Anda di halaman 1dari 6

HUKUM PERKAWINAN

PERCERAIAN DAN AKIBATNYA

Oleh:
ANUGRAH SYAHRIAL
H1A1 18 057
Kelas A

BAGIAN HUKUM PERDATA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
1. Tata cara perceraian

Jawab : Menurut Pasal 131 BAB XVI Bagian Kedua Tata Cara Perceraianadalah sebagai berikut :

(1) Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam
waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta
penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.

(2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan
untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga,
pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.

(3) Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya didepan
sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
(4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan
Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka hak
suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yang tetap utuh.

(5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya
Talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri. Helai pertama
beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal
suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri
dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.

2. Waktu Tunggu (idda)

Jawab : Menurut pasal 153 BAB XVII Bagian Kedua tentang Waktu tunggu adalah sebagai berikut :

(1) Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al
dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.

(2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

a.Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130
(seratus tiga puluh) hari:

b.Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga)
kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90
(sembilan puluh) hari;

c.Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan;

d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

(3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut
dengan bekas suaminya qabla al dukhul.

(4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya,
Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan
yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

(5) Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena
menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.

(6)Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan
tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
3. Hak dan kewajiban suami isteri dalam idda

Hak suami :
1) Menikah kembali dengan perempuan baru

Hak istri

1. Perempuan yang sedang beriddah dari talak raj‘i berhak mendapat tempat tinggal yang layak,
nafkah, pakaian, dan biaya hidup lainnya dari mantan suami, kecuali jika ia nusyuz (durhaka)
sebelum diceraikan atau di tengah-tengah masa iddahnya. Hal itu berdasarkan firman Allah, Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada
waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta
bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.
ADVERTISEMENT Dan juga sabda Rasulullah saw., “Perempuan beriddah yang bisa dirujuk oleh
(mantan) suaminya berhak mendapat kediaman dan nafkah darinya.” 2. Perempuan yang
sedang beriddah dari talak ba’in, baik karena khulu‘, talak tiga, atau karena fasakh, dan tidak
dalam keadaan hamil, berhak mendapat tempat tinggal saja tanpa mendapat nafkah kecuali jika
ia durhaka sebelum ditalaknya atau di tengah masa iddahnya. 3. Perempuan yang sedang
beriddah dari talak ba’in dan keadaan hamil juga berhak mendapat tempat tinggal dan nafkah
saja. Tidak berhak atas biaya lainnya. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat, apakah nafkah itu
gugur karena nusyuz atau tidak. 4. Perempuan yang sedang beriddah karena ditinggal wafat
suaminya tidak berhak mendapat nafkah walaupun dalam keadaan hamil. 5. Perempuan yang
ditinggal wafat suaminya berkewajiban untuk ihdad, yakni tidak bersolek dan tidak berdandan,
seperti mengenakan pakaian bewarna mencolok semisal kuning atau merah yang dimaksudkan
untuk berdandan. Juga tidak diperkenankan mengenakan wewangian, baik pada badan atau
pakaian. 6. Perempuan yang ditinggal wafat suami dan juga perempuan yang telah putus dari
pernikahan, baik karena talak bain sughra, talak bain kubra, atau karena fasakh, berkewajiban
untuk selalu berada di rumah. Tidak ada hak bagi suaminya ataupun yang lain untuk
mengeluarkannya. Selain itu, ia juga tidak boleh keluar dari rumah itu walaupun diridai oleh
mantan suaminya kecuali karena ada kebutuhan. Adapun kebutuhan keluar rumahnya di siang
hari seperti untuk bekerja dan belanja kebutuhan. Bahkan untuk kebutuhan mendesak, pada
malam hari pun ia boleh keluar, dengan catatan ia kembali pulang dan bermalam di rumah
tersebut kecuali memang ada ketakutan yang menimpa diri, anak-anak, dan hartanya. 7.
Perempuan yang tengah menjalani iddah dari talak raj‘i tidak diperbolehkan menikah dengan
laki-laki lain atau menerima lamaran baru walaupun berupa sindiran, sebagaimana dalam ayat,
Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya,
(Q.S. al-Baqarah [2]; 235). 8. Perempuan yang sedang menjalani iddah karena ditinggal wafat
atau ditalak ba’in suaminya tidak boleh menerima lamaran terang-terangan, tetapi boleh
menerima lamaran berupa sindiran atau penawaran, sebagaimana firman Allah, Dan tidak ada
dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-
nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf, (Q.S. al-Baqarah
[2]: 235).

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/108819/hak-dan-kewajiban-perempuan-selama-masa-iddah

4. Perselisihan pendapat para fuqaha masalah idda

Menurut Sayyid Sabiq, definisi tentang iddah yang lebih lengkap, sebagai berikut: “ Nama bagi suatu
masa yang seorang perempuan menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena
wafatnya suaminya atau bercerai dengan suaminya”.
Sedangkan dalam ta’rif lain disebutkan, ‘iddah adalah masa yang ditentukan oleh Allah di dalam syariat
Islam untuk menghilangkan tandatanda dari mantan suaminya setelah terjadinya perceraian, baik itu
karena cerai talak maupun karena cerai mati.

1. Quru’ adalah masa suci 


Dalam pandangan Mazhab al-Malikiyah, asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah, al-qur’u berarti ath-thuhru (
ُّ ). Maksudnya adalah masa suci dari haid. Jadi, tiga kali quru’ artinya adalah tiga kali suci dari haid.
‫الطهْر‬

Kebanyakan para sahabat, juga para ahli fiqih Madinah, berpendapat bahwa quru' adalah masa suci dari
haid.

Al-Malikiyah: Ad-Dasuqi, salah seorang ulama Mazhab al-Malikiyah, dalam kitab Hasyiyatu Ad-Dasuqi
'ala asy-Syarhu al-Kabir menyebutkan:

“Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan aqra' sebagai ukuran masa iddah seorang wanita
adalah masa suci merupakah pendapat dari tiga mazhab. Dan itu berbeda dengan pandangan al-
Hanafiyah serta para pendukungnya yang mengatakan bahwa aqra' itu adalah masa haid.”

Asy-Syafi'iyah : Dan hal yang sama dikemukakan an-Nawawi dalam kitab Raudhat ath-Thalibin.
Yang dimaksud dengan aqra' dalam urusan iddah adalah masa suci.

2. Quru' adalah masa haid

Sedangkan dalam pandangan Mazhab al-Hanafiyah, al-qur’u justru bermakna haid, atau hari-hari
dimana seorang wanita menjalani masa haidnya.

Al-Hanabilah menyebutkan, ada dua riwayat yang berbeda tentang pendapat al-Imam Ahmad dalam hal
ini. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa beliau berpandangan bahwa quru' itu adalah suci dari haid.
Sebagian riwayat yang lain sebaliknya, bahwa al-Imam Ahmad dianggap telah mengoreksi pendapat
sebelumnya dan cenderung berpendapat bahwa quru' adalah haid itu sendiri. Ibnu Qudamah dalam al-
Mughni memberikan penjelasan:

“Al-Qadhi berkata bahwa yang benar tentang Imam Ahmad bahwa aqra itu adalah haidh, dan seperti
itulah pendapat ulama kami. Beliau telah mengoreksi pendapat sebelumnya bahwa aqra itu suci. ”

Menurut Ibnul Qayyim dalam I'lam al-Muwaqqi'in, Imam Ahmad itu awalnya berpendapat bahwa quru
itu suci dari haid, namun kemudian beliau mengoreksi pendapatnya dan berpendapat bahwa quru' itu
adalah haid. (Ibnul Qayyim, I'lamul Muqaqqi'in, jilid 1 hal. 25)

Sumber : https://www.republika.co.id/berita/q56aei320/akar-perbedaan-ulama-soal-pembatasan-
masa-iddah-perempuan

5.

Anda mungkin juga menyukai