UKKI PROKEKAL
Fatwa kesehatan ditinjau dari agama islam.
Pertanyaan
Banyak seorang wanita mengalami haid/menstruasi disaat sakit. Tetapi tidak mengerti cara bersucinya,
sedangkan setelah masa haid/menstruasi selesai wajib bersuci dan melaksanakan ibadah yang wajib di
laksanakan yaitu sholat. Bagaimana cara bersuci dari haid pada saat masih sakit ?
Jawaban
Bismillahirrohmanirrohiim. Alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin, was-sholaatu wassalaamu ‘alaa asyrofil
anbiyaa-i wal mursaliin, sayyidina muhammadin, wa’ala alihi wa’ashabihi aj’ma’iin, Amma ba’du.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu haid dan masa
haid. Kemudian cara bersucinya seorang wanita dari masa haid pada saat sedang sakit dengan beberapa
hukum dan ketentuan yang di berikan bagi umat islam.
Hormon estrogen dikeluarkan ovarium dari mulai anak-anak sampai sesudah menopause. Hormon
ini dinamakan hormon folikuler karena terus dihasilkan oleh sejumlah besar folikel ovarium.
Estrogen penting untuk pengembangan organ kelamin wanita dan sifat-sifat kelamin yang sekunder,
menyebabkan perubahan anak gadis pada masa pubertasnya, dan juga penting untuk tetap adanya
sifat fisik dan mental yang menandakan wanita normal.
Hormon progesteron disekresikan oleh korpus luteum dan melanjutkan pekerjaan yang dimulai
oleh estrogen terhadap endometrium, yaitu menyebabkan endometrium menjadi tebal, lembut, serta
seperti beludru, siap untuk penerimaan ovum yang telah dibuahi. Progesteron menghambat haid.
Terjadinya menstruasi atau haid diawali degenerasi korpus luteum yang mengakibatkan kadar
progesteron darah menurun, tetapi sewaktu hamil tidak terjadi haid karena sel paling luar dari
konseptus (korion), pada waktu menembus ke dalam endometrium mengeluarkan sejenis hormon
(gonadotrofin korionik) dan hormone ini bekerja atas korpus luteum dan menjamin tetap
berlangsungnya sekresi progesterone. Dengan demikian sekresi ovarium diatur bukan saja oleh
kelenjar hipofisis, melainkan juga oleh korion plasenta yang berkembang dari korionpada masa
kehamilan berusia 8-12 minggu.
3. Haid ( Agama )
Haid secara bahasa artinya mengalir. Sedangkan menurut syara' adalah darah yang sifatnya keluar
dari kemaluan/farji perempuan yang sudah berumur 9 tahun dalam keadaan sehat/normal serta tidak
karena melahirkan.
Adapun dasarnya haid dari AlQur'an adalah Surat AlBaqoroh ayat : 222
Sementara dasar dari Hadits adalah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim :
ت َأ َد َم
ِ هَ َذا َشيٌْئ َكتَبَهُ هللاُ َعلَى بَنَا.
Artinya : Ini adalah sesuatu yang telah Allah tulis untuk putri Adam (orang perempuan).
Adapun haid itu tidak hanya dialami oleh kaum perempuan saja. Allah SWT juga menetapkan haid
untuk hewan – hewan di bawah ini :
1. Kelelawar
2. Hyena
3. Terwelu
4. Unta
5. Cicak
6. Kuda
7. Anjing
Tetapi haid untuk hewan – hewan yang telah disebutkan di atas itu waktu haidnya tidak tertentu.
Berbeda dengan kaum perempuan yang ditentukan untuk haidnya yaitu satu bulan satu kali.
Perempuan paling muda saat mengeluarkan haid adalah usia 9 tahun qomariyah
(taqriban/perkiraan). Adapun pengertian (taqriban/perkiraan yang mendekati) adalah bila perempuan
sudah genap usia 9 tahun kurang 16 hari 24 jam ke atas (kurang 17, 18 dst) tetapi mengeluarkan darah,
maka tidak dihukumi darah haid, melainkan dihukumi darah istihadoh (darah rusak). Bila perempuan
mengeluarkan darah pada umur 9 tahun qomariyah kurang 16 hari 24 jam)ke bawah (kurang 15, 14,
dst), maka dihukumi darah haid. Bila ada seorang perempuan mengeluarkan darah selama beberapa
hari, yang sebagian keluar sebelum waktu yang umum/wajar/mungkin untuk haid, dan yang sebagian
keluar setelah waktu yang umum/wajar/mungkin untuk haid, maka darah pada waktu yang pertama
dihukumi darah istihadloh dan darah pada waktu yang kedua dihukumi darah haid.
[ Dinukil dari kitab ianatun nisa’ ]
َوِإ َذا َأ َمرْ تُ ُك ْم بَِأ ْم ٍر فَْأتُوا ِم ْنهُ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم
“Jika kalian diperintah suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari no. 7288 dan
Muslim no. 1337)
Berdasarkan kaidah-kaidah penting , Allah SWT. meringankan bagi orang-orang yang kesulitan dalam
melakukan ibadah supaya melakukan ibadah sesuai dengan kondisi mereka sehingga mereka dapat
melakukan ibadah kepada Allah SWT., tanpa merasa sempit dan sulit.
a. Wajib bagi orang yang sakit untuk bersuci dengan air yaitu dia wajib berwudhu ketika terkena
hadats ashgor (hadats kecil). Jika terkena hadats akbar (hadats besar), dia diwajibkan untuk
mandi wajib.
b. Jika tidak mampu bersuci dengan air karena tidak mampu atau karena khawatir sakitnya
bertambah parah, atau khawatir sakitnya bisa bertambah lama sembuhnya, maka dia diharuskan
untuk tayamum.
c. Jika orang yang sakit tersebut tidak mampu bersuci sendiri, maka orang lain boleh membantunya
untuk berwudhu atau tayamum. (Misalnya tayamum), orang yang dimintai tolong tersebut
menepuk telapak tangannya ke tanah yang suci, lalu dia mengusap wajah orang yang sakit tadi,
diteruskan dengan mengusap kedua telapak tangannya. Hal ini juga serupa jika orang yang sakit
tersebut tidak mampu berwudhu (namun masih mampu menggunakan air, pen), maka orang lain
pun bisa menolong dia dalam berwudhu (orang lain yang membasuh anggota tubuhnya ketika
wudhu, pen).
d. Jika pada sebagian anggota tubuh yang harus disucikan terdapat luka, maka luka tersebut tetap
dibasuh dengan air. Apabila dibasuh dengan air berdampak sesuatu (membuat luka bertambah
parah, pen), cukup bagian yang terluka tersebut diusap dengan satu kali usapan. Caranya adalah
tangan dibasahi dengan air, lalu luka tadi diusap dengan tangan yang basah tadi. Jika diusap juga
berdampak sesuatu, pada saat ini diperbolehkan untuk bertayamum.
e. Jika sebagian anggota tubuh yang harus dibasuh mengalami patah, lalu dibalut dengan kain
(perban) atau gips, maka cukup anggota tubuh tadi diusap dengan air sebagai ganti dari
membasuh. Pada kondisi luka yang diperban seperti ini tidak perlu beralih ke tayamum karena
mengusap adalah pengganti dari membasuh.
f. Boleh seseorang bertayamum pada tembok yang suci atau yang lainnya, asalkan memiliki debu.
Namun apabila tembok tersebut dilapisi dengan sesuatu yang bukan tanah -seperti cat-, maka
pada saat ini tidak boleh bertayamum dari tembok tersebut kecuali jika ada debu.
g. Jika tidak ditemukan tanah atau tembok yang memiliki debu, maka tidak mengapa menggunakan
debu yang dikumpulkan di suatu wadah atau di sapu tangan, kemudian setelah itu bertayamum
dari debu tadi.
h. Wajib bagi orang yang sakit untuk membersihkan badannya dari setiap najis. Jika dia tidak
mampu untuk menghilangkannya dan dia shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya tetap sah
dan tidak perlu diulangi.
i. Wajib bagi orang yang sakit mengerjakan shalat dengan pakaian yang suci. Jika pakaian tersebut
terkena najis, maka wajib dicuci atau diganti dengan pakaian yang suci. Jika dia tidak mampu
untuk melakukan hal ini dan shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya tetap sah dan tidak perlu
diulangi.
j. Wajib bagi orang yang sakit mengerjakan shalat pada tempat yang suci. Apabila tempat
shalatnya (seperti alas tidur atau bantal, pen) terkena najis, wajib najis tersebut dicuci atau
diganti dengan yang suci, atau mungkin diberi alas lain yang suci. Jika tidak mampu untuk
melakukan hal ini dan tetap shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya tetap sah dan tidak perlu
diulangi.
k. Tidak boleh bagi orang yang sakit mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya dengan alasan
karena tidak mampu untuk bersuci. Bahkan orang yang sakit ini tetap wajib bersuci sesuai
dengan kadar kemampuannya, sehingga dia dapat shalat tepat waktu; walaupun badan, pakaian,
atau tempat shalatnya dalam keadaan najis dan tidak mampu dibersihkan (disucikan).
Hadits lain yang menjelaskan apabila berhalangan menggunakan air mandi untuk menghilangkan
hadas besar dapat diganti dengan tayamum.
فََأ َم َرنِي َأ ْن َأ ْم َس َح َعلَى اَ ْل َجبَاِئ ِر- صلى هللا عليه وسلم- ِ ُول هَّللَا ُ ي فَ َسَأ ْل
َ ت َرس َّ ت ِإحْ دَى َز ْن َد
ْ اِ ْن َك َس َر- :ال
َ َ ق- رضي هللا عنه- َوع َْن َعلِ ٍّي
بِ َسنَ ٍد َوا ٍه ِج ًّدا- َر َواهُ ِابْنُ َما َجه-
Artinya: Diceritakan Ali RA, "Salah satu dari pergelanganku retak. Lalu aku tanyakan pada Rasulullah
SAW dan beliau menyuruhku agar aku mengusap di atas pembalutnya." (HR Ibnu Majah).
Penulis 1 Penulis 2