Anda di halaman 1dari 12

PENGERTIAN MASA‘IDDAH.

Masa ‘iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab


dari kata (‫ )ال ِع َّدة‬yang bermakna perhitungan (‫صاء‬
َ ْ‫[)اِإل ح‬1] .
Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci
atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya
masa iddah. Menurut istilah para ulama, masa ‘iddah ialah
sebutan atau nama suatu masa di mana seorang wanita
menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia
ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan
baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya
beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang
sudah ditentukan.[2] Ada yang menyatakan, masa ‘iddah
adalah istilah untuk masa tunggu seorang wanita untuk
memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena ta’abbud
atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang suami.[3]
HIKMAH ‘IDDAH[4] Para ulama memberikan keterangan
tentang hikmah pensyariatan masa ‘iddah, diantaranya: 1.
Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil
atau tidak. 2. Syariat Islam telah mensyariatkan masa
‘iddah untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan
yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera
menikah. 3. Masa ‘iddah disyari’atkan untuk menunjukkan
betapa agung dan mulianya sebuah akad pernikahan. 4.
Masa ‘iddah disyari’atkan agar kaum pria dan wanita
berpikir ulang jika hendak memutuskan tali kekeluargaan,
terutama dalam kasus perceraian. 5. Masa ‘iddah
disyari’atkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan
lainnya apabila wanita yang dicerai sedang hamil. DASAR
PENSYARIATANNYA. Masa iddah sebenarnya sudah dikenal
dimasa jahiliyah. Ketika Islam datang, masalah ini tetap
diakui dan dipertahankan. Oleh karena itu para Ulama
sepakat bahwa ‘iddah itu wajib, berdasarkan al-Qur`ân dan
Sunnah.[5] Dalil dari al-Qur`ân yaitu firman Allâh Azza wa
Jalla : ‫ات يَت ََربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء‬
ُ َ‫ َو ْال ُمطَلَّق‬Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ [al-
Baqarah/2:228] Sedangkan dalil dari sunnah banyak sekali,
diantaranya : ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأ َّن ا ْم َرَأةً ِم ْن َأ ْسلَ َم يُقَا ُل لَهَا‬ َ ‫ج النَّبِ ِّي‬ ‫ُأ‬
ِ ْ‫ع َْن ِّم َسلَ َمةَ َزو‬
ُ‫ت َأ ْن تَ ْن ِك َحه‬
ْ َ‫ك فََأب‬
ٍ ‫َت تَحْ تَ زَ وْ ِجهَا تُ ُوفِّ َي َع ْنهَا َو ِه َي ُح ْبلَى فَخَ طَبَهَا َأبُو ال َّسنَابِ ِل ب ُْن بَ ْع َك‬
ْ ‫ُسبَ ْي َعةُ َكان‬
ْ َ‫آخ َر اَأْل َجلَي ِْن فَ َم ُكث‬
ْ ‫ت قَ ِريبًا ِم ْن َع ْش ِر لَيَا ٍل ثُ َّم َجا َء‬
‫ت‬ ِ ‫فَقَا َل َوهَّللا ِ َما يَصْ لُ ُح َأ ْن تَ ْن ِك ِحي ِه َحتَّى تَ ْعتَدِّي‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل ا ْن ِك ِحي‬ َّ ِ‫ النَّب‬Dari Ummu Salamah istri Nabi
َ ‫ي‬
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seorang wanita
dari Aslam bernama Subai’ah ditinggal mati oleh suaminya
dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanâbil bin Ba’kak
melamarnya, namun ia menolak menikah dengannya. Ada
yang berkata, “Demi Allâh, dia tidak boleh menikah
dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling
panjang dari dua masa iddah. Setelah sepuluh malam
berlalu, ia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Menikahlah!” [HR al-Bukhâri no. 4906]. ATURAN-ATURAN
DALAM `IDDAH Masa iddah diwajibkan pada semua wanita
yang berpisah dari suaminya dengan sebab talak, khulu’
(gugat cerai), faskh (penggagalan akad pernikahan) atau
ditinggal mati, dengan syarat sang suami telah melakukan
hubungan suami istri dengannya atau telah diberikan
kesempatan dan kemampuan yang cukup untuk
melakukannya.[6] Berdasarkan ini, berarti wanita yang
dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum digauli
atau belum ada kesempatan untuk itu, maka dia tidak
memiliki masa iddah. Allâh Azza wa Jalla berfirman : َ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذين‬
‫ت ثُ َّم طَلَّ ْقتُ ُموهُ َّن ِم ْن قَب ِْل َأ ْن تَ َمسُّوهُ َّن فَ َما لَ ُك ْم َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن ِع َّد ٍة تَ ْعتَ ُّدونَهَا‬
ِ ‫آ َمنُوا ِإ َذا نَ َكحْ تُ ُم ْال ُمْؤ ِمنَا‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. [al-Ahzâb/33:49]
Berdasarkan keterangan di atas dan berdasarkan penyebab
perpisahannya, masalah ‘iddah ini dapat dirinci sebagai
berikut : 1. Wanita Yang Ditinggal Mati Oleh Suaminya
Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya memiliki dua
keadaan : a. Wanita yang ditinggal mati suaminya ketika
sedang hamil. Wanita ini maka masa menunggunya (‘iddah)
berakhir setelah ia melahirkan bayinya, berdasarkan firman
َ َ‫ال َأ َجلُه َُّن َأ ْن ي‬
Allâh Azza wa Jalla, ‫ض ْعنَ َح ْملَه َُّن‬ ُ ‫ َوُأواَل‬Dan
ِ ‫ت اَأْلحْ َم‬
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. [ath-
Thalaq/65:4]. Keumuman ayat ini di kuatkan dengan hadits
al-Miswar bin Makhramah Radhiyallahu anhu yang
berbunyi : ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫ت النَّب‬ ْ ‫َأ َّن ُسبَ ْي َعةَ اَأْل ْسلَ ِميَّةَ نُفِ َس‬
ْ ‫ت بَ ْع َد َوفَا ِة زَ وْ ِجهَا بِلَيَا ٍل فَ َجا َء‬
ْ ‫ َو َسلَّ َم فَا ْستَْأ َذنَ ْتهُ َأ ْن تَ ْن ِك َح فََأ ِذنَ لَهَا فَنَ َك َح‬Subai’ah al-Aslamiyah
‫ت‬
Radhiyallahu anhuma melahirkan dan bernifas setelah
kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas meminta idzin kepada beliau untuk
menikah (lagi). Kemudian beliau mengizinkannya, lalu ia
segera menikah (lagi). [al-Bukhâri no. 5320 dan Muslim
no.1485]. Baca Juga  Mengucapkan Kata Talak Saat
Mabuk? b. Wanita tersebut tidak hamil. Jika tidak hamil,
maka masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman : َ‫َوالَّ ِذينَ يُت ََوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُون‬
‫َأ ْز َواجًا يَت ََربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن َأرْ بَ َعةَ َأ ْشه ٍُر َو َع ْشرًا ۖ فَِإ َذا بَلَ ْغنَ َأ َجلَه َُّن فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما فَ َع ْلنَ فِي‬
ِ ‫ َأ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْعر‬Orang-orang yang meninggal
‫ُوف ۗ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ٌر‬
dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah)
empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis
‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.
Allâh mengetahui apa yang kamu perbuat. [al-Baqarah/2:
234] 2. Wanita Yang Diceraikan Wanita yang dicerai juga
ada dua macam yaitu wanita yang dicerai dengan thalak raj’i
(thalak yang bisa ruju’) dan wanita yang ditalak dengan
thalak bâ’in (thalak tiga). a. Wanita yang dicerai dengan
talak raj’i terbagi menjadi beberapa : 1. Wanita yang masih
haidh Masa ‘iddah wanita jenis ini adalah tiga kali haidh,
berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla : ‫ات يَت ََربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن‬
ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬
‫ ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء‬Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’ [al-Baqarah/2: 228] Menurut
pendapat yang rajih, quru’ artinya haidh, berdasarkan
hadits A’isyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi : َ‫َأ َّن ُأ َّم َحبِيبَة‬
‫صاَل ةَ َأيَّا َم َأ ْق َراِئهَا‬
َّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فََأ َم َرهَا َأ ْن تَ َد َع ال‬ ْ َ‫َت تُ ْستَ َحاضُ فَ َسَأل‬
َّ ِ‫ت النَّب‬
َ ‫ي‬ ْ ‫َكان‬
Sesungguhnya ummu Habibah pernah mengalami
pendarahan (istihadhah/darah penyakit), lalu dia bertanya
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi
memerintahkannya untuk meninggalkan shalat pada hari-
hari quru’nya (haidhnya). [HR Abu Dâud no. 252 dan
dishahihkan syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dâud] Oleh
karena itu Ibnul Qayyim rahimahullah merajihkan pendapat
ini dan mengatakan, “Lafazh quru’ tidak digunakan dalam
syariat kecuali untuk pengertian haidh dan tidak ada satu
pun digunakan untuk pengertian suci (thuhr), sehingga
memahami pengertian quru’ dalam ayat ini dengan
pengertian yang sudah dikenal dalam bahasa syariat lebih
baik. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
ِ ‫صاَل ةَ َأيَّا َم َأ ْق َراِئ‬
kepada orang yang kena darah istihâdlah : ‫ك‬ َّ ‫د َِع ْي ال‬
Tinggalkan shalat selama masa-masa haidhmu. [7] 2.
Wanita yang tidak haidh, baik karena belum pernah haidh
atau sudah manopause . Bagi wanita yang seperti ini masa
‘iddahnya adalah tiga bulan, seperti dijelaskan Allâh Azza wa

ِ ‫َوالاَّل ِئي يَِئ ْسنَ ِمنَ ْال َم ِح‬


Jalla dalam firman-Nya: ‫يض ِم ْن نِ َساِئ ُك ْم ِإ ِن ارْ تَ ْبتُ ْم فَ ِع َّدتُه َُّن‬
َ‫ ثَاَل ثَةُ َأ ْشه ٍُر َوالاَّل ِئي لَ ْم يَ ِحضْ ن‬Dan perempuan-perempuan yang tidak
haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu
jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. [at-Thalaq/65:4] 3.
Wanita Hamil. Wanita yang hamil bila dicerai memiliki masa
iddah yang berakhir dengan melahirkan, berdasarkan
َ َ‫ال َأ َجلُه َُّن َأ ْن ي‬
firman Allâh Azza wa Jalla : ‫ض ْعنَ َح ْملَه َُّن‬ ُ ‫ َوُأواَل‬Dan
ِ ‫ت اَأْلحْ َم‬
begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. [ath-
Thalaq/65:4] 4. Wanita yang terkena darah istihadhah.
Wanita yang terkena darah istihadhah memiliki masa iddah
sama dengan wanita haidh. Kemudian bila ia memiliki
kebiasaan haidh yang teratur maka wajib baginya untuk
memperhatikan kebiasannya dalam hadih dan suci. Apabila
telah berlalu tiga kali haidh maka selesailah iddahnya.[8] b.
Wanita yang ditalak tiga (talak baa’in). Wanita yang telah di
talak tiga hanya menunggu sekali haidh saja untuk
memastikan dia tidak sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Wanita yang dicerai
dengan tiga kali talak, masa iddahnya sekali haidh. Dengan
haidh sekali berarti sudah terbukti bahwa rahim kosong dari
janin dan setelah itu ia boleh menikah lagi dengan lelaki lain
[9]. 3. Wanita Yang Melakukan Gugat Cerai (Khulu’). Wanita
yang berpisah dengan sebab gugat cerai, masa ‘iddahnya
sekali haidh[10] , sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa
ْ ‫اختَلَ َع‬
hadits dibawah ini: ‫ت ِم ْن زَ وْ ِجهَا َعلَى‬ ْ ‫س‬ ِ ِ‫س َأ َّن ا ْم َرَأةَ ثَاب‬
ٍ ‫ت ب ِْن قَ ْي‬ ٍ ‫ع َْن اب ِْن َعبَّا‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأ ْن تَ ْعتَ َّد بِ َحي‬
‫ْض ٍة‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فََأ َم َرهَا النَّبِ ُّي‬
َ ‫ َع ْه ِد النَّبِ ِّي‬Dari Ibnu
Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa istri Tsabit bin Qais
menggugat cerai dari suaminya pada zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkannya untuk menunggu sekali haidh.
[HR Abu Dâud dan at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh
al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abu Dâud no.1 950]. Juga
hadits yang berbunyi : ‫ت َعلَى َع ْه ِد النَّبِ ِّي‬ ْ ‫ت ُم َع ِّو ِذ ب ِْن َع ْف َرا َءَأنَّهَا‬
ْ ‫اختَلَ َع‬ ِ ‫ع َْن الرُّ بَي ِِّع بِ ْن‬
‫ْض ٍة‬ ْ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأوْ ُأ ِم َر‬
َ ‫ت َأ ْن تَ ْعتَ َّد بِ َحي‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فََأ َم َرهَا النَّبِ ُّي‬
َ Dari ar-
Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’ bahwa beliau
mengajukan gugat cerai di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkannya untuk menunggu iddahnya satu kali
haidh. [HR at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albâni dalm
Shahîh Sunan at-Tirmidzi no. 945]. PERUBAHAN STANDAR
MASA ‘IDDAH DARI HAIDH KE HITUNGAN BULAN Pada
asalnya masa iddah seorang itu menggunakan satu standar
dari sejak mulai sampai akhir. Namun terkadang karena
suatu sebab terjadi perubahan standar. Misalnya, apabila
seorang suami mentalak istrinya yang masih aktif haidh,
kemudian sebelum masa ‘iddahnya selesai, sang suami
meninggal dunia. Wanita seperti ini memiliki dua keadaan :
Baca Juga  10 Ketentuan Talak Dari Al-Qur`ân Dan Sunnah
a. Apabila talak tersebut masih talak raj’i (talak satu dan
dua), maka masa ‘iddah yang wajib diselesaikan oleh wanita
ini bukan lagi dengan hitungan tiga kali haidh tapi sudah
berpindah ke ‘iddah wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari. Karena statusnya
masih tetap sebagai istri. Talak raj’i tidak menghilangkan
status istri pada seorang wanita. Oleh karena itu, wanita
yang ditalak dengan talak raj’i masih saling mewarisi dengan
suaminya, jika salah satunya meninggal sementara sang
istri masih dalam masa ‘iddah. b. Apabila talak tersebut
talak tiga (talak bâ`in), maka ia tetap hanya
menyempurnakan sekali haidh saja dan tidak berubah ke
‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya. Karena
hubungan sebagai suami istri telah terputus sejak talak tiga
itu sah. Talak tiga menyebabkan status istri pada seorang
wanita hilang. Sehingga pada kejadian di atas kematian
sang suami terjadi setelah si wanita bukan sebagai istrinya
lagi.[11] PERUBAHAN STANDAR MASA ‘IDDAH DARI
HITUNGAN BULAN KE HITUNGAN HAIDH Apabila seorang
wanita memulai iddahnya dengan hitungan bulan karena
tidak haidh, baik karena masih kecil atau telah memasuki
masa menopause, namun jika disaat menjalani masa ‘iddah
ini mengeluarkan haidh, maka wajib baginya untuk pindah
dari hitungan bulan ke hitungan haidh. Karena hitungan
bulan adalah pengganti dari haidh. Oleh karena itu,
menghitung dengan bulan tidak boleh dipakai selama masih
ada haidh yang merupakan standar pokok. Apabila masa
‘iddah dengan hitungan bulan tersebut telah tuntas,
kemudian baru mengalami haidh , maka tidak wajib
memulai masa iddah dari awal lagi dengan hitungan haidh.
Karena haidh ada setelah selesai masa iddahnya berlalu.
Apabila seorang wanita memulai hitungan masa ‘iddahnya
dengan haidh atau bulan kemudian ternyata dia hamil dari
suaminya tersebut, maka ‘iddahnya berubah menjadi ‘iddah
wanita hamil yaitu sampai melahirkan.[12] PENUTUP Perlu
diketahui bersama bahwa selama masa ‘iddah, hendaknya
wanita atau isteri yang ditalak raj’i tetap berada di rumah
suaminya, tidak boleh keluar tanpa izin dari suami tersebut.
Allâh Azza wa Jalla berfirman : ‫يَا َأيُّهَا النَّبِ ُّي ِإ َذا طَلَّ ْقتُ ُم النِّ َسا َء فَطَلِّقُوهُ َّن لِ ِع َّدتِ ِه َّن‬
ۚ ‫اح َش ٍة ُمبَيِّنَ ٍة‬ ِ َ‫َوَأحْ صُوا ْال ِع َّدةَ ۖ َواتَّقُوا هَّللا َ َربَّ ُك ْم ۖ اَل تُ ْخ ِرجُوهُ َّن ِم ْن بُيُوتِ ِه َّن َواَل يَ ْخرُجْ نَ ِإاَّل َأ ْن يَْأتِينَ بِف‬
‫ك َأ ْمرًا‬ َ ِ‫ث بَ ْع َد ٰ َذل‬ َ ‫ َوتِ ْل‬Hai
ُ ‫ك ُح ُدو ُد هَّللا ِ ۚ َو َم ْن يَتَ َع َّد ُح ُدو َد هَّللا ِ فَقَ ْد ظَلَ َم نَ ْف َسهُ ۚ اَل تَ ْد ِري لَ َع َّل هَّللا َ يُحْ ِد‬
Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu
‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allâh Rabbmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-
hukum Allâh, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali
Allâh Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. [at-
Thalaq/65:1]. Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata,
“Mengapa demikian, karena status istri padanya belum
hilang, sehingga masih menyisakan sebagian status dari sisi
wanita dan sebagian status dari sisi suami. Hal ini akan
lengkap kembali bila saling rujuk. Sudah dimaklumi apabila
wanita tersebut berada dalam status tidak diceraikan, maka
tidak boleh keluar kecuali dengan izin suaminya, karena
kadang suami membutuhkannya sementara istri sedang
berada di luar rumah. Kadang ketidaksukaan suami
terhadap istri muncul dengan sebab istri keluar rumah atau
menimbulkan kecemburuan. Oleh karena itu dalam hadits
shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dalam shahihain
dan yang lainnya bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : ‫ اَل يَ ِحلُّ لِ ْل َمرْ َأ ِة َأ ْن تَصُو َم َو َزوْ ُجهَا َشا ِه ٌد ِإاَّل بِِإ ْذنِ ِه‬Seorang
wanita tidak boleh berpuasa (sunat) sedangkan suaminya
ada di rumah kecuali dengan izinnya. Apabila (ketentuan) ini
berlaku pada puasa yang merupakan bagian dari ibadah
yang paling agung, lalu bagaimana dengan keluar ? Apabila
kamu bisa memahami ini, maka kamu akan tahu tidak
sepantasnya bagi wanita di masa ‘iddah talak raj’i untuk
keluar kecuali dengan izin suaminya.[13] Demikian sebagian
hukum mengenai masa ‘iddah semoga yang sedikit ini
bermanfaat. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-
858196] _______ Footnote [1]. Lihat Mausû’ah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyah 29/304) [2]. al-Wajîz fi Fiqhissunnah wal
Kitâbil Azîz, hlm. 387 dan Mausû’atul Fiqhiyah al-
Muyassarah fi Fiqhil Kitâb was Sunnah al-Muthahharah,
5/383 [3]. Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304 [4].
Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi, 2/419-420 dan Taudhîhul
Ahkâm bi Syarhi Bulûghil Maram 5/561-562. [5]. Lihat
Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah, 2/383 dan Taudhîhul
Ahkâm bi Syarhi Bulûghil Maram 5/561 [6]. Lihat al-
Mulakhash al-Fiqhi 2/420 [7]. Zâdul Ma’âd, 5/609 [8].
Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392. [10]. Mausû’atul
Fiqhiyah al-Muyassarah, 5/392 [11]. Diambil dari
Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392-393 [12]. Diambil
dari Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/393 [13]. Sailul
Jarrar 2/388 Home/Fiqih : Nikah -.../Masa Iddah Dalam
Islam 🔍 Allah Subhana Wa Ta'ala, Tata Cara Jadi Imam,
Syafaat Nabi Muhammad, Asy'ariyah Al Maturidiyah, Hak
Seorang Muslim  

Referensi: https://almanhaj.or.id/3668-masa-iddah-dalam-
islam.html

Anda mungkin juga menyukai