Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Pengertian Tasyr’i dan Prinsip-Prinsipnya

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah:


Filsafat Hukum Islam
Dosen Pembimbing : Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si

Disusun Oleh:

Syakira Ainun Nisa 1203030119


Yulia Afiatika 1203030129
Zalfa Violina Addysa 1203030134

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


PRODI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi dan
melengkapi tugas Filsafat Hukum Islam
Dalam proses penulisan makalah ini penulis banyak menemui kesulitan dalam
menjabarkan materi dan keterbatasan kemampuan yang dimiliki, namun penulis menyadari
banyaknya kekurangan dalam menyajikannya. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai
bantuan dari segala pihak yang telah memberi bantuan baik berupa dukungan semangat dari
orang tua, buku-buku, serta bermacam-macam bahan penulisan sehingga makalah ini dapat
terwujud.
Maka dari itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberi
bimbingan berupa materi, orang tua, dan juga teman-teman yang telah memberi saran, sehingga
penulis dapat menyelesaikannya. Demi kesempurnaan makalah ini, penulis mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca.
Dengan demikian, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah
wawasan pembaca mengenai bisnis dalam kehidupan kita.

Bandung, Maret 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………..…….i
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………...ii
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 1
BAB II. PEMBAHASAN ......................................................................................................... 2
2.1 Pengertian Tasyr’i .................................................................................................. 2
2.2 Ruang Lingkup Tasyr’i .......................................................................................... 3
2.3 Prinsip-Prinsip Tasyr’i ........................................................................................... 4
BAB III. PENUTUP ............................................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tasyri' adalah kata yang diambil dari lafazh syariah yang artinya "jalan yang lurus".

Agar manusia melaksanakan hukum-hukum tersebut atas dasar keimanan, baik hukum

yang berpautan dengan perbuatan badaniah manusia maupun yang berkaitan dengan

masalah akidah, akhlak, dan budi pekerti. Dari syariat dalam pengertian itu dipetik kata

"tasyri" yang artinya menciptakan undang-undang dan membuat kaidah-kaidah. Tasyri'

dalam pengertian tersebut adalah "membuat undang-undang”, baik undang-undang yang

dibuat bersumber dari ajaran agama yang disebut dengan tasyri' samawiyy maupun dari

perbuatan manusia dan hasil pikirannya yang dinamakan dengan istilah tasyri' wad'iyy

(Juhaya S. Pradja, 1987:7). Oleh karena itu, syariat yang diturunkan oleh Allah dan yang

datang dari Nabi Muhammad SAW. belum berarti telah menjadi tasyri', sebaliknya tasyri'

di dalamnya adalah substansi dari syariat Islam.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari tasyri?
2. Apa saja ruang lingkup dari tasyri?
3. Apa saja prinsip-prinsip tasyri?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui dan memahami tentang pengertian tasyr’i
2. Untuk memahami dan mengerti apa saja prinsip-prinsip dan ruang lingkup tasyr’i
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum Isam

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tasyr’i

Tasyr'i ‫ااتثر يع‬berasal dari akar kata ‫ثر ع يثر ع‬yang mengandung arti jalan yang

biasa ditempuh, sehingga secara etimologis bermakna: menetapkan syari'at, menerapkan

hukum, atau membuat perundang-undangan, atau proses menetapkan perundang-undangan.

Secara terminologis, Tasyri' sendiri berarti: "pembentukan dan penetapan perundang-

undangan yang mengatur hukum perbuatan orang-orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi

tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi di kalangan mereka".1

Pengertian di atas memberikan pemahaman bahwa tasyri merupakan proses

pembuatan undang-undang yang diambil dari syariat. Oleh karena itu, syariat yang

diturunkan oleh Allah dan yang datang dari Nabi Muhammad SAW. belum berarti telah

menjadi tasyri', sebaliknya tasyri' di dalamnya adalah substansi dari syariat Islam. Ulama

madzhab, yakni Abu Hanifah (80 H-150 H), Imam Malik (95 H-179 H), Imam Syafi'i (150

H-204 H), dan Imam Ahmad bin Hanbal (164 H-241 H) adalah ulama yang membangun

tasyri dari syariat dengan membuat kaidah-kaidah pokok (qa'idah al yara asasiyyah) dan

menetapkan kaidah itu dalam perkembangan kehidupan masyarakat. Menurut Muhammad

Khudhari Bik dalam Tarikh At-Tasyri' al Islami (t.t.: 17-18).

Tiga masalah dalam ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Quran adalah yang

berkaitan dengan keimanan, akhlak, dan perbuatan fisikal hubungannya dengan perintah,

larangan dan pilihan-pilihan. Yang pertama dikaji secara mendalam oleh ilmu kalam atau

1
Sopyan, Y., 2010. Tarikh tasyri': sejarah pembentukan hukum Islam. Rajawali Pers.(hlm. 9)

2
ushuluddin, yang kedua menjadi objek kajian ilmu akhlak, sedangkan yang ketiga dikaji

oleh ilmu fiqh oleh para fuqaha. 2

2.2 Ruang Lingkup Tasyr’i

Ruang lingkup tasyri’ Islam membahas tentang semua jenis hukum yang ditetapkan

Allah kepada hamba-Nya yang terdiri dari:

a. Al-Ahkam al- i’tiqadiyyah (hukum-hukum teologis), yaitu semua hukum yang berkaitan

dengan aqidah dan dijelaskan dengan lengkap dalam tauhid dan ilmu kalam.

b. Al-Ahkam al-wijdaniyyah (hukum-hukum berkaitan dengan intuisi/hati), yaitu setiap hukum

yang berkaitan dengan masalah akhlak, perasaan jiwa seperti zuhud, wara’, iffah, dermawan,

amanah, dan dijelaskan dalam kitab akhlak dan tasawuf.

c. Al-Ahkam al-‘amaliyyah (hukum-hukum yang berkaitan dengan amal perbuatan), yaitu

setiap perbuatan seorang hamba seperti salat, puasa, zakat, jual beli, sewa menyewa dan

dijelaskan selengkapnya dalam kitab fiqih sebagai aspek penting dari syariat untuk

memecahkan persoalan hidup duniawi maupun ukhrawi.3

2
ahmad Saebani, B., 2007. Filsafat Hukum Islam/Beni Ahmad Saebani. (hlm. 49-50)
3
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam, Cet III, (Jakarta:
Amzah, 2015), h.4

3
2.3 Prinsip-Prinsip Tasyr’i

1. Meniadakan Kesukaran (adam al haraj)

al-Haraj memiliki beberapa arti, diantaranya sempit, sesat, paksa, dan berat. Yang

dimaksud denga kesempitan ada dalam QS. Al-Araf ayat 2 4:

َ‫صد ِْركَ َح َر ٌج ِ ِّم ْنهُ ِلت ُ ْنذ َِر ِب ٖه َو ِذ ْك ٰرى ِل ْل ُمؤْ ِمنِيْن‬
َ ‫ ِك ٰتبٌ ا ُ ْن ِز َل اِلَيْكَ فَ ََل َي ُك ْن فِ ْي‬.

“(Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu (Muhammad); maka janganlah engkau sesak

dada karenanya, agar engkau memberi peringatan dengan (Kitab) itu dan menjadi pelajaran

bagi orang yang beriman”.

Adapun arti terminologinya adalah segala sesuatu yang menyulitkan badan, jiwa atau harta

secara berlebihan, baik sekarang maupun dikemudian hari. (Shalih ibn Abd Allah ibn

Hamid).5

Hukum Islam datang masih dalam batas kemampuan seorang mukallaf, tidak diluar batas

kemampuan dan sulit diemban. Dan ini tidak bertentangan dengan tabiat dan persepsi

manusia, sebab semua pekerjaan dalam hidup ini pasti ada masyaqah (beban) dan kepenatan

sampai kebutuhan primer sekalipun tetap ada bebannya seperti makan, minum dan mencari

rizki6.

Meskipun demikian tidaklah berarti bahwa syari’ah Islam menghilangkan sama sekali

kesulitan yang mungkin dialami oleh manusia dalam kehidupannya. Hanya saja diharapkan

4
Arianti youlie, “Prinsip-Prinsip Persyariatan (Tasyri’) Dalam Islam” diakses dari
http://ariantiyoulie.blogspot.com/2014/01/prinsip-prinsip-pesyariatan-tasyri_7.html , pada tanggal 21 Maret
2022 pukul 11.24
5
ibid
6
ibid

4
ketentuan yang terdapat dalam syari’at Islam dapat mengurangi kesulitan bagi manusia. Hal

ini sesuai dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 287:

‫ض ِع ْيفًا‬ ِ ْ َ‫ف َع ْن ُك ْم ۚ َو ُخلِق‬


َ ‫اْل ْن‬
َ ُ‫سان‬ َ ِّ‫ّٰللاُ ا َ ْن يُّ َخ ِف‬
‫ي ُِر ْيد ُ ه‬.

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat)

lemah.”

Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa memperhitungkan kemampuan

manusia dalam melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan

kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada mansusia, agar menerima ketetapan hukum

dengan kesanggupan yang dimiliknya. Prinsip ini secara tegas disebutkan dalam Al-Qur’an

Surat Al-Baqarah ayat 286:

ٓ ‫طأْنَا ۚ َربانَا َو َْل تَحْ ِم ْل َعلَ ْينَا‬


َ ‫اخذْنَا ٓ ا ِْن ان ِس ْينَا ٓ ا َ ْو اَ ْخ‬
ِ ‫ت ۗ َر ابنَا َْل ت ُ َؤ‬ َ َ‫ت َو َعلَ ْي َها َما ا ْكت‬
ْ ‫س َب‬ َ ‫سا ا اِْل ُو ْس َع َها ۗ لَ َها َما َك‬
ْ ‫س َب‬ ً ‫ّٰللاُ نَ ْف‬
‫ف ه‬ ُ ِّ‫َْل يُ َك ِل‬

ُ ‫ار َح ْمنَا ۗ ا َ ْنتَ َم ْو ٰلىنَا فَا ْن‬


‫ص ْرنَا‬ ْ ‫ْف َعنا ۗا َوا ْغ ِف ْر لَن َۗا َو‬ َ ‫ص ًرا َك َما َح َم ْلت َهٗ َعلَى الا ِذيْنَ ِم ْن قَ ْب ِلنَا ۚ َربانَا َو َْل ت ُ َح ِ ِّم ْلنَا َما َْل‬
ُ ‫طاقَةَ لَنَا ِب ٖ ۚه َواع‬ ْ ِ‫ا‬

ࣖ َ‫ َعلَى ْالقَ ْو ِم ْال ٰك ِف ِريْن‬.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia

mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari

(kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau

hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah

Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada

orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa

yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah

kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.”

7
ibid

5
Dalam surat Al-Maidah ayat 6:

‫س ُح ْوا بِ ُر ُء ْو ِس ُك ْم َوا َ ْر ُجلَ ُك ْم اِلَى ْال َك ْعبَي ۗ ِْن َوا ِْن‬ ِ ِ‫ص ٰلوةِ فَا ْغ ِسلُ ْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َوا َ ْي ِديَ ُك ْم اِلَى ْال َم َراف‬
َ ‫ق َو ْام‬ ‫ٰ ٓياَيُّ َها الا ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٓوا اِذَا قُ ْمت ُ ْم اِلَى ال ا‬

َ ِّ‫سفَ ٍر ا َ ْو َج ۤا َء اَ َحد ٌ ِ ِّم ْن ُك ْم ِ ِّمنَ ْالغ َۤا ِٕى ِط ا َ ْو ٰل َم ْست ُ ُم ال ِن‬


‫س ۤا َء فَلَ ْم ت َِجد ُْوا َم ۤا ًء فَتَ َي ام ُم ْوا‬ َ ‫ضى ا َ ْو َع ٰلى‬
ٓ ٰ ‫ط اه ُر ْو ۗا َوا ِْن ُك ْنت ُ ْم ام ْر‬
‫ُك ْنت ُ ْم ُجنُبًا فَا ا‬

َ ُ‫ّٰللاُ ِل َيجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِِّم ْن َح َرجٍ او ٰل ِك ْن ي ُِّر ْيدُ ِلي‬


‫ط ِِّه َر ُك ْم َو ِليُ ِت ام ِن ْع َمتَهٗ َعلَ ْي ُك ْم‬ ‫س ُح ْوا ِب ُو ُج ْو ِه ُك ْم َوا َ ْي ِد ْي ُك ْم ِ ِّم ْنهُ ۗ َما ي ُِر ْيد ُ ه‬ َ ‫ص ِع ْيدًا‬
َ ‫ط ِيِّبًا فَا ْم‬ َ

َ‫لَ َعلا ُك ْم تَ ْش ُك ُر ْون‬.

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka

basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua

kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit

atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh

perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang

baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin

menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-

Nya bagimu, agar kamu bersyukur.”

Ayat-ayat diatas menjadi dalil bahwa tasyri bertitik tolak dari prinsip menjadikan beban

sehingga saat syariat telah menjadi tasyri masyarakat sebagai subjek sekaligus objek hukum

dengan mudah melaksanakannya. Namun bukan berarti taklif syar'i bebas sama sekali dari

kesukaran. sedikit kesulitan merupakan ciri khas hukum taklifi, karena itu ahli fiqih

mengartikan taklif sebagai penghapusan hal-hal yang memberatkan. sukar bukan berarti

berat karena itu yang sukar pun dapat berubah menjadi mudah, sebagaimana adanya rukhsah

dan dharurah yang meringankan beban taklif.8

Prinsip nafy al-haraj ini dapat dilihat dalam kandungan sejumlah ayat al-Qur`an dan hadis

Nabi, dimana taklif tidak pernah diberikan melampaui batas kemampuan mukalaf. Oleh

8
Beni Ahmad Saebani, “Filsafat Hukum Islam”(Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2008), hlm.50-52

6
karena itu, ketika mukallaf mengalami kesulitan dalam pelaksanaan suatu hukum, maka

dalam waktu yang sama diberikan kemudahan atau toleransi. Pemberian kemudahan atau

toleransi di kalangan ahli hukum Islam disebut juga dengan rukhshah. Contoh, dibolehkan

memakan atau meminum yang haram dalam kondisi yang darurat, boleh meninggalkan yang

wajib jika kesulitan melaksanakannya; seperti karena sakit dibolehkan berbuka puasa di

bulan Ramadan, melaksanakan shalat dengan duduk, bahkan berbaring. Begitu juga

dibolehkan menggabungkan (menjamak) dan mengqashar (meringkas) shalat karena

musafir (bepergian)9.

2. Menyedikitkan Beban (Taqlif al-Takalif)

Taklif secara bahasa berarti beban. Arti etimologinya adalah menyedikitkan. Adapun

secara istilah, yang dimaksud taklif adalah tuntutan Allah untuk berbuat sehingga dapat

dipandang taat dan (tuntutan) untuk menjauhi larangan Allah. Dengan demikian, yang

dimaksud taqlil al-takalif secara terminology adalah menyedikitkan tuntutan Allah untuk

berbuat, mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya10.

Prinsip kedua ini merupakan akibat adanya prinsip yang pertama Yakni meniadakan

kesulitan atau menambah kewajiban dalam beragama. Alquran tidak memberikan hukum

kepada mukallaf agar ia menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin

dianggap wajar menurut kacamata sosial. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam

surat Al- Baqarah ayat 185:

9
Arianti youlie, “Prinsip-Prinsip Persyariatan (Tasyri’) Dalam Islam” diakses dari
http://ariantiyoulie.blogspot.com/2014/01/prinsip-prinsip-pesyariatan-tasyri_7.html , pada tanggal 21 Maret
2022 pukul 11.24
10
ibid

7
ُ َ‫ش ْه َر فَ ْلي‬
َ‫ص ْمهُ ۗ َو َم ْن َكان‬ ‫ش ِهدَ ِم ْن ُك ُم ال ا‬ ِ ۚ َ‫ت ِ ِّمنَ ْال ُه ٰدى َو ْالفُ ْرق‬
َ ‫ان فَ َم ْن‬ ِ ‫ِي ا ُ ْن ِز َل فِ ْي ِه ْالقُ ْر ٰانُ ُهدًى ِ ِّللنا‬
ٍ ‫اس َوبَ ِيِّ ٰن‬ ْٓ ‫ضانَ الاذ‬
َ ‫ش ْه ُر َر َم‬
َ

‫ّٰللاَ َع ٰلى َما َه ٰدى ُك ْم‬


‫ّٰللاُ ِب ُك ُم ْاليُس َْر َو َْل ي ُِر ْيدُ ِب ُك ُم ْالعُ ْس َر ۖ َو ِلت ُ ْك ِملُوا ْال ِعداة َ َو ِلت ُ َك ِبِّ ُروا ه‬ َ ‫َم ِر ْيضًا ا َ ْو َع ٰلى‬
‫سفَ ٍر فَ ِعداة ٌ ِ ِّم ْن اَي ٍاام اُخ ََر ۗ ي ُِر ْيدُ ه‬

َ‫ َولَعَلا ُك ْم تَ ْش ُك ُر ْون‬.

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk

bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang

benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka

berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib

menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah

menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah

kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang

diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.”

Dalam surat Al-Maidah ayat 101:

‫ّٰللاُ َغفُ ْو ٌر‬


‫ّٰللاُ َع ْن َها َۗو ه‬ ُ َ ‫ٰ ٓياَيُّ َها الا ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َْل تَسْـَٔلُ ْوا َع ْن ا َ ْش َي ۤا َء ا ِْن ت ُ ْبدَ لَ ُك ْم ت‬
‫سؤْ ُك ْم َۚوا ِْن تَسْـَٔلُ ْوا َع ْن َها ِحيْنَ يُن اَز ُل ْالقُ ْر ٰانُ ت ُ ْبدَ لَ ُك ْم ۗ َع َفا ه‬

‫ َح ِل ْي ٌم‬.

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal

yang jika diterangkan kepadamu (justru) menyusahkan kamu. Jika kamu menanyakannya

ketika Al-Qur'an sedang diturunkan, (niscaya) akan diterangkan kepadamu. Allah telah

memaafkan (kamu) tentang hal itu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun”.

Ayat-ayat di atas merupakan landasan naqliyah bahwa tasyri yang diperlakukan sebagai

aturan kehidupan masyarakat harus menyedikitkan beban atau tidak memberatkan, sehingga

pelaku peraturan merasa kenyamanan hidup dengan menaati peraturan yang berlaku.

Alquran dan as-sunnah tidak memperbolehkan suatu perintah atau larangan an-naml

8
membuat masyarakat sebagai subjek hukum merasa terbelenggu. dengan menyedikitkan

beban mukallaf pengamalan syariat akan lebih efektif dan kondusif11.

3. Berangsur-angsur Dalam Memberlakukan Syariat (At-Tadrih fi at-Tasyri)

Tadarruj adalah sebuah cara bertahap yang ditempuh oleh Al Qur’an untuk

menyampaikan pesan-pesannya dalam membina masyarakat, baik dalam melenyapkan

kepercayaan dan tradisi jahiliyah maupun yang lain. Al Qur’an tidak serta merta merubah

360 derajat sebuah keadaan awal. Al Qur’an lebih memilih jalan bertahap dalam

menyampaikan pesannya agar mudah dilaksanakan oleh umat. Karena syari’at diturunkan

dengan tujuan yaitu kemaslahatan umat. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi SAW secara

bertahap (berangsur-angsur) begitu pula Nabi SAW dalam menyampaikan hal itu kepada

para sahabat. Karenanya sangatlah wajar apabila salah satu metode pendidikan Nabi SAW

adalah graduasi. Hukum islam dibentuk secara gradual atau tadrij.12

Adanya proses berangsur-angsur atau tadrij menimbulkan ikhtilaf mengenai Nasikh

mansukh Ayat-ayat al-quran tetapi substansi, prinsip taddaruj bukan berarti ada ayat yang

mansukh, melainkan sebagai prinsip dakwah yang harus dijalankan agar tujuan dakwah

dapat dicapai dan masyarakat merasakan adanya kerelaan dalam mengamalkan syariat

Islam.13

Dari penjelasan yang berkaitan dengan pemaknaan tasyri dapat dikatakan bahwa tasyri

dalam menetapkan syariat menjelaskan hukum dan membentuk undang-undang dan

peraturan-peraturan. hak prerogatif tasyri di masa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi

Wasallam. adalah Rasul Shallallahu Alaihi Wasalam menyedikitkan beban dan bertitik tolak

11
Beni Ahmad Saebani, “Filsafat Hukum Islam”(Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2008), hlm.53
12
ibid
13
ibid

9
kepada wahyu Alquran dan Sunah. setelah 2 dasar tersebut ditetapkan sebagai langkah

tasyri, dasar tasyri berikutnya adalah hasil Isma sahabat Yani hasil musyawarah mufakat

yang berkaitan dengan hukum syara dan ijtihad para fuqaha dalam cara mengistinbath dan

istidlal. 14

14
ibid

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Tasyri ialah pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur hukum

perbuatan orang-orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai keputusan serta

peristiwa yang terjadi di kalangan mereka

2. Ruang lingkup tasyri sendiri menbahas tentang jenis hukum yang ditetapkan kepada

hamba-Nya yang terdiri dari 3 yaitu: Al-Ahkam al- i’tiqadiyyah (hukum-hukum teologis),

Al-Ahkam al-wijdaniyyah (hukum-hukum berkaitan dengan intuisi/hati), dan Al-Ahkam al-

‘amaliyyah (hukum-hukum yang berkaitan dengan amal perbuatan).

3. Prinsip-prinsip tasyri ada 3 diantaranya: Meniadakan Kesukaran (adam al haraj),

Menyedikitkan Beban (Taqlif al-Takalif), dan Berangsur-angsur Dalam Memberlakukan

Syariat (At-Tadrih fi at-Tasyri)

11
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Ahmad Saebani, B., 2007. Filsafat Hukum Islam/Beni Ahmad Saebani.
Beni Ahmad Saebani, “Filsafat Hukum Islam”(Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2008)
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam, Cet III, (Jakarta:
Amzah, 2015)
Sopyan, Y., 2010. Tarikh tasyri': sejarah pembentukan hukum Islam. Rajawali Pers.

Internet
Arianti youlie, “Prinsip-Prinsip Persyariatan (Tasyri’) Dalam Islam” diakses dari
http://ariantiyoulie.blogspot.com/2014/01/prinsip-prinsip-pesyariatan-tasyri_7.html ,
pada tanggal 21 Maret 2022 pukul 11.24

Anda mungkin juga menyukai