Anda di halaman 1dari 20

ILMU QIRA’AT

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ilmu Qira’at

Disusun Oleh:

Nailal Athiyyah

Dosen Pengampu
Anisatul Fikriyah Aprilianti S.Pd,M.Ag

PROGRAM STUDI
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AL-AKBAR SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dan tidak lupa kami haturkan
Sholawat serta salam kepada junjunan Nabi besar Muhammad SAW yang telah
mengantarkan kita ke zaman yang terang benderang.

Kami juga ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan penuh
kekurangan baik dari segi penulisan, penjelasan dan lainnya. Maka dari itu, kami
sangat memerlukan kritik ataupun saran yang sifatnya membangun dari berbagai
pihak demi menyempurnakan makalah ini dari kekurangan-kekurangan yang ada.

Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat menjadi bahan informasi dan
sumber tambahan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Tuban, 08 Mei 2023


DAFTAR ISI

COVER...............................................................................................................................

KATA PENGANTAR........................................................................................................

DAFTAR ISI.......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................

A. Latar Belakang.......................................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................................
C. Tujuan Masalah.....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................

A. Mantuq...................................................................................................................
1. Pengertian Mantuq.............................................................................................
2. Pembagian Mantuq............................................................................................
B. Mafhum..................................................................................................................
1. Pengertian Mafhum..........................................................................................
2. Pembagian Mafhum..........................................................................................

BAB III PENUTUP ...........................................................................................................

A. Kesimpulan ...........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Quran,


sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Quran tersebut tidak semuanya
memberikan arti dan pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri,
ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam
mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.

Sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an


hanya dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman
yang lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah
pembahasan tentang mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak serta
merta memberi makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir
membuat pembahasan ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks. Jika
kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan beberapa ayat yang memberikan
pemahaman secara langsung dan jelas, juga ada ayat yang maknanya tersirat di dalam
ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua memahami dan mengetahui
hukum/makna yang terdapat di dalam ayat-ayat Al-Quran, penulis akan memaparkan
sedikit penjelasan mengenai pengertian, pembagian, contoh dari mantuq dan mafhum
serta kehujahannya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan Mantuq ?


2. Berapa jenis pembagian Mantuq ?
3. Apa yang di maksud dengan Mafhum ?
4. Berapa jenis pembagian Mafhum ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk memahami maksud dari lafadz Mantuq


2. Untuk mengetahui dan memahami pembagian Mantuq
3. Untuk memahami lafadz dari Mafhum dari sebuah Nash
4. Untuk mengetahui dan memahami pembagian-pembagian dari Mafhum
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mantuq

1. Definisi Mantuq
Manthuq pada dasarnya adalah isim maf’ul yang secara bahasa berasal dari
kata nathaqa-yanthiqu-nuthqan yang berarti pembicaraan, hal ini sebagaimana
penjelasan ibnu manzur di dalam kitabnya lisan al-Arab1.

Sedangkan pengertian manthuq secara istilah adalah sebagai berikut :


sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Amidi.

‫ما فهم من داللة اللفظ قطعا فى محل النطق‬

Artinya :“Makna yang dipahami dari petunjuk lafaz secara qath’i terhadap
pembicaraan2.”
Kemudian pengertian yang dikemukakan oleh al-Juwaini:

‫متلقى من المنطوق به المصرح بذكره‬

Artinya : “Pengertian yang diperoleh dari apa yang tersurat.3”


Menurut Ibn Subki sebagaimana yang dikutip oleh Musthafa Said al-Khin,
bahwa yang dimaksud dengan mafhum adalah sebagai berikut :

‫ما دل عليه اللفظ فى محل النطق‬

Artinya : “Petunjuk suatu lafaz berdasarkan apa yang diucapkan.4”

1
Al-‘Alamah ibn Manzhur, Lisan al-‘Arabi, (Bairut: Dar aal-Fikr, t.th), Jilid 12, h. 231.
2
Syams al-Din Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Dzahabi, Sir A’lam al- Nubala’,(Bairut:
Muassasah al-Risalah, 1986), Jilid 22, h. 364.
3
Saif al-Din Abi Al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-
Ahkam, ( Bairut: Dar al-Fikr, 1996), Jilid 3, h. 46. 16
Sedangkan menurut istilah (terminologi):

 Abdul Hamid Hakim dalam kitab Mabadi Awaliyah:


Manthuq ialah mengambil pengertian dari lafazh yang di ucapkan
(yang dituliskan)5.
 Rachmat Syafe’i dalam kitab Ilmu Ushul Fiqih menjelaskan:
Arti manthuq ialah suatu lafazh bila ditinjau dari cara menunjukkan
suatu makna. Dilalah mantuq ialah petunjuk lafazh pada hukum yang
disebut oleh lafazh itu sendiri. Dilalah mantuq seperti ini mencakup
tiga dilalah yang dipakai dalam istilah Hanafiyah, yaitu ibarat, isyarat,
dan iqtida nash6
 As-Suyuthi dalam kitab al-Itqan fi ulum al-quran menerangkan:7
Maksud daripada definisi ini yakni mathuq adalah makna tersurat yang
dipahami seseorang dari sebuah ucapan.

2. Pembagian Mantuq
Para ulama’ ushul fiqih membagi manthuq kepada tiga macam; nash, zhahir
dan muawwal.
a Nash
Nash adalah suatu makna yang tegas dan tidak memungkinkan
mengandung makna yang lainnya.8 Seperti yang telah Allah firmankan di
dalamal-quran surah al-Baqarah :196

‫َوَاِتُّم وا اْلَح َّج َواْلُعْم َرَة ِلّٰل ِهۗ َف ِاْن ُاْح ِص ْر ُتْم َفَم ا اْس َتْيَس َر ِم َن اْلَه ْد ِۚي َواَل َتْح ِلُق ْو ا‬

‫ُرُءْوَس ُك ْم َح ّٰت ى َيْبُل َغ اْلَه ْد ُي َم ِح َّل هۗ َفَم ْن َك اَن ِم ْنُك ْم َّمِرْيًض ا َاْو ِبٓه َاًذى ِّمْن َّرْأِس ه‬

4
Musthafa Said al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf, h. 392
5
Abdul Hamid Hakim,Mabadi Awaliyah, Maktabah as-Sa’adiyah,Jakarta,h 20
6
Rachmat Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 2015, h 215
7
alaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi ulum al-quran,Resalah Publisher, Beirut-Lebanon, h 485
8
Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi ulum al-quran,h 485
‫َفِف ْد َي ٌة ِّمْن ِص َياٍم َاْو َص َد َقٍة َاْو ُنُس ٍك ۚ َف ِاَذٓا َاِم ْنُتْم ۗ َفَم ْن َتَم َّت َع ِب اْلُعْم َرِة ِاَلى اْلَح ِّج‬

‫َفَم ا اْس َتْيَس َر ِم َن اْلَه ْد ِۚي َفَم ْن َّلْم َيِج ْد َفِص َياُم َثٰل َث ِة َاَّي اٍم ِفى اْلَح ِّج َوَس ْبَعٍة ِاَذا‬

ۗ ‫َرَج ْعُتْم ۗ ِتْل َك َعَش َرٌة َك اِم َل ٌةۗ ٰذ ِل َك ِلَم ْن َّلْم َيُك ْن َاْه ُل ه َح اِض ِرى اْلَمْس ِج ِد اْلَح َراِم‬

‫َواَّتُقوا الّٰل َه َواْع َلُم ْٓو ا َاَّن الّٰل َه َش ِد ْيُد اْلِعَق اِب‬

Artinya: “Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh
hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang
sempurna.”
Kata “Itulah sepuluh (hari) yang sempurna” kalimat ini tidak
mengandung makna lain selain sepuluh hari seperti apa yang telah di nash di
ayat tersebut.
b. Zhahir
Zhahir ialah jika ia menunjukkan suatu makna yang kuat (rajih),
namun mengandung kemungkinan makna lain, tetapi kemungkinan ini lemah
(marjuh) maka disebutlah hal itu dengan zhahir 9. Bisa juga di artikan suatu
lafazh atau perkataan yang menunjukkan suatu makna yang segera dipahami
ketika diucapkan, namun dengan disertai dengan adanya makna lain yang
lemah.
Seperti firman Allah:

‫ِاَّنَم ا َح َّرَم َعَلْيُك ُم اْلَم ْيَتَة َوالَّد َم َو َلْح َم اْلِخ ْنِزْيِر َو َم ٓا ُاِه َّل ِبه ِلَغْيِر الّٰل ِهۚ َفَم ِن اْض ُطَّر‬
‫ِح‬ ‫ِه ِا ّٰل‬ ‫ٍد ِا‬
‫َغْيَر َباٍغ َّواَل َعا َفٓاَل ْثَم َعَلْي ۗ َّن ال َه َغُف ْوٌر َّر ْيٌم‬
Artinya: “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya),
sedangia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas.” (Q.S. Al-
Baqarah:173).

9
Manna’ Khalil al-Qattan,Mabahis Fi Ulum al-Quran, maktabah wahbah, Kairo, h 251
Lafazh pada ayat di atas mengandung dua kemungkinan, kemungkinan
yang pertama adalah lafazh berarti orang yang tidak mengerti (al- jahl),
dalam hal ini sebagai makna yang marjuh(lemah), kemungkinan yangkedua
yaitu orang yang berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri (zhalim), dalamhal
ini makna yang kedua sebagai makna yang rajih, dan makna yang
keduainilah yang lebih kuat dan jelas
c. Muawwad
Muawwal ialah yang apabila maknanya dibawa kepada makna
yanglemah (marjuh) karena adanya petunjuk tertentu, maka bisa dikatakan
sebagai ta’wil, dan makna lemah yang digunakan tadi dinamakan
muawwal.10
Firman Allah:

‫ُه َو اَّلِذ ْي َخ َلَق الَّس ٰم ٰو ِت َواَاْلْرَض ِفْي ِس َّتِة َاَّياٍم ُثَّم اْس َتٰو ى َعَلى اْلَع ْر ِۚش َيْع َلُم َم ا‬

‫ِف ۗا‬ ‫ِء‬ ‫ِم‬ ‫ِم‬ ‫ِل ِف‬


‫َي ُج ى اَاْلْرِض َو َم ا َيْخ ُرُج ْنَه ا َو َم ا َيْن ِزُل َن الَّس َم ۤا َو َم ا َيْع ُرُج ْيَه َو ُه َو‬
‫ُك َا ا ُك ْۗم الّٰل ِب ا ُل َن ِص ٌۗر‬
‫َمَع ْم ْيَن َم ْنُت َو ُه َم َتْع َم ْو َب ْي‬
Artinya:“Dia bersama kalian di mana pun kalian berada”(Q.S. Al-
Hadiid: 4)
Maksud daripada ayat ini tidak bisa dikatakan secara kasat mata
bahwa “kebersamaan” itu adalah kebersamaan dalam kedekatan secara dzat,
maka makna “kebersamaan” ini di alihkan maknanya pada “kekuasaan, ilmu,
penjagaan”.
d. Dalalah Iqtidha
Keakuratan pemaknaan sebuah lafazh ….. terkadang bergantung
kepada makna yang tidak disebutkan atau jika kebenaran dalalah (petunjuk)

10
Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi ulum al-quran, h 485
suatu lafazh tergantung pada yang tersembunyi, itulah yang disebut sebagai
dalalah iqtidha.11
Firman Allah:

‫َاَّياًم ا َّمْع ُد ْو ٰد ٍۗت َفَم ْن َك اَن ِم ْنُك ْم َّمِرْيًض ا َاْو َعٰل ى َس َف ٍر َفِع َّد ٌة ِّمْن َاَّي اٍم ُاَخ َر ۗ َو َعَلى‬

‫اَّلِذ ْيَن ُيِط ْيُقْو َنه ِفْد َيٌة َطَع اُم ِم ْس ِكْيٍۗن َفَم ْن َتَط َّوَع َخ ْيًرا َفُه َو َخ ْيٌر َّل هۗ َوَاْن َتُص ْوُمْو ا‬

‫َخ ْيٌر َّلُك ْم ِاْن ُك ْنُتْم َتْع َلُمْو َن‬


Artinya: “Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan
(lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yangdia tidak
berpuasa itu) pada hari-hari yang lain”.(Q.S. Al-Baqarah: 184).
Pada ayat ini memerlukan lafazh (lalu ia berbuka maka)karena
kewajiban qadha puasa bagi musafir itu ialah ketika ia berbuka di dalam
perjalanannya, apabila ia tidak berbuka atau tetap melakukan puasa maka
baginya tidak ada kewajiban untuk mengganti puasanya.
Di ayat yang lainnya Allah berfirman:12

‫َو ْس َٔـِل اْلَق ْر َيَة اَّلِتْي ُك َّنا ِفْيَه ا َواْلِعْيَر اَّلِتْٓي َاْقَبْلَنا ِفْيَه ۗا َوِاَّنا َلٰص ِد ُقْو َن‬
Artinya:“Dan tanyakanlah pada desa” (Q.S. Yusuf: 82). Maksud desa
di sini ialah “penduduknya”
e. Dalalah Isyarah
Dalalah isyarah adalah apabila kebenaran dalalah tidak bergantung
kepada sesuatu yang tersembunyi, dan lafazh menunjukkan suatu makna yang
tidak dimaksud pada awalnya.
Seperti apa yang Allah firmankan:

11
Manna’ Khalil al-Qattan,Mabahis Fi Ulum al-Quran, h 251-252
12
Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi ulum al-quran, h 485-486
ۗ ‫ُاِح َّل َلُك ْم َلْيَل َة الِّص َياِم ال *َّرَفُث ِاٰلى ِنَس ۤإِىُك ْم ۗ ُه َّن ِلَب اٌس َّلُك ْم َوَاْنُتْم ِلَب اٌس َّلُه َّن‬
‫ِل ّٰل‬
‫َع َم ال ُه َاَّنُك ْم ُك ْنُتْم َتْخ َت اُنْو َن َاْنُف َس ُك ْم َفَت اَب َعَلْيُك ْم َو َعَف ا َعْنُك ْم ۚ َفاْلٰٔـ َن‬

‫َباِش ُرْو ُه َّن َواْبَتُغ ْو ا َم ا َك َتَب الّٰل ُه َلُك ْم ۗ َوُك ُل ْو ا َواْش َرُبْو ا َح ّٰت ى َيَتَبَّيَن َلُك ُم اْلَخ ْي ُط‬

‫اَاْلْبَيُض ِم َن اْلَخ ْي ِط اَاْلْس َو ِد ِم َن اْلَف ْج ِۖر ُثَّم َاِتُّم وا الِّص َياَم ِاَلى اَّلْيِۚل َواَل ُتَباِش ُرْو ُه َّن‬

‫َوَاْنُتْم َعاِكُف ْو َۙن ِفى اْلَم ٰس ِج ِد ۗ ِتْلَك ُح ُد ْو ُد الّٰل ِه َفاَل َتْق َرُبْو َه ۗا َك ٰذ ِلَك ُيَبِّيُن الّٰل ُه ٰاٰيِت ٖه‬

‫ِللَّناِس َلَعَّلُه ْم َيَّتُقْو َن‬


Artinya: “Dihalalkan bagi kalian bercampur dengan istri-istri kalian
pada malam hari bulan puasa.”(Q.S. Al-Baqarah: 187).
Ayat ini menerangkan bahwasanya sah berpuasa bagi orang yang pagi-
paginya masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan
“bercampur” hingga dengan fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk
mandi. Keadaan demikian mengakibatkan peluang seseorang memasuki waktu
pagidalam keadaan junub.13

13
Manna’ Khalil al-Qattan,Mabahis Fi Ulum al-Quran, h 252
B. Definisi Mafhum
Pengertian Mafhum ditinjau dari segi bahasa berasal dari asal kata… yang
berarti….. (memberi pemahaman, paham di pahami).14 Sedangkan mafhum ditinjau
dari segi istilah di antaranya :
Petunjuk lafazh terhadap hukum suatu hal yang tak disebutkan di dalam
redaksi lafazh tersebut.
Mafhum terbagi menjadi dua bagian, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah.
1. Mafhum Muwafaqah

Pengertian mafhum muwafaqah menurut beberapa redaksi adalah:

Petunjuk lafazh akan berlakunya suatu hukum bagi hal yang


tak di sebutkan dalam redaksi lafazh karena ada kesamaan illat hukum antara
keduanya atau dalil yang hukumnya sama dengan hukum manthuq.

Dan mafhum muwafaqah terbagi kedalam dua bagian, yaitu:

a) Apabila lebih Utama (......)


Yaitu sebab yang dijatuhkan lebih tinggi daripada perkara yang ada di
dalam manthuq (tersurat). Dan contoh yang berkaitan dengan hal ini ialah
firman Allah didalam surah al-Isra ayat 23 yang berbunyi :

Artinya: dan tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan


menyembah selain dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu dan bapak. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai kepada usia lanjut
dalam pemeliharaanmu maka janganlah sekali-kali engkau mengucapkan

14
Luis Ma’luf Al-yussu’i dan Bernard Tottel,Munjid , (Berut, Darul Masriq, 2008) h 597
kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan engkau membentak keduanya,
dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.

Dapat kita lihat pada kata.......yang berarti kan “janganlah


kamu berkataah”. Dalil ini telah menunjukkan adanya larangan atau
pengharaman berkata “ah”, kepada orang tua karena di dalamnya (perkataan
ah) perkataan atau ucapan dapat menimbulkan rasa sakit “al-Adza” pada
kedua orang tua. Maka kesimpulan dari nash ini bahwasanya dalil ini
menunjukan pula pengharaman memukul, mencaci, dan tidak memberi makan
mereka berdua atau lainnya.Terlebih lagi dalam perkara ini lebih
menimbulkan rasa sakit dari pada berkata “ah”. Maka di karenakan perkara ini
asyaddu atau lebih utama jadi hukum pada perkara ini sama seperti perkataan
atau mengungkapkan “ah”, bahkan hukum pada perkara tersirat ini (yang
tidak disebutkan di dalam nash) lebih utama daripada perkara yang disebutkan
di dalam nash tersebut.

Contoh lain dapat kita perhatikan di dalam kehidupan sehari hari ialah
ungkapan yang dapat kita lihat di setiap SPBU yang menyatakan larangan
“dilarang merokok di area ini”, karena secara tidak langsung dilarang juga
membakar sampah di area tersebut, karna membakar sampah lebih utama
daripada membakar atau menghidupkan rokok.

b) Setara atau sama (.......)


Yaitu ketetapan hukum perkara yang ada sama seperti perkara yang
ada di dalam lafazh tersurat “manthuq” dalam sebuah nash. Contoh yang
berkaitan dengan masalah ini ialah firman Allah dalam surah an- Nisa ayat 10
yangberbunyi :
Artinya:Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Dalam ayat di atas menegaskan pengharaman memakan harta anak
yatim, karna itu adalah sebuah kezaliman dan menghilangkan haknya, maka
mafhum yang kita dapat membakar atau setiap cara yang bertujuan untuk
menghabiskan harta anak yatim sama haramnya sebagaimana hartanya
memakan harta anak yatim.

2. Mafhum Mukhalafah

Mafhum mukhalafah ialah

Petunjuk lafazh akan tidak berlakunya suatu hukum bagi hal


yang tak di sebutkan dalam redaksi lafazh atau dalil yang menyelisihi hukum
pada dalil manthuq.15

Contoh hadis Nabi SAW sebagai berikut :

Artinya: segala pinjaman (pinjam-meminjam) di dalamnya bertambah


manfaat maka itu riba.
Secara jelas atau manthuqnya riba haram hukumnya sebagaimana yang
Allah tegaskan di dalam surah al-Baqarah Ayat yang berbunyi:

Artinya: Dan telah dihalalkan jual beli dan diharamkan riba.

15
Habibi Sembiring,Mudzakkiratu fi usul al-Fiqh, (Medan, Ar-raudhatul Hasanah :2006),h 161.
Maka mafhum yang kita dapat dari sabda nabi yang berbunyi ………
ialah pembolehan pinjam meminjam yang di dalamnya tidak ada unsur riba,
karna riba hukumnya haram. Mafhum mukhalafh terbagi menjadi beberapa
bagian, yaitu :
a. Sifat (…….)
Maksud dengan sifat di sini ialah sifat manawiyah16 sesuai dengan
lafazh, seperti contoh firman Allah dalam Surah al- Hujrat ayat 6 yang
berbunyi :

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Mafhum yang kita dapat dengan adanya penyebutan kata sifat
fasik di dalam ayat tersebut ialah bahwasanya selain orang fasik tidak wajib
bagi kita meneliti kabar yang dibawa, dalam artian kata juga bahwasanya
wajib menerima kabardari orang yang memiliki sifat adil atau amanah.
Contoh lain dari redaksi hadisialah sabda Nabi SAW yang berbunyi:

"Segala yang memabukkan adalah khamar, dan setiap khamar


hukumnya haram".
Mafhum yang kita dapat ialah bahwasanya sesuatu yang tidak
unsur sifat memabukkan halal, seperti air susu, air sirop atau air bening yang
dikonsumsi manusia pada umumnya.
b. Syarat (…….)
Maksudnya ialah menetapkan suatu hukum yang bergantung pada
syaratsebagaimana firman Allah dalam surat at- Thalaq ayat 6 yang berbunyi :

16
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Quran, (maktabah wahbah, kiro), h 246
Artinya: Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu
bertempat tinggalmenurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untukmenyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang
sudah ditalaq)itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga merekabersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu
untukmu makaberikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di
antara kamu(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan
maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Ayat di atas memberikan penjelasan kepada kita anjuran atau
perintahuntuk memberikan nafkah kepada mereka para istri-istri yang mereka
talakdengan syarat istri-istri yang mereka talak dalam keadaan hamil
(mengandunganak dari laki-laki yang menalaknya).
Jadi, dapat kita ambil mafhumnya yang dapat kita ambil dari nash
di atas ialah para suami tidak wajib memberikannafkah kepada mereka para
istri-istri yang di talak jika mereka tidak dalam keadaan hamil.
c. Batasan (……)
Ghayah secara bahasa berarti kan tujuan atau batasan. Jadi, yang
dimaksud dengan mafhum al-Ghayah yaitu menetapkan hukum yang berada
di luar tujuan, nash bila nash tersebut terdapat tujuan atau batasan. Contoh
yang dapat kita ambil ialahsurah al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:

Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa


bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu
pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi
maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang
telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa
itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu,
sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah
kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia, supaya mereka bertakwa.
Maka telah jelas pada ayat di atas secara mantuq nya atas
kebolehannya (ibahah) makan dan minum di malam hari bagi mereka yang
melaksanakan ibadah puasa pada bulan ramadhan dari terbenamnya matahari
hingga terbitnya fajar. Dan dari ayat atau nash di atas dapat kita pahami juga
secara mafhum nya pengharaman makan dan minum setelah tujuan atau
batasan ini, yaitu Thuluu’I al-Fajr.
Contoh lain dapat kita simak pada ayat berikut: Pada redaksi ayat
atau nash diatas terdapat kata ila yang mana kata ila dapat kita pahami dengan
makna atau arti sampai, sehingga kata siku adalah batasan akhir membasuh
tangan yang dianjurkan dan harus menjadi bagian yang di basuh berdasarkan
dalil secara manthuq di atas. Jadi mafhum yang dapat kita ambil dari ayat
tersebut bahwasannya membasuh tangan lebih dari siku-sikutidaklah wajib,
berkenaan apakah hukumnya perbedaan ulama dalam menetapkan hukum
pada hal membasuh tangan lebih dari siku-siku ini.
d. Mafhum al-Hashri
Hashr (…..) atau ikhtishash (….) dalam ilmu balaghah sering
disebut dengan al-Qashr (…..) berasal dari kata ……. yang berarti
membatasi, melarang, mengepung dan mencegah. Sedangkan secara istilah
hashr atau qashr di definisikan sebagai berikut:

Artinya: “menghususkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan


cara tertentu.”17
Atau,

17
Endang Baihaqie,Ringkasan Ilmu Al-Bayan, Al-Ma’any dan Al-Badi’ (Jatinangor, CV.Semiotika: 2015),
h 66.
Artinya, “menetapkan hukum suatu perkara yang disebut dan
menafikan/tidakmenetapkan apa-apa yang menyalahi hukum tersebut.”
Contoh yang berkaitang dengan mafhum al-Hasr ialah: Firman
Allah dalam surah al-Fatihah ayat 5 yang berbunyi

Artinya :Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada


Engkaulah kami meminta pertolongan.
Secara manthuq ayat ini menunjukkan kepada kita untuk
mengesakan Allah dalam beribadah dan memohon pertolongan, dan
mafhumnya ialah sesungguhnya selain daripada Allah tidak boleh di ibadah
(disembah) dan bergantung memohon pertolongan kepadanya.18

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari berbagai pembahasan yang telah kami paparkan diatas dapat
disimpulkan bahwasannya: Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang
diucapkan”,sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah yang
18
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulumi al-Quran, h 246.
ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri.Manthuq sendiri terbagi
menjadi nash, zahir dalalah iqtidha,dalalah isyarah dan mu’awwal. Sedangkan
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks,
sedangkan menurut istilah adalah “ pengertian tersirat dari suatu lafal
(mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang
diucapkan (mafhum mukhalafah).Mafhum dapat dibagi kepada dua macam,
yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Dalam mafhum
muwafaqah terdapat (fahwal khitab dan lahnal khitab). Sedangkan dalam
Mafhum mukhalafat terdapat (mafhum as-Syurut, al-Ghayah, al-Shifah dan
al-Hashri).
Mantuq dan mafhum muwafaqah dapat dijadikan sebagai hujjah,
namun untuk mafhum mukhalafah terdapat pengecualian. Yaitu apabila makna
mafhum bertentangan dengan lafadz atau syariat lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

As-Suyuthi, Jalaluddin,Al-Itqan fi ulum al-quran,Resalah Publisher,Beirut-


Lebanon
Baihaqie, Endang, Ringkasan Ilmu Al-Bayan, Al-Ma’any dan Al-Badi’
(Jatinangor, CV. Semiotika: 2015)
Hamid Hakim, Abdul,Mabadi Awaliyah, Maktabah as-Sa’adiyah,Jakarta
Khalil al-Qattan,Manna’, Mabahis Fi Ulum al-Quran, maktabah wahbah,
Kairo
Ma’luf Al-yussu’i, Luis, dan Tottel, Bernard, Munjid , (Berut, DarulMasriq,
2008)
Sembiring, Habibi, Mudzakkiratu fi usul al-Fiqh, (M edan, Ar-
raudhatulHasanah :2006)
Syafe’i, Rachmat,Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung
Warson Munawwir, Ahmad, AlMunawwir, Penerbit Pustaka Progressif,
Yogyakarta, 1984

Anda mungkin juga menyukai