Anda di halaman 1dari 2

Hikmah Disyariatkannya Iddah Bagi Kaum Wanita

Ditinjau dari bahasa, `iddah berasal dari kata Adda-Ya`du-`Iddatan yang berarti hitungan.
Sedangkan menurut pengertian syariat islam, `iddah ialah masa (waktu) dimana seorang wanita
dilarang melangsungkan pernikahan, karena dicerai atau ditinggal mati suami, atau karena
pernikahannya dibatalkan.

a. Macam-macam `iddah.
Masa `iddah yang harus dijalani oleh wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya,
sangat bervariasi tergantung pada faktor yang menyebabkannya serta kondisi masing-
masing wanita. Macam-macam masa `iddah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Istri yang dicerai suami yang belum pernah melakukan hubungan suami istri, maka tidak
perlu melakukan masa `iddah. Oleh karena itu sesudah dicerai suaminya, istri yang
belum pernah melakukan hubungan suami istri tidak bisa dirujuk oleh mantan suaminya
dan boleh langsung dinikahi oleh pria lain atau oleh mantan suaminya. “Wahai orang-
orang yang beriman, apabila kamu menikahi para wanita yang beriman, kemudian kamu
menceraikan mereka sebelum mencampurinya,maka tidak wajib atas mereka `iddah
bagimu yang kamu meminta mereka untuk menyempurnakannya”, (Q.S,Al-Ahzab:49).
2. Istri yang dicerai suaminya dan setiap bulan masih mengeluarkan darah haidh secara
normal, maka masa `iddahnya adalah 3 (tiga) kali quru`. “Wanita-wanita yang ditalak
(dicerai suaminya), hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. (Q.S.Al-
Baqarah:228)
Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian quru`. Menurut Imam Syafi`i dan Imam
Maliki, quru` adalah suci.
Dengan demikian `iddah wanita yang dicerai suaminya adalah tiga kali masa suci.
Sedangkan menurut Imam Hanafi, quru` adalah haidh. Dengan demikian, `iddah bagi
wanita yang dicerai suaminya adalah tiga kali masa haidh.
3. Istri yang dicerai suaminya, sedangkan darah haidh-nya tidak teratur atau belum pernah
mengeluarkan darah haidh atau sudah memasuki masa menopause, maka masa
`iddahnya adalah selama tiga bulan. “Dan para wanita yang telah terputus dari haidh,
(memasuki masa manopause) diantara istri-istrimu, jika kamu ragu tentang masa
`iddahnya,maka `iddah mereka adalah tiga bulan. Demikian juga para wanita yang tidak
haidh”. (Q.S.Ath-Thalaq:4).
4. Istri yang dicerai suaminya ketika ia sedang hamil, maka masa `iddahnya adalah sampai
ia melahirkan kandungannya. Baik kandungan yang dilahirkan tersebut berupa bayi,
segumpal daging (mudhghah) maupun segumpal darah (`alaqah). “Dan para wanita yang
hamil, maka masa `iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya”.
(Q.S.Ath-Thalaq:4).
5. Istri yang ditinggal mati suaminya sedangkan ia tidak sedang hamil, maka masa
`iddahnya adalah 4 (empat) bulan lebih 10 (sepuluh) hari. “Orang-orang yang meninggal
dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri, maka hendaklah para istri tersebut
menangguhkan diri (ber`iddah) selama empat bulan sepuluh hari”. (Q.S. Al-
Baqarah:234).
6. Istri yang ditinggal mati suaminya sedang ia dalam keadaan hamil, maka para ulama
berbeda pendapat. Sebagian berpendapat, bahwa `iddah wanita tersebut adalah sampai ia
melahirkan, sama dengan `iddah wanita yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil.
Pendapat ini dipelopori oleh sahabat Umar bin Khattab. Sedangkan sebagian lainnya
berpendapat, bahwa `iddah wanita tersebut adalah masa yang terpanjang atau terjauh
antara waktu melahirkan kandungan dengan waktu empat bulan sepuluh hari. Dengan
demikian, apabila wanita yang ditinggal mati suaminya tersebut baru hamil tiga bulan
sehingga kelahiran bayinya masih memerlukan enam bulan lagi, maka masa `iddahnya
baru habis sesudah melahirkan. Sebaliknya, jika wanita yang ditinggal mati suaminya
sedang hamil tujuh bulan sehingga kelahiran bayinya hanya memerlukan waktu dua
bulan lagi, maka `iddahnya tidak habis ketika melahirkan, melainkan sesudah jarak
empat bulan sepuluh hari dari kematian suaminya. Pendapat ini dipelopori oleh sahabat
Ali bin Abi Thalib.
b. Hak, kewajiban dan larangan bagi wanita yang sedang `iddah.
Selama menjalani masa `iddah, para wanita harus memperhatikan hak, kewajiban
serta larangan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT terhadap mereka. Jika peraturan yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT ini tidak diindahkan, maka bukan hanya menimbukan
dosa, akan tetapi juga mengakibatkan dampak negatif, baik di dunia maupun di akherat.
Adapun hak-hak wanita yang sedang menjalani masa `iddah yang wajib dipenuhi
oleh mantan suaminya adalah sebagai berikut:
1. Istri yang dicerai suaminya sebelum digauli, berhubung tidak wajib menjalani masa
`iddah sehingga langsung bisa menikah dengan pria lain, maka mantan suaminya
tidak wajib memberikan nafkah dan menyediakan tempat tinggal. Hanya saja mantan
suami wajib memberikan mut`ah kepadanya. Mut`ah ialah pemberian harta benda
yang dapat menyenangkan hati istri yang dicerai sebelum digauli. Adapun besar
kecil atau banyak sedikitnya mut`ah, tergantung kepada kemampuan mantan suami
serta kerelaan hati istri. “wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
para wanita yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum
mencampurinya, maka tidak wajib atas mereka `iddah bagimu yang kamu meminta
mereka untuk menyempurnakanya. Maka berilah mereka mut`ah dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”. (Q.S.Al-Ahzab:49).
2. Istri yang ditalak raja`i (bisa dirujuk suami selama masa `iddah), berhak memperoleh
nafkah dan tempat tinggal dari mantan suami selama menjalani masa `iddahnya.
Disamping itu, jika salah satu dari mantan suami istri yang talak raja`i tersebut
meninggal dunia pada waktu istri masih `iddah, maka mantan pasangan masih
memperoleh harta pusaka. Sebagaimana telah dijelaskan oleh hadits Nabi SAW,
(wanita yang dicerai suaminya berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal,
apabila mantan suaminya berhak rujuk kepadanya”. (H.R.Ahmad dan An-Nasa`i).
3.

Anda mungkin juga menyukai