Anda di halaman 1dari 9

BAB I

‘IDDAH DALAM PERSPEKTIF HADITS

A. Pengertian Iddah
Iddah berasal dari bahasa Arab yang berasal dari akar kata adda ya’addu-‘idatan
dan jamaknya adalah ‘idad yang secara arti kata (etimologi) berarti : “menghitung” atau
“hitungan”. Kata ini digunakan untuk maksud iddah karena dalam masa itu si perempuan
yang ber-iddah menunggu berlalunya waktu.
Dalam kitab fiqih ditemukan definisi iddah itu yang pendek dan sederhana
diantaraanyaa adalah Atau masa tunggu yang dilalui oleh seorang
perempuan. Karena sederhananya definisi itu, iddah masih memerlukan penjelasan
terutama mengenai apa yang ditunggunya, kenapa dia menunggu, dan untuk apa dia
menuggu.
Untuk menjawab apa yang ditunggu dan kenapa dia harus menunggu, Al-Shan’aniy
mengemukakan definisi yang agak lebih lengkap sebagai berikut :

“Nama bagi suatu masaa yang seorang perempuan menunggu dalam masa itu kesempatan
untuk kawin lagi karena wafatnya suaminya atau bercerai dengan suaminya”.
Untuk menjawab pertanyaan untuk apa dia menunggu, ditemukan jawabannya
dalam ta’rif lain yang berbunyi :

“Masa tunggu yang harus dilalui oleh seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya
rahim perempuan itu atau untuk beribadah”
Dari beberapa definisi tersebut dapat disusun hakikat dari iddah tersebut adalah
masa yang harus ditunggu oleh seorang perempuan yang telah bercerai dari suaminya
supaya dapat kawin lagi untuk mengetahui bersih rahimnya atau untuk melaksanakan
perintah Allah.
B. Hukum Dan Dasar Hukumnya
Yang menjalani iddah tersebut adalah perempuan yang bercerai dari suaminya,
bukan laki-laki atau suaminya. Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk
apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih haid atau tidak, wajib

1
menjalani masa iddah itu. Kewajiban menjalani masa iddah dapat dilihat dari beberapa ayat
Al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228 :
         
     
         
    
         
     
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'[142]. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Diantara hadits Nabi yang menyuruh menjalankan masa iddah tersebut adalah apa
yang disampaikan oleh Aisyah menurut riwayat Ibnu Majah dengan sanadnya yang kuat
berbunyi :

“Nabi SAW menyuruh Burairah untuk beriddah selama tiga kali sucian”

C. Tujuan Dan Hikmah Hukum


Adapun tujuan dan hikmah diwajibkanya iddah itu adalah sebagaimana dijelaskan
dalam salah satu definisi yang disebutkan diatas :
Pertama, untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebut dari bibit yang
ditinggalkan mantan suaminya. Hal ini disepakati oleh ulama. Pendapat ulama’ waktu itu
didasarkan kepada dua alur pikir :
 Bibit yang ditinggal mati suaminya dapat berbaur dengan bibit orang yang akan
mengawininya untuk menciptakan sutu janin dalam perut perempuan tersebut. Dengan
pembauran itu diragukan anak siapa sebenarnya yang dikandung oleh perempuan
tersebut. Untuk menghindari pembauran bibit itu, maka perlu diketahui atau diyakini
bahwa sebelum perempuan itu kawin lagi rahimnya bersih dari peninggalan mantan
suaminya.
 Tidak ada cara untuk mengetahui apakah perempuan yang baru berpisah dengan
suaminya mengandung bibit dari mantan suaminya atau tidak kecuali dengan datangnya
beberapa kali haid dalam masa itu. Untuk itu diperlukan masa tunggu.

2
Alur pikir pertama tersebut diatas tampaknya waktu ini tidak relevan lagi karena
sudah diketahui bahwa bibit yang akan menjadi janin hanya dari satu bibit dan berbaurnya
baberapa bibit dalam rahim tidak akan mempengaruhi bibit yang sudah memproses menjadi
janin itu. Demikian pula alur pikir kedua tidak relevan lagi karena waktu ini sudah ada alat
yang canggih untuk mengetahui bersih atau tidaknya rahim perempuan dari mantan
suaminya.meskipun demikian, tetap diwajibkan dengan alasan dibawah ini.
Kedua, untuk taabud, artinya semata untuk memenuhi kehendak dari Allah meskipun
secara rasio kita mengira tidak perlu lagi. Contoh dalam hal ini, umpamanya perempuan yang
kematian dan belum digauli oleh suaminya itu, masih tetap wajib menjalani iddah , meskipun
dapat dipastikan bahwa mantan suaminya tidak meninggalkan bibit dalam rahim istrinya itu.
Adapun hikmah yang dapat diambil dari ketentuan iddah itu adalah agar suami yang
telah menceraikan istrinya itu berpikir kembali dan menyadari tindakan itu tidak baik dan
menyesal atas tindakannya itu. Dengan adanya iddah dia dapat menjalin kembali hidup
perkawinan tanpa harus mengadakan akad baru.
Sedangkan iddah perempuan hamil yang berakhir dengan persalinan adalah :
Subai’ah Binti Al-Harits menerangkan :

“Bahwasanya Subai’ah menjadi istri dari Saad ibn Khaulah dan Saad itu dari golongan
bani Amir ibn Luay dan dia itu diantara orang-orang yang turut menyaksikan
peperangan Badar. Dia meninggal dalam haji wada’, sedang Subai’ah saat itu lagi
mengandung. Sesudah Saad wafat, Subai’ah pun melahirkan anaknya. Manakala dia
telah suci dari nifasnya, dia berhgias diri untuk menerima para peminangnya. Maka
Abas Sanabil ibn Ba’kak masuk ke tempatnya. Dia seorang laki-laki dari Bani Abdid Dar

3
Abas Sanabil berkata kepada Subai’ah : “mengapa saya melihatmu berhias untuk para
peminang, apakah engkau ingin menikah? Demi Allah engkau tidak bisa menikah
sebelum berlalu empat bulan sepuluh hari, Subai’ah berkata : ”setelah ia berkata
demikian kepadaku, saya pun berpakaian. Ketika itu hari telah petang , dan sayaa pun
pergi ke Rasulullah. Saya bertanya kepada Rasulullah tentang itu. Maka Nabi
memberikan fatwa kepada saya, bahwasanya saya telah halal bersuami kembali,
sesegera setelah, saya melahirkan, dan menyuruh saya bersuami kembali jika sayaa
kehendaki”. 1
Abu Salama ra. Berkata :

“Seseorang laki-laki dating kepada Ibnu Abbas, sedang Abu Hurairah dikala itu duduk
disitu. Orang itu berkata : Berikanlah kepadaku fatwa tentang seorang istri yang
melahirkan anak sesudah empat puluh malam suaminya meninggal. Ibnu abbas
menjawab : dia beriddah dengan iddah yang paling panjang dari dua tempo iddah.
Mendengar itu saya pun berkata Tuhan “ dan perempuan yang hamil, akhir iddahnya
ialah melahirkan anak. Abu Hurairah berkata saya berpendirian dengan anak saudara
ini. Karena itu Ibnu Abbas mengirimkan seorang budaknya bernama Kuraib pergi
kepada Ummu salamah untuk bertanya. Ummu Salamah menjawab : Suami Subai’ah Al-
aslamiyah gugur dalam perang, sedang ia dikala itu lagi hamil. Kemudian ia melahirkan
anaknya sesudah empat puluh malam suaminya meninggal. Kemudian ia dipinang orang,
maka rasulullah menikahkannya. Anus Sanabil adalah asalah satu seorang
peminangnya”.
Jumhur Ulama’ Salaf dan Khalaf berpendapat bahwa istri yang suaminya
meninggal dalam keadaan hamil, maka iddahnya adalah selesai bersalin walaupun dia

1
Al-Bukhari 64; 10; Muslim 18:8; Al-Lu’lu-u wal Marjan 2 : 137

4
bersalin sesudah beberapa jam saja saat dari suaminya meninggal dan halallah dia nikah
kembali, bukan empaat bulan sepuluh hari.
Ali Ibn Abbas dan Sahnun Al-Maliki berpendapat bahwasanya iddahnya adalah
mana yang lebih lama dari dua iddah tersebut, yakni empat bulan sepuluh hari atau
bersalin. Asy sya’bi dan Al-Hasan berpendapat bahwaa dia baru boleh bersuami sesudah
suci dari nifas.
Ayat-ayat yang menerangkan iddah perempuan kedua-duaanya umum. Yang
pertama menerangkan bahwa segala perempuan yang suaminya meninggal beriddah
empat bulaan sepuluh hari. Yang kedua menerangkaan, bahwa perempuan hamil
beriddah setelah bersalin.
Maka karena berlawanan dua umum ini jumhur Ulama’ mempergunakan hadits
Subai’aah ini untuk mentakhsishkan salah satunya. Hasilnya ialah iddah empat bulan
sepuluh hari diharapkan kepada perempuan yang suaminya meninggal dalam keadaan
tidak hamil. Para ulama’ berkata : bila ia telah bersalin, berakhirlah iddahnya walaupun
yang dilahirkan itu tidak sempurna keadannya, ataupun hanya segumpal daging, asal
sudah berbentuk manusia.
Hadits ini memberikan pengertian bahwa perempuan yang hamil, apabila
ditinggal mati suaminya maka iddahnya adalah bukan empat bulan sepuluh hari
melainkan hingga ia bersalin.2
Wajib ihdad (berkabung) karena iddah mati
Zainab Binti Abi Salamah berkata :

2
An-nawawy 10:109-111; nailul Auhar 7:87-88

5
“Saya masuk ke dalam bilik Ummu Habibah istri Nabi SAW ketika ayahnya Abu
Sufyan ibn Harb meninggal, Ummu Habibah meminta dibawa kepadanya bau-bauan
yang bercampur kumkuma, khaluq, ataupun selainnya. Kemudian Ummu Habibah
menyapu badan seorang jariyah, sesudah itu beliau menyapu mukanya. Sesudah itu
beliau berkata : Demi Allah sebenarnya saya tidak membutuhkan bau-bauan.
Bahwasanya saya mendengar Rasulullah bersabda : tidak halal bagi bagi perempuan
yang beriman kepada Allah dan RasulNya serta hari akhir berihdad terhadap orang mati
lebih dari tiga malam, terkecuali terhadap suami, empat bulan sepuluh hari. Zainab Binti
Salamah berkata : maka saya masuk ke tempat Zainab Binti jahasy ketika saudaranya
meninggal. Dia meminta orang membawa kepadanyabau-bauan dan dia memakainya,
kemudian dia berkata : sebenarnya saaya tidak membutuhkan bau-bauan, bahwaasanyaa
saaya mendengar Rasulullah SAW bersabda diatas mimbar : tidak halal bagi seorang
perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berihdad karena kematian
seseorang lebih dari tiga malam, terkecuali kekarena kematian suaminya, empat bulan
sepuluh hari. Zainab berkata : saya mendengar ummu Salamah berkata : seorang
perempuan dating kepada Rasulullah SAW lalu berkata : ya Rasulullah, sesungguhnya
anaak perempuanku telah kematian suaminya sedang ankku itu seoarng perempuan yang
berpenyakit mata, apakah boleh saya mencelaki matanyaa. Rasul SAW menjawab : tidak,
dua atau tiga kali. Semuanya beliau mengatakan tidak. Kemudian Rasul berkata :
bahwasanya empat bulan sepuluh hari. Dahulu di masa jahiliyah kamu melempar
dengan tahi kering. Sesudah setahun berlalu meninggalkan suaminya. Kata Humaid
(perawi dari Zainab). Saya bertanya kepada Zainab : apakah arti melempar dengan
kotoran binatang sesudah setahunmeninggalnya suami? Zainab menjawab : seorang istri
apabila suaminya meninggal masuklah ia ke dalam suatu bilik yang sempit dan kecil
dengan memakai pakaian yang amatburuk. Dia tidak memakai bau-bauan hingga berlalu
setahun penuh. Kemudian kepadanya dibawa seekor kedelai, atau kambing, atau burung,
kemudian mengakhiri keadaanynya selama dalam iddah, yaitu menyapu kemaluannya
dengan burung itu. Kerapkali binatang yang dibuat kemudian mati. Sesudah itu dia
keluar dari biliknya lalu diberikan kepadanya tahi dan melemparkannya. Sesudah itu
barulah ia memakai apa yang ia kehendaki, bau-bauan ataupun selainnya. Pernah orang
bertanya kepada Malik, (salah seorang perawi hadits ini) apakah arti dia beriftidhadh
dengan burung itu? Malik menjawab : dia menyapu kulitnya dengan burung itu “.3
Ummu Athiyah r.a berkata :

3
Al-Bukhary 68: 46; Muslim 18:9; al Lu’Lu-u Marjan 2: 139)

6
“Kami dilarang berihdad (berkabung) untuk seseorang yang mati lebih dari tiga
hari terkecuali untuk suami, emapt bulan sepuluh hari. Kami tidak bercelak, tidak
memakai bau-bauan, tidak memakai pakaian yang dicelup, selain dari kain buatan
Yaman. Yang demikian dibenarkan untuk kami diwaktu suci, apabila seorang kami mandi
dari haid, mamakai bau-bauan orang Arab Dusun”.
Ummu Habibah menerangkan bahwasanya sebenarnya ia tidak menyukai bau-
bauan. Dia sengaja memakainya supaya orang jangan menyangka bahwa dia berkabung
lantaran kematian ayahnya, Nabi tidak membenarkan seorang perempuan berkabung
lantaran seorang keluarganya meninggal lebih dari tiga malam, terkecuali terhadap
suami, yang lama masa berkabungnya empat bulan sepuluh hari.
Asal makna ihdad, ialah menghalangi atau melarang. Karenanya pemgawal pintu
disebut haddad, sedang hukum siksa disebut had, karena dia menghardik si pesakitan dari
berbuat kesalahan lagi.
Berihdad yang dimaksud disini, ialah para istri yang sedang beriddah dari
kematian suaminya, menghindarkan diri dari memakai bau-bauan dan menolak pinangan.
Apabila seseorang perempuan suaminya meninggal maka tidak boleh dia bersolek
sebelum hari kesebelas sesudah genap empat bulan sepuluh hari.
Perkatan lim-raatin = seorang perempuan, dipergunakan oleh golongan Hanafiyah
untuk tidak mewajibkan ihdad atas gadis kecil yang suaminya meninggal.
Juga perkataan tu’ minu billahi, yang berman kepada Allah, mereka pergunakan
untuk tidak mewajibkan ihdad atas perempuan yang tidak Islam.
Perkatan ala mayyitin, karena kematian seseorang, memberi pengertian bahwa
tidak ada ihdad atas perempuan yang tidak diketahui kemana suaminya pergi dan tidak
ada kabar beritanya lagi..
Menurut lahir perkataan illa ‘ala zaujin = melainkan terhadap suaminya bahwa
terhadap yang selain suami tidak boleh berihdad lebih dari tiga hari.
Zainab mengatakan pula bahwa dia mendengar Ummu Salamah menerangkan
bahwa pernah seorang perempuan bernama Atikah binti Nu’aim dating bertanya kepada
Rasul, apakah dia boleh membubuhkan celak dimata anaknya untuk menjadi obat sedang
anaknya itu lagi berkabung.
Didalam Muwaththa’ diterangkan bahwa Nabi SAW bersabda Bahwa :”Kalau
terpaksa boleh pada malam hari, tidak pada siangnya, kalau tidak dibutuhkan tidak boleh
sama sekali”.
Dimasa jahiliyah seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, diharuskan
berkurung dalam sebuah bilik kecil yang sangat buruk dengan memakai pakaian lusuh,

7
tidak boleh memakai bau-bauan sebelum berlalu genap setahun si suami meninggal.
Setelah setahun kemudian dibawalah kepadanya seeokr kedelai, atau kambing atau
burung. Maka si perempuan itu diharuskan menggosokkan kemaluannya dengan burung
tersebut. Burung itu lazimnya tidak bias hidup lagi.
Ada yang mengatakan, sesudah ia menggosok badannya ke tubuh binatang,
barulah ia dibolehkan mandi dengan air bersih. Selama setahun itu dia tidak boleh
mengerat kuku, menghilangkan bulu, bahkan tidak membolehkan mandi.
Menurut Ibnu Qutaibah dia mengakhiri masa iddahnya dengan menggosok
kemaluannya denagn burung itu.
Lama masa berkabung yang wajib adalah selama empat bulan sepuluh hari jika
yang meninggal suami, baik yang disetubuhi ataupun yang belum, baik yang kecil
maupun yang besar, baik yang merdeka ataupun budak demikian menurut As-Syafi’ie.
Rasul membenarkan kaum perempuan yang berkabung, apabila mandi dari haid
mempergunakan kayu cendana untuk menghilangkan bau darah.
Kata An-Nawawy “ Kaum perempuan menggosok bekas-bekas darah dengan
potongan kamfer untuk menghilangkan bau darah bukan untuk berwangi-wangian”.
Para Ulama’ menetapkan bahwa tidak ada perkabungan atas ibu anak dan atas
budak bila yang meninggal tuannya, dan tidak pula atas perempuan yang dalam ‘iddah
raj’iyah (yang masih dapat dirujuk).
Hadits pertama, menyatakan bahwa perempuan yang sedang berkabung tidak
boleh memakai celak.
Hadits kedua, memberi pengertian bahwa perempuan boleh memakai apa yang
ada manfaatnya dari benda-benda yang dilarang apabila yang demikian itu bukan maksud
untuk bersolek.

8
DAFTAR PUSTAKA
 Muhammad Hasby As-Shiddiqi, Mutiara Hadits 5, Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2003
 An-Nawawy 10:109-111; Nailul Auhar
 Al-Bukhary 68: 46; Muslim 18:9; al Lu’Lu-u Marjan

Anda mungkin juga menyukai