Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KELOMPOK 9

USHUL FIQH
LAFADZ DARI SEGI KANDUNGAN MAKNANYA

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Anton Akbar, M.Ag

Disusun Oleh:
1. Latifah Asrilia
2. Anggun Azhari
3. Gusra Manda

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
TAHUN AJARAN 2022/2023
Kata Pengantar

Puji syukur atas kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-NYA
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas dari dosen Dr. Anton Akbar, M.Ag pada bidang studi ushul fiqh.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang lafadz
dari segi kandungan maknanya mujmal dan mubayyan serta dzahir dan muawal. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Anton Akbar, M.Ag selaku dosen ushul fiqh yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang penulis tekuni. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga penulis dapat meyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 10 Maret 2022

Kelompok 9
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 2
A. Mujmal dan Mubayan ........................................................................................ 2
B. Dzahir dan Muawal ............................................................................................ 8
BAB III
PENUTUP........................................................................................................................... 14
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 14
B. Saran ................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fiqh sebagai ilmu metodologi pengambilan hukum mempunyai peranan penting dalam ranah
keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum Islam atau ilmu fiqh. Pembahasan dari segi
kebahasaan atau lughawiyah, sangat penting sekali di tela’ah karena sumber hukum Islam yaitu
Al-Qur’an dan Hadist yang menggunakan bahasa arab yang mempunyai banyak makna yang
terkandung di dalamnya. Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang mujmal serta
mubayyan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Mujmal dan Mubayyan?
2. Bagaimana bentuk dan lafal Mujmal dan Mubayyan?
3. Bagaimana hukum Mujmal dan Mubayyan?
4. Apa pengertian dzahir dan muawal?
5. Bagaimana bentuk dan lafal mujmal dan mubayyan?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memberikan penjelasan dari mujmal dan mubayyan
2. Untuk menjelaskan bentuk dan lafal mujmal dan mubayyan
3. Untuk menjelaskan hukum mujmal dan mubayyan
4. Untuk memberikan pernjelasan dari dzahir dan muawal
5. Untuk menjelaskan bentuk dan lafal dzahir dan muawal
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mujmal dan Mubayyan

1. Pengertian Mujmal

Secara etimologi, kata mujmal berarti sesuatu yang dikeragui. Secara istilah, para ahli
ushul fiqh mendefenisikan mujmal dalam berbagai macam.
Imam Sarakhasi mendefenisikan Mujmal adalah suatu lafal yang tidak dapat dipahami
maksudnya kecuali ada penjelasan dari yang mengeluarkan lafal mujmal itu dan melalui
penjelasannya diketahui maksud lafal tersebut.
Wahbah Al-Zulaili mendefenisikan Mujmal adalah lafal yang sulit dipahami maksudnya
kecuali melalui penjelasan dari mutakallim(orang yang mengucapkan).
Jalaluddin Abd al-Rahman mendefenisikan Mujmal adalah kata yang dilalahnya tidak
jelas.
Dari beberapa defenisi mujmal di atas dapat dipahami bahwa mujmal merupakan suatu
lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang menyampaikan lafal
tersebut. Kesulitan memahami lafal ini bukan erasal dari luarnya, tetapi dari lafal itu sendiri.
Untuk memahami lafal mujmal itu sangat tergantung pada penjelasan mutakallim atau syari’
yang menyampaikan lafal tersebut.

2. Sebab suatu lafal disebut mujmal

1. Lafal-lafal yang mempunyai makna musytarak tanpa diiringi oleh indikator (qarinah) sehingga
sulit untuk mengetahui makna yang paling terkuat diantaranya. Misalnya lafal quru’ dalam
firman Allah surah al-baqarah ayat 228
َ ‫َو ْال ُم‬
‫طلَّقَاتُ َيت ََر َّبصْنَ ِبأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَ ََلثَةَ قُ ُروء‬
Artinya : wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
Lafal quru’ ini secara bahasa berarti suci dan haid. Imam syafi’I berpendapat ahwa lafal
quru’ berarti suci sedangkan imam abu hanifa berpendapat bahwa quru’ berarti haid.

2. Suatu lafal yang maknanya secara bahasa aneh atau ganjil, seperti kata (‫ )الهلوع‬pada firman
allah surah al-maarij ayat 19-20.
.‫سهُ ْال َخي ُْر َمنُوعًا‬
َّ ‫ش ُّر َج ُزوعًا َوإِذَا َم‬ َّ ‫سانَ ُخلِقَ َهلُوعًا إِذَا َم‬
َّ ‫سهُ ال‬ ِ ْ ‫۞ إِ َّن‬
َ ‫اْل ْن‬
Artinya: Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.
Pada ayat 19 diatas terdapat lafal (‫ )الهلوع‬yang tidak dapat dipahami karena termasuk lafal
asing sehingga Allah menjelaskan dengan ayat selanjutnya.

3. Pemalingan atau pemindahan dari makna lughâwî (etimologi) ke


makna ishthilâhî (terminologi)
Seperti lafal shalat, zakat, puasa dan lafal lainnya yang Allah palingkan dari makna lughâwî dan
digunakan di dalam makna syariat yang tidak diketahui melalui aspek bahasa melainkan
dijelaskan lewat hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.

3. Hukum Mujmal

Hukum mujmal yaitu kita bersikap tawaqquf (diam) dalam menentukan maksud tersebut
maka tidak boleh mengamalkannya kecuali jika ada penjelasan dari syâri’. Jika penjelasan
tersebut sempurna dan jelas maka lafal hukum mujmal berpindah ke hukum mufassar dan
hukumnya berlaku. Seperti lafal shalat, zakat dan haji. Tetapi jika penjelasan tersebut tidak
sempurna dan adanya kesamaran maka berpindah ke hukum musykil. Dalam hal ini, mujthahid
berupaya kuat untuk menghilangkan kemusykilan yang terdapat dalam lafal tersebut dengan
tidak bergantung pada penjelasan baru dari syari’misalnya lafal riba pada firman allah surah al-
baqarah ayat 275
ِ ‫َّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
‫الربَا‬ َّ ‫َوأ َ َح َّل‬
Artinya: Allah menghalalkan jualbeli dan mengharamkan riba.

Menurut abu hanifah, lafal riba di ayat ini mujmal karena riba secara bahasa erarti
tambahan . sebagaimana yang kita ketahui tidak semua tambahan termaksuk riba. Jual beli yang
di syariatkan islam bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan penambahan. Namun yang
dilarang dalam islam adalah tambahan dalam bentuk transaksi tanpa ada pengganti yang
diisyaratkan ketika transaksi berlansung. Atau tidak didukung oleh penjelasan syari’. Dalam hal
ini nabi hanya menjelaskan enam jenis barang yang termaksuk riba, yaitu emas, perak, gandum,
jelai, korma, dan garam( HR. bukhari). Untuk itu oleh para ulama oleh melakukan
berijtihad menentukan riba dengan cara meng qiyaskan.

4. Pengertian Mubayyan
Secara etimologi, kata mubayyan seakar dengan kata bayan yang berati jelas atau terang.
Kata bayan dapat pula berati menjelaskan makna dan menjelaskan sesuatu yang tertutup
maknanya. Istilah mubayyan adalah lawan dari lawan mujmal.secara istilah para ahli ushul fiqh
mendefenisikan mubayyan sebagai berikut.
Mubayyan adalah suatu lafal yang dilalahnya telah jelas dengan memperhatikan maknanya

Contoh yang dapat difahami maksudnya dengan asal peletakannya, seperti


lafadz;‫(سماء‬langit),‫( أرض‬bumi)‫( جبل‬gunung),‫( عدل‬adil),‫( ظلــم‬dholim), ‫( صدق‬jujur). Dalam
hubungannya dengan mubayyan, maka dapat dipahami tiga hal, yaitu;
a. Mubayyan (yang dijelaskan)
b. Mubayyin (yang menjelaskan) dan
c. Bayan (penjelasan).

5. Bentuk mubayyan

Dilihat dari segi kejelasan maknanya bayan terbagi menjadi dua bentuk yaitu:
1. Al-wadih bi nafsihi, yaitu lafal yang jelas maknanya sejak awal penggunaannya sehingga tidak
membutuhkan penjelasan lain. Kejelasan ini diketahui melelui pendekatan bahasa, seperti firman
Allah surat al-baqarah:282
‫علِيم‬ َ ‫َّللاُ بِ ُك ِل‬
َ ‫ش ْيء‬ َّ ‫َو‬
Artinya: dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.
Makna yang terkandung dalam ayat ini dapat dipahami dengan mudah dengan melihat
penggunaan bahasa.

Selain itu, kejelasan lafal dapat dipahami menggunakan akal terdapat pada firman Allah surat
Yusuf ayat 82:
‫ِير الَّتِي أ َ ْق َب ْلنَا فِي َها‬
َ ‫َواسْأ َ ِل ْالقَ ْر َيةَ الَّتِي ُكنَّا فِي َها َو ْالع‬
Artinya:Dan tanyalah pada (penduduk negeri) yang kami berada disitu.

Apabila di perhatikan secara bahasa, ayat ini memerintahkan kepada kampung. Hal ini
tidak logi maka diperlukan dengan akal agar dapat memahaminya bahwa yang di perintahkan
sebenarnya bertanya kepada penduduk yang tinggal dikampung tersebut.

Adakala kejelasan lafal didapatkan melalui illat. Misalnya larangan mengucapkan


kata uff kepada orangtua nya dalam surah al-isra ayat 23:
‫فَ ََل تَقُ ْل لَ ُه َما أُف َو ََل ت َ ْن َه ْرهُ َما َوقُ ْل لَ ُه َما قَ ْو ًَل ك َِري ًما‬
Artinya:maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Mengucapkan kata ah kepada orang tua akan menyakitkan hatinya. Namun, mencaci
maki dan memukulnya lebih menyakitkan dari mengucapkan kata ah. Karena hal tersebut lebih
utama haramnya.

2. Al wadih bi ghairihi, yaitu mangetahui maknanya perlu dibantu dengan lafal lain

B. Dzahir dan Muawal

1. Pengertian Dzahir dan Mu’awwal

a. Pengertian Dzahir

Dzahir menurut istilah Ushul Fiqih adalah:


.‫المتردد بين أمرين هو فى احد هما اظهر‬
Artinya: “Kuragu-ragukan diantara dua perkara atau dua lafaz, sedangkan salah satunya adalah
lebih jelas.”[1]

Maksudnya adalah, suatu lafazd yang bisa diartikan dengan dua makna, tetapi tinjauan
dari segi bahasa menunjukkan bahwa salah satu maknanya, artinya lebih jelas atau lebih
menonjol pada lafaz tersebut dari pada makna lainnya.[2]

Al-Bazdawi memberikan defenisi dzhahir sebagai berikut:


‫ إسم لكل كَلم ظهر المراد به للسامع بصيغته‬.
Artinya: “Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui
bentuk lafazh itu sendiri.”[3]
Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh Al-Sarakhsi:
‫ما يعرف المراد منه بنفس السامع من غير تأمل‬.
Artinya: “Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus
dipikirkan lebih dahulu.”[4]

Dari defenisi diatas, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan dzahir itu adalah
suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa langsung mengerti apa
maksudnya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada petunjuk lain.
Hukum yang jelas itu wajib diamalkan menurut sesuatu yang tampak jelas dari padanya.
Selama tidak ada dalil yang menghendaki mengamalkan selain hukum yang tampak jelas itu.
Karena asal sesuatu itu adalah tidak memalingkan lafazh dari lahirnya, kecuali bila ada dalil
yang menghendaki hal itu. Dan bahwasannya hukum yan jelas itu juga mungkin
menerima ta’wil. Artinya memalingkan asal itu dari lahirnya, dan menghendaki arti lain dari
padanya. Maka jika yang tampak itu umum, mungkin bisa ditakhsis, dan jika mutlak, mungkin
bisa diberi ikatan dan jika hakikat, mungkin bisa terjadi bahwa yang di makssud dengan itu
adalah makna majasi. Dan takwilan yang lain-lain.

Hukum yang jelas itu bisa menerima naskh (penghapusan). Artinya bahwa hukum yang
jelas itu pada masa terutusnya Muhammad SAW. dan pada masa pembentukan hukum, sah
dinashkh, dan disyariatkan hukum baru yang menggantikannya, selama hukum itu tergolong
hukum far’iyyah al-juz’iyyah (bagian dari masalah-masalah cabang), dimana hukum-hukum itu
bisa berubah lantaran perubahan kepentingan (mashlahah) da bisa menerima naskh.

b. Pengertian Muawwal (Ta’wil)

Mu’awwal menurut kamus istilah fiqih adalah memindahkan makna lafazh (Dzahir) Al-
Qur’an kepada yang mungkin dapat diterima oleh akal dari makna harfiyahnya.

Pengertian mu’awwal dalam penggunaan istilah adalah suatu usaha untuk memahami
lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai
kandungan dari lafazh itu. Dengan kata lain, mu’awwal berarti mengartikan lafazh dengan
beberapa alternatif kandungan makna yang bukan makna lahiriyahya, bahkan penggunaan secara
masyhur kadang-kadang diidentikkan dengan tafsir.

Ta’wil menurut bahasa, artinya ialah menjelaskan sesuatu yang kembali kepadanya
sesuatu hal.[9] Firman allah dalam surat an-nisa ayat 59:

ِ َّ ‫سو َل َوأ ُ ْولِي أٱۡلَمأ ِر مِ ن ُك أم فَإِن تَنَزَ أعت ُ أم فِي ش أَيء فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬
‫ٱّلل‬ َّ ْ‫ٱّلل َوأَطِ يعُوا‬
ُ ‫ٱلر‬ َ َّ ْ‫َيَٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓواْ أَطِ يعُوا‬
٥٩ ‫يَل‬ ً ‫س ُن ت أَأ ِو‬
َ ‫ٱّلل َو أٱليَ أو ِم أٱۡلَٰٓخِ ِر ذَلِكَ خ أَير َوأ َ أح‬
ِ َّ ِ‫سو ِل إِن ُكنت ُ أم ت ُ أؤمِ نُونَ ب‬
ُ ‫ٱلر‬
َّ ‫َو‬

“yang demikian itu lebih utama (bagimu), dan lebih baik akibatnya”

Sedangkan menurut istilah ulama’ ushul, ta’wil ialah memalingkan lafazh dari zhahirnya
lantaran ada dalil. Dan termasuk sesuatu yang telah ditetapkan, yaitu bahwa asal sesuatu itu tidak
memalingkan lafazh dari zhahirnya, tidak benar, kecuali apabila didasarkan kepada
dalil syara’ yang berupa nash atau qiyas atau didasarkan kepada jiwa pembentukan hukum, atau
prinsip-prinsip umum. Apabila takwil itu tidak didasarkan atas dalil syara’ yang sahih, bahkan
didasarkan kepada hawa nafsu, tujuan-tujuan khusus, dan meguatkan sebagian pendapat, maka
takwil itu adalah tidak benar. Bahkan mrupaka permaian terhaadap undang-undang dan teksnya.
Begitu juga apabila takwil itu bertentangan dengan nash yang jelas (sahih). Atau berupa takwilan
terhadap sesuatu yang tidak dikandung oleh lafazh.

2. Bentuk-bentuk Pembentukan Hukum Dzahir dan Muawwal

a. Hukum Dzahir

Yang dimaksud dengan hukum dzahir adalah dalam hal bagaimana kita boleh atau harus
berpegang pada makna yang dzahir, dan dalam keadaan bagaimana pula kita boleh
meninggalkan arti dzahir.

Para ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakaian lafaz dzahir sebagai berikut:

.‫الظا هردليل شرعي يجب اتباعه اَل ايد ان يدل الدليل على خَل فىه‬
Artinya: “Dzahir itu adalah dalil syar’i (yang) wajib diikuti, kecuali terdapat dalil yang
menunjukkan lain daripadanya.”

Maksudnya adalah apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong pentakwilan
sesuatu lafazh, maka lafazh dzahirnyalah yang dipakai sebagai dalil dan yang wajib kita ikuti.

b. Hukum Mu’awwal

Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya dan
mengambil ketetapan hukumnya. Takwil itu mencakup berbagai kemungkinan yang berasal dari
akal, bukan bersumber dari bahasa. Takwil tidak akan ada kecuali dengan dalil.

Untuk menghindarkan dari kesalahan dalam berijtihad, juga sebagai cara meng-istimbath hukum
dari nash dengan menggunakan takwil
a. Jika arti nash itu sudah tentu mengandung hukum, jelas dan dalalahnya qath’i, maka tidak
boleh ditakwilkan dengan akal.
b. Jika arti nash yang zahir itu berarti umum, atau berarti zhanni yang tidak pasti, wajib
mengamalkan sesuai maknanya.
c. Dibolehkan mengubah arti dari yang zahir kepada arti yang lain sepanjang berdasar pada
dalil, bahkan diwajibkan untuk untuk mengompromikan berbagai nash yang saling bertentangan.

3. Implikasi Penerapan Hukum Dzahir dan Muawwal

Untuk mengetahui hukum yang tersirat di balik suatu lafaz dibutuhkan suatu pengkajian
yang menggunakan ra’yu. Di sini diperlukan daya nalar untuk mengetahui hakikat dan tujuan
suatu lafaz dalam al-Qur’an, yang memungkinkan untuk merentangkan hukum yang berlaku
dalam lafaz tersebut kepada kejadian lain yang bermunculan di balik lafaz ini dapat dilakukan
dengan beberapa cara:

Pertama, perentangan suatu lafaz kepada maksud lain dapat dilakukan dengan semata
pemahaman lafaz. Dalam ushul fiqih cara seperti ini disebut menggunakan kaidah mafhum
muwafaqah atau mafhum mukhalafah.

Bentuk kedua perentangan kepada maksud lain tidak dengan semata pemahaman lafaz
tetapi tergantung ada pemahaman alasan hukum atau illat. Cara perentangan lafaz dalam bentuk
ini disebut menggunakan kaidah qiyas.

Namun disuatu ketika untuk mewujudkan suatu kemaslahatan yang lebih banyak,
mujtahid mencoba mencairkan kaitannya kepada yang lain walaupun kaitan tersebut tidak kuat.
Hukum dari kejadian baru yang muncul, dikaitkan secara langsung kepada kejadian yang ada
kepastian hukumnya dalam nash dan kaitan itu harus jelas dan pasti serta kuat. Dalam bentuk ini
mujtahid akan menemukan hukum lain dari seandainya ia menggunakan cara qiyas yang biasa.
Cara yang ditempuh mujtahid ini dalam usul fiqih disebut dengan istilah istihsan.

Bila dianalisis hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an dapat dipahami
bahwa pada dasarnya Allah menetapkan hukum itu adalah untuk mendatangkan kemaslahatan
kepada manusia, baik dalam bentuk memberikan manfaat untuk manusia atau menghindarkan
madarat (kerusakan) dari manusia. Dengan demikian bila terdapat suatu kejadian ada maslahah
yang bersifat umum dan tidak ada dalil nash yang berbenturan dengannya maka pada asas ini
mujtahid dapat melahirkan hukum. Usaha penemuan hukum melalui cara ini dikenal dikalangan
ulama dengan nama maslahah mursalah.

Menurut pandangan Asy-Syatibi, metode penetapan hukum islam substansial, yang


bertumpu kepada makna implisit nash-nash, telah dikemukakan kedalam bentuk metode
penetapan hukum islam yaitu:
1. Al-Qiyas

2. Istihsan

3. Maslahah Mursalah

4. Sadd Zari’ah
Adapun metode penetapan hukum islam verbal merupakan metode lagsung dalam
memahami petunjuk-petunjuk dari bentuk-bentuk bahasa nash-nash hukum islam. Dan menurut
pandangan Asy-Syatibi adalaah sebaga berikut:
1. Amar dan Nahi

2. Dalalah al-Alfazh ‘Ala al-Ahkam

3. Muhkam Mutasyabih

4. Mujmal-Mubayyan

Menurut Adib Shalih, ta’wil banyak berlaku pada bidang hukum islam. Misalnya,
mena’wil-kan suatu lafal dari makna hakikat kepada makna majaz-nya, mena’wilkan lafal
mutlaq kepada pengertian muqayyad, mena’wilkan suatu bentuk perintah kepada pengertian
yang selain hukum wajib, dan memalingkan pengertian suatu larangan kepada hukum selain
haram.

Beberapa persyaratan untuk ta’wil yaitu:


1) Lafazh yang hendak dita’wil-kan itu mengandung beberapa pengertian, baik ditinjau
dari segi bahasa seperti makna hakikat, dan makna majazi-nya, atau dari segi kebiasaan orang-
orang arab dalam menggunakan lafal itu, atau dari segi penggunaan lafal itu dalam syariat islam.

2) Ada dalil atau indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh si pembicara
bukan makna zahirnya, tetapi makna yang tidak zhahir, dan dalil atau indikasi itu lebih kuat
dibandingkan dengan alasan menetapkan suatu lafal pada makna hakikatnya.

4. Contoh dan Kaidah-kaidah Dzahir dan Mu’awwal

a. Contoh Lafadz Dzahir

Firman Allah SWT:


‫ط ُن مِ نَ أٱل َم ِس ذَلِكَ ِبأَنَّ ُه أم قَالُ َٰٓواْ ِإنَّ َما أٱل َب أي ُع مِ أث ُل‬ ُ َّ‫ٱلر َبواْ ََل َيقُو ُمونَ ِإ ََّل َك َما َيقُو ُم ٱلَّذِي َيت َ َخب‬ ‫أ‬
َ ‫ش أي‬َّ ‫طهُ ٱل‬ ِ َ‫ٱلَّذِينَ َيأ ُكلُون‬
َ ‫عا د‬َ ‫ٱّلل َو َم أن‬ ِ َّ ‫ف َوأَمأ ُر َٰٓۥهُ ِإلَى‬ َ َ‫سل‬
َ ‫ظة ِمن َّر ِبِۦه فَٱنت َ َهى فَلَ ۥهُ َما‬ ِ ‫ٱّللُ أٱل َب أي َع َو َح َّر َم‬
َ ‫ٱلر َبواْ فَ َمن َجا َٰٓ َء ۥهُ َم أو ِع‬ َّ ‫ٱلر َبواْ َوأ َ َح َّل‬ ِ
َٰٓ
٢٧٥ َ‫ار ه أُم فِي َها َخ ِلدُون‬ ِ ‫فَأ ُ ْولئِكَ أصأ َحبُ ٱلن‬
َّ َ َ

Artinya: “orang-orang yang makan (mengaambil) riba tidak dapt berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka (berkata) berpendapat, sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah:
275).
Ayat ini datang, menurut konteks kalimatnya, untuk mengharamkan riba dan untuk
menjelaskan perbedaan antara riba dan jual beli. Akan tetapi, dari zhahir lafazhnya mengandung
pengertian diperbolehkannya jual beli.
Firman Allah SWT:
٢ َ‫ب فِي ِه هُ ٗدى ل أِل ُمتَّقِين‬
َ ‫ذَلِكَ أٱل ِكتَبُ ََل َر أي‬

Artinya: “Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli sama dengan riba.” (QS. Al-Baqarah: 2)

Kaidah yang berlaku disini adalah, wajib mengamalkan pengertian zhahir dari suatu ayat
atau hadis selama tidak ada dalil atau qarinah yang memalingkannya kepada pengertian yang
lain. Jika ada qarinah yang menunjukkan pengertian lain, lafal zhahir bisa dita’wil (dipalingkan
pengertian lafal itu dari maknanya yang zhahir kepada makna lain yang tidak zhahir atau tidak
cepat dapat ditangkap.

b. Contoh Lafadz Mu’awwal

Seperti lafaz “yadun” dari firman Allah yang berbunyi:


.....‫والسمأ بنينا ها بأيد‬

“Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan kami.” (QS. Adz-Dzariyaat: 47).
Lafadz )‫ (يد‬pada ayat diatas, makna dzahir –nya adalah “tangan” sebagaimana keterangan
diatas. Tetapi oleh para ulama’, lafadz )‫ (يد‬atau )‫ (ايد‬pada ayat diatas diartikan “tangan” berarti
mempersembahkan Allah dengan makhluk, sedang Allah tidak mempunyai sesuatu pun
sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
‫ليس كمثله شئ‬

“Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya”. (QS. A-s-Syura: 11).

Oleh karena itu maka ditakwil arti “tangan menjadi “kekuasaan”. Perubahan arti yang
demikianlah yang dianamakan takwil.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dzahir adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa
langsung mengerti apa maksudnya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada petunjuk
lain. Sedangkan mu’awwal berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan
makna yang bukan makna lahiriyahya, bahkan penggunaan secara masyhur kadang-kadang
diidentikkan dengan tafsir.

Hukum dzahir adalah dalam hal bagaimana kita boleh atau harus berpegang pada makna
yang dzahir, dan dalam keadaan bagaimana pula kita boleh meninggalkan arti dzahir.

Adapun syarat muawwal itu adalah sebagai berikut:


1. Lafazh yang hendak dita’wil-kan itu mengandung beberapa pengertian, baik ditinjau dari segi
bahasa seperti makna hakikat, dan makna majazi-nya,
2. Ada dalil atau indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh si pembicara bukan
makna zahirnya, tetapi makna yang tidak zhahir

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa dalil-dalil yang terkandung didalam Al-
Qur’an tidak semuanya memberikan pemahaman atau penjelasan yang jelas dan secara langsung.
Akan tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan membutuhkan ayat yang lain untuk
memahamkannya. Oleh karena banyaka ayat-ayat yang mengandung seperti mujmal dan
mubayyan. Dari beberapa definisi mujmal di atas dipahami bahwa mujmal merupakan suatu lafal
yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang menyampaikan lafal tersebut.

B. Kritik dan Saran

Sebagai manusia biasa kami menyadari bahwa dalam makalah tersebut masih terdapat
banyak kekurangan dan permasalahan, meskipun kami sudah berusaha semaksimal mungkin,
tapi itulah hasil usaha kita. Oleh karena itu, kritik dan saran pembaca yang bersifat motivasi
sangatlah kami harapkan sebagai saran buat kami untuk ke depan.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t. th.
Al-Asnawi, Jalaluddin Abd. Al-Rahim, Nihayah al-Wushul Syarh Minhaj al-Wushul, Jilid I,
Kairo: Muhammad Ali Subaih, t. th.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: PT. Sigma Examedia Arkaleema,
2009
Dahlan, Abd. Rahman Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2010.
Dahlan, Abdul Aziz,et al (Ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6, Cet. 1, Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 1996.
Haroen,Nasrun, Ushul Fiqh. Cet. 2; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hasyim Kamali, Muhammad, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, (Ushul Fiqh), alih bahasa
Noorhadi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Kamsi, “Peran Aksiologis Ushul Fiqh Dalam Konstruksi Akademis. dalam Ryanta”, dkk
(ed.).Neo
Ushul Fiqh : Menuju Ijtihad Kontekstual, Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press,2004
M. Zein, Satria Efendi, H., Ushul Fiqh, Cet. 1, Jakarta: Kencana, 2005
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Cet. III, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Sya’ban,Zakkiyal-Din, Ushul al-Fiqh al-Islamy, Mesir: Dar al-Ta’lif, 1964.

Anda mungkin juga menyukai