Anda di halaman 1dari 12

KETENTUAN IDAH PEREMPUAN DICERAI QABLA AL-DUKHUL

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, INDONESIA DAN BRUNEI


DARUSSALAM

Oleh:
Ahmad Farhan
NIM: 18780028

Abstrak
Negara Brunei Darussalam merupakan salah satu negara yang menerapkan
aturan-aturan mazhab fikih khususnya Syafi‟iyah, begitu juga dalam
melaksanakan ketentuan Hukum keluarga seperti nikah, cerai, hak asuh anak dan
lain-lain. Akan tetapi dalam praktiknya terdapat beberapa perbedaan antara
ketentuan hukum Islam dengan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam
undang-undang Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999
Negara Brunei Darussalam seperti ketentuan masa idah bagi perempuan yang
dicerai qabla al-dukhûl. Menurut Ketentuan hukum Islam dan negara Indonesia,
perempuan yang dicerai qabla al-dukhûl tidak ada masa tunggu (idah) sedangkan
di Negara Brunei Brunei terdapat masa idah.
Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti. Tujuan penelitian kualitatif ini untuk
menggambarkan perbedaan ketentuan idah bagi perempuan yang dicerai qabla al-
dukhûl perspektif hukum Islam, undang-undang Indonesia dan KHI serta
ketentuan yang ada di Negara Brunei Darussalam.
Hasil dari penelitian didapatkan bahwa alasan diberlakukannya ketentuan
idah bagi perempuan yang dicerai qabla al-dukhûl di negara Brunei Darussalam
yaitu karena adanya unsur kemaslahatan untuk menjunjung tinggi derajat
perempuan dan karena adanya ketentuan hukum adat yang sudah diaplikasikan
dan bersifat konstruksi sosial.

Kata kunci: Perceraian, Idah, Qabla al-Dukkhul, Hukum keluarga Indonesia,


Brunei Darussalam, Hukum Islam

1
Pendahuluan

Perkawinan menurut Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.1 Tujuan dari perkawinan adalah terbentuknya keluarga yang bahagia,
kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dapat terwujud
jika suami istri saling memahami serta melaksanakan hak dan kewajiban masing-
masing sebagai upaya membangun sebuah keluarga.2
Tidak selamanya di dalam perkawinan berjalan dengan mulus dan lancar,
tentu ada lika-liku kehidupan beserta sejumlah konflik yang akan terjadi di dalam
hubungan dan harus dihadapi. Ketika menghadapi sebuah konflik dengan keluarga
tidak semua pasangan mampu menyelesaikannya dengan cara musyawarah, tak
jarang pasangan-pasangan yang bermasalah tersebut mengakhiri hubungan
perkawinannya dengan cara melalui perceraian. Ketika perceraian terjadi dalam
sebuah keluarga maka akan muncul ketentuan baru akibat terjadinya perceraian
tersebut, seperti masa idah, nafkah, hak asuh anak dan lain-lain.
Ketentuan masa idah dibagi menjadi beberapa kelompok oleh ulama, yaitu:
Perempuan yang sedang hamil, karena diceraikan atau ditinggal mati oleh
suaminya, perempuan yang baligh tetapi tidak pernah haid sama sekali, serta
wanita yang menopause, perempuan yang telah mancapai usia 9 tahun, tidak
hamil, bukan menopause dan telah mengalami haid. Dan perempuan yang dicerai
sebelum dicampuri (qabla al-dukhûl).3
Perempuan yang dicerai sebelum dicampuri (qabla al-dukhûl) menurut
hukum Islam dan peraturan dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia, masa
idahnya tidak ada dan boleh langsung melaksanakan pernikahan, hal tersebut
berdasarkan QS. al-Ahzab (33): 49, dan KHI pasal 153 ayat (1) a, yaitu:

1
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam,
(Jakarta: Qolbun Salim, 2005), 3.
2
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty,
1986), 96.
3
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, diterjemahkan oleh Masykur A.B, (Jakarta:
Lentera Basritama, 1999). 465.

2
“Bagi seorang istri yang putus perceraiannya berlaku waktu tunggu atau idah,
kecuali qabla al-dukhûl dan perkawinannya putus bukan karena kematian
suami.”
Sedangkan ketentuan di Brunei Darussalam, Jika perempuan dicerai sebelum
disetubuhi, maka ia tidak boleh dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan
suaminya yang terdahulu dalam masa idah kecuali telah dibenarkan oleh Kadi
yang berkuasa di mana ia tinggal. Aturan dalam perundang-undangan ini terasa
janggal, karena menurut kesepakatan mazhab Syafi‟i bahwa wanita yang ditalak
sebelum dicampuri, tidak mempunyai idah.
Dalam penelitian ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai ketentuan
Perempuan yang dicerai sebelum dicampuri (qabla al-dukhûl) yang diaplikasikan
di negara Brunei Darussalam perspektif hukum Islam.

Kajian Pustaka

A. Idah Perspektif Hukum Islam


1. Pengertian Idah

Idah dari kata „adad, artinya menghitung. Maksudnya perempuan


(istri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Idah dalam istilah
Agama menjadi nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu dan
tidak boleh nikah setelah kematian suaminya, atau setelah pisah dari
suaminya. Idah ini sudah dikenal pula sejak zaman Jahiliyyah. Mereka ini
hampir tidak pernah meninggalkan kebiasaan idah. Tatkala Islam datang
kebiasaan itu diakui dan dijalankan terus, karena ada beberapa kebaikan
padanya.4

Menurut ulama Hanafiah idah adalah masa yang ditentukan syara‟


karena sisa-sisa dari pernikahan atau persetubuhan.5 Menurut Malikiyah
idah adalah masa dilarang melakukan pernikahan yang disebabkan
perceraian, ditinggal mati suami atau rusaknya pernikahan. Menurut

4
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (alih bahasa. Moh. Thalib), Vol 8, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1994),
139-140.
5
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wâ Adilatuhu Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
Fiqih Islam 9 (Jakarta: Gema Insani, 2011), 623.

3
Syafi‟iyah idah adalah masa penantian seorang wanita untuk mengetahui
kesucian rahim, untuk beribadah atau untuk berkabung atas kematian
suami. Menurut Hambali idah adalah masa penantian yang ditentukan oleh
syara.6

2. Macam-Macam Idah

Para ulama mazhab membagi macam-macam idah menjadi beberapa


bentuk, yaitu sebagai berikut:7

a. Perempuan yang sedang hamil, apabila diceraikan atau ditinggal


mati oleh suaminya, maka idahnya adalah sampai anak itu lahir
dari kandungan. Dalilnya terdapat dalam firman Allah dalam QS.
At- Thalaq (65): 4:

‫اَّللَ ََْي َعل لَّوُ ِم ْن‬


َّ ‫ض ْع َن َْحْلَ ُه َّن ۚ َوَمن يَت َِّق‬
َ َ‫َجلُ ُه َّن أَن ي‬ ِ ْ ‫ت ْاْل‬
َ ‫َْحَال أ‬ ُ ‫ُوَل‬
َ ‫… َوأ‬
‫أ َْم ِرهِ يُ ْسًرا‬
“…Perempuan-perempuan yang sedang hamil idahnya
adalah sampai dia melahikan kandungannya. Siapa yang
bertakwa kepada Allah, Allah akan menjadikan semua
urusannya mudah”
Wanita yang harus menjalani masa idah dalam bentuk
hingga melahirkan, kalau kandungannya ada dua bayi maka
idahnya sampai keluar yang terakhir, (menurut kesepakatan ulama
mazhab). Tetapi jika keguguran, maka mereka berbeda pendapat
yaitu sebagai berikut:
1) Imam Hanafi, Syafi‟i dan Hambali: wanita tersebut belum
keluar dari idahnya.
2) Imamiyah dan Maliki: wanita tersebut telah keluar dari
idahnya, sekalipun yang keluar dari rahimnya itu berupa

6
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitâbu Al-Fiqh ‘ala Al-Madzâhibi Al-Arba’ah, (Kairo: Dar Al-Fikr, t.th)
516-518.
7
Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, 465.

4
sepotong daging kecil, selama potongan itu adalah embrio
wanita.
b. Idah berdasarkan perhitungan bulan, yakni bagi wanita yang baligh
tetapi tidak pernah haid sama sekali, serta wanita yang menopause.
Idahnya tiga bulan berdasar firman Allah SWT. di dalam QS. At-
Talaq (65): 4:

‫يض ِمن نِّ َسائِ ُك ْم إِ ِن ْارتَ ْب تُ ْم فَعِدَّتُ ُه َّن ثَََّلثَةُ أَ ْش ُه ٍر‬


ِ ‫الَّلئِي يَئِ ْس َن ِم َن الْ َم ِح‬
َّ ‫َو‬
…‫ض َن‬ ْ ‫الَّلئِي ََلْ ََِي‬
َّ ‫َو‬
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause)
di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), maka idahnya adalah tiga bulan, dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid…”
Menurut Imamiyah, wanita menopause yang pernah
dicampuri tidak wajib melakukan idah. Sedangkan istri yang telah
dicampuri sebelum usianya 9 tahun, menurut imam mazhab
sebagai berikut:8
1) Menurut Hanafi: wajib menjalani iddah sekalipun dia masih
kecil.
2) Menurut Maliki dan Syafi‟i : bagi yang belum kuat (layak)
dicampuri maka tidak wajib idah, tetapi wajib bagi yang sudah
bisa dicampuri walaupun belum berusia 9 tahun.
3) Menurut Imamiyah dan Hambali: tidak wajib idah bagi yang
belum berusia 9 tahun sekalipun sudah kuat dicampuri.
c. Idah Quru‟ yaitu bagi wanita yang telah mancapai usia 9 tahun,
tidak hamil, bukan menopause dan telah mengalami haid.
Berdasarkan firman Allah SWT, di dalam Q.s. Al-Baqarah (2):
228, sebagai berikut:

8
Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, 501.

5
‫وء ۚ َوََل ََِي ُّل ََلُ َّن أَن يَكْتُ ْم َن َما‬ ٍ ‫والْمطَلَّ َقات ي ت ربَّصن ِِبَن ُف ِس ِه َّن ثَََّلثَةَ قُر‬
ُ َ ْ َ ََ ُ ُ َ
ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫اَّللُ ِِف أ َْر َحام ِه َّن إِن ُك َّن يُ ْؤم َّن ِِب ََّّلل َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر ۚ َوبُ ُعولَتُ ُه َّن أ‬
‫َح ُّق‬ َّ ‫َخلَ َق‬
ۚ ‫وف‬ِ ‫ك إِ ْن أَرادوا إِص ََّلحا ۚ وََل َّن ِمثْل الَّ ِذي علَي ِه َّن ِِبلْمعر‬ ِ‫بِرِد ِى َّن ِِف َٰذَل‬
ُْ َ َْ ُ ُ َ ً ْ ُ َ َ َّ
َّ ‫َولِ ِّلر َج ِال َعلَْي ِه َّن َد َر َجةٌ ۗ َو‬
‫اَّللُ َع ِز ٌيز َح ِك ٌيم‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru‟, tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir
dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki islah
dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dalam
kewajibannya menurut cara yang ma‟ruf, akan tetapi para
suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada
istrinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Menurut pendapat ulama Madzhab:
1) Imamiyah, Maliki dan Syafi‟i menginterprestasikan quru‟
dengan masa suci ( tidak haid) sehingga bila wanita tersebut
dicerai pada hari-hari terakhir masa sucinya, maka masa
tersebut dihitung sebagai bagian dari masa idah, yang
disempurnakan dengan 2 masa suci sesudahnya.
2) Hanafi dan Hambali menginterprestasikan dengan masa haid,
sehingga wanita tersebut harus melewati 3 kali masa iddah
(dalam menyelesaikan masa idah). Sesudah di talak tidak
termasuk masa haid ketika ia ditalak.9
d. Idah sebelum dicampuri (qabla al-dukhûl)
Para ulama mazhab sepakat bahwa wanita yang ditalak
sebelum dicampuri dan sebelum melakukan khalwat, tidak
mempunyai idah. Namun, jika suami wafat dalam keadaan si istri
belum pernah digauli, maka ia harus menjalani idah wafat.10

9
Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, 466.
10
Abu Malik, Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahîh Fikih Sunnah, Penerjemah: Darwis,
Derysmono, Shahih Fikih Sunnah Vol. 4, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2017) 431.

6
Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali
mengatakan bahwa, apabila suami telah berkhalwat dengannya,
tetapi dia tidak sampai mencampurinya, lalu istrinya tersebut
ditalak, maka si istri harus menjalani idah, persis seperti istri yang
telah dicampuri. Menurut Imamiyah dan Syafi‟i mengatakan
bahwa, khalwat tidak membawa akibat apapun.11
Dalilnya adalah sebagaimana dalam firman Allah pada QS.
al-Ahzab (33): 49:

‫وى َّن ِمن قَ ْب ِل أَن‬ ِ ِ ِ


ُ ‫آمنُوا إِذَا نَ َك ْحتُ ُم الْ ُم ْؤمنَات ُُثَّ طَلَّ ْقتُ ُم‬ َ ‫ين‬ َ ‫ََي أَيُّ َها الَّذ‬
ِ ٍ ِ ِ
‫احا‬
ً ‫وى َّن َس َر‬ ُ ُ‫وى َّن فَ َما لَ ُك ْم َعلَْي ِه َّن م ْن عدَّة تَ ْعتَدُّونَ َها ۖ فَ َمتّع‬
ُ ‫وى َّن َو َسِّر ُح‬ ُ ‫ََتَ ُّس‬
َِ
‫َج ًيَّل‬
“Hai orang-orang yang beriman bila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman kemudian kamu
menceraikannya sebelum kamu menggaulinya, maka tidak
ada kewajiban baginya untuk beridah terhadapnya”
Mayoritas ulama memahami ungkapan ‫ قَ ْب ِل أ َ ْن ت َ َمسُّوهُه‬berarti
Qabla an tadkhulubiha. ayat ini cukup memberikan dugaan kuat
bahwa perempuan yang Ghair al-Madkhul biha tidak perlu
menjalani masa idah. Oleh karena itu, perempuan tersebut dapat
langsung melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain setelah
perceraian.12

11
Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, 499.
12
Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, 464.

7
B. Idah Perspektif Hukum Indonesia
1. Pengertian Idah

Idah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah masa


tunggu (belum boleh menikah) bagi wanita yang berpisah dengan suami,
baik karena ditalak maupun bercerai mati, wanita yang ditalak oleh
suaminya harus menjalani selama tiga kali suci dari menstruasi. 13 Undang-
undang Perkawinan tampaknya tidak mengatur tentang idah ataupun
waktu tunggu secara rinci. Satu-satunya pasal yang bicara tentang waktu
tunggu adalah Pasal 11 ayat 1 dan 2 sebagai berikut: 14

a. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka


waktu tunggu.
b. Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur
dalam peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Selanjutnya waktu tunggu ini dimuat di dalam PP No.9 Tahun 1975
Pasal 39 yang berbunyi sebagai berikut:

a. Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11


ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut:
1) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditentukan 110 hari.
2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu
yang masih berdatang bulan ditetapkan tiga kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari.
3) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
b. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya
belum pernah terjadi hubungan.
c. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi

13
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. 2016.
14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media,
2004), 252.

8
Perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami.

Menurut KHI dalam pasal 153 mengatur tentang masa tunggu (idah)
seorang wanita (janda) yang telah diceraikan atau ditinggal mati oleh
suaminya. Pada ayat (1) berbunyi “bagi seorang istri yang putus
perkawinannya berlaku waktu tunggu atau idah, kecuali qabla al dukhûl
dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami”. Pasal 153 waktu
tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

a. Bagi seorang istri yang putus perceraiannya berlaku waktu tunggu


atau idah, kecuali qabla al-dukhûl dan perkawinannya putus bukan
karena kematian suami.
b. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
1) Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al-
dukhûl, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu
bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang
tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
3) Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda
tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan.
4) Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda
tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan.
c. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena
perceraian tersebut dengan bekas suami qabla al-dukhûl.
C. Ketentuan Idah di Brunei Darussalam

Idah adalah tempoh atau masa bagi seseorang perempuan di tengah


bernikah.15 Pada peraturan Undang-undang di Negara Brunei tidak
menjelaskan tentang batas waktu lamanya idah, hanya saja di Negara
Brunei batas waktu idah mengikuti Hukum Syara'. di Negara Brunei hanya
menjelaskan tentang masa idah qabla dukhul yaitu jika perempuan dicerai
sebelum disetubuhi, maka ia tidak boleh dikawinkan dengan orang lain

15
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1) tentang
Permulaan.

9
kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam masa idah kecuali telah
dibenarkan oleh kadi yang berkuasa dimana ia tinggal.

Pernyataan tersebut terdapat dalam Perintah Darurat (Undang-undang


keluarga Islam), 1999 pada Pasal 13 ayat (3) yang menyatakan bahwa:

“Jika perempuan itu mendakwa telah bercerai sebelum dia telah


disetubuhi oleh suaminya dalam perkahwinan itu, dia tidaklah boleh,
dalam masa ‘iddah perceraian biasa, berkahwin dengan seseorang
selain daripada suaminya yang dahulu itu, kecuali dengan kebenaran
Hakim Syar‟ie yang mempunyai bidang kuasa di tempat di mana
perempuan itu bermastautin”.
Peraturan tersebut sangat bertolak belakang dengan kesepakatan ulama
mazhab fikih bahwa wanita yang ditalak sebelum dicampuri tidak
mempunyai idah. Dari kenyataan tersebut, dapatlah penulis katakan bahwa
sepertinya untuk aturan yang satu ini, Negara Brunei sangat jauh
melenceng dari substansi hukum yang ada dalam kitab fikih Syafi‟i yang
menjadi kitab rujukan utamanya dan bahkan terhadap QS. Al-Ahzab yang
sudah dijelaskan terdahulu.

Menurut peneliti bahwa diberlakukannya idah bagi wanita yang dicerai


qabla al-dukhûl dalam peraturan Negara Brunei didasarkan atas
pertimbangan kemaslahatan. Karena kegadisan seorang wanita adalah hak
sepenuhnya seorang suami yang akhirnya menetapkan masa idah bagi istri
yang dicerai sebelum terjadi hubungan badan, sesuai hal tersebut terdapat
kaidah fikih yang berbunyi:

16 ِ
ِ ‫جْلب الْمصالِ ِح ودرء الْم َف‬
‫اسد‬ َ ُ َْ َ َ َ ُ َ
Meraih kemaslahatan dan menolak kemudharatan.

Selain itu menurut Intan Cahyani pada jurnalnya yang berjudul Hukum
keluarga Islam di Brunei Darussalam, bahwa ditelusuri secara mendalam
dalam peraturan yang telah ada atau dalam hukum perceraian yang

16
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), 8.

10
terdapat di Negara Brunei Darussalam mengikuti hukum adat yang berlaku
di masyarakat Negara Brunei,17 padahal dalam hukum Islam, adat dapat
dijadikan sebagai dalil hukum, sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi:

ٌ‫ادةُ ُُمَ َّك َمة‬


18
َ ‫الْ َع‬
Adat dapat dijadikan (pertimbangan dalam menetapkan) hukum.

17
Intan Cahyani, “Hukum Keluarga di Brunei Darussalam”, Jurnal Al-Qadau, Vol. 2, No. 2,
2015, 156.
18
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar Jaya
Offset, 2004), 155.

11
Daftar Pustaka

Buku

Djalil, A. Basiq, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqih dan


Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Qolbun Salim, 2005.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,
Yogyakarta: Liberty, 1986.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Madzhab, diterjemahkan oleh
Masykur A.B, Jakarta: Lentera Basritama, 1999.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah (alih bahasa. Moh. Thalib), Vol 8, Bandung: Al-
Ma‟arif, 1994.
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Wâ Adilatuhu Penerjemah Abdul Hayyie
al-Kattani, Fiqih Islam 9, Jakarta: Gema Insani, 2011.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitâbu Al-Fiqh ‘ala Al-Madzâhibi Al-Arba’ah, Kairo:
Dar Al-Fikr, t.th.
Malik, Abu, Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahîh Fikih Sunnah, Penerjemah:
Darwis, Derysmono, Shahih Fikih Sunnah Vol. 4, Jakarta: Darus Sunnah
Press, 2017.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Kelima. 2016.
Nuruddin, Amiur, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai
KHI, Jakarta: Prenada Media, 2004.
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014.
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, Jakarta:
Radar Jaya Offset, 2004.

Jurnal

Cahyani, Intan, “Hukum Keluarga di Brunei Darussalam”, Jurnal Al-Qadau, Vol.


2, No. 2, 2015, 156.

12

Anda mungkin juga menyukai