Anda di halaman 1dari 9

UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP T.A.

2020/2021
Nama : Zalfa Violina Addysa
Kelas : HTN 2C
Mata kuliah : Fiqh Munakahat
Dosen Pengampu : Drs. ALIYUDDIN, M.Ag

Soal-soal :

1. Jelaskan tujuan dan hikmah pernikahan dalam Islam!

Jawab : Nikah di dalam Islam itu sendiri mengandung beberapa tujuan, diantaranya adalah
sebagai berikut:

 Memenuhi Hajat Biologis.

Agama Islam secara jujur mengakui adanya syahwat yang ada pada diri manusia serta
memperlakukannya sebagai sesuatu yang bersih (fitrah) dan sehat. Sebagaimana Firman Allah:
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan terhadap wanita-wanita”.

 Mendapatkan Keturunan.

Untuk menghalalkan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan seorang wanita,
perkawinan juga mempunyai tujuan untuk mendapatkan keturunan yang sah dalam rangkaian
melanjutkan generasi yang kuat dan juga untuk mengembangkan umat yang lebih banyak.
Sebagaimana Firman Allah: “Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya dan dari
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.

 Membentuk keluarga yang tentram lahir batin.

Tujuan pemikahan yang tidak kalah pentingnya ialah membentuk keluarga yang
sakinah (tentram lahir maupun batin) atas dasar saling mencintai antara suami isteri (mawadah
wa rahmah). Sebagaimana Firman Allah: ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (S. al Rum : 21).
Secara umum hikmah nikah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Saling kenal mengenal antara satu dengan yang lainnya.

Allah menciptakan manusia di alam ini pada mulanya hanya satu yaitu Adam a.s.
kemudian diciptakan pasanganya. Setelah itu diciptakanlah manusia menjadi bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa yang tersebar di seluruh alam ini. yang tadinya berdiam di suatu lokasi
kemudian berpindah ke lokasi yang lain. Dengan adanya pernikahan maka seseorang yang tadinya
tidak saling mengenal menjadi kenal, begitu juga dengan keluarganya, tetangganya dan segenap
masyarakat dan begitulah seterusnya.

2. Memalingkan pandangan yang liar.

Seseorang yang belum berkeluarga tidaklah mempunyai ketetapan hati. Pikirannya


kadang berubah-ubah. Dia tidak mempunyai tempat untuk menyalurkan dorongan jiwa serta
gelora birahinya. Sebagai pemuda yang normal, pasti hasratnya itu sulit ditekan secara terus
menerus. Maka dengan pernikahan seseorang terhindar dari pandangan yang liar dan keinginan-
keinginan yang keji hanya lantaran memuaskan hatinya.

3. Menghindarkan diri dari perbuatan zina.

Islam pada dasarnya semua hasrat birahi pada diri manusia dan tidak menghendaki
untuk membendungnya melainkan mengizinkan pelaksanaannya secara nyata sampai jumlah
tertentu selama derajat kenikmatan yang wajar, tanpa menimbulkan kerugian atau cedera apapun
bagi seseorang dan bagi masyarakat.

4. Membuat seseorang menjadi kreatif dan dinamis.

Pernikahan memberikan rasa tanggung jawab akan segala akibat yang ditimbulkan
karenanya. Dari sikap dan tanggungjawab ini timbulah keinginan pada dirinya untuk merubah
nasib agar selalu berkembang maju dengan berbagai cara dan usaha, dengan harapan dapat
membahagiakan anak dan isterinya.

5. Membuat amal seseorang menjadi berkesinambungan.

Umur dan kehidupan seseorang sangat singkat, tetapi biasanya kemauan jauh
melampaui batas umurnya. Sehingga apabila usia telah tua disertai dengan berkurangnya daya
cipta dan daya kerjanya, bahkan apabila ajalnya tiba, terputuslah semua amalnya.
6. Mengangkat derajat wanita

Alangkah malangnya nasib seorang wanita yang menyia-nyiakan kecantikannya di


waktu muda dengan berfoya-foya dan pergaulan bebas yang tidak terbatas. Kemudian setelah
habis manis sepah dibuang, maka wanita itu tinggal seorang diri, tak ada suami yang
memeliharanya dan tak ada anak yang menyayanginya, bahkan tak ada keluarga yang
membujuknya, seolah-olah ia tinggal dalam neraka dunia, setelah mengecap sorga dunia beberapa
waktu lalu.

2. Jelaskan kedudukan mahar dalam perkawinan, kemukakan dalilnya!

Jawab : Mahar ialah pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada
mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah, dan mahar
merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah mahar lebih di kenal di
masyarakat, terutama di Indonesia. Pensyari’atan mahar juga merupakan salah satu syarat yang
dapat menghalalkan hubungan suami isteri, yaitu interaksi timbal balik yang disertai landasan
kasih sayang. Kedudukan mahar dalam perkawinan dalam Islam itu sendiri, disyari’atkan
membayar mahar hanya sebagai hadiah yang diberikan seorang lelaki kepada seorang
perempuan yang dipinangnya ketika lelaki itu ingin menjadi pendampingnya, dan sebagai
pengakuandari seorang lelaki atas kemanusiaan, kemuliaan dan kehormatan perempuan. Karena
itu, dalam al-Qur’an Allah telah menegaskan dalam
Surat an-Nisa ayat 4 :

َ ‫ات اَ نفۗنلَن َح ُٰ ََّءۤت ُق ٰد َصءۤ ََ ِّا نلا اوُٰت‬


‫ا‬ َ ‫َتت َع‬
ْ َِْ ‫ير ِّنماٰ ٰـ ُي ْٰه َْْۗ ل اَتٰا َْٰيَ وَ نفم َءي َنع ٰ تقُ ن‬
“Berikanlah maskawin kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh
kerelaan”. (QS. an-Nisa’: 4)
Mahar merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan, karena mahar
sebagai pemberian yang dapat melanggengkan cinta kasih, yang mengikat dan mengukuhkan
hubungan antara suami istri. Mahar adalah wajib dibayar suami kepada istrinya. Namun setelah
pasti ketentuan pembayarannya, tidak tertutup kemungkinan bagi pasangan suami istri yang
saling mencintai dan meridhoi dan menjadi pasangan yang mesra.
3. Uraikan susunan wali nikah menurut Imam Syafi’I dan Imam Hanafi!

Jawab : Wali nikah menurut Imam Syafi’i:

 Ayah kandung
 Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya keatas dalam garis laki-laki
 Saudara laki-laki sekandung
 Saudara laki-laki seayah
 Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
 Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
 Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
 Anak laki-laki dari anak laki-laki seayah
 Saudara laki-laki ayah kandung
 Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah)
 Anak laki-laki paman sekandung
 Anak laki-laki paman seayah
 Saudara laki-laki kakek sekandung
 Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung

Menurut Imam Hanafi :


Riwayat ini berasal dari Muhammad bin Hasan dari Imam Hanafi. Dari keterangan
diatas dapat disimpulkan bahwa Nikah tanpa wali adalah:
1. Boleh secara muthlaq
2. Tidak boleh secara mutlaq
3. Bergantung secara mutlaq
4. Adalagi pendapat yang tafshil (terperinci), yaitu boleh dalam satu hal dan tidak boleh dalam hal
lainnya.
Jadi dapat disimpulkan menurut Imam Hanafi mengenai wali dalam pernikahan untuk
wanita gadis adalah sunnah dan oleh karenanya seorang perempuan yang dewasa (al-‘aqilah
al-balighah) bisa menikahkan dirinya sendiri. - Anak laki-laki,cucu laki-laki seterusnya sampai
kebawah
- Ayah Kakek ( ayah dari ayah) dan seterusnya sampai ke atas
- Saudara laki-laki yang sekandung
- Saudara laki-laki yang seayah
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah
- Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung
- Paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah
- Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah sekandung
- Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang
seayah,dan seterusnya sampai ke bawah.

4. Kemukakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami istri


Jawab : Hak istri di dalam keluarga yakni Istri harus tinggal bersama suami serta para ulama
sepakat bahwa seorang suami mempunyai kewajiban memberikan tempat tinggal bagi isterinya
secara layak disesuaikan dengan kemampuannya. Di dalam rumah itulah seorang isteri mampu
sepenuhnya menempatkan diri sebagai pemimpin rumah tangga., dan suami yang
menafkahinya. Dan adapula Hak Kebendaan contohnya ialah mahar dan nafkah. Seorang istri
mempunyai hak penuh atas mahar untuk mengurus dan menggunakannya (kecuali bila istri itu
safih). Hak Tempat Tinggal, seorang istri mampu sepenuhnya menempatkan diri sebagai
pemimpin rumah tangga. Kewajiban suami memberikan istrinya tempat tinggal yang layak dan
sesuai dengan kemampuannya. Selain hak kebendaan, seorang istri juga berhak atas hal-hal
yang di luar materi. Hak-hak tersebut antara lain salah satunya ialah mendapatkan perlindungan
dari suami dengan baik seperti suami menjaganya, memeliharanya dari segala sesuatu yang
dapat menodai kehormatannya dan lain-lain.
Hak suami dalam keluarga, yakni ketaatan istri terhadap suami wajib dipenuhi
apabila telah terpenuhinya persyaratan seperti, perintah suami tidak bertentangan dengan
perintah Allah SWT. Misalnya perintah suami agar membatalkan puasa di bulan Ramadhan, dan
lain sebagainya, Perintah suami itu berada dalam kerangka hak suami dan dalam status hukum
mubah. Misalnya seorang suami melarang atau menyuruh isterinya untuk membatalkan puasa
sunat.
Hak bersama, yakni dalam membangun rumah tangga suami istri harus sama-sama
menjalankan tanggungjawabnya masing-masing agar terwujudnya ketentraman dan ketenangan
hati sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga. Di samping itu, istri juga harus
patuh terhadap suami dan menjaga hubungan komunikasi serta saling percaya antar pasangan
suami-istri. Dalam membina kehidupan berumah tangga ada hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh masing-masing suami dan istri. Kewajiban bersama suami istri yakni menjaga
iman dan meningkatkan ketaqwaan, menjaga agar senantiasa taat kepada Allah, yang
diwujudkan dalam sikap menjadikan syariat Islam sebagai tolok ukur perbuatan (miqyasu al-
’amal) dalam semua aspek kehidupan, seperti beribadah bersama, menjaga makanan dan
minuman agar halal, selalu menutup aurat, dan lain-lain. Hak secara bersama-sama dan timbal
balik memiliki kewajiban yang sama antara seorang suami dan seorang istri.

5. Apa yang saudara ketahui tentang talak, Jelaskan pegertian dan macam-macamnya!

Jawab : Menurut bahasa Arab, thalaq ialah melepaskan atau menanggalkan, seperti
melepaskan sesuatu dari ikatannya. Untuk selanjutnya ditulis dengan “talak”. Menurut istilah
syara’ ialah “melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan lafaz talak atau yang searti
dengannya”. Hukum Islam menetapkan hak menetapkan hak talak bagi suami dan suamilah
yang memegang kendali talak, karena suami dipandang telah mampu memelihara
kelangsungan hidup bersama. Suami diberi beban membayar mahar dan memikul nafkah istri
dan anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah istri selama ia
menjalankan ‘iddahnya.

Macam-macamnya, perceraian dapat dilihat dalam beberapa bentuk, dalam Fiqih


Islam bentuk perceraian ini akan menentukan proses dan prosedur perceraiannya. Yakni:

1) Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah. Dikatakan
talak sunni jika memenuhi empat syarat: Istri yang ditalak sudah pernah digauli, Istri dapat
segera melakukan iddah suci setelah ditalak yaitu dalam keadaan suci dari haid, Suami tidak
pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu dijatuhkan, Suami tidak pernah
menggauli istri selama masa suci dimana talak itu dijatuhkan, Mentalak istri harus secara
bertahap (dimulai dengan talak satu, dua dan tiga) dan diselingi rujuk.
2) Talak Bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan
sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni. Talak bid’i ini jelas bertentangan dengan
syari’at yang bentuknya ada beberapa macam yaitu: Apabila seorang suami menceraikan
istrinya ketika sedang dalam keadaan haid atau nifas, Ketika dalam keadaan suci sedang ia
telah menyetubuhinya pada masa suci tersebut, padahal kehamilannya belum jelas, Seorang
suami mentalak tiga istrinya dengan satu kalimat dengan tiga kalimat dalam satu waktu
(mentalak tiga sekaligus).
3) Talak La Sunni Wala Bid’i, yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan tidak
pula termasuk talak bid’i yaitu: Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah
digauli, Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid atau istri yang telah
lepas haid, Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.
Karena keadaan dan masalah yang terdapat dalam rumah tangga bermacam-macam, maka
hukum talakpun bermacam-macam pula. Adakalanya hukumnya wajib, haram, mubah, makruh
ataupun sunat sebagai berikut:
1) Talak wajib, ialah dilakukan oleh dua orang hakam atau hakim sebagai akibat syiqaq suami
isteri yang tidak dapat didamaikan. Demikian pula karena terjadi peristiwa ila’ akan dijatuhkan
talak setelah empat bulan menunggu diucapkan ila itu.
2) Talak haram, yaitu talak yang dijatuhkan tanpa sebab. Pekerjaan yang demikian akan
merugikan kedua befah pihak dan menghilangkan kemaslahatan mereka yang dapat dicapai
dari perkawinan itu.
3) Talak mubah, yaitu karena ada sesuatu sebab seperti isteri tidak dapat menjaga diri di kala
tidak ada suaminya, isteri yang berbahaya terhadap suami atau yang tidak baik akhlaknya.
4) Talak sunat, yaitu talak terhadap isteri yang menyianyiakan kewajibannya terhadap Allah,
seperti tidak mengerjakan ibadat, meskipun sudah berulangkali diperingatkan, atau wanita itu
tidak soleh.
5) Talak makruh, yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami kepada isterinya yang saleh, isteri
yang berbudi mulia, Rasulullah menganjurkan supaya laki-laki memilih wanita yang taat
kepada agama (saleh) menjadi isterinya.

6. Apa yang dimaksud dengan khulu’ dan fasakh. Jelaskan!


Jawab : Khulu’ berarti perceraian perkawinan dengan cara tebusan dari pihak istri. Maksud
perkawinan, untuk membina rumah tangga bahagia dan abadi, tenteram, penuh rasa kasih dan
cinta serta dapat bergaul sebagai suami isteri yang sehati. Untuk mencapai maksud tersebut,
masing-masing harus melaksanakan kewajiban rumah tangga dengan penuh rasa tanggung jawab
yang dijiwai semangat setia kawan dan saling memberi bantuan dengan ikhlas. Dalam Kompilasi
Hukum Islam disebutkan, “Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan
memberikan tebusan atau ‘iwa kepada dan atas persetujuan suaminya. Perceraian dengan jalan
khulu’ merupakan tata cara khusus yang ditur dalam pasal-pasal 1 huruf (i), pasal 8, 124, 131,
148, 155, 161 dan 163 KHI. Hukum acara khulu’ adalah salah satu hukum acara perceraian yang
diatur khusus yang berlaku di Pengadilan Agama. Tata cara dan aturan khulu’ diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991.
Dasar hukum yang membolehkan khulu’ ialah firman Allah SWT: “Dan tidak halal bagimu
mengambil kembali suatu yang telah kamu berikan kepada isteri-isterimu, kecuali jika keduamu
tahu, bahwa tidak akan dapat lagi akan membina rumah tangga menurut ketentuan Allah. Jika
kamu (hakim, wali) tahu bahwa keadaan suami isteri memberikan sejumlah uang”. Kepada
suaminya untuk mendapat talak”,

Fasakh, berarti mencabut atau menghapuskan atau membatalkan akad nikah dan
melepaskan hubungan yang terjalin antara suami istri. Fasakh dalam arti terminologi terdapat
beberapa rumusan diantaranya : Fasakh ialah perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal hal
yang dianggap berat oleh suami atau istri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk
melaksanakan kehidupan suami isteri dalam mencapai tujuannya. Pada dasarnya hukum fasakh
itu adalah mubah atau boleh, tidak disuruh dan tidak pula di larang. Fasakh bisa terjadi karena
tidak terpenuhi syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang
kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.

7. Jelaskan pengertian iddah dan macam-macam iddah berikut dalil-dalilnya!

Jawab : Iddah, menurut bahasa Arab ialah bilangan atau hitungan, karena masa iddah itu harus
dihitung dengan masa bersih wanita dari haid atau dihitung dengan jumlah bulan. Menurut
istilah, ialah waktu tunggu seorang janda, ia tidak boleh kawin untuk mengetahui keadaannya
mengadung atau tidak, juga sebagai ta’abbud kepada Allah (mentaati-Nya), atau sebagai
pemyataan sedih karena berpisah dengan suami. Yang dimaksud masa waktu tunggu ialah
waktu tunggu bagi perempuan yang bercerai hidup atau mati dengan suaminya ia harus
menunggu dengan batas waktu tertentu tidak kawin.

Macam-Macam, Iddah ada tiga macam: Pertama, Iddah yang diperhitungkan batas
waktunya dengan sebab melahirkan, disebut iddah hamil. Apabila terjadi perceraian
perkawinan, sedangkan istri dalam keadaan hamil, maka batas iddahnya sampai melahirkan.
Allah berfirman: “Wanita-wanita yang hamil batas waktu iddah mereka sampai melahirkan”.

Kedua, Iddah yang diperhitungkan batas waktunya dengan tiga quru’ (suci atau haid),
ialah akibat dari suatu perceraian (talak) maka iddah perempuan yang ditalak suaminya tiga
kali suci (menurut imam Syafi’i) atau tiga kali haid (menurut Imam Hanafi). Allah berfirman
: “Wanita-wanita yang ditalak suaminya hendaklah menunggu (beriddah) tiga kali quru ”.
Dalam ayat itu terdapat kata “quru” artinya yang sebenarnya ada dua, ialah “suci” dan
“haid”.
Ketiga, Iddah yang diperhitungkan batas waktunya dengan jumlah bulanan, termasuk
iddah wafat suami. Iddah bagi wanita yang dihitung batas waktunya dengan bilangan bulan
ialah sebagaimana telah dinyatakan dalam dua firman-Nya:

1). Berdasarkan al Quran Surat al Thalaq ayat 4, yang berbunyi:

“Isteri-isterimu yang sudah putus masa haidnya (karena sudah lanjut usianya), jika kamu
ragu, maka iddah mereka selam tiga bulan dan demikian pula perempuan yang belum pernah
haid”.

Ayat ini menjelaskan satu macam iddah, yaitu tiga bulan lamanya dan juga menyebut
dua jenis wanita, yaitu pertama, wanita yang sudah tidak haid (manepous), kalau terjadi talak
atas dirinya maka iddahnya tiga bulan; dan kedua, wanita yang belum pernah datang haid,
karena masih kecil. Apabila ditalak dan sudah dicampuri suaminya iddahnya tiga bulan.

2) Ayat yang kedua tentang wanita beriddah yang dihitung dengan bulan, ialah berdasarkan
firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 234, sebagai berikut:

“Dan orang-orang yang wafat diantara kamu dan meninggalkan isteri-isterinya, maka
hendaklah isteri-isteri itu menunggu beriddah empat bulan sepuluh hari”.

Berdasarkan ayat tersebut itu, iddah perempuan yang suaminya wafat dihitung dengan
bulan ialah empat bulan sepuiuh hari. Apabila seorang perempuan sedang beriddah raj’i dan
dalam masa itu suaminya wafat maka berpindahlah iddahnya dari iddah raj’i kepada iddah
wafat. Iddah raj’i yang sudah beberapa lama tidak dihitung dan perempuan itu harus memufai
iddah wafat sejak suaminya meninggal.

Anda mungkin juga menyukai