A. Pengertian khitbah
C. Syarat-Syarat Khitbah
Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-syarat di bawah ini :
a) Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan
keluarga (mahram).
b) Tidak berstatus tunangan orang lain.
a) Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti langsung dipahami
atau tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan.
b) Menggunakan ucapan yang kurang jelas dan tidak terus terang (kinayah) yang
berarti ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan
D. Pembatalan khitbah
Ulama' berpendapat, boleh saja membatalkan tali pertunangan, namun itu adalah
makruh, sebab pertunangan ibarat ikatan janji setia dari kedua mempelai untuk menjalin
hidup bersama membina rumah tangga bahagia, sedangkan pembatalan pertunangan ini
adalah sebuah pengkhianatan ikatan janji setia
MAHAR
Mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan
hati calon suami untuk menumbuhkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon
suaminya.
َو آُتوا الِّنَس اَء َص ُد َقاِتِهَّن ِنْح َلًة َفِإْن ِط ْبَن َلُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِم ْنُه َنْفًسا َفُك ُلوُه َهِنيًئا َم ِر يًئا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-nisa:4)
B. Syarat-syarat mahar
D. Macam-macam mahar
a. Mahar musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan
besarnya ketika akad nikah
Mahar mitsil yaitu maharr yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum
ataupun ketika terjadi pernikahan.
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
A. Syarat-syarat wali
a. Laki-laki
b. Muslim
c. Baligh
d. Berakal
e. Adill (tidak fasik)
Hanafi tidak mensyaratkkan wali dalam perkawinan, perempuan yang telah baligh
dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri, tanpa wwajib dihadiri
oleh dua orang saksi, sedangkan malik berpendapat wali adalah syarat untuk
mengawinkan perempuan bangsawan, bukan untuk mengawinkan perempuan awam.
Wali yang utama adalah ayah, kemudian kakek (ayah dari ayah), kemudian saudara
laki-laki seayah seibu, kemudian saudara lakii-laki seayah, kemudian anak laki-laki
dari saudara laki-laki seayah seibu, kemudian anak laki-laki dari dari saudara laki-laki
seayah, kemudian paman (saudara laki-laki seayah), kemudian anak laki-laki dari
paman tersebut.
Wali mujbir adalah seorang wali yang berhak mengawinkan tanpa menunggu
kerelaanyang dikawinkan itu, menurut syafi’I wali mujbir adalah ayah dan ayah dari
ayah (kakek). Golongan hanafiyah berpendapat, wali mujbir adalah berlaku bagi
ashabah seketurunan terhadap anak yang masih kecil, orang gila dan orang yang
kurang akalnya.
B. Syarat-syarat saksi
a. Nikah mut’ah
Nikah mut’ah hukumnya haram. nikah ini juga disebut nikah yang ditentukkan untuk
sesuatu waktu tertentu, atau perkawinan yang terputuskan. Adapun dinamakan mut’ah
ialah nikah dengan maksud dalam waktuyang tertentu itu sesorang dapat bersenang-
senang melepaskan keperluan syahwatnya. Nikah mut’ah pernah dibolehkan dalam
keadaan daruurat, yakni pada peperangan authas, dan pembukaan kota mekah, dimana
waktu itu tentara islam telah lama pisah dengan keluarga, agar mereka tidak
melakukan perbuatan terlarang.
b. Nikah muhalil
Nikah muhalil ialah nikah yang dilakukan seseorang terhadap wanitta yang telah
dicerai tiga kali oleh suaminya yang pertama, setelah selesai iddahnya. Oleh suami
kedua wanita itu dikumpuli dan diceraikan agar dapat dikawin lagi dengan suami
pertama.
َفِإ ْن َطَّلَق َه ا َفال َتِح ُّل َلُه ِم ْن َبْع ُد َح َّتى َتْنِكَح َز ْو ًج ا َغْيَر ُه َفِإ ْن َطَّلَق َه ا َفال ُج َناَح َعَلْيِه َم ا َأْن َيَتَر اَجَعا
ٍم
ِإْن َظَّنا َأْن ُيِق يَم ا ُح ُد وَد الَّلِه َو ِتْلَك ُح ُد وُد الَّلِه ُيَبِّيُنَه ا ِلَق ْو َيْع َلُم وَن
“Kemudian jika si suami menlalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan
itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika
suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas
suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya
kepada kaum yang (mau) mengetahui”.
c. Nikah sighar
Yang dimaksud dengan nikah yaitu seorang wali mengawinkan seorang putrinya
dengna seorang laki-laki dengan syarat agar laki-laki itu mengawinkan putrinya
dengan si wali tadi tanpa mahar.
Jumhur ulama brpendapat bahwa kawin syighar itu pada pokonya tidak di akui,
karena itu hukumnya batal (tidak sah)
AKAD NIKAH
A. Pengertian Akad
Perjanjian berat itu terikat melalui beberapa kalimat sederhana. Pertama adalah
kalimat ijab, yaitu keinginan pihak wanita untuk menjalin ikatan rumah tangga
dengan seorang laki-laki. Kedua adalah kalimat qabul, yaitu pernyataan menerima
keinginan dari pihak pertama untuk maksud tersebut. Ijab qabul dapat diucapkan
dalam bahasa apapun. Bisa dalam bahasa arab maupun bahasa setempat.
B. Syarat-syarat Akad
a. Syarat Ijab Qabul Satu Majelis Akad nikah dengan sebuah ijab qabul itu
harus dilakukan di dalam sebuah majelis yang sama. Keduanya sama-sama
hadir secara utuh dengan ruh dan jasadnya. Termasuk juga di dalamnya
adalah kesinambungan antara ijab dan qabul tanpa ada jeda dengan
perkataan lain yang bisa membuat keduanya tidak terkait.
Sedangkan syarat bahwa antara ijab dan qabul itu harus bersambung tanpa
jeda waktu sedikitpun adalah pendapat syafi'i dalam mazhabnya. Namun
yang lainnya tidak mengharuskan keduanya harus langsung bersambut.
Misalnya bunyi lafadz ijab yang diucapkan oleh wali adalah, "Aku
nikahkan kamu dengan anakku dengan mahar 1 juta", lalu lafadz
qabulnya diucapkan oleh suami adalah, "Saya terima nikahnya
dengan mahar 1/2 juta". Maka antar keduanya tidak nyambung dan
ijab qabul ini tidak sah. Namun bila jumlah mahar yang disebutkan
dalam qabul lebih tinggi dari yang diucapkan dalam ijab, maka hal
itu sah.
Maka bila suami masih belum tamyiz, akad itu tidak sah, atau bila
wali belum tamyiz juga tidak sah. Apalagi bila kedua-duanya
belum tamyiz, maka lebih tidak sah lagi.
Selain itu para fuqaha mengatakan bahwa lafadz ijab dan qabul
haruslah dalam format fiil madhi (past) seperti zawwajtuka atau
ankahtuka. Fi'il madhi adalah kata kerja dengan keterangan waktu
yang telah lampau. sedangkan bila menggunakan fi'il mudhari',
maka secara hukum masih belum tentu sebuah akad yang sah.
Sebab fi'il mudhari' masih mengandung makna yang akan datang
dan juga sekarang. Sehingga masih ada ihtimal (kemungkinan)
bahwa akad itu sudah terjadi atau belum lagi terjadi.