makhluk-makhluk yang mengabdi kepada-
Nya.
Ø Ayat 2
الحمد هلل رب العالمين
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”.
Dalam kaidah nahwu, kata Alhamdu adalah marfu’ atau yang dibaca
rofa’ karena kedudukan Alhamdu ini adalah sebagai Mubtada. Dimana
mubtada dalam kitab Azurumiyah dikatakan bahwa mubatada adalah
kalimat isim yang dibaca rofa’ dan dibaca rofa’. Kemudian pada kata
Lillahi yaitu majrur, karena merupakan susunan jar wa majrur. Dimana
Lam disitu berkedudukan sebagai huruf jar, dan Allahi tersebut dibaca
jar karena sebagai majrur dari Lam.
Pada kata Rabbi adalah majrur, karena kata itu merupakan badal dari
kata Allahi. Dimana badal adalah kedudukan sebagai pengganti dari
mubdal minhu yaitu kata Allahi. Badal pun sama seperti sifat dalam
I’robnya, yaitu harus mengikuti Mubdal Minhunya. Dan kemudian kata
Al-‘Aalamiina berkedudukan sebagai mudhof ilaihi maka disitu kata
tersebut dibaca majrur.
Segala puji dan ucapan syukur atas suatu nikmat itu bagi Allah, karena
Allah adalah Pencipta dan sumber segala nikmat yang terdapat dalam
alam ini. Diantara nikmat itu ialah : nikmat menciptakan, nikmat
mendidik dan menumbuhkan, sebab kata Rabb ( )ربdalam kalimat
Rabbul-'aalamiin ( )العالمين ربtidak hanya berarti Tuhan atau Penguasa,
tetapi juga mengandung arti tarbiyah ( )التربيةyaitu mendidik dan
menumbuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa segala nikmat yang dilihat
oleh seseorang dalam dirinya sendiri dan dalam segala alam ini
bersumber dari Allah, karena Tuhan-lah Yang Maha Berkuasa di alam
ini. Pendidikan, penjagaan dan Penumbuhan oleh Allah di alam ini
haruslah diperhatikan dan dipikirkan oleh manusia sedalam-dalamnya,
sehingga menjadi sumber pelbagai macam ilmu pengetahuan yang dapat
menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kemuliaan Allah,
16
serta berguna bagi masyarakat. Oleh karena keimanan (ketauhidan) itu
merupakan masalah yang pokok, maka didalam surat Al-Faatihah tidak
cukup dinyatakan dengan isyarat saja, tetapi ditegaskan dan dilengkapi
oleh ayat 5, yaitu : Iyyaaka na'budu wa iyyaka nasta'iin/ َِإيَّاكَ نَ ْعبُ ُد َو ِإيَّاك
ْ َ( نhanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada
ست َ ِعين
Engkau-lah kami mohon pertolongan). Janji memberi pahala terhadap
perbuatan yang baik dan ancaman terhadap perbuatan yang buruk.
Ø Ayat 3
الرحمن الرحيم
“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
Kata ar-Rahman dan ar-Rahim dalam ayat ketiga ini tidak dapat
dianggap sebagai pengulangan sebagian ayat pertama (Basamalah).
Akan tetapi ar-Rahman dan ar-Rahim mempunya makna tersendiri
yang terkandung didalamnya. Sebelum membahas lebih lanjut tentang
ayat ini, kita bahas terlebih dahulu ayat ini dalam segi kedudukan
kalimatnya.
Kata ar-Rahman, merupakan majrur dari kata Allahi pada ayat ke-
2, begitu juga kata ar-Rahimi kedudukannya sama seperti ar-rahmani
menjadi majrur. Kata ar-Rahman dan ar-Rahim dalam ayat yang ke-3
ini memiliki makna yang berbeda dari ar-Rahman dan ar-Rahim pada
kalimat Basmalah. Namun pada ayat ini memiliki kandungan makna
tersendiri yaitu bahwa pendidikan dan pemeliharaan Allah sebagaimana
disebutkan pada ayat kedua, sama sekali bukan untuk kepentingan Allah
atau suatu pamrih, seperti halnya seseorang atau perusahaan yang
menyekolahkan karyawannya. Pendidikan dan pemeliharaan tersebut
semata-mata karena rahmat dan kasih sayang Tuhan yang dicurahkan
kepada makhluk-makhluk-Nya.
Banyak ulama berpendapat bahwa kata ar-Rahman dan ar-Rahim,
keduanya terambil dari akar kata yang sama yaitu Rahmat, tetapi ada
17
juga yang berpendapat bahwa ar-Rahman tidak berakar kata, dan karena
itu pula orang-orang musyrik tidak mengenal siapa ar-Rahman. Ini
terbukti dengan membaca firman-Nya: “Apabila diperintahkan kepada
mereka, sujudlah kepada ar-Rahman, mereka berkata, ‘siapakah ar-
Rahman itu? Apakah kami bersujud kepada sesuatu yang engkau
perintahkan kepada kami? ‘perintah ini menambah mereka
enggan/menjauhkan diri dari keimanan” (QS. Al-Furqan [25]: 60).
Menurut para Ulama ini melanjutkan pendapatnya bahwa kata ar-
Rahman, pada hakekatnya terambil dari bahasa Ibrani ( )رخمانrakhman
(dengan titik di atas huruf [ ]حha), dan karena itu, kata tersebut dalam
basmalah dan dalam surah al-Fatihah disusul dengan kata ar-Rahman
untuk memperjelas maknanya. Tetapi al-Qurthubi yang mengutip
pendapat ini tidak mengemukakan satu dan alasan apapun. Kalaupun
dalam kata bahasa ibrani demikian, maka tidak mustahil ia terambil dari
bahasa Arab, karena bahasa Arab lebih tua dari bahasa Ibrani. Demikian
komentar Thahir ibn Asyur.
Ø Ayat 4
مالك يوم الدين
“Pemilik Hari Pembalasan”
Kata Maaliki, merupakan badal dari kata Allahi pada ayat kedua.
Kemudian pada kata selanjutnya yaitu yaumiddiin, kata yaumi disini
berkedudukan sebagai mudhof ilaih dari kata Maaliki. Dan kata Ad-
Diini juga menjadi Mudhof ilaih dari Yaumi.
Pemelihara dan pendidik yang Rahman dan rahim boleh jadi
tidak memiliki (sesuatu). Sedang sifat ketuhanan tidak dapat dilepaskan
dari kepemilikan dan kekuasaan. Karena itu kepemilikan dan kekuasaan
yang dimaksud perlu ditegaskan dan inilah yang dikandung oleh ayat
keempat ini, Maaliki yaumid din.
Ada dua bacaan populer menyangkut ayat ini yaitu ( )ملكMalik
yang berarti “Raja”, dan ( )مالكMaalik yang berarti “Pemilik”. Ayat
keempat surah ini dapat dibaca dengan kedua bacaan itu, dan keduanya
adalah bacaan Nabi SAW. Berdasar riwayat-riwayat yang dapat
dipertanggungjawabkan keshahihannya (Mutawaatir).
18
Kata ( )ملكMalik mengandung arti penguasaan terhadap sesuatu
disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Malik yang
biasa diterjemahkan dengan “raja” adalah “yang menguasai dan
menangani perintah dan larangan, anugrah dan pencabutan”, dan karena
itu biasanya kerajaan terarah kepada manusia dan tidak kepada barang
yang sifatnya tidak dapat menerima perintah dan larangan.
Allah adalah ( )مالك يوم الدينMaalik/Maliki yaumid din. ()يوم الدين
Yaum ad-din. Yaum biasa diterjemahkan dengan “hari”. Kata ini
terulang didalam al-Quran sebanyak hari-hari dalam setahun, yakni 365
kali. Namun demikian tidak semua kata tersebut mengandung arti yang
sama dengan hari yang kita kenal dalam kehidupan dunia ini.
Al-Quran menggunakan kata Yaum dalam arti “waktu” atau
“Periode” yang terkadang sangat panjang menurut ukuran kita. Alam
raya diciptakan dalam enam hari. Enam hari disini, bukan berarti 6x24
jam. Kelahiran Isa as. Juga dinamaninya “hari kelahiran”, dan tentu
hanya berlangsung beberapa saat.
Kata Ad-din dalam ayat ini diartikan sebagai “pembalasan” atau
“perhitungan” atau “ketaatan”, karena pada “hari” itu (hari kiamat)
terjadi perhitungan dan pembalasan Allah, dan juga karena ketika itu
semua makhluk tanpa kecuali menampakkan ketaatannya kepada Allah
SWT. Dalam bentuk yang sangat nyata.
Ø Ayat 5
ُ َّاك نَ ْستَ ِع
ين َ َّاك نَ ْعبُد ُ و ِإي
َ ِإي
“Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami
meminta pertolongan”
Kata Iyyaka dalam ayat ke-5 ini menempati kedudukan sebagai
manshub karena dia maf'ul, bentuk Iyyaka merupakan isim dhamir
19
munfashil, termasuk isim mabni. Asal posisi maf'ul adalah setelah fiil
dan fa'ilnya, disini ditempatkan diawal untuk pengkhususan sehingga
maknanya adalah hanya kepadamulah. Kemudian selanjutnya kata
Na'budu, merupakan fiil mudhari yang didalamnya terdapat fa'ilnya
yakni nahnu. Dan huruf Wa, huruf 'athof yaitu sebagai penghubung
yang masih ada keterkaitan makna dengan kata sebelumnya. Dan kata
Iyyaka kedua dalam ayat ini sama seperti kata Iyyaka yang pertama
yaitu mempunyai kedudukan sebagai maf’ul dan memiliki makna yang
sama. Pengulagan kata Iyyaka dalam ayat ini sangat diperlukan, karena
Iyyaka yang berkaitan dengan ibadah mengandung arti pengkhususan
mutlak. Tidak diperkenankan memadukan motivasi ibadah dengan
sedikit pun Allah. Karena kalau demikian, hilang unsur keikhlasan dan
muncul unsur pamrih atau riya’.
Kemudian kata Nasta'iinu, merupakan fiil mudhari yang
didalamnya terdapat fa'ilnya yakni nahnu. Nasta’iinu yaitu mempunyai
makna tentang permohonan bantuan kepada Allah, baik bantuan itu
termasuk dalam hukum sebab dan akibat yang telah kita ketahui
(sunnatullah), maupun diluar sunnatullah, yakni yang dinamai
“innayatullah”.
Ø Ayat 6
يم َ الص َرا
َ ط ال ُمست َ ِق ِ اه ِدنَا
“Bimbing/ Antarlah kami (Masuk) jalan lebar dan luas”.
Setelah pada awal ayat berisi tentang persembahan puja puji kepada
Allah dan mengakui serta kepemilikan-Nya, ayat ke-6 ini merupakan
pernyataan hamba tentang ketulusan Beribadah dan kebutuhan kepada
pertolongan Allah. Sebelum membahas lebih lanjut, kita bahas terlebih
dahulu susunan kedudukan pada pebggalan ayat ini. Kata Ihdi, yaitu
merupakan fiil amr yang didalamnya terdapat fa'ilnya yakni anta. Dalam
kaidah nahwu bahwa fiil amr secara tidak langsung sudah menyimpan
makna dari kata anta. Kata Naa yang terdapat pada ayat Ihdinaa,
menempati posisi manshub karena dia sebagai maf'ul pertama.
20
Kata ( )اهدناIhdinaa terambil dari akar kata yang terdiri dari
huruf-huruf Ha, Dal, Ya. Maknanya berkisar pada dua hal. Pertama,
“tampil ke depan memberi petunjuk”, dan kedua, “menyampaiakan
dengan lemah lembut”. Dari sini lahir Hadiah yang merupakan
penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukan simpati.
Allah SWT menuntun setiap makhluknya kepada apa yang perlu
dimilikinya dalam rangka memnuhi kebutuhannya. Pada saat datang
kebutuhannya untuk mencapai sesuatu yang berada diluar dirinya, disini
manusia membutuhkan petunjuk (Hidayat) kepada Allah. Menurut
Thahir ibn Asyur membagi Hidayat kepada empat tingkatan:
Pertama, apa yang dinamainya al-quwwal-muharrikah wa
mudrikah, yakni potensi penngerak dan tahu. Melalui potensi ini
sesorang dapat memelihara wujudnya. Kedua, petunjuk yang berkaitan
dengan dalil-dalil yang dapat membedakan antara yang baik dan batil.
Yang benar dan salah. Ini adalah hidayah pengetahuan teoritis.
Ketiga, hidayah yang tidak dapat dijakngkau oleh analisis dan
aneka argummen akliah, atau yang bila diusahakan akan memberatkan
manusia. Hidayah ini diaugrahkan Allah SWT dengan mengutus rasul-
rasul. Dan keempat, yang merupakan puncak hidayah Allah SWT
adalah yang mengantar kepada tersingkapnya hakikat-hakikat yang
tertinggi, serta aneka rahasia yang membingungkan para pakar dan
cendikiawan.
Kata Ash-Shiraatha dibaca manshub karena kedudukannya sebagai
maf'ul kedua dari kata Ihdi. Dan kata Al-Mustaqiima yaitu manshub
karena dia sifat dari kata Ash-Shiraatha. Ash-Shiraatha terambil dari
kata ( )سرطsaratha, dan karena huruf ( )سSin dalam kata ini
bergandengan dengan huruf ( )رra’, maka huruf ( )سSin terucap ()ص
21
Shad ( )صراطShirat atau ( )زzai ()زراط. Asal katanya sendiri bermakna
“menelan”. Jalan yang lebar dinamai Shirath karena sedemikian
lebarnya sehingga ia bagaikan menelan si pejalan.
Kata Shirath ditemkan dalam al-Quran sebanyak 45 kali
semuanya dalam berntuk tunggal, 32 kali diantaranya dirangkaian
dengan kata mustaqim, selebihnya dirangkaikan dengan beberapa kata
seperti as-sawiy, sawaa’, dan al-fahim. Ini berbeda dengan kata sabil
yang juga sering diterjemahkan “jalan”. Namun perbedaan yang
mendasar adalah Shirath bermuara semua sabil yang baik, bukan sabil
yang salah.
Para mufasir dari kalangan salaf (ulama terdahulu) maupun
khalaf (ulama kini) berbeda pendapat tentang penafsiran ash-shirathal-
mustaqim sekalipun semuanya terpulang kepada satu poin yang sama,
yaitu mengikuti Allah dan Rasul-Nya. Ada riwayat yang menyebutkan,
ash-shirathal-mustaqiim artinya Kitabullah. Ada pula riwayat yang
menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah agama islam.
Ø Ayat 7
َّ ع َلي ِه ْم َوالَ ال
َضالِين َ ب
ِ ضو ِ علَي ِه ْم غ
ُ َير ال َمغ َ ط الَّذِينَ أَن َع
َ مت َ ص َرا
ِ
“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugrahi nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
orang-orang yang sesat”.
22
Kata Shiraatha, dibaca manshub karena dia badal dari kata
shiratal mustaqiima, dan penjelasan tentang kata Shiraatha sama
penjelasannya dengan apa yang dijelaskan di atas. Kemudian kata
Alladziina, menempati posisi majrur karena dia mudhof ilaihi kepada
shiraatha, alladzina merupakan isim maushul, termasuk isim yang
mabni. Dan kata An'amta, merupakan fi'il madhi yang didalamnya
terdapat fa'ilnya yakni anta. 'alaihim, bentuk jar-majrur berhubungan
dengan fi'il madhi an'amta.
Nikmat adalah kesenangan hidup dan kenyamanan yang sesuai dengan
diri manusia. Seseorang dapat membayangkan apa saja nikmat-nikmat
Allah yang telah diperolehnya dengan melihat modal apakah yang
dimilikinya sendiri sebelum hadir di pentas dunia ini. Nikmat-nikmat
Allah beraneka ragam dan bertingkat-tingkat, baik dari segi kualitas
maupun kuantitasnya. Ada yang memperoleh tambahan yang banyak
dan ada juga yang sediki.
Kata nikmat dalam surah al-Fatihah ini adalah nikmat yang paling
bernilai, yang tanpa nikmat itu, nikmat-nikmat lainnya tidak akan
mempunyai nilai yang berarti, bahkan dapat menjadi “niqmat” yakni
bencana. Nikmat tersebut adalah memperoleh hidayah dari Allah, serta
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya”, yaitu nikmat Islam dan
menyerahkan diri kepada-Nya.
Kemudian selanjutnya pembahasan kedudukan kata pada ayat ini
adalah kata ghairi, mempunyai kedudukan majrur karena dia badal atau
sifat dari alladziina. Dan al-maghdlubi, majrur karena dia mudhof ilaihi
kepada ghairi. 'alaihim adalah bentuk jar-majrur menempati posisi
marfu' karena dia sebagai naibul fa'il dari isim maf'ul al-maghdluubi.
23
(ع َلي ِه ْم
َ ب
ِ ضو
ُ َير ال َمغ
ِ )غGhairil Magdhuubi ‘alaihim. Kata ( )المغضوبal-
magdhubi berasal dari kata ( )غضبgadhab yang dalam berbagai
bentuknya memiliki keragaman makna, namun semuanya memberikan
kesan keras, kokoh, dan tegas. Singa, banteng, batu gunung, sesuatu
yang merah padam, semuanya digambarkan melalui akar kata gadhab.
Jadi “al-Gadhab” adalah sifat keras, tegas, kokoh, dan sukar
tergoyahkan yang diperankan oleh pelakunya terhadap objek disertai
dengan emosi.
Tentang siapakah al-magdhub ‘alaihim, ayat ini tidak menjelaskannya.
Sementara para ulama tafsir berdasarkan keterangan suatu hadis nabi
SAW., menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yahudi. Al-
Quran juga memberitahukan bahwa orang-orang Yahudi mengenal
kebenaran namun enggan mengikutinya. Atas dasar ini, pengertian al-
magdhub ‘alaihim menjadi luas, sehingga mencakup semua yang telah
mengenal kebenaran namun enggan mengikutinya.
Wajar sekali Rasul SAW. Memberi contoh itu (orang Yahudi), karena
dari dua puluh empat kali kata gadhab dalam berbagai bentuk yang
tercantum dalam al-Quran, dua belas kali adalah konteks pembicaraan
tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang
Yahudi. Sedangkan sisa-nya berkisar pada pembicaraan tentang
“amarah” sebagai naluri manusia atau “murka Tuhan” yang ditujukan
kepada orang-orang musyrik/penyembah berhala, orang munafik yang
mengaku sebagai pengikut nabi Muhammad SAW., atau bahkan orang-
orang muslim yang melakukan pelanggaran tertentu.
Ketika berbicara tentang nikmat, secara tegas dinyatakan bahwa
َ ط الَّذِينَ أَن َع
sumbernya adalah Allah SWT. Perhatikan firman-Nya : ( مت َ ص َرا
ِ
علَي ِه ْم
َ ) Shirathal ladziina an’amta ‘alaihim” (jalan orang-orang yang
Engkau beri nikmat). Tetapi ketika berbicara tentang murka tidak
dijelaskan siapa pelakunya. Ayat ini tidak menyatakan “jalan orang
yang telah Engkau murkai”, tetapi “...yang dimurkai”.
Huruf wa, merupakan huruf 'ataf yang menghubungkan kalimat
sesudahnya, karena masih ada keterkaitan makna. Dan la adalah huruf
24
nafi, kemudian adl-dlooliina, majrur karena dia athof kepada al-
maghdlubi. Kata ( )ضالينDhaalliin berasal dari kata ( )ضلdhalla. Tidak
kurang dari 190 kali kata dhalla dalam berbagai bentuknya terulang
dalam all-Quran. Kata ini mulanya berarti “kehilangan jalan, bingung,
atau tidak mengetahui arah”. Makna-makna ini berkembang sehingga
kata tersebut juga dipahami dalam arti “binasa, terkubur”, dan dalam
arti immaterial ia berarti “sesat dari jalan kebajikan”, atau lawan dari
petunjuk. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kata ini dalam berbagai
bentuknya mempunyai makna “tindakan atau ucapan yang tidak
menyentuh kebenaran”.
Kata adh-dhaalliin ditemukan dalam al-Quran sebanyak delapan kali
dan kata adh-dhalluun sebanyak lima kali. Paling sedikit ada tiga ayat
dari ayat-ayat yang menggunakan kata dhaallin dan dhaallun yang
dapat membantu memahami apa yang dimaksud oleh al-Quran dengan
kata tersebut.
Referensi :
Shihab, Quraish, M., Tafsir Al-Misbah. 2000, Lentera hati, Ciputat.
Abi Baqa’i Abdullah ibn Husain bin Abdullah al-‘Akbiri. At-Tibyaan fi
I’robil Quran Juz Tsaani. 1979, Maktabah Taufiqiyah.
Ahmad Musthofa al-Muroghi, Ulumul Balaghah (bayan, ma’ani, badi’).
1993, Ad-Darul Kutub ‘Ilmiyyah. Libanon.
25
Surah Al-Fatihah dan Surah Al Baqarah
Surah ini adalah surah pertama dalam tertib urutan surah Al Quran
berdasarkan Tauqif (instruksi) Nabi SAW menurut pendapat Jumhur
atau Mayoritas ulama ahli Al Quran yang tertuang dalam mushaf
ustmani.
26
dalam sehari, maka Al Fatihah terbaca 17 kali dalam sehari sesuai
dengan jumlah rakaat shalat fardlu.
(Dalam hal ini, ulama membagi surah Al Quran menjadi empat bagiah;
As Sab'ut Thiwal (tujuh surah panjang, Al Baqarah, Ali Imran, An
27
Nisa', Al Maidah, Al An'am, Al A'raaf, At Taubah, Al Miuun, Surah-
surah yang ayatnya berjumlah seratusan, Al. Matsany yaitu surah-surah
yang ayatnya berjumlah kurang dari seratus, dan Al Mufashal yaitu
surah-surah pendek).
28
tadarus Fungsional dalam kajian struktur dan format Al Quran langsung
mulai membaca dari QS. Al Baqarah (2) : 1 dan seterusnya.
Dari Abu Maysarah ra, ketika Rasulullah SAW berada pada suatu
tempat, beliau mendengar suara memanggilnya: "Wahai Muhammad".
Namun justru beliau lari tunggang langgang. Lalu Waraqah bin Naufal
berkata kepadanya: "Jika engkau mendengar suara memanggilmu
diamlah sampai engkau mendengar jelas apa yang dikatakan kepada
engkau”.
29
dan seterusnya sampai akhir ayat Al Fatihah". Lafal hadis ini menurut
riwayat Ali bin Abi Thalib.
Terutama jika dihadapkan pada rutinitas yang monoton dan itu-itu saja.
Reaksi dan ekspresinya bisa bermacam-macam. Dengan kata lain, ia
merupakan tipe orang yang selalu dinamis. Ia berpotensi mendobrak dan
pencetus ide atau inovasi baru.
30
Hal ini bisa saja timbul secara naluriah dari sikapnya yang cepat bosan
terhadap sesuatu. Selain itu, Ia bersikap selalu terbuka, baginya
transparansi itu sebuah kebutuhan. Ia tidak terlalu suka jika sebuah hal
yang seharusnya dibuka ditutup-tutupi. Semua ulasan karakter ini bisa
dilihat dari dua sisi, negative dan positif.
Surah Al Baqarah
Dalam mushaf Usmani, surah ini merupakan urutan surah yang kedua
setelah Al Fatihah sebagaimana instruksi (tauqiif) dari Rasulullah SAW.
Dinamakan Al Baqarah adalah untuk menyegarkan kembali ingatan kita
tentang sebuah mukjizat yang dahsyat terjadi pada masa Nabi Musa as.
Dikisahkan, suatu ketika salah seorang dari Bani Israel terbunuh dan
tidak diketahui siapa pembunuhnya. Kemudian mereka melaporkan
kejadian tersebut kepada Nabi Musa as, barangkali ia tahu
pembunuhnya.
31
286, surah yang paling banyak ayatnya. Al Baqarah merupakan surah
yang pertama kali turun di Madinah. Diawali oleh huruf yang terpotong
yaitu Alif Lam Mim.
Tersebut dalam surah ini tak kurang dari 100 kata Allah. Di surah ini
pula terdapat ayat terpanjang dalam Al Quran, yaitu ayat 282 yang
membicarakan tentang muamalah (teknis hutang piutang). Surah ini
terbagi menjadi 3 juz, karena pembagian juz Al Quran tidak
berdasarkan jumlah surah, tetapi mengacu kepada jumlah halaman
mushaf.
Sedang ayat Al Baqarah pada Juz 3 dimulai ayat 253 sampai 286. Tentu,
pembagian ini tidak sembarangan dan mengandung hikmah dibaliknya
yang harus diungkap.
1.Alif Lam Mim Dzalikal kitaab..., dari Mujahid : " Empat ayat pertama
surah ini turun membahas orang-orang yang beriman, dua ayat
32
berikutnya membicarakan tentang orang-orang kafir dan tiga belas ayat
setelahnya menyinggung tentang orang-orang munafik.
3." Waidza Laqullladziina Aamanuu", Al Kalby : " Dari Abu Shalih dari
lbnu Abbas ra, ia berkata : “ayat ini turun tatkala Abdullah bin Ubay
dan sahabatnya berjumpa dengan para sahabat Rasulullah SAW”.
Ubay berkata kepada sahabat Abu Bakar ra : " Selamat datang wahai
orang yang mendapat gelar As Siddiq (yang selalu membenarkan apa
yang dikatakan oleh Nabi saw), pemuka bani tamim, tokoh islam dan
teman Rasulullah SAW (ketika dalam goa tsur), serta orang yang selalu
bersedia mengorbankan jiwa dan hartanya".
Ubay pun menyapa Umar bin Khatab seraya berkata : " Selamat datang
pemuka Bani 'Ad bin Ka'ab, orang yang berge!ar Al Faruq (pembeda)
dan teguh memegang agama Allah serta bersedia berkorban Jiwa dan
raga untuk Rasulullah SAW yang dicintainya.
Tak lupa, Ubay juga meraih tangan Ali bin Abi Thalib sambil berkata :
" Selamat datang putra paman Rasulullah SAW dan cucu pemuka bani
Hasyim. Kemudian mereka berpisah, lalu Abdullah berkata kepada para
sahabatnya : " Lihatlah apa yang aku baru lakukan, jika kalian bertemu
dengan mereka (para sahabat Rasulullah SAW), lakukanlah seperti yang
aku perbuat, pujilah mereka". Para sahabat Nabi SAW mengadu kepada
33
beliau dan menceritakan peristiwa tersebut, lalu Allah menurunkan ayat
ini".
Salah satu ciri dari masing-masing kata tersebut, kata maskulin tidak
terdapat ta' marbuthah pada akhir kata sedang kata feminin diakhiri ta'
marbuthah atau disebut juga ta' muannast, ta' yang menunjukkan pada
kata tersebut tergolong feminin.
34
Selain daging dan kulitnya yang bisa dimanfaatkan, sapi betina
memiliki kelebihan dibandingkan sapi jantan, ia bisa mengeluarkan susu
yang bisa diminum tidak hanya oleh sebangsanya tetapi juga oleh
manusia.
Simak QS. An Nahl (16) : 66, " Dan sesungguhnya pada binatang ternak
itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kalian. Kami memberi kalian
minum dari apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih
antara tahi dan darah yang bersifat menyegarkan lagi mengenyangkan
bagi orang-orang yang meminumnya".
Sekalipun maksud dari kata Al An'am pada ayat tersebut tidak terbatas
hanya sapi saja namun bisa dipastikan bahwa apapun jenis binatang
ternaknya, yang bisa mengeluarkan susu tentunya hanya yang berjenis
kelamin betina.
Sekalipun kita sudah siapkan dan pasang peralatannya lalu kita bawa ke
sawah, ia tetap tidak bergeming (untuk segera melakukan tugasnya
berjalan mengelilingi sawah) sebelum kita menepuk-nepuknya atau
bahkan mencambuknya.
35
makna yang tersembunyi dibalik pengunaan nama Al Baqarah sebagai
salah satu nama surah Al Quran.
Simak QS. Al A'raaf (7) : 179, "Dan sesungguhnya kami jadikan untuk
(isi neraka Jahanam) kebanyakan dari Jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat
Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itu orang-orang yang lalai".
36
dulu situasi dan kondisi yang melingkupinya sekalipun bisa saja pada
akhirnya ia mendominasi dan pro aktif. Ia memiliki sifat pekerja keras
dan tidak suka mengeluh dengan apapun yang dialaminya.
Ia juga tipe orang yang selalu ingin berbuat sesuatu yang positif untuk
lingkungannya. Dengan kata lain, rasa sosialnya tinggi. Ia akan bersedia
berkorban dan memberikan apapun miliknya kepada seseorang jika
dianggapnya telah berbuat baik atau berjasa kepadanya.
37
The Meaning of Al-Fatihah and its Various Names
Surah ini disebut dengan Al-Fatihah, yang artinya , Pembuka kitab, Al-
Fatihah adalah surat yang utama didalam shalat . Dan Al-Fatihah juga
disebut, Umm Al-Kitab (Induk Kitab), menurut mayoritas kebanyakan
ulama. Dalam sebuah Hadis otentik yang diriwayatkan oleh Imam At-
Tirmidzi, dan beliau menshahihkan-nya , Abu Hurairah mengatakan
bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,
«»الحمد هلل رب العالمين أم القرآن وأم الكتاب والسبع المثاني والقرآن العظيم
38
"Bagaimana kau tahu bahwa ini adalah Ruqyah"
Para ulama mengatakan bahwa Al-Fatihah terdiri dari dua puluh lima
kata, dan itu berisi 113 surat.
Alasan itu disebut Umm Al-Kitab
Pada awal Kitab Tafsir, dalam kitab Shahih, Al-Bukhari berkata: " Al-
Fatihah disebut Umm Al-Kitab, karena Al-Qur'an dimulai dengan Al-
Fatihah dan karena shalat juga dimulai dengan membaca: “Al-Fatihah ''.
Dan beliau juga mengatakan bahwa Al-Fatihah disebut Umm Al-Kitab,
karena mengandung makna-makna Al-Qur'an secara keseluruhan. Ibnu
Jarir berkata, "Orang-orang Arab menyebut setiap masalah yang
komprehensif yang memuat beberapa area tertentu disebut “Umm”(akar
masalah) . Misalnya, mereka menyebut kulit yang mengelilingi otak
dengan Umm Ar-Ra's (pusat kepala). Mereka juga menyebut sebuah
bendera yang mengumpulkan jajaran tentara sebuah Ummu''Dia juga
39
berkata, "Makkah disebut Umm Al-Qura, (Ibu dari Desa) karena Kota
Makkah adalah Kota termegah dan pemimpin dari semua Kota. Ini.
Beliau juga mengatakan : “bahwa bumi itu dibuat mulai dari Makkah"
40