Anda di halaman 1dari 14

HUKUM KELUARGA

POINT 13-18

Lidya Ulva Dwi Septiyowati


13. Penghidupan Istri (Nafkah, Kiswah, Maskan, 16. Perselisihan suami-istri :
dsb) • Pengertian
• Yang wajib menanggung penghidupan istri • Siapa yang memohon
• Sejak kapan • Diajukan kemana
• Macam-macam biaya penghidupan istri 17. Gugatan atas kelalaian Istri :
14. Gugatan atas kelalaian suami terhadap istri : • Siapa yang menggugat dan siapa yang
• Siapa yang menggugat dan yang digugat digugat
• Sejak kapan • Sejak kapan
• Diajukan kemana • Diajukan kemana
15. Penetapan Nusyuz : 18. Mut’ah dan Nafkah ‘iddah :
• Pengertian • Pengertian (mut’ah dan nafkah ‘iddah)
• Siapa yang memohon • Sejak kapan kewajiban tersebut
• Diajukan kemana • Syarat istri yang berhak
13. PENGHIDUPAN ISTRI (NAFKAH, KISWAH, MASKAN,
DSB)

Yang wajib menanggung penghidupan Istri adalah Suami sebagaimana ketentuan dalam Pasal 80 ayat (2) KHI yang
menyatakan sbb :
“Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya”
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa :
“Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. Nafkah, Kiswah dan tempat kediaman bagi Istri
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak;
c. Biaya Pendidikan bagi anak.
Kewajiban suami terhadap istri sebagaimana ketentuan dalam Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tersebut mulai berlaku
sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 80 ayat (5)
1. Nafkah
Secara Bahasa, kata nafkah berasal dari Bahasa arab ( ‫ ) نفق>ة‬yang berasal dari kata nafaqa dan berimbuhan
hamzah anfaqa yunfiqu infak atau nafaqah. Dalam Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, Murtadla al-Zabidi
mendifinisikan nafkah adalah harta yang diberikan kepada diri sendiri atau keluarga.
Syaikh Muhammad Ali Ibnu Allan dalam kitab Dalil al-Falihin li Thuruqi Riyadi al-Shahilin (penjelasan
syarah kitab riyadu al-Shalihin karya Imam Nawawi dalam bab al-Nafaqah), menjelaskan nafkah sebagai segala
pemberian baik berupa pakaian, harta, dan tempat tinggal kepada keluarga yang menjadi tanggungannya baik istri, anak,
dan juga pembantu. Adapun perintah memberi nafkah kepada keluarga berdasarkan dari firman Allah swt berikut:
Pertama, Surat al-Baqarah ayat 233, Kedua, Surat at-Talaq ayat 7, Ketiga, Surat Saba’ ayat 39.
Ketiga ayat al-Qur’an tersebut menjelaskan kewajiban seorang suami untuk memberi nafkah; mencukupi
kebutuhan keluarganya. Dijelaskan menarik oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya Al-Tafsir al-Munir fi
al-‘Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, memberi nafkah adalah kewajiban bagi seroang suami tetapi itu disesuaikan
dengan kemampuan dan kadar rizkinya.
2. Kiswah (Pakaian)

3. Maskan (Tempat tinggal)


1 4 . G U G ATA N ATA S K E L A L A I A N S U A M I T E R H A D A P I S T R I :

Sebelum mengetahui kelalaian suami, maka harus diketahui terlebih dahulu mengenai kewajiban-kewajiban suami. Kewajiban
suami istri diatur secara lengkap dalam Pasal 78-84 KHI, namun secara spesifik kewajiban suami diatur dalam Pasal 80 yang menyatakan
sebagai berikut :
1. Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-
penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
2. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya ramah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagiisteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna
dari isterinya.
6. Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.
ALASAN-ALASAN PERCERAIAN

Alasan-alasan perceraian diatur dalam Pasal 116 KHI j.o Pasal 19 PP 9/1975 yang menyatakan sebagai berikut :
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain diluar kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami melanggar taklik talak;
h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

NB : taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan oleh suami setelah akad nikah yang dicantumkan di dalam akta nikah berupa talak yang
digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang
Taklik talak adalah talak suami yang digantungkan pada suatu sifat tertentu, yang apabila sifat tertentu itu terwujud maka jatuhlah
talak suami itu.
GUGAT CERAI

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 132 KHI disebutkan bahwa :


1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi
tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
2) Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut
kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
Selain dalam KHI, Cerai Gugat juga diatur dalam dalam Pasal 73 sampai dengan Pasal 86 UU PA (UU 7/1989, UU 3/2006,
dan UU 50/2009. Secara singkat isi dalam Pasal 73-86 adalah sbb :
• Gugatan diajukan ditempat Penggugat, kecuali Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa
izin Tergugat
• Jika Penggugat diluar negeri, maka diajukan ditempat kediaman Tergugat
• Jika Penggugat dan Tergugat sama-sama diluar negeri, maka gugatan diajukan di tempat perkawinan dilangsungkan atau
di PA Jakpus.
• Apabila alasan perceraian karena salah satu kenak pidana maka dimasukkan sebagai bukti putusan pidananya yang udah
incraht, Apabila alasan perceraian karena cacat badan atau penyakit yg menyebabkan tidak dapat melaksanakan
kewajiban, maka Hakim dpt memerintahkan Tergugat u/ periksa ke Dokter, Apabila alasan syiqaq maka saksi dari
keluarga atau orang yg dekat dg suami istri dan setelah itu salah satunya diangkat menjadi hakam
K A PA N G U G ATA N ATA U P E R M O H O N A N D I A J U K A N ?

a. Apabila alasan perceraian salah satu pihak meninggalkan pihak lain tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya, maka batas waktunya 2 (dua) tahun berturut-turut
b. Apabila salah satu pihak mendapat hukuman penjara, minimal penjaranya divonis 5 (lima) tahun atau lebih dan setelah
putusan incraht.
c. Apabila dengan alasan suami/istri tidak melaksanakan kewajiban nafkah lahir dan/atau batin, maka melalaikan kewajiban
tersebut minimal 12 (dua belas) bulan (SEMA 1/2022)
d. Jika alasan pertengkaran terus menerus maka minimal telah pisah tempat tinggal selama 6 (enam) bulan
15. PENETAPAN NUSYUZ :

Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i
(Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, halaman 106, mendefinisikan nusyuz sebagai berikut :
Artinya: “Nusyuz-nya seorang perempuan ialah sikap durhaka yang ditampakkannya di hadapan suami dengan
jalan tidak melaksanakan apa yang Allah wajibkan padanya, yakni taat terhadap suami… nusyuz-nya perempuan ini
hukumnya haram, dan merupakan satu dari beberapa dosa besar.”
Selain haram, nusyuz juga mengakibatkan konsekuensi hukum berupa terputusnya nafkah, sebagaimana
dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib.
Lebih lanjut, dalam lanjutan teks di kitab al-Fiqh al-Manhaji dijelaskan bahwa seorang perempuan akan
dianggap nusyuz apabila ia keluar rumah dan bepergian tanpa seizin suami, tidak membukakan pintu bagi suami yang
hendak masuk, dan menolak ajakan suami untuk berhubungan suami-istri padahal ia tidak sedang uzur seperti sakit atau
lainnya, atau saat suami menginginkannya namun ia sibuk dengan hajatnya sendiri, dan lainnya.
Lantas apakah berarti setiap akan keluar atau bepergian, seorang istri harus meminta izin lagi dan lagi kepada
suaminya? Tidak juga. Izin dari suami ini bisa diberikan secara umum, artinya jika diyakini bahwa suami pasti rela,
maka itu bisa dianggap sebagai izin.
Tidak semua tindakan kasar yang dilakukan oleh istri dianggap sebagai nusyuz. Contohnya : berkata kasar
Yang mengajukan Permohonan Nusyuz adalah suami yang diajukan bersama dengan
perkara perceraiannya (bukan perkara tersendiri). Apabila suami menyampaikan bahwa istrinya
nusyuz maka apabila terbukti secara sah atau diakui oleh istrinya, maka dijadikan satu
penetapannya dengan putusan perceraian yang berakibat hilangnya hak untuk mendapatkan
nafkah dan hak gilir (khusus u/ poligami).
16. PERSELISIHAN SUAMI-ISTRI

Alasan Perceraian karena perselisihan diatur dalam Pasal 116 huruf f, yang kemudian dalam Pasal 134
dijelaskan sebagai berikut :
“Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup
jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah
mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.”
• Yg dapat mengajukan perceraian karena perselisihan adalah suami atau istri sama2 dapat mengajukan yang
kemudian disesuaikan dengan tata cara Hukum Formil (Hukum Acara Perdata Agama).
• Diajukan kemana? Diajukan ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah sesuai dengan Kompetensi Relatifnya,
kecuali untuk non muslim di PN (Kompetensi Absolut)
17. GUGATAN ATAS KELALAIAN ISTRI

Pasal 129 KHI menyatakan sbb :


“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama
yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu”
Pasal 66 UU PA menyatakan sbb :
1. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan
sidang guna menyaksikan ikrar talak.
2. Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
3. Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman pemohon.
4. Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
5. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta Bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan
permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
18. MUT’AH DAN NAFKAH ‘IDDAH

Ketentuan mengenai Mut’ah dalam KHI sbb :


• Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya
(Pasal 1 huruf J).
• Mut’ah diberikan kepada bekas istri apabila perkawinan putus karena talak, kecuali qobla al-dukhul (Pasal 149)
• Mut'ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat ( Pasal 158):
a. belum ditetapkan mahar bagi isteri ba'da al dukhul;
b. perceraian itu atas kehendak suami.
• Mut'ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada Pasal 158 (Pasal 159)
• Besarnya Mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami (Pasal 160)
• Pasal 152 KHI menyatakan bahwa
“Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz”
• Nafkah Iddah (Nafkah dalam masa tunggu) adalah nafkah yang wajib diberikan oleh mantan suami kepada
mantan istri yang dijatuhi talak selama mantan istri menjalani masa Iddah (masa tunggu) kecuali jika istrinya
melakukan nusyuz (pembangkangan)
• Nafkah iddah wajib dibayarkan oleh mantan suami setelah pengucapan ikrar talak dilakukan dihadapan
Pengadilan Agama. Namun, dalam prakteknya nafkah iddah diberikan sebelum pengucapan ikrar talak
• Syarat seorang mantan istri untuk mendapatkan nafkah iddah yaitu :
a. Tidak nusyuz

Anda mungkin juga menyukai