Anda di halaman 1dari 6

TUGAS CERAI IHDAD SEBAB

ISTRI DITINGGAL MATI SUAMINYA

ALI TOPAN (BUNG ARXIS)


(DOSEN MO. IDRUS)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber hukum Islam menyatakan perkawinan adalah akad yang kuat (Mitsaqon Gholidzan) namun
tidak menutup kemungkinan sebuah perkawinan bisa putus karena sebab-sebab tertentu. Dalam
ilmu fiqih sebuah pernikahan dinyatakan putus disebabkan delapan hal yaitu : talak, khulu’, syiqaq,
fasakh nikah, ta’lik talak, sumpah ila’, zhihar, sumpah li’an, kematian suami atau istri. Sedangkan
dalam KHI Bab XVI pasal 113 dinyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian
dan atas putusan pengadilan.

Bagi seorang perempuan jika pernikahannya dinyatakan putus baik sebab perceraian atau kematian
suaminya, maka ada konsekuesi hukum yang harus dijalani. ‘Iddah dan Ihdad adalah konsekuensi
hukum yang harus di jalani oleh setiap perempuan setelah terjadinya sebuah perceraian, baik cerai
talak, maupun perceraian akibat kematian. ‘Iddah adalah masa tunggu seorang perempuan untuk
mengetahui kondisi rahimnya baik dengan perhitungan masa suci, bulan, atau melahirkan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perceraian akibat suami meninggal?
2. Berapa masa iddah akibat istri yang ditinggal suami wafat?
3. Kenapa akibat kematian suami menimbulkan iddah dan ihdad?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui perceraian akibat suami meninggal!
2. Mengetahui masa iddah akibat istri yang ditinggal suami wafat!
3. Mengetahui akibat kematian suami menimbulkan iddah dan ihdad!
BAB II
PEMBAHASAN

A. Iddah.

Sebelum berbicara tentang Ihdad, akan disinggung iddah terlebih dahulu karena antara iddah dan
Ihdad saling berhubungan, yaitu Ihdad (berkabung) berada dalam masa iddah.

Menurut bahasa Iddah berarti perhitungan, atau sesuatu yang dihitung. Sedangkan menurut
istilah syara‟ adalah nama waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati, atau
diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan dengan pria lain,
atau masa tunggu bagi seorang wanita setelah dicerai talak, atau setelah kematian suaminya,
untuk mengetahui kekosongan rahimnya disebabkan karena cerai talak,

1. Dasar Hukum ‘Iddah

Iddah termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi;

(: ٢٢٨ۚ ‫ات يَت ََربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء ألبقرة‬
ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬

( Artinya :Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri(menunggu) tiga kali quru ( QS. Al-
Baqarah : 228).

Dan adapun ayat yang menjelaskan ketentuan ‘Iddah bagi perempuan akibat kematian yaitu surat
Al-Baqqrah ayat 234

‫ َو َع ْشرًا‬ ‫َأ ْشه ٍُر‬ َ‫َأرْ بَ َعة‬ ‫بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن‬  َ‫يَتَ َربَّصْ ن‬ ‫َأ ْز َواجًا‬  َ‫ َويَ َذرُون‬ ‫ ِم ْن ُك ْم‬  َ‫يُتَ َوفَّوْ ن‬  َ‫َوالَّ ِذين‬

Artinya :Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri


(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah / ihdad) empat bulan sepuluh”

Ayat diatas juga tdak hanya menahan diri untuk iddah tetapi juga menjelaskan wanita yang di
dinggal suaminya untuk ber ihdad.

B. IHDAD.

Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh syara’ tentang hadits yang menerangkan kepatutan bagi
seorang yang ber-ihdad dan sekaligus ukuran timbulnya fitnah bagi seseorang yang ber-ihdad,
yakni hadits Nabi Saw. yaitu:

Artinya: “Menceritakan kepadaku Ya’kub bin Ibrahim al-Dauraki, menceritakan padaku Yahya bin
Abi Bakar, menceritakan padaku Ibrahim bin Tahman, menceritkan padaku Hisyam bin Hasan, dan
menceritakan padaku Abdullah bin al-Jarah al-Qastani dari Abdullah, yakni Ibn Bakar as-Sahmi,
dari Hisyam, ini adalah perkataan Ibnu alJarah dari Hafsah, dari Umi Atthiyah, sesungguhnya Nabi
Saw bersabda; tidak berihdad seorang perempuan lebih dari tiga hari kecuali atas kematian
suaminya, sesungguhnya perempuan tersebut berihdad empat bulan sepuluh hari, dan tidak
menggunakan pakaian yang terbuat, kecuali pakaian yang sederhana dan jangan menggunakan
celak dan jangan menggunakan wangi-wangian kecuali sedikit untuk mensucikan dari
haid,dengan minyak dari qustin atau athfar.” (HR. Abu

Bahwa menurut redaksi hadits tersebut, bagi seorang perempuan yang telah ditinggal mati oleh
suaminya melaksanakan ihdad dengan cara menghindari untuk berhias, seperti memakai celak
kecuali karena butuh

seperti sakit mata, maka yang demikian diperbolehkan mengenakan celak pada malam hari,
memakai wangi-wangian, mengenakan pakaian yang telah dirancang, dan meninggalkan hal-hal
yang disenangi terutama dengan lawan jenis dan lain sebagainya.

Ihdad adalah masa berkabung atau menjahui segala sesuatu yang bisa menggoda laki-laki selama
masa ‘Iddah.

Secara etimologi adalah: mencegah, dan di antara pencegahan itu adalah mencegah perempuan
dari berhias. Hal yang termasuk dalam pengertian Ihdad adalah menampakkan kesedihan.

Adapun Ihdad secara terminologi adalah antisipasi seorang perempuan dari berhias dan termasuk
di dalam pengertian tersebut adalah masa tertentu atau khusus dalam kondisi tertentu, dan yang
demikian adalah Ihdad atau tercegahnya seorang perempuan untuk tinggal pada suatu tempat
kecuali tempat tinggalnya sendiri.4 Masa berkabung (Ihdad) bagi perempuan yang diatur oleh
syari‟a, perempuan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari.

C. Hadits yang Membahas Batas Berkabung bagi Perempuan yang Ditinggal Mati Suami
Istri yang ditinggal mati oleh suaminya padahal ia tidak dalam keadaan hamil maka iddahnya ialah
empat bulan sepuluh hari.  Ketentuan ini meliputi baik istri itu pernah bercampur dengan
suaminya atau belum, keadaan istri itu belum pernah haidh, masih berhaid, ataupun telah lepas
haidh.  Ketetapan ini berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 234, sebagai berikut:

َّ‫اح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما َف َع ْل َن فِي َأ ْنفُسِ ِهن‬


َ ‫ُون َأ ْز َواجً ا َي َت َربَّصْ َن ِبَأ ْنفُسِ ِهنَّ َأرْ َب َع َة َأ ْشه ٍُر َو َع ْشرً ا َفِإ َذا َبلَ ْغ َن َأ َجلَهُنَّ َفاَل ُج َن‬
َ ‫ِين ُي َت َو َّف ْو َن ِم ْن ُك ْم َو َي َذر‬
َ ‫َوالَّذ‬
‫ون َخ ِبي ٌر‬َ ُ‫ِب ْال َمعْ رُوفِ َوهَّللا ُ ِب َما َتعْ َمل‬

Artinya :

“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri, hendaklah para
istri itu menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.  Kemudian apabila telah
habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat pada diri merka
menurut yang patut.  Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”

Menurut firman Allah ini istri yang ditinggalkan mati oleh suaminya setelah mengakhiri masa
iddahnya dibolehkan berbuat sesuatu yang patut bagi dirinya sendiri semisal berhias, memakai
wangi-wangian, bepergian, atau menerima pinangan.  Perhitungan bulan dalam iddah dibulatkan
dengan 30 hari, sehingga empat bulan sepuluh hari berarti 130 hari.[16]

Redaksi hadits tentang batas berkabung bagi perempuan hamil

:‫ال‬0‫ك ق‬0‫نابل ابن بعك‬0‫ عن ابى الس‬,‫ود‬0‫راهيم عن اس‬0‫ عن اب‬,‫ور‬0‫يبان عن منص‬0‫دثنا ش‬0‫د ح‬0‫حدثنا احمد بن منيع حدثنا حسين بن محم‬
‫ذكر‬00‫ك ف‬00‫ا ذل‬00‫انكر عليه‬00‫اح ف‬00‫ فلما تعلت تشوفت للنك‬,‫ او خمسة وعشرين يوما‬,‫وصعت سبيعة بعدوفاة روجها بثالثة وعشرين يوما‬
‫ذلك للنبى صلى هللا عليه وسلم فقال إن تفعل فقد حل اجلها‬.

Artinya:

“Dari Ahmad bin Mani’ dari Husain bin Muhammad dari Syaiban dari Mansur dari Ibrahim dari
Aswad dari Abi al-Sanabil ibn Ba’kak berkata Subai’ah melahirkan kira-kira dua puluh tiga hari atau
dua puluh lima hari setlah suaminya meninggal, setelah nifasnya selesai, dia merencanakan
pernikahan kemudian hal tersebut diceritakan pada Nabi Saw, maka Nabi berkata: “Jika dia
berbuat seperti itu, maka sesungguhnya batas, menunggunya setelah selesai.”

Apabila istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil, melahirkan dalam waktu tidak
sampai empat bulan sepuluh hari, mayoritas (jumhur) ulama, menurut Ibn Rusyd berpendapat
bahwa masa iddah wanita tersebut adalah sampai melahirkan, meskipun selisih waktu kematian
suami hingga ia melahirkan hanya setengah bulan atau kurang dari 130 hari.[18]

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Umi Salamah bahwa seorang perempuan dari Aslam
namanya Subai’ah menjadi istri dari seseorang lalu suaminya itu meninggal ketika ia sedang
hamil.  Ia kemudian dipinang oleh Abu As-Sanabil bin Bu’kuk, tapi dia menolak kawin dengannya. 
Maka laki-laki itu berkata, “demi Allah, memang belum saatnya kamu kawin, sebelum menunggu
dulu sampai akhir dari dua ketentuan (bersalin atau 4 bulan 10 hari).” Subai’ah pun menunggu
hampir 10 malam lamanya, kemudian dia pun bernifaslah (bersalin).  Kemudian datang kepada
Nabi, maka sabda beliau “kawinlah”[20]

 Iddahnya wanita yang ditinggal suami dalam keadaan hamil telah diperselisihkan oleh para
ulama’. Segolong para sahabat Nabi dan beberapa ulama’ fiqh terkemuka berpendapat, bahwa
wanita seperti ini hendaknya menunggu iddah yang terpanjang diantara dua ketentuan, apakah
akan menunggu sampai melahirkan kandungannya, ataukah sampai 4 bulan 10 hari.  Mana
diantara keduanya yang terpanjang, itulah yang dipilih.  Madzhab ini adalah madzhab yang
dinisbathkan kepada sebagian sahabat Nabi, antara lain Abdullah bin Abbas.  Sedangkan
segolongan yang lain berpendapat, iddahnya cukup sampai melahirkan, madzhab yang
dinisbathkan kepada Abdullah bin Mas’ud.[21]

Jika yang diambil adalah madzhab yang pertama, maka itu merupakan kehati-hatian (ikhtiyath)
yang sempurna dalam menunaikan nash-nash al-Quran al-Karim.  Sedang kalau yang dipakai itu
madzhab yang kedua, maka itupun didukung oleh nash-nash yang cukup banyak dalam as-Sunnah
yang keluar lewat jalur-jalur sanat yang sah, yang semuanya mendukung bahwa iddah wanita
yang sedang hamil itu sampai dia melahirkan kandungannya,  baik setelah ia ditalak atau ditinggal
mati suaminya.[22] 

Berkata jumhur ulama’ dari kalangan salaf dan ahli-ahli fatwa berpendapat, bahwa orang yang
hamil apabila ditinggal mati suaminya, bahwa iddahnya sampai ia melahirkan anaknya.  Hadits-
hadits dan atsar-atsar sahabat dalam bab ini menegaskan, bahwa firman Allah “Dan perempuan-
perempuan yang hamil, masa iddah mereka adalah sampai melahirkan anak mereka.  Itu bersifat
umum meliputi semua jenis iddah. 

Hadits Perempuan tidak Boleh Berhias pada Masa Berkabung

‫حدثنا ادم بن أبى اياس حدثنا شعبة حدثنا حميد بن نافع عن زينب ابنة ام سلمة عن امها أن إمرأة توفى زوجها فخشوا عينبها فأتوا‬
‫ان‬00‫إذا ك‬00‫ربيتها ف‬00‫ها أوش‬00‫دا كن تمكث فى شراحالس‬00‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فاستأ ذنوه فى الكحل فقال ال تكحل قد كانت اح‬
.‫حول فمر كلب رمت ببعرة فالحتى تمضى أربعة اشهر وعشر‬

Artinya :

“Dari Adam bin Abi Iyas dari Syu’bah dari Humaid bin Naif dari Zainab anak perempuan Umi
Salamah dari ibunya, ia berkata, “Ada seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya sampai
matanya sakit kemudian ia datang pada Rasul Saw kemudian minta izin untuk memakai celak.”  
Kemudian Rasul berkata, “Jangan bercerlak sesungguhnya diantara kamu ada yang berdiam
ditempat yang paling jelek atau rumahnya yang paling jelek.  Dan jika telah sampai satu tahun
lewatlah seekor anjing dan dilempari kotoran, maka janganlah bercelak, sampai empat bulan
sepuluh hari.”

Dalam lafad ‫ال تكتحل‬ yang berarti tidak boleh memakai celak, sebagian ulama berpendapat,
pencegahan disini tidak sampai pada tingkat keharaman, tapi bagi yang memilih jalur yang hati-
hati, makna lafad tersebut adalah haram.  Jika bercelak tersebut karena terpaksa, maka agama
Allah sangat mudah dijalankan, karena yang dimaksud keharaman disini mengecualikan konteks
darurat (bahaya).  Pemaknaan darurat dalam hal tersebut adalah tidak memakai celak yang
dipergunakan untuk berhias, yaitu celak yang tidak ada parfumnya.  Menurut Ibn Abdul al-Hakim,
celak warna kuning tidak digunakan berhias, karena terlihat jelek.[25]

Dalam riwayat Ibnu al-Mawas dari Malik menyebutkan jika menginginkan memakai wewangian,
maka boleh bercelak dengan wewangian tersebut, karena agama Allah sangatlah mudah
dilaksanakan, diriwayatkan pula darinya bahwa boleh bercelak di malam hari dan menghapusnya
pada siang hari dengan celak yang tidak mengandung wewangian.  Ketidakbolehan memakai kain
yang diwarnai alasannya ialah karena warna bisa menarik perhatian pandangan dan
menyenangkan hati. 

Dari Malik juga menyebutkan bahwa seorang wanita yang suaminya meninggal hendaklah
meminyaki matanya dengan minyak zaitun dan minyak wijen dan yang sejenisnya sepanjang tidak
ada parfum didalamnya dan tidak memakai permata, anting-anting, gelang kaki, atau
semacamnya, ia juga hendaklah tidak memakai pakaian warna-warni, bergaris-garis kecuali itu
adalah kain kasar, dan tidak memakai pakaian berwarna lain kecuali hitam, dan ia juga hendaknya
tidak menghiasi rambunya dengan sesuatu selain daun seroja, atau yang lainnya sepanjang tidak
mewarnai rambut.[26]

Selain itu, iapun tidak boleh keluar rumah tanpa suatu keperluan, kalau ia hendak keluar karena
sesuatu keperluan, seperti untuk membeli kain, atau menjual sulaman, maka itu tidak boleh
dilakukannya pada malam hari.  Dan dibolehkan bagi wanita yang ditinggal mati suaminya untuk
keluar guna menunaikan hajat di waktu siang hari.[27]

Seorang istri yang ditinggal mati suaminya, bolehkah ia berdandan atau menghias diri atau apakah
ia harus berkabung selama satu tahun seperti kebiasaan masyarakat penyembah berhala atau
barang kali seperti pada zaman modern ini, istri sama sekali justru tidak berkabung untuk masa
tertentu, lalu ia cukup berkabung seminggu atau tiga hari.  Setelah itu dia tampil dengan bebas
dengan pakaian dan perhiasan yang mencolok tanpa terlihat bekas bela sungkawanya terhadap
bekas suaminya yang baru saja meninggal.[28] 

Adapun ketentuan Islam mewajibkan kepada istri yang ditinggal mati oleh suaminya untuk
berkabung selama 4 bulan 10 hari dan dalam masa itu istri tidak boleh keluar rumah di mana ia
ditempatkan oleh suaminya dan begitu pula keluarga suami tidak boleh menyuruh dia keluar dari
rumahnya sebelum jangka waktu berkabung  4 bulan 10 hari habis.  Jadi bukan 1 tahun seperti
tradisi zaman jahiliyah atau juga seperti tradisi masyarakat barat yang tidak mengenal ketentuan
masa berkabung seperti yang ditetapkan Islam. Dan harus diperhatikan oleh para wanita atau istri
yang ditinggal mati suaminya, bahwa dalam masa berkabung tidak dibenarkan untuk berhias diri
atau memakai perhiasan untuk menampilkan diri dengan dandanan yang tidak patut. 

Yang dimaksud dengan dandanan atau merias diri yang tidak patut ialah berhias diri seolah-olah ia
menghadapi suaminya, sehingga dapat menarik perhatian lelaki lain.

Yang dimaksud dengan ihdad (masa berkabung) adalah masa di mana seseorang harus
memiliki rasa, yaitu;
1. mempersiapkan.
2. menata mental.
3. menambahkan kesabaran bagi orang yang ditinggal.

Di mana tiga poin di sini adalah merupakan ketentuan hukum agar seseorang melakukan
hal yang sesuai dengan (dasar syari’at) dari dasar syari’at tersebut antara lain, dengan
kompromi, keserasian dan keadilan. Pandangan Ulama Tentang Ihdad Ulama bersepakat
terhadap kewajiban ihdad atas seorang perempuan pada masa meninggalnya seorang
suami, yakni dari pernikahan yang sah meskipun seorang perempuan belum di dukhul,
adapun dasar dari pernyataan tersebut adalah Hadits Nabi Muhammad S.A.W.:
“Menceritakan padaku Muhammad bin al-Mutsanna mencerita- kan padaku Ja’far,
menceritakan padaku Syu’bah dari Humaid bin Nafi’ berkata aku mendengarkan Zainab
binti Umm Salamah berkata Hamim (saudara laki-lakinya) meninggalkan Ummi Habibah,
kemudian Umi Habibah memakai wangi-wangian berwarna kuning, kemudian
mengusapnya dengan dua tangannya, dan Ummi Habibah berkata sesungguhnya aku
memakai wangi- wangian ini karena aku mendengarkan Rasulullah S.A.W bersabda
“Tidak boleh seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung
untuk orang mati kecuali untuk suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Dan Ummi
Habibah memberitahukan tentang ibunya dan tentang Zainab isteri Rasulullah, dan
tentang seorang perempuan yang menjadi bagian isteri Rasul.” (HR. Muslim)
Sebagaimana yang telah disepakati oleh para Ulama, atas dasar hadits tersebut tidak
terdapat masa ihdad bagi laki-laki. Dan atas dasar tersebut menunjukkan bahwa atas dasar
hadits tersebut, maka bagi seorang perempuan, tidak terdapat ihdad yang tertalak raj’iy.
Akan tetapi, Imam Syafi’y berpendapat bahwa bagi perempuan yang tertalak raj’iy
sunnah melakukan ihdad jika tidak terdapat harapan antara suami isteri rujuk kembali.
Imam Malik berpendapat bahwa ihdad diwajibkan atas perempuan muslimah dan ahli
kitab, baik yang masih kecil maupun sudah dewasa. Mengenai hamba perempuan yang
ditinggal mati oleh orang tuannya, baik ia sebagai ummul walad (hamba perempuan yang
telah memperoleh anak dari tuannya) atau bukan,.

D. Ihdad Menurut Para Ulamak

1. Kedudukan Ihdad Menurut Madzhab Syafi’i


Ihdad Didalam masalah ihdad ini madzhab syafi’I dengan madzhab lainnya sepakat wajib bagi
wanita yang kematian sang suami. Akan tetapi mereka berbeda pendapat apabila keadaan
status wanita itu berbeda. Dengan demikian kalau selain kewafatan suami ia tidak wajib
berihdad. Maka dari itu seorang wanita yang ditinggal mati suaminya dituntut supaya tidak
berhias diri selama dalam iddah sebagai pernyataan ikut belasungkawa atas kematian
suaminya. Sayyaid Sabiq menyatakan bahwa wanita yang kematian suaminya wajib atasnya al-
hidad selama masa iddah.

2. Kedudukan Ihdad Menurut Madzhab Syafi’i

Dalam hal ini ulama Hanafiyah sepakat dengan dengan pendapat Madzhab Syafi’I bahwa istri
yang belum digauli maka tidak ada iddah baginya

Imam Syafi’I (didukung oleh Hambali dan Maliki) mengatakan bahwa wanita itu wajib
beriddah, akan tetapi Imam Syafi’I tidak mewajibkan wanta itu untuk bersolek ketika menjalani
iddah. Sementara imam Hanafi berkomentar bahwa tidak ada iddah bagi wanita bukan muslim
yang bersuami non muslim. (wahab alZuhaily,:634)

Ihdad Tidak ada perbedaan dikalangan para ulama madzhab bahwa wanita yang ditinggal oleh
suaminya wajib melakukan ihdad baik wanita itu sudah lanjut usia, maupun masih kecil,
muslimah maupun non muslimah. Kecuali hanafi bahwa wanita dzimmi dan masih kecil tidak
harus menjalani ihdad sebab mereka berdua adalah orang-orang yang tidak kenai kewajiban
(ghoiru mukallaf).(Muhammad Ismail,1995:302).

E. IHDAD PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

Ihdad (berkabung) perempuan yang ditinggal mati oleh suami telah diatur didalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) tentang masa berkabung seorang perempuan (isteri) yang ditinggal mati
suaminya, dijelaskan dalam pasal 170, Bab XIX, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang ”MASA
BERKABUNG”, sebagai berikut : a. Ist eri yang ditinggal mati oleh suami, wajib melaksanakan masa
berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya
fitnah. b. Suami yang ditinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut
kepatutan. Dari sini dapat digambarkan, bahwa perempuan (isteri) memiliki kewajiban
melaksanakan iddah serta ihdad, karena ditinggal mati oleh suaminya selama empat bulan
sepuluh hari. Hal ini merupakan suatu kondisi di mana isteri harus menahan diri atau berkabung
selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu, isteri hendaknya menyatakan dukanya
dengan tidak berhias, tidak bercelak mata dan tidak boleh keluar rumah. Cara ini bertujuan hanya
untuk menghormati kematian suami. Apabila masa iddah telah habis, maka tidak ada larangan
untuk berhias diri, melakukan pinangan, bahkan melangsungkan akad nikah.

Anda mungkin juga menyukai