Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hak dan kewajiban suami

1. Hak istri menerima mahar

Perkawinan adalah perjanjian laki-laki dan perempuan untuk menempuh


kehidupan rumah tangga. Sejak mengadakan perjanjian melalui akad, kedua belah pihak
telah terikat dan sejak itulah mereka mempunyai kewajiban dan hak, yang tidak mereka
miliki sebelumnya.

Menurut Sayyid Sabiq (1988:52), hak dan kewajiban suami istri ada tiga macam, yaitu:

 Hak istri atas suami

 Hak suami atas istri

 Hak bersama

Hak-hak yang harus diterima oleh istri, pada hakikatnya, mereupakan


upaya islam untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan pada
umumnya. Pada zaman dahulu, hak-hak perempuan hampir tidak ada dan yang
tampak hanyalah kewajiban. Hal ini karena status perempuan dianggap sangat
rendah dan hampir dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna.

Perempuan yang bekerja dan beribadah memiliki hak yang sama dalam
perolehan pahala dari Allah SWT. Bahkan, hak-hak perempuan sangat luas,
bukan sekedar menerima nafkah lahiriyah dari suaminya, permpuan punmampu
bekerja, memimpin negara, sebagai politisi, pendidik, dan segala jenis pekerjaan
yang semula hanya terbatas dilakukan oleh kaum laki-laki.

Salah satu upaya mengangkat harkat dan martabat perempuan adalah


pengakuan terhadap segala sesuatu yang menjadi hak-haknya. Sebagaimana
dalam perkawinan bahwa hak yang pertama ditetapkan oleh islam adalah hak
perempuan menerima mahar. Allah SWT. Menetapkan mahar sebagai salah satu
kewajiban suami atau salah satu hak istri yang diberikan ketika menejelang atau
sedang dilakukan perkawinan, baik secara simbolik maupun secara langsung,
secara kontan atau tidak kontan. Dalam surat An-Nisa ayat 4 Allah SWT.
Berfirman:

Artinya:

‫ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۚ فَِإ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوهُ هَنِيًئا َم ِريًئا‬
َ ‫َوآتُوا النِّ َسا َء‬

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai


pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Besar kecilnya maskawin ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak


karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Hokum pemberian tersebut
adalh wajib, sehingga perkawinan dapat dinyatakan tidak sah jika tidak ada
pembayaran mahar, kecuali jika istri menerima dinikahi dengan pembayaran
mahar yang ditunda.

2. Hak digauli dengan baik

Hak digauli dengan baik oleh suami merupakan hak kedua setelah hak menerima
mahar. Hak digauli bukan hanya merupakan hak istri, melainkan hak suami. Suami pun
berhak digauli dengan baik oleh istrinya. Seorang suami hendaknya bersikap lemah
lembut kepada istrinya karena suami sebagai pemimpin atau kepala rumah tangga yang
harus diteladani. Hal ini berkaitan dengan firman Allah SWT. Dalam surat An-Nisa ayat
34 yang berbunyi:

Artinya:

‫ات‬ٌ َ‫َات َحافِظ‬ ٌ ‫ات قَانِت‬ ُ ‫ْض َوبِ َما َأ ْنفَقُوا ِم ْن َأ ْم َوالِ ِه ْم ۚ فَالصَّالِ َح‬ َ ‫ض َل هَّللا ُ بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم َعلَ ٰى بَع‬ َّ َ‫الرِّ َجا ُل قَوَّا ُمونَ َعلَى النِّ َسا ِء بِ َما ف‬
‫ضا ِج ِع َواضْ ِربُوه َُّن ۖ فَِإ ْن َأطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغوا‬ َ ‫ب بِ َما َحفِظَ هَّللا ُ ۚ َوالاَّل تِي تَ َخافُونَ نُ ُشو َزه َُّن فَ ِعظُوه َُّن َوا ْه ُجرُوه َُّن فِي ْال َم‬ ِ ‫لِ ْل َغ ْي‬
‫َعلَ ْي ِه َّن َسبِياًل ۗ ِإ َّن هَّللا َ َكانَ َعلِيًّا َكبِيرًا‬
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian lain (perempuan), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu, maka
permpuan yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagimemelihara diri ketika
suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka
ditempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian, jika mereka menaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Mahatinggi lagi Mahabesar.”

Ayat tersebut menjelaskan beberapa hak istri berkaitan dengan tata cara suami
menggaulinya sebagai pasangan hidup. Suami menjadi panutan dalam keluarga karena
alasan berikut:

 Suami memberi nafkah kepada istri

 Suami menasehati istri dengan cara yang baik, bertahap, dan tidak kasar

 Suami bersikap tegas dalam memutuskan persoalan rumah tangganya.

3. Hak istri dalam masa Iddah

Hak-hak istri paada masa iddah sebagai berikut:

a. Perempuan yang taat dalam iddah raj’iyah berhak menerima tempat tinggal
(rumah), pakaian dan segala keperluan hidupnya, dari yang menalaknya, kecuali
istri yang durhaka, tidak berhak menerima apa-apa.

b. Perempuan yang dalam iddah bain, kalau ia mengandung ia berhak juga atas
nafkah dan pakaian

c. Perempuan dalam iddah bain yang tidak hamil, baik bain dengan talak tebus
maupun dengan talak tiga, hanya berhak mendapatkan tempat tinggal, tetapi tidak
berhak untuk selainya.
d. Perempuan yang dalam iddah wafat. Dia tidak mempunyai hak sama sekali
meskipun dia mengandung. Hal ini karena dia dan anak ynag berada dalam
kandungannya telah mendapat hak pusaka dari suaminya yang meninggal dunia.

4. Hak Hadhanah

Hadhanah(mendidik) ialah menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal anak-


anak yang belum dapat, menjaga dan mengatur dirinya sendiri. Apabila dua orang suami-
istri bercerai, sedangkan keduanya mempunai anak yang belum mumayiz, istri lebih
berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan
dirinya. Pada saat itu, si anak hendaklah tinggal bersama ibunya selama sang ibu belum
menikah dengan orang lain. Meskipun si anak tinggal bersama ibunya, nafkahnya tetap
wajib dipikul oleh bapaknya.

Apabila si anak sudah mengerti, hendaklah diselidiki oleh seorang yang


berwenang, siapak diantara keduanya yang lebih baik dan lebih pandai untuk mendidik
anak itu, maka si anak hendaklah diserahkan kepada yang lebih cakap untuk mengatur
kemaslahatan anak itu. Akan tetapi, kalua keduanya sama saja, anak itu disusruh memilih
siapa diantaara keduanya yang lebih disukai.

Begitu juga, kalau yang mengasuh anak kecil tersebut bukan ibu-bapaknya maka
lebih didahulukan perempuan dari pada laki-laki kalau derajat kekeluargaan keduanya
dengan si anak sama jauhnya. Akan tetapi, kalua ada yang lebih dekat, harus didahulukan
yang lebih dekat. Adapun syarat-syarat menjadi pengasuh adalah:

1) Berakal

2) Merdeka

3) Menjalankan agama

4) Dapat menjaga kehormatan dirirnya

5) Dapat dipercayai

6) Menetap didalam negeri anak yang dididiknya, dan


7) Keadaan perempuan tidak bersuami, kecuali kalu dia bersuami dengan keluarga
dari anak yang memang berhak pula untuk mendidik anak itu, haknya tetap.

B. Hak dan kewajiban suami-istri dalam undang-undang perkawinan

Hak dan kewajiban saumi istri dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 terdapat
dalam Bab VI Pasal 30-34. Dalam pasal 30 disebutkan: “suami-istri memikul kewajiban yang
luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi dasar dari susunan masyarakat.”
(Anonimous, 2005:10-11).

Dalam pasal 31 dijelaskan pula mengenai hak dan kewajiban suami-istri, yaitu:

1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat.

2) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga

Pasal 32 menyatakan bahwa:

 Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap

 Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini ditentukan oleh
suami istri bersama.

Pasal 33 menyatakan: “suami-istri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan


memberikan bantuan lahir dan batin yang satu dengan yang lain.”

Pasal 34 menyatakan sebagai berikut:

 Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya

 Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya

 Jika suami istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan


gugatan kepada pengadilan.
C. Hak belanja atau hak nafkah

Nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan
tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan sebagainya. Banyaknya nafkah yang diwajibkan
adalah sekedar mencukupi keperluan dan kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan
suami.

Adapun hak belanja, yaitu kewajiban suami untuk memenuhi segala kebutuhan rumah
tangga yang menyangkut kebutuhan pangan maupun pangan, seperti: kebutuhan sembako, biaya
pendidikan anak, kesehatan dan sebagainya. Istri tidak wajib mencari nafkah, kalaupun istri
bekerja, hal itu harus dilakukan atas izin suami dan sifatnya membantu perekonomian rumah
tangga.

Mengapa suami wajib membelanjakan istrinya atau mengapa istri berhak menerima uang
nafkah? Sayyid Sabiq mengatakan bahwa kewajiban suami memberi nafkah kepada istri karena
alasan berikut:

1) Adanya ikatan perkawinan yang sah

2) Suami telah menikmati tubuh istrinya

3) Istri telah menyerahkan dirinya kepada suami

4) Istri telah menaati kehendak suaminya, dan

5) Keduanya telah menikmati hubungan seksualitasnya

D. Nafkah kiswah atau Pakaian

Nafakh kiswah artinya berupa pakaian atau sandang. Kiswah ini merupakan kewajiban
suami terhadap istrinya. Oleh karena itu, kiswah merupakan hak istri, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya.

Pakaian yang dimaksud adalah semua kebutuhan yang erat hubungannya dengan anggota
badan. Suami wajib memberikan nafkah kiswah kepada istrinya berupa pakaian untuk menutup
aurat dan berbagai kebutuhan batiniyahnya. Disamping berupa pakaian, nafkah kiswah meliputi
berupa hal-hal sebagai berikut:

1) Biaya pemeliharaan jasmaniah istri


2) Biaya pemeliharaan kesehatan

3) Biaya kebutuhan perhiasan

4) Biaya kebutuhan rekreasi

5) Biaya pendidikan anak, dan

6) Biaya lain yang tidak terduga.

E. Nafkah maskanah (tempat tinggal)

Merupakan target penting untuk diperoleh karena keberadaan tempat tinggal berfungsi
memberikan istri dan anak-anak rasa aman, nyaman dan tenteram. Suami berkewajiban memberi
nafkah tempat tinggal, meskipun hanya mampu mengontrak rumah. Yang terpenting adalah anak
istri tidak kepanasan, tidak kehujanan, terhindar dari ancaman penjahat dan binatang buas.
Rumah juga dapat menjaga harta kekayaan, karena segala bentuk harta kekayaan lebih terjaga
dan aman.

Tempat tinggal merupakan bagian dari kewajiban suami yang harus diberikan kepada
istri. Hak istri dari segi tempat tinggal ditetapkan oleh Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233:

ُ‫ُوف ۚ اَل تُ َكلَّف‬ ِ ‫ضا َعةَ ۚ َو َعلَى ْال َموْ لُو ِد لَهُ ِر ْزقُه َُّن َو ِكس َْوتُه َُّن بِ ْال َم ْعر‬ َ ‫ض ْعنَ َأوْ اَل َده َُّن َحوْ لَ ْي ِن َكا ِملَ ْي ِن ۖ لِ َم ْن َأ َرا َد َأ ْن يُتِ َّم ال َّر‬
ِ ْ‫َات يُر‬ ُ ‫َو ْال َوالِد‬
‫اض ِم ْنهُ َما َوتَ َشا ُو ٍر‬ ٍ ‫صااًل ع َْن تَ َر‬ َ ِ‫ث ِم ْث ُل ٰ َذلِكَ ۗ فَِإ ْن َأ َرادَا ف‬ ِ ‫ضا َّر َوالِ َدةٌ بِ َولَ ِدهَا َواَل َموْ لُو ٌد لَهُ بِ َولَ ِد ِه ۚ َو َعلَى ْال َو‬
ِ ‫ار‬ َ ُ‫نَ ْفسٌ ِإاَّل ُو ْس َعهَا ۚ اَل ت‬
‫ُوف ۗ َواتَّقُوا هَّللا َ َوا ْعلَ ُموا َأ َّن هَّللا َ بِ َما‬
ِ ‫ضعُوا َأوْ اَل َد ُك ْم فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم ِإ َذا َسلَّ ْمتُ ْم َما آتَ ْيتُ ْم بِ ْال َم ْعر‬ ِ ْ‫فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما ۗ َوِإ ْن َأ َر ْدتُ ْم َأ ْن تَ ْستَر‬
ِ َ‫تَ ْع َملُونَ ب‬
‫صي ٌر‬

Artinya:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Makanan dan pakaian merupakan kebutuhan pokok atau kebutuhan dharuriyah. Oleh
karena itu, bagi suami tidak ada alsan untuk menghindar dari kewajiban memberi tempat tinggal
dan pakaian, karena jika anggota keluarganyatidak bertempat tinggal dengan layak, kesehatan
dan kelayakannya kurang terjamin. Demikian pula, dengan pakaian sebagai penutup aurat. Jika
hak berpakaian dilanggar, tentu harga diri keluarganya akan musnah.1

1
Beni ahmad saebeni, fiqh munakahad, (Bandung: Penerbit CV pustaka setia, 2001), hlm. 11-48

Anda mungkin juga menyukai