Anda di halaman 1dari 40

TAFSIR SURAT AL-FATIHAH

December 9, 2008 by Abu Mushlih

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad

Surat Al Fatihah merupakan sebuah surat paling agung di dalam Al


Qur’an. Hal itu berdasarkan hadits Abu Sa’id bin Al Mu’alla yang
dikeluarkan oleh Al Bukhari (hadits nomor 4474). Surat ini telah
mencakup ketiga macam tauhid : tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan
tauhid asma’ wa shifat. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah
ta’ala dalam perbuatan-perbuatan-Nya, seperti: menciptakan,
memberikan rezeki, menghidupkan, mematikan, dan perbuatan-
perbuatan Allah ta’ala yang lainnya. Maknanya Allah itu esa dalam
perbuatan-perbuatan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal
mencipta, menghidupkan dan mematikan makhluk.

Sedangkan tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah subhanahu wa


ta’ala dengan perbuatan-perbuatan hamba seperti: dalam hal berdoa,
merasa takut, berharap, bertawakal, meminta pertolongan (isti’anah),
memohon keselamatan dari cekaman bahaya (istighatsah), menyembelih
binatang, dan perbuatan-perbuatan hamba yang lainnya. Maka sudah
menjadi kewajiban bagi setiap mereka untuk menjadikan segala ibadah
itu ikhlas semata-mata tertuju kepada Allah ‘azza wa jalla sehingga
mereka tidak mempersekutukan sesuatupun bersama-Nya dalam hal
ibadah. Sebagaimana tiada pencipta kecuali Allah, tiada yang
menghidupkan kecuali Allah, tiada yang mematikan kecuali Allah,
maka tiada yang berhak disembah kecuali Allah.

Tauhid asma’ wa shifat adalah menetapkan nama dan sifat yang telah
ditetapkan sendiri oleh Allah bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi diri-Nya tanpa disertai dengan
tahrif (penyelewengan makna), ta’wil (penafsiran yang menyimpang),
ta’thil (menolak makna atau teksnya), takyif (menegaskan bentuk
tertentu dari sifat Allah), tasybih (menyerupakan secara parsial) ataupun
tamtsil (menyerupakan secara total). Hal ini sebagaimana ditegaskan di

1
dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Tiada sesuatupun yang serupa
dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy
Syura : 11). Sesungguhnya ayat yang mulia ini merupakan dalil yang
sangat jelas tentang kebenaran madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah
dalam mengimani sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla yaitu dengan
menetapkan sifat serta menyucikan-Nya. Di dalam firman-Nya ‘azza wa
jalla, “Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” terdapat
penetapan dua buah nama Allah yaitu As Sami’ (Maha Mendengar) dan
Al Bashir (Maha Melihat). Kedua nama ini menunjukkan keberadaan
dua sifat Allah yaitu As Sam’u (mendengar) dan Al Bashar (melihat).
Sedangkan di dalam firman-Nya ta’ala, “Tiada sesuatupun yang serupa
dengan-Nya.” terdapat penyucian Allah ta’ala dari keserupaan diri-Nya
dengan makhluk dalam sifat-sifat mereka. Allah subhanahu wa ta’ala
mendengar tetapi tidak sebagaimana pendengaran makhluk. Dia juga
melihat namun tidak sama seperti penglihatan mereka.

Bahkan ayat pertama yang terdapat dalam surat yang agung ini sudah
mencakup ketiga macam tauhid tersebut. Tauhid uluhiyah sudah
ditunjukkan keberadaannya dengan firman-Nya, “Alhamdulillah”
(Segala puji bagi Allah). Hal itu dikarenakan penyandaran pujian oleh
para hamba terhadap Rabb mereka merupakan sebuah bentuk ibadah
dan sanjungan kepada-Nya, dan itu merupakan bagian dari perbuatan
mereka.

Adapun tauhid rububiyah, ia juga sudah terkandung di dalam firman-


Nya ta’ala, “Rabbil ‘alamin.” (Rabb seru sekalian alam). Hal itu
disebabkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah rabb bagi segala sesuatu,
pencipta sekaligus penguasanya. Hal itu sebagaimana difirmankan oleh
Allah ‘azza wa jalla, “Hai umat manusia, sembahlah Rabb kalian yang
telah menciptakan kalian serta orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertakwa. Dia lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian
dan langit menjadi atap, dan Dia lah yang menurunkan air hujan dari
langit kemudian berkat air itu Allah menumbuhkan berbagai buah-
buahan sebagai rezeki untuk kalian, maka janganlah kalian menjadikan
sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui.” (QS. Al Baqarah
: 21-22).

2
Sedangkan tauhid asma’ wa shifat, maka sesungguhnya ayat pertama itu
pun telah menyebutkan dua buah nama Allah. Kedua nama itu adalah
lafzhul jalalah ‘Allah’ dan Rabb sebagaimana di dalam firman-Nya
“Rabbil ‘alamin”. Pada ayat ini kata ‘rabb’ disebutkan dalam bentuk
mudhaf (dipadukan dengan kata lain, pen). Sedangkan pada ayat lainnya
yang tercantum dalam surat Yasin ia disebutkan secara bersendirian
tanpa perpaduan, yaitu dalam firman-Nya, “Salamun qaulan min rabbir
rahim” (Semoga keselamatan tercurah dari rabb yang maha penyayang)
(QS. Yasin : 58).

Adapun ‘alamin’ adalah segala makhluk selain Allah. Allah subhanahu


wa ta’ala dengan dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, maka Dia
lah Sang Pencipta. Sedangkan semua selain diri-Nya adalah makhluk.
Allah ‘azza wa jalla bercerita tentang kisah Musa dan Fir’aun, “Fir’aun
mengatakan, ‘Apa itu rabbul ‘alamin?’ Maka Musa menjawab, ‘Dia
adalah rabb penguasa langit, bumi, dan segala sesuatu yang berada di
antara keduanya, jika kamu mau jujur meyakininya.’.” (QS. Asy
Syu’ara’ : 23-24).

‘Ar Rahman Ar Rahim’ (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)


merupakan dua buah nama Allah yang menunjukkan salah satu sifat
Allah yaitu rahmah (kasih sayang). Ar Rahman termasuk kategori nama
Allah yang hanya boleh dipakai untuk menyebut Allah. Sedangkan
nama Ar Rahim telah disebutkan di dalam Al Qur’an pemakaiannya
untuk menyebut selain-Nya. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang sifat
Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh telah
datang kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian, terasa berat
olehnya apa yang menyulitkan kalian, dan dia sangat bersemangat untuk
memberikan kebaikan bagi kalian, dan dia sangat lembut dan
menyayangi orang-orang yang beriman.” (QS. At Taubah : 128).

Ibnu Katsir mengungkapkan tatkala menjelaskan tafsir basmalah di awal


surat Al Fatihah, “Kesimpulan yang dapat dipetik adalah sebagian nama
Allah ta’ala ada yang bisa dipakai untuk menamai selain-Nya, dan ada
yang hanya boleh dipakai untuk menamai diri-Nya -seperti nama Allah,
Ar Rahman, Al Khaliq, Ar Raziq dan sebagainya- .”

3
‘Maliki yaumid din’ menunjukkan kepada tauhid rububiyah. Allah
subhanahu wa ta’ala adalah rabb segala sesuatu dan penguasanya.
Seluruh kerajaan langit dan bumi serta apa pun yang berada di antara
keduanya adalah milik-Nya. Dia lah Raja yang menguasai dunia dan
akhirat. Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Milik Allah kerajaan langit dan
bumi serta segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan Dia Maha
menguasai segala sesuatu.” (QS. Al Ma’idah : 120). Allah juga
berfirman, “Maha Suci Allah yang di tangan-Nya kerajaan dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Mulk : 1). Allah berfirman,
“Katakanlah; Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas
segala sesuatu, Dia yang melindungi dan tiada yang dapat terlindungi
dari siksa-Nya, jika kalian benar-benar mengetahui? Maka mereka akan
menjawab, ‘Allah’. Katakanlah; Lantas dari sisi manakah kalian
tertipu.” (QS. Al Mu’minun : 88-89).

Yaumid din adalah hari terjadinya pembalasan dan penghitungan amal.


Di dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah adalah penguasa pada hari
pembalasan -padahal Dia adalah penguasa dunia dan akhirat-
dikarenakan pada hari itu semua orang pasti akan tunduk kepada Rabbul
‘alamin. Berbeda dengan situasi yang terjadi di dunia, ketika di dunia
masih ada orang yang bisa melampaui batas dan menyombongkan
dirinya, bahkan ada pula yang berani mengatakan, “Aku adalah rabb
kalian yang paling tinggi.” Dan dia pun lancang mengatakan, “Wahai
rakyatku semua, tidaklah aku mengetahui adanya sesembahan bagi
kalian selain diri-Ku.”

‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ (Hanya kepada-Mu kami


beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan). Ini
menunjukkan tauhid uluhiyah. Penyebutan objek yang didahulukan
sebelum dua buah kata kerja tersebut menunjukkan pembatasan. Ia
menunjukkan bahwa ibadah tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada
Allah. Demikian pula meminta pertolongan dalam urusan yang hanya
dikuasai oleh Allah juga harus diminta hanya kepada Allah. Kalimat
yang pertama menunjukkan bahwasanya seorang muslim harus
melaksanakan ibadahnya dengan ikhlas untuk mengharap wajah Allah
yang disertai kesesuaian amal dengan sunnah Rasulullah shallallahu

4
‘alaihi wa sallam. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa
hendaknya seorang muslim tidak meminta pertolongan dalam mengatasi
segala urusan agama dan dunianya kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla.

‘Ihdinash shirathal mustaqim’ (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Ini


menunjukkan tauhid uluhiyah, sebab ia merupakan doa. Dan doa
termasuk jenis ibadah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa
jalla, “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka
janganlah kalian menyeru bersama Allah siapapun.” (QS. Al Jin : 18).
Doa ini mengandung seagung-agung tuntutan seorang hamba yaitu
mendapatkan petunjuk menuju jalan yang lurus. Dengan meniti jalan
itulah seseorang akan keluar dari berbagai kegelapan menuju cahaya
serta akan menuai keberhasilan dunia dan akhirat. Kebutuhan hamba
terhadap petunjuk ini jauh lebih besar daripada kebutuhan dirinya
terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman
hanyalah bekal untuk menjalani kehidupannya yang fana. Sedangkan
petunjuk menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya yang
kekal dan abadi. Doa ini juga mengandung permintaan untuk diberikan
keteguhan di atas petunjuk yang telah diraih dan juga mengandung
permintaan untuk mendapatkan tambahan petunjuk. Allah ‘azza wa jalla
berfirman, “Dan orang-orang yang tetap berjalan di atas petunjuk, maka
Allah pun akan menambahkan kepada mereka petunjuk dan Allah akan
memberikan ketakwaan kepada mereka.” (QS. Muhammad : 17). Allah
juga berfirman tentang Ashabul Kahfi, “Sesungguhnya mereka adalah
para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami pun
menambahkan petunjuk kepada mereka.” (QS. Al Kahfi : 13). Allah
juga berfirman, “Dan Allah akan menambahkan petunjuk kepada orang-
orang yang tetap berjalan di atas petunjuk.” (QS. Maryam : 76).

Petunjuk menuju jalan yang lurus itu akan menuntun kepada jalan
orang-orang yang diberikan kenikmatan yaitu para nabi, orang-orang
shiddiq, para syuhada’, dan orang-orang salih. Mereka itu adalah orang-
orang yang memadukan ilmu dengan amal. Maka seorang hamba
memohon kepada Rabbnya untuk melimpahkan hidayah menuju jalan
lurus ini yang merupakan sebuah pemuliaan dari Allah kepada para
rasul-Nya dan wali-wali-Nya. Dia memohon agar Allah menjauhkan

5
dirinya dari jalan musuh-musuh-Nya yaitu orang-orang yang memiliki
ilmu akan tetapi tidak mengamalkannya. Mereka itulah golongan
Yahudi yang dimurkai. Demikian juga dia memohon agar Allah
menjauhkan dirinya dari jalan orang-orang yang beribadah kepada Allah
di atas kebodohan dan kesesatan. Mereka itulah golongan Nasrani yang
sesat. Hadits yang menerangkan bahwa orang-orang yang dimurkai itu
adalah Yahudi dan orang-orang sesat itu adalah Nasrani dikeluarkan
oleh At Tirmidzi (hadits nomor 2954) dan ahli hadits lainnya, silakan
lihat takhrij hadits ini di buku Silsilah Ash Shahihah karya Al Albani
(hadits nomor 3263), di dalam buku itu disebutkan nama-nama para
ulama yang menyatakan keabsahan hadits tersebut.

Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya ketika membahas firman Allah


ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan
pendeta dan rahib-rahib benar-benar memakan harta manusia dengan
cara yang batil dan memalingkan manusia dari jalan Allah.” (QS. At
Taubah : 34) menukilkan ucapan Sufyan bin Uyainah yang mengatakan,
“Orang-orang yang rusak di antara orang berilmu di kalangan kita,
padanya terdapat keserupaan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang
rusak di antara para ahli ibadah di kalangan kita, padanya terdapat
keserupaan dengan Nasrani.”

Guru kamu Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan di


dalam kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/53), “Orang-orang Yahudi dan
Nasrani -meskipun sebenarnya mereka sama-sama sesat dan sama-sama
dimurkai- hanya saja kemurkaan itu lebih dikhususkan kepada Yahudi -
meskipun orang Nasrani juga termasuk di dalamnya- dikarenakan
mereka telah mengenal kebenaran namun justru mengingkarinya, dan
secara sengaja melakukan kebatilan. Karena itulah kemurkaan lebih
condong dilekatkan kepada mereka. Adapun orang-orang Nasrani
adalah orang yang bodoh dan tidak mengetahui kebenaran, sehingga
kesesatan merupakan ciri mereka yang lebih menonjol. Meskipun begitu
Allah menyatakan bahwa ‘al magdhubi ‘alaihim’ adalah kaum Yahudi
melalui firman-Nya ta’ala tentang mereka, “Maka mereka pun kembali
dengan menuai kemurkaan di atas kemurkaan.” (QS. Al Baqarah : 90).
Demikian pula Allah berfirman mengenai mereka, “Katakanlah;

6
maukah aku kabarkan kepada kalian tentang golongan orang yang
balasannya lebih jelek di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dilaknati
Allah dan dimurkai oleh-Nya.” (QS. Al Ma’idah : 60). Begitu pula
firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan patung sapi
itu sebagai sesembahan niscaya akan mendapatkan kemurkaan.” (QS.
Al A’raaf : 152). Sedangkan golongan ‘adh dhaalliin’ telah Allah
jelaskan bahwa mereka itu adalah kaum Nasrani melalui firman-Nya
ta’ala, “Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu suatu kaum yang
telah tersesat, dan mereka pun menyesatkan banyak orang, sungguh
mereka telah tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al Ma’idah : 77). ”

Dari penjelasan terdahulu maka jelaslah bahwa surat Al Fatihah


mengandung lebih daripada sekedar pembahasan ketiga macam tauhid :
tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Sebagian
ulama ada juga yang membagi tauhid menjadi dua macam : tauhid fil
ma’rifah wal itsbat -ia sudah mencakup tauhid rububiyah dan asma’ wa
shifat- dan tauhid fi thalab wal qashd yang tidak lain adalah tauhid
uluhiyah. Maka tidak ada pertentangan antara pembagian tauhid
menjadi dua ataupun tiga. Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi mengatakan di
dalam Syarh ‘Aqidah Thahawiyah (hal. 42-43), “Kemudian, tauhid yang
diserukan oleh para utusan Allah dan menjadi muatan kitab-kitab suci
yang diturunkan-Nya ada dua macam : tauhid dalam hal penetapan dan
pengenalan (itsbat wal ma’rifah), dan tauhid dalam hal tuntutan dan
keinginan (fi thalab wal qashd). Adapun tauhid yang pertama adalah
penetapan hakikat Rabb ta’ala, sifat-sifat-Nya, dan nama-nama-Nya.
Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dalam perkara-perkara itu
semua. Hal itu sebagaimana yang diberitakan oleh Allah mengenai
dirinya sendiri, dan juga sebagaimana yang diberitakan oleh Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al Qur’an telah menjelaskan dengan
gamblang mengenai jenis tauhid ini, sebagaimana tercantum di dalam
bagian awal surat Al Hadid, Thaha, bagian akhir surat Al Hasyr, bagian
awal surat ‘Alif lam mim tanzil’ (As Sajdah), awal surat Ali ‘Imran,
seluruh ayat dalam surat Al Ikhlas, dan lain sebagainya. Yang kedua :
Tauhid thalab wal qashd, seperti yang terkandung dalam surat Qul ya
ayyuhal kafirun, Qul Ya ahlal kitabi ta’aalau ila kalimatin sawaa’in

7
bainana wa bainakum, awal surat Tanzilul Kitab dan bagian akhirnya,
awal surat Yunus, pertengahan, dan bagian akhirnya, awal surat Al
A’raaf dan bagian akhirnya, dan surat Al An’aam secara keseluruhan.
Mayoritas surat-surat Al Qur’an mengandung dua macam tauhid
tersebut, bahkan setiap surat dalam Al Qur’an demikian halnya; sebab
Al Qur’an itu meliputi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya,
sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya, inilah yang disebut
dengan tauhid ilmi khabari. Ia juga berisi tentang dakwah yang
mengajak untuk beribadah kepada Allah semata dan tiada sekutu bagi-
Nya serta menanggalkan segala bentuk sesembahan selain-Nya, inilah
yang disebut tauhid iradi thalabi. Ia juga berisi tentang perintah dan
larangan serta kewajiban untuk menaati-Nya, ini merupakan hak-hak
tauhid dan penyempurna baginya. Ia juga mengandung berita mengenai
pemuliaan yang diberikan bagi orang-orang yang bertauhid, kebaikan
yang Allah limpahkan kepada mereka di dunia dan kemuliaan yang
akan mereka terima di akhirat, maka itu semua merupakan balasan bagi
ketauhidannya. Ia juga berisi berita mengenai para pelaku kesyirikan,
siksa yang Allah timpakan kepada mereka sewaktu di dunia dan azab
yang harus mereka rasakan di akhirat, maka itu merupakan balasan bagi
orang-orang yang meninggalkan tauhid. Dengan demikian seluruh
bagian dari Al Qur’an berisi tentang tauhid, hak-haknya, dan
balasannya, serta menjelaskan tentang syirik, pelakunya, dan balasan
(hukuman) yang diberikan kepada mereka. Maka alhamdulillahi Rabbil
‘alamin adalah tauhid. Ar rahmanir rahim adalah tauhid. Maliki yaumid
din adalah tauhid. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah tauhid.
Ihdinash shirathal mustaqim adalah tauhid yang mengandung
permohonan petunjuk untuk bisa meniti jalan ahli tauhid yang telah
mendapatkan anugerah kenikmatan dari Allah, bukan jalan orang-orang
yang dimurkai dan juga bukan jalan orang-orang yang sesat; yaitu
orang-orang yang memisahkan diri dari tauhid.”

Dikarenakan keagungan kedudukan surat Al Fatihah ini dan


ketercakupannya terhadap tauhidullah dalam hal rububiyah-Nya,
uluhiyah-Nya, dan asma’ wa shifat-Nya, kandungan permohonan
petunjuk meniti jalan yang lurus, dan dikarenakan kebutuhan setiap

8
muslim terhadap petunjuk itu jauh berada di atas kebutuhannya terhadap
apapun dan lebih mendesak, maka surat ini pun disyari’atkan untuk
dibaca di setiap raka’at shalat. Di dalam Sahih Bukhari (756) dan
Muslim (393) dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang
yang tidak membaca Fatihatul Kitab.” Di dalam Sahih Muslim (878)
dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa mengerjakan shalat yang tidak
membaca Ummul Qur’an di dalamnya maka shalatnya pincang -tiga
kali- yaitu tidak sempurna.” Maka ditanyakan kepada Abu Hurairah,
“Kalau kami sedang berada di belakang imam, bagaimana?” Beliau
menjawab, “Bacalah untuk diri kalian sendiri, karena sesungguhnya aku
mendengar Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah
ta’ala berfirman : ‘Aku membagi shalat (Al Fatihah) antara Aku dengan
hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan hamba-Ku akan mendapatkan apa
yang dia minta.’ Kalau hamba itu membaca, ‘Alhamdulillahi Rabbil
‘alamin’, maka Allah ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’.
Kalau dia membaca, ‘Ar Rahmanirrahim’ maka Allah ta’ala menjawab,
‘Hamba-Ku menyanjung-Ku’. Kalau ia membaca, ‘Maliki yaumid din’
maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku mengagungkan Aku’. Kemudian
Allah mengatakan, ‘Hamba-Ku telah pasrah kepada-Ku’. Kalau ia
membaca, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ maka Allah menjawab,
‘Inilah bagian untuk-Ku dan bagian untuk hamba-Ku. Dan hamba-Ku
pasti akan mendapatkan permintaannya.’. dan kalau dia membaca,
‘Ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil
maghdhubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin” maka Allah berfirman, ‘Inilah
hak hamba-Ku dan dia akan mendapatkan apa yang dimintanya.’.”

Makna dari firman Allah di dalam hadits qudsi ini, “Kalau ia membaca,
‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ maka Allah menjawab, ‘Inilah
bagian untuk-Ku dan bagian untuk hamba-Ku. Dan hamba-Ku pasti
akan mendapatkan permintaannya.” ialah : kalimat yang pertama yaitu
‘Iyyaka na’budu’ mencakup ibadah, dan itu merupakan hak Allah.
sedangkan kalimat yang kedua (yaitu wa iyyaka nasta’in, pen)
mengandung permintaan hamba untuk memperoleh pertolongan dari

9
Allah dan menunjukkan bahwa Allah berkenan memberikan kemuliaan
baginya dengan mengabulkan permintaannya.

Guru kami Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengambil kesimpulan


hukum dari surat Al Fatihah ini untuk menetapkan keabsahan
kekhilafahan Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhu. Beliau
mengatakan di dalam kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/51), “Dari ayat yang
mulia ini diambil kesimpulan mengenai keabsahan kepemimpinan Abu
Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhu. Hal itu dikarenakan beliau
termasuk golongan orang yang disebut di dalam As Sab’ul Matsani dan
Al Qur’an Al ‘Azhim -yaitu dalam surat Al Fatihah- yang Allah
perintahkan kita untuk meminta petunjuk kepada-Nya agar bisa meniti
jalan mereka. Maka hal itu menunjukkan bahwa jalan mereka adalah
jalan yang lurus. Hal itu sebagaimana disinggung dalam ayat-Nya,
“Ihdinash shirathal mustaqim. Shirathalladzina an’amta ‘alaihim.” Allah
telah menerangkan siapa saja golongan orang yang diberikan
kenikmatan itu, dan di antara mereka adalah orang-orang shiddiq.
Sementara beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan
bahwa Abu Bakar radhiyallahu’anhu termasuk kategori orang-orang
shiddiq. Dengan demikian jelaslah bahwa beliau pun termasuk dalam
golongan orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah itu, itulah isi
perintah Allah kepada kita yaitu memohon petunjuk agar bisa berjalan
di atas jalan mereka, sehingga tidak lagi tersisa sedikitpun kesamaran
bahwa Abu Bakar radhiyallahu’anhu benar-benar berada di atas jalan
yang lurus, dan hal itu juga menunjukkan bahwa kepemimpinan beliau
adalah sah.” (Diterjemahkan oleh Ari Wahyudi dari ‘Min Kunuz Al
Qur’an’ karya Syaikh Abdul Mushin Al ‘Abbad hafizhahullah, hal. 1-6.
Muraja’ah : Ustadz Aris Munandar, S.S.).

10
Surah Al-Fatihah dalam Hermeneutika, Ilmu Balaghah dan
Qowaidah Bahasa

Oleh Muhyi

Al-Fatihah adalah surah yang pertama terdapat dalam kitab al-


Quran, surah ini juga yang sering orang muslim baca ketika shalat,
karena berdasarkan pada firman Allah ta’ala dalam hadits Qudsi yang
diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu
Majah dari Abu Hurairah, dari nabi SAW:
‫ قسمت الصالة بينى وبين عبدي نصفين ولعبدي ماسأل‬: ‫قال هللا تعالى‬
Oleh sebab itulah surah al-Fatihah dikatan juga sebagai ummul
Kitab atau juga “mahkota tuntunan illahi”. Kata Fatih yang merupakan
akar kata nama ini berarti “menyingkirkan sesuatu yang terdapat pada
satu tempat yang akan dimasuki”. Tentu saja ini adalah bukan makna
yang dimaksud. Penamaannya dengan al-Fatihah karena ia terletak
pada awal al-Quran, dan karena biasanya yang pertama memasuki
sesuatu adalah yang membukanya, maka kata Fatihah disini berarti
awal al-Quran. Surah ini awal dari segi penempatanya pada susunan al-
Quran, bukan seperti dugaan sebagian kecil ulama seperti Syekh
Muhammad Abduh bahwa ia dinamai demikian karena surah ini adalah
awal surah al-Quran yang turun.
Adapun penamaanya dengan as-Sab’ul-Matsani, maka ini pun
bersumber dari sekian banyak hadits antara lain diriwayatkan oleh at-
Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “Demi Tuhan yang jiwaku
berada dalam genggaman-Nya, Allah tidak menurunkan didalam

11
Taurat, Injil, maupun Zabur dan al-Quran suatu surah seperti as-sab’ul-
Matsani”.
Dari segi bahasa, kata as-Sab’u berarti tujuh. Ini karena surah tersebut
terdiri dari tujuh ayat, sedang kata Matsani merupakan bentuk jamak
dari kata Mutsanna atau Matsna yang secara harfiahnya berarti “dua-
dua”. Yang dimaksud dengan “dua-dua” adalah bahwa ia dibaca dua
kali setiap rakaat shalat. Jika makna ini yang dimaksud, maka penamaan
tersebut lahir pada awal masa Islam, ketika setiap shalat baru terdiri dari
dua rakaat; atau karena surah ini turun dua kali, sekali di mekkah dan
sekali di madinah.
Kemudian penamaannya dengan Ummul Kitab/Ummul Quran juga
bersumber dari sabda Nabi SAW. Yang bersabda: “siapa yang shalat
tanpa membaca Ummu al-Quran maka shalatnya (‫ )خداج‬khidaj
(kurang/tidak sah). Boleh jadi juga penamaannya sebagai umum/induk
karena kandungan ayat-ayat dalam al-Fatihah mencakup kandungan
tema-tema pokok semua ayat-ayat al-Quran.
1. Sebab-Sebab Turunnya Surah al-Fatihah (‫)أسباب النزول‬
Tidak ada riwayat atau pendapat ulama yang menyebutkan tentang
sebab turunnya surah al-Fatihah. Surah Al Fatihah merupakan surat
makkiyah yaitu surat-surat yang diturunkan di Makkah Al Mukarromah.
Karakteristik umum dari surat makkiayah adalah; ayat-ayatnya pendek
dan menggandung 'ijaz (untuk melemahkan), kandungan surat pada
umumya berisi tentang tauhidullah. Latar belakang seperti ini tentu
terkandung maksud yang disesuaikan oleh sang Pembuatnya Allah
SWT.
Ada empat pendapat yang dikemukakan oleh para ulama tentang
dimanakah turunnya surat ini, diantaranya :
1) Pendapat pertama menyatakan bahwa surat Al-Fatihah turun di
Mekkah, ini adalah pendapat Ibnu Abbas rhadiyallahuanhuma,
Mujahid, dan Abu Aliyah.

12
2) Pendapat kedua menyatakan bahwa surat ini turun di Madinah, ini
adalah pendapat Abu Hurairah, Mujahid, Atha, Az-Zuhry.
3) Pendapat ketiga menyatakan bahwa surat ini turun dua kali di
Mekkah dan di Madinah.
4) Pendapat yang ke empat menyatakan bahwa surat ini sebagian
ayatnya turun di Mekkah dan sebagian lagi turun di Madinah. Akan
tetapi pendapat ini adalah pendapat yang aneh sebagaimana
dikatakan oleh Imam Al-Qurtubi.
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang pertama karena
Rasulullah shalallahualaihiwasalam mengatakan bahwa al-fatihah
adalah tujuh ayat yang diulang-ulang (yakni diulang-ulang dalam
shalat).

2. Pembahasan Surah al-Fatihah


Ø Ayat 1
‫بسم هللا الرحمن اللرحيم‬
“Dengan nama Allah yang Rahman lagi Rahim”.
Allah memulai kitab-Nya dengan basmalah dan memerintahkan Nabi-
Nya sejak dini, yakni pada wahyu pertama, untuk melakukan
pembacaan dan semua aktifitas dengan nama Allah, Iqra’ Bismi
Rabbika, maka tidak keliru jika dikatakan bahwa basmalah merupakan
pesan pertama Allah kepada manusia.
Memulai dengan nama Allah adalah adab dan bimbingan pertama yang
diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya, Iqra Bismi Rabbika. Permulaan itu
sesuai dengan kaedah utama ajaran Islam yang menyatakan bahwa
Allah adalah al-Awwal wal-Akhir waz-Zhahiru wal-Bathin/ Dia yang
Pertama dan Dia pula yang Terakhir, Dia yang Tampak dengan Jelas

13
(Bukti-Bukti Wujud-Nya) dan Dia pula yang Tersemunyi (terhadap
siapapun Hakikat-Nya).
Dalam segi kaidah ilmu nahwu bahwa kalimat Basmalah itu terdiri dari
Ba’ adalah salah satu dari huruf jar (‫ )حروف الجر‬yang berfungsi men-jer-
kan kalimat ism. Sehingga kalimat yang dimasuki huruf jar maka akan
di baca kasroh, kecuali pada kalimat-kalimat tertentu. Disini kalimat ism
dimasuki huruf jar berupa Ba’, maka dibaca Bismi. Maka pada ilmu
nahwu, kalimat tersebut adalah susunan jar wa majrur.
Kemudian kata Allahi, majrur karena mudhof ilaihi kepada kata ismi.
Dan kata Ar-rahmani dan Ar-rahimi, majrur karena mereka adalah sifat
dari Allahi. Dalam kaidah bahasa nahwu bahwasanya mudhof ilaihi
harus dibaca majrur, begitu juga dengan sifat atau dalam ilmu nahwu
dikenal dengan (‫ )النعت‬yaitu harus mengikuti apa yang disifati (‫)منعوت‬.
Maka kata Allahi dibaca majrur karena mudhof ilaihi dan kata Ar-
rahmani dan Ar-rahimi dibaca majrur karena menjadi sifat dari Allahi.
Kemudian pada pembahasan arti dari kata Basmalah, Awalnya makna
ba’ yang dibaca bi pada Bismillah. Ba’ atau yang dibaca Bi yang
diterjemahkan dengan kata “dengan” mengandung satu kata/kalimat
yang tidak terucapkan tetapi harus terlintas didalam benak ketika
mengucapkan Basmalah, yaitu kata “memulai”. Sehingga Bismillah
berarti “ saya atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini – dalam
konteks surah ini adalah membaca ayat-ayat al-Quran – dengan nama
Allah”. Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi semacam doa atau
pernyataan dari pengucap bahwa ia memulai pekerjaannya atas nama
Allah. Atau dapat juga diartikan perintah dari Allah (walaupun kalimat
tersebut tidak berbentuk perintah) yang menyatakan, “mulailah
pekerjaanmu dengan nama Allah”. Kedua pendapat yang menyisipkan
dalam benak kata “memulai” pada Basmalah ini memiliki semangat
yang sama, yakni menjadikan (nama) Allah sebagai pangkalan tempat
bertolak.
Kemudian kata (‫ )اسم‬ism terambil dari kata (‫ )السمو‬as-sumuw yang
berarti “tinggi”, atau (‫ )السمة‬as-simah yang berarti “tanda” memang
nama menjadi tanda bagi sesuatu serta harus dijunjung tinggi. Menurut

14
sebagian ulama berpendapat bahwa kata ism menggambarkan subtansi
sesuatu, sehingga kalau disini kata Bismillah berarti “Dengan nama
Allah” yang maksudnya adalah Dengan Allah. Kata ism menurut
mereka digunakan sebagai penguat. Dengan demikian, makna harfiah
dari kata tersebut tidak dimaksudkan disini. Memang dikenal dalam
syair-syair lama penyisipan kata ism untuk tujuan penguataan.
Az-Zamakhsyari dan banyak ulama mengemukakan bahwa orang-
orang Arab, sebelum kehadiran Islam, memulai pekerjaan-pekerjaan
mereka dengan menyebut nama tuhan mereka, misalnya (‫)باسم الالت‬
bismi-lata atau (‫ )باسم العزى‬bismil-uzza (keduanya nama berhala).
Penulisan kata (‫ )بسم‬bismi dalam Basmalah tanpa menggunakan
huruf alif berbeda dengan kata yang sama pada awal surah Iqra’, yang
tertulis dengan tata cara penulisan baku, yakni menggunakan huruf Alif
(‫)باسم‬. Pakar tafsir al-Qurthubi (w. 671 H) berpendapat bahwa penulisan
tanpa huruf alif pada Basmalah adalah karena pertimbangan praktis
semata-mata. Kalimat itu sering di tulis dan diucapkan, sehingga untuk
mempersingkat tulisan ia ditulis tanpa alif. Sedangkan Az-Zarkasyi (w.
794 H) menguraikan dalam kitabnya “al-Burhan” bahwa kaidah intinya
adalah bahwa penanggalan huruf alif itu mengisyaratkan ada sesuatu
dalam rangkaian katanya yang tidak terjangkau oleh panca indera. Kata
Allah, demikian juga Ar-rahman pada Basmalah tidak dapat terjangkau
hakikatnya.
Ada juga ulama yang memahami kata ar-Rahman sebagai sifat Allah
SWT. Yang mencurahkan rahmat hanya bersifat sementara di dunia ini,

15
sedang ar-Rahim adalah rahmat-Nya yang bersifat kekal. Rahmat-Nya
di dunia yang sementara itu meliputi seluruh makhluk tanpa kecuali dan
tanpa membedakan antara mukmin dan kafir. Sedangkan rahmat yang
kekal adalah rahmat-Nya di akhirat, tempat kehidupan yang kekal, yang
hanya akan dinikmati oleh makhluk-makhluk yang mengabdi kepada-
Nya.
Ø Ayat 2
‫الحمد هلل رب العالمين‬
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”.
Dalam kaidah nahwu, kata Alhamdu adalah marfu’ atau yang dibaca
rofa’ karena kedudukan Alhamdu ini adalah sebagai Mubtada. Dimana
mubtada dalam kitab Azurumiyah dikatakan bahwa mubatada adalah
kalimat isim yang dibaca rofa’ dan dibaca rofa’. Kemudian pada kata
Lillahi yaitu majrur, karena merupakan susunan jar wa majrur. Dimana
Lam disitu berkedudukan sebagai huruf jar, dan Allahi tersebut dibaca
jar karena sebagai majrur dari Lam.
Pada kata Rabbi adalah majrur, karena kata itu merupakan badal dari
kata Allahi. Dimana badal adalah kedudukan sebagai pengganti dari
mubdal minhu yaitu kata Allahi. Badal pun sama seperti sifat dalam
I’robnya, yaitu harus mengikuti Mubdal Minhunya. Dan kemudian kata
Al-‘Aalamiina berkedudukan sebagai mudhof ilaihi maka disitu kata
tersebut dibaca majrur.
Segala puji dan ucapan syukur atas suatu nikmat itu bagi Allah, karena
Allah adalah Pencipta dan sumber segala nikmat yang terdapat dalam
alam ini. Diantara nikmat itu ialah : nikmat menciptakan, nikmat
mendidik dan menumbuhkan, sebab kata Rabb (‫ )رب‬dalam kalimat
Rabbul-'aalamiin (‫ )العالمين رب‬tidak hanya berarti Tuhan atau Penguasa,
tetapi juga mengandung arti tarbiyah (‫ )التربية‬yaitu mendidik dan
menumbuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa segala nikmat yang dilihat
oleh seseorang dalam dirinya sendiri dan dalam segala alam ini
bersumber dari Allah, karena Tuhan-lah Yang Maha Berkuasa di alam
ini. Pendidikan, penjagaan dan Penumbuhan oleh Allah di alam ini
haruslah diperhatikan dan dipikirkan oleh manusia sedalam-dalamnya,
sehingga menjadi sumber pelbagai macam ilmu pengetahuan yang dapat
menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kemuliaan Allah,

16
serta berguna bagi masyarakat. Oleh karena keimanan (ketauhidan) itu
merupakan masalah yang pokok, maka didalam surat Al-Faatihah tidak
cukup dinyatakan dengan isyarat saja, tetapi ditegaskan dan dilengkapi
oleh ayat 5, yaitu : Iyyaaka na'budu wa iyyaka nasta'iin/ َ‫ِإيَّاكَ نَ ْعبُ ُد َو ِإيَّاك‬
ْ َ‫( ن‬hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada
‫ست َ ِعين‬
Engkau-lah kami mohon pertolongan). Janji memberi pahala terhadap
perbuatan yang baik dan ancaman terhadap perbuatan yang buruk.
Ø Ayat 3
‫الرحمن الرحيم‬
“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
Kata ar-Rahman dan ar-Rahim dalam ayat ketiga ini tidak dapat
dianggap sebagai pengulangan sebagian ayat pertama (Basamalah).
Akan tetapi ar-Rahman dan ar-Rahim mempunya makna tersendiri
yang terkandung didalamnya. Sebelum membahas lebih lanjut tentang
ayat ini, kita bahas terlebih dahulu ayat ini dalam segi kedudukan
kalimatnya.
Kata ar-Rahman, merupakan majrur dari kata Allahi pada ayat ke-
2, begitu juga kata ar-Rahimi kedudukannya sama seperti ar-rahmani
menjadi majrur. Kata ar-Rahman dan ar-Rahim dalam ayat yang ke-3
ini memiliki makna yang berbeda dari ar-Rahman dan ar-Rahim pada
kalimat Basmalah. Namun pada ayat ini memiliki kandungan makna
tersendiri yaitu bahwa pendidikan dan pemeliharaan Allah sebagaimana
disebutkan pada ayat kedua, sama sekali bukan untuk kepentingan Allah
atau suatu pamrih, seperti halnya seseorang atau perusahaan yang
menyekolahkan karyawannya. Pendidikan dan pemeliharaan tersebut
semata-mata karena rahmat dan kasih sayang Tuhan yang dicurahkan
kepada makhluk-makhluk-Nya.
Banyak ulama berpendapat bahwa kata ar-Rahman dan ar-Rahim,
keduanya terambil dari akar kata yang sama yaitu Rahmat, tetapi ada

17
juga yang berpendapat bahwa ar-Rahman tidak berakar kata, dan karena
itu pula orang-orang musyrik tidak mengenal siapa ar-Rahman. Ini
terbukti dengan membaca firman-Nya: “Apabila diperintahkan kepada
mereka, sujudlah kepada ar-Rahman, mereka berkata, ‘siapakah ar-
Rahman itu? Apakah kami bersujud kepada sesuatu yang engkau
perintahkan kepada kami? ‘perintah ini menambah mereka
enggan/menjauhkan diri dari keimanan” (QS. Al-Furqan [25]: 60).
Menurut para Ulama ini melanjutkan pendapatnya bahwa kata ar-
Rahman, pada hakekatnya terambil dari bahasa Ibrani (‫ )رخمان‬rakhman
(dengan titik di atas huruf [‫ ]ح‬ha), dan karena itu, kata tersebut dalam
basmalah dan dalam surah al-Fatihah disusul dengan kata ar-Rahman
untuk memperjelas maknanya. Tetapi al-Qurthubi yang mengutip
pendapat ini tidak mengemukakan satu dan alasan apapun. Kalaupun
dalam kata bahasa ibrani demikian, maka tidak mustahil ia terambil dari
bahasa Arab, karena bahasa Arab lebih tua dari bahasa Ibrani. Demikian
komentar Thahir ibn Asyur.
Ø Ayat 4
‫مالك يوم الدين‬
“Pemilik Hari Pembalasan”
Kata Maaliki, merupakan badal dari kata Allahi pada ayat kedua.
Kemudian pada kata selanjutnya yaitu yaumiddiin, kata yaumi disini
berkedudukan sebagai mudhof ilaih dari kata Maaliki. Dan kata Ad-
Diini juga menjadi Mudhof ilaih dari Yaumi.
Pemelihara dan pendidik yang Rahman dan rahim boleh jadi
tidak memiliki (sesuatu). Sedang sifat ketuhanan tidak dapat dilepaskan
dari kepemilikan dan kekuasaan. Karena itu kepemilikan dan kekuasaan
yang dimaksud perlu ditegaskan dan inilah yang dikandung oleh ayat
keempat ini, Maaliki yaumid din.
Ada dua bacaan populer menyangkut ayat ini yaitu (‫ )ملك‬Malik
yang berarti “Raja”, dan (‫ )مالك‬Maalik yang berarti “Pemilik”. Ayat
keempat surah ini dapat dibaca dengan kedua bacaan itu, dan keduanya
adalah bacaan Nabi SAW. Berdasar riwayat-riwayat yang dapat
dipertanggungjawabkan keshahihannya (Mutawaatir).

18
Kata (‫ )ملك‬Malik mengandung arti penguasaan terhadap sesuatu
disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Malik yang
biasa diterjemahkan dengan “raja” adalah “yang menguasai dan
menangani perintah dan larangan, anugrah dan pencabutan”, dan karena
itu biasanya kerajaan terarah kepada manusia dan tidak kepada barang
yang sifatnya tidak dapat menerima perintah dan larangan.
Allah adalah (‫ )مالك يوم الدين‬Maalik/Maliki yaumid din. (‫)يوم الدين‬
Yaum ad-din. Yaum biasa diterjemahkan dengan “hari”. Kata ini
terulang didalam al-Quran sebanyak hari-hari dalam setahun, yakni 365
kali. Namun demikian tidak semua kata tersebut mengandung arti yang
sama dengan hari yang kita kenal dalam kehidupan dunia ini.
Al-Quran menggunakan kata Yaum dalam arti “waktu” atau
“Periode” yang terkadang sangat panjang menurut ukuran kita. Alam
raya diciptakan dalam enam hari. Enam hari disini, bukan berarti 6x24
jam. Kelahiran Isa as. Juga dinamaninya “hari kelahiran”, dan tentu
hanya berlangsung beberapa saat.
Kata Ad-din dalam ayat ini diartikan sebagai “pembalasan” atau
“perhitungan” atau “ketaatan”, karena pada “hari” itu (hari kiamat)
terjadi perhitungan dan pembalasan Allah, dan juga karena ketika itu
semua makhluk tanpa kecuali menampakkan ketaatannya kepada Allah
SWT. Dalam bentuk yang sangat nyata.

Ø Ayat 5
ُ ‫َّاك نَ ْستَ ِع‬
‫ين‬ َ ‫َّاك نَ ْعبُد ُ و ِإي‬
َ ‫ِإي‬
“Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami
meminta pertolongan”
Kata Iyyaka dalam ayat ke-5 ini menempati kedudukan sebagai
manshub karena dia maf'ul, bentuk Iyyaka merupakan isim dhamir

19
munfashil, termasuk isim mabni. Asal posisi maf'ul adalah setelah fiil
dan fa'ilnya, disini ditempatkan diawal untuk pengkhususan sehingga
maknanya adalah hanya kepadamulah. Kemudian selanjutnya kata
Na'budu, merupakan fiil mudhari yang didalamnya terdapat fa'ilnya
yakni nahnu. Dan huruf Wa, huruf 'athof yaitu sebagai penghubung
yang masih ada keterkaitan makna dengan kata sebelumnya. Dan kata
Iyyaka kedua dalam ayat ini sama seperti kata Iyyaka yang pertama
yaitu mempunyai kedudukan sebagai maf’ul dan memiliki makna yang
sama. Pengulagan kata Iyyaka dalam ayat ini sangat diperlukan, karena
Iyyaka yang berkaitan dengan ibadah mengandung arti pengkhususan
mutlak. Tidak diperkenankan memadukan motivasi ibadah dengan
sedikit pun Allah. Karena kalau demikian, hilang unsur keikhlasan dan
muncul unsur pamrih atau riya’.
Kemudian kata Nasta'iinu, merupakan fiil mudhari yang
didalamnya terdapat fa'ilnya yakni nahnu. Nasta’iinu yaitu mempunyai
makna tentang permohonan bantuan kepada Allah, baik bantuan itu
termasuk dalam hukum sebab dan akibat yang telah kita ketahui
(sunnatullah), maupun diluar sunnatullah, yakni yang dinamai
“innayatullah”.
Ø Ayat 6
‫يم‬ َ ‫الص َرا‬
َ ‫ط ال ُمست َ ِق‬ ِ ‫اه ِدنَا‬
“Bimbing/ Antarlah kami (Masuk) jalan lebar dan luas”.
Setelah pada awal ayat berisi tentang persembahan puja puji kepada
Allah dan mengakui serta kepemilikan-Nya, ayat ke-6 ini merupakan
pernyataan hamba tentang ketulusan Beribadah dan kebutuhan kepada
pertolongan Allah. Sebelum membahas lebih lanjut, kita bahas terlebih
dahulu susunan kedudukan pada pebggalan ayat ini. Kata Ihdi, yaitu
merupakan fiil amr yang didalamnya terdapat fa'ilnya yakni anta. Dalam
kaidah nahwu bahwa fiil amr secara tidak langsung sudah menyimpan
makna dari kata anta. Kata Naa yang terdapat pada ayat Ihdinaa,
menempati posisi manshub karena dia sebagai maf'ul pertama.

20
Kata (‫ )اهدنا‬Ihdinaa terambil dari akar kata yang terdiri dari
huruf-huruf Ha, Dal, Ya. Maknanya berkisar pada dua hal. Pertama,
“tampil ke depan memberi petunjuk”, dan kedua, “menyampaiakan
dengan lemah lembut”. Dari sini lahir Hadiah yang merupakan
penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukan simpati.
Allah SWT menuntun setiap makhluknya kepada apa yang perlu
dimilikinya dalam rangka memnuhi kebutuhannya. Pada saat datang
kebutuhannya untuk mencapai sesuatu yang berada diluar dirinya, disini
manusia membutuhkan petunjuk (Hidayat) kepada Allah. Menurut
Thahir ibn Asyur membagi Hidayat kepada empat tingkatan:
Pertama, apa yang dinamainya al-quwwal-muharrikah wa
mudrikah, yakni potensi penngerak dan tahu. Melalui potensi ini
sesorang dapat memelihara wujudnya. Kedua, petunjuk yang berkaitan
dengan dalil-dalil yang dapat membedakan antara yang baik dan batil.
Yang benar dan salah. Ini adalah hidayah pengetahuan teoritis.
Ketiga, hidayah yang tidak dapat dijakngkau oleh analisis dan
aneka argummen akliah, atau yang bila diusahakan akan memberatkan
manusia. Hidayah ini diaugrahkan Allah SWT dengan mengutus rasul-
rasul. Dan keempat, yang merupakan puncak hidayah Allah SWT
adalah yang mengantar kepada tersingkapnya hakikat-hakikat yang
tertinggi, serta aneka rahasia yang membingungkan para pakar dan
cendikiawan.
Kata Ash-Shiraatha dibaca manshub karena kedudukannya sebagai
maf'ul kedua dari kata Ihdi. Dan kata Al-Mustaqiima yaitu manshub
karena dia sifat dari kata Ash-Shiraatha. Ash-Shiraatha terambil dari
kata (‫ )سرط‬saratha, dan karena huruf (‫ )س‬Sin dalam kata ini
bergandengan dengan huruf (‫ )ر‬ra’, maka huruf (‫ )س‬Sin terucap (‫)ص‬

21
Shad (‫ )صراط‬Shirat atau (‫ )ز‬zai (‫)زراط‬. Asal katanya sendiri bermakna
“menelan”. Jalan yang lebar dinamai Shirath karena sedemikian
lebarnya sehingga ia bagaikan menelan si pejalan.
Kata Shirath ditemkan dalam al-Quran sebanyak 45 kali
semuanya dalam berntuk tunggal, 32 kali diantaranya dirangkaian
dengan kata mustaqim, selebihnya dirangkaikan dengan beberapa kata
seperti as-sawiy, sawaa’, dan al-fahim. Ini berbeda dengan kata sabil
yang juga sering diterjemahkan “jalan”. Namun perbedaan yang
mendasar adalah Shirath bermuara semua sabil yang baik, bukan sabil
yang salah.
Para mufasir dari kalangan salaf (ulama terdahulu) maupun
khalaf (ulama kini) berbeda pendapat tentang penafsiran ash-shirathal-
mustaqim sekalipun semuanya terpulang kepada satu poin yang sama,
yaitu mengikuti Allah dan Rasul-Nya. Ada riwayat yang menyebutkan,
ash-shirathal-mustaqiim artinya Kitabullah. Ada pula riwayat yang
menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah agama islam.

Ibn Abbas mengatakan, yang dimaksud adalah agama Allah


yang tidak ada kebengkokan di dalamnya. Sedangkan Ibn Al-Hanafiyah
menyebutkan, yang dimaksud adalah agama Allah di mana agama
lainnya yang dipeluk oleh seorang hamba tidak akan diterima. Mujahid
memberikan keterangan yang lain lagi. Ia mengatakan, ash-shiraahal-
Mustaqiim adalah kebenaran. Pengertian ini mempunyai cakupan yang
lebih luas dan tidak bertentangan dengan pendapat-pendapat yang
disebutkan tadi.

Ø Ayat 7
َّ ‫ع َلي ِه ْم َوالَ ال‬
َ‫ضالِين‬ َ ‫ب‬
ِ ‫ضو‬ ِ ‫علَي ِه ْم غ‬
ُ ‫َير ال َمغ‬ َ ‫ط الَّذِينَ أَن َع‬
َ ‫مت‬ َ ‫ص َرا‬
ِ
“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugrahi nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
orang-orang yang sesat”.

22
Kata Shiraatha, dibaca manshub karena dia badal dari kata
shiratal mustaqiima, dan penjelasan tentang kata Shiraatha sama
penjelasannya dengan apa yang dijelaskan di atas. Kemudian kata
Alladziina, menempati posisi majrur karena dia mudhof ilaihi kepada
shiraatha, alladzina merupakan isim maushul, termasuk isim yang
mabni. Dan kata An'amta, merupakan fi'il madhi yang didalamnya
terdapat fa'ilnya yakni anta. 'alaihim, bentuk jar-majrur berhubungan
dengan fi'il madhi an'amta.
Nikmat adalah kesenangan hidup dan kenyamanan yang sesuai dengan
diri manusia. Seseorang dapat membayangkan apa saja nikmat-nikmat
Allah yang telah diperolehnya dengan melihat modal apakah yang
dimilikinya sendiri sebelum hadir di pentas dunia ini. Nikmat-nikmat
Allah beraneka ragam dan bertingkat-tingkat, baik dari segi kualitas
maupun kuantitasnya. Ada yang memperoleh tambahan yang banyak
dan ada juga yang sediki.
Kata nikmat dalam surah al-Fatihah ini adalah nikmat yang paling
bernilai, yang tanpa nikmat itu, nikmat-nikmat lainnya tidak akan
mempunyai nilai yang berarti, bahkan dapat menjadi “niqmat” yakni
bencana. Nikmat tersebut adalah memperoleh hidayah dari Allah, serta
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya”, yaitu nikmat Islam dan
menyerahkan diri kepada-Nya.
Kemudian selanjutnya pembahasan kedudukan kata pada ayat ini
adalah kata ghairi, mempunyai kedudukan majrur karena dia badal atau
sifat dari alladziina. Dan al-maghdlubi, majrur karena dia mudhof ilaihi
kepada ghairi. 'alaihim adalah bentuk jar-majrur menempati posisi
marfu' karena dia sebagai naibul fa'il dari isim maf'ul al-maghdluubi.

23
(‫ع َلي ِه ْم‬
َ ‫ب‬
ِ ‫ضو‬
ُ ‫َير ال َمغ‬
ِ ‫ )غ‬Ghairil Magdhuubi ‘alaihim. Kata (‫ )المغضوب‬al-
magdhubi berasal dari kata (‫ )غضب‬gadhab yang dalam berbagai
bentuknya memiliki keragaman makna, namun semuanya memberikan
kesan keras, kokoh, dan tegas. Singa, banteng, batu gunung, sesuatu
yang merah padam, semuanya digambarkan melalui akar kata gadhab.
Jadi “al-Gadhab” adalah sifat keras, tegas, kokoh, dan sukar
tergoyahkan yang diperankan oleh pelakunya terhadap objek disertai
dengan emosi.
Tentang siapakah al-magdhub ‘alaihim, ayat ini tidak menjelaskannya.
Sementara para ulama tafsir berdasarkan keterangan suatu hadis nabi
SAW., menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yahudi. Al-
Quran juga memberitahukan bahwa orang-orang Yahudi mengenal
kebenaran namun enggan mengikutinya. Atas dasar ini, pengertian al-
magdhub ‘alaihim menjadi luas, sehingga mencakup semua yang telah
mengenal kebenaran namun enggan mengikutinya.
Wajar sekali Rasul SAW. Memberi contoh itu (orang Yahudi), karena
dari dua puluh empat kali kata gadhab dalam berbagai bentuk yang
tercantum dalam al-Quran, dua belas kali adalah konteks pembicaraan
tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang
Yahudi. Sedangkan sisa-nya berkisar pada pembicaraan tentang
“amarah” sebagai naluri manusia atau “murka Tuhan” yang ditujukan
kepada orang-orang musyrik/penyembah berhala, orang munafik yang
mengaku sebagai pengikut nabi Muhammad SAW., atau bahkan orang-
orang muslim yang melakukan pelanggaran tertentu.
Ketika berbicara tentang nikmat, secara tegas dinyatakan bahwa
َ ‫ط الَّذِينَ أَن َع‬
sumbernya adalah Allah SWT. Perhatikan firman-Nya : ( ‫مت‬ َ ‫ص َرا‬
ِ
‫علَي ِه ْم‬
َ ) Shirathal ladziina an’amta ‘alaihim” (jalan orang-orang yang
Engkau beri nikmat). Tetapi ketika berbicara tentang murka tidak
dijelaskan siapa pelakunya. Ayat ini tidak menyatakan “jalan orang
yang telah Engkau murkai”, tetapi “...yang dimurkai”.
Huruf wa, merupakan huruf 'ataf yang menghubungkan kalimat
sesudahnya, karena masih ada keterkaitan makna. Dan la adalah huruf

24
nafi, kemudian adl-dlooliina, majrur karena dia athof kepada al-
maghdlubi. Kata (‫ )ضالين‬Dhaalliin berasal dari kata (‫ )ضل‬dhalla. Tidak
kurang dari 190 kali kata dhalla dalam berbagai bentuknya terulang
dalam all-Quran. Kata ini mulanya berarti “kehilangan jalan, bingung,
atau tidak mengetahui arah”. Makna-makna ini berkembang sehingga
kata tersebut juga dipahami dalam arti “binasa, terkubur”, dan dalam
arti immaterial ia berarti “sesat dari jalan kebajikan”, atau lawan dari
petunjuk. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kata ini dalam berbagai
bentuknya mempunyai makna “tindakan atau ucapan yang tidak
menyentuh kebenaran”.
Kata adh-dhaalliin ditemukan dalam al-Quran sebanyak delapan kali
dan kata adh-dhalluun sebanyak lima kali. Paling sedikit ada tiga ayat
dari ayat-ayat yang menggunakan kata dhaallin dan dhaallun yang
dapat membantu memahami apa yang dimaksud oleh al-Quran dengan
kata tersebut.

Referensi :
Shihab, Quraish, M., Tafsir Al-Misbah. 2000, Lentera hati, Ciputat.
Abi Baqa’i Abdullah ibn Husain bin Abdullah al-‘Akbiri. At-Tibyaan fi
I’robil Quran Juz Tsaani. 1979, Maktabah Taufiqiyah.
Ahmad Musthofa al-Muroghi, Ulumul Balaghah (bayan, ma’ani, badi’).
1993, Ad-Darul Kutub ‘Ilmiyyah. Libanon.

25
Surah Al-Fatihah dan Surah Al Baqarah

Hubungan Surah-surah Al-Qur’an dan Karakter manusia.

Surah ini adalah surah pertama dalam tertib urutan surah Al Quran
berdasarkan Tauqif (instruksi) Nabi SAW menurut pendapat Jumhur
atau Mayoritas ulama ahli Al Quran yang tertuang dalam mushaf
ustmani.

Sebab Dinamakan Al Fatihah

Surah pertama ini dinamakan Al Fatihah karena firman Allah SWT


yang terangkum dalam sebuah kitab yang bernama Al Quran diawali
oleh surah ini. Dalam bahasa arab kata "Al Fatihah" adalah isim fa'il
atau bentukan kata yang berarti subjek dari "fataha-Yaftahu-fathan-
futuuhan", berarti membuka. Oleh sebab itu, secara etimologi, Al
Fatihah berarti pembuka. Atau lebih jelasnya pembuka atau awal dari
surah-surah Al Quran yang berjumlah 114 surah.

Nama-nama Lain Al Fatihah

Al Fatihah mempunyai banyak nama. Diantaranya, Ummul Kitab,


berarti induk atau ibu kitab. Disebut induk kitab karena Al Fatihah
merangkum prinsip-prinsip dasar dari keseluruhan isi Al Quran.

Al Fatihah juga dinamakan As Sab'ul Matsany, yaitu tujuh yang


diulang-ulang, sebab Al Fatihah termasuk salah satu rukun shalat yang
wajib dibaca. Jika setiap muslim wajib melaksanakan shalat lima waktu

26
dalam sehari, maka Al Fatihah terbaca 17 kali dalam sehari sesuai
dengan jumlah rakaat shalat fardlu.

Selain itu, Al Fatihah juga disebut As Syaafiyah, artinya yang


menyembuhkan. Sebab firman Allah SWT yang tersusun pada untaian
tujuh ayat yang tersebut Al Fatihah ini mengandung mukjizat yaitu bisa
menyembuhkan penyakit ketika dibacakan kepada seseorang yang
sedang menderita sakit tertentu.

Disebut juga Al Wafiyah, artinya sempurna, sebab Al Fatihah memuat


secara global isi kandungan Al Quran. Al kafiyah, artinya cukup.
Dengan mempelajari kandungan Al Fatihah, cukup bagi seseorang
mengenal secara umum isi Al Quran. Al Asas, artinya dasar. Al Fatihah
adalah pondasi dasar Al Quran.

Dengan mempelajari kandungannya, seseorang telah memiliki dasar


untuk mempelajari keseluruhan isi Al Quran. Al Hamdu, artinya segala
puji, sebab ayat pertama Al Fatihah diawali dengan kata ini. (Bagi yang
berpendapat bahwa basmalah bukan termasuk salah satu ayat dari surah
ini) dan masih banyak lagi yang lainnya.

Surah Al Fatihah diturunkan sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah


sehingga tergolong Makiyah. Ditinjau dari kwantitas atau jumlah ayat,
Al Fatihah termasuk jenis surah Al Matsany, yaitu surah-surah Al
Quran yang ayatnya berjumlah kurang dan seratus ayat.

(Dalam hal ini, ulama membagi surah Al Quran menjadi empat bagiah;
As Sab'ut Thiwal (tujuh surah panjang, Al Baqarah, Ali Imran, An

27
Nisa', Al Maidah, Al An'am, Al A'raaf, At Taubah, Al Miuun, Surah-
surah yang ayatnya berjumlah seratusan, Al. Matsany yaitu surah-surah
yang ayatnya berjumlah kurang dari seratus, dan Al Mufashal yaitu
surah-surah pendek).

Ulama bersepakat bahwa jumlah ayat Al Fatihah tujuh ayat sesuai


dengan QS. Al Hijr (15): 87, "Dan sesungguhnya kami telah berikan
kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang
agung".

Namun, ulama berbeda pendapat tentang awal ayat Al Fatihah. Bagi


ulama yang berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat dari Al Fatihah,
maka Al Fatihah diawali dengan basmalah.

Sedangkan ulama yang berpendapat basmalah bukan termasuk ayat dari


Al Fatihah, maka awal ayatnya adalah "Al Hamdulillahi rabbil Alamin"
dan ayat ketujuhnya " Ghairil maghdhuubi `alaihim walad dhaalliiin".

Al Fatihah diturunkan setelah surah Al Mudatsir (74). Surah ini diawali


dengan lafal pujian "Al Hamdu Lillah" (segala puji bagi Allah, bagi
yang berpendapat basmalah bukan termasuk ayat Al Fatihah, sehingga
dalam surah ini, hanya ada satu lafdzul Jalalah atau kata Allah yaitu
pada ayat yang pertama.

Al Fatihah termasuk kedalam Juz 1, namun dalam format 18 baris, Al


Fatihah tidak termasuk Juz 1 berdasarkan tanda `ain yang terdapat pada
format tersebut dimana angka yang tertera dibawah 'ain (menunjukkan
urutan 'ain pada setiap Juz) kosong. Sehingga, jika seseorang melakukan

28
tadarus Fungsional dalam kajian struktur dan format Al Quran langsung
mulai membaca dari QS. Al Baqarah (2) : 1 dan seterusnya.

Topik Pembahasan Al Fatihah

Al fatihah membicarakan tentang ushuluddin (pokok agama) dan


cabang-cabangnya, Aqidah, lbadah Tasyri', percaya kepada hari akhir,
percaya bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang baik dan mengesakan-
Nya dalam beribadah, meminta tolong dan berdoa agar ditunjukkan
jalan yang lurus, merendahkan diri padaNya untuk selalu diberikan
keteguhan dalam iman dan meniti jalan yang lurus serta dijauhkan dari
jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang dibenci oleh Allah SWT
dan orang-orang yang sesat, berita tentang kisah umat-umat terdahulu
dan menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya.

Sababun Nuzul (sebab turunnya surah)

Dari Abu Maysarah ra, ketika Rasulullah SAW berada pada suatu
tempat, beliau mendengar suara memanggilnya: "Wahai Muhammad".
Namun justru beliau lari tunggang langgang. Lalu Waraqah bin Naufal
berkata kepadanya: "Jika engkau mendengar suara memanggilmu
diamlah sampai engkau mendengar jelas apa yang dikatakan kepada
engkau”.

Tatkala beliau mendengar ada suara memanggilnya: "Wahai


Muhammad". Beliau menjawab: "Aku memenuhi panggilanmu". Suara
itu berucap: " Katakanlah, saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad rasulullah, katakanlah Al Hamdulillaahirabbil `Aalamin

29
dan seterusnya sampai akhir ayat Al Fatihah". Lafal hadis ini menurut
riwayat Ali bin Abi Thalib.

Keutamaan Surah Al Fatihah

Dalam Musnadnya, Imam Ahmad meriwayatkan ketika Ubay bin Ka'ab


membaca Al Fatihah di hadapan Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda :
"Demi dzat yang menguasai aku, tak satupun firman Allah yang
diturunkan dalam Taurat, Zabur, dan Injil yang serupa Al Fatihah yang
disebut sebagai As Sab'ul Matsani dan Al Quran yang agung." Hadis ini
merujuk pada firman Allah SWT pada QS. Al Hijr (15) : 87, "Walaqad
Aatainaaka sab'an minal matsaani wal Quraanal Adziim".

Makna Simbolik Al Fatihah dan Hubungannya Dengan Karakter


Manusia Salah satu hikmah dari pembagian Al Quran per Juz yaitu
menjabarkan sifat dan karakter manusia, semuanya terangkum dalam 30
Juz Al Quran dengan berbagai macam surah yang ada didalamnya.

Al Fatihah berarti pembuka. Orang yang membawa karakter surah Al


Fatihah dan unsur angka 1 baik angka asli maupun hasil pampatan,
misalnya Juz 1, 10, 19, dan 28 memiliki sifat mudah bosan dan
menyukai hal-hal yang baru.

Terutama jika dihadapkan pada rutinitas yang monoton dan itu-itu saja.
Reaksi dan ekspresinya bisa bermacam-macam. Dengan kata lain, ia
merupakan tipe orang yang selalu dinamis. Ia berpotensi mendobrak dan
pencetus ide atau inovasi baru.

30
Hal ini bisa saja timbul secara naluriah dari sikapnya yang cepat bosan
terhadap sesuatu. Selain itu, Ia bersikap selalu terbuka, baginya
transparansi itu sebuah kebutuhan. Ia tidak terlalu suka jika sebuah hal
yang seharusnya dibuka ditutup-tutupi. Semua ulasan karakter ini bisa
dilihat dari dua sisi, negative dan positif.

Surah Al Baqarah

Dalam mushaf Usmani, surah ini merupakan urutan surah yang kedua
setelah Al Fatihah sebagaimana instruksi (tauqiif) dari Rasulullah SAW.
Dinamakan Al Baqarah adalah untuk menyegarkan kembali ingatan kita
tentang sebuah mukjizat yang dahsyat terjadi pada masa Nabi Musa as.

Dikisahkan, suatu ketika salah seorang dari Bani Israel terbunuh dan
tidak diketahui siapa pembunuhnya. Kemudian mereka melaporkan
kejadian tersebut kepada Nabi Musa as, barangkali ia tahu
pembunuhnya.

Lalu Allah SWT mewahyukan kepada Musa as agar menyuruh mereka


menyembelih seekor sapi dan memotong-motong dagingnya. Lalu atas
izin Allah SWT, sapi tersebut hidup kembali dan memberitahukan
kepada mereka pembunuh misterius itu. Peristiwa ini merupakan salah
satu bukti kekuasaan Allah SWT menghidupkan makhluk yang sudah
mati.

Al Baqarah termasuk surah yang turun setelah Nabi SAW hijrah


sehingga disebut Madaniyah. Dari segi kwantitas ayat, Al Baqarah
tergolong At Thiwal (tujuh surah yang panjang), total jumlah ayatnya

31
286, surah yang paling banyak ayatnya. Al Baqarah merupakan surah
yang pertama kali turun di Madinah. Diawali oleh huruf yang terpotong
yaitu Alif Lam Mim.

Tersebut dalam surah ini tak kurang dari 100 kata Allah. Di surah ini
pula terdapat ayat terpanjang dalam Al Quran, yaitu ayat 282 yang
membicarakan tentang muamalah (teknis hutang piutang). Surah ini
terbagi menjadi 3 juz, karena pembagian juz Al Quran tidak
berdasarkan jumlah surah, tetapi mengacu kepada jumlah halaman
mushaf.

Pada mushaf Al Quran format 18 baris, Juz 1 dimulai dari QS. Al


Baqarah (2) : 1 sampai 141. Lalu Juz 2 dimulai dari ayat 142 sampai
252.

Sedang ayat Al Baqarah pada Juz 3 dimulai ayat 253 sampai 286. Tentu,
pembagian ini tidak sembarangan dan mengandung hikmah dibaliknya
yang harus diungkap.

Sebagaimana kebanyakan surah madaniyah yang lain, secara garis besar


bisa dikatakan Al Baqarah juga membicarakan tentang norma dan
aturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan sosial
kemasyarakatan kaum muslimin.

Sababun Nuzul Al Baqarah

1.Alif Lam Mim Dzalikal kitaab..., dari Mujahid : " Empat ayat pertama
surah ini turun membahas orang-orang yang beriman, dua ayat

32
berikutnya membicarakan tentang orang-orang kafir dan tiga belas ayat
setelahnya menyinggung tentang orang-orang munafik.

2."Innal ladziina kafaruu", Ad Dhahak berkata: "ayat ini turun


(membahas tentang) Abu Jahal dan lima orang keluarganya”. Al Kalby
menimpali: "Ayat ini berbicara tentang orang Yahudi”.

3." Waidza Laqullladziina Aamanuu", Al Kalby : " Dari Abu Shalih dari
lbnu Abbas ra, ia berkata : “ayat ini turun tatkala Abdullah bin Ubay
dan sahabatnya berjumpa dengan para sahabat Rasulullah SAW”.

Ubay berkata kepada sahabat Abu Bakar ra : " Selamat datang wahai
orang yang mendapat gelar As Siddiq (yang selalu membenarkan apa
yang dikatakan oleh Nabi saw), pemuka bani tamim, tokoh islam dan
teman Rasulullah SAW (ketika dalam goa tsur), serta orang yang selalu
bersedia mengorbankan jiwa dan hartanya".

Ubay pun menyapa Umar bin Khatab seraya berkata : " Selamat datang
pemuka Bani 'Ad bin Ka'ab, orang yang berge!ar Al Faruq (pembeda)
dan teguh memegang agama Allah serta bersedia berkorban Jiwa dan
raga untuk Rasulullah SAW yang dicintainya.

Tak lupa, Ubay juga meraih tangan Ali bin Abi Thalib sambil berkata :
" Selamat datang putra paman Rasulullah SAW dan cucu pemuka bani
Hasyim. Kemudian mereka berpisah, lalu Abdullah berkata kepada para
sahabatnya : " Lihatlah apa yang aku baru lakukan, jika kalian bertemu
dengan mereka (para sahabat Rasulullah SAW), lakukanlah seperti yang
aku perbuat, pujilah mereka". Para sahabat Nabi SAW mengadu kepada

33
beliau dan menceritakan peristiwa tersebut, lalu Allah menurunkan ayat
ini".

Makna Simbolik Al Baqarah dan Hubungannya dengan Karakter


Manusia dalam bahasa Arab, kata dibedakan menjadi maskulin
(mudzakar) dan feminin (muannast).

Salah satu ciri dari masing-masing kata tersebut, kata maskulin tidak
terdapat ta' marbuthah pada akhir kata sedang kata feminin diakhiri ta'
marbuthah atau disebut juga ta' muannast, ta' yang menunjukkan pada
kata tersebut tergolong feminin.

Dari kaidah gramatikal Arab tersebut, bisa dipahami bahwa kata Al


Baqaratu atau kalau dibaca waqaf ta' nya dimatikan menjadi Al Baqarah
berbentuk feminin, sehingga bila diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia menjadi sapi betina. Sedang bentuk maskulinnya Al Baqaru
atau Al baqar yang berarti sapi jantan.

Tentu, penggunaan nama surah dengan memakai kata Al Baqarah dalam


bentuk feminin mengundang pertanyaan kritis. Kenapa tidak
menggunakan bentuk maskulin yang lazim digunakan dalam bahasa
Arab?

Menganut azas manfaat, terbukti bahwa sapi betina ternyata lebih


menonjol dan memberikan banyak manfaat sesuai kapasitasnya sebagai
binatang peliharaan.

34
Selain daging dan kulitnya yang bisa dimanfaatkan, sapi betina
memiliki kelebihan dibandingkan sapi jantan, ia bisa mengeluarkan susu
yang bisa diminum tidak hanya oleh sebangsanya tetapi juga oleh
manusia.

Simak QS. An Nahl (16) : 66, " Dan sesungguhnya pada binatang ternak
itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kalian. Kami memberi kalian
minum dari apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih
antara tahi dan darah yang bersifat menyegarkan lagi mengenyangkan
bagi orang-orang yang meminumnya".

Sekalipun maksud dari kata Al An'am pada ayat tersebut tidak terbatas
hanya sapi saja namun bisa dipastikan bahwa apapun jenis binatang
ternaknya, yang bisa mengeluarkan susu tentunya hanya yang berjenis
kelamin betina.

Disisi lain, negatifnya sapi termasuk binatang yang kurang mengerti


dengan tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini bisa dibuktikan jika kita
menggiring sapi untuk menggarap sawah.

Sekalipun kita sudah siapkan dan pasang peralatannya lalu kita bawa ke
sawah, ia tetap tidak bergeming (untuk segera melakukan tugasnya
berjalan mengelilingi sawah) sebelum kita menepuk-nepuknya atau
bahkan mencambuknya.

Nah, dengan mengetahui psikologi sapi, kita akan mudah menguraikan


karakter manusia yang tersirat dalam Juz-juz Al Quran. Hal ini bukan
berarti menyamakan manusia dengan sapi, tetapi lebih kepada menggali

35
makna yang tersembunyi dibalik pengunaan nama Al Baqarah sebagai
salah satu nama surah Al Quran.

Terlebih, dalam sebuah ayat Al Quran dikatakan jika manusia telah


dikuasai oleh nafsunya sehingga melakukan sesuatu diluar kodratnya
sebagai manusia dan tidak menggunakan jawarih (anggota badannya)
sesuai dengan fungsi dan kegunaannya (untuk membaca ayat Allah baik
kauniyah dan qauliyah sehingga menjadi semakin dekat kepadaNya),
maka ia disamakan dengan hewan (binatang ternak) bahkan lebih parah.

Simak QS. Al A'raaf (7) : 179, "Dan sesungguhnya kami jadikan untuk
(isi neraka Jahanam) kebanyakan dari Jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat
Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itu orang-orang yang lalai".

Orang yang mempunyai unsur Al Baqarah atau terdapat angka dua


(angka dua merupakan urutan surah Al Baqarah pada mushaf usmani)
baik asli maupun hasil pampatan maka memiliki kemiripan atau bahkan
kesamaan dengan karakter sapi betina. Misalnya Juz 1, Juz 2, Juz 3, Juz
11, 20, dan 29. Tentu, dalam mengurai karakter manusia haruslah
seimbang antar positif dan negatif.

Orang yang membawa karakter Juz-juz tersebut mempunyai


kecenderungan untuk bersikap pasif terlebih dahulu dalam menyikapi
sebuah permasalahan. Ia lebih banyak melihat dan mengamati lebih

36
dulu situasi dan kondisi yang melingkupinya sekalipun bisa saja pada
akhirnya ia mendominasi dan pro aktif. Ia memiliki sifat pekerja keras
dan tidak suka mengeluh dengan apapun yang dialaminya.

Sebaliknya, dalam kondisi tertentu, jangan kaget jika orang yang


memiliki karakter Juz di atas malas berbuat apapun, misalnya hanya
tidur saja kerjaannya atau bahkan tidak tahu apa yang harus
dikerjakannya.

Ia memang suka tidur dan bisa memakan waktu berjam-jam untuk


menyalurkan "hobi"nya yang satu ini. Pada situasi ini, Ia bisa sangat
pasif dan tidak kreatif serta kurang inisiatif.

Adakalanya, ia menyelesaikan masalah-nya dengan tidur, artinya ketika


sebuah masalah yang sangat pelik menimpanya, maka ia akan
menyalurkannya lewat aktifitas tidur.

Ia juga tipe orang yang selalu ingin berbuat sesuatu yang positif untuk
lingkungannya. Dengan kata lain, rasa sosialnya tinggi. Ia akan bersedia
berkorban dan memberikan apapun miliknya kepada seseorang jika
dianggapnya telah berbuat baik atau berjasa kepadanya.

Ia sangat jeli melihat sebuah permasalahan. Boleh dikatakan


analisisnya tajam. Ia sangat berpotensi melihat detil-detil permasalahan
yang mungkin buram atau tidak jelas dalam pandangan orang lain.

Berdasarkan Al baqarah juga, orang yang mempunyai unsur ini pada


saat remaja selalu ingin mendapat perhatian lebih dari orang-orang
terdekatnya khususnya orang tua dan sangat haus kasih sayang serta
ingin selalu dilayani.

Setelah dewasa, jika ia mendapatkan itu semua ia akan berubah


menjadi orang yang sangat mengerti akan kebutuhan orang lain.

37
The Meaning of Al-Fatihah and its Various Names

Arti Al-Fatihah dan Nama Nama Surah tersebut

Surah ini disebut dengan Al-Fatihah, yang artinya , Pembuka kitab, Al-
Fatihah adalah surat yang utama didalam shalat . Dan Al-Fatihah juga
disebut, Umm Al-Kitab (Induk Kitab), menurut mayoritas kebanyakan
ulama. Dalam sebuah Hadis otentik yang diriwayatkan oleh Imam At-
Tirmidzi, dan beliau menshahihkan-nya , Abu Hurairah mengatakan
bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,
«‫»الحمد هلل رب العالمين أم القرآن وأم الكتاب والسبع المثاني والقرآن العظيم‬

"Al-hamdu lillahi Rabbil-`Alamin adalah Induk Qur'an, Induk Kitab,


dan berulang-ulang tujuh Ayat Alquran "
Al-Fatihah juga disebut Al-Hamd (pujian) dan As-Shalat (doa) , karena
Nabi pernah berkata bahwa Tuhannya berkata,
« :‫ قال هللا‬,‫ الحمددهلل رب العالمين‬:‫ فإذا قال العبد‬,‫قسمت الصالة بيني وبين عبدي نصفين‬
‫»حمدني عبدي‬

"Aku membagi Shalat (yaitu, Al-Fatihah) menjadi dua bagian antara


Aku dan hamba-Ku." Ketika seorang hamba itu mengucap , `Segala puji
bagi Allah, Tuhan sekalian alam, 'Maka Allah mejawab :," HambaKu
telah memujiku".

Al-Fatihah disebut Shalat yang berarti doa, karena membaca Al-Fatihah


adalah parameter kebenaran dalam Shalat (doa). Al-Fatihah juga disebut
Ash-Shifa '(the Cure).

Al-Fatihah juga disebut Ar-Ruqyah (obat), karena dalam kitab Sahih,


ada Hadits dari Abu Sa`id menceritakan kisah dari Companion yang
menggunakan Al-Fatihah sebagai obat buat kepala suku yang diracuni.
Kemudian, Rasulullah berkata kepada seorang Companion,
«‫»وما يدريك أنها رقية‬

38
"Bagaimana kau tahu bahwa ini adalah Ruqyah"

Al-Fatihah diturunkan di Makkah seperti yang telah dinyatakan oleh


Ibnu Abbas, Qatadah dan Abu Al-`Aliyah . Allah berfirman,
‫ولقد ءاتينك سبعا من المثاني‬

"Dan sesungguhnya, Kami telah berikan kepadamu tujuh Mathani)


(tujuh berulang kali dibacakan ayat)" (yaitu Surat Al-Fatihah)
(15:87). Allahua'lam bishawab
Berapa banyak Kandungan ayat dalam Al-Fatihah ?

Tidak ada perselisihan atas pandangan bahwa Al-Fatihah terdiri dari


tujuh Ayat. Menurut mayoritas ahli qiraat Al-Kufah, sekelompok para
sahabat, para Tabi'in, dan sejumlah ulama dari generasi kedepan,
Bismillah adalah Ayah terpisah di awal. Kami akan menyebutkan
subjek ini lagi nanti, insya Allah…...
Jumlah Kata dan Surat di Al-Fatihah

Para ulama mengatakan bahwa Al-Fatihah terdiri dari dua puluh lima
kata, dan itu berisi 113 surat.
Alasan itu disebut Umm Al-Kitab

Pada awal Kitab Tafsir, dalam kitab Shahih, Al-Bukhari berkata: " Al-
Fatihah disebut Umm Al-Kitab, karena Al-Qur'an dimulai dengan Al-
Fatihah dan karena shalat juga dimulai dengan membaca: “Al-Fatihah ''.
Dan beliau juga mengatakan bahwa Al-Fatihah disebut Umm Al-Kitab,
karena mengandung makna-makna Al-Qur'an secara keseluruhan. Ibnu
Jarir berkata, "Orang-orang Arab menyebut setiap masalah yang
komprehensif yang memuat beberapa area tertentu disebut “Umm”(akar
masalah) . Misalnya, mereka menyebut kulit yang mengelilingi otak
dengan Umm Ar-Ra's (pusat kepala). Mereka juga menyebut sebuah
bendera yang mengumpulkan jajaran tentara sebuah Ummu''Dia juga

39
berkata, "Makkah disebut Umm Al-Qura, (Ibu dari Desa) karena Kota
Makkah adalah Kota termegah dan pemimpin dari semua Kota. Ini.
Beliau juga mengatakan : “bahwa bumi itu dibuat mulai dari Makkah"

Selanjutnya, Imam Ahmad mencatat bahwa Abu Hurairah riwayat


tentang Umm Al-Qur'an bahwa Nabi berkata,
«‫»هي أم القرآن وهي السبع المثاني وهي القرآن العظيم‬

"Ini adalah Umm Al-Qur'an, tujuh berulang (ayat) dan Alquran"

Juga, Abu Ja'far, Muhammad bin Jarir At-Tabari mencatat Abu


Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda tentang Al-
Fatihah,
«‫»هي أم القرآن وهي فاتحة الكتاب وهي السبع المثاني‬

"Ini adalah Umm Al-Qur'an, Al-Fatihah Kitab (yang Pembuka Al-


Qur'an) dan tujuh ayat"

40

Anda mungkin juga menyukai