Anda di halaman 1dari 15

 Apa perbedaan khuluq dan talaq?

Jawab:
 KHULUQ

Bahasa; Khuluk bermakna an-naz’u yang arinya pencabutan dan juga bermakna al-izalah yang
arinya pelepasan.

Istilah; makna khuluk berbeda-beda pada tiap mazhab, sesuai dengan perbedaan mereka dalam
menetapkan hukum khuluk, apakah termasuk talak atau termasuk fasakh.

Jumhur Ulama; Perpisahan dengan penggantian yang ditetapkan oleh pihak suami, lewat lafadz
talak atau khuluk. Al-Hanafiyah; mengambil harta dari istri dengan melepaskan kepemilikan
nikah lewat lafadz khulu’.

Hakikat Khuluk; Perpisahan dengan cara memberi tebusan yang dibayarkan isteri kepada suami,
dengan tujuan agar suami menceraikannya.

 TALAK

Bahasa; cerai atau perceraian dalam bahasa Arab lazim disebut dengan istilah talak. Secara bahasa
berarti Melepas dan membuka ikatan.

Istilah: membuka ikatan pernikahan baik berlaku saat itu juga atau pun di masa yang akan datang,
dengan menggunakan lafadz tertentu atau hal-hal yang senilai dengannya.

Menurut madzab Syafi’iyah talak ialah melepaskan ikatan perkawinan dengan menggunakan
lafadz talak atau misalnya, menurut madzab Hanafiyah dan Hanabilah talak ialah pelepasan ikatan
perkawinan secara langsung dengan lafaz yang khusus, dan menurut madzhab Malikiyah talak ialah
suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.

 Kapan khuluq bisa diajukan oleh seorang istri?


Jawab:

Sikap suami yang meremehkan istri dan enggan melayani istri hingga senantiasa membawa
pertengkaran. Dalam keadaan seperti ini Islam memberikan jalan keluar bagi rumah tangga tersebut
dengan menempuh jalan khuluk.

UU.No.1 Tahun 1974 pada pasal 116, perceraian


 Apa yang mendasari (petunjuk/ dalil al-qur'an) dasar dari khuluq dan talaq?

‫ت بِ ِه‬ ِ ِ َ ‫فَِإ ْن ِخ ْفتُم أَاَّل ي ِقيما ح ُد‬


ْ ‫يما ا ْفتَ َد‬ َ َ‫ود اللَّه فَاَل ُجن‬
َ ‫اح َعلَْي ِه َما ف‬ ُ َ ُ ْ
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya. (Q.S. Al-Baqarah: 229)

Para mufassir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri’ dalam ayat ini adalah uang tebusan. Maksudnya istri membayar
sejumlah uang sebagai tebusan untuk perpisahan dari suaminya.

(Q.S An-Nisa: 4) dan juga (Q.S An-Nisa: 128)

TALAK : ( Q.S Al-Baqarah : 230)

# Siapin Al-qur’an deket laptop

 Macam² iddah apa saja?


 Iddah bagi istri yang ditalak dan sedang menjalani masa haid. Jumhur ulama
berpendapat, bahwa masa iddah yang harus dijalani adalah tiga kali suci masa haid. Hal ini
berdasarkan pada firman Allah didalam QS. Al-Baqarah ayat 228: Artinya: “Dan para istri yang
diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh bagi mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam Rahim mereka, jika mereka beriman kepada
hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika
mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas
mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
 Iddah bagi istri yang dithalak dan sudah tidak menjalani masa haid lagi (manopouse)
juga tiga bulan. Demikian juga dengan iddahnya istri yang masih kecil yang belum menjalani
masa haid. Hal ini sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT. Pada QS. Ath- Thalaq
ayat 4 yang artinya: “Wanita-wanita yang tidak haid lagi (manopouse) diantara wanita-wanita
kalian jika kalian ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga bulan.
Begitu pula wanita-wanita yang tidak haid…”
 Iddah bagi istri yang sedang hamil,yaitu sampai ia melahirkan. Hal ini didasarkan pada
firman Allah SWT. Yang artinya: “…Perempuan-perempuan yang hamil, masa iddah mereka
itu adalah sampai mereka melahirkan.” (QS. Ath-Thalaq:4)
 Iddah istri yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari, jika ia tidak
sedang hamil. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
‫ص َن بِاَْن ُف ِس ِه َّن اَْر َب َعةَ اَ ْش ُه ٍر َّو َع ْشًرا ۚ فَاِ َذا َبلَ ْغ َن اَ َجلَ ُه َّن‬ ِ ِ
ً ‫َوالَّذيْ َن يَُت َو َّف ْو َن مْن ُك ْم َويَ َذ ُر ْو َن اَْز َو‬
ْ َّ‫اجا يََّتَرب‬
‫ف َوال ٰلّهُ مِب َا َت ْع َملُ ْو َن َخبِْيٌر‬
ِ ۗ ‫اح َعلَْي ُك ْم فِْي َما َف َع ْل َن يِف ْٓي اَْن ُف ِس ِه َّن بِالْ َم ْع ُر ْو‬
َ َ‫فَاَل ُجن‬
Artinya: “Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah
mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah sampai (akhir)
idah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri
mereka menurut cara yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al- Baqarah:234)

 Iddah wanita yang sedang menjalani istihadhah; apabila mempunyai hari-hari dimana ia
biasa menjalani masa haid, maka ia harus memperhatikan kebiasaan masa haid dan masa sucinya
tersebut. Jika ia telah menjalani tiga kali masa haid, maka selesailah sudah masa iddahnya.
 Iddah istri yang sedang menjalani masa haid, lalu terhenti karna sebab yang diketahui
maupun tidak. Jika berhentinya darah haid itu diketahui oleh adanya penyebab tertentu,
seperti karena proses penyusuan atau sakit, maka ia harus menunggu kembalinya masa haid
tersebut dan menjalani masa iddahnya sesuai dengan haidnya mesikpun memerlukan waktu yang
lebih lama. Sebaliknya, jika disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui, maka ia harus
menjalani iddahnya selama satu tahun. Yaitu sembilan bulan untuk menjalani masa hamilnya
dan tiga bulan untuk menjalani masa iddahnya.
 Iddah wanita yang belum disetubuhi. Allah SWT. Berfirman:

ِ ‫ٰيٓاَيُّها الَّ ِذين اٰمُن ْٓوا اِ َذا نَ َكحتُم الْم ْؤ ِمن‬


‫ٰت مُثَّ طَلَّ ْقتُ ُم ْو ُه َّن ِم ْن َقْب ِل اَ ْن مَتَ ُّس ْو ُه َّن فَ َما لَ ُك ْم َعلَْي ِه َّن ِم ْن‬ ُ ُ ْ َ َْ َ
‫احا مَجِ ْي ًل‬ ۚ ٍ ِ
ً ‫عدَّة َت ْعتَد ُّْونَ َها فَ َمتِّعُ ْو ُه َّن َو َسِّر ُح ْو ُه َّن َسَر‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan


mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa
iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS. Al- Ahzab: 49)

Dari ayat ini dapat diambil dalil, bahwa seorang istri muslimah yang belum digauli suaminya
tidak mempunyai kewajiban menjalani masa iddah. Akan tetapi, jika suaminya meninggal
sebelum ia menggauli istrinya, maka istri yang diceraikannya itu harus menjalani iddah
sebagaimana jika suaminya telah menggaulinya.
 Apa hikmah di syariatkannya masa iddah ?
 Kepastian Kosongnya Rahim. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada isteri
yang dicerai. Untuk selanjutnya memelihara jika terdapat bayi di dalam kenadungannya, agar
menjadi jelas siapa ayah dan bayi tersebut.
 Agungnya Nilai Sebuah Pernikahan. Menegaskan betapa agungnya nilai sebuah
perkawinan, sehingga selepas dari suaminya, seorang wanita tidak bisa begitu saja menikah lagi,
kecuali setelah melewati masa waktu tertentu.
 Memberi Kesempatan Rujuk. Memberikan kesempatan kepada suami isteri untuk kembali
kepada kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal
itu.
 Menunaikan Hak Suami. Agar isteri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang
dialami suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami. Hal ini jika
iddah tersebut dikarenakan oleh kematian suami.
 Petunjuk dalam al-qur'an / dalil yang terkait tentang iddah dalam al-qur'an itu seperti apa
?

Para ulama telah sepakat mewajibkan iddah ini yang didasarkan pada firman Allah:

ٍ ‫والْمطَلَّ َقات يتربَّصن بِأَْن ُف ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ ُقر‬


‫وء‬ ُ َ ْ َ ََ ُ ُ َ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru..” (Q.S. Al-
Baqarah ayat 228)

Lama quru’ ada dua pendapat. Pertama, masa suci dari haidh. Kedua, masa haid sebagaiaman yang
sabdakan Rasulullah Saw. “Dia (isteri) beriddah (menunggu) selama tiga kali masa haid.” (HR. Abu
Ibnu Majah). Demikian pula sabda beliau yang lain: “Dia menunggu selama hari-hari qurunya.”
(HR. Abu Dawud dan Nasa’i)

 Pendapat ulama terkait tentang masalah poligami ?


- Menurut imam madzhab yaitu Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali. seorang suami
boleh memiliki istri lebih dari satu tetapi dibatasi hanya sampai empat orang istri.Akan tetapi
kebolehannya tersebut memiliki syarat yaitu berlaku adil antara perempuan-perempuan itu, baik
nafkah maupun giliran. Para imam juga memberikan saran, apabila tidak bisa berlaku adil,
hendaknya beristri satu aja itu jauh lebih baik.
- Para ulama ahli Sunnah juga telah sepakat, bahwa apabila seorang suami mempunyai istri
lebih dari empat maka hukumnya haram. Perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap batal
dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah seorang istri yang empat itu dan telah habis
pula masa iddahnya.
- Dalam masalah membatasi istri empat orang saja, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut
telah ditunjukkan oleh Sunnah Rasulullah saw sebagai penjelasan dari firman Allah, bahwa selain
Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan nikah lebih dari empat perempuan.
- Menurut Muhammad Shahrur. Ia memahami ayat tersebut bahwa Allah SWT bukan hanya
sekedar memperbolehkan poligami, tetapi Allah sangat menganjurkannya, namun dengan dua
syarat yang harus terpenuhi, pertama, bahwa isteri kedua, ketiga dan keempat itu adalah janda
yang memiliki anak yatim; kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berlaku adil kepada
anak yatim. Sebaliknya, jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka perintah poligami
menjadi gugur.
- Seorang suami yang hendak berpoligami menurut ulama fiqih paling tidak memliki dua syarat:
~ Kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya
istri.
~ Harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama dalam
memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain.
- al-Zamakhsyari mengatakan bahwa tuntutan kemampuan berbuat adil terhadap para isteri
sesuai dengan kemampuan maksimal, sebab memaksakan diri dalam melakukan sesuatu di atas
kemampuannya termasuk perbuatan zhalim.
- al-Syaukani menegaskan, bagaimanapun usaha untuk berbuat adil, manusia tidak akan
mampu, lebih-lebih kalau dihubungkan dengan kemampuan membagi di bidang non-materi.
Karena itu, Allah melarang untuk condong kepada salah satu yang mengakibatkan yang lain
menjadi terlantar. Dengan kata lain, al-Syaukani menegaskan, harus ada upaya maksimal dari
seorang suami untuk dapat berbuat adil kepada para isterinya ketika berpoligami.
- al-Maraghi, menyatakan bahwa kebolehan poligami adalah kebolehan yang dipersulit dan
diperketat. Menurutnya, poligami diperbolehkan dalam keadaan darurat yang hanya dapat
dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar membutuhkan.
- Sayyid Qutub memandang poligami sebagai suatu perbuatan rukhshah (keringanan). Karena
itu, poligami hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak.
Kebolehan ini pun masih disyaratkan adanya sikap adil kepada para isteri. Keadilan yang dituntut
di sini termasuk dalam bidang nafkah, muamalah, pergaulan, serta giliran tidur malam.

 Menurut anda tentang poligami itu gimana?

Saya setuju dengan adanya poligami jika memang dalam keadaan yg mengharuskan dan seorang
suami menyetujui syarat2 dalam poligami, karena poligami juga sudah tertera di dalam al-qur’an
(Qs.An-nisa: 3), dan itu merupakan syariat islam, dan islam membolehkan, tapi kalau saya tidak
mau dan tidak bisa dipoligami , bukan berarti saya menyalahkan syariat , tetapi kalau seorang istri
sakit hati , maka suami juga akan zholim.
 Seperti apasih yang diperbolehkan poligami ?

Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan apabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan, dalam keadaan darurat dan Pengadilan Agama telah memberi izin
seperti yang sudah diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Yaitu
apabila:

- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri


- Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
- Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Mengenai peraturan alasan pemberian izin poligami di atas, dapat dipahami bahwa alasannya
mengacu pada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Apabila ketiga alasan tersebut di atas
menimpa suami istri maka dapat dianggap rumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan
keluarga bahagia (mawadah dan rahmah).

 Islam menganjurkan poligami itu seperti apa?

Al-Aqqad, ulama asal Mesir, menyimpulkan bahwa Islam tidak mengajarkan poligami, tidak
juga memandang positif, apalagi mewajibkan, Islam hanya membolehkan dengan syarat yang
sangat ketat. Ketika Islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun,
setelah ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang
radikal sesuai dengan petunjuk kanduangan ayat. Perubahan mendasar yang dilakukan Nabi
berkaitan dengan dua hal:

- Pertama, membatasi bilangan istri hanya sampai empat.

- Kedua, menetapkan syarat bagi seseorang yang ingin berpolgami, yaitu harus berlaku adil

Seperti pada An-nisa ayat 4

Islam memandang poligami lebih banyak membawa risiko daripada manfaatnya, karena manusia itu
menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak itu akan
timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan poligamis, dengan demikian poligami itu
bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara istri-istri dan anak-anak
dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-masing. Maka dengan
itu pernikahan secara poligami diatur dengan tegas, supaya tidak timbul konflik dalam keluarga
yang melakukan poligamis.

Maka poligami hanya diperbolehkan dalam keadaan dharurat, misalnya istri ternyata madul, sebab
menurut Islam anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat berguna bagi
manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah dengan adanya
keturunannya yang shaleh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya.
Maka dalam keadaan istri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan keterangan medis hasil
laboratoris, suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-bener mampu mencukupi nafkah
untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam memberi lahir dan giliran waktu tinggalnya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 55 ayat (1) dan (2) dan pasal 56 ayat (1) menyatakan syarat
poligami, yaitu:

Pasal 55

- Beristri lebih dari satu bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri.
- Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya.

Pasal 56

- Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.

(KALAU DALAM ISLAM KAN , ISLAM DATANG BUKAN MENGANJURKAN POLIGAMI , TETAPI
ISLAM MEMBERIKAN SEBUAH BATASAN ataupun yg namanya memberikan sebuah solusi ... )

*Nanti bisa anda pelajari seperti apa pendapat para ulama yg terkait dengan poligami, dan
menurut anda sendiri seperti apa?? Ibu pengn tau pendapat anda dengan masalah poligami..*

 Walimah ursy

Walimah berasal dari bahasa Arab yang berarti berkumpul. Dikarenakan pada acara walimah banyak
manusia yang berkumpul untuk menghadiri suatu jamuan, seperti halnya pada perayaan
pernikahan.

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm menyebutkan bahwa walimah ialah tiap-tiap jamuan merayakan
pernikahan, kelahiran anak, khitan atau peristiwa menggembirakan lainnya yang mengundang
orang banyak, dinamakan walimah.

Walimah al-‘ursy (pesta penikahan) adalah pesta atau jamuan makan yang disyariatkan yang
disuguhkan untuk merayakan pernikaha yang dilaksanakan pada saat akad nikah atau sesudah
berkumpulnya suami istri sebagai tanda rasa gembira dan rasa syukur kepada Allah SWT atas
berlangsungnya pernikahan tersebut. Walimahyaitu penyajian makanan untuk upacara pesta. Ada
juga yang mengatakan, Walimah berarti segala macam makanan yang dihidangkan untuk pesta atau
lainnya.

Rasulullah SAW menganjurkan untuk mengadakan walimah al-’urs. Namun dalam pelaksanaannya
tidak bersifat wajib, melainkan sunnah. Dan dilaksanakan sesuai dengan kemampuannya dan tidak
ada batasan harus demikian dalam melaksanakan walimah al-’urs. Meskipun demikian walimah
al-’urs tidak mempengaruhi sah tidaknya pernikahan.
 ASBABUL WURUD HADIST ( pengertian, manfaat memahami nya seperti apa )
 Pengertian

Kata asbab adalah jama’ dari sebab. Menurut ahli bahasa diartikan dengan al-habl (tali). Saluran,
yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubugkan satu benda dengan benda lainnya.
Menurut istilah adalah segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan.

Sedangkan kata wurud artinya sampai, muncul, dan mengalir. Dalam pengertian yang lebih luas
Al-Syuthi merumuskan bahwa asbab wurud al-hadis yaitu sesuatu yang membatasi arti suatu
hadis, baik berkenaan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqayyad, dinasakhkan dan
seterusnya atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya.

Menurut Endang Soetari, asbab wurud hadis ialah ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi
menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkannya serta pembahasannya dititik
beratkan pada latar belakang dan sebab lahirnya hadis.

 Manfaat

- Untuk menolong memahami dan menafsirkan hadis. Sebab sebagaimana diketahui bahwa
pengetahuan tentang sebab-sebab terjadinya sesuatu itu merupakan sarana untuk mengetahui
musabab (akibat) yang ditimbulkannya. Seseorang tidak mungkin mengetahui penafsiran suatu
hadis secara tepat, tanpa mengetahui sebab-sebab dan keterangan-keterangan tentang latar
belakang. Nabi bersabda, berbuat atau mengakui perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan
beliau. Ia merupakan suatu suatu sarana yang kuat untuk memahami dan menafsirkan hadis.

- Sebagaimana diketahui bahwa lafadh nash itu kadang-kadang dilukis dalam kata-kata yang
bersifat umum, sehingga untuk mengambil kandungan isinya memerlukan dalil yang men-
takhshish-kannya.

- Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syari’at (hukum)

- Untuk mentakhshishkan hukum, bagi yang berpedoman kaidah ushulul fiqh “Al-Ibratu
bikhushushis-sabab” (mengambil suatu ibarat itu hendaknya dari sebab-sebab yang khusus).
Biarpun menurut pendapat yang kuat dari golongan Ushuliyun berpedoman dengan “Al-Ibratu bi
‘umumil lafadh, la bikhushushis sabab” (mengambil suatu ibarat itu hendaknya berdasar pada lafadh
yang umum, bukan sebab-sebab yang khusus).

 JARH WA TA'DIL ( pengertian, pentingnya ilmu memahami jarh wa ta'dil apa, syarat² jarh wa
ta'dil apa )
 Pengertian

Ilmu al-Jahr wa ta’dil berarti: “Ilmu yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau
ditolak riwayat mereka”
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu jahr wa ta’dil merupakan suatu
materi pembahasan dari cabang ilmu hadis yang membahas cacat atau adilnya seorang yang
meriwayatkan hadis yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadisnya.

 Pentingnya

Ilmu jarh wa ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat di
terima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi itu dinilai oleh para ahli sebagai
seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus di tolak, dan apabila seorang rawi dipuji sebagai
seorang yang adil, niscahya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk
menerima hadis terpenuhi.

Jika ilmu jarh wa ta’dil ini tidak dipelajari dengan saksama, paling tidak, akan muncul penilaian
bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal, perjalanan hadis semenjak
Nabi Muhammad Saw, sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang, dan
diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu.

Setelah wafatnya Rasulullah Saw., kemurnian terjadinya pertikaian sebuah hadis perlu mendapat
penelitian secara saksama karena terjadinya pertikaian di bidang politik, masalah ekonomi dan
masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan dengan hadis. Akibatnya mereka
meriwayatkan suatu hadis yang disandarkan kepada Rasulullah, padahal riwayat yang bohong,
yang mereka buat untuk kepentingan golongan.

Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan
antara hadis yang benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’)

Dengan mengetahui ilmu jarh wa ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadis shahih, hasan,
ataupun hadis dhaif, terutama dari segi kualitas rawi bukan dari matannya.

 Syarat

Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainnya, melainkan
harus jelas dulu sebab-sebab penilaian tersebut. Terkadang, orang yang menganggap orang lain
cacat, malah ia sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, kita tidak boleh menerima langsung suatu
perkataan sebelum ada yang menyetujuinya.

Beranjak dari sikap selektif terhadap sesuatu, ada beberapa syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan
(Mu’addil) dan orang yang men-jarah-kan (Jarih), yaitu:

- Berilmu pengetahuan,
- Takwa,
- Wara’, (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan
makruhat-makruhat),
- Jujur,
- Menjauhi fanatik golongan,
- Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.

 MUKHTALIF AL HADITS
 Metode

- Al-Jam‘u wa al-Taufiq (Kompromi)

Penyelesaian dalam bentuk kompromi adalah penyelesaiaan hadis-hadis Mukhtalif dari


pertentangan yang tampak, dengan menelusuri titik temu makna masing-masing agar dapat
dikompromikan atau mencari pemahaman yang tepat terhadap hadis-hadis yang kelihatan
bertentangan dan menunjukkan kesejalanan makna yang dikandungnya sehingga masing-masing
dapat diamalkan sesuai degan tuntutan atu hukum yang ditujukan. Berikut ini contoh
penyelesaian hadis mukhtalif dengan bentuk jamak:

‫الص َدقَِة َما َكا َن َع ْن‬ َ َ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ق‬


َّ ‫ َخْي ُر‬: ‫ال‬ ِ
َ ‫ َع ِن النَّيِّب‬،‫عن ُهَر ْيَرةَ َرض َي اللَّه َعْنه‬
ُ ُ‫ َوابْ َدأْ مِب َ ْن َتع‬،ً ‫ظَ ْه ِر ِغىِن‬
‫ول‬
“Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw., beliau bersabda: “sebaik-baik sedekah adalah sedekah
yang dikeluarkan dalam keadaan lapang, dan mulailah dari orang yang dibawah tanggunganmu
terlebih dahulu”.

ُ ُ‫ َوابْ َدأْ مِب َ ْن َتع‬،‫ ُج ْه ُد الْ ُم ِق ِّل‬: ‫ض ُل؟ قَ َال‬


‫ سنن‬.‫ول‬ ِ َّ ‫َي‬
َ ْ‫الص َدقَة أَف‬ ُّ ‫ أ‬،‫ول اللَّه‬
َ ‫ يَا َر ُس‬:‫ أَنَّهُ قَ َال‬،‫َع ْن أَيِب ُهَر ْيَر َة‬
‫أيِب داود‬
Dari Abu Hurairah beliau berkata: “Wahai Rasulullah! Sedekah seperti apakah yang lebih utama?
Beliau menjawab: sedekah yang dikeluarkan dalam keadaan susah, dan mulailah dari orang yang
dibawah tanggungjawabmu terlebih dahulu”.

Hadis pertama menjelaskan bahwa sedekah diberikan saat telah berkecukupan, setelah biaya-
biaya lain dikeluarkan seperti kebutuhan pribadi dan keluarga, masih tersisa untuk keperluan-
keperluan lain jika dibutuhkan.

Hadis Kedua menjelaskan bahwa sedekah diberikan saat kesulitan, maksudnya dalam keadaan
sulitpun harus tetap berbagi, inilah alasan mengapa pahalanya lebih besar dibandingkan sedekah
dalam keadaan lapang.

Menurut Syekh Usaimin, dua hadis di atas dapat dipecahkan dengan jalan kompromi.
Menurutnya tidak ada pertentangan antara dua hadis itu. Beliau menjelaskan kata juhdul muqill
ialah sedekah yang diberikan oleh orang yang memiliki simpanan harta, setelah mengeluarkan
kebutuhan sehari-hari, tetapi bukan berarti orang kaya. Maksudnya orang yang memiliki sedikit
simpanan harta setelah mengeluarkan kebutuhan pribadi dan keluarganya, tidak secara otomatis
dapat dikategorikan sebagai orang kaya. Jadi, yang dimaksud dengan ‘an zahri gina ialah orang
yang memiliki kelebihan harta di luar kebutuhan sehari-hari. Orang seperti itu, ketika berinfak
atau bersedekah, dapat dikategorikan sebagai juhdul muqill, karena sebenarnya kesanggupannya
masih terbatas, berbeda dengan orang kaya.

- Nasakh

Permasalah nasakh dalam Hadis dapat dipahami melalui Hadis-hadis Mukhtalif yang bertentangan
secara lahiriyah dan makna yang dikandungnya. Para muhaddisin membolehkan nasakh apabila
memenuhi beberapa syarat yaitu : tidak bertentangan dengan hukum syar’i, kekuatan dua dalil
adalah sama sehingga tidak dapat dikompromikan dan tidak menunjukkan hukum untuk
selamanya karena pemberlakuan secata tetap dan berkelangsungan, menutup kemungkinan
pembatalan hukum pada suatu saat.

‫ ()إِ َّن اللَّه َيْن َها ُك ْم أَ ْن‬: ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ُ ‫ قَ َال ىِل َر ُس‬: ‫ َي ُق ْو ُل‬,‫ت عُ َمَر‬ ِ
َ ‫ول اللَّه‬ ُ ‫ مَس ْع‬: ‫مر‬
َ ُ‫قَ َال ابن ع‬
َ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ذَاكًِرا َوال‬ ِ ‫ َفواللَّ ِه ما حلَ ْف هِب‬: ‫حَتْلِ ُفوا بِاباَئِ ُكم( قَ َال عمر‬
َ َ‫ت النَّيِّب‬
ُ ‫ت َما ُمْن ُذ مَس ْع‬ ُ َ َ َ َُ ُ ْ
‫آثًِرا( صحيح البخاري‬
“Ibn ‘Umar berkata: Aku mendengar ‘Umar berkata: “Rasulullah saw., berkata kepadaku:
“Sesungguhnya Allah swt., melarang kalian bersumpah dengan bapak-bapak kalian”. ‘Umar ra
melanjutkan, demi Allah semenjak itu aku tidak pernah lagi bersumpah dengan nama bapakku,
baik dalam keadaan ingat atau keadaan lupa”.

ٍ ِ‫يث مال‬ ِ ِ ِ ِ ‫هِب‬ ِ ِ ِ


‫ َغْيَر أَ نَّهُ قَال‬،‫ك‬ َ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َ َذا احْلَديث حَنْ َو َحد‬ َ ‫ َع ِن النَّيِّب‬،‫َع ْن طَْل َحةَ بْ ِن عَُبْيد اهلل‬
ِ ِ ِ ِ ُ ‫َف َق َال رس‬
‫(صحيح‬.‫ص َد َق‬ َ ‫ أ َْو َد َخ َل اجْلَنَّةَ َوأَبِيه إِ ْن‬،‫ص َد َق‬
َ ‫ َوأَبِيه إِ ْن‬،‫ ( )أَْفلَ َح‬:‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ول اهلل‬ َُ
‫مسلم‬
“Dari Talhah ibn ‘Ubaidillah, dari Nabi saw., beliau bersabda mirip seperti hadis riwayat Malik,
yakni Nabi berkata: “Beruntunglah dia demi bapaknya jika ia benar-benar jujur”. Atau
redaksinya: “Dia akan masuk Surga demi bapaknya jika ia benar-benar jujur”.

Letak pertentangan dua hadis di atas terlihat sangat jelas, dimana hadis pertama secara
ucapan Nabi saw., melarang bersumpah demi bapak atau orang tua, namun pada hadis kedua
secara perbuatan Nabi sendiri melakukannya.
Dengan demikian, terdapat kontradiksi antar sesama hadis Nabi, artinya tidak sejalan antara
ucapan Nabi dan perbuatan Nabi.Secara ucapan Nabi melarang, namun secara perbuatan Nabi
melakukannya.

Syekh Usaimin berpendapat bahwa bersumpah dengan nama makhluk adalah perbuatan terlarang,
karena bertentangan dengan akidah dimana sumpah mengandung unsur pengagungan kepada
selain Allah. Beliau berpegang kepada hadis yang pertama yang melarang sumpah atas nama
makhluk. Dan untuk menjawab hadis kedua, beliau menguraikan beberapa komentar ulama
sebelumnya setelah itu memilih pendapat terakhir.

- At-Tarjih

Secara etimologi, tarjih berarti “menguatkan”. Dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih, dan
dalil yang dilemahkan disebut dengan marjuh. Hadis-hadis mukhtalif, bila tidak mungkin
untuk dikompromikan dengan cara apapun, tidak mungkin pula diperlakukan ketentuan takhsis,
tidak ditemukan pula cara untuk memberlakukan naskah. Akan tetapi ditemukan petunjuk yang
mungkin menguatkan salah satu di antara keduanya, maka digunakanlah dalil yang
memiliki petunjuk yang menguatkan itu. Cara tersebut dinamakan tarjih. Hukum mengamalkan
dalil rajih adalah wajib dan mengamalkan dalil marjuh adalah tidak dibenarkan.

،ُ‫ فَ َكأَنَّهُ َتغََّيَر َو ْج َهه‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َد َخ َل َعلَْي َها َو ِعْن َدىَا َر ُج ٌل‬ َّ ‫ أ‬:‫َع ْن َعائِ َشةَ َر ِضي اللَّه َعْن َها‬
َ ‫َن النَّيِّب‬ َ
ِ‫الرضاعةُ ِمن اجملاعة‬ ِ ِ ِ
َ َ َ َ َ َّ ‫ فَِإمَّنَا‬،‫ َف َق َال انْظُْر َن َم ْن إِ ْخ َوانُ ُك َّن‬،‫ أَخي‬: « ‫ إِنَّهُ أَخي‬: ‫ت‬ ْ َ‫ َف َقال‬،‫ك‬َ ‫َكأَنَّهُ َك ِر َه َذل‬
“Dari ‘Aisyah ra bahwa Nabi saw., menemui ‘Aisyah sedang bersama laki-laki. Wajah Nabi
kelihatan berubah, seakan menyimpan rasa tak suka dengan keadaan itu. ‘Aisyah berkata, laki-laki
ini adalah saudaraku sesusuan. Nabi bersabda: Periksalah kembali siapa-siapa saja saudara kalian,
karena menyusui (yang mengharamkan) itu hanya untuk yang (kenyang dari) kelaparan.

ِ ِِ ِ َّ ‫ أ‬،َ‫عن عائِشة‬
ْ َ‫ فَأَت‬،‫ َم ْوىَل أَيِب ُح َذ ْي َفةَ َكا َن َم َع أَيِب ُح َذ ْي َفةَ َوأَهله يِف َبْيت ِه ْم‬،‫َن َسال ًما‬
‫ت َت ْعيِن ْ ْابنَةَ ُس َهْي ٍل‬ َ َ َْ
‫ َوإِنَّهُ يَ ْد ُخ ُل‬.‫ َو َع َق َل َما َع َقلُوا‬.‫ال‬ ُ ‫الر َج‬ِّ ‫ إِ َّن َسالِ ًما قَ ْد بلَ َغ َما يَبلُ ُغ‬: ‫ت‬ْ َ‫ َف َقال‬- - ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬ َ ّ ‫النَّيِب‬
‫ (أ َْر ِضعِ ِيه‬:‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬ ِ
َ ‫ َف َق َال هَل اَ النَّيِّب‬.‫ك َشْيئًا‬ َ ‫س أَيِب ُح َذ ْي َفةَ ِم ْن ذَل‬ َّ ‫ َوإِيِن ّ أَظُ ُّن أ‬.‫َعلَْينَا‬
ِ ‫َن يِف نَ ْف‬
‫ فَ َذ َهب الَّ ِذي يِف‬.ُ‫ض ْعتُه‬َ ‫ إِيِن ّ قَ ْد أ َْر‬: ‫ت‬
ْ َ‫ت َف َقال‬ ْ ‫س أَيِب ُح َذ ْي َفة) َفَر َج َع‬ ِ ‫ب الَّ ِذي يِف ن ْف‬
ِ َ‫ ويَ ْذى‬،‫حَتْر ِمي َعلَْيه‬
َ َ ُ
‫س أَيِب ُح َذ ْي َفة) صحيح مسلم‬ ِ ‫َن ْف‬
“Dari ‘Aisyah bahwa Salim yaitu pembantu Abu Huzaifah, waktu itu sedang bersama-sama Abu
Huzaifah di dalam rumah bersama keluarganya. Lalu putri Suhail melapor kepada Nabi saw.,
bahwa Salim sudah dewasa dan berakal seperti layaknya laki-laki lain. Salim bolak-balik keluar
masuk ke dalam rumah, sementara Abu Huzaifah menyimpan perasaan tak enak dalam hatinya
karena keadaan itu. Lalu Nabi berkata: susukanlah Salim dengan sendirinya ia akan menjadi
mahrammu sekaligus menghilangkan perasaan tak enak itu dari hati Abu Huzaifah.

Permasalahan antara dua hadis di atas ialah adanya kontradiksi. Dimana hadis pertama
menunjukkan tidak mengandung efek hukum, artinya menyusui orang dewasa tidak menjadikan
statusnya berubah menjadi anak susuan, karena orang dewasa tidak akan kenyang hanya karena
menyusui ibu, berbeda dengan anak dua tahun kebawah, dimana makanan pokoknya memang
susu ibunya.

Adapun hadis kedua, justru menunjukkan kebalikannya. Dimana Salim diperintahkan


Rasulullah menyusui istri majikannya sendiri bernama Huzaifah. Setelah itu Salim berubah status
menjadi anak susu Huzaifah, sehingga ia lebih bebas keluar masuk rumah walaupun Huzaifah
tidak di rumah. Hadis pertama tidak mengandung efek hukum, sementara hadis kedua justru
mengandung efek hukum.

Hadis pertama tidak merubah status menjadi mahram yakni anak susuan, sedangkan hadis
kedua malah menjadikannya mahram.

- Tanawwu’ al-‘Ibâdah

Tanawwu’ al-‘Ibâdah merupakan salah satu cara yang ditempuh Imam al-Syafi’iy dalam
menyelesaikan Hadîts mukhtalif dengan catatan mukhtalif tidak pada makna ta’âruth tapi
tanawwu’. Adapun yang dimakud dengan Hadîts- Hadîts tanawwu’ al-ibâdah ialah Hadîts-Hadîts
yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang diajarkan oleh Rasulullah akan tetapi antara yang
satu dengan yang lain terdapat perbedaan, bukan pertentangan, sehingga menggambarkan
keberagaman dalam pelaksanaan ibadah tersebut.

( medote memahami mukhtalif al hadits itu ada beberapa yang nanti bisa anda pelajari disana ya.. ada
jam'u wa taufiq, kemudian annash dan tarjih, kemudian tawaqof .. CONTOH NYA SPERTI APA
SIH yg mukhtaliful hadist, ada beberapa hadits yang kiranya seperti pertentangan ttapi bisa
dikompromikan melalui ilmu yg namanya Mukhtaliful hadits,
 TAKHRIJ HADITS

 Tujuan takhrij hadis


- Mengetahui eksitensi suatu hadis benar suatu hadis yang ingin diteliti terdapat dalam buku-
buku hadis atau tidak.
- Mengetahui sumber otentik suatu hadis dari buku hadis apa saja yang didapatkan
- Mengetahui ada berapa tempat hadis tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam sebuah
buku hadis dalam beberapa buku induk hadis.
- Mengetahui kualitas hadis (maqbul/diterima atau mardud/tertolak)

 Faedah dan manfaat takhrij hadis


- Mengetahui refensi beberapa buku hadis.
- Menghimpun sejumlah sanad hadis.
- Mengetahui keadaan sanad yang bersambung (muttashil) dan yang terputus (munqathi’), dan
mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat hadis.
- Mengetahui status suatu hadis.
- Meningkatkan suatu hadis yang dha’if menjadi hasan li ghayrihi karena adanya dukungan
sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya.
- Mengetahui bagaimana para imam hadis menilai suatu kualitas dan bagaimana kritika yang
disimpulkan.
- Seseorang yang melakukan takhrij dapat menghimpun beberapa sanad dan matan suatu hadis.

Anda mungkin juga menyukai