Anda di halaman 1dari 25

SUMBER HUKUM ISLAM

Pembahasan sumber-sumber Syariat Islam, termasuk masalah


pokok (ushul) karena dari sumber-sumber itulah terpancar seluruh
hukum/syariat Islam. Oleh karenanya untuk menetapkan sumber
syariat Islam harus berdasarkan ketetapan yang qath’i (pasti)
kebenarannya, bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni).
Allah SWT berfirman:
ْ َ َ َ َْ َ ُ َْ َ َ
‫س لك ِب ِه ِعل نم‬ ‫وَل تقف ما لي‬

“(Dan) janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai


ilmu tentangnya.” (QS. Al-Israa: 36)

ً َ ْ ْ َ َّ َّ َ ًّ َ َّ ُ َ ْ َ َّ
‫َو َما َيت ِب ُع أ ك ُيه ْم ِإَل ظنا إن الظ َّن َل ُيغ ِ ِ يت ِم َن ال َح ِّق ش ْيئا‬

“(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan


belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna
untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus: 36)

Masalah ini termasuk masalah pokok (ushul), sebab menjadi


dasar bagi seorang Muslim untuk menarik keyakinan atas hukum-
hukum amaliahnya. Apabila landasan suatu hukum sudah salah, maka
seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya menjadi salah pula.
Oleh sebab itu menetapkan sumber syariat Islam tidak dapat dilakukan
berdasarkan persangkaan ataupun dengan dugaan belaka.

109
Berdasarkan pengertian di atas maka yang memenuhi syarat
untuk digunakan sebagai sumber pengambilan dalil-dalil syar’i adalah
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Shahabat dan Qiyas (yang mempunyai
persamaan illat syar’i).

A. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalamullah yang merupakan mukjizat, yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang disampaikan secara
mutawatir, dan membacanya adalah ibadah.56

Al-Qur’an diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang


artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak semenjak dari generasi
shahabat ke generasinya selanjutnya secara berjamaah. Jadi apa yang
diriwayatkan oleh orang per orang tidak dapat dikatakan sebagai Al-
Qur’an. Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam
telah berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi
realitas sejarah dan pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk
tuduhan yang mereka lontarkan. Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan
ciptaan manusia, bukan karangan Muhammad saw ataupun saduran
dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an tetap menjadi mu’jizat
sekaligus sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam
sepanjang masa dan sebagai sumber segala sumber hukum bagi setiap
bentuk kehidupan manusia di dunia.

1. Kehujjahan Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia, serta hukum-
hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang
wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq, yang
diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi
sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan
bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang

56
Dr Muhammad Ali Al-Hasan, Al Manar fi ‘Ulum Al-Quran
110
mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru.
Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi
Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa
ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun. Allah SWT
berfirman:

ْ َ ُْ َ ْ ‫نس َو ْالج ُّن َع ََل َأن َي ْأ ُت ْوا ب ِم ْثل َه َـذا ْال ُق‬ُ ‫اج َت َم َع ِت اْل‬ ِ ِ ‫ُقل َّل‬
‫آن َل َيأتون ِب ِمث ِل ِه‬
ِ ‫ر‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫ي‬
َ ُ َ َ َ
‫َول ْو كان َب ْعض ُه ْم ِل َب ْعض ظ ِه ًيا‬

“Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan manusia apabila


berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an ini. Pasti
mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sekalian yang lain.” (QS. Al-
Israa: 88)

ْ َّ ُ ُ ْ ُ َّ َ ُ ُ َ َّ َ َّ ْ ُ َّ َ ْ ُ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َّ َ
‫اس َوال ِح َج َارة أ ِعدت‬ ‫ف ِإن لم تفعلوا ولن تفعلوا فاتقوا النار ال ِ يت وقودها الن‬
َ ‫ل ْل َكافر‬
‫ين‬ ِ ِ
“(Dan) apabila kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang
kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah
satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an, dan ajaklah penolong-
penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang benar.” (QS. Al-
Baqarah: 23)

Cukup kiranya pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang


Quraisy di masa Rasulullah saw, seorang ahli syair yang tak tertandingi,
yang menjadi musuh nabi pada awalnya berkata:

“Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an itu terdapat sesuatu yang lezat,


dan pula keindahannya, apabila di bawah menyuburkan dan apabila

111
di atas menghasilkan buah. Dan manusia tidak akan mungkin
mampu berucap seperti Al-Qur’an.”57

Selain dari bahasanya, isi Al-Qur’an sekaligus menjadi hujjah


atas kebenarannya. Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin
memasuki Makkah dengan aman (QS. Al-Fath), juga tentang akan
menangnya pasukan Romawi atas Parsi (QS. Ar-Ruum) dan
sebagainya. Selain isi Al-Qur’an menunjukkan tentang kejadian sejarah
terdahulu yang sesuai dengan fakta, atau kisah tentang sebagian Iptek,
misalnya penyerbukan oleh lebah, terkawinkannya bunga-bunga oleh
bantuan angin dan sebagainya. Yang pada akhirnya terbukti
kebenarannya. Semua itu menunjukkan bahwa Al-Qur’an memang
bukan datang dari manusia melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta
dan Pengatur Alam Semesta. Karenanya memang sudah menjadi
kelayakan bahkan keharusan untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai
landasan kehidupan dan hukum manusia. (Lihat juga pembuktian
kesahihan Al-Qur’an pada materi “Proses Keimanan”)

2. Al Muhkamat dan Al Mutasyabihat


Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang dalam kategori
muhkamat dan mutasyabihat sebagaimana firman Allah SWT:

َُ َ ْ ُّ ُ َّ ُ ‫ُ َ َّ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ ُ َ ن ُّ ْ َ َ ن‬
‫اب َوأخ ُر‬
ِ ‫هو ال ِذي أنزل عليك ال ِكتاب ِمنه آيات محكمات هن أم ال ِك‬
‫ت‬
‫ن‬ َ َ
‫ُمتش ِاب َهات‬

“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepadamu, di


antaranya (isinya) ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-
Qur’an dan lainnya (ayat-ayat) Mutasyabihat.” (QS. Ali Imran: 7)

57
Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyyah
112
Ayat muhkamat adalah yang tampak maknanya dan tersingkap
maknanya, sehingga (bisa) menghilangkan kemungkinan lain.58
Sedangkan ayat mutasyabihat adalah mengandung lebih dari satu
makna.59

Keberadaan dan sifat Allah, terdapatnya surga dan neraka,


kejadian hari kiamat, diutusnya para rasul dan nabi, para malaikat dan
tugas-tugasnya, kesemuanya dijelaskan melalui ayat-ayat yang
muhkamat. Termasuk dalam ayat-ayat muhkamat adalah haramnya
riba dan zina dalam segala bentuknya, wajibnya hukum potong tangan
bagi pencuri (dengan syarat tertentu), wajibnya terikat dengan
hukum-hukum Allah dan sebagainya.

Sedangkan ayat-ayat yang mutasyabihat banyak terdapat pada


ayat yang berbicara tentang mu’amalah seperti QS. Al Baqarah 228
(lafadz quru’ mempunyai dua arti, yaitu arti haid dan suci), dan QS. Al
Baqarah 237 (lafadz yang memegang ikatan nikah ada dua pengertian,
bisa suami atau wali dari pihak istri).

3. Tafsir Al-Qur’an
Tafsir adalah menjelaskan sesuatu yang diinginkan (yang
dimaksud) oleh lafadz.60 Misalnya firman Allah SWT ‘laa raiba fiihi’
(tidak ada keraguan di dalamnya) dijelaskan dengan lafadz lain “laa
syakka fiihi” (tidak ada kebimbangan di dalamnya). Tafsir Al-Qur’an
merupakan penjelasan makna kata demi kata dalam susunan
kalimatnya serta makna susunan kalimat sebagaimana adanya.
Terkadang suatu ayat dijelaskan oleh ayat lainnya (tafsir ayat bi al-
ayat) atau oleh hadits Rasulullah saw tentang suatu ayat (tafsir bi as-

58
Atha Bin Khalil Taisir Al-Wushul ila Al-Wushul
59
Ibid
60
Taqiyuddin An-Nabhani, Syakhshiyyah Islamiyyah Juz 1
113
sunnah), atau penjelasan para shahabat dan ahli ilmu terhadap suatu
ayat.

Penjelasan kata-kata dan susunannya itu terbatas hanya dalam


bahasa Arab, sama sekali tidak boleh ditafsirkan dalam bahasa lain.
Selain menurut kenyataannya Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa
Arab yang paling baik dan murni, tidak ada jalan lain dalam memahami
Al-Qur’an melalui bahasa yang lain.

Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa tidak hanya bisa


ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’an itu sendiri yaitu bahasa Arab.

Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak


boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT, maka tidak ada
alternatif lain bagi kita melainkan berusaha semakimal mungkin
memahami Al-Qur’an, menghayati dan mengkaji isinya sebagaimana
yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri.
ْ َْ َ َ ََ
‫َوكذ ِلك أ َنزلن ُاه ُحك ًما َع َر ِب ًّيا‬

“(Dan) Demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qur’an itu sebagai


peraturan yang benar dalam bahasa Arab.” (QS. Ar-Ra’du: 37)

Sesungguhnya kelalaian ummat dalam mengkaji dan


menghayati isi kandungan Al-Qur’an menyebabkan ketidakakraban
dengan Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa ummat sedang berjalan
menuju garis yang berada di luar jalur ketentuan Allah SWT.

Hendaknya disadari bahwa melakukan kajian terhadap isi


kandungan Al-Qur’an menuntut persyaratan-persyaratan tertentu.
Disamping menuntut keikhlasan dan kesucian niat juga membutuhkan
penguasaan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemahaman Al-Qur’an.
Apabila persyaratan itu tidak terpenuhi, maka dapat menimbulkan
pemahaman yang keliru dan merugikan. Walaupun begitu,
114
terpenuhinya persyaratan ini pun tidaklah mutlak menjamin
kebenaran hasil suatu kajian, namun begitu haruslah berusaha
semaksimal mungkin untuk mendekati kebenaran yang dimaksud Al-
Qur’an.

Juga harus disadari bahwa pengkajian dan pemahaman


terhadap Al-Qur’an bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya
merupakan ‘jembatan’ untuk mengakrabkan diri dengan Al-Qur’an.
Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-
nilai Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian
maka apa yang kita lakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan
oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’an hanya dari segi ilmu,
bukan untuk diterapkan.

B. As-Sunnah
Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan /
persetujuan / diamnya) terhadap sesuatu perkataan atau perbuatan
yang datang dari Rasulullah saw.61 Sunnah merupakan sumber syariat
Islam yang nilai kebenarannya sama dengan Al-Qur’an karena
sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu. Firman Allah SWT:

)4(‫وَح‬ ‫)إ ْن ُه َو إ ََّّل َو ْ ن‬3(‫نط ُق َعن ْال َه َوى‬


َ ‫َح ُي‬ َ َ َ
ِ ‫وما ي‬
‫ي‬ ِ ِ
“(Dan) Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)

Makna ayat di atas bahwanya apa yang disampaikan Rasulullah


saw (Al-Qur’an dan As-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah
SWT, bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya.
Sebagaimana firman Allah SWT:

61
Atha Bin Khalil, Taisil Al-Wushul ila Al-Wushul
115
َ َ ُ َ َّ ُ َّ َ ْ ُ
‫وَح ِإ ي ََّل‬ ‫ ِإن أت ِبع ِإَل ما ي‬... ‫قل‬

“(Katakanlah Muhammad) ...aku tidak mengikuti kecuali apa yang


diwahyukan kepadaku.” (QS. Al-An’am 50)

Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah saw tidak melakukan


suatu tindakan kecuali berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan agar
manusia mengikuti apa yang disampaikannya.

Al-Qur’an telah menegaskan bahwa selain dari Al-Qur’an,


Rasulullah saw juga menerima wahyu yang lain, yaitu Al Hikmah yang
pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan, perbuatan
atau pun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna
As-Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 164, QS. Al-Jumu’ah:
3, dan QS. Al-Ahzab: 34.

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami dan diyakini bahwa


kehujjahan As-Sunnah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat
pasti (qath’i) kebenarannya; sebagaimana Al-Qur’an itu sendiri.

Adapun mengenai fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an dapat


diuraikan sebagai berikut:

1. Menguraikan Kemujmalan (keumuman) Al-Qur’an.


Mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya
(dalalah/penunjukannya).62 Misalnya perintah shalat, membayar
zakat dan menunaikan haji. Al-Qur’an hanya menjelaskannya
secara global, tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian
Sunnah secara terperinci menerangkan tata cara pelaksanaan
shalat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang

62
Dr Muhammad Ali Al-Hasan, Al Manar fi ‘Ulum Al-Quran
116
berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang
lain.

Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama besar dari Andalusia pada
masa Abbasiyah menjelaskan:

“Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat ungkapan yang


seandainya tidak ada penjelasan lain, maka kita tidak mungkin
melaksanakannya. Dalam hal ini rujukan kita hanya kepada
Sunnah Nabi saw. Adapun ijma’ hanya terdapat dalam kasus-kasus
tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib
kembali kepada Sunnah.”63

2. Pengkhususan Keumuman Al-Qur’an.


Umum (‘aam) ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu
makna yang pantas bagi lafal tersebut tanpa adanya batasan.64
Misalnya ‘al-muslimun’ (orang-orang Islam), ‘ar-rijaalu’ (orang-
orang laki-laki) dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an itu terdapat
banyak lafadz yang bermakna umum kemudian Sunnah
mengkhususkan keumumannya Al-Qur’an tersebut. Misalnya
firman Allah SWT:

ُ ِّ َ ُ ْ َ َّ ْ ُ َ ْ َ ِ ُ ‫ُ ُ ه‬
ِ ْ ‫األ َنث َي‬ ُ
‫ي‬ ‫وصيكم اّٰلل ِ يف أوَل ِدكم ِللذكر ِمث ل حظ‬
ِ ‫ي‬

“Allah mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang


anak laki-laki adalah dua bagian dari anak perempuan.” (QS. An-
Nisaa: 11)

Menurut ayat tersebut di atas, setiap anak secara umum


berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Jadi setiap anak

63
Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam
64
Manna Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an
117
adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang
mengkhususkannya. Sabda Rasulullah saw:

‫َ َ ن‬ َْ َ ُ َ ُ َ
‫ورث َما ت َركنا َصدقة‬ ‫َّل ن‬

“Kami tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan


adalah sedekah.” (HR. Bukhari)65

ُ َ َْ
‫الق ِات ُل َّل َيرث‬

“Seorang pembunuh tidak mendapat warisan.” (HR Ibnu Majah)66

Menurut hadits di atas Nabi tidak meninggalkan warisan bagi


anak-anaknya serta melarang seorang anak yang membunuh
ayahnya mendapat warisan dari ayahnya.

3. Taqyid (Pensyaratan) terhadap ayat Al-Qur’an yang mutlak


Mutlak ialah sesuatu yang menunjukan hakikat tanpa
keterikatan,67 misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain.
Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak
(tanpa memberi persyaratan). Misalnya:

َ ْ َ ْ َ ُ َ َّ َ ُ َّ َ
‫السارقة فاقط ُعوا أ ْي ِد َي ُه َما‬‫والسارق و‬
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah
kamu potong tangan (keduanya).” (QS. Al-Maidah: 38)

Ayat ini berlaku mutlak pada setiap pencurian (baik besar


maupun kecil). Kemudian Sunnah memberikan persyaratan nilai

65
Shahih Bukhari no 3729
66
Sunan Ibnu Majah no 2635
67
Manna Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an
118
barang curian itu sebanyak seperempat dinar emas ke atas. Sabda
Rasulullah saw:

َ َ ََْ ُ َ َ ْ َ َ َ ِّ َ ْ
‫يما ه َو أد ِن ِم ْن ذ ِلك‬‫اقط ُعوا ِ ِ يف ُر ُب ـع الدينار َوَّل تقط ُعوا ِف‬

“Potonglah dalam pencurian seharga seperempat dinar dan


janganlah dipotong yang kurang dari itu.” (HR Ahmad)68

Begitu pula halnya dengan batas pemotongan tangan bagi


pencuri (sebagimana ayat 38 Surat Al- Maidah), yaitu pada
pergelangan tangan dan bukan dari tempat lainnya, sebagaimana
yang dicontohkan Rasulullah SAW.

4. Pelengkap Keterangan Sebagian dari Hukum-Hukum.


Peranan Sunnah yang lain adalah untuk memperkuat dan
menetapkan apa yang telah tercantum dalam Al-Qur’an disamping
melengkapi sebagian cabang-cabang hukum yang asalnya dari Al-
Qur’an. Al-Qur’an menegaskan tentang pengharaman
memperisteri dua orang sekaligus.

َ ‫ي َإ ََّل َما َق ْد َس َل‬ ُ َِ ْ َ ْ ُ َ ْ َ َ َ


ِ ْ ‫األ ْخ َت‬
‫ف‬ ‫وأن تجمعوا بي‬

“(Dan diharamkan bagimu) menghimpun (dalam perkawinan) dua


perempuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau.” (QS. An-Nisaa’: 23)

Di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan tentang haramnya


seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita saudara ibu,
atau anak perempuan dari saudara laki-laki istri (kemenakan).
Sunnah menjelaskan mengenai hal ini melalui sabda Nabi:

68
Musnad Imam Ahmad no 23374
119
َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ
‫نَه َع ْن أ ْر َب ـع ِن ْس َو ٍة ُي ْج َم ُع َب ْين ُه َّن ال َم ْرأ ِة َو َع َّم ِت َها َوال َم ْرأ ِة َوخال ِت َها‬

“melarang dari empat orang wanita digabungkan, yaitu seorang


wanita dan saudara wanita ayahnya serta seorang wanita dan
saudara wanita ibunya.” (HR. An Nasa’i)69

5. Sunnah Menetapkan Hukum-hukum Baru, yang tidak terdapat


dalam Al-Qur’an.
Sunnah juga berfungsi menetapkan hukum-hukum yang baru
yang tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan bukan merupakan
penjabaran dari nash yang sudah ada dalam Al-Qur’an, akan tetapi
merupakan aturan-aturan baru yang hanya terdapat dalam
Sunnah. Misalnya, diharamkannya ‘keledai jinak’ untuk dimakan,
setiap binatang yang bertaring, dan setiap burung yang bercakar.
Begitu pula tentang keharaman memungut pajak (bea cukai),
penarikan hak milik atas tanah pertanian yang selama tiga tahun
berturut-turut tidak dikelola, maka diambil oleh negara, tidak
bolehnya individu memiliki kepentingan umum seperti air, rumput,
api, minyak bumi, tambang emas, perak, besi, sungai, laut, tempat
penggembalaan ternak dan lain-lain.

Demikian antara lain ketentuan tambahan (penyempurnaan)


yang dilakukan Rasulullah saw. Maka sikap seorang Muslim
terhadap hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

ُ ُ َ َ ُ ُ َ َ َّ ‫ي إ َذا ُد ُعوا إ ََل‬


َِ ْ ُ ْ َ ْ َ َ َ َ َّ
‫ول ِه ِل َي ْحك َم َب ْين ُه ْم أن َيقولوا‬
ِ ‫اّٰلل ورس‬
ِ ِ ْ ِ ‫ِإنما كان َقول الم ُؤ ِ َم ِن‬
َ ْ ُ َ َ َ َ
‫َس ِم ْعنا َوأط ْعنا َوأ ْول ِئك ه ُم ال ُمف ِل ُح ون‬

“Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak kepada


Allah dan Rasul-Nya supaya Dia memberikan ketentuan hukum
diantara mereka, tidak lain hanya mengatakan: Kami mendengar

69
Sunan An Nasai’ no 3239
120
dan Kami mematuhinya. Mereka itulah orang-orang yang
berbahagia.” (QS. An-Nur: 51)

Penggunaan nash As-Sunnah untuk masalah aqidah haruslah


nash yang bersifat qath’i, karena tidak boleh adanya keraguan
sedikitpun dalam masalah aqidah/i’tiqadiyah.70 Sedangkan untuk
masalah hukum/syari’ah masih dapat digunakan nash As-Sunnah yang
mencapai derajat dzanni (prasangkakuat atas kebenarannya). Hal ini
karena dalam masalah Syari’ah tidak diharuskan suatu keyakinan yang
pasti terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan sumber amaliah
tersebut (bukan sumber untuk masalah i’tiqadiyah).

C. Ijma’ Shahabat
Lafadz ijma’ menurut bahasa bisa berarti tekad yang konsisten
tehadap sesuatu atau kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu
perkara. Sedangkan menurut istilah adalah kesepakatan para sahabat
tentang hukum suatu perkara, bahwa hukum tersebut merupakan
hukum syariah.71

Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan


‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil
syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’
ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul halli wal aqdi,
ijma’ shahabat atau sebagainya.

Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil


syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai
pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai
sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini
adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah saw.

70
Taqiyuddin An-Nabhani, Syakhshiyyah Islamiyyah Juz 1
71
Taqiyudin An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur Juz 1
121
1. Alasan Ijma’ Shahabat Dijadikan Sumber Hukum Islam
Dari segi mungkin tidaknya ‘seluruh orang yang berijma’
berkumpul, saling mengetahui ijma’ dan dapat mengkoreksi bila
diketahui kesalahannya, maka hal ini hanya mungkin terjadi pada masa
shahabat, tidak pada masa selain mereka. Sebagai contoh, ijma’
ulama. Maka untuk terwujudnya ijma’ ulama, haruslah diperjelas
‘siapa saja ulama’ itu; apakah ulama yang sudah sering digunakan
untuk ‘membuat hukum pesanan’ juga termasuk di dalamnya? Akan
pasti benarkah ijma’ mereka tersebut? Benarkah semua ‘ulama’ tadi
mengetahui dan menyetujui ijma’ tersebut? Tidak adakah yang
selanjutnya menarik atau membatalkan ijma’nya tadi sampai ia
meninggal? Dan mungkinkah para ulama (seluruh kaum Muslimin di
seluruh dunia) mampu berkumpul bersama membahas suatu masalah
baru? Masih banyak yang tidak bisa terjawab selain oleh para
shahabat, padahal semua hal tadi merupakan syarat sahnya sebuah
ijma’ oleh suatu kelompok. Karena ketidakmungkinan itulah, Imam
Ahmad bin Hambal pernah menyatakan bahwa suatu kebohongan
besar bila ada yang mengatakan mampu terwujud ijma’ setelah masa
shahabat. Dan karena ketidakmungkinan itu pula yang pada akhirnya
muncul istilah ‘jumhur ulama’; artinya kebanyakan ulama berijtihad
dengan hasil serupa terhadap suatu masalah. Jumhur berbeda dengan
ijma’.

Banyaknya pujian kepada para Shahabat secara jama’ah, baik


tercantum dalam Al-Qur’an maupun hadits (keduanya dalil yang qath’i
kebenarannya). Seperti tercantum dalam QS. Al-Fath: 29, QS. At-
Taubah: 100, QS. Al Hasyr: 8. Begitu pula sabda Rasulullah saw:

“Sesungguhnya aku telah memilih para shahabat-ku atas segenap


makhluk, selain para nabi.” (HR Thabari)72

72
Ath-Thabari, Jami' al-Bayan 'An Ta'wil Ayi al-Quran
122
“Para shahabatku itu ibarat bintang pada siapapun (di antara mereka)
kalian turuti, maka akan mendapatkan petunjuk.” (HR Ibnu Abdil Barr)

Petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat


menunjukkan suatu kepastian tentang kebenaran dan kejujuran
mereka (sebagai suatu jama’ah, bukan secara pribadi-pribadi)
sehingga apabila mereka bersepakat atas suatu masalah, maka hal itu
atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji
para shahabat tersebut bersifat qath’i sehingga kita bisa menentukan
bahwa ijma’ shahabat dapat digunakan sebagai dalil syara’.

Sesungguhnya para shahabat merupakan generasi yang


mengumpulkan, menghafalkan dan menyampaikan Al-Qur’an beserta
Sunnah pada generasi berikutnya. Di samping itu para shahabat
merupakan orang-orang yang hidup semasa Rasulullah saw, hidup
bersama, mengalami kesulitan dan kesenangan secara bersama-sama.
Merekalah yang mengetahui kapan, dimana, dan berkaitan dengan
peristiwa apa suatu ayat Al-Qur’an diturunkan. Merekalah yang
mengetahui Sunnah Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri
kehidupan kaum Muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah masih
hidup. Lalu adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan
manusia di muka bumi ini selain mereka (para shahabat)? Ijma’ siapa
lagi selain ijma’ mereka yang lebih baik dan lebih kuat?

Memang tidak mustahil para shahabat pun melakukan


kesalahan, sebab mereka pun tetap manusia yang tidak ma’shum.
Akan tetapi secara syar’i mereka mustahil bersepakat atau berijma’
atas suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam
ijma’ mereka tentang suatu persoalan maka tentu akan terdapat
kesalahan dalam Islam, dalam Al-Qur’an dan Hadits sebab merekalah
yang menyampaikan Al-Qur’an dan menuturkan hadits Rasulullah saw
pada generasi berikutnya. Bahkan sebenarnya mereka pulalah yang

123
memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya
kesalahan dalam ijma’ shahabat adalah mustahil terjadi secara syar’i.

2. Beberapa Contoh Ijma’ Shahabat


Salah satu ijma’ shahabat terpenting adalah pengumpulan Al-
Qur’an menjadi mushaf. Al-Qur’an dalam bentuk sekarang ini
merupakan hasil kesepakatan (ijma’) para shahabat. Bersamaan
dengan ini Allah SWT berfirman:

َ ُ َ ُ َ َّ ْ ِّ َ ْ َ َ َّ
‫ِإنا ن ْح ُن ن َّزلنا الذك َر َو ِإنا له ل َح ِافظ ون‬

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan


sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.” (QS. Al Hijr: 9)

ْ َ َ َ ِ َْ
‫ي َيد ْي ِه َوَّل ِم ْن خل ِف ِه‬ ‫اط ُل ِمن ب‬‫ب‬َ ‫ََّل َي ْأتيه ْال‬
ِ ِ ِ

“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan, baik dari depan


maupun dari belakangnya.” (QS. Fushilat: 42)

Dari kedua ayat tersebut, Allah memastikan bahwa mushaf Al-


Qur’an yang ada kini --yang merupakan ijma’ para shahabat-- dijamin
kebenarannya. Dengan kata lain melalui tangan-tangan para
shahabatlah, Allah menjaga kebenaran Al-Qur’an. Jika ada
kemungkinan salah dalam ijma’ shahabat, berarti ada kemungkinan
salah dalam Al-Qur’an sekarang. Padahal hal ini adalah mustahil
terjadi.

Dengan demikian secara syar’i mustahil terjadi kesalahan


dalam ijma’ shahabat. Inilah dalil yang pasti bahwa ijma’ shahabat
merupakan dalil syar’i. Contoh lain yang masyhur tentang ijma’
shahabat adalah keharusan adanya seorang khalifah yang akan
memimpin dan mengurus seluruh kebutuhan kaum muslimin,
melindungi, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia,
124
sebagaimana yang dilakukan para shahabat tatkala Rasulullah saw
wafat.

D. Qiyas
Menurut para ulama ushul, qiyas berarti menyamakan hukum
syara dalam satu kasus dengan kasus lain, karena disebabkan adanya
kesamaan dua kejadian itu dalam illat (sebab) hukumnya.73

1. Alasan Qiyas Dijadikan Sumber Hukum


Qiyas digunakan sebagai sumber dalil syar’i karena dalam qiyas
yang menjadi dasar pengambilan hukum adalah nash-nash syar’i yang
memiliki kesamaan illat. Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi
dasar keberadaan hukum adalah illatnya, maka apabila ada kesamaan
illat antara suatu masalah baru dengan masalah yang sudah ada
hukumnya, maka hukum masalah yang baru tersebut menjadi sama.

Maka bila illat yang sama terkandung dalam Al-Qur’an berarti


dalil qiyas dalam hal tersebut adalah Al-Qur’an. Demikian pula apabila
illat yang sama terkandung dalam Sunnah dan Ijma’ Shahabat maka
yang menjadi dalil qiyas adalah kedua hal tersebut.

Disamping itu ada beberapa hadits Rasulullah yang


mengisyaratkan penggunaan qiyas sebagai dalil syara’. Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas:
َّ َ ُ َ َ ْ َ َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ َّ َ ‫َن‬ ْ
‫اّٰلل‬
ِ ‫ول‬ ‫اّٰلل ص َل اّٰلل علي ِه وسلم فقالت يا رس‬ ِ ‫ول‬ ِ ‫َج َاءت ْام َرأة ِإَل َر ُس‬
َ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ُ ُ َ َ َ ْ َ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َ ِّ ُ َّ
‫ال أ َرأ ْي ِت ل ْو كان َع َل أ ِّم ِك د ْي نن‬‫ِإن أ يّم ماتت وعليها صوم نذر أفأصوم عنها ق‬
ُِّ ْ َ ُ َ َ ْ ََ ْ َ َ ََْ
َ َ ِّ َ ُ َ َ َ ْ َ ََ
‫وّم عن أم ِك‬ ‫يه أ كان يؤدي ذ ِل ِك عنها قالت نعم قال فص ِ ي‬ ِ ‫فقضي ِت‬

“Seorang wanita kepada Rasulullah dan berkata: ‘Ya Rasulullah, Ibuku


telah meninggal, sedang ia belum menunaikan puasa nadzar, apakah

73
Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih
125
aku harus menggantinya?’ Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Bagaimana
jika ibumu mempunyai hutang, sedang ia belum membayarnya,
apakah kamu akan membayar hutangnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka
bersabda Rasulullah saw: ‘Maka puasalah untuk (memenuhi) nadzar
ibumu” (HR Muslim)74

Dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair ra:


ُ َ ْ َ َ َّ َ َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ َّ َ ْ َ
‫ال ِإن أ ِ ين أد َركه‬ ‫اّٰلل ص َل اّٰلل علي ِه وسلم فق‬
ِ ‫ول‬ ِ ‫َج َاء َر ُج نل ِم ْن خث َع ٍم ِإَل َر ُس‬
ُّ َ َ َ َ ‫ْ ْ َ ُ َ ُ َ َ ْ ن َ ن َ َ ْ َ ُ ُ ُ َ َّ ْ َ ْ َ ُّ َ ْ ُ ن‬
‫وب َعل ْي ِه أفأ ُحج‬ ‫ِاْلسَلم وهو شيخ ك ِبي َّل يست ِطيع ركوب الرح ِل والحج مكت‬
ُ ْ َ ُ َ ْ َ َ َ ‫َ ْ ُ َ َ َْ َ َ ْ َُ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َََْ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ ن‬
‫عنه قال أنت أ كي ول ِد ِه قال نعم قال أرأيت لو كان ع َل أ ِبيك دين فقضيته عنه‬
ُ ْ ْ ْ َ َ َ ْ ََ َ َ ُ َْ ُ ْ ُ َ َ َ ََ
‫اح ُجج َعنه‬ ‫أ كان ذ ِلك يجزئ عنه قال نعم قال ف‬

“seorang laki-laki dari Khats'am datang menemui Rasulullah


shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: bapakku telah masuk Islam,
dan dia orangnya sudah tua, tidak dapat menaiki kendaraannya
padahal haji adalah wajib baginya. Apakah saya harus berhaji
untuknya?. Beliau bertanya apakah kamu adalah anak yang paling
dewasa?. Dia menjawab, ya. Beliau bersabda: "Bagaimana
pendapatmu jika bapakmu punya hutang, apakah kamu harus
melunasinya, atau apakah hal itu bisa dilakukan untuknya?". Dia
menjawab, ya. Beliau bersabda: "Berhajilah untuk menggantikannya".
(HR Ahmad)75

Dalam dua hadits tersebut Rasulullah mengumpamakan atau


mensejajarkan persoalan nadzar, haji, dengan hutang, yang sama-
sama harus dipenuhi

74
Shahih Muslim no 1938
75
Musnad Imam Ahmad no 15540
126
2. Contoh Qiyas dan Ruang Lingkup Pembahasan Qiyas
Sebagai contoh, mengadakan transaksi jual beli tatkala adzan
shalat Jum’at merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dalam nash,
yaitu haram, berdasarkan ayat:

َ َّ ْ َ ْ َ ْ َ َ ُ ُ ْ ْ َ َ َّ ُ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
‫اّٰلل َوذ ُروا‬
ِ ‫ودي ِللصَل ِة ِمن يو ِم الجمع ِة فاسعوا ِإَل ِذكر‬
ِ ‫ي ْا أيها ال ِذين آمنوا ِإذا‬
‫ن‬
‫ال َب ْي َع‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan


shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumuah: 9)

Illat pada ayat di atas adalah karena hal tersebut melalaikan


shalat. Oleh karena itu sewa menyewa, transaksi perdagangan
maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan illat, yaitu
melalaikan shalat, maka perbuatan tersebut hukumnya diqiyaskan
dengan perbuatan jual beli di atas, yaitu haram.

Berdasarkan kaidah syara : “Sesungguhnya hukum-hukum


tentang ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq tidak
dapat direka-reka, semua ketentuannya wajib sesuai dengan
nash/ketentuan syara’ semata”.76 Jadi ruang lingkup daripada qiyas
hanya pada hal-hal (masalah) yang memiliki kesamaaan illat di
dalamnya. Sedangkan di dalam masalah pakaian, makanan, minuman,
ibadah dan akhlak di dalamnya tidak mempunyai illat, karena masalah
ini sudah jelas nash syara’nya sehingga tidak bisa diqiyaskan.

3. Rukun Qiyas
Setiap qiyas mempunyai empat rukun77:
a. Asal (pokok).

76
Muhammad Husain Abdullah, Dirasat al-Fikr al-Islami
77
Atha bin Khalil, Taisir al-Wushul ila Al-Ushul
127
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan
tempat mengqiyaskan. Asal disebut “maqish ‘alaih” (yang menjadi
tempat mengqiyaskan), atau “mahmul ‘alaih” (tempat
membandingkannya), atau “musyabbah bih” (tempat
menyerupakannya)

b. Far’u (cabang).
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, dan peristiwa itulah yang
hendak disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia juga disebut
‘maqish’ (yang diqiyaskan) dan ‘musyabbah’ (yang diserupakan).

c. Hukum asal.
Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash atau
dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.

d. ‘Illat.
Yaitu suatu sifat yang terdapat pada suatu peristiwa yang asal.
Yang karena sifat itu, maka peristiwa asal itu mempunyai suatu
hukum dan oleh karena sifat itu terdapat pula pada cabang, maka
disamakanlah hukum cabaang itu dengan hukum peristiwa asal.
Rukun qiyas yang keempat adalah yang terpenting untuk dibahas,
karena illat qiyas merupakan asasnya.

Demikianlah gambaran ringkas tentang qiyas. Karena


pembahasan di sini hanya bersifat global maka pembaca masih sangat
perlu melanjutkan kajian ini dengan kajian yang dalam dan terperinci
bila ingin mendapat pemahaman yang menyeluruh dan mendalam.

E. Perkara yang Diduga Sebagai Dalil Padahal Bukan Dalil


Istidlal menurut bahasa berasal dari wazan istaf'ala dari lafadz
dalla yang berarti mencari dalil, atau jalan yang mengantarkan pada
perkara yang dicari.

128
Perkara yang diduga sebagai dalil padahal bukan dalil ada
empat macam, yaitu: syari'at umat terdahulu (syar'un man qablana),
pendapat sahabat (madzhab sahabat), istihsan, dan mashalih
mursalah.

1. Syari'at umat terdahulu


Sebenarnya syari'at umat terdahulu (umat nabi-nabi sebelum
nabi Muhammad SAW) bukan termasuk syari'at bagi kita (umat nabi
Muhammad saw), dan bukan tergolong hujjah (dalil) bagi kita. Allah
berfirman yang artinya.

َ ً َ ْ َ َِ ْ ‫اب ب ْال َح ِّق ُم َص ِّد ًقا ِّل َما َب‬


ْ ‫ي َي َد‬ َْ َ َ
َ ‫نزل َنا إ َل ْي َك ْالك َت‬
‫اب َو ُم َه ْي ِمنا َعل ْي ِه‬ ‫ت‬
ِ ِ‫ك‬‫ال‬ ‫ن‬‫م‬ ‫ه‬
ِ ِ ‫ي‬ ِ ِ ِ ‫وأ‬

"Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur'an dengan membawa


kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab
(yang diturunkan sebelumnya) atau batu ujian terhadap kitab-kitab
yang lain." (QS. Al-Maidah: 48)

arti dari wamuhaimina 'alaih adalah nasikhon lima sabiqohu yaitu


penghapus kitab-kitab sebelumnya. Oleh karena itu kita tidak diseru
untuk melaksanakan syari'at sebelum kita. Kita diseru hanya untuk
melaksanakan syari'at Islam yang dibawa oeh nabi Muhammad SAW.

2. Madzhab Sahabat
Madzhab sahabat sebenarnya bukan merupakan dalil syara'.

ُ ‫الر‬ ‫َ َ َ َ ْ ُ ْ ِ َ ْ َ ُ ُّ ُ َ ه‬
َّ ‫اّٰلل َو‬
‫ول‬
ِ ‫س‬ ِ ‫ش ٍء فردوه ِإَل‬
‫ف ِإن تناِعتم ِ يف ي‬
"Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikan ia kepada Allah (al-Qur'an) dan rasul (sunnahnya)" (QS.
An-Nisa: 59).

129
Dalam ayat ini Allah SWT telah mewajibkan untuk
mengembalikan seluruh perkara yang perselisihkan kepada Allah dan
Rasul-Nya.

Begitu juga para sahabat telah sepakat atas kebolehan


menyelisihi sahabat secara perorangan. Andaikata pendapat seorang
sahabat merupakan hujjah maka pasti setiap sahabat wajib mengikuti
pendapat sahabat yang lainnya. Tetapi hal seperti ini tidak mungkin
terjadi.

3. stihsan
Secara bahasa istihsan mengikuti wazan istaf'ala dari kata al-
hasan yang memandang baik suatu perkara. Lawannya disebut al-
istiqbah artinya memandang buruk suatu perkara.

Secara istilah istihsan diartikan seorang mujtahid dalam


menghadapi kasus tertentu tidak mengamalkan nash, qiyas, atau
kaidah umum yang mencakup kasus tersebut secara umum, lalu
beralih dari hukum tersebut ke hukum lainnya yang mewujudkan
maslahah di dalamnya karena suatu sebab yang bersifat mendesak,
kebiasaan umum, qiyas khafi, atau dali lain yang mengharuskan tark
(pembiaran) tersebut.78

Sebagian ulama mendefinisikannya dengan 'beralih dari


konsekwensi suatu Qiyas kepada Qiyas lain. yang lebih kuat. Mereka
juga menganggap termasuk bagian dari istihsan adalah beralih dari
Qiyas kepada nash, baik al-Kitab, as-Sunnah maupun adat. Begitu pula
yang termasuk istihsan adalah mengalihkan suatu alasan dari suatau
tentang masalah-masalah yang sejenis kepada hukum lain karena
adanya aspek yang lebih kuat yang mengharuskan peralihan tersebut.

Contohnya adalah firman Allah SWT:

78
Dr Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh
130
َ
ِ ْ ‫ي َك ِام َل‬
‫ي‬ ِ ْ ‫ات ُي ْر ِض ْع َن أ ْو ََل َد ُه َّن َح ْو َل‬
ُ َ َْ َ
‫والو ِالد‬
"Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh yaitu bagi yang menyempurnakan penyusuan". (QS. Al-
Baqarah: 233).

Apabila istihsan merupakan peralihan dari suatu dalil tanpa ada


dalil yang mengharuskan maka sebenarnya istihsan bukan merupakan
dalil. Karena Allah SWT berfirman:

‫ول‬ ُ َّ َ ‫وه إ ََل ه‬


ُ ُّ ُ َ ْ َ ‫َفإن َت َن َاِ ْع ُت ْم ِف‬
ِ ‫اّٰلل والرس‬
ِ ِ ‫ش ٍء فرد‬ ‫ِي ي‬ ِ
" Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang suatu perkara
maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasulnya." (QS. An-Nisa: 59).

4. Mashalih al-Mursalah
mashalih mursalah didefinisikan dengan kemaslahatan yang
tidak dijelaskan oleh nash yang mengakuinya atau mencampakannya
dan tidak sesuai dengan maqashid syar’iyyah.79

Mereka memberikan contoh dengan kasus, jika ada orang yang


mendakwa orang lain bahwa dia mempunyai harta pada orang
tersebut, sementara tidak mampu mendatangkan bukti atas
dakwaannya, kemudian terdakwa dituntut untuk bersumpah
berdasarkan sabda Rasulullah SAW. yang artinya:

َ َ َّ ْ َ ُِ َ ْ َ َّ ُ ْ َ َ ُ َ ِّ َ ْ
‫ي َع َل ال ُمدع َعل ْي ِه‬ ‫ع والي ِم‬
‫البينة ع َل المد ِ ي‬
"Bukti atas penuntut/pendakwa dan sumpah atas orang yang
mengingkarinya (terdakwa)." (HR. Tirmidzi)80

79
Hafidz Abdurahman, Ushul Fiqih
80
Sunan At-Tirmidzi no 1261
131
Mereka tidak mewajibkan sumpah pada terdakwa kecuali jika
antara terdakwa dan pendakwa terdapat suatu hubungan. Hal ini
dilakukan agar orang-orang yang bodoh tidak berai (lancing) kepada
kalangan terhormat sehingga akan menyerahkan mereka kaum
terhormat kepengadilan dengan dakwaan-dakwaan dusta.

Berdasarkan definisi diatas, jelas sekali bahwa sebenarnya


mashahih mursalah bukan termasuk dalil. Menggunakan menyalahi
nash adalah tindakan batil, berdasarkan dalil berikut:

1. Firman Allah SWT:

َّ َ ُ ْ ُ َ ْ َ ََُْْ ْ َ َ
ِ ‫ش ٍء فحك ُمه ِإَل‬
‫اّٰلل‬ ‫يه ِمن ي‬
ِ ‫َما اختلفتم ِف‬

"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya


(terserah) kepada Allah. ". (QS. Asy-Syura:10)

‫ول‬ ُ َّ َ ‫وه إ ََل ه‬


ُ ُّ ُ َ ْ َ ‫َفإن َت َن َاِ ْع ُت ْم ِف‬
ِ ‫اّٰلل والرس‬
ِ ِ ‫ش ٍء فرد‬ ‫ِي ي‬ ِ
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang suatu perkara
maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasulnya." (QS. An-Nisa:
59)

ُ َ ُ َْ ُ َ ُ َ ُ ْ َْ ْ
‫ال َي ْو َم أ ك َملت لك ْم ِدينك ْم َوأت َم ْمت َعل ْيك ْم ِن ْع َم ِ يت‬

"Pada hari ini telah kusempurnakan agamamu dan telah


kucukupkan kepadamu nikmatKu." (QS. Al-Maidah: 3)

ً َ ْ َ ُ َ ْ ُ َ ْ ََ
‫نسان أن ُي َيك ُسدى‬‫اْل‬
ِ ‫أيحسب‬
"Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja
(tanpa pertanggung jawaban)?" (QS. Al-Qiyamah:36).
132
2. Kemaslahatan yang sebenarnya adalah kemaslahatan berdasarkan
dalil syara' dimana ada perintah syara' disitu ada kemaslahatan.
Sedangkan istilah menghukumi berdasarkan mashalih mursalah
adalah menghukumi yang didasarkan pada mashlahat yang tidak
ditetapkan oleh syara'. Oleh karena mashalih mursalah bukan
tergolong hujjah.

3. Membangun suatu hukum atas dasar kemaslahatan yang tidak


diakui oleh syara' berari menjadikan akal yang tidak didukung oleh
dalil sebagai hakim (al-'aql al-mujarrod). Sebagai hakim, ini tidak
diperbolehkan.

133

Anda mungkin juga menyukai