Oleh:
Ahmad Farhan
NIM: 18780028
Abstrak
Negara Brunei Darussalam merupakan salah satu negara yang menerapkan
aturan-aturan mazhab fikih khususnya Syafi‟iyah, begitu juga dalam
melaksanakan ketentuan Hukum keluarga seperti nikah, cerai, hak asuh anak dan
lain-lain. Akan tetapi dalam praktiknya terdapat beberapa perbedaan antara
ketentuan hukum Islam dengan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam
undang-undang Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999
Negara Brunei Darussalam seperti ketentuan masa idah bagi perempuan yang
dicerai qabla al-dukhûl. Menurut Ketentuan hukum Islam dan negara Indonesia,
perempuan yang dicerai qabla al-dukhûl tidak ada masa tunggu (idah) sedangkan
di Negara Brunei Brunei terdapat masa idah.
Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti. Tujuan penelitian kualitatif ini untuk
menggambarkan perbedaan ketentuan idah bagi perempuan yang dicerai qabla al-
dukhûl perspektif hukum Islam, undang-undang Indonesia dan KHI serta
ketentuan yang ada di Negara Brunei Darussalam.
Hasil dari penelitian didapatkan bahwa alasan diberlakukannya ketentuan
idah bagi perempuan yang dicerai qabla al-dukhûl di negara Brunei Darussalam
yaitu karena adanya unsur kemaslahatan untuk menjunjung tinggi derajat
perempuan dan karena adanya ketentuan hukum adat yang sudah diaplikasikan
dan bersifat konstruksi sosial.
1
Pendahuluan
Perkawinan menurut Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.1 Tujuan dari perkawinan adalah terbentuknya keluarga yang bahagia,
kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dapat terwujud
jika suami istri saling memahami serta melaksanakan hak dan kewajiban masing-
masing sebagai upaya membangun sebuah keluarga.2
Tidak selamanya di dalam perkawinan berjalan dengan mulus dan lancar,
tentu ada lika-liku kehidupan beserta sejumlah konflik yang akan terjadi di dalam
hubungan dan harus dihadapi. Ketika menghadapi sebuah konflik dengan keluarga
tidak semua pasangan mampu menyelesaikannya dengan cara musyawarah, tak
jarang pasangan-pasangan yang bermasalah tersebut mengakhiri hubungan
perkawinannya dengan cara melalui perceraian. Ketika perceraian terjadi dalam
sebuah keluarga maka akan muncul ketentuan baru akibat terjadinya perceraian
tersebut, seperti masa idah, nafkah, hak asuh anak dan lain-lain.
Ketentuan masa idah dibagi menjadi beberapa kelompok oleh ulama, yaitu:
Perempuan yang sedang hamil, karena diceraikan atau ditinggal mati oleh
suaminya, perempuan yang baligh tetapi tidak pernah haid sama sekali, serta
wanita yang menopause, perempuan yang telah mancapai usia 9 tahun, tidak
hamil, bukan menopause dan telah mengalami haid. Dan perempuan yang dicerai
sebelum dicampuri (qabla al-dukhûl).3
Perempuan yang dicerai sebelum dicampuri (qabla al-dukhûl) menurut
hukum Islam dan peraturan dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia, masa
idahnya tidak ada dan boleh langsung melaksanakan pernikahan, hal tersebut
berdasarkan QS. al-Ahzab (33): 49, dan KHI pasal 153 ayat (1) a, yaitu:
1
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam,
(Jakarta: Qolbun Salim, 2005), 3.
2
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty,
1986), 96.
3
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, diterjemahkan oleh Masykur A.B, (Jakarta:
Lentera Basritama, 1999). 465.
2
“Bagi seorang istri yang putus perceraiannya berlaku waktu tunggu atau idah,
kecuali qabla al-dukhûl dan perkawinannya putus bukan karena kematian
suami.”
Sedangkan ketentuan di Brunei Darussalam, Jika perempuan dicerai sebelum
disetubuhi, maka ia tidak boleh dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan
suaminya yang terdahulu dalam masa idah kecuali telah dibenarkan oleh Kadi
yang berkuasa di mana ia tinggal. Aturan dalam perundang-undangan ini terasa
janggal, karena menurut kesepakatan mazhab Syafi‟i bahwa wanita yang ditalak
sebelum dicampuri, tidak mempunyai idah.
Dalam penelitian ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai ketentuan
Perempuan yang dicerai sebelum dicampuri (qabla al-dukhûl) yang diaplikasikan
di negara Brunei Darussalam perspektif hukum Islam.
Kajian Pustaka
4
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (alih bahasa. Moh. Thalib), Vol 8, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1994),
139-140.
5
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wâ Adilatuhu Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
Fiqih Islam 9 (Jakarta: Gema Insani, 2011), 623.
3
Syafi‟iyah idah adalah masa penantian seorang wanita untuk mengetahui
kesucian rahim, untuk beribadah atau untuk berkabung atas kematian
suami. Menurut Hambali idah adalah masa penantian yang ditentukan oleh
syara.6
2. Macam-Macam Idah
6
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitâbu Al-Fiqh ‘ala Al-Madzâhibi Al-Arba’ah, (Kairo: Dar Al-Fikr, t.th)
516-518.
7
Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, 465.
4
sepotong daging kecil, selama potongan itu adalah embrio
wanita.
b. Idah berdasarkan perhitungan bulan, yakni bagi wanita yang baligh
tetapi tidak pernah haid sama sekali, serta wanita yang menopause.
Idahnya tiga bulan berdasar firman Allah SWT. di dalam QS. At-
Talaq (65): 4:
8
Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, 501.
5
وء ۚ َوََل ََِي ُّل ََلُ َّن أَن يَكْتُ ْم َن َما ٍ والْمطَلَّ َقات ي ت ربَّصن ِِبَن ُف ِس ِه َّن ثَََّلثَةَ قُر
ُ َ ْ َ ََ ُ ُ َ
ِ ِ ِ ِ ِ
َ اَّللُ ِِف أ َْر َحام ِه َّن إِن ُك َّن يُ ْؤم َّن ِِب ََّّلل َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر ۚ َوبُ ُعولَتُ ُه َّن أ
َح ُّق َّ َخلَ َق
ۚ وفِ ك إِ ْن أَرادوا إِص ََّلحا ۚ وََل َّن ِمثْل الَّ ِذي علَي ِه َّن ِِبلْمعر ِبِرِد ِى َّن ِِف َٰذَل
ُْ َ َْ ُ ُ َ ً ْ ُ َ َ َّ
َّ َولِ ِّلر َج ِال َعلَْي ِه َّن َد َر َجةٌ ۗ َو
اَّللُ َع ِز ٌيز َح ِك ٌيم
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru‟, tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir
dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki islah
dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dalam
kewajibannya menurut cara yang ma‟ruf, akan tetapi para
suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada
istrinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Menurut pendapat ulama Madzhab:
1) Imamiyah, Maliki dan Syafi‟i menginterprestasikan quru‟
dengan masa suci ( tidak haid) sehingga bila wanita tersebut
dicerai pada hari-hari terakhir masa sucinya, maka masa
tersebut dihitung sebagai bagian dari masa idah, yang
disempurnakan dengan 2 masa suci sesudahnya.
2) Hanafi dan Hambali menginterprestasikan dengan masa haid,
sehingga wanita tersebut harus melewati 3 kali masa iddah
(dalam menyelesaikan masa idah). Sesudah di talak tidak
termasuk masa haid ketika ia ditalak.9
d. Idah sebelum dicampuri (qabla al-dukhûl)
Para ulama mazhab sepakat bahwa wanita yang ditalak
sebelum dicampuri dan sebelum melakukan khalwat, tidak
mempunyai idah. Namun, jika suami wafat dalam keadaan si istri
belum pernah digauli, maka ia harus menjalani idah wafat.10
9
Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, 466.
10
Abu Malik, Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahîh Fikih Sunnah, Penerjemah: Darwis,
Derysmono, Shahih Fikih Sunnah Vol. 4, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2017) 431.
6
Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali
mengatakan bahwa, apabila suami telah berkhalwat dengannya,
tetapi dia tidak sampai mencampurinya, lalu istrinya tersebut
ditalak, maka si istri harus menjalani idah, persis seperti istri yang
telah dicampuri. Menurut Imamiyah dan Syafi‟i mengatakan
bahwa, khalwat tidak membawa akibat apapun.11
Dalilnya adalah sebagaimana dalam firman Allah pada QS.
al-Ahzab (33): 49:
11
Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, 499.
12
Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, 464.
7
B. Idah Perspektif Hukum Indonesia
1. Pengertian Idah
13
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. 2016.
14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media,
2004), 252.
8
Perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami.
Menurut KHI dalam pasal 153 mengatur tentang masa tunggu (idah)
seorang wanita (janda) yang telah diceraikan atau ditinggal mati oleh
suaminya. Pada ayat (1) berbunyi “bagi seorang istri yang putus
perkawinannya berlaku waktu tunggu atau idah, kecuali qabla al dukhûl
dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami”. Pasal 153 waktu
tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
15
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1) tentang
Permulaan.
9
kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam masa idah kecuali telah
dibenarkan oleh kadi yang berkuasa dimana ia tinggal.
16 ِ
ِ جْلب الْمصالِ ِح ودرء الْم َف
اسد َ ُ َْ َ َ َ ُ َ
Meraih kemaslahatan dan menolak kemudharatan.
Selain itu menurut Intan Cahyani pada jurnalnya yang berjudul Hukum
keluarga Islam di Brunei Darussalam, bahwa ditelusuri secara mendalam
dalam peraturan yang telah ada atau dalam hukum perceraian yang
16
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), 8.
10
terdapat di Negara Brunei Darussalam mengikuti hukum adat yang berlaku
di masyarakat Negara Brunei,17 padahal dalam hukum Islam, adat dapat
dijadikan sebagai dalil hukum, sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi:
17
Intan Cahyani, “Hukum Keluarga di Brunei Darussalam”, Jurnal Al-Qadau, Vol. 2, No. 2,
2015, 156.
18
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar Jaya
Offset, 2004), 155.
11
Daftar Pustaka
Buku
Jurnal
12