Anda di halaman 1dari 11

NAMA:Sandya Zahira

KELAS:XI MIA 1

1.Carilah beberapa teks syar‟i baik dari al-Qur‟an ataupun hadis yang menegaskan urgensi
pernikahan (minimal 5 teks syar‟i)!

Hadis Pertama:

:{ }.

Nabi saw. bersabda, “Pernikahan itu keberkahan dan anak itu rahmat, maka muliakanlah anak-
anak kalian, maka sesungguhnya memuliakan anak-anak itu ibadah.” Berdasarkan penelusuran
kami, kami belum menemukan periwayat hadis ini. Begitu pula dengan imam An-Nawawi Al-
Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak menjelaskan periwayatnya.

Hadis Kedua:

:{ }.

Nabi saw. bersabda, “Nikah itu sunnahku, siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka ia tidak
mengikuti jalanku.” Berdasarkan penelusuran kami, kami belum menemukan periwayat hadis
ini. Begitu pula dengan imam An-Nawawi Al-Bantani ketika mensyarah hadis ini tidak
menjelaskan periwayatnya.

Hadis Ketiga:

:{ }.

Nabi saw. bersabda, “Perempuan-perempuan merdeka itu baiknya rumah, sedangkan budak-
budak perempuan itu rusaknya rumah.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ad-Dailami dan Ats-
Tsa‟labi dari sahabat Abu Hurairah r.a.

Hadis keempat:

:{ }.

Nabi saw. bersabda, “Siapa yang ingin bertemu Allah dalam keadaan suci dan disucikan, maka
menikahlah dengan perempuan-perempuan merdeka.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ibnu
Majah dari sahabat Anas bin Malik r.a. Imam An-Nawawi Al-Bantani menerangkan bahwa
maksud suci dalam hadis tersebut adalah selamat dari dosa-dosa yang berhubungan dengan
kemaluan.

Hadis Kelima:

:{ }.
Nabi saw. bersabda, “Carilah rezeki dengan menikah.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ad-
Dailami dari sahabat Ibnu „Abbas r.a. Imam An-Nawawi Al-Bantani menerangkan bahwa
pernikahan itu menarik keberkahan dan dekat kepada rezeki jika niatnya benar. Di mana pada
kenyataannya pernikahan menjadi suntikan semangat bagi pasangan suami istri untuk mencari
rezeki demi menghidupi kehidupan mereka.

Hadis Keenam:

:{ }.

Nabi saw. bersabda, “Siapa yang menikah maka sungguh ia telah diberi setengahnya ibadah.”
Hadis matruk ini diriwayatkan oleh imam Abu Ya‟la dari sahabat Anas bin Malik r.a.

Hadis Ketujuh:

:{ }.

Nabi saw. bersabda, “Seburuk-buruknya kalian adalah orang-orang jomblonya kalian.” Hadis ini
diriwayatkan oleh imam Abu Ya‟la, imam Ath-Thabarani, dan imam Ibnu „Adi dari sahabat Abu
Hurairah r.a.

Referensi:www.bincangsyariah.com

2.Kumpulkanlah beberapa rubrik tanya jawab agam a tentang tema pernikahan (minimal 15
rubrik) !.

a)Apakah seorang istri yang tidak bisa mencintai suaminya lagi termasuk istri yang durhaka?

JAWAB

Cinta suami adalah masalah kalbu (hati) yang di luar kemampuan manusia untuk mengaturnya.
Dengan demikian, istri yang tidak bisa mencintai suaminya tidak tercela dan durhaka. Akan
tetapi, jika hal itu menyeretnya berbuat nusyuz, yaitu durhaka kepada suami dengan tidak
memberi hak suami yang wajib, itulah yang tercela. Oleh karena itu, istri yang tidak mencintai
suaminya dan tidak mampu bersabar bersamanya lantas khawatir hal itu akan menjadikannya
berbuat nusyuz, boleh minta

khulu‟.

Namun, jika suaminya menyayanginya dan dia sendiri mampu bersabar, lebih baik tetap
bersamanya.

b)Apakah istri dari kakak angkat adalah mahram?


JAWAB

Istri kakak angkat bukan mahram. Begitu pula istri kakak nasab, bukan mahram.

c)Apakah seorang wanita boleh nikah siri dengan wali hakim meskipun ayahnya masih ada?

JAWAB

Tidak boleh, kecuali dengan alasan yangsyar‟i yang menjadikan gugur perwalian sang ayah.

d)Saya menikah dengan istri (janda) yang tidak membawa harta apa-apa. Kami berjuang keras
sampai bisa memiliki rumah. Jadi, harta kami harta gono gini. Bagaimana cara pembagiannya?

JAWAB

Jika demikian, persentase pembagian harta antara Anda dengan istri Anda sesuai kesepakatan
kalian berdua saat bekerja.

e) Bagaimana hukum KB untuk menunda kehamilan dan bukan untuk membatasi menurut
syariat?

JAWAB

KB dengan tujuan tersebut diperbolehkan apabila memang diperlukan, dengan tetap berusaha
memperbanyak keturunan.

f) Apakah sah menikah pada saat wanita yang dinikahi mengandung anak dari calon suaminya
ini?

JAWAB

Tidak sah menurut pendapat yang rajih. Masalah ini telah kami rincikan dengan dalil-dalilnya
pada “Problema Anda” edisi 26 dengan judul “Status Anak Zina”.

g) Apakah seorang wanita boleh nikah siri dengan wali hakim meskipun ayahnya masih ada?

JAWAB

Tidak boleh, kecuali dengan alasan yang syar‟i yang menjadikan gugur perwalian sang ayah.

h) Ada suami istri yang sudah menikah sekian tahun. Kemudian pada suatu ketika baru diketahui
bahwa ternyata mas kawin yang dberikan pada sang istri kurang dari yang disebutkan pada
waktu akad.

Hukumnya bagaimana?
Apakah rusak akad nikahnya sehingga harus memperbarui akad lagi?

JAWAB

Mahar adalah sesuatu yang harus dibayarkan kepada isteri sesuai dengan yang diakadkan. Kalau
seandainya belakangan baru diketahui atau disadari bahwa mahar atau maskawin yang diberikan
kepada si isteri kurang dari yang disebutkan pada waktu akad, maka harus dibayar
kekurangannya, karena hal itu tidak disengaja.Kekurangan yang belum diberikan haruslah diukur
atau dikurs dengan saat akad, misal ketika akad harga mas Rp 40.000/gram, dan ternyata
kekurangan maskawin sebesar Rp 80.000, maka berarti setara dengan emas seberat 2 gram. Jadi
kalau sekarang harga emas per gram Rp 400.000/gram, maka kekurangan maskawin yang harus
dibayar adalah Rp 800.000.

i)ada sepasang suami istri namun di tengah perjalanan rumah tangga sang suami murtad dan
tidak kembali ke agama islam lalu menghilang. Namun setelah 5 tahun, istri baru mengurus
perceraian. Yang saya tanyakan, dimulai dari mana untuk perhitungan masa iddah sang istri.
dimulai setelah akta cerai keluar dari pengadilan atau ketika suami murtad.

JAWAB

Dalam hukum fiqih, jika suami murtad di tengah-tengah masa perkawinan dapat diperinci
menjadi dua kategori. Pertama, jika ia murtad sebelum dukhul (berhubungan badan dengan istri)
maka terjadilah fasakh (batal) pernikahan demi hukum. Murtad dalam kategori ini, istri yang
tetap muslimah ini tidak memiliki masa iddah dengan suaminya yang telah murtad itu. Artinya
suami tadi tidak bisa kembali kepada istrinya sama sekali. Kalau talak itu perceraian, namun
fasakh itu pembatalan pernikahan demi hukum. Tapi istri ini tetap memiliki iddah dengan orang
lain yang akan menikahinya dihitung dari murtadnya mantan suami. Kedua, jika ia murtad
sesudah dukhul, maka pernikahannya ditangguhkan dahulu sampai masa iddah. Jika ia
bersyahadat dan bertaubat, alias masuk Islam kembali di dalam masa iddah, maka
perkawinannya masih sah dan tidak perlu memperbaharui akad nikah lagi.

j)Bagaimana seandainya ada seorang laki-laki nasrani pura-pura masuk Islam hanya karena ingin
menikah dengan wanita Muslim?

JAWAB

Pada asumsi pertanyaan pertama, apabila ia mengucapkan kalimat syahadat melalui lisannya dan
kita tidak tahu, apakah ia beriman atau tidak terhadap apa yang diucapkannya itu namun ia
dihukumi sebagai Muslim dan pernikahan yang dilangsungkan itu sah. Namun apabila kita yakin
bahwa ia berdusta atas apa yang dikatakannya maka akad yang dilansungkan itu batal dan tidak
sah.
k) Apakah ada ayat dalam al-Quran yang kandungannya menyatakan untuk tidak memaksa anak-
anak putri dan membiarkan mereka untuk memilih pasangannya masing-masing? Apabila tidak
ada ayatnya lantas mengapa sebagian orang melakukan pernikahan paksa?

JAWAB

Kiranya kita perlu memperhatikan poin ini bahwa seluruh aturan dan hukum Islam tidak
dijelaskan secara rinci dalam al-Quran melainkan diperoleh pada sebagian sumber lainnya
seperti hadis-hadis para maksum As untuk melakukan inferensi dan konklusi hukum-hukum
Islam.

l) Apakah suami dapat memerintahkan istrinya untuk bekerja di luar rumah? Apakah disebabkan
oleh ketaatan kepada suami sang istri memperoleh pahala meski ia tidak terlalu tertarik untuk
bekerja di luar rumah?

JAWAB

dengan mencermati ayat 34 surah al-Nisa[1] harus dikatakan bahwa salah satu dalil mengapa
kepemimpinan rumah tangga diletakkan di pundak suami adalah karena ia bertanggung jawab
untuk menyiapkan kebutuhan rumah tangga (bagaimana pun kondisinya). Atas dasar itu, dapat
disimpulkan bahwa tugas-tugas istri terbatas pada hal-hal yang secara global dijelaskan pada
Risalah-risalah Amaliah (amalan praktis fikih) dan hukum perdata.

m)apa hukumnya jika kita menikah dengan anak saudara perempuan seayah dan apa yang harus
dilakukan apabila pernikahan tersebut telah berlangsung dan memiliki anak ?

JAWAB

Apabila maksud Anda dengan anak saudara perempuan (anak saudari perempuan yang seayah)
adalah seseorang yang sejatinya adalah pamannya sendiri maka pernikahan dengan kemenakan
itu batal dan harus segera berpisah. Apabila mereka tidak mengetahui hukum persoalan ini,maka
anak-anak yang lahir dari keduanya dihukumi sebagai walad al-syubha dan bukanlah haram
jadah (keturunan haram).

n)Apa arti dari ijab dan Kabul serta penjabarannya menurut ayat-ayat al-Quran beserta hadits?

JAWAB

Ijab adalah tawaran untuk melangsungkan sebuah transaksi kepada orang lain dan orang yang
memberikan tawaran seperti ini disebut sebagai “mujib.” Kabul juga adalah ungkapan kerelaan
atas ijab yang telah dilontarkan untuk melangsungkan transaksi. Orang yang menerima tawaran
ijab ini disebut sebagai “qâbil.”[2]

Untuk diperhatikan bahwa mengingat banyaknya riwayat dalam hal ini, ijab dan kabul memiliki
hukum-hukum dan syarat-syarat tertentu sebagaimana yang dijelaskan secara detil dan panjang
lebar dalam buku-buku Fikih. Tentu saja, dengan memperhatikan ragam dan aneka bentuk
transaksi, sebagian syarat dan hukum ini juga akan berbeda-beda.

O) Apa hukumnya seseorang yang berzina dengan seorang wanita yang telah bersuami atau
masih berada dalam keadaan iddah?

JAWAB

dalam hal ini apabila seseorang (misalnya Anda) menggauli seorang wanita yang masih berada
dalam kondisi talak rij‟i maka sesuai dengan pendapat kebanyakan fukaha (marja taklid)
kontemporer maka wanita tersebut akan menjadi haram abadi baginya (namun sesuai fatwa
Ayatullah Shani‟i, Ayatullah Tabrizi Ra dan Ayatullah Fadhil Ra tidak menyebabkan haram
abadi).Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan apakah ia tahu bahwa menggauli pada masa iddah
itu menyebabkan haram abadi atau tidak

referensi:majalah islam as-syariaah

3.Hasil analisis perkawinan dalam buku ini dengan UUD Perkawinan no.1 Tahun 1974 yaitu:

Menurut buku,Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah melakukan suatu
akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita
untukmenghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu hidup
berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (mawaddah warahmah) dengan
cara-cara yang diridhai oleh Allah SWT.12Perkawinan akan berperan setelah masing-masing
pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dalam pernikahan.
Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk-makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti
nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara bebas atau tidak ada aturan. Akan
tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, Allah memberikan tuntutan yang
sesuai dengan martabat manusia.Bentuk perkawinan ini memberi jalan yang aman pada naluri
seksual untuk memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri agar ia tidak laksana
rumput yang dapat di makan oleh binatang ternak manapun dengan seenaknya.

Sedangkan menurut UUD No.1 tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Demikian bunyi
ketentuan Pasal 1 Undang-Undang 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. UU 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan memiliki pertimbangan bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk
pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi
semua warga negara.

Pasal 1 UU Perkawinan dalam penjelasan Pasal demi Pasal dijelaskan bahwa Perkawinan sangat
erat hubungannya dengan kerohanian dan agama. Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 menyebutkan bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang
pertamanya ialah ke Tuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat
sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk
keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan
perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Referensi:buku fikih dan www.jogloabang.com

4.Seorang wanita hamil karena melakukan hubungan di luar nikah dengan pasangannya,
kemudian untuk menutupi aib keluarga mereka dinikahkan. Apakah pernikahan yang mereka
lakukan sah? Jelaskan pendapatmu !

Sebenarnya, mayoritas para ulama membolehkan pernikahan wanita yang sedang hamil akibat
perzinaan dengan laki-laki yang telah menghamilinya. Namun pendapat ulama yang lebih rajih
(kuat) disyaratkan kepada kedua calon pengantin untuk bertobat dari dosa besar yang telah
dilakukannya. Hal ini seperti diungkapkan dalam pendapat dari mazhab Imam Ahmad, Qatadah,
Ishaq, dan Abu „Ubaid. Sedangkan ulama lain, seperti Imam Malik, Syafi‟i, dan Abu Hanifah,
tetap mengesahkan pernikahan tersebut walau kedua calon pengantin belum bertobat.

Imam Ahmad berdalil dengan ayat Alquran, "Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan
perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak
dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal
tersebut atas kaum mukminin." (QS an-Nur [24]: 3).

Ayat ini menjadi dalil haramnya wanita dan laki-laki yang berzina untuk menikah sampai
mereka bertobat. Pernikahan yang merupakan mitsaqan ghalizha (ikatan kuat nan suci) hanya
bisa mengikat sepasang insan yang beriman. Adapun orang musyrik (non-Islam) atau pezina
maka tidaklah berlaku ikatan pernikahan bagi mereka.

Dalam beberapa riwayat, Rasulullah SAW melarang para sahabat menikah dengan wanita
pezina. Seperti hadis „Amr bin Syu'aib, ia mengisahkan salah seorang sahabat bernama „Anaq
ingin menikahi tawanan perempuan pezina. Rasulullah SAW diam, sampai surah an-Nur ayat 3
tersebut turun. Rasulullah SAW pun melarang „Anaq untuk menikahi wanita itu. (HR Abu Daud,
Tirmizi, Nasa‟i, dan Hakim).Namun, jika sudah bertobat secara nasuha dari dosanya sebagai
pezina, barulah ia bisa menikah atau dinikahkan. Para ulama berbeda pendapat dengan bentuk
tobat tersebut. Jika di negara Islam, pezina wajib menjalani hudud (hukuman Allah SWT) yang
akan dieksekusi oleh pemerintah. Hukuman bagi pezina yang masih lajang tersebut, yakni
hukuman dera sebanyak 100 kali

referensi:pendapat saya dan republika online


5.Bolehkah jika seorang wanita mengajukan beberapa syarat tertentu kepada seorang laki-laki
yang hendak menikahinya?

Syarat-syarat yang diajukan salah satu pasangan terhadap yang lainnya ada tiga macam

1.Syarat yang sesuai dengan tujuan pernikahan dan sesuai pula dengan syariat.

Contoh dari syarat yang sejenis ini:

Syarat yang diajukan seorang wanita kepada calon suaminya:

"Aku mau menikah denganmu. Dengan syarat, engkau nanti mempergauliku dengan baik! "

"Aku mau menikah denganmu. Dengan syarat, engkau memberiku nafkah berupa sandang,
pangan dan papan! "

"Aku mau menikah denganmu. Dengan syarat engkau harus berbuat adil dalam memperlakukan
antara diriku dengan istri-istrimu yang lain! "

2. Syarat yang menafikan tujuan dari pernikahan dan bertentangan pula dengan syariat.

Contoh dari syarat yang sejenis ini:

syarat yang diajukan seorang wanita kepada calon suaminya:

- agar ia tidak perlu menaati suaminya kelak

-atau boleh keluar rumah tanpa izin darinya

- atau agar ia tidak disetubuhi

-atau agar ia menceraikan istri pertamanya

Dan berbagai syarat lain yang semisalnya. Di mana syarat-syarat itu tidak sesuai dengan tujuan
dari suatu pernikahan dan bertentangan pula dengan syariat.

Hukum dari syarat sejenis ini adalah tidak sah menurut kesepakatan ulama, maka tidak wajib
menunaikannya

3. Syarat yang tidak diperintahkan di dalam syariat dan tidak pula dilarang. Namun dalam
persyaratannya ada kemaslahatan bagi salah satu pasangan.

Contoh dari syarat yang sejenis ini:

syarat yang diajukan seorang wanita kepada calon suaminya:

-agar ia kelak tidak dimadu


-atau agar ia tidak pindah dari rumahnya

-atau agar tidak bepergian jauh bersamanya

Dan berbagai syarat lain yang semisalnya. Di mana syarat-syarat itu tidak ada perintahnya dalam
syariat dan tidak pula larangan, sedangkan di dalam persyaratan tersebut ada kemaslahatan bagi
salah satu pasangan.

Hukum dari syarat sejenis ini adalah sah menurut pendapat yang benar dari kalangan ulama.
Maka, wajib bagi pihak yang menerima syarat ini untuk melaksanakan dan menunaikan syarat
tersebut. Jika ia tidak melaksanakannya, maka boleh bagi pihak yang mengajukan syarat tersebut
untuk membatalkan akad pernikahan

Jadi,semua tergantung syarat seperti apa yang diberikan calon istri kepada calon suaminya.

Referensi:kompasiana

6.Pada beberapa kasus, terkadang mahar ditentukan wali perempuan dengan kadar tertentu.
Apakah hal yang semisal ini diperbolehkan dalam Islam?

Boleh,karena Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita,
baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. kewajiban
menyerahkan dijelaskan bahwa mahar dari mempelai pria ke mempelai wanita ini bukan rukun
dalam perkawinan karena rukun dan syarat pernikahan ada lima yakni calon suami, calon istri,
wali nikah, dua orang saksi, ijab dan kabul sebagaimana diatur dalam Pasal 14 KHI jo.Pasal 2
UU Perkawinan. Namun, praktiknya mahar selalu digunakan calon pasangan suami-istri
terutama yang beragama Islam.

Referensi:hukumonline.com

7.Dalam konteks Fikih (antara maslahat dan mafsadat) apakah nikah sirri yang tidak tercatat di
KUA dibolehkan?

Nikah siri atau talak tanpa Pengadilan Agama dianggap sah secara agama Islam,namun menurut
hukum positif yang berlaku justru dipandang tidak sah. Salahsatu penyebab terjadinya dualisme
adalah karena di Indonesia ada dua kelompok ‟madzhab‟ yang mendukung sepenuhnya atau
mengikuti ajaran Islam total dan yang mendukung atau mengikuti hukum positif.Ketika suatu
perkawinan hanya dilaksanakan sampai kepada batas Pasal 2 ayat (1) UUP,maka akibat
hukumnya adalah ketika terjadi persengketaan antara suami istri tidak bisa minta perlindungan
secara konkrit kepada Pengadilan; karena perkawinan yang bersangkutan tidak tercatat secara
resmi didalam administrasi Negara. Dampaknya segala konsekuensi yang terjadi selama dalam
perkawinan dianggap tidak pernah ada, dimata hukum di bumi Indonesia.
8.Jelaskan hukum pernikahan seorang wanita yang melakukan kawin lari!

Jika dilihat dari syarat dan bagaimana harusnya pernikahan di langsungkan kawin lari tentunya
diharamkan oleh Islam, apalagi jika tanpa ada wali dan saksi yang menyaksikan. Tentunya
melanggar syarat sah pernikahan dan akan merugikan diri kita sendiri di kemudian hari.

Islam memberikan syarat untuk adanya Wali Nikah dan Saksi bertujuan agar ada yang
melindungi, ada pihak yang menyaksikan, dan jika di kemudian hari terdapat masalah tentunya
akan mudah untuk meminta pertanggungjawaban dan bantuan .

Hal ini juga disampaikan dalam hadist yang ada, sebagai berikut:

“Dari Abu Musa, Nabi saw bersabda, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR Ahmad, Abu
Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Di dalam hadist di atas dijelaskan bahwa tidak ada pernikahan kecuali dengan wali. Untuk itu,
pernikahan yang dilakukan secara diam-diam atau istilah lainnya adalah tanpa wali, maka hal itu
tentu dilarang. Jangan sampai kita melakukan kawin lari tanpa wali, dan kita menyesal kemudian
harinya. Tentu hal tersebut juga berdosa dihadapan Allah, melanggar hukum yang telah Allah
tetapkan.berbagai pihak.

Anda mungkin juga menyukai