Anda di halaman 1dari 23

KAIDAH USHULIYAH (MANTHUQ DAN MAFHUM, DZAHIR

DAN MUAWWAL, NASAKH, MURADIF DAN MUSTARAK)


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Dr. M. Rojun, M.Ag

Disusun Oleh:
Isti Hidayah (2103003947)
Salma Mardiyah (2103004023)
Wafa Nur Awamirillah (2103004030)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM CIAMIS
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan kita berbagai
macam nikmat, sehingga aktivitas hidup yang kita jalani akan selalu membawa
keberkahan, baik kehidupan di alam dunia ini, lebih lagi pada kehidupan akhirat
kelak, sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih
mudah dan penuh manfaat.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen serta teman-teman sekalian yang
telah membantu, baik bantuan berupa moril maupun materil, sehingga makalah ini
terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan. Penyusun menyadari sekali, di
dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta banyak
kekurangan, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal pengkonsolidasian
kepada dosen serta teman-teman sekalian, yang kadangkala hanya menturuti
egoisme pribadi, untuk itu besar harapan penyusun jika ada kritik dan saran yang
membangun untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah mudah-mudahan apa
yang penyusun susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta
orang lain yang ingin mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambil
hikmah dari judul “Kaidah Ushuliyah (Manthuq dan Mafhum, Dzahir dan
Muawwal, Nasakh, Muradif dan Mustarak)” sebagai tambahan dalam menambah
referensi yang telah ada.

Ciamis, 14 November 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................

DAFTAR ISI...........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................

B. Rumusan Masalah.......................................................................................

C. Tujuan Makalah...........................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Manthuq dan Mafhum..................................................................................

B. Dzahir dan Muawwal...................................................................................

C. Nasakh........................................................................................................

D. Muradif dan Mustarak................................................................................

BAB III PENUTUP

Kesimpulan.....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung didalam
Al-Quran, sebenarnya dari semua ayat yang didalam Al-Quran
tersebut tidak semuanya memberikan arti dan pemahaman yang jelas
terhadap kita. Jika kita ingin telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat
yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang
tersimpan dalam ayat tersebut. Sebagai sumber hukum islam, tidak dibenarkan
jika memahami Al-Quran hanya dengan mengandalkan pemahaman teks
belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang lebih dari sekedar teks.
Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah pembahasan tentang
Manthuq dan mafhum, Dzahir dan Mu’awwal, Nasakh, Muradif
dan ,Musytarak. Mengingat teks Al-Quran tidak serta merta memberi makna
yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir membuat pembahsan
ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks. Jika kita meneliti
ayat-ayat Al-Quran, kita temukan beberapa ayat yang memberikan
pemahaman secara langsung dan jelas, juga ada ayat yang maknanya
tersirat dalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua
memahami dan mengetahui hukum atau makna yang terdapat dalam
ayat-ayat Al-Quran, penyusun akan memaparkan pengertian, pembagian
dari Manthuq dan Mafhum, Dzahir dan Mu’awwal, Nasakh, Muradif dan
Musytarak.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Manthuq dan Mafhum?
2. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Dzahir dan Muawwal?
3. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Nasakh?
4. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Muradif dan Mustarak?

iii
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui kaidah-kaidah apa saja yang berkaitan dengan
Manthuq dan Mafhum.
2. Untuk mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Dzahir dan
Muawwal.
3. Untuk mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dangan Nasakh.
4. Untuk mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Muradif dan
Mustarak.

iv
v
BAB II
PEMBAHASAN
A. Manthuq dan Mafhum
1. Manthuq
Manthuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”,
sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah atau makna yang
ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri.
Pada dasarnya manthuq itu dibedakan berupa nash dan zahir.
Kalangan ulama Syafi’iyah, dilâlah lafal nash dibagi kepada dua macam,
yaitu dilâlat al-mantûq dan dilâlat al-mafhûm. Yang dimaksud dengan
dilalat al-mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum
(pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung
oleh lafal. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah
suatu ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal
nash secara tekstual.
Sebagai contoh dapat dilihat pada QS. An-Nisa’ (4): 23:
‫َّٰل‬
‫ُحِّر َم ْت َع َلْيُك ْم ُأَّم َٰه ُتُك ْم َو َبَن اُتُك ْم َو َأَخ َٰو ُتُك ْم َو َع َّٰم ُتُك ْم َو َٰخ َٰل ُتُك ْم َو َبَن اُت ٱَأْلِخ َو َبَن اُت ٱُأْلْخ ِت َو ُأَّم َٰه ُتُك ُم ٱ ِتٓى َأْر َض ْعَنُك ْم‬
‫َو َأَخ َٰو ُتُك م ِّم َن ٱلَّر َٰض َعِة َو ُأَّم َٰه ُت ِنَس ٓاِئُك ْم َو َر َٰٓبِئُبُك ُم ٱَّٰل ِتى ِفى ُحُج و ُك م ِّم ن ِّنَس ٓاِئُك م ٱَّٰل ِتى َد َخ ْلُتم ِهَّن َف ن َّلْم َتُك وُن و۟ا‬
‫ِإ‬ ‫ِب‬ ‫ِر‬
‫َٰل‬ ‫َٰٓل‬
‫َد َخ ْلُتم ِبِهَّن َفاَل ُجَناَح َع َلْيُك ْم َو َح ِئُل َأْبَنٓاِئُك ُم ٱَّلِذ يَن ِم ْن َأْص ِبُك ْم َو َأن َتْج َم ُع و۟ا َبْيَن ٱُأْلْخ َتْيِن ِإاَّل َم ا َق ْد َس َلَف ۗ ِإَّن ٱَهَّلل‬
‫َك اَن َغ ُفوًرا َّر ِح يًم ا‬
“… Diharamkan bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang berada
dalam asuhan kamu dari istri-istri yang telah kamu gauli…”. Berdasarkan
ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah menunjukkan secara jelas
bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami
dari istri-istri yang sudah digauli. Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua
macam, yaitu mantûq sarih dan mantuq gairu sharih.
a. Manthûq Sarih
Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan mantûq sharih
ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung
tercakup dalam ungkapan lafal nash. Manthuq syarih dalam istilah
ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang di istilah kandungan dilalah

1
ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah. Pada dasarnya mantuq ada
yang berupa nash dan zahir:
 Nash adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan
makna yang secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan
makna lain. Seperti firman Allah Swt dalam Surat Al-Baqarah: 196
‫َفَم ن َّلْم َيِج ْد َفِصَياُم َثَٰل َثِة َأَّياٍم ِفى ٱْلَح ِّج َو َس ْبَعٍة ِإَذ ا َر َج ْع ُتْم‬...
“Maka wajib berpuasa 3 hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang
sempurna.” Tujuan utama dari manthuq nash ialah kemandirian
dalam menunjukkan makna secara pasti.
 Zahir adalah suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang
segera dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan
makna lain yang lemah. Seperti firman Allah Swt dalam QS. Al-
Baqarah: 173
‫ِإَّنَم ا َح َّر َم َع َلْيُك ُم ٱْلَم ْيَتَة َو ٱلَّد َم َو َلْح َم ٱْلِخ نِزيِر َو َم ٓا ُأِهَّل ِبِهۦ ِلَغْيِر ٱِهَّللۖ َفَمِن ٱْض ُطَّر َغْيَر َباٍغ َو اَل‬
‫َعاٍد َفٓاَل ِإْثَم َع َلْيِهۚ ِإَّن ٱَهَّلل َغ ُفوٌر َّر ِح يٌم‬
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas. Maka
tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
b. Mantûq Ghairu Sarih
Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas.
Dan terbagi menjadi 3 macam:
 Dalalat al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan
langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya
karena memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut
suatu sifat atau peristiwa. Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad
dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw.

2
bersabda: Barang siapa yang menghidupkan (mulai mengelolah)
tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR.
At-Tirmidzi) Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum
melalui manthuq-nya seperti yang jelas tertulis, juga melalui
dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas menghidupkan
tanah mati itulah yang menjadi illat-nya bagi pemilikan
tanah untuknya.
 Dalalat al-Isyarah adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh
suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi
merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang
ditunjukkan oleh redaksi itu. Contohnya dalam surat Al-Luqman
ayat 14:
‫َو َو َّصْيَنا ٱِإْل نَٰس َن ِبَٰو ِلَد ْيِه َح َم َلْتُه ُأُّم ۥُه َو ْهًنا َع َلٰى َو ْهٍن َوِفَٰص ُل ۥُه ِفى َعاَم ْيِن َأِن ٱْشُك ْر ِلى َو ِلَٰو ِلَد ْيَك‬
‫ِإَلَّى ٱْلَم ِص يُر‬
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya
dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun”.
 Dalalat al-Iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara
tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa
dipahami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan: “Dari Abu
Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya
Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan
keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah). Hadits tersebut secara jelas
menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan
dari umat Muhammad Saw. Pengertian tersebut sudah jelas tidak
lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan
maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa)
atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits
menjadi: “diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum)
perbuatan tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan”.

3
2. Mafhum
Secara bahasa Mafhum adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks,
sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal
(mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian
lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah”. Tegasnya, dilālat al-
mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum
yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.
Contohnya Q.S al-Isra’ ayat 23:
‫َو َقَض ٰى َر ُّبَك َأاَّل َتْعُبُد ٓو ۟ا ِإٓاَّل ِإَّياُه َو ِبٱْلَٰو ِلَد ْيِن ِإْح َٰس ًناۚ ِإَّم ا َيْبُلَغَّن ِع نَدَك ٱْلِكَبَر َأَح ُدُهَم ٓا َأْو ِكاَل ُهَم ا َفاَل َتُقل‬
‫َّلُهَم ٓا ُأٍّف َو اَل َتْنَهْر ُهَم ا َو ُقل َّلُهَم ا َقْو اًل َك ِر يًم ا‬
“Jangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan
“uf” dan janganlah kamu membentak keduanya”.Hukum yang tersurat
dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar“uf” dan
menghardik orang tua”.
Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum
yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu
haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan
mafhum mukhalafah.
a. Mafhum Muwafaqah
Adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum
yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis,
dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis
karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum
muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum
yang tertulis. Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:
 Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama
hukumnyadaripada yang diucapkan. Contohnya firman Allah swt
dalam QS. Al-Isra’ ayat 23: “Janganlah kamu mengatakan kata-
kata keji kepada dua orang ibu bapakmu.”. Sedangkan kata-kata keji
saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.

4
 Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya
dengan yang diucapkan. Seperti firman Allah swt Suroh Annisa:10
‫ِإَّن ٱَّلِذ يَن َيْأُك ُلوَن َأْم َٰو َل ٱْلَيَٰت َم ٰى ُظْلًم ا ِإَّنَم ا َيْأُك ُلوَن ِفى ُبُطوِنِه ْم َناًراۖ َو َسَيْص َلْو َن َسِع يًرا‬
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda
anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam
perut mereka”. Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta
anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim,
yang berarti dilarang (haram).
b. Mafhum Mukhalafah
Adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik
dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh
karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi
lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah Swt pada QS. Al-
Jum’ah ayat 9:
‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ۟ا ِإَذ ا ُنوِدَى ِللَّص َلٰو ِة ِم ن َيْو ِم ٱْلُج ُمَعِة َفٱْس َع ْو ۟ا ِإَلٰى ِذ ْك ِر ٱِهَّلل َو َذ ُرو۟ا ٱْلَبْيَع ۚ َٰذ ِلُك ْم َخْيٌر‬
‫َّلُك ْم ِإن ُك نُتْم َتْع َلُم وَن‬
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari
jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual
beli.” Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at
sebelum adzansi mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat”.
Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi:
 Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat)
Adalah petunjuk yang dibatasioleh sifat, menghubungkan
hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Dalam mafhum sifat
terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan
‘adad (bilangan).
Misalnya pada sabda Rasulullah saw.: “para binatang yang
digembalakan itu ada kewajiban zakat”Mafhum mukhalafahnya
adalah binatang yang diberi makan, bukan yang
digembalakan”. Mafhum sifat ada 3 macam:
a. Mustaq dalam ayat.

5
Contohnya dalam QS. Al-Hujarat ayat 6: “Hai orang-
orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-
orang fasiqmembawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.” Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’
ialah orang yang tidak wajib ditellitiberitanya. Ini berarti
bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang adilwajib
diterima
b. Hal (keterangan keadaan)
Seperti fiman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95: “Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang
buruan,ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa
diantara kamu membunuhnya dengansengaja, maka
dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak
seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan
dua orang yang adil diantarakamu sebagai had-yad yang
dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar
kaffarat dengan memberi makanan orang-orang miskin atau
berpuasa seimbangdengan makanan yang dikeluarkan itu,
supaya dia merasakan akibat buruk dariperbuatannya. Allah
telah memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa yang
kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya,
Allah Maha Kuasalagi mempunyai (kekuasaan untuk)
menyiksa.”.
Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang
membunuhnya karena tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja”
dengan kewajiban membayar denda dalam pembunuhan
binatang buruan tidak sengaja.
c. ‘Adad (bilangan)

6
Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam
bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats,
berbuat fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji dan apa yang kamu kerjakan berupa
kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan
bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”
Mafhum-nya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu
tidak syah.
 Mafhum Illat
Adalah menghubungkan hukum sesuatu karena illatnya.
Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
 Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir)
Adalah lafal yang menunjukkan hukum sampai pada
ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya
dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti dalam firman Allah Swt
dalam surat Al-Maidah ayat 6: “bila kamu hendak nmengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”.
Mafhum mukhalafah-nya adalah membasuh tangan sampai kepada
siku.
 Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan)
Adalah menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil.
Seperti firman Allah SWT: “Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu.” Mafhum mukhalafahnya adalah selain
para ibu.
 Mafhum hasr
Adalah pembatasan. Seperti dalam firman Allah Swt.: “Hanya
Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada
Engkaulah kamimeminta pertolongan.” Mafhum mukhalafah-nya
adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai

7
pertolongan. Oleh karrena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa
hanya Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.
 Mafhum syarat
Adalah petunjuk lafadz yang memberi faedah adanya hukum yang
dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang
sebaliknya. Seperti dalam surat Al-Thalaq ayat 6: “...Dan jika
mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil,
makaberikanlah kepada mererka nafkahnya.” Mafhum
mukhalafahnya adalah istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil,
tidak wajib diberi nafkah.
B. Dzahir dan Muawwal
1. Pengertian Dzahir
Dzahir menurut istilah Ushul Fiqih adalah: Artinya: “Keragu-
raguan diantara dua perkara atau dua lafadz, sedangkan salah satunya
adalah lebih jelas.” Maksudnya adalah, suatu lafazd yang bisa diartikan
dengan dua makna, tetapi tinjauan dari segi bahasa menunjukkan bahwa
salah satu maknanya, artinya lebih jelas atau lebih menonjol pada lafadz
tersebut dari pada makna lainnya.
Al-Bazdawi memberikan defenisi dzhahir sebagai berikut. Artinya:
“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya
bagi pendengar, melalui bentuk lafazh itu sendiri.” Definisi yang lebih
jelas dikemukakan oleh Al-Sarakhsi. Artinya: “Sesuatu yang dapat
diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan
lebih dahulu.” Dari defenisi diatas, dapat kita ketahui bahwa yang
dimaksud dengan dzahir itu adalah suatu lafadz yang dengan
mendengarkan lafadz itu pendengar bisa langsung mengerti apa
maksudnya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada
petunjuk lain.
2. Pengertian Mu’awwal
Mu’awwal menurut kamus istilah fiqih adalah
memindahkan makna lafadz (Dzahir) Al-Quran kepada yang mungkin
dapat diterima oleh akal dari makna harfiyahnya. Pengertian mu’awwal

8
dalam penggunaan istilah adalah suatu usaha untuk memahami
lafadz-lafadz (ayat-ayat) Al-Quran melalui pendekatan memahami
arti atau maksud sebagai kandungan dari lafadz itu. Dengan kata lain,
mu’awwal berarti mengartikan lafadz dengan beberapa alternatif
kandungan makna yang bukan makna lahiriyahnya, bahkan
penggunaan secara masyhur kadang-kadang diidentikkan dengan
tafsir.
3. Bentuk-bentuk Pembentukan Hukum Dzahir dan Muawwal
a. Hukum Dzahir
Yang dimaksud dengan hukum dzahir adalah dalam hal bagaimana
kita boleh atau harus berpegang pada makna yang dzahir, dan dalam
keadaan bagaimana pula kita boleh meninggalkan arti dzahir.
Para ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakaian lafadz
dzahir sebagai berikut. Artinya: “Dzahir itu adalah dalil syar’i (yang)
wajib diikuti, kecuali terdapat dalilyang menunjukkan lain
daripadanya.” Maksudnya adalah apabila tidak terdapat alasan
yang kuat untuk mendorong pentakwilan sesuatu lafadz, maka
lafadz dzahirnya lah yang dipakai sebagai dalil dan yang wajib kita
ikuti.
b. Hukum Mu’awwal
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai konteks
bahasanya dan mengambil ketetapan hukumnya. Takwil itu
mencakup berbagai kemungkinan yang berasal dari akal, bukan
bersumber dari bahasa. Takwil tidak akan ada kecuali dengan
dalil. Untuk menghindarkan dari kesalahan dalam berijtihad, juga
sebagai cara meng-istinbath hukum dari nash dengan menggunakan
takwil.
 Jika arti nash itu sudah tentu mengandung hukum, jelas dan
dalalahnya qath’i, maka tidak boleh ditakwilkan dengan akal.
 Jika arti nash yang dzahir itu berarti umum, atau berarti zhanni
yang tidak pasti, wajib mengamalkan sesuai maknanya.

9
 Dibolehkan mengubah arti dari yang dzahir kepada arti yang
lain sepanjang berdasar pada dalil, bahkan diwajibkan untuk untuk
mengompromikan berbagai nash yang saling bertentangan.
4. Contoh dan Kaidah-kaidah Dzahir dan Mu’awwal
a. Contoh Lafadz Dzahir, Firman Allah SWT:
‫ٱَّلِذ يَن َيْأُك ُلوَن ٱلِّر َبٰو ۟ا اَل َيُقوُم وَن ِإاَّل َك َم ا َيُقوُم ٱَّلِذ ى َيَتَخَّبُطُه ٱلَّشْيَٰط ُن ِم َن ٱْلَم ِّس ۚ َٰذ ِلَك ِب َأَّنُهْم َق اُلٓو ۟ا ِإَّنَم ا ٱْلَبْي ُع ِم ْث ُل‬
‫ٱلِّر َبٰو ۟ا ۗ َو َأَح َّل ٱُهَّلل ٱْلَبْيَع َو َح َّر َم ٱلِّر َبٰو ۟ا ۚ َفَم ن َج ٓاَء ۥُه َم ْو ِع َظٌة ِّم ن َّرِّبِهۦ َفٱنَتَهٰى َفَل ۥُه َم ا َس َلَف َو َأْم ُر ٓۥُه ِإَلى ٱِهَّللۖ َو َم ْن َع اَد‬
‫َٰٓل‬
‫َفُأ۟و ِئَك َأْص َٰح ُب ٱلَّناِر ۖ ُهْم ِفيَها َٰخ ِلُد وَن‬
“orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdirimelainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran penyakitgila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka (berkata)berpendapat, sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telahmenghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275). Ayat ini
datang, menurut konteks kalimatnya, untuk mengharamkan riba
danuntuk menjelaskan perbedaan antara riba dan jual beli. Akan tetapi,
dari dzhahir lafadznya mengandung pengertian diperbolehkannya jual
beli.
b. Contoh Lafadz Mu’awwal
Seperti lafadz “yadun” dari firman Allah yang berbunyi: “Dan
langit itu kami bangun dengan kekuasaan kami.” (QS. Adz-Dzariyaat:
47). Oleh karena itu maka ditakwil arti “tangan” menjadi “kekuasaan”.
Perubahan arti yang demikianlah yang dianamakan takwil.
C. Nasakh
Di dalam beberapa hukum Islam pada prinsipnya terdapat beberapa istilah
nasakh yang menunjukkan arti membatalkan, menghapuskan atau menyalin.
Adapun menurut istilah nasakh ini merupakan membatalkan sesuatu
hukum dengan dalil yang datang kemudian. Dan dari hal itu bahwa hukum
yang dibatalkan disebut dengan mansukh. Sedangkan di dalam hukum
yang bisa membatalkan disebut dengan nasikh. Jadi dapat dikatakan bahwa
nasikh ini memiliki arti yang menghapus, sedangkan mansukh memiliki arti
yang dihapus.

10
Contohnya: Jika mendapat sebuah cahaya matahari, yang mana akan
menghapuskan suatu bayangan. Terlihat bahwa bayangan itu dapat hilang
karena tergantikan oleh datangnya cahaya matahari. Adapun nasikh-
mansukh yang saling berkaitan dengan ilmu fiqih yaitu pencabutan
suatu undang-undang atau perintah serta penggantinya dengan yang
sebaliknya. Dalam Al-Quran dan Sunnah terdapat suatu perintah yang sifatnya
sementara, yang dimaksud sementara disini bahwa setelah masa itu turun
perintah yang berbeda, yang lafadznya membatalkan perintah yang
pertama. Adanya pemberian penegasan yang sama atau pemberian
penjelasan terhadap makna yang dibawa Allah Swt, telah ditegaskan
bahwasannya Al-Quran hanya bisa dihapuskan oleh Al-Quran itu sendiri,
serta Sunnah Nabi tidak dapat menggantikan ketentuan Al-Quran
karena Sunnah tersebut yang seharusnya mengikuti Al-Quran. Di dalam firman
QS. Yunus: 15
‫ ُقْل َم ا َيُك وُن ِلٓى َأْن ُأَبِّد َل ۥُه ِم ن ِتْلَقٓاِئ َنْفِس ٓى ۖ ِإْن َأَّتِبُع ِإاَّل َم ا ُيوَح ٰٓى ِإَلَّى‬...
“Tiadalah patut bagiku untuk menggantikan dengan kemauanku sendiri”
merupakan hujjah bahwa Alquran tidak dapat dinasakh kecuali dengan Al-
Quran”. Hanya Allah Swt yang berhak mengahapuskan dan mengganti lalu
menetapkan segala apa yang Dia Kehendaki, karena Allah sumber dan pemula
bagi segala perintah. Demikian pula dengan ketentuan mengenai Sunnah
Rasul. Tiada yang bisa dibatalkan melainkan dengan Sunnah Rasul juga.
Apabila suatu Sunnah Rasul di-nasakh oleh Al-Quran, sunnah yang lain
harus ditetapkan oleh Nabi yang memperjelas adanya sunnah yang
sebelumnya telah di-nasakh oleh sunnah Nabi yang terakhir itu. Sehingga
tegaklah bahwa suatu ketentuan dapat di-nasakh hanya oleh ketentuan lain
yang sederajat atau lebih.
Sebagai satu contoh dari pencabutan suatu perintah oleh penggantinya
yaitu berupa hadist Nabi Muhammad SAW: “Dulu aku melarang kalian
berziarah ke kuburan, maka sekarang (larang itu akuTarik) beriarah ke
kuburan.” (Hadist shahih riwayat Muslim). Dengan adanya hadis yang terkait
tersebut merupakan menjadi salah satu bukti bahwa nasikh dan mansukh itu
sudah diakui keberadaannya.

11
D. Muradif dan Musytarak
1. Definisi Muradif
Muradif memiliki pengertian bahwa muradif merupakan beberapa
lafadz yang menunjukkan pengertian yang sama. Misalnya: lafadz
hinthotun dan qomhun yang memiliki arti gandum. Kata muradif yang
terdapat dalam bahasa memiliki arti kata yang searti atau yang serupa,
sedangkan muradif secara istilah adalah lafadz yang mempunyai
bentuk lafadz yang banyak, akan tetapi pengertiannya sama (sinonim).
Sepert lafadz Al-Insan dan Al-Basyar yang berarti manusia.
Arti muradif menurut bahasa yaitu membonceng atau ikut serta.
Muradif yang dimaksudkan oleh ahli ushul fiqih yakni beberapa
lafadz terpakai untuk satu makna. Contoh: Al-Asadu dan Al-Laitsu yang
artinya singa. Ad-Daaru dan Al-Munzilu dan Al-Baitu yaitu berarti rumah.
Dari keterangan diatas, telah dijelaskan kepada kita bahwa dua, tiga atau
beberapa lafadz yang memiliki satu makna dinamakan sebagai lafadz
muradif.
2. Hukum Muradif
Maksud dari hukum muradif disini yaitu tentang munculnya
persoalan yang dikarenakan adanya lafadz-lafadz muradif, dalam hal
ini, para ulama mempersoalkan tentang hukumnya. Semisal apakah
boleh satu lafadz diganti dengan lafadz lain yang memiliki makna
sama. Seperti lafadz Al-Asadu diganti dengan lafadz Al-Laitsu.
Pada umumnya para ulama berpendirian bahwa bacaan Al-Quran
yang memiliki sifat Ta’abudi, tidak boleh diganti dengan lafadz.
Muradif-nya dikarenakan Al-Quran dan seluruh lafadznya mengandung
mukjizat, sedangkan muradif satu lafadz dalam Al-Quran bukan
merupakan teks Al-Quran yang dengan sendirinya tidak mengandung
mukjizat.
Sehubungan dengan permasalahan muradif ada juga perselisihan
pendapat para ulama dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam masalah
dzikir. Dalam masalah dzikir menurut golongan yang membenarkan
muradif dengan memberikan dua syarat yang harus dipenuhi yaitu:

12
a. Diperbolehkan menggunakan lafadz muradif, bila penggantian lafadz
muradif tersebut tidak mendapat halangan dari agama, baik secara jelas
maupun samar-samar.
b. Diperbolehkan menggunakan lafadz muradif, jika penggantian lafadz
boleh digunakan lafadz muradif-nya itu berasal dari satu
bahasa, yakni sama-sama bahasa Arab. Misalnya: Hukum lafadz
muradif ini memiliki perbedaan pendapat dari para ulama’, apakah dua
lafadz atau lebih yang memiliki arti sama bisa digantikan
dalam pemakaiannya atau tidak. Berkenaan dengan masalah ini, para
ulama mempunyai argumen yang berbeda-beda. Ada yang
memperbolehkan namun ada juga yang tidak memperbolehkan. Akan
tetapi untuk argumen yang kuat memperbolehkan selama tidak
terdapat halangan syar’i. Pembolehan ini dibatasi pada lafadz-lafadz
yang terdapat selain di Al-Quran. Sementara para ulama menyepakati
bahwa didalam Alquran dua lafadz atau lebih yang memiliki
makna sama tidak boleh dipertukarkan dalam pemakaiannya.
Sedangkan jika berkaitan dengan lafadz muradif yang terdapat dzikir-
dzikir dalam shalat terdapat perbedaan pendapat antar para ulama.
Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan
membaca takbir selain dengan lafadz Allahu Akbar, sementara
Imam Abu Hanifah mengatakan jika diperbolehkannya takbir
dengan lafadz yang memiliki arti sama dengan Allahu Akbar, misalnya
Allah A’dham atau Allah A’la.
3. Definisi Mustarak
Mustarak merupakan satu lafadz yang memiliki pengartian
lebih dari satu. Mustarak yaitu lafadz yang mengandung banyak arti
yang sesungguhnya, namun arti-arti tersebut tidak sama atau berbeda. Para
Ulama’ ushul mengemukakan definisi musytarak di antaranya yang
memiliki arti “Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang
berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam
bahasa tersebut”. Lalu dikemukakan pula oleh Muhammad Abu Zahrah
dalam kitabnya Ushul Fiqih yang memiliki makna “Satu lafadz yang

13
menunjukkan lebih dari satu makna yangberbeda-beda batasannya
dengan jalan bergantian”.
Seperti lafadz yadun digunakan untuk dua arti, yakni
tangan kiri atau tangan kanan. Dari pengertian tersebut bisa diambil
pemahaman bahwa hakikat lafadz mustarak itu, tidak bisa dijadikan
sebagai suatu alat yang digunakan untuk menunjukkan pada salah
satu arti tertentu dari arti-arti lafadznya, selama tidak ada qorinah
(indikasi) yang menjelaskannya. Secara bahasa, mustarak memiliki arti
berserikat, berkumpul.
Dalam ushul fiqih mustarak yang dimaksudkan yakni lafadz yang
dibentuk untuk dua arti atau lebih yang berbeda-beda. Sebagai contoh
misalnya lafadz Quruu’ yang terdapat dalam firman Allah QS. Al-Baqarah
ayat 228 yang maksudnya “wanita-wanita yang ditalaq,
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Quru’”. Dalam ayat
tersebut lafadz quru’ yang mana quru’ sendiri menurut orang Arab
memiliki dua makna. Pertama, dengan arti “haid”. Kedua, degan arti
“suci”. Jadi masing-masing lafadz yang memiliki pengartian lebih
dari satu sebagaimana lafadz quru’ dan lainnya, dinamakan lafadz
musytarak.
4. Hukum Mustarak
Hukum mustarak di sini maksudnya yaitu tentang diperbolehkan
atau tidakny amemakai lafadz mustarak. Berkaitan dengan hal ini terjadi
perselisihan pendapat arti tunduk. Dalam ayat tersebut ditujukan kepada
manusia dan makhluk yang tidak berakal misalnya buah, langit,
bumi dan sebagainya. Selain itu, terdapat pula ulama yang memiliki
anggapan bahwa digunakannya lafadz mustarak dua makna atau lebih
itu tidak diperbolehkan. Dalam hukum lafadz mustarak jika terdapat
lafadz mustarak yang tidak memiliki penjelasan maknanya, padahal
yang dikehendaki yaitu salah satu artinya. Maka lafadz yang mustarak itu
di tinggalkan, adapun yang menyebabkan hal ini yaitu karena tidak
mungkin kita dapat beramal selain dengan cara mengetahui maksud
dari lafadz yang sesungguhnya. Maka dari itu masing-masing

14
lafadz mustarak yang terdapat dalam nash baik Al-Quran ataupun sunnah
harus di sertai dengan qorinah, baik qorinah qauliyah ataupun haliyah
(keadaan).

BAB III

KESIMPULAN

Mantuq adalah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu
sendiri. Mafhum, sesuatu yang ditunjuk oleh lafal, tetapi bukan dari ucapan
lafalitu sendiri. Jadi mantuq, adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal di
tempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh
lafal tidak ditempat pembicaraan.

Dzahir adalah lafal yang menunjukkan makna secara langsung


tanpa memerlukan penyerta lain untuk memahami maksud lafal itu dan
memungkinkanadanya takhsis maupun takwil. Sedangkan muawwal adalah lafal
yang dikeluarkan dari makna dzahirnya pada makna lain yang menghendakiny

15
aberdasarkan bukti yang menunjukkan demikian, serta memungkinkan adanya
rajih.

Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqih adalah


pembatalan-pemberlakuan hukum syar'i dengan dalil yang datang
belakangan dari hukuman sebelumnya, yang menunjukkan pembatalannya
baik secara terang-terangan atau secara kandungannya saja, baik
pembatalan secara umum atau untuk pembatalan sebagian saja karena
suatu kemaslahatan yang menghendakinya.

Muradif ialah lafalnya banyak sedang artinya sama (sinonim). Seperti lafal
asad dan allaits (artinya singa). Sedangkan Musytarak, ialah suatu lafal yang
mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti tersebut berbeda-beda.

DAFTAR PUSTAKA

Sya’ban, 1965. Ushul al-Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Ta’lif.

Zuhaili, 1986. Ushul al-Fiqh al-Islam, Jilid I. Damaskus: Dar al-Fikr.

Syarifuddin, 2001. Ushul Fiqh, Jilid II. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.

Tim penyusun Mkd, 2011. Studi Al-Quran. Surabaya: IAIN SA Press.

Djalil, 2010. Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Syafe’i, 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Jumantoro, Amin. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah.

Anwar, 2007. Ulum Al-Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia.

16
Berutu, 2008. Skripsi: Teori Nasikh Mansukh Imam As-Syafi’i dan Relevansinya
dalam Pembaharuan Fiqih di Indonesia. Malang: UIN Malang.

17

Anda mungkin juga menyukai