PEMBAHASAN
Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu sedangkan kewajiban sesuatu
yang harus di kerjakan. Berbicara tentang kewajiban suami dan hak suami istri alangkah
baiknya kita mengetahui apakah sebenarnya kewajiban dan hak itu. Drs.H.Sidi Nazar Bakry
dalam buku karanganya yaitu “kunci keutuhan rumah tangga yang Sakinah” mendefenisikan
bahwa kewajiban dengan sesuatu harus dipenuhi dan dilaksanakan dengan baik. Sedangkan
hak adalah sesuatu yang harus diterima.
Dari defenisi di atas dapat kita simpulkan bahwa kewajiban suami istri adalah sesuatu
yang harus suami laksanakan dan penuhi untuk istrinya. Sedangkan kewajiban istri adalah
sesuatu yang harus istri laksanakan dan lakukan untuk suaminya. Begitu juga dengan
pengertian hak suami adalah sesuatu yang harus diterima suami dari istrinya. Sedangkan hak
isteri adalah sesuatu yang harus di terima isteri dari suaminya. Dengan demikian kewajiban
yang dilakukan oleh suami merupakan upaya untuk memenuhi hak isteri.
Demikain juga kewajiban yang dilakukan istri merupakan upaya untuk memenuhi
hak suami, sebagaimana yang di jelaskan Rasulullah SAW :
اﻻ إن ﻟﮝﻢ ﻋﻠﻰ ﻧﺴﺎﺋﮝﻢ ﺣﻗﺎ ﻮﻟﻨﺴﺎﺋﮝﻢﻋﻠﻴﮑﻢ ﺣﻗﺎ
Artinya : “ketahuilah, sesungguhnya kalian mempunyai hak yang harus (wajib)
ditunaikan oleh isteri kalian dan kalianpun memiliki hak yang harus (wajib) kalian
tunaikan” (HR; Shahil ibnu Majh no.1501, Tirmidzi II 315 no.1173 den Ibnu Majah I 594
no.1815).
B. PENGERTIAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DAN MACAM-
MACAMNYA
(Mereka ( orang-orang yang beruntung ) adalah orang-orang yang menjaga kemaluan mereka .
Kecuali kepada pasangan atau hamba sahaya yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka
tidak tercela)
QS Al-Baqarah ayat 222 :
(Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran".
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri)
dan QS Al-Mujadalah ayat 3 ayat itu turun untuk menjawab
pertanyaan sahabat kepada nabi tentang kebiasaan Yahudi pada saat itu yang
1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2014), 155.
mengucilkan istrinya saat haid di mana mereka tidak mau berkumpul bahkan
pertanyaan itu turunlah ayat di atas kemudian menjawab bahwa larangan
mendekati wanita saat haid itu maksudnya adalah larangan melakukan
persetubuhan kecuali nikah dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa ayat di
atas turun berkenaan dengan pernyataan dan keyakinan yang bahwasanya jika
mengumpul lewat belakang Maka anaknya akan Juling ketika hal itu
ditanyakan oleh sahabat pada nabi maka turunlah ayat di atas untuk
membantahnya Nabi kemudian menjelaskan silakan lakukan dari depan atau
belakang sepanjang dilakukan di vagina dalam teks lain disebutkan Silahkan
lakukan dari depan atau belakang Tapi jangan lakukan di dubur pada saat
haid
2. Membangun Pergaulan yang harmonis sesuai Pesan Al Qur’an (QS An-Nisa
ayat 19) :
(Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.)
3. Terjadi Nasab anak-anak terhadap bapaknya
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait
dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Ulama tafsir berpendapat bahwa dalam memahami perintah tinggal
dirumah dalam ayat diatas Al qurthubi menyimpulkan bahwa perempuan
tidak boleh keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat berbeda dengan
Al qurthubi menurut Ibnu Katsir perempuan boleh keluar rumah jika ada
kebutuhan yang dibenarkan agama seperti salat di masjid at-taqwa atau
memperkuat pendapat Ibnu Katsir riwayat yang menyebutkan bahwa
perempuan boleh keluar rumah panjang ada kebutuhan bukan hanya
karena darurat atau mencapai Mutawatir ia mengutip riwayat Aisyah yang
menceritakan teguran Umar kepada Saudah karena keluar rumah ketika
hal itu ditanyakan kepada rasul maka turunlah ayat di atas dan nabi
bersabda
“Sesungguhnya kalian diperbolehkan keluar rumah untuk memenuhi
kebutuhan kalian” sementara itu dalam pandangan Said kutub tersebut
hanya mengisyaratkan mengisyaratkan bahwa rumah tangga merupakan
tugas pokok perempuan Namun demikian ketika seorang istri tidak keluar
rumah maka ia harus meminta izin pada suaminya
2. Jika Suami Mengajak Ke Tempat Tidur Maka Istri Harus Patuh
Ketika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur maka ia tidak
boleh menolak unsur yang dibenarkan agama lain hal nya jika yang tidak
memungkinkan bagi dia untuk memenuhi ajakan itu baliknya ketika istri
menghendaki berisi Maka dengan suami maka suami juga tidak boleh
menolak ajakan itu kecuali ada unsur yang menghalanginya untuk
memenuhinya karena pada prinsipnya hubungan suami istri adalah
hubungan yang saling menghormati keduanya berkewajiban membangun
pergaulan yang harmonis sesuai pesan Alquran
3. suami punya hak untuk mendidik istri untuk taat dengan cara-cara yang
baik Quran surat an-nisa ayat 34
4. Tidak memasukkan orang yang tidak disukai suami ke dalam rumah
C. MACAM-MACAM HARTA BENDA DALAM PERNIKAHAN
2
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta; PT Raja GrafindoPersada, 2002), hal.422
3
Sonny Dewi Judiasih, Kajian Terhadap Kesetaraan Hak dan Kedudukan Suami dan Istri atas
Kepemilikan Harta Dalam Perkawinan, (Bandung;PT.Refika Aditama,2015), hal. 23
c. Harta bersama suami-istri ialah harta yang diperoleh baik sendiri-
sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan,
tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.4
Mengenai pengurusan harta benda dalam perkawinan Selanjutnya Pasal 36
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan :
(1) Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing suami isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya
Secara normatif, terdapat perbedaan yang tajam antara penguasaan
harta bersama dan penguasaan harta bawaan, harta hadiah dan atau harta
warisan selama perkawinan berlangsung. Harta bawaan, harta hadiah, harta
warisan berada di bawah pengawasan masing-masing suami atau istri, artinya
pihak yang menguasai harta tersebut dengan bebas dapat melakukan apa saja
terhadap hartanya itu, tanpa memerlukan persetujuan pihak lain. Sedangkan
harta bersama berada di bawah penguasaan bersama suami-istri, sehingga jika
salah satu pihak, suami atau istri, ingin melakukan perbuatan hukum atas
hartanya itu, seperti menjual, menggadaikan, dan lain-lain, harus mendapat
persetujuan dari pihak lainnya (Pasal 35 dan 36 Undang Undang-Undang
Perkawinan).
Menurut Abdul Kadir Muhammad bahwa konsep harta bersama yang
merupakan harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi
hukum, walaupun kedua segi tinjauan dari segi ekonomi berbeda, keduanya
ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi ekonomi menitikberatkan
pada aturan hukum yang mengatur.5
M. Yahya Harahap menyatakan bahwa pada dasarnya semua harta
yang diperoleh selama ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama
yang dikembangkan dalam proses peradilan. Berdasarkan pengembangan
tersebut
4
Arto Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta; Pustaka Pelajar,
1998), hal 70
5
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, (Bandung; PT Citra Aditya, 1994), hal 9.
maka harta perkawinan yang termasuk yurisdiksi harta bersama adalah sebagai berikut :6
a. Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangsung. Setiap barang
yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama.
Siapa yang membeli, atas nama siapa terdaftar dan dimana letaknya tidak
menjadi persoalan.
b. Harta yang dibeli dan dibangun pasca perceraian yang dibiayai dari harta
bersama. Suatu barang termasuk yurisdksi harta bersama atau tidak ditentukan
oleh asal-usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan,
meskipun barang itu dibeli atau dibangun pasca terjadinya perceraian.
c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam ikatan perkawinan. Semua
harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan dengan sendirinya menjadi harta
bersama.
d. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan. Penghasilan yang berasal dari harta
bersama menjadi yurisdiksi harta bersama, demikian pula penghasilan dari harta
pribadi suami-istri juga masuk dalam yurisdiksi harta bersama. Segala
penghasilan pribadi suami-istri tidak terjadi pemisahan,bahkan dengan sendirinya
terjadinya penggabungan sebagai harta bersama. Penggabungan penghasilan
pribadi suami-istri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami-istri tidak
menentukan lain dalam perjanjian kawin.
6
M. Yahya Harahap dalam Abdul Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Istri dalam
Penjaminan Harta Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung, (Bandung: Mandar Maju,
cuma-cuma, kecuali si pewaris atau yang memberi hibah dengan tegas
menetukan sebaliknya 7. Persatuan itu juga meliputi segala utang suami istri
masing-masing yang terjadi baik sebelum maupun sepanjang perkawinan. 8.
Dari isi pasal tersebut di atas, terlihat bahwa menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata sejak dimulainya perkawinan terjadi suatu percampuran antara
kekayaan suami dan kekayaan istri (algele gemeenschap van goederen).
Ketentuan ini bersifat memaksa dan harus dipatuhi oleh suami istri tersebut,
akan tetapi undang- undang memberikan kesempatan untuk dapat disimpangi
dengan adanya suatu perjanjian kawin.
Luasnya kebersamaan (percampuran) harta kekayaan dalam perkawinan
adalah mencakup seluruh aktiva dan pasiva, baik yang diperoleh suami-istri ,
sebelum atau selama masa perkawinan mereka berlangsung, yang juga
termasuk di dalamnya adalah modal, bunga dan bahkan utang-utang yang
diakibatkan oleh suatu perbuatan yang melanggar hukum. 9
Terhadap persatuan bulat harta tersebut terdapat penyimpangan yaitu adanya
harta pribadi disamping harta persatuan.Harta pribadi tersebut bisa diperoleh
dengan adanya perjanjian kawin dan bisa juga karena adanya kehendak/syarat
dari si penghibah atau si pewaris10. Jadi menurut KUH Perdata, apabila suami
dan istri pada waktu akan melakukan pernikahan tidak mengadakan perjanjian
pisah harta diantara mereka maka akibat dari perkawinan itu ialah pencampuran
kekayaan suami dan istri menjadi satu milik orang berdua bersama-sama dan
bagian masing-masing dalam kekayaan bersama itu adalah separuh11.
Kebersamaan harta kekayaan dalam perkawinan itu merupakan hak milik
bersama yang terikat, yaitu kebersamaan harta yang terjadi karena adanya
ikatan diantara para pemiliknya.Hak milik bersama yang terikat ini berbeda
dengan hak milik bersama yang bebas, yaitu suatu bentuk hak milik, tetapi
7
Pasal 120 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
8
Pasal 121 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
9
Sonny Dewi Judiasih, op. cit, hal. 22
10
Fahmi Al Amruzi, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan (Studi Komparatif Fiqh, KHI, Hukum Adat dan
KUHPerdata), (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014), hal. 74
11
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Abadi, 2002), hal. 38-39
diantara pemiliknya tidak ada hubungan hukum kecuali mereka bersama-sama
merupakan pemiliknya.Suami dan isteri yang memiliki hak atas kekayaan
masing-masing, mereka tidak dapat melakukan kesalahan atau penyimpangan
atas bagian mereka12.
Mengenai harta perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menganut asas yang berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yaitu 13
Berdasarkan Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , pada
asasnya semua harta suami dan istri, baik yang dibawa masuk ke dalam
perkawinan maupun yang diperoleh kedalam harta persatuan. Sedangkan Pasal
31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatakan bahwa seorang istri sepanjang perkawinan tetap cakap untuk
bertindak.
1. Menurut Pasal 124 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pengelolaan atas harta
persatuan dilakukan oleh suami sendiri, sedangkan Pasal 35 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan bahwa harta
bawaan istri dan suami, yang dibawa masuk kedalam perkawinan, dengan
sendirinya menjadi harta pribadi masing-masing suami/istri yang membawanya
ke dalam perkawinan. Bercampurnya harta tersebut melauli perjanjian
perkawinan justru merupakan pengecualian.
2. Menurut Pasal 105 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pengurusan
atas harta pribadi istri, kalau ada, termasuk kalau ada hibah atau warisan yang
jatuh pada si istri sepanjang perkawinan dan ditentukan tidak boleh masuk dalam
harta persatuan, dilakukan oleh suami. Sedangkan menurut Pasal 36 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan bahwa
atas harta pribadi, masing-masing suami/istri berhak untuk mengambil tindakan
hukum sendiri, tanpa kerjasamanya garwa yang lain (suami istrinya). Sedangkan
tindakan atas harta bersama, suami harus mendapat persetujuan dari istri dan
12
Soetojo Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, (Surabaya: Airlangga
University Press), hal. 54-44
13
J. Satrio, Hukum Waris Tentang Pemisahan Boedel, hal. 12
demikian pula sebaliknya.
1. Harta kekayaan yang diperoleh dari suami dan isteri yang merupakan
warisan atau hibah pemberian dari kerabat yang dibawa ke dalam
perkawinan.
2. Harta kekayaan yang diperoleh dari usaha suami dan isteri yang diperoleh
sebelum dan selama perkawinan.
3. Harta kekayaan yang diperoleh dari hadiah kepada suami dan isteri pada
14
Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat dan Undang-Undang tentang Perkawinan serta Peraturan
Pelasananya, (Bandung: Tarsito, 1992), hal. 1
15
Hilman Hadi Kusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1992), hal. 156
16
Muhammad Isna Wahyudi, Harta Bersama, antara Konsepsi dan Tuntutan Keadilan, (Jakarta: Jurnal
MARI, 2008), hal. 4
17
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 204
waktu perkawinan.
4. Harta kekayaan yang diperoleh suami dan isteri pada masa perkawinan.
Pengelompokkan harta perkawinan menurut Hilman Hadikusumah,
dikelompokkan sebagai berikut :18
1. Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh suami dan isteri ke dalam
ikatan perkawinan, baik berupa hasil jerih payah masing-masing ataupun
yang berasal dari hadiah atau warisan yang diperoleh sebelum dan sesudah
perkawinan mereka berlangsung.
2. Harta Pencarian, yakni harta yang diperoleh sebagai hasil karya suami dan
isteri, selama ikatan perkawinan berlangsung.
3. Harta Peninggalam
4. Harta pemberian seperti hadiah, hibah, dll
1. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau isteri sebelum perkawinan
yaitu harta bawaan.
2. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami istri bersama-sama selama
perkawinan yaitu harta pencaharian.
3. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri secara perseorangan
sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan.
4. Harta yang diperoleh suami isteri bersama ketika upacara perkawinan
sebagai hadiah yang kita sebut hadiah perkawinan.
18
Hilman Hadikusumah, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan: Hukum Adat, (Jakarta: UI
Press, 1986), hal. 123-124
19
Imam Sudrajat, Hukum Adat, (Yogyakarta: Liberty, 2010), hal. 143-144
D. Perjanjian Perkawinan
1. Pengertian Perjanjian Perkawinan
20
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), 119
21
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka. 2005.
hal. 458.
22
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 45.
2). Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batasbatas hukum,
agama dan kesusilaan.
1). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat
membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai
kedudukan harta dalam perkawinan.
2). Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan
pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu
menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta
pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
23
Departement agama RI, Himpunan Peratura perundang-Undangan Dalam Lingkup Peradilan Agama,
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, 2001, 138.
Perjanjian atau perikatan, perikatan mempunyai arti yang lebih luas dan
umum dari perjanjian, sebab dalam KUH Perdata lebih dijelaskan secara jelas.
Adapun yang dimaksud dengan perikatan dalam bab III KUH Perdata ialah: Suatu
hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi
hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan
orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.8 Perikatan adalah
hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak
yang satu (kreditur) berhak atas pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi
prestasi itu.
Dalam pasal 29, 47 (1) KHI disebutkan bahwa, Pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan pegawai pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
1) Tidak menyalahi hukum Syari’ah yang disepakati perjanjian yang dibuat itu tidak
bertentangan dengan syari’at Islam atau hakikat perkawinan. Jika syarat perjanjian
yang dibuat bertentangan dengan syari’at Islam atau hakikat perkawinan, apapun
bentuk perjanjian itu maka perjanjian itu tidak sah, tidak perlu diikuti, sedangkan
akad nikahnya sendiri sah. Dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-
masing pihak untuk menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut dan dengan
sendirinya batal demi hukum.
2) Harus sama ridha dan ada pilihan Masing-masing pihak rela atau ridha terhadap
isi perjanjian tersebut, dan tidak ada paksaan dari pihak manapun.
3) Harus jelas dan gamblang Bahwa isi dari perjanjian tersebut harus jelas apa yang
diperjanjikan, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di antara para pihak
tentang apa yang mereka perjanjikan di kemudian hari.
Dalam perjanjian yang sah syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata yang mengemukakan empat syarat, yaitu :
Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena kedua syarat
tersebut mengenai subjek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat
objektif karena mengenai objek dari perjanjian.
24
Riduan, Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2003), 205.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pernikahan yang dilakukan secara sah sesuai syariat hukum yang telah
ditetapkan agama menimbulkan implikasi hukum berupa hak dan kewajiban bagi
masing-masing pihak ada yang berupa hak dan kewajiban bersama istri dan wajib
dipenuhi suami dan ada hak suami yang wajib dipenuhi istri. Adapun hak dan
kewajiban tersebut ialah: bersama suami istri, Hak istri yang menjadi kewajiban
suami, Hak suami yang menjadi kewajiban istri.
Salah satu akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah terciptanya
harta benda perkawinan.Harta atau kekayaan perkawinan diperlukan guna
memenuhi segala keperluan yang dibutuhkan dalam kehidupan berkeluarga. Harta
Benda Perkawinan dalam Hukum Positif Indonesia ada tiga yakni: Harta Benda
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan,
Harta Benda Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Harta
Benda Perkawinan Menurut Hukum Adat.
Perjanjian perkawinan yaitu, persetujuan yang dibuat oleh kedua calon
mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masingmasing
berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh
pegawai pencatat nikah.25 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah
“persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih,
masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.
25
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), 119
20
DAFTAR PUSTAKA
http://kuantannet.blogspot.com/2018/04/makalah-hak-dan-kewajiban-suami-istri.html
https://tafsirweb.com/1661-quran-surat-an-nisa-ayat-129.html
21